Anda di halaman 1dari 71

TINJAUAN

EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL


Permintaan Domestik Menopang Pertumbuhan Ekonomi

EDISI III 2019

Ulasan Khusus:
Kajian Alternatif Sumber Pembiayaan Jangka Panjang Melalui Dana Pensiun

Edisi Triwulan II 2018 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 1


Diterbitkan oleh:
Badan Kebijakan Fiskal

Pengarah:
Kepala Badan Kebijakan Fiskal

Penanggung Jawab:
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro

Redaktur Pelaksana:
Sekretaris Badan, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi
Makro, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, Kepala Pusat Kebijakan Sektor
Keuangan

Editor:
Andriansyah, Brian Thomas, Endang Larasati, Evy
Mulyani, Ronald Yusuf, Thomas N.P.D Keraf, Wahyu
Utomo, Widiyanto, Yoopi Abimanyu
Edisi III 2019
Foto Sampul : Pasar Kain Dewan Redaksi:
Abdul Aziz, Achmad Budi S., Ahmad Wira Kusuma,
Aktiva Primananda, Ali Moechtar, Alfan Mansur, Asep
Nurwanda, Dwi Anggi Novianti, Immanuel Bhekti H.,
Tinjauan Kebijakan Fiskal diterbitkan oleh
Indra Budi Sucahyo, Pipin Prasetyono, Putri Rizki
Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan,
Yulianti, Raditiyo Harya P., Rahadian Zulfadin, Roni
dengan periode publikasi triwulanan dan
Parasian, Tuti Sarinigsih Budi Utami, Yasir Niti
memuat mengenai perkembangan kebijakan
ekonomi, fiskal, dan keuangan terkini.
Samudro

Desain Grafis:
Abraham Putra Agung, Arif Taufiq, Bramantiyo,
Fatima Medina Septiyanti

Kontributor:
Affan Hanif Imaduddin, Agrevinna Beatrice, Ari
Nugroho, Bakhtiar Rifai, Bramantiyo, Dhoni Siamsyah
F.A., Dimas Nurdy, Fatimatus Firda Qomarayanti,
Galuh Chandra Wibowo, Ika Kartika Sari, Indah Kurnia
Junirda, M. Firmansyah Arviandri, Nina Hanifah, Nita
Arbi Yogasworo, Nurul Fatimah, Purwaningtyas
Dewantoro, Restu Rinayanti, Rizal Augusta
Arifiandanu, Rizki Saputri, Widiani Putri, Wignyo
Parasian

Foto Sampul/Foto Ilustrasi:


Bramantiyo

Sekretariat:
Andi Yoga Trihartanto, Bagus Handoko, Puguh Fajar
Triyanto, Suhendi Ery Saputro

Alamat Redaksi:
Gedung R.M. Notohamiprodjo, Jalan Dr. Wahidin Raya
Nomor 1 Jakarta 10710

Situs Web: www.fiskal.kemenkeu.go.id


TINJAUAN
EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL
Edisi III 2019

Edisi Triwulan II 2018 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 3


“Menjadi unit terpercaya dalam
perumusan kebijakan fiskal dan sektor
VISI BKF keuangan yang antisipatif
dan responsif untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia sejahtera.”
KATA PENGANTAR

P
rospek perekonomian global ke depan masih lesu dengan tekanan yang makin
tereskalasi. Tensi perang dagang sempat meningkat awal Agustus lalu dan tidak
menunjukkan tanda-tanda rekonsiliasi dalam waktu dekat. Di Indonesia, dinamika
tersebut sudah mulai terlihat dampaknya pada kinerja investasi dan perdagangan
internasional yang belum memenuhi ekspektasi. Namun demikian, Indonesia mampu menjaga
fundamental makroekonominya tetap sehat dengan pertumbuhan ekonomi terutama
konsumsi domestik yang solid, inflasi yang terkendali, perbankan yang stabil, serta arus modal
yang masih mencatatkan net inflow.

Terjaganya kondisi fundamental tersebut harus terus dipertahankan bahkan ditingkatkan


karena kondisi perekonomian global ke depan semakin tidak pasti. Konsumsi sebagai mesin
penggerak pertumbuhan ekonomi harus terus dijaga seiring dengan upaya mendorong
investasi. Kebijakan fiskal dan APBN harus terus didorong sebagai salah satu instrumen untuk
mendukung upaya tersebut hingga terwujudnya stabilitas ekonomi. Hingga Juli 2019, realisasi
APBN masih menunjukkan kinerja penyerapan yang baik dengan tingkat defisit yang masih
terkendali. Ke depannya, Pemerintah akan berfokus pada akselerasi daya saing dan kualitas
SDM melalui instrumen RAPBN 2020.

Mengambil tema Permintaan Domestik Menopang Pertumbuhan Ekonomi, Tinjauan


Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal Edisi III Tahun 2019 ini berusaha untuk memberi ulasan lebih
terhadap kinerja konsumsi domestik Indonesia yang menjadi penopang di tengah
ketidakpastian global. Dalam edisi ini terdapat tinjauan yang mengulas secara khusus strategi
pembiayaan jangka panjang untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu,
juga terdapat boks yang membahas penurunan angka kemiskinan dan fenomena inverted yield
curve di AS.

Tinjauan ini merupakan terbitan triwulanan yang menyajikan data-data dan informasi terkini
mengenai ekonomi makro, sektor keuangan, dan kebijakan fiskal. Diharapkan, materi yang
terangkum dalam tinjauan ini dapat menjadi referensi bagi para pemangku kepentingan dan
masyarakat luas dalam memahami kondisi ekonomi dan kebijakan fiskal terkini.

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 1


Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada berbagai pihak yang telah mendukung
kelancaran terbitnya tinjauan ini. Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
kami butuhkan untuk perbaikan ke depan. Selamat membaca.

September 2019

Suahasil Nazara
Kepala Badan Kebijakan Fiskal

2 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................................................... 1


DAFTAR ISI ........................................................................................................................................................................ 3
ABREVIASI ........................................................................................................................................................................ 4
SEKILAS PEREKONOMIAN INDONESIA 2019 ................................................................................................. 6
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................................................................... 7
ANALISIS PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO ..................................................................................... 10
A. PERKEMBANGAN EKONOMI GLOBAL ............................................................................................... 12
B. PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN DAN MONETER INDONESIA ........................... 15
C. PERDAGANGAN INDONESIA .................................................................................................................. 21
D. NERACA PEMBAYARAN INDONESIA ................................................................................................ 23
E. PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II 2019 ............................................... 24
F. INFLASI INDONESIA ..................................................................................................................................... 27
G. KINERJA SEKTOR PERBANKAN INDONESIA ................................................................................. 29
ANALISIS KINERJA APBN & KEBIJAKAN FISKAL .................................................................................. 40
A. ANALISIS KINERJA APBN PER JULI 2019 ......................................................................................... 42
B. RAPBN 2020: AKSELERASI DAYA SAING MELALUI INOVASI DAN KUALITAS SDM
MENUJU INDONESIA MAKMUR 2045............................................................................................................. 46
ULASAN KHUSUS: KAJIAN ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN JANGKA PANJANG
MELALUI DANA PENSIUN ..................................................................................................................................... 52
A. LATAR BELAKANG ....................................................................................................................................... 54
B. GAMBARAN UMUM INDUSTRI DANA PENSIUN DI INDONESIA ....................................... 54
C. PERMASALAHAN SAAT INI .................................................................................................................... 54
D. ALTERNATIF KEBIJAKAN ........................................................................................................................ 59
DATA PERKEMBANGAN INDIKATOR EKONOMI MAKRO ................................................................. 63
PERBANDINGAN PENYERAPAN APBN MEI 2018 DAN MEI 2019 .................................................... 64

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 3


ABREVIASI

APBN : Anggaran Pendapatan dan GFC : Global Financial Crisis


Belanja Negara GDP : Growth Domestic Product
AS : Amerika Serikat GWM : Giro Wajb Minimum
ATMR : Aktiva Tertimbang Menurut HBKN : Hari Besar Keagamaan dan
Risiko Nasional
BI : Bank Indonesia HS : Harmonized System
BKF : Badan Kebijakan Fiskal IBS : Industri Manufaktur Besar dan
BOPO : Belanja Operasional terhadap Sedang
Pendapatan Operasional ICT : Information and Communications
BOS : Bantuan Operasional Sekolah Technology
IHPR : Indeks Harga Properti
BPJS : Badan Penyelenggaraan
Residensial
Jaminan Sosial
BPS : Badan Pusat Statistik IHSG : Indeks Harga Saham Gabungan
bps : basis points IKK : Indeks Keyakinan Konsumen
IKNB : Industri Keuangan Non-Bank
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
IMD : International Institute for
CAR : Capital Adequacy Ratio
Management Development
CHT : Cukai Hasil Tembakau IMF : International Monetary Fund
CPO : Crude Palm Oil IPM : Indeks Pembangunan Manusia
DAU : Dana Alokasi Umum IPR : Indeks Penjualan Riil
DJIA : Dow Jones Industrial Average Jamsostek : Jaminan Sosial Tenaga Kerja
DJPK : Direktorat Jenderal
JHT : Jaminan Hari Tua
Perimbangan Keuangan
JP : Jaminan Pensiun
DJS : Dana Jaminan Sosial
K/L : Kementerian/Lembaga
DN : Dalam Negeri
DPK : Dana Pihak Ketiga KI : Kredit Investasi
DPLK : Dana Pensiun Lembaga KIP : Kartu Indonesia Pintar
Keuangan KK : Kredit Konsumsi
DPPK : Dana Pensiun Pemberi Kerja KLCI : Kuala Lumpur Composite Index
DRFI : Disaster Risk Financing and KMK : Kredit Modal Kerja
7DRR : Insurance
7 Days Repo Rate KN : Kekayaan Negara
DTK : Dana Transfer Khusus KND : Kekayaan Negara Dipisahkan
DTU : Dana Transfer Umum KPSH : Ketersediaan Pasokan dan
Stabilisasi Harga
FDI : Foreign Direct Investment
LCC : Low Cost Carrier
FFR : Fed Fund Rate
LDR : Loan to Deposit Ratio
FOB : Freight on Board
LNPRT : Lembaga Non Profit yang
FTSE : Financial Times Stock Exchange
melayani Rumah Tangga
G-20 : Kelompok 20 ekonomi utama

4 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Migas : Minyak dan Gas RHS : Right Hand Side
MODI : Minerba One Data Indonesia RIT : Rencana Investasi Tahunan
MSCI : Morgan Stanley Capital RMB : Renminbi
International : Return on Asset
ROA
mtd : month-to-date RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka
NBER : National Bureau of Economic Menengah Nasional
Research : Rumah Tangga
RT
NIM : Net Interest Margin
S&P : Standard & Poor
NPI : Neraca Pembayaran Indonesia
SBN : Surat Harga Berharga
NPI : Nickel Pig Iron
SD : Sekolah Dasar
NPL : Non-Performing Loan SDA : Sumber Daya Alam
NPWP : Nomor Pokok Wajib Pajak SDM : Sumber Daya Manusia
OECD : Organisation for Economic Co- SJSN : Sistem Jaminan Sosial Nasional
operation and Development
SET : Stock Exchange of Thailand
OJK : Otoritas Jasa Keuangan
SMA : Sekolah Menengah Atas
OP : Orang Pribadi
SML : Special Mention Loan
PARB : Pembiayaan dan Asuransi Risiko SMP : Sekolah Menengah Pertama
Bencana
PDB : Produk Domestik Bruto SPI OJK : Statistik Perbankan Indonesia
Otoritas Jasa Keuangan
Pemda : Pemerintah Daerah
PHK : Pemutusan Hubungan Kerja SPT : Surat Pemberitahuan Tahunan
PIBC : Pasar Induk Beras Cipinang STI : Straight Times Index
PICE-BT : Penerbitan Impor, Cukai, dan TEKF : Tinjauan Ekonomi, Keuangan
Ekspor Berisiko Tinggi dan Fiskal
PKH : Program Keluarga Harapan
The Fed : The Federal Reserves
PMA : Penanaman Modal Asing
TKDD : Transfer ke Daerah dan Dana
PMDN : Penanaman Modal Dalam Negeri Desa
PMI : Purchasing Managers’ Index TMF : Transaksi Modal dan Finansial
PMK : Peraturan Menteri Keuangan TNI : Tentara Nasional Indonesia
PMTB : Pembentukan Modal Tetap UE : Uni Eropa
Bruto
UEA : Uni Emirat Arab
PNBP : Pendapatan Negara Bukan Pajak
UK : United Kingdom
PNS : Pegawai Negeri Sipil
ULN : Utang Luar Negeri
POLRI : Kepolisian Negara Kesatuan
Republik Indonesia US : United States
USD : United States Dollar
PPh : Pajak Penghasilan
UU : Undang-Undang
PPN : Pajak Pertambahan Nilai
WTI : West Texas Intermediate
PT : Perseroan Terbatas
yoy : year-on-year
qoq : quarter on quarter
ytd : year-to-date
RAPBN : Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 5


SEKILAS PEREKONOMIAN INDONESIA
2019

3,49% 5,05%
Inflasi Agustus (yoy) Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II (yoy)
I
6.328 5,39%
Pertumbuhan Konsumsi RT & LNPRT
IHSG per 30 Agustus
Triwulan II (yoy)

Rp14.237 5,01%
Pertumbuhan Investasi Triwulan II (PMTB)
Nilai Tukar per 30 Agustus
(yoy)

5,5% 7,9%
BI 7 Days Reverse Repo Rate
Pertumbuhan Belanja per Juli
(DRR) per 30 Agustus

-8,0% -9,0%
Pertumbuhan Ekspor per Juli (ytd) Pertumbuhan Impor per Juli (ytd)

Rp25,1triliun 1,14%
Defisit Primary Balance per Juli Defisit APBN terhadap PDB per Juli

3,04% USD123,8 miliar


Defisit Transaksi Berjalan Cadangan Devisa Triwulan II
terhadap PDB Triwulan II

6 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


RINGKASAN EKSEKUTIF

T
ekanan ekonomi global masih tinggi yang bersumber dari aktivitas riil yang
melambat serta ketidakpastian perang dagang. Eskalasi perang dagang meningkat
setelah Pemerintah AS kembali meningkatkan tarif impor sebesar 10 persen atas impor
Tiongkok senilai USD300 miliar. Pemerintah AS juga memberikan label currency
manipulator seiring dengan terjadinya pelemahan mata uang Yuan hingga melewati level
RMB7 untuk pertama kalinya sejak 2008, yang dianggap sebagai sebuah langkah disengaja
untuk mendorong daya saing Tiongkok. Berlanjutnya perang dagang dan indikasi ke arah
perang mata uang mendapat respon negatif di pasar keuangan global. Perang dagang juga
semakin menciptakan risiko pada prospek perekonomian AS dan Tiongkok yang sama-sama
menghadapi perlambatan. Kekhawaritan akan terjadinya resesi pada perekonomian AS
bahkan tercermin pada pembalikan kurva imbal hasil (inverted yield curve).

Meskipun di tengah ketidakpastian global, hingga Agustus 2019, pasar keuangan Indonesia
mencatatkan kinerja cukup positif. IHSG tercatat tumbuh sebesar 2,16 persen (ytd, 30 Agustus
2019) dengan dana asing tercatat masuk sebesar Rp59,25 triliun. Sementara itu di pasar Surat
Berharga Negara (SBN), imbal hasil (yield) untuk tenor 10 tahun generik turun sebesar 69 bps
dengan dana asing yang masuk mencapai Rp116,35 triliun. Perkembangan positif tersebut
menopang kinerja nilai tukar Rupiah yang terapresiasi terapresiasi sebesar 1,7 persen (ytd)
hingga Agustus 2019. Guna memberikan stimulasi pada aktivitas perekonomian domestik BI
telah menurunkan suku bunga acuan 7DRR masing-masing sebesar 25 bps pada bulan Juli,
Agustus dan September.

Tingkat permintaan global yang lemah turut memberi imbas pada kinerja perdagangan
internasional Indonesia. Sampai dengan Juli 2019, ekspor Indonesia masih mencatatkan
pertumbuhan negatif sebesar -8,02 persen (ytd). Di sisi lain, pertumbuhan impor juga masih
terkontraksi 9,00 persen (ytd). Dalamnya kontraksi impor disebabkan oleh penurunan impor
migas seiring dengan kebijakan Pemerintah untuk memanfaatkan minyak domestik serta
terbatasnya pertumbuhan kinerja industri dan pertambangan. Dengan perkembangan
tersebut, neraca perdagangan hingga Juli 2019 masih mencatatkan defisit sebesar USD1,90
miliar. Kinerja perdagangan internasional yang belum optimal turut berkontribusi pada
pelebaran defisit transaksi berjalan pada triwulan II 2019 pada tingkat 2,6 persen terhadap PDB.
Meski demikian kondisi eksternal tetap terjaga ditandai dengan cadangan devisa yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri
Pemerintah.

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 7


Kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih sangat stabil ditandai oleh pertumbuhan PDB
yang pada triwulan II tahun 2019 tercatat sebesar 5,05 persen (yoy) serta inflasi yang
terkendali pada sasarannya. Pertumbuhan ini terutama didorong oleh kuatnya kinerja
konsumsi dan dukungan kebijakan belanja Pemerintah yang countercyclical. Tekanan dari
kondisi perekonomian global dan tren penurunan harga komoditas berdampak pada moderasi
kinerja investasi dan pertumbuhan negatif perdagangan internasional. Dari sisi produksi,
kinerja seluruh sektor tumbuh positif, kecuali sektor pertambangan dan penggalian.
Pertumbuhan ekonomi didukung inflasi yang stabil dan berada pada tingkat 2,48 persen (ytd)
atau 3,49 persen (yoy) pada Agustus 2019. Di sisi lain, kinerja industri perbankan Indonesia
terpantau stabil dengan dukungan pertumbuhan aset yang solid dan kinerja intermediasi yang
positif.

Kinerja fiskal dan APBN positif ditandai oleh pertumbuhan positif pada hampir semua
komponen APBN hingga Juli 2019. Pendapatan negara mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,9
persen (yoy) yang didorong oleh pertumbuhan pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Sementara itu, belanja negara tercatat tumbuh sebesar 7,9 persen (yoy) antara lain didukung
peningkatan penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang tumbuh 5,9 persen
(yoy). Dengan risiko global yang semakin meningkat, Pemerintah menerapkan strategi front
loading sehingga pembiayaan tercatat tumbuh sebesar 10,5 persen (yoy). Pemerintah juga terus
melanjutkan strategi pembiayaan dengan risiko minimal dan terkendali, salah satunya dengan
mengoptimalkan pembiayaan dalam negeri. Meski demikian, dampak dari tekanan global turut
mempengaruhi beberapa komponen seperti penerimaan yang bersumber dari impor dan
komoditas.

