Anda di halaman 1dari 17

PERTEMUAN 3

SUMBER HUKUM KETENAGAKERJAAN

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari materi pada pertemuan ke-3 mahasiswa mampu menjelaskan
sumber hukum ketenagakerjaan di Indonesia dan keterkaitan diantara keduanya.

B. URAIAN MATERI
Dalam memahami sumber hukum terlebih dahulu kita harus memahami definisi atau
pengertian dari sumber hukum itu sendiri. Sumber hukum dapat pula dikatakan sebagai
“asal mulanya hukum” merupakan segala hal yang menimbukan seperangkat aturan
sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat.1 Zevenbergen membagi sumber hukum
menjadi 2 yaitu sumber hukum materiil dan formil, dimana sumber hukum materil
merupakan sumber dari materi hukum tersebut diambil, sedangkan hukum formil
merupakan sumber yang membantu pembentukan dari hukum itu sendiri memperoleh
kekuatan hukum mengikat .2
Berangkan dari 2 pembagian hukum tersebut, dalam konteks Indonesia sumber
hukum materiil adalah Pancasila yang terkandung didalamnya berupa muatan filosofis
bangsa Indonesia, identitas hukum nasional, dan muatan asas-asas fundamental bagi
pembentukan hukum (meta-juris) di Indonesia.3 Pancasila sebagai norma tertinggi yang
menjadi sandaran atau acuan bagi norma-norma hukum dibawahnya yang dalam
pembentukannya telah ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam Negara
Indonesia merupakan grundnorm (norma dasar) sebagaimana teori hukum yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen dan kemudian dikembangkan oleh Nawiasky dengan istilah
yang berbeda yaitu staatfundamentalnornm (norma fundamental negara).4Mengenai
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang ada di Indonesia dilandasi oleh
Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 jo Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 jo Ketetapan
MPR No. IX/MPR/1978.
Norma dasar atau norma fundamental negara ini menjadi induk bagi norma hukum
lain dibawahnya sehingga membentuk sebuah tatanan norma hukum yang bersifat hirarki

1
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2016, hlm. 39
2
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2010, hlm.108
3
Dani Pinasang, Falsafah Pancasila Sebagai Norma Dasar (Grundnorm) dalam Rangka Pengembanan Sistem
Hukum Nasional, Jurnal Hukum UNSRAT, Vol. XX Nomor 3 tahun 2012, Universitas Sam Ratulangi, hlm. 8
4
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Bandung, Nusa Media, 2014, hlm.161

1
dengan pola superordinasi dan subordinasi.5 Hirarki peraturan perundang-undangan
sebagai salah satu sumber hukum formil haruslah mengacu pada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan Yang Telah Diubah Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dalam Pasal 7
ayat (1) telah secara tegas mengatur jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yaitu
terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi,
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Lenih lanjut ayat (2) menyatakan peraturan perundang-
undangan juga mencakup mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat
Selanjutnya Nawiasky berpendapat bahwa norma dalam suatu Negara dapat
dikelompokan menjadi 4 yaitu Grundnorm (Norma Dasar) atau Staatfundamentalnorm
(norma fundamental negara), Staatgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara), Formell
Gesetz (Undang-Undang), dan Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana &
aturan otonom).6 Dalam konteks Hukum Ketenagakerjaan, undang-undang dan aturan
pelaksana dikenal dengan istilah Hukum Ketenagakerjaan Heteronom dan perjanjian kerja,
peraturan perusahaan (PP), dan perjanjian kerja bersana (PKB) dikenal dengan istilah
Hukum Ketenagakerjaan Otonom. Oleh karena itu dikaitkan dengan hirarki peraturan
perundang-undangan dan asas lex superior derogat legi lex inferiori maka dapat
disimpulkan substansi dari Hukum Ketenagakerjaan Otonom tidak boleh bertentangan atau
berkualitas lebih rendah dari apa yang telah diatur dalam Hukum Ketenagakerjaan
Heteronom. Pelanggaran terhadap hal ini melahirkan konsekuensi hukum batalnya
substansi Hukum Ketenagakerjaan Otonom, dan berlakunya Hukum Ketenagakerjaan
Heteronom.
5
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Yogyakarta, PT Kanisius,
2007, hlm. 46
6
Maria Farida Indrati S., Op.Cit., hlm. 44-45

