Anda di halaman 1dari 20

LATAR BELAKANG GEOGRAFIS, DAN KONDISI SOSIAL

BUDAYA BANGSA ARAB PRA-ISLAM


“Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam”

Dosen Pembimbing :
Dr. Suasana Nikmat Ginting, MA

DISUSUN OLEH:
Kelompok I
1. Tri Wulan Hasibuan : 030719
2. Suci Rahmaida Sihombing :0307192058
3. Wilianda Munthe :030719

Manajemen Pendidikan Islam 4


Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
Medan T.A. 2022/ 2023
KATA PENGANTAR

‫يم‬
ِ ‫س ِم هللاِ ال َّر ْحم ِن ال َّر ِح‬
ْ ِ‫ب‬
“ Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang”

ُ‫سالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َر ْح َمةُ هللاِ َوبَ َر َكاتُه‬


َّ ‫ال‬
Puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH Swt yang telah
melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah mata kuliah Sejarah Peradaban Islam yang berjudul
“Latar Belakang Geografis, Dan Kondisi Sosial Budaya Bangsa Arab Pra-
Islam”.
Terimakasih kami ucapkan kepada berbagai pihak yang terkait dalam
penyusunan makalah ini. Terutama kepada Bapak Dr. Suasana Nikmat
Ginting, MA sebagai dosen pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.
Terlepas dari banyaknya kekurangan yang ada, Kami menyadari
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi adanya peningkatan dalam
makalah kami selanjutnya.
Akhir kata kami berharap agar isi dari makalah ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak khusunya para pembaca makalah kami.

ُ‫سالَ ُم َعلَ ْي ُك ْم َو َر ْح َمةُ هللاِ َوبَ َر َكاتُه‬


َّ ‫َو ال‬

Medan, 07 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTARISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................2
C. Tujuan Masalah..........................................................................................2

BAB II KAJIAN TEORITIS


A. Kondisi Geografis Makkah dan Madinah..................................................3
B. Perkembangan Arab Pra-Islam...................................................................5
C. Kondisi Sosial Politik Makkah dan Madinah.............................................8
D. Kondisi Arab Saat Kelahiran Islam............................................................10

BAB III KESIMPULAN


A. Kesimpulan................................................................................................15
B. Saran...........................................................................................................15

Daftar Pustaka........................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pengaruh penyebaran Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara (Middle East
and North Africa) yang merupakan wilayah dengan pemeluk Islam terbesar di dunia.
Penelitian ini meneliti perubahan yang dialami oleh suku bangsa mayoritas yang
identik dengan kawasan tersebut yaitu bangsa Arab. Sebagai bentuk perbandingan,
makalah ini akan memulai kajian dengan gambaran bangsa Arab di masa pra-Islam,
lalu dilanjutkan dengan masa ketika Islam lahir yang ditandai dengan diutusnya
Rasulullah SAW, dan masa pasca wafatnya Rasulullah. Pemetaan tersebut akan
menjawab secara tidak langsung sebab majunya Islam dan sebab mundurnya Islam
serta isu sektarian di Timur Tengah dan Afrika Utara yang masih menjadi sorotan
dunia saat ini.
Jazirah Arab secara umum beriklim amat panas, kering, sedikit hujan, dan
sungai yang hanya terdapat di bagian selatan.1 Ikatan kesukuan sangat kuat dalam
kehidupan bangsa Arab pada masa pra-Islam, dan sering terjadi konflik antar kabilah,
yang mengakibatkan permusuhan dan peperangan yang berlangsung lama. Menarik
untuk dicermati, kedatangan Islam tidak merombak nilai-nilai yang dianut
masyarakat secara keseluruhan. Artinya, Islam tidak mengikis habis nilai-nilai
kemuliaan dalam pandangan mereka dan menggantinya dengan nilai-nilai yang sama
sekali baru. Tetapi Islam mengakomodir nilai-nilai itu dan mengarahkannya kepada
hal yang sesuai dengan syariat. Nilai-nilai seperti kemuliaan, kedermawanan, dan