Dalam rangka akselerasi daya saing Pemerintah mendorong inovasi dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia, termasuk melalui dukungan yang optimal dari kebijakan
fiskal dan APBN di 2020. Pemerintah akan mengedepankan program spending better dalam
rangka peningkatan belanja negara yang lebih berkualitas yang fokus pada program-program
yang memiliki efek pengganda bagi perekonomian nasional. Untuk mendukung program
tersebut, Pemerintah akan melakukan upaya mobilisasi pendapatan Negara yang inovatif, baik
dari sisi perpajakan maupun PNBP. Namun, upaya mobilisasi pendapatan Negara dilakukan
dengan tetap memperhatikan dunia usaha dan kelestarian lingkungan. Defisit RAPBN 2020
ditetapkan sebesar Rp307,2 triliun atau 1,76 persen terhadap PDB. Rasio utang pemerintah juga
akan dijaga pada tingkat yang aman, yakni dibawah 30 persen, atau jauh di bawah tingkat
utang negara-negara lain di dunia.

Dalam rangka mendukung pembiayaan pembangunan yang berkesinambungan, Pemerintah


juga terus mendorong optimalisasi dana pensiun. Untuk dapat memaksimalkan dana kelolaan
dana pensiun sebagai sumber pembiayaan jangka panjang, secara garis besar opsi perbaikan
yang dilakukan adalah melalui optimalisasi pengelolaan aset dana pensiun serta perbaikan
sistem pensiun. Dengan melakukan opsi perbaikan optimalisasi pengelolaan dana pensiun
berupa perubahan pengukuran kinerja manajemen dan meminimalisasi penarikan dana
pensiun sebelum usia pensiun, simulasi menunjukkan bahwa terdapat potensi dana jangka
panjang sebesar Rp226 triliun. Ulasan lengkap mengenai topik ini terdapat pada Bab III TEKF
ini.

8 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 9
BAGIAN I

ANALISIS PERKEMBANGAN
EKONOMI MAKRO

10 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 11
A. PERKEMBANGAN EKONOMI GLOBAL
Ketidakpastian di perekonomian global kembali meningkat yang diakibatkan oleh berbagai
gejolak, terutama perang dagang. Tensi perang dagang kembali tereskalasi akibat pernyataan
Presiden AS yang akan menaikkan tarif tambahan 10 persen atas impor senilai USD300 miliar
dari Tiongkok pada awal Agustus lalu. Tarif tambahan ini rencananya mulai diberlakukan pada
bulan September, meskipun pada akhirnya dilakukan penundaan hingga Desember untuk
beberapa komoditas barang. Tiongkok telah merencanakan untuk melakukan balasan dengan
menaikkan tarif impor dari AS senilai USD75 miliar. Berlanjutnya perang dagang menciptakan
gejolak secara global dan merupakan sebuah langkah mundur dari pertemuan Pemerintah AS
dan Tiongkok sebelumnya dalam forum G-20 Osaka.
Grafik 1. (a) Pergerakan Mata Uang Yuan hingga 30 Agustus 2019; (b) Pergerakan Indeks Saham Negara
Berkembang dan Negara Maju (MSCI Stock Index)
2300 1150
7,5

2200 1100

7
2100 1050

6,5 2000 1000

1900 950
6
1800 Negara Berkembang 900
Negara Maju (RHS)
5,5 1700 850
2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018

2019

9
9

9
19

19

9
9

-1

-1

-1
-1

-1

r-

n-
b-

l
ay
n

g
ar

Ju
Ap
Ja

Fe

Au
Ju
M

(a) (b)

Sumber: Bloomberg

Ketidakpastian yang tercipta pada perekonomian global semakin meningkat setelah Yuan
mengalami pelemahan yang cukup dalam hingga melewati batas RMB7, pertama kalinya
sejak Mei 2008. Pemerintah AS merespon dengan tuduhan bahwa pelemahan Yuan tersebut
merupakan manipulasi untuk meningkatkan daya saing ekspor Tiongkok. Pemerintah AS
memberikan label “currency manipulator” pada Tiongkok yang dapat berujung pada
diberikannya hambatan perdagangan tambahan bagi Tiongkok. AS melihat bahwa Tiongkok
memenuhi tiga kriteria sebagai currency manipulator, yakni surplus transaksi berjalan yang
tinggi, surplus perdagangan dengan AS yang signifikan, serta melakukan intervensi satu arah
di pasar valuta asing.
Berlanjutnya perang dagang dan indikasi ke arah perang mata uang mendapat respon negatif
di pasar keuangan global. Pasar saham global, baik di negara maju maupun berkembang,
sempat mengalami penurunan nilai secara tajam, seperti yang tercermin pada pergerakan MSCI
Stock Index. Mata uang beberapa negara berkembang mengalami depresiasi seiring dengan
keluarnya arus modal dari pasar keuangan negara berkembang. Tingginya gejolak juga
mendorong peningkatan permintaan pada safe haven assets, seperti emas dan Yen Jepang.
Selama Juli-Agustus, harga emas global meningkat sebanyak 10,4 persen, sementara Yen
mengalami apresiasi sebesar 1,5 persen.

12 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Grafik 2. (a) Harga Emas (USD/Troy Ons) Hingga 30 Agustus 2019; (b) Imbal Hasil Surat Berharga
Pemerintah AS
1600 3,5

1400 2,5

1200 1,5

31-Des-16
0,5
1000 31-Des-17
0
8

9
18
8

9
18

19
-1

-1
-1

-1
t-
r-

r-
l

l
n

n
Ju

Ju
Oc
Ap

Ap

1M3M6M
12M
2Y3Y5Y7Y10Y 15Y 20Y 30Y
Ja

Ja

(a) (b)

Sumber: Bloomberg

Isu perang dagang memberikan tekanan tambahan pada prospek ekonomi Tiongkok dan AS,
serta global. Di tengah berlanjutnya moderasi pertumbuhan ekonomi Tiongkok, perang dagang
menciptakan tambahan risiko bagi negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada
triwulan II 2019 berada di tingkat 6,2 persen (yoy), atau melemah dibandingkan triwulan
sebelumnya sebesar 6,4 persen (yoy). Kinerja perdagangan internasional Tiongkok masih lemah
dan indeks manufaktur (Purchasing Manager Index) berada pada level kontraksi. Dalam
proyeksi IMF, pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini diperkirakan akan berada di tingkat
6,2 persen (yoy), dan melambat ke tingkat 6,0 persen (yoy) di 2020.
Grafik 3. (a) PMI Manufaktur Global; (b) PMI Manufaktur Negara Maju Hingga Juli 2019
56 65

54 60

52 55

50
50

49,3
48 AS Uni Eropa
45
PMI Manufacture Index Limit Inggris Jepang
46 Ekspansi ≥ 50
40
Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul
Jul

Jul

Jul
Mei

Mei

Mei
Sep

Sep
Mar

Mar

Mar
Nov

Nov
Jan

Jan

Jan

2017 2018 2019


2017 2018 2019

(a) (b)

Sumber: Bloomberg

Di sisi lain, perekonomian AS juga sedang menghadapi banyak tantangan, termasuk adanya
ancaman resesi seperti yang ditunjukkan oleh kurva imbal hasil yang berbalik (inverted yield
curve). Inverted yield curve adalah kondisi dimana tingkat imbal hasil dimana surat berharga
Pemerintah AS (US Treasury) bertenor pendek berada pada tingkat yang lebih tinggi
dibandingkan tenor jangka panjang, sedangkan dalam kondisi normal terjadi sebaliknya. Hal

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 13


ini umumnya terjadi ketika pasar memperkirakan akan ada pelemahan ekonomi dalam waktu
dekat, sehingga fenomena ini sering dijadikan tolok ukur terjadinya resesi dalam
perekonomian. Beberapa resesi ekonomi AS terdahulu selalu diawali oleh kondisi inverted yield
curve pada jangka waktu 12 bulan sebelum resesi terjadi. Beberapa indikator ekonomi AS
menunjukkan tanda-tanda perlambatan, seperti pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2019
yang berada pada tingkat 2,3 persen (yoy). PMI manufaktur juga menunjukkan perlambatan
sementara ekspor telah terkontraksi sejak April 2019. Kondisi perekonomian yang
menunjukkan pelemahan mendorong The Fed melakukan penurunan suku bunga acuan
sebesar 25 bps menjadi 2-2,5 persen pada Juli 2019. Pasar memperkirakan The Fed akan kembali
melakukan penurunan suku bunga acuan dalam waktu dekat.
Pelemahan aktivitas riil terjadi secara luas di banyak negara maju. Indeks manufaktur di
Inggris, Uni Eropa, dan Jepang telah menunjukkan kontraksi di tengah rendahnya
permintaan dan perdagangan global. Jerman menjadi salah satu negara besar di kawasan
Eropa yang menghadapi tekanan di sektor manufaktur. Indeks PMI manufaktur merosot tajam
ke tingkat 40,5 atau yang terendah sejak krisis keuangan global dan krisis utang Eropa. Selain
akibat permintaan global yang rendah, tekanan di sektor manufaktur Jerman juga sebagai
imbas dari kebijakan pengetatan emisi untuk industri otomotif. Seiring dengan kondisi industri
manufaktur di beberapa negara maju yang juga mengalami kontraksi, PMI manufaktur global
pun pada akhirnya tergerus ke tingkat di bawah 50 pada bulan Juli 2019.
Grafik 4. Indeks Harga Komoditas

160

140

120

100

80

60
Jan-17
Feb-17
Mar-17
Apr-17
May-17
Jun-17

Aug-17
Sep-17
Oct-17

Dec-17
Jan-18
Feb-18
Mar-18
Apr-18
May-18
Jun-18

Aug-18
Sep-18
Oct-18

Dec-18
Jan-19
Feb-19
Mar-19
Apr-19
May-19
Jun-19

Aug-19
Jul-17

Nov-17

Jul-18

Nov-18

Jul-19

Indeks Harga Komoditas Global Makanan dan Pertanian Logam


Minyak Mentah Dunia Batu Bara

Sumber: Bloomberg

Di tengah situasi pelemahan ekonomi, pembuat kebijakan di negara maju diperkirakan akan
mempertahankan kebijakan ekonomi ekspansif. Bank Sentral Eropa (European Central Bank/
ECB) telah mengeluarkan paket kebijakan yang antara lain kembali meluncurkan quantitative
easing melalui pembelian surat utang surat berharga sebesar EUR20 miliar per bulan yang akan
dilakukan mulai November 2019. Selain itu, suku bunga deposito diturunkan dari -0,4 persen
menjadi -0,5 persen. ECB juga menyatakan suku bunga akan dipertahankan pada tingkat saat
ini atau lebih rendah, hingga inflasi mencapai target institusi dan kondisi ekonomi membaik.
Saat ini inflasi di Eropa masih berada di bawah tingkat 2 persen.
Penurunan yang terjadi pada aktivitas perekonomian global dan perlambatan permintaan
juga berimbas pada rendahnya harga-harga komoditas. Secara umum indeks harga komoditas

14 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


global mengalami penurunan pada periode Juli-Agustus khususnya minyak mentah dan
pertanian. Harga minyak yang sempat meningkat akibat peningkatan ketegangan AS dan Iran,
kembal mengalami penurunan di tengah permintaan yang menurun serta komitmen AS untuk
mempertahankan produksi pada level tinggi. Harga komoditas pertanian turun sebagai akibat
dari penguatan dolar AS di tengah tekanan perang dagang yang membuat harga komoditas
pertanian AS tidak kompetitif. Di sisi lain, harga batu bara global sedikit mengalami kenaikan,
meskipun secara umum masih rendah, yang terdorong oleh peningkatan impor batu bara oleh
Tiongkok dan penurunan produksi di AS. Harga nikel juga mengalami kenaikan yang cukup
signifikan seiring dengan adanya rencana pelarangan ekspor nikel mentah oleh Indonesia
sebagai eksportir terbesar di dunia.

B. PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN DAN MONETER INDONESIA

Perkembangan Aliran Modal Asing


Hingga Agustus 2019, pasar keuangan Indonesia mencatatkan kinerja cukup positif. IHSG
tercatat tumbuh sebesar 2,16 persen (ytd, 30 Agustus 2019) dengan dana asing tercatat masuk
sebesar Rp59,25 triliun. Sementara itu di pasar SBN, yield SBN tenor 10 tahun generik turun
sebesar 69 bps dengan dana asing yang masuk mencapai Rp116,35 triliun. Dengan demikian,
jumlah agregat dana asing yang masuk ke pasar modal Indonesia selama periode tersebut
mencapai Rp175,59 triliun. Kuatnya aliran modal yang masuk ke pasar keuangan dalam negeri
menggambarkan persepsi investor yang positif terhadap pasar keuangan dan perekonomian
Indonesia.

Grafik 5. Aliran Dana Asing di Pasar Modal sampai dengan 30 Agustus 2019 (Ytd)

200 45,09 59,25

150
16,27
22,85
100
Rp triliun

25,66 15,88 57,10


137,52 107,29 116,35
50 97,17
87,76
47,66 53,31 170,34
27,10
-

(20,65) (22,70)
(50) (39,10) (49,89)
SBN Saham Total
(100)
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019*

Sumber: Bloomberg, CEIC, diolah

Perkembangan Kinerja IHSG dan Bursa Saham Global


Sepanjang tahun 2019, hampir seluruh bursa saham di seluruh dunia menguat. Penguatan
tertinggi dialami oleh indeks S&P 500 dan indeks Shanghai Tiongkok yang masing-masing
menguat sebesar 16,7 dan 15,7 persen (ytd) sejak awal tahun. Sementara itu, terdapat 3 bursa
saham yang mengalami pelemahan sepanjang tahun 2019, yaitu Kospi Korea, Hangseng

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 15


Hongkong, dan KLCI Malaysia, masing-masing melemah sebesar 3,6 persen, 0,5 persen, dan 4,6
persen (ytd).

Grafik 6. Kinerja Pasar Saham Global sampai dengan 30 Agustus 2019 (% Ytd)

IHSG 2,2%

KLCI Malaysia -4,6%

STI Singapura 1,2%

SET Thailand 5,8%

Nikkei 225 Jepang 3,4%

Hangseng Hongkong -0,5%

Shanghai Tiongkok 15,7%

Kospi Korea -3,6%

MSCI Asia Exc. Jepang 2,1%

S&P 500 16,7%

DJIA 13,2%

FTSE 100 7,1%

-10,0% -5,0% 0,0% 5,0% 10,0% 15,0% 20,0%

Sumber: Bloomberg, diolah

Perkembangan Sektoral IHSG

Tabel 1. Kinerja Pasar Saham Global sampai dengan 30 Sebagian besar sektor IHSG selama
Agustus 2019 (mtm) tahun 2019 mencatatkan kinerja yang
Sektor May Jun Jul Aug Ytd.* positif, khususnya sektor infrastruktur
IHSG -3,81 2,41 0,50 -0,97 2,16 dan konstruksi serta properti.
Keuangan -3,96 4,23 1,37 -4,54 7,79 Beberapa sektor lain yang menopang
Barang Konsumsi -2,67 -2,12 -1,64 1,86 -6,63 kinerja positif IHSG adalah keuangan,
Infrastruktur -1,46 5,25 -0,70 2,03 15,22 perdagangan, dan industri dasar.
Perdagangan -3,50 0,80 1,55 -2,30 2,04 Namun, sektor barang konsumsi, aneka
Industri Dasar -6,81 2,08 7,73 5,59 4,57 industri, pertambangan, pertanian, dan
Konstruksi dan manufaktur mengalami tekanan secara
Properti -5,67 6,25 2,28 0,12 11,56 kumulatif di tahun 2019.
Aneka Industri -2,24 0,09 -4,13 -4,14 -14,89
Sektor Keuangan
Pertambangan -7,30 4,01 -4,64 -1,47 -8,81
Pertanian -2,94 0,58 -3,32 0,03 -13,21 Indeks sektor keuangan pada Agustus
Manufaktur -3,68 -0,70 0,37 1,95 -5,16 2019 tercatat tumbuh negatif sebesar
Sumber: Bloomberg, diolah
4,54 persen (mtm), namun secara
agregat hingga Agustus 2019 kinerjanya masih positif (naik 7,79 persen). Hal ini tercermin
pada kinerja lembaga jasa keuangan yang tumbuh positif pada Juli 2019, antara lain kredit
perbankan yang mencatatkan pertumbuhan 9,58 persen (yoy), Dana Pihak Ketiga (DPK)
perbankan tumbuh sebesar 8,04 persen (yoy), serta Rasio Non-Performing Loan (NPL) perbankan
sebesar 2,55 persen. Pada triwulan III 2019, pertumbuhan kredit perbankan diprediksi akan
meningkat, didorong oleh optimisme terhadap kondisi ekonomi yang menguat serta kondisi
politik yang lebih stabil pasca Pemilu.

16 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Sektor Barang Konsumsi

Kinerja indeks sektor konsumsi mencatatkan pertumbuhan negatif sebesar 6,63 persen (ytd).
Namun, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Juli 2019 berada pada level optimis, yaitu sebesar
124,8. Optimisme ini ditopang oleh ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan
yang membaik. Sementara itu, penjualan eceran pada Juni 2019 menurun 1,8 persen (yoy) dari
bulan sebelumnya. Penurunan itu terutama terjadi pada kelompok Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor dan kelompok Barang Budaya dan Rekreasi sejalan dengan normalnya pola konsumsi
masyarakat pasca bulan Ramadan dan perayaan Hari Raya Idul Fitri. Kinerja saham sektor
konsumsi diperkirakan masih tetap positif karena RAPBN 2020 akan lebih fokus untuk
menopang daya beli masyarakat.

Sektor Infrastruktur

Indeks sektor infrastruktur tercatat tumbuh positif sebesar 15,22 persen (ytd) sepanjang
periode Januari-Agustus 2019. Penguatan pada indeks infrastruktur tidak lepas dari kontribusi
subsektor telekomunikasi dan transportasi yang disebabkan tingginya ekspansi di bidang
transportasi, seperti produsen mobil yang masuk ke Indonesia. Namun, utang tinggi pada
perusahaan infrastruktur menjadikan sektor ini paling rentan jika currency dan trade war terus
berlanjut. Hal tersebut membuat perbankan mulai selektif dalam memberikan pembiayaan dan
mewaspadai sektor-sektor yang dinilai berisiko.

Sektor Konstruksi dan Properti

Indeks sektor konstruksi dan properti mencatatkan kinerja positif sebesar 11,56 persen (ytd).
Kinerja sektor ini terjaga positif meskipun sebagian besar emiten konstruksi membukukan
penurunan pendapatan pada semester I 2019. Selain itu, Survei Harga Properti Residensial BI
mengindikasikan perlambatan kenaikan harga properti residensial pada triwulan II 2019.
Namun, keberhasilan sektor ini tetap tumbuh positif disebabkan solusi Pemerintah untuk
mendorong dan memfasilitasi perusahaan BUMN dalam membangun hunian terjangkau bagi
masyarakat.

