Anda di halaman 1dari 83

TINJAUAN

EKONOMI, KEUANGAN, & FISKAL


Mengokohkan Reformasi di Tengah Dinamika Global

EDISI IV 2019

Ulasan Khusus:
Penguatan Strategi untuk Mendorong Produktivitas dan Daya Saing
Menuju Indonesia Emas

Edisi Triwulan II 2018 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 1


√ Diterbitkan oleh:
Badan Kebijakan Fiskal

Pengarah:
Kepala Badan Kebijakan Fiskal

Penanggung Jawab:
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro

Redaktur Pelaksana:
Sekretaris Badan, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi
Makro, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, Kepala Pusat Kebijakan Sektor
Keuangan

Editor:
Andriansyah, Brian Thomas, Endang Larasati, Evy
Mulyani, Ronald Yusuf, Thomas N.P.D Keraf, Wahyu
Utomo, Widiyanto, Yoopi Abimanyu
Edisi IV 2019
Foto Sampul: Pengrajin Tenun , NTT. Dewan Redaksi:
Abdul Aziz, Achmad Budi S., Ahmad Wira Kusuma,
Aktiva Primananda, Ali Moechtar, Alfan Mansur, Asep
Tinjauan Kebijakan Fiskal diterbitkan oleh Badan
Nurwanda, Dedy Sunaryo, Dwi Anggi Novianti,
Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dengan
Immanuel Bhekti H., Indra Budi Sucahyo, Pipin
periode publikasi triwulanan dan memuat mengenai
Prasetyono, Putri Rizki Yulianti, Raditiyo Harya P.,
perkembangan kebijakan ekonomi, fiskal, dan
Rahadian Zulfadin, Roni Parasian, Tuti Sarinigsih Budi
keuangan terkini.
Utami, Yasir Niti Samudro

Desain Grafis:
Abraham Putra Agung, Arif Taufiq, Bramantiyo, Fatima
Medina Septiyanti

Kontributor:
Affan Hanif Imaduddin, Ari Nugroho, Bakhtiar Rifai,
Bramantiyo, Dessy Kusumawardani, Dhoni Siamsyah
F.A., Dimas Nurdy, Galuh Chandra Wibowo, Hilda
Choirunnisah, Ika Kartika Sari, Indah Kurnia Junirda,
M. Firmansyah Arviandri, Nina Hanifah, Nurul
Fatimah, Purwaningtyas Dewantoro, Restu Rinayanti,
Risyaf Fahreza, Rizal Augusta Arifiandanu, Rizki
Saputri, Widiani Putri, Wignyo Parasian, Yayu Andini

Foto Sampul/Foto Ilustrasi:


Masyitha Mutiara Ramadhan

Sekretariat:
Andi Yoga Trihartanto, Bagus Handoko, Puguh Fajar
Triyanto, Suhendi Ery Saputro

Alamat Redaksi:
Gedung R.M. Notohamiprodjo, Jalan Dr. Wahidin Raya
Nomor 1 Jakarta 10710

Situs Web: fiskal.kemenkeu.go.id


TINJAUAN EKONOMI, KEUANGAN,
& FISKAL
Edisi IV 2019

Edisi Triwulan II 2018 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal 3


“Menjadi unit terpercaya dalam
VISI BKF perumusan kebijakan fiskal dan sektor
keuangan yang antisipatif dan
responsif untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia sejahtera.”
KATA PENGANTAR

M
enutup tahun 2019, isu-isu global masih terus berkembang dinamis. Perlambatan
aktivitas manufaktur terjadi di berbagai negara dan proyeksi pertumbuhan
ekonomi global terus terkoreksi. Perang dagang AS-Tiongkok sebagai salah satu isu
yang cukup kuat memang sudah mulai memasuki tahapan negosiasi dan kompromi. Namun
demikian, bercermin dari kesepakatan AS-Tiongkok di forum G-20 Osaka yang meleset dan
tidak berkelanjutan, kita tentu harus siap jika sewaktu-waktu muncul momentum yang dapat
menimbulkan syok pada perekonomian. Potensi ketidakpastian masih akan terus membayangi.

Di negara seperti Jerman, Singapura, atau Hong Kong, fusi dinamika domestik dan global sudah
mulai menyeret pertumbuhan ekonomi negara tersebut hingga terus melambat bahkan
berkontraksi. Di Indonesia, kinerja investasi dan perdagangan internasional memang masih
belum memenuhi ekspektasi, tetapi fundamental ekonomi mampu dijaga, ditunjukkan dengan
pertumbuhan ekonomi yang solid. Dengan potensi ketidakpastian ke depan, reformasi harus
diperkuat untuk menjaga daya saing dan meningkatkan kualitas SDM. Kebijakan fiskal juga
harus terus didorong untuk mendukung upaya tersebut hingga terwujudnya stabilitas
ekonomi.

Tema Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal Edisi IV Tahun 2019 adalah Mengokohkan
Reformasi di Tengah Dinamika Global yang mencoba mengelaborasi usaha pemerintah untuk
terus menggaungkan reformasi di tengah ketidakpastian global. Dalam edisi ini terdapat ulasan
khusus terkait strategi untuk mendorong produktivitas dan daya saing menuju Indonesia Emas.

Tinjauan ini merupakan terbitan triwulanan yang menyajikan data-data dan informasi terkini
mengenai ekonomi makro, sektor keuangan, dan kebijakan fiskal. Diharapkan, materi yang
terangkum dalam tinjauan ini dapat menjadi referensi bagi para pemangku kepentingan dan
masyarakat luas dalam memahami kondisi ekonomi dan kebijakan fiskal terkini.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada berbagai pihak yang telah mendukung
kelancaran terbitnya tinjauan ini. Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
kami butuhkan untuk perbaikan ke depan. Selamat membaca.

Desember 2019

Arif Baharudin
Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 1


DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................................................................... 1

Daftar Isi .................................................................................................................................................................. 2

Abreviasi .................................................................................................................................................................. 3

Sekilas Perekonomian Indonesia 2019 ............................................................................................................ 5

Ringkasan Eksekutif .............................................................................................................................................. 6

ANALISIS PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO ............................................................................................. 8

A. Perkembangan Ekonomi Global ................................................................................................................... 10

B. Perkembangan Sektor Keuangan dan Moneter Indonesia .................................................................... 17

C. Kinerja Perbankan Domestik ........................................................................................................................ 30

D. Neraca Perdagangan Indonesia ................................................................................................................... 38

E. Neraca Pembayaran Indonesia .................................................................................................................... 42

F. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III 2019 ............................................................................... 45

G. Inflasi Indonesia .............................................................................................................................................. 50

ANALISIS KINERJA APBN DAN KEBIJAKAN FISKAL ...................................................................................... 56

ULASAN KHUSUS ................................................................................................................................................. 64

Data Perkembangan Indikator Ekonomi Makro ............................................................................................ 76

Perbandingan Penyerapan APBN November 2018 dan November 2019 .............................................. 77