2
Table 3.1
Hirarki Hukum Ketenagakerjaan Dalam Hubungan Hukum Ketenagakerjaan Heteronom Dengan
Hukum Ketenagakerjaan Otonom
Undang-Undang

mengatur substansi yang lebih

Perda Kab/Kot Naker harus mengatur substansi yang


Nomor 13 Tahun

Perjanjian Kerja harus mengatur substansi yang lebih baik dari PP/KB,
PKB harus mengatur substansi yang lebih baik dari Perda

PP harus mengatur substansi yang lebih baik dari Perda Kab/Kot


Perda Prov Naker harus

lebih baik dari Perda Prov Naker dan UU 13/03


2003 Tentang

baik dari UU 13/03

Kab/Kot Naker, Peda Prov Naker, dan UU 13/03


Ketenagakerjaan

Perda Kab/Kot Naker, Peda Prov Naker, dan UU 13/03


(UU 13/03)

Naker, Peda Prov Naker, dan UU 13/03


Peraturan Daerah
Provinsi Tentang
Ketenagakerjaan
(Perda Prov Naker)
Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota
Tentang
Ketenagakerjaan
(Perda Kab/Kot
Naker)
Perjanjian Kerja
Bersama (PKB)
Peraturan
Perusahaan (PP)
Perjanjian Kerja

1. Hukum Ketenagakerjaan Heteronom


Pertama-tama perlu dipahami mengenai pengertian atau definsi dari hukum perburuhan
heteronom. R. Goenawan Oetomo berpendapat hukum ketenagakerjaan heteronom
yaitu aturan ketenagakerjaan yang dibuat oleh pemerintah yang bertujuan memberikan
perlindungan kepada pekerja sebagai pihak yang lemah.7 Keberlakuan dari aturan yang
dibuat oleh pemerintah ini dibuat untuk berfungsi sebagai aturan dasar jaring pengaman
(safety net) bagi pekerja. Hal ini pula membuktikan bentuk dari campur tangan Negara
dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia yang berlaku bagi setiap pekerja dari Sabang
sampai Merauke guna menghindari praktek-praktek perbudakan sebagaimana yang

7
R. Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan & Hukum Perburuhan di Indonesia, Jakarta, Penerbit
Grhadhika Binangkit Press, 2004, hlm 35

3
terjadi di Indonesia sebelum masa kemerdekaan.8 Sebagaimana contoh hukum
ketenagakerjaan yang bersifat hukum ketenagakerjaan heteronom sebagai berikut:
a. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republlik Indonesia
Pada tahun 2018 Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan
Yurisprudensi di bidang hukum ketenagakerjaan khususnya mengenai ketentua
upah proses. Hal ini dilatarbelakangi adanya perbedaan pendapat diantara hakim
baik pada tingkatan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam penerapan ketentuan
mengenai upah proses. Walaupun sebenarnya Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia melalui Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 telah menyatakan bahwa upah
proses wajib dibayar oleh pengusaha kepada pekerja sampai dengan adanya
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, namun melalui
Yurisprudensi Nomor 1/Yur/PHI/2018, Mahkamah Agung Republik Indonesia
menayatakan secara tegas upah proses selama-lamanya 6 bulan.
b. Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Terhadap Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan asas erga omnes9 yaitu merupakan putusan yang sifat keberlakuannya
tidak hanya sebatas pada para pihak yang berperkara (interparties), namun juga
harus ditaati oleh siapapun, maka setiap Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia yang telah menguji dan mengabulkan pasal, ayat, atau frase dalam suatu
pasal atau ayat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan baik yang bersifat membatalkan keberlakuan (null and void)
maupun menafsirkan konstitusional (conditionally constitutional) /inkonstitusional
bersyarat (conditionally inconstitutional) demi hukum menjadi bagian dari hukum
ketenagakerjaan heteronom. Sebagai contoh antara lain:
- Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 37/PUU-IX/2011
tanggal 19 September 2011
Putusan ini telah menafsirkan inkonstitusional bersyarat (conditionally
inconstitutional) frase “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
- Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 13/PUU-XV/2017
8
Mohammad Fandrian Adhistianto, Praktek Pengawasan Perburuhan Dalam Konteks Penegakan Hukum
Perburuhan Heteronom, Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, Volume 8 Nomor 2
Tahun 2017, Universitas Pamulang
9
Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006,
hlm. 39