Industri Pertambangan

Pada periode Januari hingga Agustus, sektor ini mencatatkan kinerja sebesar negatif 8,81
persen (ytd). Pelemahan pada sektor pertambangan ini didorong oleh sentimen negatif dari
faktor eksternal, yaitu penguatan dolar AS yang membuat harga komoditas global tertekan
serta dampak perang dagang antara AS-Tiongkok yang masih terus berlanjut. Selain itu,
Pemerintah membuat kebijakan ekspor bijih nikel yang akan dihentikan secara efektif per 1
Januari 2020. Salah satu alasannya adalah untuk menjaga cadangan dalam rangka memenuhi
potensi kebutuhan domestik serta mempertimbangkan terus bertambahnya smelter nikel yang
mulai beroperasi di Indonesia. Hal ini diperkirakan berdampak pada penurunan pasokan bijih
nikel global akibat penurunan produksi Nickel Pig Iron (NPI/feronikel berkadar rendah),
terutama ke Tiongkok. Oleh karena itu, sektor pertambangan perlu mendapat perhatian khusus
terkait dengan tingginya resiko potensi pelemahan ekonomi yang terjadi di Tiongkok.

Sektor Pertanian/Perkebunan

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 17


Sektor ini mengalami pertumbuhan negatif sebesar 13,21 persen (ytd) sepanjang Januari
hingga Agustus 2019. Hal ini dipengaruhi oleh keputusan UE yang mengumumkan bahwa
bahan bakar biofuel yang menggunakan minyak kelapa sawit (CPO) diberikan label
unsustainable atau tidak berkelanjutan. Namun, sektor ini tetap mampu memberikan
kontribusi, yaitu melalui peningkatan PDB sebesar 5,41 persen di luar sektor Kehutanan dan
Perikanan pada triwulan II 2019. Peningkatan tersebut merupakan keberhasilan Pemerintah
dalam meningkatkan produksi pertanian, khususnya pada subsektor tanaman pangan,
holtikultura, perternakan, dan perkebunan.

Industri Manufaktur

Indeks sektor manufaktur tercatat tumbuh negatif sebesar 5,16 persen (ytd) hingga Agustus
2019. Hal tersebut sejalan dengan pelemahan pada PMI manufaktur Indonesia yang disebabkan
turunnya permintaan baik dari dalam maupun luar negeri. Pemerintah, BI serta OJK telah
menyepakati enam langkah strategis yang akan ditempuh guna memperkuat kinerja industri
manufaktur yang terkait tentang 1) peningkatan infrastruktur; 2) permudahan perizinan; 3)
peningkatan produktivitas industri; 4) mendukung kelancaran sistem pembayaran
perdagangan internasional; 5) mendorong green financing; dan 6) memfasilitasi negosiasi untuk
menjadi pemasok merk global. Selain itu, disepakati pula strategi pengembangan industri
manufaktur yang didukung keterlibatan aktif pelaku industri.

Perkembangan Pasar SBN

Grafik 7. Perkembangan Yield Curve SBN 2019 (Ytd)

10,00 250
9,00
150
8,00
persen

7,00 50
6,00
(50)
5,00
4,00 (150)
0,1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

tenor, tahun

Perubahan yield ytd (bps, rhs) 28-Dec-18 28-Jun-19 30-Aug-19

Sumber: Bloomberg (diolah)

Di pasar SBN, yield SBN tenor 10 tahun generik turun sebesar 27 bps selama triwulan II 2019
dan turun 4 bps pada triwulan III 2019 (per 30 Agustus). Setelah mencatatkan peningkatan
pada triwulan II 2019, aliran modal asing kembali masuk ke pasar SBN Indonesia sepanjang Juli-
Agustus 2019 (Rp20,84 triliun). Di sisi lain, kepemilikan investor non residen atas SBN tercatat
sebesar Rp1.009,60 triliun atau sebesar 38,45 persen dari total SBN yang dapat diperdagangkan
per 30 Agustus 2019.

Grafik 8. Kepemilikan SBN 2017 – 2018 (a) Desember 2018; (b) Agustus 2019

18 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Perorangan Lainnya
Perorangan Lainnya
Dana 3% 6%
Dana 3% 6% Bank Bank
Pensiun 20% Pensiun 23%
9% 9%

BI BI
11% 7%

Reksadana
Asing Asing
Reksadana 5%
38% 39% Asuransi
Asuransi 5% 8%
8%

(a) (b)

Sumber: DJPPR (diolah)

Turunnya imbal hasil dari surat berharga tenor 10 tahun berdampak pada pasar SBN
Indonesia. Volume perdagangan tercatat sebesar Rp2.625,62 triliun (23,16 persen dibeli oleh
bank dan 69,74 persennya oleh non-bank). Di sisi lain, BI tercatat membeli SBN sebesar
Rp230,75 triliun pada akhir triwulan II 2019 dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah dan ini
membuat kepemilikan BI naik per 30 Agustus 2019 (dari 6,08 persen ke 7,10 persen dalam
periode yang sama). Hal ini tidak terlepas dari operasi moneter BI untuk mempertahankan nilai

Grafik 9. Jumlah Obligasi Korporasi yang Beredar – s.d. akhir Agustus 2019

140,00
120,00
100,00
Rp triliun

80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
Lembaga
Konstruksi Properti dan
Keuangan Bank Telekomunikasi Energi Kertas
bangunan Real Estate
Nonbank
Ags 19 156,68 143,64 37,75 32,55 22,37 18,89 17,26

Jun 19 147,69 142,34 33,37 28,34 22,13 18,51 17,26


Ags 18 151,54 139,67 30,62 5,33 12,01 16,77 12,95

Sumber: KSEI (diolah)

tukar Rupiah melalui pengendalian suplai Rupiah di pasar. Selanjutnya, di pasar primer, rata-rata
penawaran/incoming bid yang masuk selama lelang 2019 tercatat sebesar Rp36,18 triliun. Hal ini
diikuti aktivitas penghimpunan dana dari masyarakat melalui penerbitan surat utang oleh
korporasi yang mengalami pertumbuhan selama 2019.

Perkembangan Rupiah dan Moneter

Grafik 10. Perkembangan Suku Bunga Acuan AS dan Indonesia (%)

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 19


8
FFR 7DDR
5,25
6

4
2
2

0
Apr-16 Aug-16 Dec-16 Apr-17 Aug-17 Dec-17 Apr-18 Aug-18 Dec-18 Apr-19 Aug-19

Sumber: Bloomberg

Pergerakan nilai tukar masih dipengaruhi oleh ketidakpastian pada perekonomian global.
Ketidakpastian tersebut antara lain disebabkan eskalasi perang dagang yang terjadi antara AS
dan Tiongkok. Perang dagang tersebut mengakibatkan arus modal mengalir menuju safe haven
assets dan memberikan tekanan terhadap mata uang negara berkembang. Faktor lain yang
menyebabkan ketidakpastian yakni perubahan arah kebijakan The Fed. Untuk pertama kali
sejak tahun 2008, The Fed menurunkan suku bunga acuannya guna mendorong perekonomian
domestik AS. Padahal, The Fed sebelumnya diperkirakan akan melakukan normalisasi dengan
menaikkan suku bunganya di tahun 2019.

Grafik 11. Perkembangan Nilai Tukar (a) %, Ytd 30 Agustus 2019; (b) %, Mtd 30 Agustus 2019

Thailand
Eropa
Rusia
Jepang
Indonesia
Filipina
Vietnam
Malaysia
Singapura
India
Tiongkok
Brazil
Korsel
Turki
Argentina

-80 -60 -40 -20 0 20 -40 -30 -20 -10 0 10

(a) (b)

Keterangan: Depresiasi Apresiasi

Sumber: Bloomberg

BI juga mulai melakukan pelonggaran kebijakan moneter untuk lebih akomodatif terhadap
pertumbuhan ekonomi domestik. Pada bulan Juli, Agustus, dan September BI menurunkan
suku bunga acuan 7DRR masing-masing sebesar 25 bps. Saat ini, suku bunga 7DRR tercatat
berada pada level 5,25 persen (Grafik 10). Langkah-langkah tersebut ditempuh dengan
mempertimbangkan dinamika perekonomian dunia dan perkiraan inflasi dalam negeri yang
masih terjaga pada level yang cukup rendah dan stabil. Selain itu, sejak 1 Juli, BI juga
memberlakukan ketentuan penurunan GWM sebesar 50 bps untuk menjaga kecukupan

20 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


likuiditas sistem keuangan dalam rangka memberikan dorongan bagi ekspansi kredit
perbankan.

Dengan berbagai dinamika tersebut, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS per 31 Agustus
2019 tercatat sebesar Rp14.237 atau terapresiasi sebesar 1,7 persen (ytd) dibandingkan dengan
akhir tahun 2018. Kinerja nilai tukar Rupiah tersebut relatif lebih baik dibandingkan mata
uang negara berkembang yang didorong oleh kenaikan peringkat utang Indonesia oleh S&P
pada akhir Mei 2019 dan kenaikan peringkat daya saing Indonesia berdasar IMD World
Competitiveness Ranking 2019. Sementara itu, pembelian neto SBN oleh asing pada kurun
waktu Juni-Agustus tercatat mencapai Rp59,4 triliun dan di pasar saham juga tercatat net beli
oleh asing sebesar Rp1,8 triliun.

C. PERDAGANGAN INDONESIA
Sampai dengan Juli 2019, ekspor Indonesia tercatat sebesar USD95,79 miliar dan masih
mencatatkan pertumbuhan negatif sebesar -8,02 persen (ytd). Kondisi tersebut dipengaruhi
oleh perkembangan harga yang cenderung tidak stabil serta penurunan permintaan dari
negara mitra dagang. Harga komoditas seperti batu bara, palm oil dan kernel oil hingga Juli masih
menunjukan tren yang menurun dan hal ini telah berdampak pada terkontraksinya kinerja
ekspor non-migas Indonesia. Hingga Juli 2019, ekspor non-migas tumbuh negatif 6,58 persen
(ytd), sementara ekspor migas terkontraksi sebesar 21,77 persen (ytd). Kondisi ini sejalan dengan
masih berlanjutnya kebijakan pemenuhan kebutuhan migas domestik.
Secara sektoral, ketiga sektor ekspor non-migas masih terkontraksi. Kontraksi terdalam
dialami oleh sektor pertambangan (-17,09 persen, ytd) diikuti oleh sektor manufaktur (-4,28
persen, ytd) dan sektor pertanian (-0,16 persen, ytd). Meskipun terkontraksi, sektor manufaktur
dan sektor pertanian menunjukkan perbaikan. Perbaikan kinerja ekspor sektor pertanian
terutama ditopang oleh meningkatnya ekspor tanaman obat, aromatik dan rempah-rempah
(HS09). Sementara itu, positifnya ekspor pakaian jadi bukan rajutan (HS62) telah mendorong
perbaikan pada ekspor sektor manufaktur. Harga komoditas pertambangan yang masih berada
dalam tren menurun telah berimbas pada kinerja ekspor sektor pertambangan, terutama
ekspor bijih, kerak dan abu logam (HS26) serta bahan bakar mineral (HS27).
Di sisi lain, pertumbuhan impor juga masih terkontraksi, lebih dalam dibandingkan
komponen ekspor. Sampai dengan Juli 2019, impor tercatat sebesar USD97,68 miliar dan
terkontraksi 9,00 persen (ytd). Dalamnya kontraksi impor disebabkan oleh penurunan impor
migas seiring dengan kebijakan Pemerintah untuk memanfaatkan minyak domestik serta
terbatasnya pertumbuhan kinerja industri dan pertambangan. Hal ini berdampak pada
menurunnya impor kebutuhan di kedua sektor.

Grafik 12 Kontribusi Pertumbuhan Komponen Ekspor (Ytd)

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 21


60,0%

40,0%

20,0%

0,0%
Jan-17 Apr-17 Jul-17 Oct-17 Jan-18 Apr-18 Jul-18 Oct-18 Jan-19 Apr-19 Jul-19
-20,0%

-40,0%

Pertanian (ytd) Manufaktur (ytd) pertambangan dll (ytd) Migas (ytd)

Sumber: Badan Pusat Statistik

Lebih jauh, penurunan impor juga terlihat berdasarkan golongan penggunaan. Seluruh
golongan penggunan impor hingga Juli 2019 mencatatkan pertumbuhan negatif, terutama
impor barang konsumsi diikuti dengan bahan baku dan barang modal. Ketiga golongan
penggunaan masing-masing terkontraksi sebesar 10,22 persen (ytd), 9,55 persen (ytd) dan 5,71
persen (ytd). Dari sepuluh komoditas utama non migas, kontraksi terdalam terjadi pada produk
Benda-Benda dari Besi dan Baja (HS73), Bahan Kimia Organik (HS29), serta Kendaraan dan
Bagiannya (HS87).

Grafik 13. Kontribusi Pertumbuhan Komponen Impor (Ytd)

60,0%

40,0%

20,0%

0,0%
Jan-17 Apr-17 Jul-17 Oct-17 Jan-18 Apr-18 Jul-18 Oct-18 Jan-19 Apr-19 Jul-19

-20,0%

-40,0%

Barang Konsumsi (ytd) Bahan Baku (ytd) Barang Modal (ytd)

Sumber: Badan Pusat Statistik

Dengan perkembangan ekspor impor di atas, neraca perdagangan hingga Juli 2019 masih
mencatatkan defisit sebesar USD1,90 miliar. Defisit ini terdiri dari surplus neraca non-migas
sebesar USD3,03 miliar dan defisit neraca migas sebesar USD4,92 miliar. Neraca perdagangan
non migas kumulatif ini masih lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya (3,65 miliar dolar
AS). Belum adanya diversifikasi komoditas ekspor Indonesia dan fokus pengembangan ekspor
Indonesia membuat daya saing di pasar global masih terbatas. Sementara itu, defisit migas
kumulatif menunjukkan perbaikan defisit sekitar USD1,94 miliar (defisit neraca migas

22 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


kumulatif Jan-Jul 2018: USD6,86 miliar), sejalan dengan penurunan harga minyak global sejak
tahun 2018 dan kebijakan pengendalian impor migas.

D. NERACA PEMBAYARAN INDONESIA


Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) di triwulan 2 2019 mencatatkan defisit USD2,0 miliar,
dipengaruhi meningkatnya defisit neraca transaksi berjalan dan penurunan surplus neraca
transaksi modal dan finansial. Peningkatan defisit transaksi berjalan terutama dipengaruhi
oleh pembayaran dividen, dampak perlambatan perekonomian global, serta penurunan harga
komoditas. Namun demikian hal ini masih dapat ditopang oleh surplus neraca transaksi modal
finansial seiring dengan tetap terjaganya persepsi positif investor asing terhadap
perekonomian Indonesia.
Neraca Transaksi Berjalan pada triwulan II tahun 2019 mengalami pelebaran defisit dari
triwulan sebelumnya. Defisit pada triwulan II 2019 sebesar USD8,4 miliar (3,04 persen
terhadap PDB), melebar dibandingkan defisit pada triwulan sebelumnya yang sebesar USD7,0
miliar (2,60 persen terhadap PDB). Peningkatan defisit neraca perdagangan jasa dan
pendapatan primer di tengah anjloknya surplus neraca perdagangan barang memicu kondisi
defisit Transaksi Berjalan yang melebar.

Grafik 14. Neraca Pembayaran Indonesia (miliar USD)

25,00 140
20,00 120
15,00
100
10,00
80
5,00
60
0,00
40
-5,00
-10,00 20

-15,00 0
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2

2016 2017 2018 2019

Transaksi Berjalan (LHS) Transaksi Modal dan Finansial (LHS)

Neraca Keseluruhan (LHS) Cadangan Devisa (RHS)

Sumber: Badan Pusat Statistik

Neraca Perdagangan Barang masih mengalami surplus USD187 juta, nilai surplus yang relatif
kecil pada triwulan II dalam sepuluh tahun terakhir. Rendahnya surplus neraca perdagangan
barang disebabkan oleh peningkatan defisit neraca perdagangan migas yang lebih besar
daripada surplus neraca perdagangan non-migas. Berdasarkan metode FOB, pada triwulan II
2019 surplus non-migas meningkat USD0,1 miliar dibandingkan triwulan sebelumnya. Hal
tersebut mampu menjaga kinerja neraca non migas.
Komponen Pendapatan Primer mengalami peningkatan defisit. Hal ini didorong oleh
pembayaran investasi portofolio yang meningkat dibandingkan triwulan I 2019. Peningkatan
pada komponen ini disebabkan adanya pola tahunan pembayaran dividen oleh korporasi.

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 23


Selain itu, peningkatan pembayaran bunga pinjaman luar negeri juga ikut menyumbang
pelebaran pada defisit pendapatan primer.
Ketidakpastian di pasar keuangan global menyebabkan tekanan pada kinerja pada Transaksi
Modal dan Finansial (TMF) pada triwulan II 2019. Kinerja TMF masih mampu mencatatkan
surplus sebesar USD7,1 miliar (2,5 persen PDB) namun lebih rendah jika dibandingkan triwulan
I 2019 yang sebesar USD9,9 miliar. Tekanan pada TMF terutama bersumber dari turunnya
performa investasi portfolio serta adanya pola musiman pembayaran pinjaman pemerintah
dan swasta yang menyebabkan defisit pada investasi lainnya. Di sisi lain, meningkatnya
surplus investasi langsung mampu menjaga surplus pada TMF. Hal ini menunjukkan perspektif
investor masih tetap positif dalam investasi jangka panjang di Indonesia sejalan dengan
perbaikan iklim investasi yang terus dilakukan.
Posisi cadangan devisa pada akhir Juni 2019 tercatat sebesar USD123,82 miliar, sedikit lebih
rendah dibanding posisi triwulan I 2019 (USD 124,5 miliar). Jumlah cadangan devisa ini setara
dengan pembiayaan 7,1 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri
pemerintah, masih pada tingkat aman di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan
impor. Penurunan cadangan devisa tersebut mengiringi pelemahan nilai tukar yang terjadi
pada periode triwulan II 2019. Nilai tukar rata rata selama triwulan II mencapai Rp14.261 per
dolar AS, melemah 0,9% dibandingkan triwulan I 2019 yang mencapai Rp14.139 per dolar AS.
Namun demikian dapat disampaikan bahwa hingga akhir Juli 2019, posisi cadangan devisa
telah kembali meningkat menjadi USD125,9 miliar.

E. PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II 2019


Perekonomian Indonesia pada triwulan II tahun 2019 tumbuh sebesar 5,05 persen (yoy).
Pertumbuhan ini terutama didorong oleh kuatnya kinerja konsumsi dan dukungan kebijakan
belanja Pemerintah countercyclical. Tekanan dari kondisi perekonomian global dan tren
penurunan harga komoditas yang berdampak pada moderasi kinerja investasi dan
pertumbuhan negatif perdagangan internasional. Dari sisi produksi, kinerja seluruh sektor
tumbuh positif, kecuali sektor pertambangan dan penggalian yang terkontraksi. Dengan
demikian, sepanjang Semester I 2019 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,06 persen
(Tabel 2).
Kinerja ekonomi di triwulan II 2019 terutama didorong oleh peningkatan kinerja seluruh
komponen konsumsi. Kinerja konsumsi rumah tangga mampu tumbuh 5,17 persen didukung
oleh tingkat inflasi yang terjaga pada kisaran 3 persen, serta peningkatan aktivitas masyarakat
dengan adanya momentum Ramadan, Idul Fitri, dan libur sekolah. Selain itu, aktivitas terkait
Pemilu juga memberikan dorongan tidak langsung terhadap peningkatan konsumsi rumah
tangga. Tidak hanya pada rumah tangga, rangkaian kegiatan Pemilu mendorong tingginya
pengeluaran partai politik serta organisasi sosial. Hal ini menjadi faktor utama tingginya
pertumbuhan konsumsi LNPRT (15,27 persen) sehingga secara total pertumbuhan konsumsi RT
dan LNPRT tumbuh sebesar 5,39 persen.
Konsumsi Pemerintah juga tumbuh tinggi sebesar 8,23 persen. Pertumbuhan ini menjadi
pertumbuhan yang tertinggi sejak tahun 2014. Hal ini ditopang oleh perbaikan pola
penyerapan belanja di awal tahun yang tercermin dari tingginya realisasi belanja pegawai,
barang, dan belanja lain-lain. Belanja Pemerintah yang bersifat ekspansif perlu dilakukan
dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, tingginya

24 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


aktivitas belanja di paruh pertama tahun ini perlu diwaspadai dan diikuti dengan pola
penyerapan belanja yang baik sehingga pada paruh kedua pertumbuhan konsumsi Pemerintah
tetap terjaga.
Tabel 2. Pertumbuhan PDB Menurut Pengeluaran (%, yoy)

2017 2018 2019


Komponen Pengeluaran
Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Y

Konsumsi Rumah Tangga dan


5,00 5,03 4,93 4,98 4,98 5,01 5,23 5,07 5,20 5,13 5,25 5,39 5,33
LNPRT
Konsumsi Rumah Tangga 4,94 4,95 4,91 4,98 4,94 4,94 5,16 5,00 5,08 5,05 5,01 5,17 5,10

Konsumsi LNPRT 8,08 8,53 6,04 5,26 6,93 8,10 8,75 8,59 10,79 9,08 16,93 15,27 16,09

Konsumsi Pemerintah 2,69 -1,94 3,46 3,80 2,13 2,71 5,20 6,27 4,56 4,80 5,21 8,23 6,93

PMTB 4,77 5,34 7,08 7,26 6,15 7,49 5,85 6,96 6,01 6,67 5,03 5,01 5,02

Ekspor 8,36 2,73 16,48 8,42 8,91 5,94 7,65 8,08 4,33 6,48 -2,08 -1,81 1,84

Impor 4,78 0,18 15,40 11,91 8,06 12,64 15,17 14,02 7,10 12,04 -7,75 -6,73 7,04

PDB 5,01 5,01 5,06 5,19 5,07 5,06 5,27 5,17 5,18 5,17 5,07 5,05 5,06

Sumber: Badan Pusat Statistik

Kinerja Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB/investasi) pada triwulan II 2019 hanya
tumbuh sebesar 5,01 persen. Sikap investor yang masih wait and see pasca-pemilu terhadap
kondisi ekonomi domestik dan global yang kurang kondusif disinyalir menjadi faktor utama
kurang optimalnya kinerja investasi. Beberapa indikator yang menyebabkan perlambatan
kinerja investasi adalah pertumbuhan negatif impor barang modal dan bahan baku, penurunan
belanja modal pemerintah, serta kontraksi pertumbuhan beberapa komponen PMTB.
Sementara itu, investasi bangunan, yang merupakan komponen utama dari PMTB, masih
mampu tumbuh stabil. Hal ini menandakan kegiatan investasi pembangunan infrastruktur
dan fisik bangunan masih tetap terjaga, meskipun tidak setinggi periode sebelumnya.
Penyebabnya adalah beberapa proyek infrastruktur telah memasuki fase penyelesaian. Di sisi
lain, investasi mesin dan perlengkapan juga masih tumbuh positif, meskipun tidak setinggi
periode sebelumnya. Tumbuhnya komponen ini disebabkan penurunan harga komoditas
primer yang mempengaruhi aktivitas pembelian alat berat di beberapa sektor komoditas.
Sementara itu, indikator kinerja investasi langsung memberikan harapan peningkatan
investasi pada periode yang akan datang. Kinerja realisasi penanaman modal yang sempat
terpuruk di akhir 2018 mulai menunjukkan pemulihan dan berakselerasi pada triwulan II 2019.
Realisasi penanaman modal triwulan II 2019 mampu tumbuh dua digit, didukung oleh kinerja
positif Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). PMA
sendiri mencatatkan titik balik dengan tumbuh positif setelah mengalami kontraksi selama
empat triwulan sebelumnya.
Tekanan masih berlanjut pada komponen perdagangan internasional. Ekspektasi
pertumbuhan positif pada sisi ekspor masih belum tercapai karena terbatasnya permintaan
negara mitra dagang utama terhadap komoditas ekspor Indonesia serta penurunan harga
komoditas. Ekspor turun -1,81 persen, namun impor mengalami kontraksi yang lebih dalam
yaitu turun -6,73 persen. Penurunan investasi dan beberapa aktivitas sektor industri
berdampak pada pertumbuhan negatif seluruh komponen impor, dengan kontraksi terdalam

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 25


pada barang modal -9,7 persen (yoy), diikuti bahan baku -7,8 persen (yoy) dan barang konsumsi
-4,6 persen (yoy).

Tabel 3. Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha (%, yoy)


2017 2018 2019
Lapangan Usaha
Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Y

Pertanian, Kehutanan,
7,11 3,32 2,83 2,39 3,87 3,34 4,72 3,66 3,87 3,91 1,81 5,33 3,66
dan Perikanan

Pertambangan dan
-1,30 2,11 1,83 0,04 0,66 1,06 2,65 2,67 2,25 2,16 2,23 -0,71 0,79
Penggalian

Industri Pengolahan 4,28 3,50 4,88 4,51 4,29 4,60 3,88 4,35 4,25 4,27 3,86 3,54 3,70

Konstruksi 5,96 6,95 6,98 7,24 6,80 7,35 5,73 5,79 5,58 6,09 5,91 5,69 5,80

Perdagangan Besar dan


4,61 3,47 5,22 4,53 4,46 4,99 5,22 5,28 4,39 4,97 5,26 4,63 4,95
Eceran

Transportasi &
8,06 8,80 8,88 8,21 8,49 8,56 8,70 5,65 5,34 7,01 5,25 5,78 5,52
Pergudangan

Penyediaan Akomodasi
5,35 5,60 5,52 5,11 5,39 5,17 5,60 5,91 5,95 5,66 5,87 5,52 5,69
dan Makan Minum

Informasi dan
10,48 11,06 8,82 8,27 9,63 7,76 5,11 8,14 7,17 7,04 9,03 9,60 9,33
Komunikasi

Jasa Keuangan dan


6,01 5,93 6,13 3,82 5,47 4,23 3,06 3,14 6,27 4,17 7,33 4,55 5,93
Asuransi

PDB 5,01 5,01 5,06 5,19 5,07 5,06 5,27 5,17 5,18 5,17 5,07 5,05 5,06

Sumber: Badan Pusat Statistik

Dari sisi produksi, kinerja sektoral pada triwulan II 2019 ditandai dengan perlambatan sektor-
sektor utama. Sektor industri pengolahan masih bergerak relatif lambat dengan tumbuh
sebesar 3,54 persen, melemah dibanding triwulan sebelumnya yang tumbuh 3,86 persen.
Beberapa kelompok industri mengalami penurunan produksi dan berkontribusi pada
perlambatan aktivitas manufaktur, antara lain industri kulit dan alas kaki dan industri barang
logam. Sementara industri makanan dan minuman, sebagai kontributor terbesar, masih
mampu tumbuh positif sebesar 8 persen didukung tingginya permintaan domestik.
Sektor perdagangan juga relatif melambat seiring dengan kinerja ekspor impor serta
penurunan penjualan kendaraan. Namun, peningkatan aktivitas jasa reparasi kendaraan
menjelang hari raya dan musim liburan mampu menjaga kinerja sektor ini tetap positif. Sektor
jasa transportasi dan pergudangan juga menjadi sektor yang mengalami perlambatan. Hal ini
disebabkan oleh penurunan pada transportasi udara, sejalan dengan permintaan jasa angkutan
udara yang turun akibat peningkatan tarif angkutan udara.
Kinerja sektor pertanian tumbuh cukup tinggi sebesar 5,3 persen. Pergeseran masa tanam dan
panen pada tanaman pangan dan hortikultura menjadi pendorong tumbuhnya sektor ini.
Selain itu, permintaan atas produk peternakan juga meningkat sejalan dengan adanya
kenaikan permintaan pada momen hari raya. Kinerja sektor tanaman perkebunan juga masih
tumbuh positif 4,45 persen, ditopang oleh peningkatan produksi kelapa sawit. Namun, secara

26 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


nilai total penjualan, komoditas ini mengalami penurunan akibat harga yang lebih rendah.
Sektor pertambangan menjadi satu-satunya sektor yang terkontraksi. Penurunan produksi
sektor pertambangan disebabkan penurunan produksi pertambangan bijih logam yang
mencapai -25,9 persen. Penurunan tersebut lebih besar dibandingkan triwulan I tahun 2019
yang sudah mencapai -17,9 persen. Hal ini disebabkan oleh transisi operasional perusahaan
tambang di Papua dari pertambangan permukaan (open pit) menjadi pertambangan bawah
tanah (underground). Alhasil, kinerja produksi pun menurun selama proses transisi operasional
tersebut. Penurunan kinerja sektor pertambangan masih mampu ditahan oleh pertumbuhan
positif pertambangan batubara yang secara volume ekspor meningkat.
Secara kewilayahan, struktur perekonomian Indonesia pada triwulan II 2019 masih
didominasi Pulau Jawa. Pulau Kalimantan dan Sulawesi mampu mencatatkan pertumbuhan
di atas ekonomi nasional. Di sisi lain, terdapat tiga wilayah yang yang memiliki pertumbuhan
ekonomi di bawah PDB nasional, yakni Sumatera serta Maluku dan Papua. Perlambatan di
wilayah Sumatera disebabkan oleh struktur ekonomi yang mengandalkan komoditas batubara
dan kelapa sawit. Sementara itu, wilayah Maluku dan Papua mengalami kontraksi
pertumbuhan cukup dalam sejalan dengan proses transisi operasional tambang pada wilayah
tersebut.

F. INFLASI INDONESIA
Memasuki paruh kedua 2019, laju inflasi mengalami peningkatan namun masih terkendali
pada sasarannya. Secara umum, tekanan inflasi bersumber dari komponen volatile food dan
inti, terutama disumbang oleh kenaikan harga komoditas aneka cabai, emas perhiasan, dan
biaya pendidikan. Sementara itu, komponen administered price relatif mengalami tren
penurunan seiring deflasi tarif transportasi pasca periode Lebaran. Kuatnya sinergi kebijakan
antara Pemerintah dan BI dalam menjaga stabilitas harga mampu menjaga inflasi pada tingkat
terkendali. Selain itu, terjaganya ekspektasi inflasi masyarakat juga diharapkan menjaga inflasi
tetap berada dalam rentang sasaran hingga akhir 2019.
Musim kemarau yang lebih panjang dan kering berdampak pada penurunan produksi aneka
cabai, menyebabkan inflasi komponen volatile food meningkat. Karakteristik tanaman aneka
cabai memiliki daya tahan relatif lemah terhadap cuaca yang membuat kondisi pasokan
menurun secara signifikan pada musim kemarau. Alhasil, harga komoditas aneka cabai
meningkat secara signifkan selama periode Juni–Juli, setelah sebelumnya mengalami kenaikan
akibat penurunan suplai dan naiknya permintaan pada masa Ramadan. Namun, tekanan inflasi
aneka cabai mulai mengalami sedikit penurunan di akhir bulan Agustus seiring panen di
beberapa daerah sentra produksi.

Grafik 15. Perkembangan Inflasi (%, yoy)

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 27


12,0%
Umum Inti
10,0% Harga Diatur Pemerintah Harga Bergejolak
8,70%
8,0%

6,0% 5,96%
3,39%
3,49%
4,0% 3,61% 3,36%
2,95% 3,30%
3,13%
2,0% 1,87%
3,07%
0,71%
0,0%
Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul
-2,0%
2017 2018 2019

Sumber: Badan Pusat Statistik

Di sisi lain, tekanan inflasi cabai dapat diredam oleh komoditas pangan lainnya sebagai
dampak penurunan harga. Selain faktor normalisasi permintaan pasca Lebaran, masuknya
musim panen di beberapa sentra produksi juga mendorong terjadinya deflasi bawang merah,
serta beberapa jenis sayuran dan buah-buahan. Melimpahnya stok bawang putih juga
didukung oleh ketersediaan pasokan impor yang mendorong bawang putih juga mengalami
deflasi.
Harga beras juga masih relatif stabil meskipun harga gabah terus meningkat sejak Juni.
Masuknya masa tanam padi menyebabkan kenaikan harga gabah, baik di tingkat petani,
maupun penggilingan. Pada bulan Agustus, harga gabah telah meningkat sekitar 3 persen dari
bulan sebelumnya. Namun, stok beras Bulog dan Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) yang
memadai serta program bulanan Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH) yang
dilakukan oleh Bulog mampu menahan terjadinya gejolak harga pada beras.
Secara kumulatif, inflasi komponen volatile food hingga Agustus 2019 mencapai 5,86 persen
(ytd). Inflasi ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata 5 tahun terakhir pada periode yang
sama, yaitu sebesar 2,87 persen (ytd). Secara tahunan pada Agustus, inflasi komponen volatile
food mencapai 5,96 persen (yoy), meningkat dibandingkan Agustus 2018 sebesar 4,97 persen
(yoy). Dampak kemarau panjang serta ketersediaan pasokan antar waktu dan antar wilayah
akan menjadi risiko dan tantangan pengendalian inflasi komponen volatile food hingga akhir
tahun.
Sementara itu, inflasi komponen administered price masih melanjutkan tren penurunan
seiring deflasi tarif transportasi. Kembali normalnya permintaan transportasi pasca periode
Lebaran dan libur sekolah mendorong penurunan tarif angkutan antar kota, kereta api, dan
udara. Selain itu, pemberlakuan kebijakan penurunan tarif untuk penerbangan kelas low cost
carrier (LCC) di bulan Juli mendorong terjadinya penurunan tarif angkutan udara di berbagai
kota. Pemberlakuan kebijakan ini dimaksudkan dengan tujuan menciptakan keterjangkauan
tarif angkutan udara untuk masyarakat. Deflasi tarif angkutan udara yang terjadi juga
didorong mulai masuknya periode low season. Secara kumulatif, inflasi komponen administered
price hingga Agustus 2019 terjaga pada tingkat -0,19 persen (ytd) atau 1,87 persen (yoy), jauh
lebih rendah dibandingkan Agustus 2018 sebesar 1,27 persen (ytd) atau 2,55 persen (yoy).

28 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Grafik 16. Komponen Pembentuk Inflasi (%, ytd)

2,8 2,48
2,36
2,4 2,05
2,0
1,48
1,6
1,2 0,80
0,8 0,35
0,32 0,24
0,4
0,0
-0,4 Jan-19 Feb-19 Mar-19 Apr-19 May-19 Jun-19 Jul-19 Aug-19

Inti Harga Diatur Pemerintah Harga Bergejolak Umum

Sumber: Badan Pusat Statistik

Peningkatan inflasi komponen inti juga dipengaruhi oleh periode dimulainya tahun ajaran
baru. Pada masa HBKN Ramadan dan Lebaran, inflasi komponen inti meningkat seiring dengan
naiknya harga barang-barang. Setelah sempat mengalami penurunan pada masa setelah
Lebaran karena mulai normalnya permintaan, inflasi inti kembali naik seiring mulai masuknya
tahun ajaran baru. Tekanan inflasi tersebut bersumber dari kenaikan biaya pendidikan di
seluruh tingkatan SD, SMP, SMA, kuliah/perguruan tinggi, serta bimbingan belajar.
Peningkatan biaya pendidikan ini terutama terjadi sejak bulan Juli seiring masuknya tahun
ajaran baru.
Selain itu, naiknya inflasi inti juga didorong oleh faktor ketidakpastian perekonomian global.
Hal ini mempengaruhi peningkatan permintaan investor global dan bank sentral pada safe-
haven asset, salah satunya emas. Alhasil, harga emas global terus bergerak naik dan turut
mempengaruhi harga emas perhiasan domestik yang menyumbang inflasi sejak bulan Juni.
Kenaikan harga juga terjadi pada komoditas lain, seperti upah pembantu rumah tangga dan
tukang bukan mandor pasca periode Lebaran. Tarif sewa rumah juga mendorong inflasi
komponen inti disebabkan oleh kenaikan biaya bahan bangunan atau pemeliharaan rumah,
seperti pasir, asbes, batu bata, papan, semen, dan upah tukang. Hingga Agustus 2019, inflasi
komponen inti mencapai 2,32 persen (ytd) atau 3,30 persen (yoy), meningkat dibandingkan
Agustus 2018 yang mencapai 2,09 persen (ytd) atau 2,90 persen (yoy).

G. KINERJA SEKTOR PERBANKAN INDONESIA


Stabilitas sektor keuangan hingga akhir triwulan II 2019 masih terjaga di tengah
ketidakpastian ekonomi global. Kinerja industri perbankan Indonesia terpantau stabil dengan
dukungan pertumbuhan aset yang solid dan kinerja intermediasi yang positif. Likuditas
perbankan juga membaik seiring dengan pertumbuhan DPK yang melanjutkan tren
peningkatan, meskipun pertumbuhan kredit perbankan relatif moderat.