1
Dudung Abdurrahman (2012). Siti Maryam, ed. Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik hingga
Modern (https://web.archive.org/web/20150530225023/https://books.google.co.id/books?
id=PvOeBg
AAQBAJ&pg=PA18&dq=jazirah+arab+pra+islam&hl=en&sa=X&ei=jetpVfXkONWIuASl_oOICw&ved=0C
Fs QuwUwCA#v=onepage&q=tihamah&f=false) . LESFI. hlm. 16-20. ISBN 978-979-567-024-7,
9795670247. Diarsipkan dari versi asli (https://books.google.co.id/books?id=PvOeBgAAQBAJ&pg=PA1
8&dq=jazirah+arab+pra+islam&hl=en&sa=X&ei=jetpVfXkONWIuASl_oOICw&ved=0CFsQuwUwCA#v=
on epage&q=tihamah&f=false) tanggal 2015-05-30. Diakses tanggal 2022-09-06.
keberanian yang dianggap baik oleh bangsa Arab tetap dipertahankan dan diubah cara
serta tujuannya.2
Kawasan Timur Tengah merupakan kawasan negara-negara yang terletak di
Asia Barat dan Afrika Utara. Sebutan “Timur Tengah” digunakan oleh Kolonialisme
Barat untuk menunjuk kawasan di antara Timur Dekat (Turki) dan Timur Jauh (India
dan Cina). Berbicara tentang Timur Tengah tidak bisa tidak menyinggung dua
variabel lainnya, Arab dan Islam. Sedikitnya 25 negara yang mendiami kawasan ini
berpenduduk mayoritas Bangsa Arab dan menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasa
resmi mereka.
Meskipun tidak sedikit bangsa-bangsa lain yang mendiami kawasan ini seperti
Persia, Berber, Turki, Kurdi dan bangsa lainnya, namun prosentase masyarakat Arab
tetap mayoritas dan tersebar di berbagai negara di kawasan ini. Sehingga tidak jarang
masyarakat menyebut mereka yang berasal dari Timur Tengah sebagai “orang Arab”.
Sebagaimana identik dengan Arab, kawasan ini juga identik dengan Islam. Dari
sekitar 1,4 miliar umat Muslim di dunia, sekitar 18% tinggal di negara-negara Arab
dan 20% lainnya tinggal di Afrika (Yahya, 2018: 244). Di kawasan ini juga terletak
berbagai situs-situs bersejarah penting bagi umat Islam, bahkan kota Mekkah dan
Madinah merupakan kota suci yang tiap tahunnya dikunjungi jutaan muslim dari
berbagai penjuru dunia.

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun Penulis Merumuskan Masalah Sebagai Berikut:
 Bagaimana Kondisi Geografis Makkah dan Madinah?
 Bagaimana Kondisi Sosial Politik Makkah dan Madinah?
 Bagaimana Perkembangan Arab Pra-Islam?
 Bagaimana Kondisi Arab Saat Kelahiran Islam?

C. TUJUAN MASALAH
2
Zakaria Bashier, The Makkan Crucible, (Licester: Islamic Foundation, 1978), hlm. 27
 Untuk Mengetahui Geografis Makkah dan Madinah
 Untuk Mengetahui Kondisi Sosial Politik Makkah dan Madinah
 Untuk Memahami Perkembangan Arab Pra-Islam
 Untuk Mengetahui Kondisi Arab Saat Kelahiran Islam

BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Kondisi Geografis Makkah dan Madinah

Batas tanah haram Makkah pertama kali diletakkan oleh Nabi Ibrahim as.
Malaikat Jibril as. yang memperlihatkan kepadanya. Tapal batas itu tidak pernah
diperbaharui hingga pada masa Rasulullah saw. Pada saat penaklukan Kota Makkah,
Rasulullah saw. mengutus Tamim bin Asad al-Khuza‟i untuk memperbaharui batas
tersebut. Batas tersebut tidak diganggu gugat hingga pada masa Khalifah „Umar bin
Khathab ra. Ia mengutus orang-orang Quraisy untuk memperbaharu tapal batas
tersebut. Perbatasan kota Makkah dapat digambarkan sebagai berikut:3

1. sebelah barat: jalan Jedah-Makkah, di Asy-Syumaisi (Hudaibiah), 22 km dari


Kakbah;
2. sebelah selatan, di Idha‟ah Liben, jalan Yaman-Makkah untuk yang dari
Tihamah, 12 km dari Kakbah;
3. sebelah timur, di tepi Lembah „Uranah Barat, 15 km dari Kakbah;
4. sebelah timur laut, jalan Ji‟ranah, dekat Kampung Syara‟i alMujahidin, 16
km dari Kakbah;
5. sebelah utara, Tan‟im, 7 km dari Kakbah.
Data yang banyak ditemukan adalah kondisi geografis pada masa sebelum
Islam datang. Hal ini memberikan asumsi bahwa kondisi geografis Makkah dan
Madinah pada masa sebelum datang Islam dengan pada masa awal Islam adalah
sama. Kalau ada perubahan, maka tidak signifikan.