2 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


ABREVIASI

7DRR : 7 Days Repo Rate K/L : Kementerian/Lembaga


APBN : Anggaran Pendapatan KI : Kredit Investasi
dan Belanja Negara
KIK : Kontrak Investasi
AS : Amerika Serikat
Kolektif
ASEAN-5 : Indonesia, Malaysia, KIP : Kartu Indonesia Pintar
Filipina, Thailand dan
KK : Kredit Konsumsi
Vietnam
BI : Bank Indonesia KLCI : Kuala Lumpur
Composite Index
BKF : Badan Kebijakan
KMK : Kredit Modal Kerja
Fiskal
BOPO : Belanja Operasional KND : Kekayaan Negara
terhadap Pendapatan Dipisahkan
Operasional KPR : Kredit Pemilikan
BOS : Bantuan Operasional Rumah
Sekolah LDR : Loan to Deposit Ratio
BPS : Badan Pusat Statistik
LNPRT : Lembaga Non Profit
bps : basis points yang melayani Rumah
BUMN Tangga
: Badan Usaha Milik
LTV : Loan to Value (Ratio)
Negara
CAR : Capital Adequacy Ratio Migas : Minyak dan Gas
CHT : Cukai Hasil Tembakau MSCI : Morgan Stanley Capital
CPO International
: Crude Palm Oil
mom : month-on-month
DAU : Dana Alokasi Umum
mtd : month-to-date
DINFRA : Dana Investasi
NFB : Net Foreign Buying
Infrastruktur
DPK : Dana Pihak Ketiga NIM : Net Interest Margin
ECB : European Central Bank OJK : Otoritas Jasa
FOMC Keuangan
: Federal Open Market
PDB : Produk Domestik
Committee
G-20 : Kelompok 20 ekonomi Bruto
Pemilu : Pemilihan Umum
utama
GFC : Global Financial Crisis PKH : Program Keluarga
GWM Harapan
: Giro Wajb Minimum
PMA : Penanaman Modal
IHK : Indeks Harga Asing
Konsumen PMDN : Penanaman Modal
IHSG : Indeks Harga Saham Dalam Negeri
Gabungan PMI : Purchasing Managers’
IKK : Indeks Keyakinan Index
Konsumen PMTB : Pembentukan Modal
IMF : International Monetary Tetap Bruto
Fund PNBP : Pendapatan Negara
Bukan Pajak

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 3


PPh : Pajak Penghasilan
PPN : Pajak Pertambahan
Nilai
PT : Perseroan Terbatas
QE : Quantitative Easing
qoq : quarter on quarter
RAPBN : Rancangan Anggaran
Pendapatan dan
Belanja Negara
RHS : Right Hand Side
RMB : Renminbi
ROA : Return on Asset
RT : Rumah Tangga
SBN : Surat Harga Berharga
SDA : Sumber Daya Alam
SDM : Sumber Daya Manusia
SML : Special Mention Loan
SMP : Sekolah Menengah
Pertama
TEKF : Tinjauan Ekonomi,
Keuangan dan Fiskal
The Fed : The Federal Reserves
TKDD : Transfer ke Daerah
dan Dana Desa
TMF : Transaksi Modal dan
Finansial
USD : United States Dollar
UU : Undang-Undang
WEO : World Economic
Outlook
yoy : year-on-year

ytd : year-to-date

4 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


SEKILAS PEREKONOMIAN
INDONESIA 2019

3,00% 5,02%
Inflasi November Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III
(yoy) (yoy)

6.012 -2,95% 5,06%


IHSG per 29 November Pertumbuhan Konsumsi RT & LNPRT
(indeks dan ytd) Triwulan III (yoy)

Rp14.102 2,62% 4,21%


Nilai Tukar per 29 November Pertumbuhan Investasi (PMTB)
(indeks dan ytd) Triwulan III (yoy)

5,0% 5,3%
BI 7-DRR per 30 November Pertumbuhan Belanja per November
(persen)

-7,61% -9,88%
Pertumbuhan Ekspor per November Pertumbuhan Impor per November
(ytd) (ytd)

Rp101,31 triliun -2,29%


Defisit Primary Balance per November Defisit APBN terhadap PDB per
November

2,66% USD124,3 miliar


Defisit Transaksi Berjalan Triwulan III (% Cadangan Devisa Triwulan III
PDB)

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 5


RINGKASAN EKSEKUTIF

P
erekonomian global masih terus berkembang dinamis hingga penghujung 2019.
Aktivitas manufaktur tercatat mengalami kontraksi sejak bulan Mei, meski saat ini
posisinya telah sedikit memulih. Gejolak ekonomi maupun geopolitik juga terjadi silih
berganti di berbagai negara, diwarnai sentimen proteksionisme yang mulai menghambat kerja
sama internasional. Perang dagang antara AS dan Tiongkok yang sempat tereskalasi juga
menambah ketidakpastian. Dengan beragam dinamika dan pelemahan terjadi secara luas di
perekonomian global, banyak negara yang menerapkan kebijakan yang akomodatif untuk
mencegah perlambatan ekonomi lebih dalam. Meski demikian, prospek pertumbuhan ekonomi
global di 2019 masih lemah. Outlook pertumbuhan ekonomi global di tahun 2019 diperkirakan
melambat pada tingkat terendah sejak krisis keuangan global, dan diperkirakan membaik di
2020 meskipun risiko yang membayangi tinggi.

Dinamika global sepanjang 2019 turut mempengaruhi perkembangan arus modal masuk,
yang tercermin dalam pergerakan nilai tukar dan IHSG. Secara agregat, selama Januari hingga
November 2019, terjadi NFB sebesar Rp216,2 triliun, terutama yang masuk pada pasar surat
beharga negara. Kondisi arus modal yang cukup kuat menopang stabilitas Rupiah di tahun
2019, meskipun beberapa ketidakpastian global seperti perang dagang sempat memberi
sentimen negatif pada pergerakan Rupiah. Di sisi kebijakan moneter, BI menyesuaikan posisi
pada arah yang lebih longgar dengan menurunkan suku bunga dari 6,0 persen menjadi 5,0
persen. Seiring dengan pelonggaran tersebut, suku bunga di pasar uang bank juga mulai
menurun dan laju pertumbuhan uang beredar yang juga dalam tren meningkat. Meski
demikian pertumbuhan kredit masil melambat di 2019, antara lain disinyalir diakibatkan
ketidakpastian global yang menghambat ekspansi aktivitas ekonomi serta rendahnya
pertumbuhan DPK.