Aset dan sumber dana

Grafik 17. Perkembangan Aset Perbankan

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 29


8.243 60
8.000 53,57
50
7.500 40
7.000 30
6.500 20
6.000 10
7,74
5.500 0
Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar Mei

2017 2018 2019

Aset (Triliun) Pertumbuhan (% yoy) - RHS % PDB - RHS

Sumber: SPI OJK dan SEKI BI

Aset perbankan masih tumbuh solid pada akhir triwulan II 2019 seiring dengan
pertumbuhan DPK yang meningkat dan penyaluran kredit yang relatif stabil (Grafik 17).
Secara komposisi, porsi aset atau pangsa pasar tertinggi dimiliki oleh bank BUKU IV sebesar
53,22 persen dengan pertumbuhan asetnya yang tercatat sebesar 15 persen (yoy). Hal ini
didorong oleh migrasi Bank Panin menjadi kelompok BUKU IV yang menyebabkan
pertumbuhan aset kelompok BUKU III mengalami perlambatan pada akhir triwulan II 2019.
Grafik 18. (a) Pertumbuhan Sumber Dana Pihak Ketiga (%, yoy) dan (b) Dana Pihak Ketiga Berdasarkan
Valuta (%, yoy)

13 20

11 15
8,30
9 10
7,42
7 5
7,24
5 0
6,34
3 -5
-10
1
-15
-1
-20
Jul

Jul
Jan

Jan

Jan
Mei

Mei
Sep

Sep
Mar

Mar
May

Mar
Nov

Nov

Okt

Okt

Okt
Apr

Apr

Apr

Apr
Jul

Jul

Jul
Jan

Jan

Jan

Jan

2017 2018 2019


2016 2017 2018 2019
DPK Giro
Rupiah Valas
Tabungan Simpanan Berjangka

(a) (b)
Sumber: SPI OJK

Kondisi likuiditas perbankan membaik seiring dengan tren kenaikan DPK pada triwulan II
2019 yang tumbuh sebesar 7,42 persen (yoy). Angka tersebut merupakan yang tertinggi dalam
delapan bulan terakhir, didorong oleh meningkatnya pertumbuhan giro perbankan dan
simpanan berjangka. Sementara itu, simpanan berjangka mampu mencatatkan pertumbuhan
sebesar 8,30 persen (yoy) yang didorong oleh peningkatan simpanan berjangka tenor 6 dan di
atas 12 bulan (Grafik 18).
Grafik 19. Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga: (a) Berdasarkan Buku (%, yoy) dan (b) Berdasarkan Mata Uang
(%, ytd)

30 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


20 Total 4,99%

2015
15 Rp 3,27%
Valas 13,67%
10
Total 3,66%

2016
5 Rp 6,28%
0 Valas -9,17%
Total 4,33%
-5

2017
Rp 5,19%
-10 Valas -0,42%
Total 2,07%
-15

2018
Rp 1,62%
Feb-18

Apr-18

Jun-18

Aug-18

Oct-18

Dec-18

Feb-19

Apr-19

Jun-19
Valas 4,80%
Total 3,00%

2019
Rp 3,44%
BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3
Valas 0,37%
BUKU 4 Industri

(a) (b)
Sumber: SPI OJK

Pertumbuhan DPK valuta asing tercatat sebesar 3,11 persen (yoy) pada periode akhir triwulan
II. Pertumbuhan DPK valuta asing yang relatif rendah pada tahun 2019 mengonfirmasi
perilaku masyarakat yang cenderung meningkatkan simpanan dalam valuta asing di
perbankan saat Rupiah melemah. Hal ini disebabkan ekspektasi masyarakat akan adanya gain
dari suku bunga serta pelemahan dari nilai tukar Rupiah lebih lanjut. Secara keseluruhan,
pertumbuhan DPK hingga Juni 2019 tercatat sebesar 3,00 persen (ytd), yang ditopang oleh
kenaikan DPK rupiah sebesar 3,44 persen (ytd) (Grafik 19).

Grafik 20. Suku Bunga Rata-Rata DPK Bank Umum

2,5 7,5
7,22
2,21
2,0 7,05 7,0

1,5 6,5
1,29

1,0 6,0
Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun

2019

SB Giro Rp SB Tabungan Rp SB Deposito 6bln (RHS) SB Deposito >12 (RHS)

Sumber: SPI OJK

Apabila dilihat per BUKU, pertumbuhan DPK pada kelompok BUKU I dan BUKU II kembali
positif, yakni masing-masing sebesar 2 persen dan 7 persen (yoy). Tren peningkatan
pertumbuhan DPK terjadi seiring disbursement belanja Pemerintah dan kondisi moneter global
yang memasuki rezim bunga rendah yang menyebabkan masuknya aliran modal asing. Hal ini
juga didukung oleh penyaluran TKDD dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah melalui
BPD selama triwulan II 2019.
Selain itu, meningkatnya pertumbuhan giro dan simpanan berjangka tenor panjang juga
terjadi seiring dengan transmisi dari kenaikan suku bunga acuan BI yang mencapai 75 bps
dalam periode Juli 2018-Juni 2019. Faktor pendorong kenaikan ini juga didorong upaya dari
perbankan untuk berlomba menarik dana nasabah dalam bentuk DPK dengan memberikan

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 31


suku bunga yang lebih tinggi. Namun, BI tetap merevisi turun target pertumbuhan DPK tahun
ini menjadi 7-9 persen seiring dengan perlambatan pertumbuhan perekonomian.

Penggunaan dana
Tabel 4. Pertumbuhan Kredit
Kredit Nominal (Rp triliun) Pertumbuhan Kredit (% yoy)
Uraian
Des-18 Mar-19 Jun-19 Des-18 Mar-19 Jun-19
Total Kredit 5.294,9 5.291,2 5.467,6 11,75 11,55 9,92
Berdasarkan Golongan Debitur
Pemerintah 537,4 539,5 587,3 38,37 39,02 26,37
Swasta 4.751,9 4.747,3 4.868,8 9,49 9,18 8,18
Institusi Keuangan Non Bank 196,2 184,1 193,2 8,41 -0,08 -1,30
Bukan Lembaga Keuangan 2.221,5 2.199,7 2.269,3 9,24 10,31 8,69
Perseorangan 2.334,2 2.363,5 2.406,4 9,82 8,93 8,55
Lainnya 5,5 4,5 11,6 -41,74 -37,19 30,33
Sumber: SPI OJK

Pertumbuhan kredit perbankan (yoy) pada akhir triwulan II 2019 masih cukup tinggi
meskipun cenderung melambat dibandingkan dua triwulan sebelumnya (Tabel 4). Di saat
bersamaan, perbankan juga cenderung selektif dan lebih banyak melakukan intensifikasi
kredit mengingat tingginya ketidakpastian kondisi sektor keuangan dan perekonomian. Hal ini
sejalan dengan perlambatan yang terjadi pada ekspor Indonesia serta aktivitas perdagangan
internasional.
Grafik 21. Penyaluran Kredit: (a) Berdasarkan Jenis Penggunaannya (%, yoy) dan (b) Berdasarkan Valuta
Asing (%, ytd)
18 Total 4,18
Kredit KMK
2015

4,14
15 KI KK Valas
13,85 4,42
2,72
12
2016

9,92 Rp 4,43
-6,48
9 9,22
Total 2,60
7,64
2017

6 2,92
Valas 0,77
3 4,98
2018

Rp 4,39
0 8,44
Total 3,26
Sep

Sep
Jul

Jul
Jan

Jan

Jan
Mei

Mei
Mar

Mar
May

Mar
Nov

Nov

2019

3,82
2017 2018 2019 Valas 0,14

(a) (b)
Sumber: SPI OJK

Kepemilikan perbankan atas Surat Berharga Negara terus meningkat. Berdasarkan golongan
debitur, kredit yang disalurkan kepada Pemerintah hingga akhir triwulan II 2019 tercatat naik
26,37 persen (yoy), sedangkan kredit swasta tercatat tumbuh 8,18 persen (yoy). Melambatnya
pertumbuhan kredit swasta dibandingkan dua triwulan sebelumnya disebabkan penurunan
penyaluran kredit Institusi Keuangan Non Bank. Selain itu, perlambatan pertumbuhan
penyaluran kredit kepada swasta bukan lembaga keuangan dan perseorangan juga ikut
berkontribusi terhadap perlambatan pertumbuhan kredit swasta.

Grafik 22. Pertumbuhan Kredit Modal Kerja (%, yoy)

32 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


17,95

17,14
15,90

14,91
14,12
13,76

12,27
11,44

10,93

10,96

10,93
10,82
9,98

8,26
7,22

5,74
Pertanian Industri Pengolahan Jasa Keuangan Perdagangan
Q4 2017 Q4 2018 Q1 2019 Q2 2019

Sumber: SPI OJK

Berdasarkan jenis penggunaannya, seluruh kategori kredit masih menunjukkan


pertumbuhan yang positif meskipun terlihat indikasi penurunan laju pertumbuhan (Grafik
22). Berdasarkan sektornya, pertumbuhan KMK masih disumbang oleh sektor perdagangan,
jasa keuangan, industri pengolahan, dan sektor pertanian, dengan keempat sektor tersebut
memiliki pangsa sekitar 75 persen dari total KMK yang disalurkan oleh perbankan. Di luar
empat sektor tersebut, beberapa sektor yang mengalami penurunan pertumbuhan KMK cukup
dalam di antaranya adalah sektor pertambangan, listrik dan gas, serta informasi dan
komunikasi.

Grafik 23. Pertumbuhan Kredit Investasi (%, yoy)

23,45

37,92
15,38

12,97
10,71
10,06

10,05
9,20

8,82

8,41

6,38
1,75
-0,50

-4,02
-4,43

-5,31

Pertanian Industri pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Perdagangan

Q4 2017 Q4 2018 Q1 2019 Q2 2019

Sumber: SPI OJK

Sementara itu, pertumbuhan Kredit Investasi (KI) hingga akhir Juni 2019 terpantau sedikit
melambat dibandingkan dua bulan sebelumnya, meskipun secara umum masih berada dalam
tren yang stabil (Grafik 23). KI tercatat tumbuh 13,85 persen (yoy) pada akhir triwulan II 2019
yang masih didominasi oleh sektor pertanian, industri pengolahan, listrik dan gas, serta sektor
perdagangan. Di sisi lain, KI sektor industri pengolahan masih mencatatkan pertumbuhan
negatif, yakni turun 5,31 persen (yoy) hingga akhir Juni. Kondisi ini mengonfirmasi adanya
tantangan yang dihadapi industri manufaktur nasional, dimana industri ini hanya tumbuh 3,62
persen (yoy) pada triwulan II 2019.
Penyaluran Kredit Konsumsi (KK) mencatatkan pertumbuhan sebesar 7,64 persen (yoy).
Melambatnya penyaluran KK dibandingkan dua triwulan sebelumnya disebabkan turunnya
pertumbuhan kredit kendaraan bermotor, kredit multiguna, serta kredit pemilikan rumah. Hal
ini terkonfirmasi oleh data penjualan mobil wholesales yang dirilis oleh Gabungan Industri
Bermotor Indonesia untuk periode Januari-Juni 2019 dimana terdapat penurunan sekitar 13
persen. Perlambatan kredit pemilikan rumah juga tercermin dari lemahnya pertumbuhan
Indeks Harga Properti Residensial di triwulan II 2019 yang hanya sebesar 1,47 persen (yoy).

Risiko Kredit Perbankan

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 33


Grafik 24. Risiko Kredit: (a) Non Performing Loan dan Special Mention Loan (%); (b) NPL per jenis (%)

4
6 5,62
3,12

5 3
2,50
4
2 2,16

3 1,77
2,50

2 1

Juli
Sep

Sep
Nov

Nov
Jul
Jan

Jan

Jan
Mei

Mei

Mei
Mar

Mar

Mar
Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan MarMay Jul Sep Nov Jan Mar Mei

2017 2018 2019 2017 2018 2019

SML(%) NPL (%) Modal Kerja Investasi Konsumsi Total

(a) (b)

Sumber: SPI OJK

Seiring dengan pertumbuhan kredit yang sedikit melambat, profil risiko kredit perbankan tetap
terkendali yang tercermin dari turunnya rasio NPL di triwulan II 2019. Namun, rasio Special
Mention Loan (SML) atau kredit dalam pengawasan khusus justru terpantau meningkat menjadi
5,62 persen pada akhir triwulan II 2019. Penurunan NPL perbankan mengindikasikan terjadinya
peningkatan kualitas kredit, tetapi kenaikan rasio SML mengindikasikan peningkatan risiko kredit
yang sewaktu-waktu dapat memicu peningkatan NPL Walaupun terdapat kenaikan rasio SML,
risiko kredit perbankan relatif masih stabil, didukung oleh penurunan suku bunga acuan BI yang
diikuti oleh penurunan suku bunga KI, KMK, dan KK sehingga kemampuan membayar perusahaan
sedikit membaik.
Berdasarkan jenis penggunaan kredit, NPL untuk KMK merupakan yang tertinggi di triwulan II
2019. NPL KMK tercatat sebesar 3,12 persen, disusul oleh NPL KI dan KK berturut-turut sebesar 2,16
persen dan 1,77 persen. Jika dilihat berdasarkan kelompok BUKU, bank BUKU II masih memiliki
NPL yang tergolong tinggi di periode Juni 2019 (3,52 persen). Tingginya NPL bank BUKU II disusul
oleh bank BUKU I sebesar 3,28 persen, kemudian NPL bank BUKU III dan BUKU IV berturut-turut
sebesar 2,60 persen dan 2,20 persen (Grafik 25).

34 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Grafik 25. Non Performing Loan per BUKU (%)

4
3,52
3,28
3
2,50
2 Apr-18
2,20

Apr-19
Jan-18

Feb-18

Jun-18

Jul-18

Aug-18

Sep-18

Nov-18

Jan-19

Feb-19

Jun-19
Mar-18

May-18

Oct-18

Dec-18

Mar-19

May-19
BUKU 1 BUKU 2 BUKU 3 BUKU 4 Industri

Sumber: SPI OJK

Apabila dilihat berdasarkan sektor ekonomi, risiko kredit perbankan relatif mengalami
penurunan di sebagian besar sektor (Tabel 5). Penyumbang penurunan NPL perbankan pada
triwulan II 2019 antara lain adalah sektor pertambangan; sektor listrik, gas, dan air; serta sektor
transportasi, pergudangan, dan komunikasi, dengan penurunan nominal NPL (qoq), masing-
masing sebesar 18,28 persen, 6,84 persen, dan 4,38 persen. Adapun persentase NPL untuk ketiga
sektor tersebut masing-masing sebesar 3,58 persen, 0,86 persen, dan 2,07 persen.
Tabel 5. Perkembangan Kredit per Sektor
Kredit NPL (%) Delta NPL
Nominal Share Kredit
No Sektor (%
NPL (% qoq) Mar-19 Jun-19 (% qoq) Jun-19 (%)
qoq)
1 Pertanian 2,40 1,14 1,34 1,32 -0,02 6,63
2 Pertambangan -0,87 -18,28 4,34 3,58 -0,76 2,50
3 Industri Pengolahan 3,82 7,03 2,78 2,87 0,09 16,50
4 Listrik, gas dan air 11,81 -6,84 1,03 0,86 -0,17 3,82
5 Konstruksi 7,59 7,64 3,67 3,67 0,00 6,37
6 Perdagangan 2,79 1,81 3,78 3,74 -0,04 18,29
7 Perantara Keuangan 7,65 14,97 1,21 1,29 0,08 4,57
Transportasi, pergudangan
8 8,64 -4,38 2,35 2,07 -0,28 4,25
dan komunikasi
Real Estate, Usaha
9 Persewaan, 1,83 12,23 1,82 2,01 0,19 4,73
dan Jasa Perusahaan
Sumber: SPI OJK

Kinerja Perbankan
Kinerja perbankan pada triwulan II 2019 secara umum membaik dengan rasio permodalan
perbankan yang masih relatif tinggi, fungsi intermediasi yang positif, serta efisiensi
perbankan yang menunjukkan perbaikan (Tabel 6). Secara komposisi, permodalan bank masih
didominasi oleh modal inti (Tier 1) dengan pangsa 93 persen sementara rasio modal inti terhadap
ATMR tercatat sebesar 21,05 persen pada triwulan II 2019. Sementara itu, kinerja intermediasi
perbankan di triwulan II 2019 masih positif dengan tren pertumbuhan DPK yang positif
meskipun pertumbuhan kredit sedikit melambat dibandingkan triwulan I 2019. Efisiensi
perbankan secara umum juga menunjukkan perbaikan sebagaimana tercermin dari indikator

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 35


BOPO bank umum konvensional yang turun menjadi 80,24 persen pada triwulan II 2019.
Efisiensi perbankan juga diikuti oleh profitabilitas perbankan yang meningkat dengan ROA
bank umum konvensional yang terjaga pada tingkat 2,51 persen di triwulan II 2019.

Tabel 6. Rangkuman Kinerja Perbankan

Indikator 2016 2017 2018 2019


Satuan
Umum Des Des Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun

Aset (T Rp) 6.729,8 7.387,1 8.068,3 7.913,5 7.964,6 8.130,6 8.119,6 8.132,8 8.243,0

DPK (T Rp) 4.836,8 5.289,4 5.630,4 5.563,2 5.600,4 5.672,9 5.670,0 5.671,3 5.799,5

DPK (yoy) (%) 9,60 9,36 6,45 6,39 6,57 7,18 6,63 6,27 7,42

Kredit (T Rp) 4.377,2 4.738,0 5.294,9 5.186,6 5.228,0 5.291,2 5.306,0 5.418,7 5.467,6

Kredit (yoy) (%) 7,87 8,24 11,75 11,97 12,13 11,55 11,05 11,05 9,92

LDR (%) 90,50 89,58 94,04 93,23 93,35 93,27 93,58 95,54 94,28

NPL (%) 2,93 2,59 2,37 2,56 2,59 2,51 2,57 2,61 2,50

CAR* (%) 22,93 23,18 22,97 23,22 23,45 23,42 23,21 22,43 22,63

BOPO* (%) 82,22 78,64 77,86 87,79 85,33 82,92 83,48 81,51 80,24

NIM* (%) 5,63 5,32 5,14 4,92 4,81 4,86 4,87 4,90 4,90

ROA* (%) 2,23 2,45 2,55 2,59 2,45 2,60 2,42 2,41 2,51

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah


*) Bank Umum Konvensional

36 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Boks 1. Inversi Kurva Imbal Hasil AS: Indikasi Resesi?
Seiring dengan tensi perang dagang yang meningkat, kekhawatiran pasar keuangan tertuju
pada inverted yield curve. Sejauh ini, inverted yield curve merupakan sinyal krisis yang akurat.
Kondisi tersebut telah mendahului seluruh resesi di AS sejak 1950-an, meski sempat satu kali
meleset di pertengahan 1960-an di mana inversi kurva imbal hasil hanya diikuti oleh
pelemahan ekonomi dan tidak diikuti oleh resesi (Grafik 26). Secara teknis, menurut definisi
NBER, resesi adalah penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang berlangsung lebih dari
dua kuartal.