Kondisi Semenanjung Arab merupakan semenanjung barat daya Asia, sebuah


semenanjung terbesar dalam peta dunia. Wilayahnya seluas 1.754.900 km. Pada masa
sekarang dihuni oleh sekitar 14.000.000 jiwa. Negara yang paling banyak mengambil
wilayah ini adalah Arab Saudi dengan luas daratan sekitar 1.014.900 km.
berpenduduk sekitar tujuh juta jiwa; Yaman lima juta jiwa; dan selebihnya tinggal di
3
Tim Penyusun, Tarikh Makkah al-Mukarramah, terjemah oleh Erwandi Tarmizi dengan judul Sejarah
Mekkah Al Mukarramah, (Riyadh: Darussalam, 1426 H./2005 M.), h. 19.
Kuwait, Qatar, Emirat Arab, Oman dan Masqat, dan Aden. Dari sisi kondisi cuaca,
Semenanjung Arab merupakan salah satu wilayah terkering dan terpanas. Meskipun
diapit dua lautan di barat dan di timur, lautan itu terlalu kecil untuk dapat
memengaruhi kondisi cuaca Afro-Asia yang jarang turun hujan. Lautan di sebelah
selatan memang membawa partikel air hujan, tapi badai gurun musiman menyapu
wilayah tersebut dan hanya menyisakan sedikit kelembaban di wilayah daratan. 4

Kota yang satunya adalah Madinah. Kota ini merupakan salah satu kota yang
termasuk kawasan tandus, yang populer dengan sebutan Hijaz selain Thaif dan
Makkah. Dibandingkan Makkah, orang Yahudi memang lebih banyak dijumpai di
Madinah dan sekitarnya. Sebenarnya kedua bangsa ini terdiri dari satu rumpun
bangsa, yaitu ras Semit yang berpangkal dari Nabi Ibrahim melalui dua putranya,
Ismail dan Ishaq. Bangsa Arab melalui Ismail dan Yahudi melaui Ishaq.5

Kota ini dulunya dikenal dengan sebutan Yasrib. Letaknya sekitar 510 km
sebelah utara kota Makkah. Secara geografis, Madinah lebih baik dari Makkah.
Madinah terletak pada “jalur rempah-rempah”, yang menghubungkan Yaman dan
Suriah. Kota ini merupakan sebuah oasis dalam arti sebenarnya. Tanahnya sangat
cocok ditanami pohon kurma. Di tangan penduduk Yahudi, tepatnya Bani Nadir dan
Bani Quraizah, kota ini menjadi pusat pertanian terkemuka.6

B. Perkembangan Arab Pra-Islam

Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah, mereka termasuk ras
atau rumput bangsa Kaukasoid, dalam subras Medditerranean yang anggotanya
meliputi wilayah sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabia, dan Irania.
Bangsa Arab hidupnya berpindah-pindah, nomad, karena tanahnya terdiri dari gurun

4
Lihat Phillip K. Hitty, History of the Arabs, terjemah oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi dengan judul yang sama, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014), h. 7.
5
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan
Al-Qur'an, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996), h. 26.
6
Lihat Phillip K. Hitti, History of the Arabs, h. 131.
pasir yang kering dan sangat sedikit turun hujan. Perpindahan mereka dari satu
tempat ke tempat yang lain mengikuti tumbuhan stepa atau padang rumput yang
tumbuh secara sporadis di tanah Arab di sekitar oasis atau genangan air setelah turun
hujan (Wilkinson, 2004: 244; Hitti, 1970: 23). Padang rumput diperlukan oleh bangsa
Badawi, Badawah, Badui, untuk mengembala ternak mereka. Mereka mendiami
wilayah Jazirah Arabia yang dahulu merupakan sambungan wilayah gurun
membentang dari barat Sahara di Afika hingga ke timur melintasi Asia, Iran Tengah,
dan Gurun Gobi di Cina. Wilayah ini sangat kering dan panas karena uap air laut
disekitarnya. Sekalipun begitu, wilayah ini kaya dengan penghasilan bahan minyak
terbesar di dunia (Supriyadi, 2016: 47-49; Wilkinson, 2004: 244).

Bangsa Arab diketahui telah memiliki peradaban jauh sebelum Islam muncul
disana. Beberapa ahli mengungkapkan bahwa aspek peradaban Arab meliputi agama,
politik, ekonomi dan seni budaya. Sejarawan muslim membagi penduduk Arab
menjadi tiga kategori, yaitu: 1) al-‘Arab al-Ba’idah: Arab Kuno; 2) ‘Arab al-
Arabiyah: Arab Pribumi; dan 3) al’Arab al-Musta’ribah: Arab pendatang (Supriyadi,
2016: 50; Karim, 2015: 50). Eksistensi Arab Kuno tidak dapat terdeteksi oleh sejarah
kecuali beberapa kaum yang dikisahkan dalam al-Quran dan kitab-kitab
pendahulunya. Adapun Arab pribumi adalah dua golongan besar, yaitu Qahthaniyun
dan ‘Adnaniyun yang berasal dari Yaman dan merupakan keturunan Nabi Isma’il AS
yang berdiam di Hijaz, Tahama, Nejad, Palmerah dan sekitarnya (Supriyadi, 2016:
50; Karim, 2015: 50).