Selama tahun 2019 kinerja perdagangan Indonesia mengalami perlambatan dibandingkan


tahun sebelumnya. Kontraksi terjadi baik pada komoditas migas maupun nonmigas. Secara
umum selama tahun 2019, kontraksi pertumbuhan impor sedikit lebih tinggi dibandingkan
kontraksi pada ekspor Indonesia. Tercatat secara kumulatif Januari-November 2019, neraca
perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD3,1 miliar, yang dipengaruhi oleh defisit
migas sebesar USD8,3 miliar dan neraca nonmigas yang mengalami surplus sebesar USD5,2
miliar. Lemahnya kinerja neraca perdagangan Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor,

6 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


antara lain turunnya permintaan dari negara mitra dagang ekspor utama Indonesia dan juga
terkontraksinya harga komoditas di pasar global. Meski demikian posisi eksternal secara
keseluruhan terjaga dengan neraca transaksi berjalan pada triwulan III 2019 tercatat
mengalami penyempitan defisit dan surplus transaksi modal dan finansial. Tren peningkatan
cadangan devisa juga masih terjadi hingga akhir Oktober 2019 yang tercatat sebesar USD126,7
miliar.

Perekonomian Indonesia pada triwulan ketiga 2019 tumbuh sebesar 5,02 persen (yoy) atau
secara kumulatif tumbuh sebesar 5,04 persen (ytd). Pertumbuhan konsumsi RT dan LNPRT
tetap menjadi mesin pertumbuhan dengan mampu tumbuh sebesar 5,06 persen. Kinerja
pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami perlambatan yaitu sebesar
4,21 persen, terpengaruh oleh kondisi ekonomi global yang belum kondusif dan tren harga
komoditas primer yang masih rendah. Fenomena menarik yang terjadi pada triwulan ketiga
2019 adalah kinerja ekspor yang mampu tumbuh positif meskipun masih dalam tingkat yang
rendah, yakni sebesar 0,02 persen (yoy), setelah mengalami kontraksi sejak awal tahun 2019.
Laju pertumbuhan yang sehat masih diiringi oleh inflasi yang terkendali, yang hingga bulan
November 2009 mencapai 2,37 persen (ytd) atau 3,00 persen (yoy).

Realisasi APBN pada November 2019 masih mencatatkan kinerja yang positif di tengah
faktor global yang memberikan tantangan. Pendapatan negara dan hibah masih mencatatkan
pertumbuhan sebesar 0,9 persen (yoy). Pertumbuhan ini didorong oleh kinerja positif pada
penerimaan cukai yang tumbuh signifikan sejak awal tahun. Sementara itu, belanja negara
tercatat tumbuh sebesar 5,3 persen (yoy) sebagai dampak dari meningkatnya realisasi bantuan
sosial dalam menjaga daya beli masyarakat miskin, serta tumbuhnya Transfer ke Daerah dan
Dana Desa (TKDD). Pemerintah akan terus menjaga defisit APBN serta rasio utang dalam
tingkat terkendali guna menjaga fiskal dalam kondisi yang sehat, terutama untuk
mengantisipasi perubahan dalam perekonomian global. Pembiayaan anggaran juga dikelola
secara pruden dan produktif untuk menjaga keberlangsungan APBN. Sikap kehati-hatian
Pemerintah juga tercermin dari posisi utang yang pada akhir November 2019 sebesar 30,03
persen terhadap PDB.

Guna mendorong pembangunan menjadi negara maju, Indonesia harus memacu


pertumbuhan produktivitas. Dalam rangka memacu produktivitas, Indonesia harus terus
mengimplementasikan strategi pembangunan yang fokus pada investasi infrastruktur dan
sumber daya manusia. Selain itu, perlu tercipta kompetisi yang sehat di semua sektor yang akan
mendukung lahirnya berbagai inovasi. Tidak kalah penting, sektor keuangan harus lebih dalam
untuk mendukung akses pendanaan bagi pelaku ekonomi. Terlebih jauh, Pemerintah harus
mampu menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan menjaga
stabilitas ekonomi makro dan politik. Langkah-langkah tersebut merupakan upaya reformasi
struktural yang harus lebih kuat diimplementasikan agar momentum perbaikan daya saing
dan produktivitas Indonesia dapat berlanjut.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 7


BAGIAN I

ANALISIS PERKEMBANGAN
EKONOMI MAKRO

8 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 9
A. PERKEMBANGAN EKONOMI GLOBAL
Sepanjang tahun 2019, aktivitas ekonomi global melemah ditandai dengan kontraksi pada
indikator manufaktur dan perdagangan. Indeks Pembelian Manager (PMI) global, salah satu
indikator yang merefleksikan aktivitas manufaktur di dunia, menunjukkan tren melemah dan
sejak bulan Mei mulai mencatat adanya kontraksi meski saat ini posisinya sudah sedikit
memulih. Aktivitas manufaktur juga mengalami perlambatan serempak di berbagai negara dan
kawasan. Sementara itu, total perdagangan global juga menunjukkan tren pelemahan.

Pelemahan aktivitas ekonomi global tersebut antara lain disebabkan oleh gejolak ekonomi
maupun geopolitik yang terjadi silih berganti di berbagai negara. Sentimen proteksionisme
yang menguat sudah memasuki taraf menghambat kerja sama internasional terutama di lini
perdagangan. Sementara itu, di sisi internal khususnya pada beberapa negara, isu-isu sosial-
politik seperti ketimpangan dan ketidakpuasan akan kebijakan mulai menimbulkan keresahan
masyarakat, bahkan beberapa tereskalasi menjadi kerusuhan serta turut menciptakan
gangguan pada perekonomian.

Grafik 1. Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara (% yoy)

9
7,0
7 6,0 6,2
4,5 5,0
5
2,1 2,4
3 1,7
1,2 0,5 0,5
1
-1 -0,3
AS

Jepang

Tiongkok

Hongkong

Meksiko
Eropa

Singapura

Filipina
Indonesia
Jerman

Vietnam

Thailand
India

-3
-2,9

2018 Q1 2018 Q2 2018 Q3 2018 Q4 2019 Q1 2019 Q2 2019 Q3

Sumber: Bloomberg

Perang dagang antara AS dan Tiongkok menjadi salah satu persoalan besar yang memiliki
efek rambatan ke negara lainnya. Perang dagang yang sempat mereda di awal tahun 2019,
kembali memanas saat AS menaikkan tarif sebesar 10 persen dari USD200 miliar impor
Tiongkok pada bulan Mei 2019. Kesepakatan yang dibuat antara AS dan Tiongkok dalam forum
G-20 di Osaka pada bulan Juni juga tidak berkelanjutan karena AS kembali menerapkan
kenaikan tarif impor pada bulan September dan Desember. Perkembangan terakhir, AS dan
Tiongkok telah memasuki fase pertama negosiasi. AS telah bersepakat untuk membatalkan
pengenaan tarif terhadap impor Tiongkok yang seharusnya berlaku 15 Desember serta
memotong tarif impor yang telah berlaku September dari 15 persen menjadi 7,5 persen. Sebagai
gantinya, Tiongkok akan meningkatkan pembelian produk agrikultur AS secara signifikan.
Negosiasi fase kedua direncanakan akan digelar sebelum Pemilu AS 2020. Hal ini membuat
tensi perang dagang sedikit mereda, namun tidak menghilangkan risiko ketidakpastian ke
depan.