Grafik 26. Perbedaan Imbal Hasil Surat Berharga AS Tenor Jangka Panjang dan Jangka Pendek Mulai Negatif
(%)

3
10Y-3M

1
10Y-2Y

-1

-3

-5
1976

1978

1980

1982

1984

1986

1988

1990

1992

1994

1996

1998

2000

2002

2004

2006

2008

2010

2012

2014

2016

2018
Sumber : Bloomberg, NBER

Inverted yield curve atau kurva imbal hasil yang terbalik adalah kondisi di mana imbal hasil
pemerintah untuk surat utang jangka panjang lebih rendah daripada surat berharga dengan
tenor jangka pendek. Pada ekonomi yang sehat, surat utang jangka panjang memiliki imbal
hasil yang lebih tinggi sebagai kompensasi kepada para investor yang mau mengunci uangnya
dalam jangka waktu yang lebih lama dan dalam kondisi ketidakpastian yang juga lebih besar.
Sebaliknya, surat berharga jangka pendek memerlukan pengorbanan yang lebih kecil sehingga
imbal hasilnya juga lebih rendah. Namun dalam beberapa kondisi, kaidah tersebut bisa tidak
berlaku sehingga kurva imbal hasil yang seharusnya memiliki kemiringan positif berubah
menjadi negatif.
Adanya lonjakan permintaan surat utang tenor jangka panjang oleh investor diperkirakan
membuat kurva imbal hasil terinversi. Lonjakan permintaan tersebut dilihat oleh sebagian pihak
sebagai kekhawatiran pasar atas kondisi jangka pendek sehingga mereka lebih memilih
menyimpan uangnya dalam surat utang jangka panjang. Akibatnya, harga surat utang tenor jangka
panjang meningkat dan imbal hasilnya turun. Di AS, surat utang jangka panjang khususnya dengan
tenor sepuluh tahun merupakan salah satu indikator yang baik untuk melihat ekspektasi inflasi di
masyarakat. Kerelaan investor untuk mendapatkan imbal hasil yang sedikit untuk surat utang
jangka panjang mengindikasikan bahwa mereka bersedia menerima imbal hasil yang lebih rendah
namun lebih aman dibandingkan utang jangka pendek, serta tidak terlalu khawatir tentang inflasi.

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 37


Secara implisit, hal tersebut juga menjelaskan ekspektasi masyarakat atas melambatnya
pertumbuhan ekonomi, yang biasanya beriringan dengan rendahnya inflasi.

Grafik 27. (a) Berbagai Slope Kurva Imbal Hasil AS (%); (b) Kinerja AS Tertinggi dalam Indeks PDB (Q2 2009 =
100)

7 130
6 Terinversi (sebelum resesi 2001)
120
5 Terinversi (sebelum GFC)
4 110
Kemiringan curam
3 Kemiringan Landai
100
2

1 Akhir Agustus 2019 90

Mar-09
Dec-09
Sep-10
Jun-11
Mar-12
Dec-12
Sep-13
Jun-14
Mar-15
Dec-15
Sep-16
Jun-17
Mar-18
Dec-18
0
1M 3M 1Y 2Y 3Y 5Y 10Y 30Y

Nov-00 Jan-04 Mar-07 Jepang Jerman Perancis Italia


Agu-17 Agu-19 Inggris Kanada AS
(a) (b)
Sumber : Bloomberg, perhitungan staf.

Terdapat beberapa metode dalam menghitung dan membaca inversi kurva imbal hasil surat
utang AS. Biasanya, para analis menggunakan perbedaan imbal hasil atas surat utang bertenor
sepuluh tahun dan dua tahun (10Y-2Y). Metode lainnya adalah penggunaan selisih imbal hasil
yang telah disesuaikan dengan premi risikonya (adjusted). Namun, peneliti The Fed San
Francisco dalam tulisannya Information in the Yield Curve about Future Recessions (Bauer &
Thomas, 2018) menyatakan bahwa dari beberapa metode pengukuran, yang lebih dapat
diandalkan adalah selisih antara imbal hasil surat utang bertenor sepuluh tahun dengan tiga
bulan (10Y-3M). Lebih lanjut Campbell Harvey, ekonom yang mendalami inversi kurva imbal
hasil, menjelaskan bahwa krisis akan terjadi satu sampai dua tahun setelah inverted yield curve
bertahan selama satu triwulan kalender penuh. Hal ini juga yang terjadi sebelum krisis
finansial global tahun 2008.

Grafik 28 (a) Tingkat Pengangguran (%) dan Inflasi AS (% yoy); (b) Tingkat Kepercayaan Konsumen (Indeks)

9 3,5
3 100
8
2,5
7 90
2
6 1,5
80 Tingkat kepercayaan
5 1
0,5 konsumen dalam tren
4 70
0 meningkat sejak krisis
3 -0,5 2008
60
Jan-13

Jul-16

Feb-17

Jun-19
Aug-13

Mar-14

Apr-18
Oct-14

May-15

Dec-15

Sep-17

Nov-18

50
2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018

2019

Pengangguran Inflasi (RHS)

(a) (b)
Sumber : Bloomberg

Setelah pulih dari krisis finansial global 2008, kurva imbal hasil tampak kembali terinversi
sejak pertengahan Mei 2019 lalu dan masih bertahan hingga pertengahan September 2019.
Hal tersebut jika melihat selisih imbal hasil 10Y-3M. Sementara itu, jika melihat perbedaan

38 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


imbal hasil 10Y-2Y, inversi hanya terjadi sekitar satu pekan di bulan Agustus dan saat ini
selisihnya sudah kembali positif. Mengingat studi sebelumnya yang menerangkan bahwa
indikator 10Y-3M lebih dapat diandalkan, dan apabila hanya melihat pembalikan kurva imbal
hasil sebagai sinyal krisis, maka resesi diperkirakan dapat terjadi sekitar akhir tahun 2020 atau
awal tahun 2021 jika inversi 10Y-3M tersebut bertahan penuh selama triwulan III atau bahkan
berlanjut hingga triwulan IV 2019.

Namun, faktor-faktor ekonomi lainnya juga harus dipertimbangkan sebelum mencapai simpulan
tersebut. Secara umum, ekonomi AS relatif lebih kuat dibandingkan negara-negara sejawatnya,
baik dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi, inflasi yang mencapai target, pengangguran yang
rendah, serta harga minyak juga masih rendah. Data menunjukkan bahwa sejak 1970, setiap resesi
juga didahului oleh tingginya harga minyak (bahkan meningkat hingga 100 persen), setidaknya dua
belas bulan sebelumnya. Kenaikan harga minyak tersebut menekan konsumsi, yang merupakan
penggerak utama ekonomi di AS dengan porsi sekitar dua per tiga ekonominya. Sementara itu data
saat ini masih menunjukkan moderatnya harga minyak dan masih kuatnya konsumsi. Menarik
bahwa harga minyak juga rendah dalam pertengahan tahun 1960-an, di mana pembalikan kurva
imbal hasil hanya menjadi false alarm resesi AS. Selain itu, ekspansi moneter yang cukup besar pasca
krisis finansial global mungkin saja telah mendistorsi pasar surat utang dan membuat inversi kurva
imbal hasil sebagai prediktor resesi berkurang keakuratannya.
Bagaimanapun, inversi kurva imbal hasil surat utang AS yang mengindikasikan adanya resesi
ekonomi AS menambah satu lagi downside risk di tataran ekonomi global. Apabila resesi AS
benar-benar terjadi, maka pelemahan ekonomi global merupakan sesuatu yang harus diantisipasi
ke depannya. Dalam nuansa tersebut, penguatan ekonomi domestik menjadi sangat krusial. Dalam
ketidakpastian ekonomi global, Indonesia harus lebih fokus dalam menjaga konsumsi dan investasi
domestik, serta mengoptimalkan belanja pemerintah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 39


BAGIAN II

ANALISIS KINERJA APBN &


KEBIJAKAN FISKAL

40 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 41
A. ANALISIS KINERJA APBN PER JULI 2019
Walaupun Indonesia mengalami perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi pada triwulan
II, hampir semua komponen APBN masih mampu tumbuh positif pada Juli 2019. Pendapatan
negara mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,9 persen (yoy) yang didorong oleh pertumbuhan
pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sementara itu, belanja negara tercatat tumbuh
sebesar 7,9 persen (yoy) sebagai dampak peningkatan penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana
Desa (TKDD) yang tumbuh 5,9 persen (yoy). Dengan risiko global yang semakin meningkat,
pemerintah menerapkan strategi front loading sehingga pembiayaan tercatat tumbuh sebesar
10,5 persen (yoy).

Tabel 7. Kinerja APBN Per Juli 2019 (triliun Rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan

Realisasi pendapatan negara secara nominal masih menunjukkan hasil positif, didorong
pertumbuhan pada pendapatan dalam negeri. Namun, dibandingkan periode yang sama tahun
2018, terdapat penurunan pada realisasinya, yakni 48,6 persen dari target APBN (2018: 52,5
persen). Ketidakpastian pada perekonomian global memiliki dampak besar terhadap
penerimaan negara, terutama yang berkaitan pada pajak impor maupun pajak terkait
komoditas.

Penerimaan pajak masih mampu mencatatkan pertumbuhan 2,68 persen (yoy), ditopang oleh
kinerja PPh nonmigas yang tumbuh 5,27 persen (yoy). Tumbuhnya PPh nonmigas berasal dari
jenis pajak PPh pasal 21 yang mampu tumbuh dua digit, mengindikasikan kondisi
ketenagakerjaan masih stabil. Hal ini sejalan dengan penurunan pada rasio gini yang pada
Maret 2019 lalu tercatat turun 0,002 poin dibandingkan September 2018. Pajak lainnya yang
mampu tumbuh dua digit yakni PPh Orang Pribadi yang didorong perluasan basis pembayar
pajak pasca program Amnesti Pajak.

42 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Tabel 8. Penerimaan Beberapa Jenis Pajak; Grafik 29. Pertumbuhan Penerimaan Beberapa Jenis Pajak

Rp 91,56 T
PPh 21 growth y-o-y 2019 12,3%
13,0 % 16,1%
growth y-o-y 2018
Rp 32,39 T
PPh 22 Impor 1,2%
4,6 % 28,3%
Rp 8,50 T 15,9%
PPh OP
1,2 % 20,5%
Rp 139,19 T 0,9%
PPh Badan
19,7 % 23,3%
Rp 33,63 T 6,4%
PPh 26
4,8 % 13,9%
Rp 65,28 T 4,5%
PPh Final
9,3 % 11,9%
Rp 143,93 T -4,7%
PPN DN
20,4 % 8,1%

Rp 97,3 T -4,5%
PPN Impor
13,8 % 27,5%

Sumber: Kementerian Keuangan

Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai mencatatkan pertumbuhan sebesar 13,21 persen
(yoy) yang disebabkan pertumbuhan signifikan komponen penerimaan cukai. Kinerja
penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) masih menjadi kontributor dalam penerimaan cukai
sebagai dampak penerapan kebijakan relaksasi pelunasan pita cukai. Hal ini juga didukung oleh
program Penerbitan Impor, Cukai, dan Ekspor Berisiko Tinggi (PICE-BT) yang mendorong
terciptanya suasana kondusif dalam dunia usaha.

Tabel 9. Kinerja Realisasi PNBP (triliun Rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan

PNBP juga mengalami kenaikan pada realisasinya, yakni sebesar 14,21 persen (yoy), didorong
oleh kenaikan PNBP Kekayaan Negara Dipisahkan (KND). Peningkatan pada realisasi KND
disebabkan adanya setoran sisa surplus BI pada Bulan Mei 2019 serta setoran dividen yang
terealisasi sampai Juli 2019. Namun, kinerja penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) masih
terpengaruh oleh kecenderungan penurunan harga komoditas, terlihat pada penurunan

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 43


realisasi penerimaan SDA pada Juli 2019. Selain itu, penurunan produksi pertambangan bijih
logam yang mencapai -25,9 persen (yoy) juga berpengaruh terhadap penurunan ekspor dan
PNBP Non Migas. Hal ini berdampak pada realisasi PNBP non migas dari pertambangan
minerba yang tumbuh -8,15 persen (yoy).

Tabel 10. Kinerja Penyerapan Belanja Pemerintah Pusat (triliun Rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan

Realisasi belanja negara sampai bulan Juli 2019 mencatatkan peningkatan sebesar 7,9 persen
(yoy). Hal tersebut sejalan dengan komitmen Pemerintah dalam meningkatkan kualitas
pengelolaan APBN, salah satunya yakni melalui perbaikan pola penyerapan belanja.
Peningkatan pada realisasi belanja negara juga terefleksi pada pertumbuhan komponennya,
baik pada realisasi Belanja Pemerintah Pusat serta TKDD.
Belanja Pemerintah Pusat mengalami kenaikan pada realisasinya sebesar 9,2 persen (yoy),
ditopang peningkatan pada kinerja belanja bantuan sosial. Hal ini terealisasi melalui beberapa
program, yakni pencairan Program Keluarga Harapan (PKH) yang telah mencapai 82,4 persen
dari pagu serta realisasi bantuan pangan yang sudah mencapai 52,3 persen dari pagu. Baiknya
kinerja belanja bantuan sosial menunjukkan komitmen Pemerintah dalam menjaga daya beli
masyarakat miskin maupun rentan guna mencukupi kebutuhannya.
Di sisi lain, realisasi penyaluran TKDD mencatatkan pertumbuhan 5,89 persen (yoy)
dibandingkan realisasi tahun sebelumnya. Peningkatan pada realisasi penyaluran Dana
Alokasi Umum (DAU) menjadi faktor yang mendorong kinerja penyaluran TKDD yang baik.
Hal ini didorong oleh penyelesaian tunggakan iuran jaminan kesehatan kepada Badan
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan (BPJS) oleh 11 Pemerintah Daerah.

44 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Tabel 11. Kinerja Transfer ke Daerah dan Dana Desa (triliun Rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan

Secara umum, kinerja Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) masih menunjukkan
peningkatan realisasi, dimana secara nominal tumbuh sebesar 1,12 persen (yoy). Hal ini
menunjukkan komitmen pemerintah dalam pemerataan pertumbuhan sampai ke daerah.
Namun demikian, terjadi sedikit perlambatan kinerja yang tercermin dari realisasi sebesar 39,3
persen dari target APBN 2019, dibandingkan dengan kinerja 2018 sebesar 42,0 persen.
Peningkatan pada realisasi TKDD didorong oleh kenaikan realisasi penyaluran Dana Transfer
Umum (DTU) yang disebabkan kenaikan pada pagu Dana Alokasi Umum (DAU).

Tabel 12. Kinerja Pembiayaan (triliun Rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan

Realisasi Pembiayaan Utang hingga Bulan Juli 2019 sudah mencapai 65,2 persen target APBN.
Kenaikan ini didorong oleh realisasi SBN neto, dimana ini merupakan salah satu dari strategi
front loading yang dilakukan Pemerintah dalam memanfaatkan kondusifnya pasar keuangan
di semester I. Namun, realisasi angka pinjaman mencapai angka negatif pada periode ini yang
disebabkan realisasi pembayaran cicilan pokok Pinjaman Luar Negeri lebih besar dibandingkan
Pinjaman Dalam Negeri.

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 45


Pemerintah akan terus melanjutkan strategi pembiayaan dengan risiko minimal dan
terkendali, salah satunya dengan mengoptimalkan pembiayaan dalam negeri. Pemerintah
juga melakukan pendalaman pasar domestik dengan menerbitkan SBN ritel secara online.
Hingga akhir Juli 2019, penerbitan ritel online telah dilakukan sebanyak 6 kali, yakni pada
SBR005, ST003, SR011, SBR006, ST004, dan SBR007. Sedangkan dari sisi pembiayaan syariah,
Pemerintah juga mengembangkan beberapa terobosan melalui penerbitan Green Global Sukuk
serta Project Financing Sukuk. Strategi pembiayaan tersebut pada akhirnya mampu menjaga
rasio utang pemerintah terhadap PDB tetap terjaga di bawah 30 persen.

B. RAPBN 2020: AKSELERASI DAYA SAING MELALUI INOVASI DAN KUALITAS SDM

Pendahuluan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 memiliki posisi dan makna
yang berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. APBN tahun 2020 merupakan awal
dari pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Fokus dari APBN 2020 yakni untuk meningkatkan
penyediaan infrastruktur dan perbaikan kualitas SDM guna menunjang kemampuan untuk
memperkaya inovasi dan mengembangkan teknologi dalam menjawab kebutuhan masa depan.
Di samping itu, Pemerintah juga dituntut untuk mampu meningkatkan kualitas layanan
birokrasi sekaligus mampu mengalokasikan sumber-sumber ekonomi dan keuangan secara
lebih efisien dan efektif. Pemerintah akan menggunakan semua instrumen kebijakan untuk
mendukung stabilitas perekonomian dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam
jangka menengah, Pemerintah akan memfokuskan pada empat kebijakan utama, yaitu
peningkatan produktivitas SDM dan infrastruktur, reformasi institusi, transformasi ekonomi
dan pendalaman sektor keuangan.

Kebijakan Fiskal dalam Jangka Menengah


Dalam jangka menengah, kebijakan fiskal diarahkan untuk mendorong produktivitas dan
daya saing bangsa melalui pengelolaan fiskal yang sehat, berkelanjutan dan efektif. Untuk
itu, kebijakan fiskal jangka menengah adalah, pertama, tetap menempuh kebijakan ekspansif,
terarah, dan terukur untuk meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing. Defisit anggaran
dijaga dalam batas aman, namun tetap mampu menstimulasi perekonomian secara optimal.
Kedua, mengendalikan risiko utang dengan menjaga rasio utang terhadap PDB dalam batas
aman dan diupayakan semakin menurun dalam jangka menengah. Ketiga, mendorong
peningkatan tax ratio melalui berbagai inovasi kebijakan dengan tetap memberikan insentif
fiskal untuk daya saing dan investasi. Terakhir, mendorong keseimbangan primer mulai positif
pada tahun 2020.
Untuk mendukung hal tersebut, maka strategi yang akan ditempuh adalah dengan
memperkuat belanja yang berkualitas, memperlebar ruang fiskal, dan mengendalikan risiko.
Penguatan belanja yang berkualitas ditempuh dengan memfokuskan belanja untuk
memperkuat kualitas SDM, percepatan pembangunan infrastruktur, peningkatan efektivitas
program perlindungan sosial dan subsidi, serta mendukung kemandirian daerah. Pelebaran
ruang fiskal ini akan dilakukan baik melalui sisi penerimaan maupun sisi belanja.

46 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Dari sisi penerimaan, Pemerintah akan terus mengupayakan peningkatan tax ratio sambil
menjaga iklim investasi, serta optimalisasi penerimaan pengelolaan kekayaan negara.
Sementara dari sisi belanja, pelebaran ruang fiskal ditempuh melalui efisiensi belanja non
prioritas. Pemerintah juga akan melakukan mengembangan pembiayaan kreatif dan inovatif
serta pendalaman pasar keuangan domestik. Strategi penguatan kualitas belanja dan pelebaran
ruang fiskal tersebut akan dilakukan dengan tetap mempertimbangkan risiko fiskal agar APBN
tetap sehat dan berkelanjutan.