Dari segi tempat tinggal mereka dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu
Ahl al-Hadharah (penduduk kota) dan Ahl al-Badiyah (penduduka gurun pasir).
Kedua kelompok ini banyak perbedaan dalam pranata sosial, tata cara, ekonomi, dan
politik yang dipengaruhi kondisi geografi dan kondisi alam dimana mereka tinggal
(Karim, 2015: 50). Peradaban Arab pra Islam sering pula dikenal dengan nama Era
Jahiliyyah (kebodohan). Penamaan ini tidak murni dikarenakan kebodohan mereka
dalam berbagai segi dan tidak berperadaban, namun karena ketiadaan pengetahuan
mereka akan agama, tata cara kemasyarakatan, politik, dan pengetahuan tentang ke-
Esaan Allah. Adapun dari segi fisik, mereka dinilai lebih sempurna dibanding orang-
orang Eropa dalam berbagai organ tubuh, begitupula dalam sisi pertanian dan
perekenomian yang telah maju.

Disamping faktor teologis tersebut, mereka memiliki beberapa karakteristik


khusus yang semakin memperkuat kesan Jahil (bodoh) pada mereka. Lebih jauh,
Ignaz Goldziher, seorang orientalis asal Hongaria bahwa kondisi masyarakat kala itu
bukan hanya jahiliyyah, namun juga barbarisme dan cenderung primitif (Hitti, 1970:
87; Supriyadi, 2016: 57). Diantara preseden buruk yang melekat pada Arab pra-Islam
adalah kondisi dan kedudukan wanita yang dipandang sebelah mata, bahkan setengah
manusia. Meskipun ditemukan beberapa kepala suku wanita di Mekkah, Madinah,
Yaman dan sebagainya, namun jumlah mereka amat sedikit sekali. Di mata
masyarakat mereka, wanita tidak ada harganya dan tidak lebih berharga dari barang
dagangan di pasar. Beberapa pendapat bahkan lebih vulgar menyebutkan bahwa
mereka tidak lebih dari binatang, wanita dianggap barang dan hewan ternak yang
tidak memiliki hak (Supriyadi, 2016: 55; Palmer, 2005: 157).

Mereka tidak dapat menjadi pewaris suami atau orang tua. Para lelaki juga
bebas menikah dengan wanita mana saja berapapun jumlahnya, sedangkan tidak
demikian bagi wanita. Seorang istri yang ditinggal suaminya meninggal juga dapat
diwarisi oleh anak tertuanya atau salah satu kerabat mendiang suaminya. Sungguh
jauh berbeda dengan posisi suami setelah menikah yang berkedudukan layaknya raja
dan penguasa (Karim, 2015: 51). Mereka juga terkenal dengan tradisi penguburan
anak hidup-hidup. Namun, perlu dipahami bahwa tradisi tersebut tidak terjadi di
seluruh suku Arab. Hanya beberapa suku dan kabilah saja yang menerapkan tradisi
tersebut. Tradisi tersebut dilakukan dengan dasar bahwa anak (kebanyakan
perempuan) adalah penyebab kemiskinan dan aib bagi keluarga. Bila mereka kalah
dalam peperangan, maka istri dan anak perempuan mereka akan dirampas oleh
musuh. Karenanya, mereka beranggapan lebih baik membunuh mereka terlebih
dahulu sebelum ditawan oleh musuh. Alasan lainnya adalah faktor kependudukan.
Salah satu peristiwa besar yang berpengaruh adalah hancurnya bendungan Ma’arib,
Yaman, rakyat berbondong-bondong melakukan urbanisasi besar-besaran ke Utara,
termasuk Mekkah, Yatsrib dan Damaskus (Wilkinson, 2004: 245; Hitti, 1970: 64-65).
Perpindahan ini menyebabkan terbatasnya bahan pangan dan menyebabkan kesulitan
ekonomi dan kemiskinan banyak keluarga. Membunuh bayi yang baru lahir disinyalir
sebagai usaha untuk mengurangi pengeluaran keluarga.

