Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia memproklamasikan kemerdeKonferensi Asia Afrikannya pada tanggal


17 Agustus 1945 dan menjadi awal baru sejarah bangsa tersebut. Sebagai salah satu
negara yang baru merdeka, Indonesia mengalami berbagai dinamika persoalan baik
yang berskala nasional maupun internasional. Salah satu persoalan internasional
yang menjadi perhatian Indonesia adalah masalah nasib negara-negara Asia dan
Afrika. Masalah yang menyangkut negara Asia dan Afrika tersebut pada akhirnya
dibahas pada suatu konferensi yang disebut Konferensi Asia Afrika.

Konferensi Asia Afrika terjadi karena situasi dunia pada saat itu sedang memanas
yaitu terjadinya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Selain itu,
masalah kolonialisme dan rasialisme menjadi alasan utama lain terselenggaranya
konferensi tersebut. Pembicaraan formal beberapa kepala negara Asia dalam suatu
konferensi Colombo dan Bogor untuk mengambil sikap atas situasi dunia
internasional merupakan langkah awal gagasan Konferensi Asia Afrika. Negara-
negara tersebut pada akhirnya menentukan harus diadakan konferensi antar negara-
negara Asia dan Afrika yang ruang lingkupnya lebih luas. Indonesia dipercaya
menjadi penyelenggara Konferensi Asia Afrika tersebut dan sekaligus menjadi tuan
rumah penyelenggara. Konferensi Asia Afrika pada akhirnya menghasilkan suatu
kesepakatan antar negara Asia dan Afrika mengenai situasi dunia dan masalah
kehidupan lainnya. Selain itu, pada nantinya muncul pula suatu gearkan yang
dinamakan Gerakan Non Blok.

Peristiwa Konferensi Asia Afrika menjadi bukti bahwa Indonesia adalah salah
satu negara yang berpartisipasi aktif dalam terciptanya perdamaian dunia. Selain itu,
Indonesia membuktikan kepada dunia internasional bahwa mereka mampu

1
menyelenggarakan konferensi tingkat internasional yang dihadiri banyak negara-
negara Asia dan Afrika. Berbagai rangkaian peristiwa dari awal sampai akhir
jalannya konferensi menjadi suatu hal yang sangat menarik. Oleh karena itu,
pembahasan mengenai peristiwa Konferensi Asia Afrika perlu dikaji lebih
mendalam. Maka dari itu, penulis meyusun suatu makalah yang berjudul Peristiwa
Konferensi Asia Afrika Tahun 1955.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini diantaranya yaitu:
1. Bagaimana latar belakang terjadinya peristiwa Konferensi Asia Afrika?
2. Bagaimana peran Konferensi Colombo dan Bogor yang menjadi pencetus
gagasan terselenggaranya Konferensi Asia Afrika?
3. Bagaimana pelaksanaan Konferensi Asia Afrika?
4. Bagaimana hasil dari Konferesi Asia Afrika?
5. Bagaimana Gerakan Non Blok sebagai implikasi dari Konferensi Asia Afrika?

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini diantaranya yaitu:

1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya peristiwa Konferensi Asia Afrika.


2. Untuk menjelaskan peran Konferensi Colombo dan Bogor yang menjadi
pencetus gagasan terselenggaranya Konferensi Asia Afrika.
3. Untuk menjelaskan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.
4. Untuk mendeskripsikan hasil dari Konferensi Asia Afrika.
5. Untuk mengetahui Gerakan Non Blok sebagai implikasi dari Konferensi Asia
Afrika.

D. Manfaat

Manfaat penulisan makalah ini diantaranya yaitu:

2
1. Menambah pemahaman dan wawasan mengenai peristiwa Konferensi Asia
Afrika.

BAB II

PERISTIWA KONFERENSI ASIA AFRIKA TAHUN 1955

A. Latar Belakang Terjadinya Konferensi Asia Afrika

Pasca peristiwa Perang Dunia II telah melahirkan dua negara yang berpengaruh
di dunia yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua negara tersebut memiliki
ideologi yang berbeda yaitu Amerika Serikat dengan ideologi Liberalisme dan Uni
Soviet dengan idelogi Komunisme. Poesponegoro & Notosusanto (2010, hlm. 325)
menyebutkan bahwa antara dua kekuasaan yang telah timbul, telah muncul
persaingan atas dasar pertentangan ideologi dan haluan yang semakin meruncing.
Kedua belah pihak sedang mencari dan mendapatkan kawan atau sekutu, membentuk
golongan atau blok. Amerika Serikat membentuk blok yang sering kali disebut Blok
Barat terdiri dari 12 negara di kawasan Eropa barat dan Amerika Utara yang pada 14
April 1949 terbentuk dengan menandatangani persetujuan menjadi aliansi pertahanan
bersama, resolusi ini di usulkan oleh Vandenberg atau yang sering kali dikenal
dengan NATO (Purmintasari, 2013, hlm.154). Blok Timur adalah Uni Soviet
(sekarang Rusia) yaitu negara yang membawa ideologi komunisme yang kemudian
membentuk badan organisasi untuk menyaingi keberadaan NATO. Organisasi
tersebut bernama PAKTA WARSAWA pada tanggal 14 Mei 1955 yang mempunyai
pengikut awalnya hanya berjumlah 7 negara, terdiri atas Albania, Cekoslovakia,
Jerman Timur, Uni Soviet, Hongaria, Polandia, Bulgaria. Uni Soviet saat itu
mencurigai Amerika telah iri dan tidak suka dengan gelar yang diberikan dunia

3
bahwa Uni Soviet adalah negara pemenang Perang Dunia II (Maya, t. t.). Konflik
antara kedua negara tersebut sering disebut dengan Perang Dingin.

Perang Dingin antara blok barat dan timur dapat mengancam perdamaian dunia.
Negara-negara di dunia khususnya yang tidak bergabung dengan kedua blok tersebut
menganggap perang dingin dapat mengancam umat manusia. Alat perang yang
semakin hebat dan dahsyat yang dalam sekejap mata sanggup memusnahkan daerah
yang luas beserta penduduknya, makin menebalkan keyakinan dalam hati bangsa-
bangsa tentang mutlak perlunya perdamaian (Poesponegoro & Notosusanto, 2010,
hlm. 327). Peristiwa Perang Dunia II yang terjadi sebelumnya telah memberikan
bekas menyakitkan dan menyebabkan banyak kerusakan bagi setiap bangsa yang ada
di dunia. Hal ini menjadi perhatian negara-negara diluar blok barat dan timur untuk
menjaga perdamaian dunia dan tidak ikut campur masalah dalam kedua blok.