Kebijakan Fiskal 2020


Sebagaimana tertuang dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok
Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2020, kebijakan fiskal tahun 2020 didesain agar mampu
menjadi instrumen kebijakan yang dapat memastikan arah pencapaian target pembangunan
ekonomi, baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Oleh karena itu, perumusan
arah kebijakan fiskal ditempuh dengan menggunakan tiga pendekatan. Pertama, kebijakan
fiskal diarahkan untuk menstimulasi perekonomian agar bertumbuh pada tingkat cukup tinggi,
menggerakan sektor riil, menggairahkan investasi, dan meningkatkan daya saing. Kedua,
diarahkan untuk mendorong pengelolaan fiskal yang semakin sehat, terefleksi dari pendapatan
yang optimal, belanja yang berkualitas serta pembiayaan yang efisien dan berkelanjutan.
Ketiga, diarahkan untuk mendorong perbaikan neraca keuangan Pemerintah yang ditandai
dengan peningkatan aset, terkendalinya liabilitas, dan peningkatan ekuitas.
Sebagai pelaksanaan tahun pertama RPJMN 2020-2024, kebijakan fiskal tahun 2020
mengangkat tema “APBN untuk Akselerasi Daya Saing melalui Inovasi dan Penguatan
Kualitas Sumber Daya Manusia”. Tema tersebut mengisyaratkan bahwa RAPBN 2020 disusun
dan diformulasikan untuk memperkuat daya saing sumber daya manusia Indonesia.
Diharapkan RAPBN 2020 dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan dan
kesehatan, memperkuat program perlindungan sosial dan mengurangi ketimpangan, serta
mengakselerasi pembangunan infrastruktur untuk mendukung transformasi ekonomi.
Program-program tersebut kemudian dijabarkan dalam spending better berupa peningkatan
belanja negara yang lebih berkualitas. Spending better tidak hanya difokuskan pada upaya
peningkatan efisiensi, tetapi juga menitikberatkan pada program-program yang memiliki efek
pengganda bagi perekonomian nasional. Kebijakan spending better dilakukan dengan
merealokasi belanja konsumtif menjadi belanja produktif serta penajaman belanja barang. Oleh
karena itu, selain proses realokasi belanja dari konsumtif menjadi produktif, diperlukan juga
peningkatan belanja modal yang produktif, sinergitas belanja subsidi dan bantuan sosial agar
lebih tepat sasaran, serta peningkatan kualitas desentralisasi fiskal.
Untuk mendukung program tersebut, Pemerintah akan melakukan upaya mobilisasi
pendapatan Negara yang inovatif, baik dari sisi perpajakan maupun PNBP. Namun, upaya
mobilisasi pendapatan Negara dilakukan dengan tetap memperhatikan dunia usaha dan
kelestarian lingkungan. Selanjutnya, agar dapat terus menstimulasi perekonomian nasional
dan mendukung pencapaian target pembangunan, Pemerintah masih akan menempuh
kebijakan ekspansif yang terarah dan terukur di tahun 2020. Hal tersebut mengisyaratkan
bahwa RAPBN 2020 masih akan mengalami defisit. Guna menutup defisit tersebut, Pemerintah
akan terus mencari sumber-sumber pembiayaan, baik utang maupun non utang. Namun,

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 47


Pemerintah akan tetap memenuhi aspek kehati-hatian (prudent), untuk kegiatan produktif
(productive), dan efisien, serta mempertimbangkan keseimbangan makro (macro equilibrium).

RAPBN 2020

Dengan memperhatikan ketidakpastian pada perekonomian global yang mengalami


peningkatan, pendapatan negara dalam tahun 2020 diproyeksikan mencapai Rp2.221,5
triliun, atau meningkat 9,4 persen dari outlook APBN 2019. Pendapatan Negara tersebut
terdiri dari penerimaan perpajakan Rp2.221,0 triliun dan PNBP sebesar Rp359,3 triliun atau
tumbuh masing-masing sebesar 13,3 persen dan negatif 7,0 persen dari outlook APBN 2019.
Pertumbuhan penerimaan perpajakan di tahun 2020 tidak lepas dari langkah-langkah
Pemerintah dalam melakukan optimalisasi penerimaan perpajakan, seperti peningkatan
tingkat kepatuhan wajib pajak, program Penertiban Impor, Cukai, Ekspor Berisiko Tinggi (PICE-
BT), serta optimalisasi penggalian potensi perpajakan. Sebaliknya, pertumbuhan negatif PNBP
dalam RAPBN tahun 2020, terutama dipengaruhi oleh penurunan penerimaan SDA dan
penurunan pendapatan dari kekayaan negara dipisahkan.
Selanjutnya, upaya peningkatan kualitas belanja negara tercermin dalam alokasi belanja
negara tahun 2020 yang mencapai Rp2.528,8 triliun, terdiri dari belanja pemerintah pusat
Rp1.670,0 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa Rp858,8 triliun. Alokasi belanja
pemerintah pusat akan dimanfaatkan, terutama untuk bidang prioritas pembangunan, seperti
bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang perlindungan sosial, dan bidang infrastruktur.
Untuk bidang pendidikan, upaya pemerintah dilakukan terutama pada inisiatif perluasan akses
pendidikan dan peningkatan skill SDM dengan melanjutkan bantuan pendidikan, yakni
melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sementara itu,
untuk menjawab tantangan di era industri 4.0 serta mengatasi rendahnya produktivitas
pekerja, Pemerintah meluncurkan Kartu Pra Kerja. Program ini diharapkan dapat
meningkatkan skill dalam rangka mengakselerasi penyerapan tenaga kerja muda melalui
penguatan skilling dan re-skilling sebanyak 2 juta penerima manfaat. Untuk menjaga stabilitas
harga dan daya beli masyarakat golongan miskin, Pemerintah tetap memberikan subsidi energi
secara lebih tepat sasaran dan tepat jumlah.
Selanjutnya, untuk mendukung upaya penajaman belanja Negara, penguatan peran Transfer
ke Daerah dan Dana Desa diarahkan untuk memperbaiki kuantitas dan kualitas pelayanan
publik serta mengurangi ketimpangan antardaerah. TKDD juga akan difokuskan untuk
peningkatan daya saing melalui percepatan penyediaan infrastruktur publik dan penguatan
kualitas SDM. Peningkatan daya saing daerah juga diupayakan, antara lain melalui penguatan
Dana Transfer Umum (DTU) dalam mendanai kewenangan desentralisasi serta mengarahkan
pengelolaan Dana Transfer Khusus (DTK) guna mendukung implementasi desentralisasi.
Dengan memperhatikan pendapatan Negara dan belanja Negara, defisit RAPBN 2020
ditetapkan sebesar Rp307,2 triliun atau 1,76 persen terhadap PDB. Defisit fiskal tersebut
diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berkeadilan serta
mendukung kegiatan produktif guna meningkatkan produktivitas dan daya saing. Sumber-
sumber pembiayaan defisit diperoleh, baik melalui utang maupun penerbitan SBN. Kebijakan
pembiayaan utang diarahkan agar berhati-hati serta mengendalikan rasio utang dalam batas
aman penerbitan SBN. Sementara untuk pinjaman dalam dan luar negeri difokuskan untuk
pemberdayaan industri dalam negeri serta pembangunan infrastruktur. Rasio utang

48 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


pemerintah juga akan dijaga pada tingkat yang aman, yakni dibawah 30 persen, atau jauh di
bawah tingkat utang negara-negara lain di dunia.

Tabel 13. Postur RAPBN 2020 (triliun Rupiah)

2019 2020
URAIAN
APBN Outlook RAPBN

A. PENDAPATAN NEGARA 2,165.1 2,030.8 2,221.5


I PENDAPATAN DALAM NEGERI 2,164.7 2,029.4 22,210.0
1 Peneriman Perpajakan 1,786.4 2,029.4 1,861.8
2 PNBP 378.3 386.3 359.3
II PENERIMAAN HIBAH 0.4 1.3 0.5
B. BELANJA NEGARA 2,461.1 2,341.6 2,528.8
I BELANJA PEMERINTAH PUSAT 1,634.3 1,527.2 1,670.0
1 Belanja K/l 855.4 854.9 884.6
2 Belanja Non K/L 778.9 672.2 785.4
II TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA 826.8 814.4 858.8
1 Transfer ke daerah 756.8 744.6 786.8
2 Dana Desa 70.0 69.8 72.0
C KESEIMBANGAN PRIMER (20.1) (34.7) (12.0)
D SURPLUS/(DEFISIT) ANGGARAN (296.0) (310.8) (307.2)
% Surplus/(Defisit) Anggaran terhadap PDB (1.8) (1.9) (1.8)
E PEMBIAYAAN ANGGARAN 296.0 310.8 307.2
I PEMBIAYAAN UTANG 359.3 373.9 351.9
II PEMBIAYAAN INVESTASI (75.9) (75.8) (74.2)
III PEMBERIAN PINJAMAN (2.4) (2.3) 5.2
IV KEWAJIBAN PENJAMINAN 0.0 0.0 (0.6)
V PEMBIAYAAN LAINNYA 15.0 15.0 25.0

Sumber: Kementerian Keuangan

Boks 2. Peran Daya Beli yang Terjaga dan Penyaluran Bansos dalam Mendorong
Penurunan Kemiskinan dan Rasio Gini (UPDATED)

Sasaran angka kemiskinan yang ingin dicapai Pemerintah pada tahun 2019 berada pada
kisaran 8,5-9,5 persen. Pada Maret 2019, persentase penduduk miskin turun menjadi 9,41
(turun 0,25 persen poin dibandingkan periode September 2018 dan turun 0,41 persen poin
dibandingkan periode Maret 2018). Sementara itu, jumlah penduduk miskin pada Maret
2019 tercatat 25,14 juta orang (menurun 0,53 juta orang dari September 2018 atau menurun

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 49


0,81 juta orang terhadap Maret 2018), dengan persentase penduduk miskin di perkotaan
turun menjadi 6,69 persen dan di pedesaan turun menjadi 12,85 persen pada Maret 2019.
Indeks kesenjangan (gini ratio) pada tahun 2019 diupayakan berada pada kisaran 0,380
hingga 0,385. Pada Maret 2019, rasio gini menjadi sebesar 0,382, turun 0,002 poin
dibandingkan September 2018 atau turun 0,007 poin dibandingkan dengan gini ratio
Maret 2018. Lebih lanjut, rasio gini perkotaan naik menjadi 0,392 pada Maret 2019,
sedangkan di perdesaan turun menjadi 0,317.
Berdasarkan ukuran ketimpangan World Bank, distribusi pengeluaran pada kelompok
40 persen terbawah yakni 17,71 persen. Hal ini mengindikasikan pengeluaran penduduk
telah berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah. Apabila dirinci menurut wilayah,
daerah perkotaan mencatatkan angka sebesar 16,93 persen (tergolong pada kategori
ketimpangan sedang), sedangkan perdesaan sebesar 20,59 persen (tergolong dalam
kategori ketimpangan rendah).
Perbaikan dua indikator kesejahteraan di atas antara lain disebabkan oleh kenaikan
pengeluaran per kapita masyarakat kelompok bawah dan menengah, baik di daerah
pedesaan maupun perkotaan. Di samping pertumbuhan ekonomi yang merata dan
terjaganya inflasi, pencairan bantuan sosial oleh Pemerintah di awal 2019 juga telah
memberi kontribusi terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan. Alokasi anggaran
bantuan sosial sendiri pada tahun 2019 mengalami peningkatan dengan harapan agar
dapat mempercepat penurunan kemiskinan dan ketimpangan.
Grafik 30. Tingkat Kemiskinan dan Gini Ratio
0,600 15

0,413 0,384 0,382


0,400 11,66 10
9,66
9,41
0,200 5 (%)

0,000 0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 Jan-19 Feb-19 Mar-19 Apr-19 May-19 Jun-19 Jul-19
Bantuan Sosial untuk Perlindungan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan (100 Triliun Rp)
Rasio Gini

Sumber: Kementerian Keuangan, diolah

50 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


[ Halaman ini sengaja dikosongkan ]

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 51


BAGIAN III
ULASAN KHUSUS:
KAJIAN ALTERNATIF SUMBER
PEMBIAYAAN JANGKA PANJANG
MELALUI DANA PENSIUN

52 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 53
A. LATAR BELAKANG
Keberadaan infrastruktur yang layak menjadi sebuah prasyarat penting dalam menyokong
mobilitas dan mendorong pembangunan sehingga infrastruktur menjadi salah satu poin
penting dalam RPJMN 2020-2024. Berdasarkan RPJMN 2020-2024, terdapat 19 major project
yang terkait dengan Prioritas Nasional Nomor 5: Memperkuat Infrastruktur untuk Mendukung
Pengembangan Ekonomi dan Pelayanan Dasar yang membutuhkan alokasi dana sekitar
Rp2.085 triliun. Sumber pendanaan yang diharapkan dapat digunakan untuk membiayai
proyek tersebut berasal dari APBN dan skema-skema lain, seperti skema penugasan kepada
BUMN, Pembangunan Infrastruktur Non Anggaran, serta Kerjasama Pemerintah dan Badan
Usaha.

Inovasi menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan demi menggali sumber-sumber lain yang
dapat digunakan untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur. Adapun karakteristik
sumber pembiayaan sudah seharusnya disesuaikan dengan karakteristik proyek jangka
panjang tersebut. Salah satu sumber pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik tersebut
adalah dana kelolaan asuransi jiwa dan dana pensiun.

B. GAMBARAN UMUM INDUSTRI DANA PENSIUN DI INDONESIA


Sistem pensiun di Indonesia mencakup program pensiun wajib dan pensiun sukarela.
Program pensiun wajib meliputi program pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dikelola
oleh PT Taspen (Persero), sedangkan bagi anggota TNI/POLRI dikelola oleh PT Asabri (Persero).
Adapun untuk program pensiun nasional bagi pekerja formal swasta dikelola oleh BPJS
Ketenagakerjaan. Selain program pensiun wajib, terdapat program pensiun yang bersifat
sukarela yang diselenggarakan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun
Lembaga Keuangan (DPLK).
Total dana kelolaan program pensiun saat ini relatif tinggi. Per Desember 2018, total dana
tercatat sebesar Rp850,78 triliun yang didominasi oleh program pensiun wajib BPJS
Ketenagakerjaan (Rp319,33 triliun). Meskipun aset program pensiun nasional mengalami
pertumbuhan cukup pesat, peran dana pensiun dalam pengembangan sektor keuangan di
Indonesia masih sangat kecil. Per Desember 2018, total dana kelolaan industri dana pensiun
hanya sekitar 5,63 persen dari PDB, relatif sangat kecil dibandingkan dengan negara lainnya.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa aset dana pensiun di Indonesia saat ini belum dikelola
secara optimal.

C. PERMASALAHAN SAAT INI


Secara umum, minimnya sumber pembiayaan jangka panjang terutama yang berasal dari
dana kelolaan program pensiun saat ini. Hal ini disebabkan belum optimalnya pengelolaan
aset dana pensiun dan belum baiknya sistem pensiun saat ini.
1. Belum Optimalnya Pengelolaan Aset Dana Pensiun
Aset dana pensiun di Indonesia sebagian besar diinvestasikan pada instrumen investasi
jangka pendek. Hal tersebut tidak sesuai dengan karakteristik program pensiun yang
memiliki liabilitas jangka panjang (asset-liability mismatch). Dengan demikian, aset dana
pensiun yang dikelola saat ini tidak dapat dikembangkan secara optimal. Beberapa hal
yang menyebabkan asset-liability mismatch adalah sebagai berikut.

54 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Tabel 14. Ketidaksesuaian Aset dan Kewajiban
BPJS – Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS – Jaminan Pensiun (JP)

TENOR Aset/Liabilitas Aset Aset/Liabilitas Aset

<1 113% 35,1 T 3946% 6,8 T

1-5 37% 34,4 T 159% 2,2 T

5-10 47% 33,1 T 234% 4,1 T

10-20 215% 157,1 T 552% 24,9 T

>20 90% 19,1 T 6% 2,9 T

TASPEN ASABRI DPPK dan DPLK


TENOR Aset/Liabilitas Aset Aset/Liabilitas Aset Aset/Liabilitas Aset

<1 688% 71,7 T 244% 11,5 T 238% 120,7 T

1-5 238% 56,6 T 155% 3,5 T 140% 52,7 T


5-10 74% 19,9 T 139% 3,3 T 68% 28,7 T

>10 282% 82,8 T 85% 4,3 T 68% 68,6 T


Sumber: BPJS Ketenagakerjaan

a) Pengukuran kinerja manajemen pengelola dana, baik program wajib maupun


sukarela, dilakukan berdasarkan kinerja satu tahun terakhir saja.
Adanya aturan terkait pencapaian suatu target investasi bagi institusi pengelola dana
pensiun sesuai Peraturan Menteri BUMN dan target Rencana Investasi Tahunan (RIT)
pada PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) sesuai Peraturan Menteri Keuangan
(PMK). Hal tersebut membuat manajemen cenderung menempatkan aset dana kelolaan
pada instrumen investasi dengan tenor pendek tingkat volatilitas yang kecil walau
imbal hasil yang diperoleh relatif kecil. Kondisi ini berbeda dengan praktik di beberapa
negara lain (seperti Malaysia, Australia, dan Kanada) di mana pengukuran kinerja
tahunan manajemen dilakukan berdasarkan rata-rata kinerja 3-5 tahun terakhir.
b) Penarikan dana pensiun yang relatif dini sebelum memasuki usia pensiun,
khususnya pada program Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan
berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata
Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Program JHT, program dengan aset kelolaan terbesar (per Desember 2018 sebesar
Rp278,9 triliun), tidak tumbuh optimal karena banyak peserta yang melakukan
penarikan dana jauh sebelum usia pensiun. Penarikan dana JHT saat ini dapat
dilakukan kapan saja, termasuk sesaat setelah berhenti bekerja. Hal ini mungkin terjadi
karena beberapa peraturan yang ada memperkenankan hal tersebut dapat dilakukan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (UU SJSN), dana JHT diperkenankan untuk diambil sebagian apabila peserta
telah memiliki masa iuran paling sedikit 10 tahun. Dengan demikian, penarikan dini
dana JHT yang terjadi saat ini sangat bertentangan dengan ketentuan pada UU SJSN.
Secara umum di banyak negara, dana pensiun hanya dapat diakses/ditarik pada saat
peserta telah mencapai usia pensiun.

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 55


c) Peraturan OJK yang mewajibkan lembaga Industri Keuangan Non-Bank (IKNB)
untuk mengalokasikan aset pada instrumen investasi SBN dalam batas tertentu tanpa
mempertimbangkan karakter dan durasi liabilitas program.
Salah satu ketentuan di dalam POJK tersebut mengatur bahwa paling sedikit 50% dari
aset investasi Dana Jaminan Sosial (DJS) Ketenagakerjaan harus ditempatkan pada
instrumen SBN. Ketentuan tersebut mengakibatkan alokasi dana pada SBN cukup besar
sehingga kurang memberi ruang bagi surat berharga korporasi dan instrumen investasi
lain untuk dapat berkembang. Mengingat pengukuran kinerja diukur berdasarkan
kineja tahunan, pengelola dana pensiun cenderung mengalokasikan dana pada SBN
yang memiliki tenor pendek atau menengah.
d) Literasi investasi (termasuk tentang asset liability management) masyarakat secara
umum, baik peserta, badan pengelola, dan regulator masih relatif rendah.
Mengacu pada best practices, prinsip utama dari penentuan strategi investasi atas aset
program pensiun ditentukan oleh profil liabilitas program tersebut. Apabila profil
liabilitas dari suatu program didominasi oleh liabilitas jangka pendek, strategi investasi
yang sebaiknya dilakukan adalah strategi konservatif. Sebaliknya, apabila profil
liabilitas dari suatu program didominasi oleh liabilitas jangka panjang, strategi investasi
yang sebaiknya dilakukan adalah strategi yang lebih agresif. Prinsip inilah yang belum
dipahami secara benar. Selain itu, masyarakat hanya familiar dengan instrumen
konvensional seperti tabungan, deposito, dan SBN namun kurang memahami
instrumen lain seperti saham dan reksadana.