Di beberapa suku lainnya, mereka tidak sedikit yang menyayangi anak-anak


mereka, baik perempuan maupun laki-laki. Namun, memiliki anak laki-laki tetap
menjadi kebanggaan tersendiri bagi suku-suku di Arab kala itu (Karim, 2015: 51-52).
Bangsa Arab juga dikenal hidup dalam kabilah-kabilah atau klan-klan. Mereka hidup
berdampingan antar kabilah dengan perjanjian damai yang disebut alAhlaf. Kecintaan
mereka terhadap keluarga, garis keturunan (nasab) dan kabilah mengalahkan
kecintaan mereka terhadap hal lainnya. Ibn Khaldun menyebutnya dengan istilah
al-‘Ashabiyah (Hitti, 1970: 27). Fanatisme kabilah ini seringkali menimbulkan
percekcokan dengan kabilah lain yang berujung pada peperangan bahkan dalam hal
sepele sekalipun, seperti kalah dalam pacuan kuda, persengketaan hewan ternak, mata
air atau padang rumput. Faktor geografis Arab yang dipengaruhi oleh gurun-gurun
pasir yang luas dan tandus mempengaruhi sifat dan perilaku rata-rata orang Arab
yang terkesan keras.

C. Kondisi Sosial Politik Makkah dan Madinah

Makkah merupakan kota penting pada waktu itu, baik karena tradisi maupun
karena kedudukannya. Di samping berhadapan dengan agama politeisme yang telah
mengakar kuat, ajaran Nabi Muhammad saw. juga harus melawan oposisi dari
pemerintahan oligarki.7 Dakwah Nabi Muhammad saw yang menyeru kepada Islam

7
Syed Ameer Ali, Api Islam, (Jakarta: Pembangunan, 2002), h. 16, sebagaimana lihat dalam Istianah
Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, (Malang, UIN-Malang Press, 2008), h. 14. Oligarki adalah
pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok
dianggap sebagai perusakan terhadap tatanan masyarakat yang dianut oleh kalangan
bangsawan. Inilah yang menyebabkan terjadinya banyak konflik. Sikap kontra
tersebut tidak sekedar dilatarbelakangi faktor sosial dan faktor ekonomi saja. Para
bangsawan belum siap untuk menyejajarkan kedudukannya dengan sekelompok
masyarakat yang selama ini merupakan budak. Selain itu adanya larangan
menyembah berhala tidak saja berdampak dalam hal kepercayaan, tapi juga dampak
ekonomi.8 Hal ini karena pembuatan berhala merupakan salah satu penghasilan
masyarakat saat itu. Penentangan terhadap dakwah Rasulullah saw tersebut terjadi
setelah dakwah dilaksanakan secara terang-terangan. Ada lima faktor yang
mendorong orang Quraisy menentang seruan Islam, yaitu:

1. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka


mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad saw berarti tunduk kepada
kepemimpinan Bani Abdul Muthalib. Hal ini sangat tidak mereka inginkan.
2. Nabi Muhammad saw menyerukan persamaan hak antara bangsawan dengan
budak. Hal ini tentu tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy;
3. Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan
kembali dan pembalasan di akhirat;
4. Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang beruratberakar pada
bangsa Arab;
5. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rezeki.9
Meskipun pemerintahan Islam pertama adalah di Madinah, namun
kontribusi kader-kader Makkah tidak dapat diabaikan. Hal ini dikarenakan
pembentukan pribadi muslim terjadi di Makkah, sehingga menjadi cikal bakal
tumbuhnya masyarakat Islam. Dapat dikatakan bahwa “benih unggul” dari Makkah,
sedangkan “lahan subur”-nya adalah Madinah, sehingga perpaduan keduanya

tertentu. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia V, aplikasi android, 2016
8
Lihat Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, h. 17
9
Lihat A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam 1, (Jakarta: Pustaka alHusna, 1983), h. 87-90.
melahirkan pemerintahan Islam yang kuat.10 Dalam bidang ekonomi, ada dikenal
istilah ilaf, yaitu perjalanan komersial yang merupakan tradisi masyarakat sebelum
Islam di Makkah yang dilegitimasi Alquran dalam Surah Quraisy. Musim panas ke
Syria, sedangkan musim dingin ke Yaman.11 Beralih ke kota satunya, Madinah saat
itu merupakan sebuah kota yang heterogen, dimana di dalamnya terdapat dua
kebudayaan dan tradisi yang berbeda. Sekalipun terdapat orangorang Arab yang
memeluk Yahudi dan ada di antara mereka yang terikat hubungan perkawinan, tapi
sikap dan pola hidup sukusuku Yahudi yang terdiri dari dua puluh suku itu secara
umum berbeda dari orang-orang Arab.12 W. Montgomery Watt dalam bukunya
“Muhammad Propet and State Man” menjelaskan kondisi sosial politik Madinah
sebelum peristiwa hijrah.