Pada saat itu, Perang Dingin yang berlangsung di Eropa kini berpindah ke
wilayah Asia. Sebab perang di Indo-Cina masih terus berkobar. Kementerian Luar
Negeri Indonesia (2012, hlm. 504) menyebutkan bahwa kekuatan militer Perancis
telah dipatahkan, tetapi usaha untuk mempertahankan kekuasaan kolonial Perancis di
Indo-Cina masih berlangsung. Situasi menjadi gawat ketika Amerika Serikat
dibawah Pemerintah Presiden Truman campur tangan di dalam perang Indo-Cina
dengan memberikan bantuan kepada Perancis. Oleh karena itu, hal ini menjadi
perhatian bersama negara-negara Asia lainnya untuk menghentikan pengaruh Perang
Dingin yang nantinya akan berdampak buruk kepada mereka.

Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak negara-negara yang menyatakan


kemerdeKonferensi Asia Afrikannya. Akan tetapi, tak sedikit pula negara-negara
yang masih dibawah kekuasaan kolonial asing. Pada umumnya, negara-negara
tersebut berada di wilayah Afrika yang masih ada kekuatan asing khususnya bangsa
Eropa. Departemen Penerangan RI (t. t., hlm. 33) menyebutkan bahwa

suatu statistik menyebutkan bahwa pada tahun 1876 wilayah Afrika yang dijajah
Barat adalah sebesar 10,8 persen. Jumlah itu kemudian meningkat 90 persen pada

4
tahun 1900. Wilayah Asia pada tahun 1978 yang dijajah 51,5 persen dan pada
tahun 1900 menajdi 56, 6 persennya.
Negara-negara yang baru merdeka juga pernah merasakan hidup dibawah
kolonialisme. Pengalaman hidup menjadi negara terjajah menjadikan mereka
menentang segala bentuk kolonialisme dan menumbuhkan kesadaran membantu
negara-negara lain yang belum merdeka untuk segera merdeka.

Isu mengenai rasialisme masih menjadi bentuk diskriminasi yang melanggar hak
asasi manusia. Menurut The New Encyclopedia (dalam Jismulatif, t. t., hlm. 121)
menyebutkan bahwa rasialisme adalah suatu doktrin yang dapat menimbulkan sifat-
sifat diskriminasi dan prasangka terhadap suatu ras. Masalah rasialisme banyak
terjadi di wilayah Afrika, dan inilah yang yang menjadikan beberapa negara di
Afrika ikut serta kedalam konferensi, dengan begitu sebagai bentuk perjuangan agar
eksistensi dan kesetaraan masyarakat yang khususnya terdiskriminasi seperti di
Afrika diakui dan mendapatkan hak yang sama dari warga dunia yang lainnya.

Berbagai persoalan yang telah dijelaskan diatas menjadi perhatian banyak


negara-negara di Asia dan Afrika. Salah satu negara yang menyadari masalah
tersebut adalah Indonesia. Pada masa Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo diambil
berbagai langkah untuk mengatasi masalah tersebut yang pada nantinya terjadi suatu
konferensi antara negara-negara di Asia dan Afrika.

B. Peran Konferensi Colombo dan Bogor sebagai Pencetus Gagasan


Terselenggaranya Konferensi Asia Afrika

Poesponegoro & Notosusanto (2010, hlm. 324) menyebutkan bahwa kabinet Ali
Sastroamidjojo I melaksanakan ofensif diplomatik yang menonjol. Hal ini tersermin
dalam jawabannya pada tanggal 3 Juni 1952 kepada Parlemen agar pemerintah
menetapkan sikap yang pasti terhadap politik luar negerinya. Indonesia harus
memilih beberapa kemungkinan menentukan arah politik luar negeri diantaranya
adalah untuk memilih blok barat atau timur. Akan tetapi, pada tanggal 25 Agustus
1953 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyampaikan pidatonya di depan

5
Parlemen (DPR) mengenai arah kebijakan politik luar negeri dengan memilih
bekerjasama dengan negara-negara Asia-Arab (Afrika) (Departemen Penerangan RI,
t. t., hlm. 37). Hal ini menunjukan bahwa Indonesia tidak memihak salah satu blok
kuat dunia tersebut dan lebih memilih untuk membentuk kejasama dengan negara-
negara Asia dan Afrika. Usulan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo untuk menjadi
pemimpin aktif dari blok negara-negara Afro-Asia turut didukung hangat oleh
Presiden Ir. Soekarno (2011, hlm. 372).

Keinginan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo untuk menjalin kerja sama


dengan negara-negara Asia dan Afrika ternyata mendapat sambutan yang positif dari
negara-negara tersebut. Sebagai tindak lanjut dari keinginan tersebut, pada 28 April
1954 diselenggarakan suatu konferensi di Colombo, Sri Lanka (Suganda, 2008, hlm.
347). Negara peserta dalam konferensi tersebut adalah lima negara yang ada di Asia
yaitu India, Pakistan, Birma, Sri Lanka, dan Indonesia (Suwondo, 1981, hlm. 214).
Lima negara tersebut masing-masing diwakili oleh Perdana Menterinya masing-
masing yaitu Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri Pakistan
Moh. Ali, Perdana Menteri Birma U Nu, Perdana Menteri Sri Lanka Sir John
Kotelawala, dan Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo (Suganda, 2008, hlm.
347).

Saat menghadiri Konferensi Colombo, Delegasi Indonesia terdiri dari Ali


Sastroamidjojo sebagai ketua, Mr. Achmad Subardjo sebagai penasehat, Ir. Djuanda
sebagai direktur Biro Perancangan Nasional juga penasehat, J. D. de Fretes sebagai
Kuasa Usaha ad interim Indonesia di Colombo, dan M. Maramis sebagai anggota-
anggota (Kementerian Luar Negeri Indonesia. 2012, hlm. 512).

Depatemen Penerangan RI (t. t., hlm. 37) menyebutkan bahwa undangan


Perdana Menteri Sri Lanka pada mulanya dimaksudkan untuk membicarakan
masalah-masalah kepentingan bersama antara negara terdekat (an informal
conference to discuss problem at common interest bertween immediate neighbouring
countries). Keputusan penting dalam konferensi tersebut menyetujui usul agar

6
Perdana Menteri Indonesia menyelidiki sampai di mana kemungkinan mengadakan
konferensi di antara negara-negara Asia Afrika (Suganda, 2008, hlm. 347). Selain
itu, dalam konferensi tersebut Ali Sastroamidjojo menyarankan agar pertemuan-
pertemuan selanjutnya diperluas dengan pemimpin-pemimpin negara-negara lainnya
dari Asia Afrika (Poesponegoro & Notosusanto, 2010, hlm. 329). Usul yang tegas
dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo itu disetujui oleh keempat Perdana Menteri
lainnya (Departemen Penerangan RI, t. t., hlm. 37). Hasil dari konferensi tersebut
menunjukan bahwa kelima negara berkomitmen bersama-sama untuk mempererat
kerja sama diantara mereka dan juga memperluas hubungan dengan negara-negara
lain di Asia dan Afrika.