Kekhawatiran akan risiko perang dagang terhadap perekonomian AS sempat tergambar pada
inverted yield curve atau inversi kurva imbal hasil yang terjadi sejak Mei. Tak hanya

10 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


sentimen perang dagang, tensi politik domestik AS seperti dengan kemunculan isu impeachment
di sela-sela persiapan Pemilu 2020 juga memberikan risiko pada negara tersebut. Di sisi lain,
indikator ketenagakerjaan AS masih solid, namun sentimen perang dagang, tensi politik, serta
indikator lain seperti inflasi yang berada di bawah target dan indeks manufaktur yang mulai
berkontraksi sudah mulai melemahkan denyut ekonomi AS dan perlu diwaspadai.

Grafik 2. Inverted Yield Curve yang terjadi sejak Mei sudah mulai normal di awal Oktober (bps)

50

30 10Y-2Y spread

10

-10 10Y-3M spread

-30

-50
Jan-19 Feb-19 Mar-19 Apr-19 May-19 Jun-19 Jul-19 Aug-19 Sep-19 Oct-19 Nov-19 Dec-19

Sumber: Bloomberg

Tensi perang dagang juga memberikan tekanan tambahan pada Tiongkok, ditunjukkan
dengan pelemahan indikator pertumbuhan ekonomi, perdagangan, dan manufaktur. Agenda
rebalancing economy Tiongkok untuk menggeser sumber utama pertumbuhan ekonomi dari
investasi menuju konsumsi juga tidak berjalan lancar, tercermin dari indeks penjualan ritel
yang belum solid dan hanya tumbuh satu digit sejak 2018, meskipun indeks kepercayaan
konsumen masih kuat. Sementara itu, PMI Manufaktur Tiongkok juga sejak awal tahun 2019
mencatat pelemahan dan kontraksi, meskipun pada beberapa bulan terakhir mulai
menunjukkan pemulihan. Dengan perkembangan demikian, pertumbuhan ekonomi Tiongkok
tercatat terus mengalami perlambatan, dengan pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga
tercatat sebesar 6,0 persen (yoy).

Grafik 3. (a) PMI Manufaktur Global; (b) PMI Manufaktur Beberapa Negara

56 70

54 60
52
50,3 50
50
40
48
Jul

Jul

Jul
Jan

Jan

Jan
Mar

Mar

Mar
Sep

Sep

Sep
Mei

Mei

Mei
Nov

Nov

Nov

46
Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt 2017 2018 2019
AS Uni Eropa
2017 2018 2019
Jepang Tiongkok

(a) (b)

Sumber: Bloomberg

Di kawasan Eropa, aktivitas ekonomi yang lesu juga terjadi khususnya di Jerman sebagai
negara manufaktur terbesar di benua tersebut. Selain terpapar dampak perang dagang, dari
sisi domestik, Jerman juga sedang menerapkan kebijakan pengetatan pengurangan emisi dan

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 11


registrasi mobil. Kebijakan tersebut membuat kinerja penjualan perusahaan yang berkaitan
dengan otomotif menurun. Kemorosotan sektor ini, yang merupakan salah satu industri
terbesar di Jerman, tercermin pada PMI manufaktur yang berkontraksi sejak awal tahun
bahkan mencapai titik terendah sejak GFC dan krisis utang Eropa.

Gejolak ekonomi dan politik yang lebih bersifat internal juga terjadi di banyak negara dan
menjadi salah satu faktor risiko yang besar. Di Eropa, penyelesaian Brexit masih belum
menunjukkan titik temu, hal ini berpengaruh buruk terhadap perekonomian Inggris, tercermin
dari penilaian lembaga rating Moody’s pada awal November 2019 yang merevisi outlook rating
Inggris menjadi negatif. Moody’s melihat ketidakpastian Brexit menunjukkan adanya
pelemahan institusi di Inggris yang akan meningkatkan tantangan formulasi kebijakan serta
menurunkan daya tarik investasi Inggris. Di Asia, salah satu tensi politik terbesar terjadi di
Hong Kong terkait undang-undang ekstradisi dan juga ketimpangan sosial-ekonomi yang
berujung pada demonstrasi besar serta kontraksi perekonomian Hong Kong. Di Timur Tengah,
fasilitas kilang minyak terbesar di Arab Saudi, Aramco, sempat diserang oleh pesawat tanpa
awak yang berdampak pada 50 persen penurunan minyak mentah Aramco atau sekitar 5
persen pasokan global. Kejadian ini sempat membuat harga minyak melonjak, tetapi proses
restorasi yang cepat mampu segera memulihkan harga. Gelombang protes di Lebanon serta
konflik Turki-Syria dan Iran-AS juga mewarnai gejolak di Timur Tengah. Di Amerika Latin,
juga terjadi pergolakan politik dan ekonomi yang dipicu oleh beragam hal seperti gagal bayar
utang dan ketidakpuasan hasil pemilu di Argentina, ketidakpuasan akan kenaikan harga tiket
subway dan isu ketimpangan di Chile, serta ketidakpuasan hasil pemilu di Bolivia yang
berujung pengunduran diri Presiden Evo Morales.

RESPONS KEBIJAKAN NEGARA-NEGARA DI TENGAH KETIDAKPASTIAN GLOBAL

Dengan beragam dinamika dan pelemahan terjadi secara luas di perekonomian global,
banyak negara yang menerapkan kebijakan yang akomodatif untuk mencegah perlambatan
ekonomi lebih dalam. Di sisi kebijakan moneter, berbagai negara mulai memasuki tren
kebijakan moneter ekspansif seperti penurunan suku bunga hingga penerapan quantitative
easing (QE). Di tengah risiko pelemahan ekonomi AS, The Federal Reserves (The Fed) mulai
melakukan kembali menerapkan kebijakan moneter ekspansif di tahun 2019 dengan
melakukan penurunan suku bunga sebanyak 75 bps. Langkah serupa juga banyak diikuti oleh
negara-negara lainnya, termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, India,
Thailand, Filipina, Malaysia, dan Rusia. Banyak dari negara-negara tersebut menurunkan suku
bunga lebih dari sekali hingga Oktober 2019 dan beberapa diprediksi akan melakukan
penurunan kembali di akhir tahun. Di bulan Agustus 2019, tercatat 37 bank sentral negara
berkembang melakukan 14 kali pemotongan suku bunga, lebih banyak dibandingkan dengan
pemotongan suku bunga yang dilakukan pasca krisis finansial.