Watt menulis bahwa keadaan di Madinah berbeda dengan keadaan di


Makkah. Di Makkah dan daerah sekitarnya tidak ada lahan pertanian, konsekuensinya
eksistensi kota tersebut tergantung pada perdagangan, sebaliknya Madinah adalah
sebuah oasis pertanian. Sebagaimana Makkah, Madinah merupakan perkampungan
yang disibukkan oleh konflik horisontal yang sengit dan anarkis antara kelompok
suku-suku terpandang, diantaranya Aus dan Khazraj. Konflik yang berkepanjangan
itu membuat rakyat kecil selalu merasa tidak aman dan menimbulkan permasalahan
eksistensial di Madinah. Selanjutnya berbeda dengan Makkah, Madinah senantiasa
mengalami perubahan sosial yang meninggalkan bentuk kemasyarakatan absolut
model Badui.

Kehidupan sosial Madinah secara berangsur-angsur diwarnai oleh unsur


kedekatan ruang daripada unsur kekerabatan. Yang jelas, Madinah memiliki sejumlah

10
Lihat Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam, h. 18.
11
Ada beberapa lagi lembaga sosial pra-Islam pada masyarakat Mekah, selanjutnya lihat Hakan Sahin,
Civil Society Institutions in Pre-Islamic Mecca, artikel dalam ResearchGate, April 2015, Istanbul:
Medipol University, h. 7.
12
Lihat J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau dari
Pandangan Al-Qur'an, h. 29.
warga Yahudi yang sebagian besar pengikutnya lebih simpati terhadap monoteisme. 13
Penduduk Madinah mengikuti masyarakat Quraisy dan penduduk Makkah dalam
keyakinan dan agama. Mereka memandang kaum Quraisy sebagai penjaga rumah
Allah, sebagai pemimpin-pemimpin agama, serta sebagai panutan dalam berakidah
dan beribadah. Mereka tunduk pada paganisme (ajaran penyembah patung) yang
meliputi seluruh jazirah Arab, menyembah beberapa berhala, yang disembah pula
oleh kaum Quraisy dan penduduk Hijaz. Hanya saja hubungan antara mereka dengan
berhala lebih kuat daripada hubungan antara masing-masing mereka.14

D. Kondisi Arab Saat Kelahiran Islam

Islam diwahyukan oleh Allah melalui seorang hamba dan rasul-Nya yaitu
Muhammad Ibn Abdillah yang lahir pada 12 R. Awwal Tahun Gajah bertepatan
dengan 29 Agustus 571 M di Mekkah. Beliau berasal dari kabilah Quraisy yang
merupakan kabilah terhormat di kalangan bangsa Arab. Beliau menerima wahyu
pertamanya pada umur 40 tahun dan menjadi titik awal lahirnya ajaran agama
penyempurna agama Tauhid dari Nabi Ibrahim, yaitu Islam. Jalan dakwah yang
dilaluinya cukup terjal dan mendapat tekanan dan penolakan dari berbagai pihak.
Namun tanpa mengenal putus asa, beliau tetap melanjutkan misi suci menyampaikan
wahyu Allah kepada manusia. Secara keseluruhan, beliau menghabiskan waktu
sekitar 23 tahun untuk berdakwah menyeru kepada Islam, dengan rincian 13 tahun
pertama dilaksanakan di Mekkah dan 10 tahun selanjutnya di kota Yatsrib atau
Madinah (Palmer, 2005: 158; Syauqi, 2016: 1).

Tujuan dakwah Nabi selama 13 tahun di Mekkah adalah penanaman


dasardasar keimanan dan segala yang berhubungan dengan aqidah. Hal tersebut dapat
dicermati dalam hal-hal yang dibahas dalam surah Makkiyah yang kental dengan
masalah aqidah dan keimanan. Berbeda dengan periode selanjutnya, di Madinah Nabi

13
Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 37-38.
14
Lihat Abu Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi, Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW,
(Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2006), h. 209.
mulai menerapkan syari’ah Islam, hukum-hukum dan pembangunan ekonomi,
sebagai dasar kehidupan bernegara dan bermasyarakat (Palmer, 2005: 160, 163;
Syauqi, 2016: 1; Karim, 2015: 64; Supriyadi, 2016: 62-63). Berbagai dasar-dasar
kemasyarakatan Islam diletakkan oleh Nabi demi membangun miniatur negara yang
sesuai dengan konsep Islam. Pertama, pendirian masjid untuk tempat berkumpul dan
bermusyawarah disamping fungsi utamanya sebagai tempat ibadah. Kedua,
mempersaudarakan antar kaum muslim pendatang (Muhajirin) dan penduduk asli
Madinah (Anshar) meski tidak memiliki hubungan kekerabatan secara keturunan.
Ketiga, membuat perjanjian untuk bekerja sama dan saling membantu antara kaum
muslim dan bukan muslim (Karim, 2105: 68-70).