4
tanggal 7 Desember 2017
Putusan ini telah membatalkan keberlakuan (null and void) frase “kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan.
- Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 100/PUU-X/2012
tanggal 19 September 2013
Putusan ini telah membatalkan keberlakuan (null and void) Pasal 96 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
- Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 012/PUU-I/2003
tanggal 26 Oktober 2004
Putusan ini telah membatalkan keberlakuan (null and void) Pasal 158; Pasal
159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas
pengaduan pengusaha …”; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “….
kecuali Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat
“…. Pasal 158 ayat (1) …”; dan Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “….
Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …” Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan
- Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor: 19/PUU-IX/2011,
tanggal 20 Juni 2012
Putusan ini telah menafsirkan inkonstitusional bersyarat (conditionally
inconstitutional) frase “perusahaan tutup” dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 67/PUU-XI/2013
tanggal 11 September 2014
Putusan ini telah menafsirkan inkonstitusional bersyarat (conditionally
inconstitutional) Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan
- Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 58/PUU-IX/2012
tanggal 16 Juli 2012.
Putusan ini telah menafsirkan inkonstitusional bersyarat (conditionally
inconstitutional) Pasal 169 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
- Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 72/PUU-XIII/2015

5
tanggal 29 September 2016
Putusan ini telah membatalkan keberlakuan (null and void) Penjelasan Pasal 90
ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
- Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 115/PUU-VII/2009
tanggal 10 November 2010
Putusan ini telah membatalkan keberlakuan (null and void) Pasal 120 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, dan
menafsirkan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) Pasal 120 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
- Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 27/PUU-IX/2011
tanggal 17 Januari 2012
Putusan ini menafsirkan inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional)
frase “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66
ayat (22) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
- Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 7/PUU-XII/2014
tanggal 4 November 2015
Putusan ini menafsirkan inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional)
frase “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66
ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Merupakan hukum materiil utama yang menjadi acuan utama dalam
ketenagakerjaan di Indonesia termasuk di dalamnya hubungan kerja. Aturan-aturan
yang ada dalam undang-undang ini diatur lebih lanjut melalui peraturan pelaksana
yang hirarkinya berada di bawah undang-undang, yaitu antara lain:
1) Bagian Pengupahan
1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 Tentang
Pengupahan
2) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2016 Tentang Kebutuhan Hidup Layak
3) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017
Tentang Struktur Dan Skala Upah
4) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2018 Tentang Upah Minimum