Beberapa negara, seperti Eropa dan Jepang, memilih kebijakan moneter non-konvensional
antara lain disebabkan oleh tingkat suku bunga yang sudah sangat rendah (zero bound
interest rate). Perlambatan ekonomi yang cukup signifikan di beberapa negara besar Eropa,
terutama di Jerman dan Italia, mendorong ECB untuk kembali meluncurkan kebijakan QE

12 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


melalui pembelian surat berharga baik swasta maupun Pemerintah oleh ECB. Sebelumnya,
pada masa krisis utang Zona Eropa di 2015 – akhir 2018, ECB juga pernah mengimplementasikan
QE dengan total pembelian EUR2,6 triliun. Kali ini, QE mulai dilakukan ECB pada November
2019, dengan nilai pembelian sebesar EUR20 miliar per bulan dan tanpa batas waktu dengan
salah satu tujuan utama untuk mendorong agar inflasi dapat meningkat hingga mencapai
target.

Sementara itu, Jepang juga masih mempertahankan suku bunga overnight -0,1 persen dan
melakukan QE sebesar JPY80 triliun (USD740 miliar) per tahun. Di sisi lain, bank sentral AS
juga terindikasi melakukan QE untuk meredam turbulensi yang terjadi pada sistem
keuangannya (overnight market) sejak September 2019. Suku bunga repo overnight naik tajam
dari 2,25% menjadi 10% dalam semalam pada 16-17 September 2019 memberikan sinyal adanya
pengetatan likuiditas di pasar keuangan AS. Untuk memulihkan stabilitas, The Fed merespon
dengan menggelontorkan dana melalui pembelian obligasi jangka pendek (Treasury Bills) senilai
USD100 miliar di September, dan berlanjut sebesar USD60 miliar di Oktober.

Grafik 4. Perubahan Tingkat Suku Bunga Acuan (Persen)

Vietnam 9,00
9,00
India 4,90 6,25
Indonesia 5,00 6,00
Filipina 4,00 4,75
Tiongkok 4,35
4,35
Malaysia 3,25
3,00
AS 1,75 2,50
Thailand 1,50
1,75
Inggris 0,75
0,75
0,10
Jepang 0,10
Singapura 0,08
0,08
Jerman 0,00
0,00
Eropa 0,00
0,00

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00
Des 2018 Okt 2019

Sumber: Bloomberg

Negara-negara di dunia, terutama negara maju, tengah menghadapi tantangan terbatasnya


pilihan kebijakan dalam menopang pertumbuhan ekonominya. Saat ini, banyak negara maju
memiliki keterbatasan ruang untuk melakukan kebijakan moneter ekspansif akibat suku
bunga rendah, seperti yang dihadapi Eropa dan Jepang. Suku bunga yang masih rendah sejak
krisis keuangan global menunjukkan bahwa di beberapa kawasan permasalahan ekonomi yang
dihadapi cukup struktural dan membuat kebijakan moneter ekspansif belum terlalu efektif
dalam mengangkat perekonomian. Untuk memperoleh hasil yang optimal, kebijakan moneter
dan fiskal harus saling mendukung dan seimbang. Beberapa negara seperti AS memberikan
insentif melalui pemotongan pajak badan dan individu yang mulai berlaku sejak 2018.
Pemerintah Tiongkok, di sisi lain, berupaya mengangkat aktivitas ekonomi melalui pemberian
izin atas penerbitan obligasi daerah untuk membiayai proyek infrastruktur.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 13


Grafik 5. (a) Rasio Utang (persen PDB); (b) Defisit/Surplus Anggaran (persen PDB)

150 5
132,2 1,7
0
100 98,4
84,7 -1,4 -2,1
60,9
-5 -3,8 -2,5
50
-10
0
-15
2000

2002

2004

2006

2008

2010

2012

2014

2016

2018
AS UK Perancis Italia Jerman
AS UK Perancis
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Italia Jerman
2014 2015 2016 2017 2018
(a) (b)
Sumber: Bloomberg

Namun, kebijakan fiskal ekspansif ini memberikan tekanan tambahan bagi ekonomi,
terutama bagi banyak negara dengan tingkat utang dan defisit yang tinggi. Negara-negara
besar di Eropa, misalnya Perancis, Italia, dan Inggris, masih berkutat dengan tingkat utang dan
defisit fiskal yang sangat tinggi. Dalam hal ini, negara-negara tersebut perlu hati-hati dalam
membuat keputusan karena ruang kebijakan yang tersedia semakin sempit. Di sisi lain, negara-
negara berkembang smasih memiliki ruang yang relatif lebih besar untuk melakukan manuver
kebijakan, baik moneter maupun fiskal untuk menopang perekonomian di tengah
ketidakpastian ekonomi global yang tinggi.

OUTLOOK PEREKONOMIAN GLOBAL

Outlook pertumbuhan ekonomi global di tahun 2019 diperkirakan melambat pada tingkat
terendah sejak krisis keuangan global, dan diperkirakan membaik di 2020 meskipun risiko
yang membayangi tinggi. International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook
(WEO) Oktober 2019 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan naik di tahun 2020,
tetapi berbagai risiko membuka kemungkinan adanya penurunan proyeksi ke depan. Tensi
perang dagang AS dan Tiongkok diprediksi masih akan menjadi sumber utama risiko ekonomi
global. Sebagai dua kekuatan utama ekonomi dunia, perang dagang antara AS dan Tiongkok
juga berpotensi memberi dampak terhadap perekonomian negara lain, terutama yang menjadi
mitra dagang. Selain itu, keterbatasan ruang kebijakan juga membuat daya dorong pada
perekonomian menjadi terbatas. Berbagai negara telah mengambil kebijakan, baik fiskal
maupun moneter, ekspansif guna mengakselerasi perekonomian di sepanjang 2019. Namun,
kebijakan tersebut belum cukup mampu untuk menahan perlambatan ekonomi. Apabila tidak
diantisipasi, kedua faktor tersebut dapat menjadi permasalahan bagi banyak negara di tahun
2020.

14 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Grafik 6. (a) Proyeksi Pertumbuhan PDB dan Volume Perdagangan; (b) Proyeksi Harga Komoditas
6 170

5
150
4
130
3

2 110
1
90
0 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 Harga Komoditas Minyak mentah
PDB Volume Perdagangan Batubara Makanan

(a) (b)
Sumber: World Economic Outlook IMF Oktober 2019

Secara lebih rinci, IMF memproyeksikan pertumbuhan negara maju pada tahun 2020-2024
akan stagnan di kisaran 1,5-1,7 persen, sedangkan negara berkembang berada di kisaran 4,6-
4,8 persen. Stagnasi di kelompok negara maju dipengaruhi oleh AS yang kemungkinan besar
akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat menahan langkah kebijakan
ekspansi fiskal. Ketidakpastian ekonomi AS juga dibayangi oleh Pemilu yang akan berlangsung
di 2020. Isu Brexit juga berpotensi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di negara maju,
terlebih akibat ketidakpastian yang ditimbulkan pasca belum tercapainya kesepakatan Inggris
dengan Uni Eropa. Di sisi lain, negara berkembang diproyeksikan kembali tumbuh di 2020
dengan ASEAN-5 sebagai faktor pendorong utamanya. Hal tersebut juga didukung dengan
besarnya pangsa pasar yang dimiliki, meskipun di sisi lain masih diperlukan pengembangan
infrastruktur teknologi yang lebih gencar.

