Anda di halaman 1dari 4

Nama: Muhammad Naufal Majid

Kelas: HI 20 A
NIM: 0801520021

Pengaruh Konferensi Asia Afrika 1955 serta Dasa Sila Bandung Bagi Negara-negara
yang Belum Merdeka di Kawasan

PENDAHULUAN
Tidak berselang lama dari berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, dunia
kembali mengalami ketegangan akibat munculnya Perang Dingin yang dimulai sejak tahun
1947. Amerika Serikat hadir sebagai kekuatan Barat yang mempromosikan ideologi liberal
dan demokrasi. Sedangkan Uni Soviet hadir sebagai kekuatan Timur yang mempromosikan
ideologi komunis. Perang Dingin kemudian berdampak terhadap polarisasi yang terjadi
begitu masif di dunia, dimana negara-negara di dunia terbagi ke dalam dua blok kekuatan,
yakni blok Barat dan Timur. Akan tetapi, tidak semua negara mengafiliasikan dirinya kepada
blok kekuatan Barat ataupun Timur. Terdapat beberapa negara yang memilih untuk tetap
netral dan tidak memihak kepada suatu blok tertentu. Negara-negara inilah yang kemudian
disebut sebagai ‘negara dunia ketiga’, sebuah istilah yang pertama kali dicetuskan oleh
ilmuwan Prancis Alfred Sauvy pada tahun 1952.1 Istilah ini digunakan untuk
mengelompokkan negara-negara yang tidak memihak kepada salah satu diantara dua
kekuatan besar yang tengah bersitegang di dunia, pada era Perang Dingin.

Mayoritas dari negara-negara dunia ketiga ini berada di benua Asia dan Afrika, yang
pernah ataupun tengah dilanda kolonialisme. Sehingga, penggunaan istilah ‘post-colonial
countries’ turut melekat pada negara-negara ini. Selain itu, istilah lainnya yang cukup sering
digunakan adalah istilah ‘global south’ atau ‘negara-negara selatan’, yang digunakan untuk
menggambarkan negara-negara di kawasan Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Oseania. Istilah
‘selatan’ digunakan untuk menggambarkan letak negara-negara ini yang secara geografis
berada di bagian bawah dunia. Meskipun, maksud sebenarnya dari penggunaan istilah ini
adalah untuk menggambarkan tingkat kekayaan serta pembangunan di negara-negara tersebut
yang masih tergolong rendah.2 Oleh karenanya, kesadaran kolektif akan kesamaan nasib

1
Solarz, Marcin Wojciech. 2012. "‘Third World’: the 60th anniversary of a concept that changed history." Third
World Quarterly 1561-1573.
2
Dados, Nour, and Raewyn Connell. 2012. "The Global South." Contexts 12-13.
inilah yang membuat negara-negara ini merasa perlu untuk berhimpun dan membentuk
kekuatan alternatif baru.

PEMBAHASAN

Pada tahun 1954, lima negara post-colonial—yakni Ceylon (sekarang Sri Lanka),
Burma (sekarang Myanmar), Indonesia, India dan Pakistan—melakukan pertemuan untuk
mempererat solidaritas bersama. Pertemuan ini diinisiasi oleh Perdana Menteri Ceylon pada
saat itu, yakni Sir John Kotelawala. Pada pertemuan yang kemudian dikenal sebagai
Konferensi Kolombo ini, turut hadir lima Perdana Menteri dari kelima negara, yakni PM Sir
John Kotelawala (Ceylon), PM U Nu (Burma), PM Jawaharlal Nehru (India), PM Ali
Sastroamidjojo (Indonesia), dan PM Mohammed Ali (Pakistan). Pada kesempatan ini, PM Ali
Sastroamidjojo menyatakan idenya untuk menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA).
Meski sempat mendapat respons yang cukup skeptis dan penuh kekhawatiran, pemerintah
Indonesia tetap mampu meyakinkan negara-negara lain. Sehinga selanjutnya pada Desember
1954, diadakan kembali pertemuan di Bogor untuk menyusun agenda konferensi dan
mengundang negara-negara lainnya.

KAA diselenggarakan untuk mengedepankan dan meningkatkan kepentingan


bersama, kerja sama antar negara, serta mempromosikan perdamaian. 3 Kemudian disepakati
bahwa KAA akan digelar di Bandung, Indonesia, dan turut mengundang 29 negara.
Diantaranya adalah Afghanistan, Burma, Kamboja, Ceylon, Cina, Mesir, Ethiopia, Gold
Coast (sekarang Ghana), India, Indonesia, Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Lebanon,
Liberia, Libya, Nepal, Pakistan, Filipina, Saudi Arabia, Suriah, Sudan, Thailand, Turki,
Republik Demokratik Vietnam (Utara), Vietnam (Selatan) dan Yaman. Lalu terdapat satu
negara lagi yang mengikuti sidang namun belum mencapai kemerdekaannya pada saat itu,
yakni Siprus.