6
2) Bagian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
5) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-150/MEN/2000 Tahun 2000
Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang
Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja Dan Ganti Kerugian Di
Perusahaan
6) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-171/MEN/2000 Tahun 2000
Tentang Perbaikan Penulisan Pada Pasal 1 Angka 12 Dan Pasal 18 Ayat (1)
Huruf G, H, Dan I Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia
Nomor Kep-150/Men/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan
Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja Dan
Ganti Kerugian Di Perusahaan
7) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-78/MEN/2001 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Republik Indonesia Nomor Kep-150/Men/2000 Tentang Penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang
Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan
3) Bagian Penyerahan Sebagian Pekerja Pada Perusahaan Lain
8) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Peruahaan Lain
4) Bagian Tenaga Kerja Asing
9) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 Tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Asing
10) Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 228 Tahun
2019 Tentang Jabatan Tertentu Yang Dapat Diduduki Oleh Tenaga Kerja
Asing
d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Merupakan hukum materiil utama yang menjadi acuan utama dalam pelaksanaan
kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di Indonesia. Aturan-aturan yang ada dalam
undang-undang ini diatur lebih lanjut melalui peraturan pelaksana yang hirarkinya
berada di bawah undang-undang, yaitu antara lain:
1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :
Kep.16/Men/2001 Tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor :

7
Per.06/Men/Iv/2005 Tentang Pedoman Verifikasi Keanggotaan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh
e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Merupakan hukum materiil utama yang menjadi acuan utama dalam penyelesaian
perselisihan hubungan industrial di Indonesia. Aturan-aturan yang ada dalam
undang-undang ini diatur lebih lanjut melalui peraturan pelaksana yang hirarkinya
berada di bawah undang-undang, yaitu antara lain:
1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
Per. 31/Men/Xii/2008 Tentang Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial Melalui Perundingan Bipartit.
2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2014 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Mediator Hubungan
Industrial Serta Tata Kerja Mediasi
3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2014 Tentang Honorarium/Imbalan Jasa Bagi Konsiliator Dan
Penggantian Biaya Bagi Saksi Dan Saksi Ahli Dalam Sidang Mediasi Atau
Konsiliasi
f. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang
Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia
Merupakan hukum materiil utama yang menjadi acuan utama dalam pengawasan
ketenagakerjaan di Indonesia. Aturan-aturan yang ada dalam undang-undang ini
diatur lebih lanjut melalui peraturan pelaksana yang hirarkinya berada di bawah
undang-undang, yaitu antara lain:
1) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 Tentang
Pengawasan Ketenagakerjaan
2) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2016
Tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan
g. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Merupakan hukum materiil utama yang menjadi acuan utama dalam keselamatan
dan kesehatan kerja di Indonesia. Aturan-aturan yang ada dalam undang-undang ini
diatur lebih lanjut melalui peraturan pelaksana yang hirarkinya berada di bawah
undang-undang, yaitu antara lain:

8
1) Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Lingkungan Kerja
2) Peraturan Menteri Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Elevator dan Eskalator
3) Peraturan Menteri Nomor 38 Tahun 2016 Tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Pesawat Tenaga dan Produksi
4) Peraturan Menteri Nomor 37 Tahun 2016 Tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Bejana Tekanan dan Tangki Timbun
5) Peraturan Menteri Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Dewan Keselamatan Dan
Kesehatan Kerja.
2. Hukum Ketenagakerjaan Otonom
Uwiyono menyatakan aturan-aturan di bidang ketenagakerjaan yang secara bersama-
sama dibuat oleh pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha, meliputi
perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB). 10
Dasar pelaksanaan hukum ketenagakerjaan otonom dapat berlaku dengan persyaratan
tidak bertentangan atau memiliki kualitas yang lebih baik dari hukum ketenagakerjaan
heteronom. Hubungan superordinasi dan subordinasi antara Undang-Undang Nomor 13
Tahun 20003 Tentang Ketenagakerjaan sebagai hukum ketenagakerjaan heteronom
dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama
(PKB) dapat dilihat pada penjabaran di bawah ini:
a. Perjanjian Kerja
Hubungan kerja sebagai dasar hukum yang mengikat hak dan kewajiban pekerja
dengan pengusaha didasarkan pada sebuah perjanjian kerja. Namun harus
dipahami bahwa perjanjian kerja dapat berbentuk secara tertulis maupun lisan. Pasal
54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah
membatasi materi atau substansi yang diatur dalam peraturan perusahaan tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja bersama
(PKB), dan peraturan perundang-undangan. Hal ini menjadi prinsip utama dalam hal
pembuatan peraturan kerja.
b. Peraturan Perusahaan (PP)
Pasal 111 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan telah membatasi materi atau substansi yang diatur dalam
peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-