Setelah mengalami penurunan tajam di 2019, pertumbuhan volume perdagangan


diproyeksikan membaik pada tahun 2020 dan 2021. Membaiknya aktivitas perekonomian di
tahun 2020 diperkirakan akan meningkatkan kembali investasi, terutama di negara
berkembang, yang dapat mengakselerasi kinerja perdagangan. Namun, terdapat beberapa
potensi yang dapat membuat volume perdagangan justru di bawah dari angka proyeksinya.
Ketidakpastian akan struktur value chain production dapat menjadi isu, terutama sejak tensi
perang dagang meningkat. Di samping itu, isu teknologi juga berpotensi menghalangi
perdagangan antar negara. Kisruh yang terjadi antara AS dan Tiongkok serta Jepang dan Korea
Selatan telah menunjukkan bahwa teknologi berkontribusi pada tensi perdagangan di berbagai
negara. Kebijakan proteksionisme di beberapa negara juga patut diantisipasi sebagai faktor
yang dapat melemahkan kinerja perdagangan.

Tabel 1. Pertumbuhan PDB Menurut Pengeluaran (%, yoy)

Grup Negara 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Dunia 3,8 3,6 3,0 3,4 3,6 3,6 3,6 3,6
Negara Maju 2,5 2,3 1,7 1,7 1,6 1,6 1,5 1,6
AS 2,4 2,9 2,4 2,1 1,7 1,6 1,6 1,6

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 15


Uni Eropa 2,5 1,9 1,2 1,4 1,4 1,4 1,3 1,3
Negara Berkembang 4,8 4,5 3,9 4,6 4,8 4,8 4,8 4,8
Asia 6,6 6,4 5,9 6,0 6,2 6,1 6,0 6,0
ASEAN-5 5,3 5,2 4,8 4,9 5,2 5,2 5,3 5,3
Timur Tengah dan Asia
2,3 1,9 0,9 2,9 3,2 3,2 3,3 3,3
Tengah
Sumber: World Economic Outlook IMF Oktober 2019

Harga komoditas secara keseluruhan diproyeksikan tidak banyak berubah di tahun 2020,
tetapi perubahannya terlihat apabila secara spesifik ditinjau dari masing-masing komoditas.
Harga minyak diperkirakan akan turun dalam beberapa tahun ke depan, ditengarai akibat
turunnya permintaan sebagai dampak perlambatan ekonomi global. Sementara itu, harga
batubara justru diprediksi akan mengalami kenaikan setelah penurunan yang cukup tajam
pada 2019. Hal ini disebabkan adanya pergeseran kepada penggunaan listrik sebagai pengganti
bahan bakar fosil untuk kendaraan di negara-negara maju yang harus didukung oleh
penggunaan batubara sebagai sumber tenaga pembangkit listrik. Untuk harga makanan dan
pertanian pada tahun 2020 diproyeksikan stabil, kecuali apabila terjadi gangguan cuaca yang
dapat menjadi risiko terhadap komoditas ini. Adapun komoditas logam di tahun 2020
diperkirakan akan mengalami penurunan harga akibat turunnya penurunan permintaan
industri global. Tarif yang diberlakukan oleh Pemerintah AS pada komoditas alumunium dan
baja juga menjadi faktor lain penyebab turunnya harga logam di 2020. Dengan melihat adanya
kenaikan maupun penurunan harga pada setiap komoditas, dapat disimpulkan bahwa secara
total harga komoditas relatif stabil di tahun 2020.

16 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


B. PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN DAN MONETER INDONESIA

Perkembangan Aliran Modal Asing

Grafik 7. Aliran Dana Asing di Pasar Modal selama 2019 (Kumulatif s.d. November, Triliun Rupiah)
41,2
200 45,1

150 22,8 16,3

100 25,7
15,9

50
87,8 27,1 47,7 53,3 137,5 97,2 107,3 170,3 57,1 174,6
0
-20,6 -22,7 -49,9
-50 -39,1
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019*
SBN Saham Total

Sumber: Bloomberg, CEIC, diolah.

Dinamika global sepanjang 2019 turut mempengaruhi perkembangan arus modal masuk,
yang tercermin dalam pergerakan nilai tukar dan IHSG. Pada triwulan I 2019, terjadi
peningkatan arus modal masuk atau net foreign buying (NFB) di instrumen-instrumen pasar
keuangan domestik yang mencapai Rp85,5 triliun, meningkat hampir dua kali lipat dari
triwulan akhir 2018. Peningkatan tersebut ditopang arus modal masuk baik di pasar SBN
maupun saham. Perkembangan ini tidak hanya mendorong peningkatan IHSG dan penurunan
imbal hasil SBN di periode tersebut, tetapi juga mendorong apresiasi nilai tukar di triwulan I
2019.
Pada triwulan II, nilai total arus modal masuk masih cukup tinggi, yaitu mencapai Rp79,6
triliun, yang terutama ditopang oleh NFB di pasar saham pada bulan April 2019. Di bulan Mei,
eskalasi perang dagang telah mendorong investor untuk memindahkan aset dan investasinya
ke instrumen safe haven. Kondisi tersebut mendorong terjadinya arus modal keluar atau net
foreign selling di pasar keuangan Indonesia. Kondisi ini turut menjadi penyebab depresiasi
rupiah di bulan Mei. Namun, seiring dengan meredanya isu perang dagang, pasar keuangan
kembali mencatat lonjakan arus modal masuk yang juga turut mendorong apresiasi Rupiah dan
peningkatan IHSG lebih lanjut.
Perkembangan tersebut masih berlanjut hingga bulan pertama triwulan III. Walau tidak
setinggi di bulan sebelumnya, pasar keuangan kembali mencatat NFB. Di bulan Agustus,
depresiasi Renminbi dan menghangatnya kembali isu perang dagang memicu peningkatan
ketidakpastian pasar global. Hal tersebut menarik arus modal keluar dari pasar keuangan
Indonesia, tercermin dengan depresiasi Rupiah dan penurunan IHSG. Namun demikian, kondisi
tersebut mampu berangsur memulih di akhir triwulan III 2019. Secara umum, selama triwulan
III 2019, terjadi NFB sebesar Rp23 triliun yang didorong oleh NFB di pasar SBN, sementara itu
pasar saham masih mencatat arus modal keluar.
Arus modal masuk masih terjadi di bulan-bulan selanjutnya, namun dengan nilai yang
fluktuatif. Setelah mencatat peningkatan NFB sebesar Rp25 triliun di bulan Oktober 2019, arus
modal masuk turun secara signifikan di bulan November dan tercatat hanya mencapai Rp2,4

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 17


triliun. Penurunan ini didorong oleh peningkatan arus modal keluar di pasar saham dan
penurunan jumlah NFB di pasar SBN yang cukup tajam. Perkembangan ini juga seiring dengan
pergerakan nilai tukar dan IHSG yang kembali melemah di bulan November 2019.
Secara agregat, selama Januari hingga November 2019, terjadi NFB sebesar Rp216,2 triliun.
Jumlah tersebut diperoleh dari Rp174,6 triliun arus modal masuk di pasar SBN dan Rp41,8
triliun arus modal masuk di pasar saham. Total nilai NFB tersebut jauh lebih tinggi dibanding
tahun 2018 yang hanya mencatat Rp7,3 triliun. Nilai NFB tersebut juga merupakan yang
tertinggi, paling tidak dalam satu dasawarsa terakhir.