Kala itu di Madinah setidaknya ada 12 kelompok berbeda yang mengadakan


perjanjian yang disebut Piagam Madinah (Madinah Charter). Kelompok-kelompok
tersebut diwakili oleh tiga kelompok besar, yaitu kaum Muslim, kaum Yahudi dan
orang Arab yang belum masuk Islam (Karim, 2105: 68-70; Supriyadi, 2016: 63-65;
Syauqi, 2016: 8-9). Dalam piagam tersebut sedikitnya terdapat 5 poin kesepakatan
antar seluruh penduduk Madinah yang berbunyi sebagai berikut: 1. Tiap kelompok
dijamin kebebasannya dalam beragama, 2. Tiap kelompok berhak menghukum
anggota kelompoknya yang bersalah, 3. Tiap kelompok harus saling membantu dalam
mempertahankan Madinah, baik yang muslim maupun non-muslim, 4. Penduduk
Madinah semuanya sepakat mengangkat Nabi Muhammad sebagai pemimpinnya dan
memberi keputusan hukum segala perkara yang dihadapkan kepadanya, dan 5.
Meletakkan landasan berpolitik, ekonomi, dan kemasyarakatan bagi negeri Madinah
yang baru terbentuk (Karim, 2015: 69-70; Supriyadi, 2016: 64-65).

Dasar berpolitik yang dijunjung oleh Nabi adalah keadilan. Prinsip keadilan
harus dijalankan terhadap semua penduduk tanpa pandang bulu dan mengakui
persamaan derajat seluruh manusia di hadapan Allah. Prinsip ini cukup berat untuk
dipraktikkan mengingat tradisi Arab yang mengakui keunggulan satu keturunan atau
satu kabilah tertentu atas lainnya. Prinsip lainnya adalah prinsip musyawarah untuk
memecahkan segala persoalan demi tercapainya kemashlahatan bersama (Karim,
2015: 70). Prinsip sosial Islam (social justice) juga diperkenalkan menggantikan
berbagai tradisi Jahiliyyah yang kurang (bahkan tidak) berperikemanusiaan
(Armstrong, 2002: 6). Nabi yang juga berdagang mengajarkan konsep jual-beli yang
berbeda dengan tradisi Arab dahulu, tidak ada lagi monopoli perdagangan maupun
sistem ekonomi kapitalis. Derajat wanita yang dahulu tidak berharga diangkat
sedemikian rupa sehingga memiliki derajat yang setara dengan pria (Armstrong,
2002: 16).

Hukum pernikahan Islam pun diterapkan dengan membatasi seorang pria


beristri 4 orang wanita dan melalui akad yang sah. Seorang wanita juga mendapatkan
bagian dari harta warisan yang ditinggalkan oleh suami atau orang tuanya. Islam juga
mengharamkan berbagai perbuatan tercela yang menjadi tradisi Arab seperti bertaruh,
berjudi, minum khamr dan perbuatan tercela lainnya (Syauqi, 2016: 2).

Beberapa perubahan sosial lainnya adalah semakin terangkatnya derajat


manusia , terutama para budak belian. Perlahan namun pasti, Nabi mencoba
mengurangi praktik perdagangan budak dan memberikan mereka hak-hak seperti
manusia lainnya. Salah satunya adalah banyaknya hukuman atas perbuatan dosa
dalam Islam mensyariatkan pembebasan budak sebagai hukumannya. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi jumlah budak-budak yang diperjualbelikan kala itu
(Karim, 2015: 73-74; Supriyadi, 2016: 64).

Secara tersirat, Islam mengembalikan hak-hak manusia seperti yang


disepakati dalam Piagam Atlantik (The Atlantic Charter) tentang The Four Freedom
of Mankind (empat macam kebebasan manusia). Oleh karena itu, Nabi berupaya
mengurangi peperangan dan konflik yang berujung pertumpahan darah sebagaimana
tradisi suku-suku Arab terdahulu. Alih-alih berperang, Nabi menekankan sifat saling
memaafkan dan berlapang dada. Sikap tersebut amat tampak saat Pembebasan
Mekkah (fathu Makkah), dimana kaum Quraisy yang amat memusuhi Nabi tidak
mendapatkan hukuman, melainkan pengampunan atas semua kesalahan mereka
(Armstrong, 2002: 22- 23).

Sejarah perang yang terjadi di zaman Nabi tidak lain karena terlebih dahulu
diserang sehingga menuntut untuk terjadi peperangan. Bila memungkinkan, Nabi
lebih memilih cara-cara diplomasi dan perundingan dibandingkan mengobarkan
peperangan (Karim, 2015: 73-74; Supriyadi, 2016: 64).