10
Aloysius Uwiyono, Asas-Asas Hukum Perburuhan, Jakarta, Rajawali Pers, 2014, hlm7-8

9
undangan. Hal ini menjadi prinsip utama dalam hal pembuatan peraturan
perusahaan (PP).
Pengusaha wajib membuat peraturan perusahaan yang telah disahkan oleh Menteri
Ketenagakerjaan atau Dinas Tenaga Kerja Provinsi/ Kabupaten/ Kota manakala
mempekerjakan pekerja lebih dari 10 orang. Pembuatan peraturan perusahaan (PP)
merupakan kewajiban dari pengusaha, namun perlu dipahami bahwa dalam proses
pembuatannya pengusaha wajib mempertimbangkan saran wakil pekerja apabila di
dalam perusahaan belum ada serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh yang telah ada di dalam Perusahaan tersebut.
Peraturan perusahaan (PP) memiliki keberlakuan dengan jangka waktu maksimal 2
tahun, namun dengan catatan manakala serikat pekerja/serikat buruh dalam masa
keberlakuan peraturan perusahaan (PP) berkehendak untuk melakukan perundingan
perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melakukan perundingan tersebut.
Sebuah peraturan perusahaan (PP) setidak-tidaknya wajib mengatur mengenai hak
dan kewajiban pekerja serta pengusaha, syarat kerja, tata tertib perusahaan, dan
jangka waktu keberlakuan. Pasal 112 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan mewajiban sebuah peraturan perusahaan (PP) untuk
disahkan Menteri Ketenagakerjaan atau Dinas Tenaga Kerja Provinsi/ Kabupaten/
Kota. Proses pengesahan ini bertujuan agar tidak ada satu pun aturan dalam
peraturan perusahaan (PP) yang kualitasnya lebih rendah dari peraturan perundang-
undangan. Setelah peraturan perusahaan (PP) disahkan, maka pengusaha wajib
memberitahukan, menjelaskan, dan memberikan naskah peraturan perusahaan
(PP), dan apabila terdapat kehendak untuk melakukan perubahan maka wajib
didasarkan pada kesepakatan pengusaha dengan wakil pekerja atau pengurus
serikat pekerja/serikat buruh. Ketentuan lebih lanjut mengenai aturan
pelaksanaannya dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.28/Men/Xi/2014 Tentang Tata Cara
Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
c. Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Perihal ini dapat dilihat pada Pasal 116 sampai dengan Pasal 135 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang selanjutnya telah diatur lebih
lanjut mengenai aturan pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.16/Men/Xi/2011 Tentang Tata Cara