Perkembangan IHSG

Grafik 8. Perkembangan Pasar Modal Hingga November 2019 (persen, ytd)

S&P 500 25,3


DJIA 20,3
Nikkei225 Jepang 16,4
Shanghai Tiongkok 15,2
FTSE 100 9,2
MSCI Asia (exc Jepang) 8,4
STI Singapura 4,1
Kospi Korea 2,3
Hangseng Hongkong 1,9
SET Thailand 1,7
IHSG -2,9
KLCI Malaysia -7,6

-10 -5 0 5 10 15 20 25 30

Sumber: Bloomberg, diolah

IHSG hingga akhir November 2019 mencatatkan kinerja negatif dengan penurunan sebesar -
2,9 persen (ytd). Keluarnya aliran modal asing dari pasar saham menjadi salah satu penyebab
turunnya kinerja IHSG tersebut. Apabila pada Agustus 2019 investor asing masih mencatatkan
NFB sebesar Rp59,2 triliun di pasar saham, pada akhir November 2019 jumlah tersebut
berkurang menjadi Rp41,2 triliun. Sementara di pasar SBN, aliran dana asing yang masuk ke
Indonesia hingga akhir November 2019 adalah sebesar Rp174,6 triliun. Secara total, dana asing
yang masuk ke pasar modal Indonesia hingga periode akhir November 2019 adalah sebesar
Rp215,76 triliun dan didominasi oleh SBN. Hal tersebut mengingat imbal hasil SBN Indonesia
masih cukup menarik di mata investor asing. Per akhir November 2019, imbal hasil SBN tenor
10 tahun tercatat sebesar 7,11 persen.
Selain IHSG, kinerja negatif indeks saham juga dicatatkan oleh KLCI Malaysia. Salah satu
sentimen utama yang mempengaruhi pergerakan IHSG pada periode September hingga
November 2019 adalah kinerja emiten yang di bawah ekspektasi pasar. Secara umum, hingga
akhir November 2019 bursa saham global menguat cukup tajam. Penguatan paling besar
dialami oleh bursa saham S&P 500 di AS yang meningkat sebesar 25,3 persen (ytd) di level
3.140,98, dan sempat menyentuh titik tertinggi dalam sejarah. Sedangkan di kawasan Asia,
bursa saham Nikkei Jepang menjadi jawara dengan peningkatan sebesar 16,4 persen (ytd) ke

18 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


level 23.293,9. Beberapa sentimen yang mempengaruhi pergerakan bursa saham global selama
periode tersebut utamanya berasal dari perang dagang antara AS dan Tiongkok, kondisi
perekonomian di beberapa negara maju, kebijakan bank sentral di beberapa negara besar,
kinerja emiten blue chips, serta aksi demonstrasi di Hong Kong.

Tabel 2. Kinerja Sektoral IHSG (persen, ytd s.d. November)

Sektor Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Agt Sept Okt Nov Ytd

IHSG 5.46 -1.37 0.39 -0.21 -3.81 2.41 0.50 -0.97 -2.52 0.96 -3.48 -3.04

Keuangan 6.04 -1.33 3.21 2.76 -3.96 4.23 1.37 -4.54 -1.51 2.72 -0.39 7.69

Barang
3.56 -0.90 -1.39 -3.33 -2.67 -2.12 -1.64 1.86 -8.08 -3.75 -5.47 -28.04
Konsumsi
Infrastruktur 9.97 2.91 -2.36 -0.42 -1.46 5.25 -0.70 2.03 -0.40 -3.78 -6.46 3.52

Perdagangan 1.77 3.42 -0.20 0.48 -3.50 0.80 1.55 -2.30 0.24 0.21 -5.32 -3.21

Industri Dasar 6.70 -3.27 -1.15 -6.30 -6.81 2.08 7.73 5.59 -3.62 7.63 1.32 8.02

Konstruksi dan
4.06 -2.61 2.43 4.68 -5.67 6.25 2.28 0.12 -0.40 5.38 -7.62 7.56
Properti
Aneka Industri 3.67 -11.91 1.25 2.52 -2.24 0.09 -4.13 -4.14 -1.51 4.89 -5.34 -19.98

Pertambangan 8.25 -2.52 -1.33 -3.80 -7.30 4.01 -4.64 -1.47 -1.12 -3.06 -9.52 -27.08

Pertanian 6.23 -8.40 -3.86 -1.54 -2.94 0.58 -3.32 0.03 1.24 0.37 -1.25 -14.59

Manufaktur 4.40 -3.32 -0.93 -3.25 -3.68 -0.70 0.37 1.95 -5.84 0.94 -3.31 -14.91

Sumber: Bloomberg, diolah

Sektor Keuangan

Indeks sektor keuangan hingga November 2019 tercatat tumbuh positif sebesar 7,69 persen
(ytd), meski secara bulanan tumbuh negatif sebesar -0,39 persen (mom). Penguatan kinerja
indeks sektor keuangan selama 2019 tidak terlepas dari kebijakan suku bunga dalam negeri
yang cenderung dovish. BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan 7DRR di
level 5 persen dan mempertahankan posisi Deposit Facility dan Lending Facility. Selain itu, BI
juga melakukan penurunan giro wajib minimum sebesar 50 bps untuk perbankan
konvensional dan syariah, yang diharapkan dapat mempercepat penurunan suku bunga
simpanan dan kredit.

Faktor eksternal juga ikut berpengaruh dalam pergerakan saham sektor ini. Beberapa di
antaranya adalah lembaga pemeringkat internasional Moody’s yang memberikan prospek
stabil pada bank-bank di Indonesia. Penurunan suku bunga dan kondisi politik yang stabil juga
turut menyumbang sentimen positif untuk sektor perbankan. Selain itu, dalam risalah
pertemuan FOMC pada November lalu, The Fed mengisyaratkan akan menahan suku bunga
setelah pertemuan terakhir. Kebijakan The Fed ini bertentangan dengan kebijakan suku bunga
rendah yang ingin dilihat oleh Presiden AS. Faktor eksternal lainnya antara lain adalah
dukungan AS terhadap pendemo Hong Kong yang membuat Tiongkok keberatan dan menuduh
AS campur tangan.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 19


Kinerja saham sektor keuangan ke depannya diperkirakan akan menguat. Hal tersebut
menyusul keputusan BI untuk menurunkan loan to value (LTV) atau uang muka kredit properti
dan kendaraan bermotor. Uang muka untuk kredit properti atau KPR turun menjadi 5 persen
dan uang muka kendaraan bermotor turun menjadi 5-10 persen. Kebijakan ini mulai berlaku
pada 2 Desember 2019.