Suganda (2008, hlm. 347) menyebutkan bahwa tanggal 18 Agustus 1954,


Perdana Menteri India, Jawaharal Nehru mengingatkan Perdana Menteri Indonesia
bahwa situasi dunia pada saat itu makin gawat. Akan tetapi, kekhawatiran itu
berhasil diredakan. Pada tanggal 25 September 1954, Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo berkunjung ke India dan berhasil meyakinkan Perdana Menteri
Nehru. Poesponegoro & Notosusanto (2010, hlm. 329) menyebutkan bahwa

kunjungan Ali Sastroamidjojo ke India pada tanggal 25 September 1954 di New


Delhi dikeluarkan Pernyataan Bersama Indonesia-India yang menekankan
kembali perlunya diselenggarakan konferensi negara-negara Asia Afrika yang
akan bermanfaat bagi usaha menunjang perdamaian dunia serta mengadakan
pendekatan-pendekatan mengenai masalah-masalah yang sedang dihadapi.
Setelah berkunjung ke India, Ali Sastroamidjojo mengunjungi Burma. Pada akhir
kunjungannya dikeluarkan pula pernyataan bersama. Pernyataan tersebut
menjeslakan bahwa Perdana Menteri Burma juga menganggap bahwa Konferensi
Asia Afrika perlu dan akan bermanfaat bagi perdamaian dunia (Poesponegoro &
Notosusanto, 2010, hlm. 330).

Kunjungan Ali Sastroamidjojo ke beberapa negara di Asia memunculkan usulan


perlu diadakannya suatu konferensi lagi. pada tanggal 28-29 Desember 1954
diadakan suatu konferensi yang disebut Konferensi Lima Negara atau yang dikenal
dengan Konferensi Panca Negara di Bogor (Suganda, 2008, hlm. 348). Negara

7
peserta pada konferensi ini merupakan peserta yang sama pada Konferensi Colombo.
Pada wakil dari lima negara sepakat untuk mempersiapkan pertemuan atau
konferesni yang lebih besar yang meliputi negara-negara Asia Afrika (Suwondo,
1981, hlm. 214). Selain itu, diputuskan 25 negara yang diundang, namun kemudian
satu negara menolak, yakni Federasi Afrika Tengah (Central African Federation)
(Suganda, 2008, hlm. 348). Federasi Afrika Tengah menolak undangan karena
pemerintahannya masih dikuasai oleh orang-orang kulit putih bekas penguasa-
penguasa kolonial (Kementerian Luar Negeri Indonesia, 2012, hlm. 528).
Ricklefs (2011, hlm. 373) menyebutkna bahwa di antara negara-negara besar
Afrika dan Asia hanya kedua Korea, Israel, Afrika Selatan, dan Mongolia Luar lah
yang tidak diundang. Kritikan tidak diundangnya Australia oleh Partai Buruh
Australia membuat negara itu kecewa. Mereka menganggap bahwa negara mereka
masih berada di kawasan Asia. Sikap tidak mengundang Australia dalam konferensi
Asia Afrika dianggap oleh mereka karena perbedaan warna kulit. Akan tetapi, dalam
Konferensi Bogor hal itu tidak dibicarakan dan jika dibicarakan pun para peserta
konfernensi mengetahui bahwa tuan Casey seorang anggota penting dalam kabinet
Menzies menyatakan Australia sudah cukup memiliki saluran-saluran sendiri untuk
mengadakan hubungan dengan negara-negara Asia (Kementerian Luar Negeri
Indonesia, 2012, hlm. 527). Oleh karena itu, Australia tidak diundang.
Terdapat perdebatan diantara para delegasi terhadap undangan untuk China.
Akan tetapi pada akhirnya Cina diundang dengan didukung oleh pendapat Perdana
Menteri U Nu yang menegaskan bahwa akan sulit bagi Birma untuk turut serta dalam
konferensi Asia Afrika apabila Cina sebagai negara terbesar di Asia tidak diundang
(Kemnetrian Luar Negeri Indonesia, 2012, hlm. 528). Selain itu, Asia tanpa Cina
akan tidak begitu berarti di dalam area politik internasional. Maka akhirnya disetujui
dengan suara bulat untuk mengundang Cina.
Masalah mengenai diundangnya negara yang sedang berkonflik yaitu Vietnam
Utara dan Vietnam Selatan turut dibahas. Para delegasi sepakat bahwa kedua negara
tersebut akan diundang dengan alasan Para Perdana Menteri telah terikat pada
keputusan konferensi Colombo tentang masalah Indo-Cina, sehingga akan janggal

8
rasanya apabila dua negara tersebut sebagai bagian terpenting dari Indo-Cina tidak
turut serta dalam Konferensi Asia Afrika bersama-sama dengan Laos dan Kamboja
(Kementerian Luar Negeri Indonesia, 2012, hlm. 527).
Poesponegoro & Notosusanto (2010, hlm. 330) menyebutkan bahwa pertemuan
tersebut juga telah mengajukan suatu rekomendasi yaitu:
1. Mengadakan Konferensi Asia Afrika di Bandung dalam bulan April 1955.
2. Menetapkan kelima negara peserta Konferensi Bogor sebagai negara-negara
sponsor.
3. Menetapkan 25 negara-negara Asia Afrika yang akan diundang.
4. Menentukan empat tujuan pokok dari Konferensi Asia Afrika yaitu:
a) Memajukan kemauan baik dan kerja sama antara bangsa-bangsa Asia Afrika
dalam menjelajah dan memajukan kepentingan-kepentingan bersama mereka
serta memperkukuh hubungan persahabatan dan tetangga baik.
b) Meninjau masalah-masalah hubungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan dari
negara-negara yang diwakili.
c) Mempertimbangkan masalah-maslaah keperntingan khusus dari bangsa-
bangsa Asia Afrika, seperti masalah kedaulatan nasional, rasialisme, dan
kolonialisme.
d) Meninjau kedudukan Asia Afrika dan rakyatnya, serta memberikan
sumbangan yang dapat mereka berikan dalam usaha memajukan perdamaian
dan kerja sama dunia.
C. Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika
Indonesia dipercaya sebagai penyelenggara teknis konferensi Asia Afrika.
Departemen Penerangan RI (t. t., hlm. 39) menyebutkan bahwa sebagai
penyelenggara teknis Konferensi Asia Afrika maka Pemerintah Indonesia menjelang
permulaan bulan April 1955 telah mengundang semua ketua-ketua delegasi negara
peserta ke Jakarta untuk membicarakan soal-soal prosedur dan agenda konferensi.
Hasil-hasil pembicaraan informal itu mencapai persetujuan bulat mengenai beberapa
hal diantaranya yaitu:
1. Yang akan dipilih sebagai ketua ialah Perdana Menteri Indonesia.