10
Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama. Pasal 124 ayat (2) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah membatasi materi atau substansi
yang disepakati dalam perjanjian kerja bersama (PKB) tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini menjadi prinsip utama dalam hal
pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB).
Perjanjian kerja bersama (PKB) dibuat oleh pengusaha bersama-sama dengan
serikat pekerja/serikat buruh yang telah sah tercatat di Kementerian
Ketenagakerjaan atau Dinas Tenaga Kerja Provinsi/ Kabupaten/ Kota melalui
mekanisme runding atau bipartit. Namun apabila dalam tahapan bipartit tidak
mencapai kesepakatan maka terjadilah peselisihan kepentingan yang
penyelesaiannya harus menggunakan dan merujuk pada Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yaitu tripartit
baik dengan mekanisme mediasi atau arbitrase, dan Pengadilan Hubungan
Industrial sebagai pengadilan yang pertama dan terakhir berwenang untuk
memeriksa dan memutus. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan mewajibkan sedikit-sedikitnya memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja serta serikat pekerja/serikat buruh, jangka waktu dan
tanggal mulai keberlakuannya perjanjian kerja bersama, dan tanda tangan para
pihak pembuat perjanjian kerja bersama (PKB).
Keberlakuan perjanjian kerja bersama (PKB) dibatasi paling lama 2 tahun dan dapat
diperpanjang berdasarkan kesepakatan tertulis dengan serikat pekerja/serikat buruh
dengan jangka waktu 1 tahun atau manakala perundingan perjanjian kerja bersama
(PKB) berikutnya belum selesai maka demi hukum perjanjian kerja bersama (PKB)
yang lama masih berlaku dengan jangka waktu maksimal 1 tahun.
Dalam hal 1 perusahaan terdapat serikat pekerja/serikat buruh, maka ada 3 kondisi
yaitu:
1) Terdapat 1 serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50%
dari total jumlah pekerja dalam 1 perusahaan
Dalam hal 50% pekerja lebih bergabung sebagai anggota di sebuah perusahaan,
maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak menjadi pihak yang
berunding perjanjian kerja bersama (PKB) dengan perusahaan.
2) Terdapat 1 serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota kurang dari 50%
dari total jumlah pekerja dalam 1 perusahaan

11
Dalam hal kurang dari 50% pekerja yang bergabung sebagai anggota di sebuah
perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh wajib mendapatkan dukungan
melalui mekanisme pemungutan suara dari 50% lebih pekerja dari total pekerja
yang ada di perusahaan tersebut.
3) Terdapat lebih dari 1 serikat pekerja/serikat buruh dalam 1 perusahaan
Kondisi ini sebelumnya diatur dalam Pasal 120 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang oleh Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 115/PUU-VII/2009 tanggal 10 November 2010 telah
membatalkan keberlakuan (null and void) ayat (1) dan (2) dan menafsirkan
inkonstitusional bersyarat (conditionally inconstitutional) ayat (3) huruf c Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Table 3.2
Pembatalan keberlakuan (null and void) Pasal 120 ayat (1) dan (2) dan menafsirkan k
Konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) frasa “Dalam hal ketentuan sebagaimana
ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi” Pasal 120 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Pasal 120 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
Indonesia Nomor 115/PUU-VII/2009 tanggal 10
2003 Tentang Ketenagakerjaan
November 2010
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat  Menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2)
lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
buruh maka yang berhak mewakili Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD
pekerja/buruh melakukan perundingan Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
dengan pengusaha yang jumlah  Menyatakan Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang
keanggotaannya lebih dari 50% (lima Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
puluh perseratus) dari seluruh jumlah konstitusional bersyarat (conditionally
pekerja/buruh di perusahaan tersebut constitutional) sepanjang:
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana i) frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak
maka serikat pekerja/serikat buruh dapat terpenuhi, maka...”, dihapus, sehingga
melakukan koalisi sehingga tercapai berbunyi, “para serikat pekerja/serikat buruh
jumlah lebih dari 50% (lima puluh membentuk tim perunding yang
perseratus) dari seluruh jumlah keanggotaannya ditentukan secara
pekerja/buruh di perusahaan tersebut proporsional berdasarkan jumlah anggota
untuk mewakili dalam perundingan masingmasing serikat pekerja/serikat buruh”,