Untuk membuka konferensi ini, Presiden Soekarno memberikan pidatonya yang


berjudul “Let a New Asia and a New Africa be Born”. Dalam pidato tersebut, Soekarno
mengajak para pemimpin dunia untuk bersatu dan tidak terpecah belah oleh peperangan dan
kekerasan. Ia menegaskan bahwa kesamaan seluruh negara yang berkumpul di dalam ruangan
tersebut adalah adanya kebencian terhadap kolonialisme dan rasialisme. Persatuan dan kerja
sama antar bangsa Asia-Afrika juga berusaha dikedepankan oleh Soekarno dengan
3
Appadorai, A. 1955. “The Bandung Conference.” India Quarterly 11, no. 3: 207–35.
mengatakan, “jika kita berhasil melakukannya, efeknya bagi kebebasan, kemerdekaan, dan
kesejahteraan manusia akan besar bagi dunia pada umumnya,”.4

Sidang kemudian berlangsung selama tujuh hari, yang dimulai pada hari Senin, 18
April 1955, dan berakhir pada hari Minggu, 24 April 1955. Sidang berjalan dengan melalui
berbagai dinamika serta ketegangan, meskipun pemimpin sidang berhasil memimpin dengan
baik dan menghindari jalan buntu.5 Selanjutnya, hasil dari sidang ini kemudian tertuang ke
dalam Dasa Sila Bandung, yang berisikan 10 poin yang disepakati bersama oleh 29 negara
peserta. Beberapa poin penting dari Dasa Sila Bandung adalah kesepakatan untuk
menghormati kedaulatan dan integritas teritorial bangsa, tidak melakukan agresi atau
penggunaan kekerasan terhadap suatu negara, menghormati hukum internasional, serta
menyelesaikan segala perselisihan dengan cara damai. Sehingga dapat dikatakan, Dasa Sila
Bandung berisikan upaya untuk mengedepankan persatuan, perdamaian, serta penghormatan
hak di dalam hubungan internasional.

Dengan ini, semangat anti-kolonialisme kemudian menyebar di penjuru Asia dan


Afrika. Pasca KAA, negara-negara yang baru merdeka pun merasa semakin percaya diri
dalam bertindak sebagai aktor yang berdaulat. Selain itu, KAA juga berhasil menginspirasi
negara-negara Afrika dalam meraih kemerdekaannya. Satu tahun setelah KAA
diselenggarakan, Tunisia serta Maroko berhasil memerdekakan diri dari kolonialisme
Prancis. Sudan juga berhasil memerdekakan diri pada tahun yang sama dari kolonialisme
Inggris, disusul oleh Ghana pada tahun 1957. Fenomena ini dapat terjadi sebab permasalahan
kemerdekaan serta spirit anti-kolonialisme memang menjadi salah satu pembahasan yang
menjadi fokus utama dalam sidang KAA. Dalam sidang KAA bahkan disebutkan bahwa
kolonialisme dan segala manifestasinya merupakan suatu kejahatan yang harus dibasmi.6

KESIMPULAN

Dengan persiapannya yang tidak sebentar, KAA berhasil membuktikan signifikansi


serta pengaruhnya dalam membentuk ulang tatanan internasional alternatif selain Barat dan

4
Soekarno. [Pidato diberikan oleh Soekarno (Bandung, 18 April 1955)]. Dalam “Asia-Africa speak from
Bandung”. Jakarta: Indonesia. Kementerian Luar Negeri. 1955. 19-29.
5
Arsip Nasional Republik Indonesia. 2012. Guide Arsip Konferensi Asia-Afrika Tahun 1955. Jakarta: ANRI.
6
Barrow, Abdou. 2020. "The Role of the 1955 Asian-African Conference and 1958 All Africa People’s
Conference towards Africa’s Independence." Journal of Historical Sociology.
Timur. Dengan hadirnya KAA, negara-negara dunia ketiga dan post-colonial berhasil
memperlihatkan peran sentral mereka terutama dalam melawan arus polarisasi yang terjadi
begitu deras pada era Perang Dingin. Sebagai gerakan alternatif, KAA membawa sejumlah
nilai-nilai yang menjadi keresahan bersama negara-negara dunia ketiga. Sehingga
kehadirannya dilihat sebagai gerakan solidaritas bersama yang disambut baik oleh sejumlah
negara. Kehadirannya juga dapat menginspirasi negara-negara yang masih hidup di bawah
kolonialisme untuk memerdekakan diri menjadi negara yang berdaulat dengan semangat
dekolonialisasi. Melalui KAA dan Dasa Sila Bandung juga dapat ditunjukkan bahwa negara
dunia ketiga berhasil memberikan contoh nyata penerapan nilai-nilai universalisme,
regionalisme, sampai dengan konsepsi HAM di dalamnya. KAA terbukti sebagai salah satu
peristiwa yang berhasil merubah cara pandang lama dan menghasilkan cara pandang
alternatif yang baru di dalam hubungan internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Appadorai, A. 1955. “The Bandung Conference.” India Quarterly 11, no. 3: 207–35
Acharya, Amitav. 2016. "Studying the Bandung Conference from a Global IR Perspective."
Australian Journal of International Affairs 342-357.
Arsip Nasional Republik Indonesia. 2012. Guide Arsip Konferensi Asia-Afrika Tahun 1955.
Jakarta: ANRI.
Barrow, Abdou. 2020. "The Role of the 1955 Asian-African Conference and 1958 All Africa
People’s Conference towards Africa’s Independence." Journal of Historical
Sociology.
Dados, Nour, and Raewyn Connell. 2012. "The Global South." Contexts 12-13.
Solarz, Marcin Wojciech. 2012. "‘Third World’: the 60th anniversary of a concept that
changed history." Third World Quarterly 1561-1573.

Anda mungkin juga menyukai