9
2. Rules of procedure tidak disusun tersendiri, melainkan rules of procedure yang
sederhana mungkin berdasarkan cara-cara bersidang yang lazim dipakai dalam
konferensi internasional.
3. Dalam konferensi tidak akan diadakan pemungutan melainkan keputusan
senantiasa harus diambil atas kata sepakat (consensus of opinion) dari seluruh
konferensi.
4. Sekretariat Bersama selama konferensi akan meneruskan pekerjaan sebagai
Sekretariat Konferensi dalam bentuk dan susunan yang sama.
5. Sebagai acara ditentukan lima pokok soal ialah:
a) Kerjasama ekonomi.
b) Kerjasama kebudayaan.
c) Hak-hak azasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri (di dalamnya
termasuk soal Palestina dan Rasialisme).
d) Masalah bangsa-bangsa yang tidak merdeka (di dalamnya termasuk soal
Irian Barat dan soal Afrika Utara).
e) Masalah perdamaian dunia dan kerjasama (di dalamnya termasuk beberapa
segi tentang PBB, soal-soal Indo-Cina, soal Aden, soal pengurangan
persenjataan dan soal senjata pemusnah masal).
Setelah pembicaraan informal melahirkan beberapa aturan dalam konferensi,
maka Konferensi Asia Afrika siap dilaksanakan. Poesponegoro & Notosusanto
(2010, hlm. 330) menyebutkan bahwa pada tanggal 18-25 April 1955
diselenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung dengan dihardiri oleh 24 negara
undangan dan 5 negara pengambil prakarsa. Konferensi tersebut dibuka dengan
resmi jam 09.00 pagi dengan suatu pidato pembuKonferensi Asia Afrikan oleh
Presiden Sukarno (Departemen Penerangan RI, t. t., hlm. 40). Pidato Presiden
Sukarno menimbulkan suasana semangat persahabatan dan persaudaraan diantara
semua negara peserta yang hadir. Isi pidatonya adalah mengingatkan bahwa
kolonialisme belum mati (Poesponegoro & Notosusanto, 2010, hlm. 331).

Suganda (2008, hlm. 348) menyebutkan bahwa

10
Konferensi tersebut diikuti sekitar 600 peserta yang berasal dari 29 negara yang
hadir, termasuk 5 negara sponsor, mewakili hampir 1,5 miliar manusia, atau
sekitar 3/5 penduduk dunia saat itu. Negara-negara yang berasal dari Benua Asia:
Indonesia, Filipina, Kamboja, Thailand, Laos, Vietnam Utara, Vietnam Selatan,
Burma (Myanmar), China, Nepal, Jepang, Sri Lanka, India, Pakistan, Iran,
Afganistan, Irak, Suriah, Yordania, Lebanon, Arab Saudi, Yaman, dan Turki.
Dari benua Afrika, Mesir, Libya, Sudan, Etiopia, Pantai Gading, dan Liberia.
Sebelum konferensi dimulai, dipilih beberapa orang untuk menjadi bagian
pengatur ketika berjalannya konferensi. Departemen Penerangan RI (t. t., hlm. 40)
menyebutkan bahwa Perdana Menteri Indonesia secara aklamasi dipilih oleh sidang
sebagai pemimpin konferensi, juga ketua Komite Konferensi terdiri dari tenaga
Indonesia sehingga susunannya sebagai berikut:
1. Ketua Konferensi: Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.
2. Ketua Rapat para pemimpin Delegasi (Main Committee): Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo.
3. Ketua Komite Ekonomi: Menteri Ir. Rooseno.
4. Ketua Komite Kebudayaan: Menteri Mr. Moh Yamin.
5. Sekretaris Jenderal Konferensi: Roeslan Andulgani.

Terjadi beberapa pendapat yang berbeda antar negara-negara peserta ketika


konferensi sedang berjalan. Beberapa ketua delegasi dalam konferensi itu pada
mulanya tampak gejala-gejala perentangan terutama dari mereka yang pro Barat dan
pro Timur. Kementerian Luar Negeri Indonesia (2012, hlm. 543) menyebutkan
bahwa pada saat berpidato, Perdana Menteri Sir John Kotelawala menyampaikan
Konferensi Asia Afrika harus juga dengan tegas mengutuk kolonialisme yang
dilakukan Uni Sovyet terhadap bangsa-bangsa Eropa Timur. Pidatonya tersebut
mengundang pertentangan antar para ketua delegasi. Akan tetapi, Pimpinan
konferensi berusaha demikian rupa sehingga pertentangan itu tidak berkembang
menjadi pertentangan yang riil. Departemen Penerangan RI (t. t., hlm. 40
menyebutkan bahwa selama konferensi, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo
sebagai pimpinan konferensi selalu berpegang pada pedoman yaitu:

11
a. Para pembicara diberikan kebebasan sebesar-besarnya dalam mengemukakan
pendapatnya masing-masing.
b. Sekalipun demikian pimpinan konferensi tetap menjaga untuk sedapat mungkin
menjauhkan pembicaraan pertentangan dengan tujuan membawa konferensi ke
arah suasana yang mendamaikan (conciliatory).

Meskipun terjadi berbeda pendapat diantara beberapa negara peserta, konferensi


tersebut berlangsung secara lancar. Hingga pada akhirnya tercipta beberapa
kesepakatan diantara mereka. Hal ini tidak lepas dari peran ketua konferensi yaitu
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang tetap menjaga jalannya sidang.