12
dan
ii) ketentuan tersebut dalam angka (i) dimaknai,
dengan pengusaha
“dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana
dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka
dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2)
jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang
tidak terpenuhi, maka para seri-kat
berhak mewakili dalam melakukan
pekerja/serikat buruh membentuk tim
perundingan dengan pengusaha dalam suatu
perunding yang keanggotaannya
perusahaan adalah maksimal tiga serikat
ditentukan secara proporsional
pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat
berdasarkan jumlah anggota masing-
pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya
masing serikat pekerja/serikat buruh
minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh
pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”;
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
115/PUU-VII/2009 tanggal 10 November 2010 telah ditindaklajuti melalui
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
Per.28/Men/Xi/2014 Tentang Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama,
khususnya dalam Pasal 19 yang mengatur manakala dalam 1 perusahaan
terdapat lebih dari 1 serikat pekerja/serikat buruh, maka yang berhak berunding
adalah paling banyak 3 serikat pekerja/serikat buruh yang beranggotakan paling
sedikit 10% dari total pekerja yang ada di perusahaan. Berikutnya terhadap 3
serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki kewenangan untuk berunding
diberikan jumlah paling banyak 9 orang sebagai Tim Runding serikat
pekerja/serikat buruh dengan rumusan pembagian jatah anggota tim Perunding
berdasarkan jumlah anggota terbanyak.
Contoh:
Sebuah perusahaan dengan jumlah total pekerja 100 orang, terdapat 3 serikat
pekerja/serikat buruh yaitu X, Y, dan Z dengan keanggotaan masing-masing
sejumlah 40 orang, 20 orang, dan 20 orang. Pengusaha dengan ke 3 serikat
pekerja/serikat buruh ini sepakat akan melakukan perundingan pembaharuan
perjanjian kerja bersama (PKB)
1) Pertanyaan : Apakah serikat pekerja/serikat buruh X, Y, dan Z berhak
mewakili pekerja untuk melakukan perundingan pembaharuan perjanjian
kerja bersama (PKB)? Bagaimana pembagian anggota Tim Perunding serikat
pekerja/serikat buruh berdasarkan Pasal 19 Peraturan Menteri Tenaga Kerja

13
Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.28/Men/Xi/2014 Tentang
Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta
Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama?
2) Jawab : Serikat pekerja/serikat buruh X, Y, dan Z berhak mewakili pekerja
untuk melakukan perundingan pembaharuan perjanjian kerja bersama (PKB)
karena memiliki anggota lebih dari 10% dari jumlah total pekerja di
perusahaan tersebut. Dengan ketentuan paling banyak Tim Runding
sebanyak 9 orang, maka Serikat pekerja/serikat buruh X, Y, dan Z masing-
masing berhak mengajukan 4 orang, 2 orang, dan 2 orang.
Perlu dipahami bahwa dalam hal 1 perusahaan terdapat lebih dari 1 serikat
pekerja/serikat buruh, maka guna menentukan kebenaran jumlah keanggotaan
dari masing-masing serikat pekerja/serikat buruh tersebut lebih dari 10% dari
jumlah total seluruh pekerja, maka perusahaan dapat meminta verifikasi
keanggotaan dengan didasarkan dan dibuktikan dengan kartu keanggotaan
serikat pekerja/serikat buruh atau jika tidak memiliki kartu keanggotaan maka
didasarkan dan dibuktikan dengan pernyataan secara tertulis dari pekerja serta
kartu pekerja yang bersangkutan. Apabila dalam proses verifikasi keanggotaan
untuk menentukan jumlah anggota Tim Perunding ini terjadi perselisihan, maka
merujuk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Indusrial maka dikkualifikasikan sebagai perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam 1 perusahaan yang penyelesaiannya
harus dilakukan bertahap melalui bipartit, tripartit baik dengan mekanisme
mediasi atau arbitrase, dan Pengadilan Hubungan Industrial sebagai pengadilan
yang pertama dan terakhir berwenang untuk memeriksa dan memutus.
Perjanjian kerja bersama ini wajib untuk didaftarkan di Kementertian
Ketenagakerjaan atau Dinas Tenaga Kerja Provinsi/ Kabupaten/ Kota bertujuan
agar dapat dipastikaannya tidak ada satu pun aturan dalam perjanjian kerja
bersama (PKB) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

C. LATIHAN SOAL
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hubungan superordinasi dan subordinasi antara
hukum ketenagakerjaan heteronom dengan hukum ketenagakerjaan otonom?
2. Jelaskan dan berikan contoh apa yang dimaksud dengan hukum ketenagakerjaan
heteronom?