2. Belum Baiknya Sistem Pensiun Saat Ini

Dalam sejarah perkembangannya, Indonesia telah memiliki program pensiun sejak


tahun 1960-an. Program pensiun wajib yang diterapkan di Indonesia telah mencakup
seluruh pekerja formal, namun belum termasuk pekerja informal (saat ini telah mencapai
57 persen dari total pekerja di Indonesia). Secara garis besar program pensiun wajib di
Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut.

a) Indonesia telah memiliki program pensiun sejak tahun 1966, yaitu program pensiun
wajib untuk militer dan diikuti program pensiun wajib bagi PNS. Selanjutnya, pada
tahun 1992 pemerintah mulai menerapkan program JHT melalui program Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) bagi pegawai swasta, serta program pensiun sukarela
melalui DPPK dan DPLK.

b) Pada tahun 2003, melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), Pemerintah mulai mewajibkan para
pengusaha untuk memberikan kompensasi bagi pekerja yang mengalami pemutusan
hubungan kerja (PHK), berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan
uang penggatian hak.

c) Selanjutnya, pada tahun 2004 pemerintah memperkenalkan SJSN melalui UU SJSN,


yaitu negara memberikan perlindungan berupa jaminan sosial kepada seluruh warga
negara, antara lain melalui program pensiun berupa Jaminan Pensiun (JP) dan JHT,
serta membentuk BPJS.

56 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Grafik 31. Total Distribusi Klaim JHT 2017

100% Memasuki Usia


Pensiun
Meninggal Dunia

Cacat Total Tetap

Meninggalkan
50%
Wilayah RI
PHK

Mengundurkan Diri

Klaim Sebagian
0% (30%)
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Klaim Sebagian
(10%)
Masa Kepesertaan (tahun)

Sumber: BPJS Ketenagakerjaan

Sejak berlakunya UU Ketenagakerjaan dan UU SJSN, terdapat beberapa program


jaminan sosial yang wajib diberikan kepada pekerja, antara lain JP, JHT, dan uang
pesangon. Namun, regulasi yang mengatur tentang program pensiun kurang terintegrasi
dengan baik antara satu dengan yang lain. Hal tersebut mengakibatkan penerapan
program pensiun yang kurang harmonis dan bahkan terjadi tumpang tindih manfaat pada
program yang berbeda. Belum baiknya sistem pensiun yang ada saat ini tercermin dari
dampak yang ditimbulkan antara lain sebagai berikut.

a) Berdasarkan International Labor Organization EPLex Indicators (International Labor


Organization, 2015), regulasi tentang perlindungan pekerja di Indonesia termasuk
paling kaku apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Selain itu,
penegakan dan tingkat kepatuhan terhadap regulasi tersebut sangat rendah (Kajian
World Bank, 2019).

b) Dari sisi pengusaha, beban iuran yang ditanggung untuk program pensiun wajib dan
program wajib sejenis relatif besar. Adapun beban iuran tersebut termasuk salah satu
yang tertinggi di Asia (Social Security Administration - International Social Security
Association, 2016), dengan rincian sebagai berikut.

i. Untuk program pesangon, berdasarkan perhitungan aktuaria rata-rata beban


iuran yang ditanggung pengusaha sebesar 8 persen atas upah pekerja, sementara
untuk pekerja dengan masa kerja yang relatif singkat, iuran yang dibutuhkan
dapat mencapai 12 – 15 persen.

ii. Program pensiun wajib bagi pegawai swasta (dalam SJSN) yang diterapkan sejak
2015, dengan iuran sebesar 3 persen atas upah pekerja (pembagian antara
pengusaha sebesar 2 persen dan pekerja sebesar 1 persen), memberikan tambahan
beban bagi pengusaha, sehingga total beban pengusaha untuk memenuhi
kewajiban kepada pekerja berkisar antara 18,24 - 23,74 persen dari upah pekerja.

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 57


c) Jumlah kepesertaan program pensiun (dan program ketenagakerjaan lain yang
sejenis) yang saat ini relatif sangat rendah, secara garis besar sebagai berikut.

i. Sebagian besar pekerja yang telah terproteksi program pensiun sebagaimana


dimaksud adalah pekerja sektor formal, namun belum semua pekerja formal
terproteksi program pensiun (hanya sekitar 43 persen dari pekerja formal atau 16
persen dari total tenaga kerja).

ii. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari separuh tenaga kerja di
Indonesia adalah pekerja pada sektor informal. Meskipun demikian, hampir
seluruh pekerja pada sektor tersebut belum terproteksi program pensiun.

Grafik 32. (a) Perkembangan Pekerja Formal; (b) Jaminan Sosial


140 0,6
Tenaga Kerja*)
[124 JUTA]
120
0,55

100 Tenaga Kerja


Formal
0,5
[53,5 JUTA; 43%]
Juta

80

0,45
60
Peserta Jaminan
40 0,4 Sosial
Ketenagakerjaan
2015 2016 2017 2018
[20,2 JUTA; 16%]
Total
Pekerja Formal
Persentase Pekerja Formal

(a) (b)
Sumber: BPJS Ketenagakerjaan

d) Di sisi lain, program pensiun sukarela, yang diselenggarakan Dana Pensiun Pemberi
Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK), belum berkembang
dengan baik yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.

i. Persepsi masyarakat, baik pekerja maupun pengusaha, yang menganggap bahwa


dana pensiun cukup diperoleh dari program wajib saja.

ii. Belum adanya insentif yang cukup menarik bagi masyarakat (khususnya yang
sangat mampu) untuk menabung di dana pensiun.

Di banyak negara, pemberian insentif pajak menjadi kunci utama besarnya akumulasi
dana kelolaan pada program pensiun sukarela. Saat ini, insentif pajak program pensiun
(yaitu iuran dapat menjadi tax deductible) hanya dapat diperoleh apabila dibayar melalui
pemberi kerja, dan belum dimungkinkan apabila iuran dibayarkan langsung secara
perorangan ke DPLK. Belum baiknya sistem pensiun yang ada saat ini memberikan
dampak yang kurang baik (merugikan) bagi semua stakeholder, baik Pemerintah, Pekerja,
maupun Pengusaha, yang tercermin pada hal-hal sebagai berikut.

a) Akumulasi dana jangka panjang di Indonesia, terutama dari akumulasi dana pensiun
sangat rendah. Total dana kelolaan seluruh program pensiun saat ini 5,6 persen dari
PDB. Jumlah tersebut relatif sangat rendah apabila dibandingkan dengan negara-

58 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


negara lain seperti Australia (+130 persen), Kanada (+154 persen), dan Malaysia (+60
persen) (OECD dan World Bank, 2018).
b) Iklim investasi yang tidak kondusif.
c) Perlindungan ketenagakerjaan yang sangat rendah.

D. ALTERNATIF KEBIJAKAN
Untuk dapat memaksimalkan dana kelolaan dana pensiun sebagai sumber pembiayaan jangka
panjang, secara garis besar opsi perbaikan dapat dibagi menjadi optimalisasi pengelolaan aset
dana pensiun serta perbaikan sistem pensiun.
1. Optimalisasi Pengelolaan Aset Dana Pensiun
Dalam jangka pendek, tambahan dana jangka panjang bisa didapatkan dengan melakukan
optimalisasi pengelolaan aset program pensiun yang ada saat ini. Beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk mengoptimalkan pengelolaan aset dana pensiun antara lain sebagai
berikut.
a) Melakukan pengubahan pengukuran kinerja tahunan manajemen (yang semula
hanya berdasarkan kinerja 1 tahun terakhir) berdasarkan rata-rata kinerja untuk
periode (rolling) yang lebih panjang (misalnya 3 – 5 tahun terakhir).
b) Meminimalisasi penarikan dana pensiun sebelum usia pensiun, terutama penarikan
yang terlalu dini. Berkenaan dengan penarikan dana JHT, perlu dipertimbangkan hal-
hal sebagai berikut:
i. dapat menyesuaikan kembali aturan yang ada saat ini agar kembali sesuai dengan
ketentuan UU SJSN (diperkenankan untuk diambil sebagian apabila peserta telah
memiliki masa iuran paling sedikit 10 tahun); atau
ii. melakukan pemisahan aset JHT menjadi dua bagian dengan komposisi
(persentase) tertentu, yaitu sebagian kecil dana dapat diakses (ditarik) kapan saja
oleh peserta untuk tujuan tertentu sementara sebagian lain dari dana program
hanya dapat diakses (ditarik) oleh peserta ketika mencapai usia pensiun (contoh:
pengelolaan program pensiun pada Malaysia).
c) Melakukan penyesuaian ketentuan pada POJK terkait minimal kepemilikan SBN,
yaitu dengan dengan turut memperhatikan kesesuaian pada karakter program dan
durasi liabilitas program. Penyesuaian ini dapat dimanfaatkan Pemerintah dengan
lebih banyak menerbitkan SBN bertenor panjang.
d) Melakukan edukasi tentang investasi dilakukan sejak dini dan berkelanjutan.
e) Membuka ruang untuk menambah penyediaan instrumen jangka panjang untuk
menyerap kebutuhan.
Dengan melakukan opsi perbaikan optimalisasi pengelolaan dana pensiun berupa perubahan
pengukuran kinerja manajemen dan meminimalisir penarikan dana pensiun sebelum usia
pensiun, simulasi menunjukkan bahwa terdapat potensi dana jangka panjang sebesar Rp226
triliun.
2. Perbaikan Sistem Pensiun
Dalam jangka yang relatif panjang, penambahan dana jangka panjang dapat dilakukan melalui
perbaikan sistem pensiun. Perbaikan yang komprehensif akan menghasilkan program-
program yang terintegrasi dengan baik, memberikan perlindungan secara menyeluruh, efektif

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 59


dan efisien, serta menciptakan akumulasi dana jangka panjang yang sangat besar dan
berkesinambungan. Beberapa upaya perbaikan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
a) Melakukan harmonisasi program-program yang ada saat ini secara wajar dengan
memperhatikan besaran iuran berdasarkan kemampuan dan keterjangkauan pekerja
dan/atau pengusaha., yang menyangkut beberapa hal sebagai berikut:
i. mengubah atau melakukan penyesuaian skema pesangon;
ii. melakukan realokasi iuran dari beberapa program yang ada saat ini. Usulan realokasi
secara lengkap disampaikan pada Lampiran II; dan/atau
iii. meningkatkan penegakan dan kepatuhan terhadap regulasi.
b) Membentuk program Unemployment Insurance, sebagai salah satu program yang wajib ada
sebagai konsekuensi dari penyesuaian skema pesangon.
c) Melakukan penyesuaian ketentuan terkait insentif pajak dengan memberikan insentif
pajak (tax deductible) atas iuran perorangan yang digunakan untuk men-top-up atau
berinvestasi di dana pensiun. Apabila ini disetujui, perlu kiranya form SPT Pajak
perorangan diperbaiki dengan menyertakan field iuran dana pensiun perorangan sebagai
pengurang penghasilan kena pajak.
d) Meningkatkan perlindungan dan partisipasi pekerja informal pada program pensiun,
dengan membentuk program pensiun wajib bagi pekerja informal dan/atau
mengupayakan transisi pekerja informal menjadi formal. Salah satu upaya sederhana yang
dapat dilakukan adalah setiap masyarakat (pekerja) yang memiliki NPWP dapat dicatat
sebagai pekerja formal.

60 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


[ Halaman ini sengaja dikosongkan ]

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 61


LAMPIRAN
PERKEMBANGAN
INDIKATOR
EKONOMI MAKRO

62 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


63
Data Perkembangan Indikator Ekonomi Makro

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


2018 2019
Indikator
Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus
Produk Domestik Bruto (PDB)
Pertumbuhan Ekonomi (%) 5.17 5.18 5.07 5.05
Nominal harga konstan (triliun rupiah) 2,684.19 2,638.89 2,625.04 2,735.19
Nominal harga berlaku (triliun rupiah) 3,841.76 3,798.68 3,782.36 3,963.46
Inflasi (%) 3.20 2.88 3.16 3.23 3.13 2.82 2.57 2.48 2.83 3.32 3.28
IHK 134.07 133.83 134.20 134.56 135.39 135.83 135.72 135.87 136.47 137.40 138.16 138.59 138.75
Core 2.90 2.82 2.94 3.03 3.07 3.06 3,06 3.03 3.05 3.12 3.25 3.18 3.30
Administrative Price 2.55 2.40 2.74 3.07 3.36 3.39 3.38 3.25 3.17 3.38 1.89 2.22 1.87
Volatile Food 4.97 3.75 4.48 4.32 3.39 1.76 0.33 0.16 2.05 4.08 4.91 4.90 5.96
Nilai Tukar (Rp/US$)
Rata-rata 14,560 14,869 15,179 14,697 14,497 14,163 14,035 14,211 14,143 14,393 14,227 14,044 14,242
End Of Period 14,711 14,929 15,227 14,339 14,481 14,072 14,062 14,244 14,215 14,385 14,141 14,026 14,308
Suku Bunga (%)
BI-7days Repo Rate 5.50 5.75 5.75 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 5.75 5.50
Kredit Konsumsi (eop) 11.96 11.9 11.83 11.8 11.73 11.72 11.68 11.64 11.62 11.57 11.57
Kredit Modal Kerja (eop) 10.48 10.59 10.47 10.48 10.34 10.52 10.55 10.51 10.5 10.43 10.42
Kredit Investasi (eop) 10.37 10.54 10.38 10.51 10.38 10.38 10.36 10.34 10.31 10.26 10.24
Harga Minyak (US$/barel)
Rata-rata (ICP) 69.4 68.3 69.2 68.6 54.8 56.6 61.3 63.6 68.3 68.1 61.0 61.3
WTI 69.8 73.3 65.3 50.9 49.0 51.6 55.0 58.2 63.9 60.9 54.7 55.0
Brent 77.2 83.0 73.9 58.4 57.7 60.2 64.0 66.1 71.3 71.1 64.1 64.0
SUN dan Saham
Obligasi Yield (5YR) 7.98 8.05 8.35 7.82 7.91 7.85 7.51 7.15 7.31 7.54 6.78 6.84 6.79
Obligasi Yield (10YR) 8.20 8.12 8.54 7.87 8.03 8.01 7.82 7.63 7.83 7.96 7.37 7.38 7.33
Saham IHSG 6,018 5,977 5,832 6,056 6,194 6,533 6,443 6,469 6,455 6,209 6,359 6,391 6,328
NFB SUN, Saham, SBI 14,975 -5,919 10,055 46,065 -12,395 30,502 30,842 24,141 46,030 -16,807 50,382 24,265
Perbankan (%)
CAR 22.83 22.91 22.97 23.32 23.3 23.22 23.45 23.42 23.21 22.43 22.63
LDR 93.79 94.09 93.71 93.19 94.78 93.97 94.12 94 94.25 96.19 9.98
NPL 2.7 2.66 2.67 2.7 2.59 2.56 2.6 2.5 2.57 2.61 2.5
Pertumbuhan Kredit 11.91 12.43 13.09 12.05 11.7 11.9 12.7 11.55 11.06 11.06 9.34
Sumber: Bank Indonesia, BPS, Bloomberg, dan DJA
Perbandingan Penyerapan APBN Juli 2018 dan Juli 2019
2018 2019
Uraian Realisasi s.d 31 % thd Realisasi s.d 31 % thd
APBN APBN
Juli APBN Juli APBN
A. Pendapatan Negara dan Hibah 1,894,720.4 994,357.50 52.5% 2,165,111.8 1,052,826.8 48.60%
I. Penerimaan Dalam Negeri 1,893,523.5 991,087.40 52.3% 2,164,676.5 1,052,021.4 48.60%
1. Penerimaan Perpajakan 1,618,095.5 780,052.20 48.2% 1,786,378.7 810,748.5 45.40%
a. Pajak Dalam Negeri 1,579,395.5 754,722.40 47.8% 1,577,600.0 788,213.5 44.70%
b. Pajak Perdagangan Internasional 38,700.0 25,329.80 65.5% 43,321.8 22,535.0 52.00%
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 275,428.0 211,035.20 76.6% 378,297.9 241,272.9 63.80%
II. Hibah 1,196.9 3,270.10 273.2% 435.3 805.4 185.00%
B. Belanja Negara 2,220,657.0 1,145,656.10 51.6% 2,461,112.1 1,236,500.0 50.20%

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


I. Belanja Pemerintah Pusat 1,454,494.4 697,020.50 47.9% 1,634,339.5 761,467.2 46.60%
1. Belanja K/ L 847,435.2 375,930.50 44.4% 855,445.8 419,900.0 49.10%
2. Belanja Non K/ L 607,059.2 321,090.00 52.9% 778,893.7 341,600.0 43.90%
II. Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa 766,162.6 448,635.60 58.6% 826,772.5 475,069.9 57.50%
1. Transfer ke Daerah 706,162.6 412,774.90 58.5% 756,772.5 433,190.1 57.20%
2. Dana Desa 60,000.0 35,860.70 59.8% 70,000.0 41,879.7 59.80%
C. Keseimbangan Primer (87,329.5) (4,853.80) -11.5% (20,115.0) (25,080.4) 124.70%
D. Surplus/ Defisit Anggaran (A - B) (325,936.6) (151,299.20) (296,000.2) (183,700.0) 62.10%
% Surplus / (Defisit) Anggaran thd PDB (2.2) (1.02) (1.8) (1.1)
E. Pembiayaan 325,936.6 206,598.30 63.4% 296,000.2 229,731.8 77.60%
I. Pembiayaan Utang 399,219.4 205,567.70 51.5% 359,250.6 234,131.4 65.20%
II. Pembiayaan Investasi (65,654.3) (1,550.00) 2.4% (75,900.3) (5,133.9) 6.80%
III. Pemberian Pinjaman (6,690.1) 2,474.00 -37.0% (2,350.0) 715.8 -30.50%
IV. Kewajiban Penjaminan (1,121.3) - 0.0% - - 0.00%
V. Pembiayaan Lainnya 183.0 106.60 58.3% 15,000.0 18.6 0.10%

64
KELEBIHAN / (KEKURANGAN) PEMBIAYAAN 55,299.10 46,021.6
[ Halaman ini sengaja dikosongkan ]

Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 65


66 Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal
Edisi III 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 67

Anda mungkin juga menyukai