Peran Indonesia sebagai pelaksana teknis Konferensi Asia Afrika tentunya harus
menyiapkan berbagai sarana dan prasarana bagi kelancaran konferensi. Salah
satunya adalah menyiapkan fasilitas dan akomodasi bagi negara peserta. Departemen
Penerangan RI (t. t., hlm. 348) menyebutkan bahwa
para peserta tiap negara ditempatkan di Hotel Savoy Homaan, Hotel Preanger
dan 12 hotel lainnya, serta perumahan perorangan dan pemerintah. Perdana
Menteri RRC Chou En Lai ditempatkan di Villa Merah. Untuk keperluan
transportasi, digunakan 143 mobil, 30 taksi, 20 bus dengan sekitar 230 sopir dan
menghabiskan 350 ton bensin setiap hari serta cadangan 175 ton.
Selain itu, beberapa alasan dipilihnya kota Bandung sebagai tempat diadakannya
konferensi adalah letaknya tidak jauh dari ibu kota, terdapat bangunan yang cukup
representatif untuk menyelenggarakan konferensi yang bertaraf internasional seperti
hotel-hotel dan sarana komunikasi (Suwondo, 1981, hlm. 215). Kota Bandung juga
memiliki hawa yang sejuk dan di sekitarnya berdiri tempat-tempat dengan
pemandangan alamnya yang indah. Penduduk kota Bandung juga ikut berperan aktif
dalam keberhasilan persiapan terselenggaranya konferensi.
Gedung Medeka dan Gedung Dwi Warna menjadi dua gedung utama yang
menjadi pusat diselengarakannya Konferensi Asia Afrika. Suganda (2008, hlm. 348)
menyebutkan bahwa
seluruh kegitaan konferensi diselenggarakan di Gedung Concordian dan Gedung
Dana Pensiun. Namun, ketika melakukan pemeriksaan persiapan terakhir pada
tanggal 17 April 1955, Bung Karno meresmikan penggantian nama kedua
gedung tersebut menjadi Gedung Merdeka dan Gedung Dwiwarna. Sedangkan

12
jalan yang membentang di depan Gedung Merdeka yang sebelumnya bernama
Jalan Raya Timur diubah menjadi Jalan Asia Afrika.
Pada awalnya Gedung Concordian bukanlah milik pemerintah Indonesia. Gedung
Concordian pada saat itu adalah milik perkumpulan orang-orang Belanda untuk
berekreasi. Akan tetapi pada akhirnya gedung tersebut dibeli oleh pemerintah
Indonesia dan diubah namanya menjadi Gedung Merdeka (Kementerian Luar Negeri
Indonesia, 2012, hlm. 529). Selain itu, Gedung Dwiwarna pada mulanya adalah
Gedung Dana Pensiun menjadi tempat dinas dari Kementerian Keuangan. Akan
tetapi. dengan usaha Srigati Santoso yang merupakan Kepala Dinas Pekerjaan
Umum Jawa Barat merubah gedung tersebut menjadi tempat yang layak untuk
diselengarakan konferensi tingkat internasional (Kementerian Luar Negeri Indonesia,
2012, hlm. 529). Usaha Srigati Santoso termasuk juga merubah gedung Concordia
sama dengan gedung Dana Pensiun.
Masalah keamanan pada saat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika terjaga
dengan baik. Meskipun pada saat itu Indonesia khusunya daerah Jawa Barat terdapat
kelompok radikal DI/TII. Terjaganya situasi yang kondusif dan aman ini tidak
terlepas dari peran TNI dan Kepolisian. Kementerian Luar Negeri Indonesia (2012,
hlm. 531-532) menyebutkan bahwa petugas-petugas tentara dan polisi pun telah
siap di situ menjaga tata-tertib dan keamanan para delegasi dari Asia dan Afrika.
Tetapi walaupun begitu banyak orang berjubel-jubel, petugas dari petugas-petugas
Kepolisian Negara untuk diperbantukan kepada tiap ketua delegasi. Selain itu,
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menjamin secara penuh keamanan para delegasi
ketika mereka ada di Indonesia. Situasi keamanan sempat diragukan salah satunya
oleh delegasi negara Arab. Mereka mengajukan permintaan kepada Perdana Menteri
Ali Sastroamidjojo untuk membawa pengawal pribadi, lengkap dengan senjatanya.
Akan tetapi, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo percaya penuh pada kesanggupan
TNI dan Kepolisian untuk menjaga keamanan mereka selama di Indonesia
(Kementerian Luar Negeri Indonesia, 2012, hlm. 532). Jika Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo mengabulkan permintaan tersebut, maka hal itu dapat merendahkan
martabat negara Indonesia yang diragukan kekuatan tentara dan kepolisiannya.

13
Sebagai negara yang berusia baru sepuluh tahun, keberhasilan penyelenggaraan
konferensi tersebut merupakan prestasi luar biasa. Pemerintah Indonesia berhasil
menyiapkan berbagai keperluan yang berkaitan dengan konferensi dengan cukup
baik. Meskipun pada saat itu fasilitas yang dimiliki kota Bandung masih serba
terbatas. Peran dari Gubernur Sanusi Harjadinata sebagai pimpinan Panitia Persiapan
Konferensi Asia Afrika di Bandung turut memberi bantuan yang besar dalam
mempersiapkan konferensi (Kementrian Luar Negeri Indonesia, 2012, hlm. 528). Hal
ini menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah Indonesia beserta elemen masyarakat
yang mendukung jalannya konferensi menyatukan komitmen untuk mensukseskan
konferensi. Selain itu, suksenya penyelenggaraan konferensi Asia Afrika
mengangkat prestise negara Indonesia dimata dunia. Riklefs (2011, hlm. 373-374)
menyebutkan bahwa Sukarno dan Ali Sastroamidjojo sangat puas dan memperoleh
prestise di dalam negeri karena dipandang sebagai pemimpin-pemimpin dunia Afro-
Asia.
D. Hasil Konferensi Asia Afrika
Konferesni Asia Afrika menghasilkan beberapa dokumen kesepakatan antar
negara peserta yaitu Basic Paper on Racial Discrimination dan Basic Paper on
Radio Activity (Poesponegoro & Notosusanto, 2010, hlm. 331). Kedua dokumen
tersebut sering disebut dengan nama Dasasila Bandung. Suganda (2008, hlm. 349)
menyebutkan isi Dasa Sila Bandung yaitu:
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta azas-azas yang
termuat Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
2. Menghormati kedaulatan dan integrasi teritorial semua bangsa-bangsa.
3. Mengenai persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa-
bangsa besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam negara
lain.
5. Menghormati hak-tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara
sendirian atau kolektif yang sesuai dengan piagam PBB.

14
6. a. Tidak mempergunakan peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi
kepentingan khusus dari salah satu negara dari negara-negara besar.
b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan
kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdeKonferensi Asia Afrikan
politik semua negara.
8. Menyelesaikan segala perselisihan-perselisihan internasional dengan jalan damai,
seperti perundingan, persetujuan, arbitrase, atau penyelesaian hakim ataupun
lain-lain cara damai lagi menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan yang
sesuai dengan piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Semangat Dasa Sila Bandung telah membakar semangat bangsa-bangsa Asia


Afrika yang belum merdeka untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah.
Sehingga sejak itu, bermunculan negara-negara merdeka. Selain itu, isi dari Dasasila
Bandung menjunjung prinsip memelihara perdamaian dunia dan menyelesaikan
konflik dengan cara damai. Hal ini berkaitan dengan tujuan untuk menghormati hak
asasi manusia yang termuat dalam Piagam PBB.