14
3. Jelaskan dan berikan contoh apa yang dimaksud dengan hukum ketenagakerjaan
otonom?
4. Jelaskan keberlakuan Pasal 120 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
115/PUU-VII/2009 tanggal 10 November 2010?
5. .Sebuah perusahaan dengan jumlah total pekerja 15.000 orang, terdapat 3 serikat
pekerja/serikat buruh yaitu X, Y, dan Z dengan keanggotaan masing-masing sejumlah
7000 orang, 5000 orang, dan 3000 orang. Pengusaha dengan ke 3 serikat
pekerja/serikat buruh ini sepakat akan melakukan perundingan pembaharuan perjanjian
kerja bersama (PKB)
Dari soal cerita tersebut di atas, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
a. Apakah serikat pekerja/serikat buruh X, Y, dan Z berhak mewakili pekerja untuk
melakukan perundingan pembaharuan perjanjian kerja bersama (PKB)?
b. Bagaimana pembagian anggota Tim Perunding serikat pekerja/serikat buruh
berdasarkan Pasal 19 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor Per.28/Men/Xi/2014 Tentang Tata Cara Pembuatan Dan
Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian
Kerja Bersama?

D. REFERENSI
Buku
Aloysius Uwiyono, Asas-Asas Hukum Perburuhan, Jakarta, Rajawali Pers, 2014
Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Bandung,
Citra Aditya Bakti, 2006
Dani Pinasang, Falsafah Pancasila Sebagai Norma Dasar (Grundnorm) dalam Rangka
Pengembanan Sistem Hukum Nasional, Jurnal Hukum UNSRAT, Vol. XX Nomor 3
tahun 2012, Universitas Sam Ratulangi, hlm. 8
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Bandung, Nusa Media, 2014
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan),
Yogyakarta, PT Kanisius, 2007
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2016
R. Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan & Hukum Perburuhan di Indonesia,
Jakarta, Penerbit Grhadhika Binangkit Press, 2004
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2010

15
Online Journal System (OJS)
Mohammad Fandrian Adhistianto, Praktek Pengawasan Perburuhan Dalam Konteks
Penegakan Hukum Perburuhan Heteronom, Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika
Masalah Hukum dan Keadilan, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2017, Universitas
Pamulang

Peraturan Perundang-Undangan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. XX/MPRS/1966
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. V/MPR/1973
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. IX/MPR/1978.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, LN Nomor 39 Tahun
2003
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, LN Nomor
131 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, LN Nomor 6 Tahun 2004
Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang
Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 No. 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh
Indonesia, LN Nomor 4 Tahun 1951
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, LN dan TLN Tahun 1972
yang telah dicetak ulang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, LN Nomor 82 Tahun 2011
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, LN Nomor 183 Tahun 2019
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
Per.28/Men/Xi/2014 Tentang Tata Cara Pembuatan Dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan Serta Pembuatan Dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama

Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 37/PUU-IX/2011 tanggal 19
September 2011

16
Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 13/PUU-XV/2017 tanggal 7
Desember 2017
Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 100/PUU-X/2012 tanggal 19
September 2013
Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 26
Oktober 2004
Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor: 19/PUU-IX/2011, tanggal 20
Juni 2012
Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 67/PUU-XI/2013 tanggal 11
September 2014
Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 58/PUU-IX/2012 tanggal 16
Juli 2012.
Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 72/PUU-XIII/2015 tanggal 29
September 2016
Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 115/PUU-VII/2009 tanggal
10 November 2010
Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17
Januari 2012
Putusan Mahkamah Konstitusional Republik Indonesia Nomor 7/PUU-XII/2014 tanggal 4
November 2015

17

Anda mungkin juga menyukai