Pemerintahan Madinah sendiri bercorak teokrasi dengan seorang Rasul


sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara namun kedaulatan berada di tangan
Allah. Konsep yang disebut Islamic State ini menempatkan Allah sebagai de jure
sovereignty dan Nabi sebagai de facto sovereignty (Karim, 2015: 74; Syauqi, 2016:
1). Selain itu, Nabi juga menerapkan sistem republik dengan bantuan Majelis Syura.
Dalam pemerintahannya, sebagaimana sistem Arab pra-Islam, Nabi juga menyusun
gubernur-gubernur atau wali-wali yang bertanggungjawab dalam berbagai bidang
seperti perekonomian, hukum, peradilan, pertahanan dan keagamaan. Dengan ini
menunjukkan bahwa Islam tidak menolak semua tradisi Arab pra-Islam, namun
mengakomodir berbagai sistem dan adat istiadat yang dipandang baik dan tidak
bertentangan dengan syari’at Islam, seperti konsep pernikahan, sistem perdagangan
dan lain sebagainya (Karim, 2015: 74-75).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kondisi geografis Makkah adalah daerah yang gersang, sedangkan kondisi
geografis Madinah adalah daerah yang subur. Cuaca kedua wilayah ini panas dan
kering. Kondisi sosial politik pada masa ini berubah seiring datangnya tatanan baru
dalam Islam misalnya mengemukanya persamaan atau keadilan sosial dan tatanan
politik baru yang diikat dengan dasar akidah. Tradisi masyarakat yang sering
berperang antar suku hingga berkepanjangan, berubah menjadi persatuan dalam
akidah dengan diangkatnya Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin. Kondisi hukum
terbagi pada dua fase, yaitu fase Makkah dan fase Madinah. Fase Makkah bercirikan
akidah sebagai pondasi hukum, fase Madinah bercirikan hukum yang lengkap dan
diturunkan secara bertahap. Struktur hukum di Makkah dan Madinah dipegang oleh
Nabi Muhammad saw. Substansi hukumnya berupa Alquran dan Hadis, yang
keduanya bersumber dari wahyu Allah swt. Budaya hukum menunjukkan bahwa
masyarakat Makkah dan Madinah patuh terhadap hukum. Kepatuhan ini dipengaruhi
akidah yang kuat.

B. Saran
Demikian yang dapat kami papar kan mengenai materi pada pertemuan ini
lebih dan kurang mohon maaf. kami selaku penulis sangat berharap pembaca sudi
kiranya memberikan kritik dan saran yang tentunya akan membangun kepada kami
demi mencapai-nya kesempurnaan dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim, Khalil. Daulah Yatsrib; Basha`ir fi ‘Am al-Wufud, terj. oleh Kamran As‟ad
Irsyady, Negara Madinah; Politik Penaklukan Suku Arab, (Yogyakarta: LKiS, 2005).

Abu Bakar, Istianah. Sejarah Peradaban Islam, (Malang, UINMalang Press, 2008).
Ali, Syed Ameer. Api Islam, (Jakarta: Pembangunan, 2002).

Chalil, Moenawar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, (Surabaya: Gema Insani, 2001).
Haikal, Muhammad Husain. Hayatu Muhammad, terjemah oleh Ali Audah, Sejarah Hidup
Muhammad, (Bogor: Litera AntarNusa, 2008).

Hasjmi, A. Dustur Dakwah menurut Alquran, (Jakarta: Bulang Bintang, 1415 H/1994 M.).

Hitti, Phillip K. History of the Arabs, terjemah oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi dengan judul yang sama, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014).

Ibrahim, Rustam. Sejarah Islam, (Jakarta: Djajamurni, 1971).

al-Jawziyyah, Ibn Qayyim. A’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al- ‘Alamin, (Kairo: al-Dar al-
„Alamiyyah, 2015/1435), cet. I.

Khallaf, Abdul Wahhab. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Qalam, 1398/1978).

Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000).

an-Nadwi. Abu Hasan Ali al-Hasani, Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Nabi Muhammad
SAW, (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2006).

Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah Ditinjau dari


Pandangan Alquran, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1996).

Sahin, Hakan. Civil Society Institutions in Pre-Islamic Mecca, artikel dalam ResearchGate,
April 2015, Istanbul: Medipol University Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum (Bandung:
Refika Aditama, 2007).

Sairazi, Abdul Hafiz. Prinsip-prinsip Tasyri‟ Pada Fase Makkah dalam Konteks Kekinian,
dalam Jurnal An-Nahdhah, Vol. 6 No. 11, Januari-Juni 2013.

Salahuddin, Hafiz dan Anjam Niaz. Pre-Islamic Arab Judiciary in Islam, artikel dalam Gomal
University Journal of Research, Pakistan, 27 (2), Desember 2011.
Schacht, Joseph. An Introduction to Islamic Law, terjemah oleh Tim IAIN Raden Fatah
dengan judul Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1985).

Anda mungkin juga menyukai