Selain menghasilkan Dasasila Bandung, terdapat beberapa kesepakatan dalam


bidang ekonomi, kebudayaan, hak asasi manusia, kolonialisme, dan masalah lainnya.
Ekadjati (1985, hlm. 149-151) menyebutkan beberapa kesepakatan dalam bidang
ekonomi yaitu:

1. Menyadari pentingnya meningkatkan perkembangan ekonomi di kawasan Asia


Afrika. Saran-saran mengenai kerjasama ekonomi di antara negara-negara
peserta tidaklah berarti menghalangi baik hasrat maupun kebutuhan untuk
bekerjasama dengan negara-negara di luar wilayah ini, termasuk penanaman
modal asing.

15
2. Negara-negara peserta sepakat untuk saling memberikan bantuan teknis sejauh
yang mungkin dilaksanakan, dalam bentuk tenaga-tenaga ahli, para peserta
latihan, proyek-proyek pendahuluan dan peralatan untuk keperluan
pameran/demonstrasi, pertukaran pengetahuan dan pendirian tempat-tempat
latihan dan penelitian nasional, dan kalau mungkin secara wilayah untuk
menyebarkan pengetahuan dan keterampilan teknis bekerja sama dengan
lembaga-lembaga internasional yang ada.
3. Menyarankan pembentukan sedini mungkin Dana Khusus PBB untuk
pembangunan ekonomi; alokasi sebagian besar sumber-sumber Bank
Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan negara-negara Asia Afrika;
pembentukan segera Lembaga Keuangan Internasional yang kegiatan-
kegiatannya meliputi upaya penanaman modal yang adil; dan mendorong
peningkatan terbentuknya perusahaan-perusahaan patungan di antara negara-
negara Asia Afrika sendiri, sejauh hal ini mengembangkan kepentingan mereka
bersama.
4. Menyarankan agar negara-negara Asia Afrika menganekaragamkan perdagangan
ekspor mereka dengan mengolah bahan mentah mereka sebelum dijual, sejauh
hal itu secara ekonomis mendorong pertukaran delegasi-delegasi perdagangan
dan kelompok-kelompok pengusaha; mendorong pertukaran informal dan contoh
demi kemajuan perdagangan antar wilayah; serta memberikan fasilitas wajar
untuk perdagangan transit negara-negara yang tidak memiliki pelabuhan.
5. Menganggap perkapalan itu sangat penting dan menyatakan kecemasan, bahwa
perusahaan-perusahaan perkapalan mengubah tarif angkutan mereka dari waktu
ke waktu, yang seringkali merugikan negara-negara peserta (Konferensi Asia
Afrika), Konferensi menganjurkan agar masalah ini dipelajari, dan selanjutnya
mengambil langkah-langkah bersama untuk memperngaruhi perusahaan-
perusahaan perkapalan agar mengambil sikap yang lebih wajar.
6. Menekankan arti pengembangan tenaga nuklir yang khusus untuk maksud-
maksud damai bagi negara-negara Asia Afrika. Konferensi menyebutkan baik
prakarsa negara-negara yang terutama mampu menawarkan keterangan-

16
keterangan yang mereka miliki tentang penggunaan tenaga nuklir bagi tujuan-
tujuan damai; mendesak agar secepatnya dibentuk Lembaga Tenaga Atom
Internasional, yang harus menempatkan perwakilan yang memadai dari negara-
negara Asia Afrika di dalam kekuasaan eksekutif lembaga tersebut; dan
menganjurkan kepada semua Pemerintahan Asia dan Afrika untuk
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya fasilitas latihan dan lain-lain
mengenai penggunaan damai tenaga atom yang ditawarkan oleh negara-negara
yang menjadi sponsor untuk program-program demikian.

Selain itu, Ekadjati (1985, hlm. 152) menyebutkan beberapa kesepakatan dalam
bidang kebudayaan diantaranya yaitu:

1. Memperhatikan kenyataan, bahwa penjajahan masih ada di berbagai bagian dari


Asia dan Afrika, di dalam bentuk apapun juga, serta tidak hanya menghalangi
kerjasama di bidang kebudayaan, akan tetapi juga menindas kebudayaan-
kebudayaan nasional milik rakyat. Keadaan demikian terutama berlaku bagi
Tunisia, Aljazair, dan Maroko yang hak-hak azasi rakyatnya untuk mengkaji
bahasa dan kebudayaannya sendiri telah ditekan. Diskriminasi yang sama berlaku
terhadap orang-orang Afrika dan yang berkulit berwarna di berbagai bagian di
benua Afrika.
2. Mengutuk pelanggaran hak-hak azasi seperti di bidang pendidikan dan
kebudayaan diberbagai bagian dari Asia dan Afrika dengan aneka ragam bentuk
penindasan kebudayaan, terutama mengutuk rasialisme sebagai suatu cara
penindasan kebudayaan.
3. Menganjurkan agar kelompok negara Asia Afrika yang lebih maju di bidang-
bidang pendidikan, ilmu, dan teknik menyediakan fasilitas untuk mendidik para
siswa dan pengikut latihan dari negara-negara yang kurang maju ke dalam
lembaga-lembaga mereka. Fasilitas demikian harus disediakan juga bagi
penduduk Asia dan Afrika yang sampai kini tidak memperoleh kesempatan
pendidikan yang lebih tinggi.

17
4. Merasa bahwa peningkatan kerjasama kebudayaan di kalangan negara-negara
Asia dan Afrika hendaknya diarahkan kepada saling mengenal di antara sesama
negara, pertukaran kebudayaan bersama, dan pertukaran informasi.

Kesepakatan mengenai hak asasi manusia juga turut dibuat oleh negara-negara
Asia Afrika. Kesepakatan tersebut diantaranya yaitu (Ekadjati, 1985, hlm. 153-):

1. Menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap prinsip-prinsip dasar hak-hak azasi


manusia seperti yang tercantum di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
serta memperhatikan Deklarasi Hak-Hak Azasi Manusia Sedunia sebagai
patokan umum keberhasilan bagi semua rakyat dan bangsa.
2. Menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap prinsip menentukan nasib sendiri
segala bangsa dan rakyat seperti yang tercantum di dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan memperhatikan resolusi-resolusi PBB dalam hal hak-hak
segala rakyat dan bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, yang merupakan
pernyataan dalam melaksanakan hak-hak azasi manusia sepenuhnya.
3. Menyesalkan semua kebijakan dan praktek pemisahan dan diskriminasi rasial
yang merupakan landasan pemerintahan dan hubungan sesama manusia yang
dilaksanakan di sebagian besar wilayah di Afrika serta di bagian-bagian lainnya
di dunia. Tindakan demikian tidak hanya sangat bertentangan dengan hak-hak
manusia, akan tetapi juga melangkahi martabat manusia.
4. Menyampaikan rasa simpati yang hangat dan dukungan kepada para korban
diskriminasi rasial yang melakukan perlawanan yang berani, terutama oleh
penduduk keturunan Afrika, India, dan Pakistan di Afrika Selatan; menghargai
mereka yang menyokong perjuangan ini; menegaskan lagi tekad semua rakyat
Asia Afrika untuk menghapus setiap bentuk rasialisme yang mungkin masih ada
di dalam negerinya sendiri; serta berjanji akan menggunakan segenap pengaruh
moral yang dimilikinya terhadap bahaya menjadi korban dari kejahatan yang
sama di dalam perjuangan untuk menghaspuskannya.

18
Selain itu, Konferensi Asia Afrika mendiskusikan banyak masalah rakyat yang
terjajah dan penjajahan serta kejahatan-kejahatan yang timbul dari dijadikannya
banyak rakyat sasaran dari penaklukan, kekuatan, dan pemerasan asing. Ekadjati
(1985, hlm. 153-154) menyebutkan bahwa konferensi menyetujui:
a. Menyatakan bahwa penjajahan dalam segala bentuknya adalah suatu kejahatan
yang segera harus diberhentikan.
b. Menegaskan bahwa menjadikan banyak rakyat sasaran dari penaklukan
kekuasaan dan pemerasan asing adalah melangkahi hak-hak azasi manusia,
bertentangan dengan Piagam PBB dan menghalangi ditingkatkannya kerjasama
dan perdamaian dunia.
c. Menyatakan dukungannya terhadap perjuangan kebebasan dan
kemerdeKonferensi Asia Afrikan bangsa-bangsa yang terajah.
d. Meyerukan kepada semua negara yang berkepentingan agar menyerahkan
kebebasan dan kemerdeKonferensi Asia Afrikan kepada bangsa-bangsa terjajah.

Konferensi Asia Afrika turut membahas mengenai permasalahan di Palestina,


Irian Barat, dan Yaman. Ekadjati (1985, hlm. 154) menyebutkan bahwa

Konferensi menyatakan dukungannya terhadapa hak-hak penduduk Arab


Palestina dan menyerukan agar resolusi tentang Palestina dilaksanakan serta
dicapainya penyelesaian damai persoalan Palestina, mendukung Indonesia dalam
masalah Irian Barat berdasarkan persetujuan-perseutujuan yang bertalian dengan
masalah tersebut antara Indonesia dan Belanda, dan mendukung posisi Yaman
dalam masalah Aden dan bagian-bagian Selatan Yaman yang disebut Protektorat
serta mendesak pihak-pihak yang berkepentingan menyelesaikan pertikaian ini
dengan cara-cara damai.
Konferensi Asia Afrika merupakan kebijakan luar negeri Indonesia yang
menerapkan prinsip membebaskan negara negara di dunia dari penjajahan
(Haryanto, 2014, hlm. 24). Hal ini turut mempengaruhi hasil-hasil kebijakan antar
para delegasi negara dalam Konferensi Asia Afrika.

19
E. Gerakan Non Blok sebagai Implikasi dari Konferensi Asia Afrika

Gerakan Non Blok (GNB) dibentuk awal tahun 1960-an, dipelopori dari negara-
negera merdeka yang memilki tekad kuat dalam melancarkan aksi-aksi politiknya
menghadapi situasi dunia yang ditandai dengan memuncaknya perang dingin antara
blok Barat dengan blok Timur. Lahirnya GNB berkaitan dengan Konferensi Asia
Afrika (KAA) yang dilaksanakan di Bandung pada tanggal 18 April 1955 24 April
1955. KAA dihadiri oleh 29 kepala negara dan kepala pemerintahan dari benua Asia
dan Afrika yang baru saja merdeka dari penjajahan.

Tujuan dari Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Bandung pada saat itu
untuk mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia pada saat itu, serta
merumuskan kebijakan bersama negara pada tatanan hubungan internasional. Selain
itu, konferensi ini juga mengeluarkan resolusi menentang penjajahan, diantaranya
penjajahan Perancis atas Guinea Baru. KAA juga menjadi pendahuluan dari
terbentuknya Organisasi GNB.

Sejak Konferensi Asia Afrika di Bandung ini dilaksanakan, proses pendirian


GNB menjadi kenyataan, dan dalam proses ini tokoh-tokoh yang memegang peran
kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Ghana
Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia
Soekarno, Presiden Yugoslavia Joseph Broz Tito kelima tokoh dunia ini dikenal
sebagai pendiri GNB. Pemikiran-pemikiran kelima kepala negara inilah yang menjadi
asal usul GNB, sehingga kelima kepala negara ini mendapatkan julukan The Initiatif
Five (Inisiatif kelima orang) (Hatta, 1982, hlm. 11).

Pada tahun 1960 kelima tokoh tersebut meyuarakan resolusi untuk meredakan
ketegangan Timur dan Barat di Majelis Umum PBB ke 25, resolusi ini tidak hanya
menjadi isapan jempol belaka ataupun opini yang berkembang di dalam Majelis
Umum PBB ke 25 resolusi segera dilakukan dengan bentuk gerakan yang tak mau
memihak dan terlibat oleh pihak Barat dan Timur. Forum Non Blok ini bisa juga
disebut anak kandung Konferensi Bandung (KAA Bandung) dikarenakan di dalam

20
Konferensi Bandung tersebut ide-ide untuk membentuk GNB muncul menurut Abdul
Gani, Sekjen Konferensi Asia Afrika.

Indonesia yang termasuk sebagai pencetus atau pelopor GNB suatu saat akan
menjadi penyelenggara atau tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi. Non Blok atau
Non Aligned merupakan suatu pandangan politik luar negeri suatu negara dimana
negara tersebut memiliki kebebasan menentukan jalan politiknya sendiri tanpa
mengikut sertakan atau bergantung kepada salah satu blok adidaya yang sedang
bertikai. Penggunaan istilah Non-Alignment (tidak memihak) pertama kali dilontarkan
Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dalam pidatonya di Srilanka tahun 1957
(Kumar, 1997, hlm. 12).

Sejak saat tersebut, non aligned sebagai salah satu dari komponen prinsip dasar
dari GNB dan prinsip non aligned ini dapat diterima secara luas terutama oleh
negara-negara yang baru saja bebas dari penjajahan atau berpisah dari negara asal lalu
mendirikan negara sendiri. GNB dicanangkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) yang dihadiri 25 negara dari Asia, Afrika, Eropa, dan Latin Amerika
diselenggarakan di Biograd (Belgrade), Yugoslavia pada tahun 1961.

Presiden Broz Tito, menjadi pemimpin pertama dalam GNB. Sejak pertemuan
Belgrade tahun 1961. Faktor yang melatarbelakangi GNB ini bukan hanya pertikaian
antara blok Barat dan Timur saja tapi banyak faktor-faktor pendukung dibentuknya
GNB ini diantaranya yaitu:

1. Adanya kecemasan negara-negara yang baru merdeka dan negara yang sedang
berkembang, sehingga negara-negara tersebut menghendaki perdamaian kedua
kubu agar tidak menjadi konflik terbuka atau ketegangan dunia.
2. Dokumen Brioni tahun 1956 yang ditandatangani oleh Presiden Yugoslavia
Joseph Broz Tito, Perdana Menteri India Jawharlal Nehru, dan Presiden Mesir
Abdul Gamal Nasser yang bertujuan mempersatukan negara-negara di dunia
tanpa ada blok baik Barat atau Timur.

21
3. Uni Soviet membangun pangkalan militer di Kuba secara besar-besaran dimana
Uni Soviet mengirim sebagian militer dan persenjataan baik nuklir atau non
nuklir, hal ini menyebabkan Amerika Serikat khawatir akan keamanan
negaranya. Kejadian ini yang dikenal dengan nama Krisis Kuba tahun 1961.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konferensi Asia Afrika menjadi suatu peristiwa sejarah yang mengikat negara-
negara yang ada di Asia dan Afrika dalam satu tujuan yaitu terciptanya suatu dunia
yang damai. Negara-negara tersebut memilih tidak ikut serta memperkeruh suasana
dunia yang tengah panas antara blok barat dan blok timur. Perang dingin antara
kedua blok tersebut dapat mengancam kehidupan manusia di dunia karena adanya
ketakutan akan terjadinya perang nuklir yang akan membawa bencana yang besar.
Oleh karena itu, Konferensi Asia Afrika menjadi jalan negara-negara yang tidak
memihak kedua blok untuk bersatu mencegah terjadinya bencana yang besar akibat
senjata nuklir.

Peran Indonesia dalam terselenggaranya Konferensi Asia Afrika sangatlah


peting. Pada saat itu, Indonesia adalah negara yang baru merdeka sepuluh tahun dan
masih memiliki berbagai persolanan nasional yang belum terselesaikan. Akan tetapi,
hal tersebut bukanlah suatu alasan untuk tidak bisa menyelenggarakan konferensi
dengan sukses. Indonesia memanfaatkan segala kemampuan dan fasilitas yang ada
untuk mensukseskan konferensi. Selain itu, berbagai elemen masyarakat turut aktif
dalam penyelenggaraan acara.

Pada akhirnya Konferensi Asia Afrika melahirkan suatu kesepakatan yang


disebut Dasasila Bandung. Selain itu, tercapai berbegai kesepakatan yang
menyangkut bidang ekonomi, kebudayaan, HAM, dsb. Beberapa inti dari
kesepakatan tersebut adalah menolak segala bentuk tindakan kolonialisme dan
rasialisme yang terjadi di negara-negara Asia dan Afrika serta saling mempererat

23
kerjasama antar negara-negara Asia Afrika. Selain itu, Konferensi Asia Afrika pada
nantinya melahirkan Gerakan Non Blok yang memiliki cita-cita yang sama dengan
semangat Konferensi Asia Afrika.

B. Saran

Konferensi Asia Afrika menjadi peristiwa sejarah bangsa Indonesia yang


memiliki nilai-nilai menjunjung tinggi persamaan dan perdamaian antar bangsa di
dunia. Hal ini menjadi suatu nilai positif yang perlu kita ambil dalam menjalankan
berhidupan berbangsa dan bernegara. Selain menambah pengetahuan mengenai
peristiwa tersebut, terdapat nilai-nilai yang dapat membentuk karakter yang baik dari
peristiwa tersebut. Oleh karena itu, peristiwa tersebut harus dijadikan cerminan oleh
bangsa kita dalam menjalani kehidupan pada masa kini.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumber Buku
Departemen Penerangan RI. (t. t.). Seperempat Abad Konferensi Asia Afrika. Jakarta:
Departemen Penerangan RI.
Ekadjati, E. S. (1985). Himpunan Dokumen Konferensi Asia Afrika. Jakarta: Panitian
Nasional Peringatan 30 Tahun Konferensi Asia Afrika.
Hatta. M. (1982). Indonesia dan Non-Alignment. Jakarta: Bulan Bintang.

Kartodiwirio, S. K. (2006). Bandung: Kilas Peristiwa di Mata Filatelis Sebuah


Wisata Sejarah. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Kementerian Luar Negeri Indonesia. (2012). Tonggak-Tonggak di Perjalananku: Ali
Sastroamidjojo. Jakarta: Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Kumar, R. (1997). Non-Alignment Policy of Indonesia. Jakarta: Centre for Strategic
and International Studies.

Poesponegoro, M. D. & Notosusanto, N. (2010). Sejarah Nasional Indonesia VI.


Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C. (2011). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Suganda, H. (2008). Jendela Bandung: Pengalaman Bersama Kompas. Jakarta:
Kompas.
Suwondo, B. (1981). Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

2. Sumber Jurnal Online

Haryanto, A. (2014). Prinsip Bebas Aktif dalam Kebijakan Luar Negeri Indonesia:
Perspektif Teori Peran. [Online]. Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi, 4 (2),

25
hlm. 17-27. Diakses dari:
https://ojs.unikom.ac.id/index.php/jipsi/article/viewFile/165/168 (5 Juli 2017).

Jismulatif. ( t. t.). Studi Tentang Rasialisme dalam Film The Green Mile.[Online]
Jurnal Ilmu-Ilmu Sejarah, Budaya dan Sosial, hlm. 118-134. Diakses dari :
https://media.neliti.com/media/publications/22971-ID-studi-tentang-rasialisme-
dalam-fikn-the-green-mile.pdf. (22 juli 2017).

Purmintasari, Yulia, D. (2013). NATO: Kajian Implementasi Containment Policy


Bidang Militer di Eropa (1949-1991).[Online]. SOCIA Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial,
10 (2), hlm. 147-156. Diakses dari :
https://journal.uny.ac.id/index.php/sosia/article/viewFile/5352/4655 (22 juli
2017).

3. Sumber Online dan Bentuk Lain

Maya, S. (2016). Blok Barat dan Blok Timur Penyebab Perang Dingin. [Online]
Diakses dari http://guruppkn.com/blok-barat-dan-blok-timur. (22 juli 2017).

26
Lampiran Dokumentasi Konferensi Asia Afrika 1955

27

Anda mungkin juga menyukai