Sektor Barang Konsumsi

Indeks sektor konsumsi mencatatkan pertumbuhan negatif pada November sebesar -5,47
persen (mom) atau -28,04 persen (ytd). Pelemahan ini tercermin dari Indeks Keyakinan
Konsumen (IKK) yang melemah pada Oktober 2019 dan merupakan indeks terendah sejak
Februari 2017. Meski demikian, IKK tercatat kembali meningkat pada bulan November. IKK
pada November berada di 124,2, meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar
118,4. Selain itu, Inflasi (IHK) pada November 2019 tercatat lebih rendah, yakni sebesar 0,14
persen (mom) ditopang oleh inflasi kelompok inti yang melambat dan inflasi kelompok
administered prices yang stabil. Inflasi sampai dengan bulan November 2019 mencapai 2,37
persen (ytd), atau secara tahunan tercatat 3,00 persen (yoy), menurun dibandingkan dengan
inflasi Oktober 2019 sebesar 3,13 persen (yoy).

Sektor Infrastruktur

Saham sektor infrastruktur masih banyak dicari oleh para pelaku pasar di tengah kondisi
yang tidak menentu, menyebabkan penguatan di sektor ini sebesar 3,52 persen (ytd).
Pembangunan infrastruktur dipastikan tetap akan melaju beberapa tahun ke depan yang akan
menghubungkan kawasan produksi dengan kawasan distribusi, mempermudah akses ke
kawasan wisata, sehingga mampu mengakselerasi nilai tambah perekonomian rakyat.
Peningkatan prospek bisnis infrastruktur dan konstruksi ini diperkirakan akan mendorong
kinerja perusahaan. Kinerja emiten BUMN infrastruktur akan banyak mendapat penugasan
untuk membangun proyek-proyek besar pemerintah seperti saham Telkom yang mulai
mendapat sentimen positif dari peresmian proyek infrastruktur Palapa Ring. Pemerintah juga
telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan pembiayaan infrastruktur salah
satunya adalah partisipasi pasar modal dengan menyetujui pencatatan Unit Penyertaan Dana
Investasi Infrastruktur (DINFRA) berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Toll Road Mandiri
001. KIK DINFRA ini disambut antusias pasar dengan dana yang berhasil dihimpun sebanyak
Rp1,1 triliun.

Sektor Konstruksi dan Properti

Indeks sektor konstruksi dan properti mencatatkan kinerja positif sebesar 7,56 persen (ytd).
Hal ini tercermin dari harga properti residensial di pasar primer pada triwulan III 2019
mengalami pertumbuhan tipis, dengan indeks harga properti residensial naik sebesar 0,50
persen (qoq) atau lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang sebesar 0,41 persen (qoq).
Kenaikan harga tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga bahan bangunan dan
penambahan fasilitas umum pada perumahan yang sedang dibangun. Secara tahunan,
pertumbuhan indeks tersebut juga menunjukkan perbaikan, yaitu dari 1,71 persen (yoy) pada
triwulan II 2019, menjadi 1,80 persen (yoy) di triwulan III 2019, meski lebih rendah dibanding

20 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


triwulan III 2018 yang sebesar 3,18 persen (yoy). Kenaikan indeks sektor properti ini didorong
oleh sentimen penurunan suku bunga acuan. Penurunan suku bunga acuan ini menjadi pemicu
masyarakat untuk mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) yang pada akhirnya mendorong
pertumbuhan permintaan properti.

Sektor Pertambangan

Hingga November, sektor ini mencatatkan kinerja negatif sebesar -27,08 persen (ytd).
Pelemahan sektor pertambangan ini didorong oleh fluktuasi harga komoditas di tingkat dunia
yang terpengaruh perang dagang dan kondisi geopolitik, salah satunya karena serangan yang
terjadi di ladang minyak milik perusahaan minyak Saudi Aramco di Arab Saudi. Dari sisi
domestik, penurunan kinerja saham ini dipengaruhi oleh ketidakpastian RUU Minerba. DPR
mengumumkan penundaan pengesahan revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU
Minerba).
Di sisi lain, Pemerintah mempercepat penghentian kebijakan relaksasi impor biji nikel dari
sebelumnya 31 Desember 2022 menjadi 31 Desember 2019. Percepatan ini dituangkan dalam
Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2019 tentang perubahan kedua Peraturan Menteri
ESDM Nomor 25 tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Perubahan Peraturan Menteri ESDM tersebut memuat ketentuan tentang ekspor bijih nikel
kadar dibawah 1,7 persen, di mana rekomendasi ekspor yang diberikan kepada pemegang IUP
operasi produksi sebelum dan sesudah regulasi baru ini ditetapkan berlaku sampai 31 Desember
2019.

Sektor Pertanian/Perkebunan

Sektor ini mengalami pertumbuhan negatif pada November sebesar 14,59 persen (ytd) yang
dipengaruhi oleh gejolak harga komoditas di pasar global seperti harga CPO. Ke depannya,
faktor yang akan memengaruhi pergerakan harga CPO global adalah perayaan Diwali di India
pada Oktober. Selain dapat menjadi bahan bakar diya, konsumsi CPO di India diprediksi
memuncak karena menjadi kebutuhan utama untuk memasak masakan di negara tersebut.
Kinerja saham ini pada triwulan IV juga diprediksi akan berbalik menguat dengan adanya
peningkatan permintaan komoditas tersebut seiring masuknya musim dingin di sejumlah
negara.

Sektor Manufaktur

Indeks sektor manufatur tercatat tumbuh negatif sebesar 14,91 persen (ytd) hingga
November. Hal ini sejalan dengan PMI manufaktur Indonesia yang masih berkontraksi di bulan
November atau lima bulan berturut-turut. Data survei juga menunjukkan bahwa permintaan
domestik dan eksternal masih lemah. Permintaan ekspor baru juga kembali menurun pada
bulan September. Akibatnya, produksi terus dikurangi karena perusahaan menyesuaikan
operasional di tengah-tengah penurunan penjualan.

Perkembangan Pasar SBN dan Obligasi Korporasi


Arus modal masuk yang dicatat oleh Indonesia juga menyebabkan imbal hasil SBN tenor 10
tahun generik turun sebesar 83 bps selama triwulan I hingga III, dan kembali turun 18 bps

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 21


pada triwulan IV (per 29 November 2019). Setelah mencatatkan peningkatan pada triwulan III
2019, aliran modal asing terlihat kembali masuk ke pasar SBN Indonesia sepanjang Oktober-
November 2019, yaitu sebesar Rp38,41 triliun. Dengan perkembangan ini, kepemilikan investor
nonresiden atas SBN tercatat sebesar Rp1.067,80 triliun atau sebesar 38,55 persen dari total SBN
yang dapat diperdagangkan senilai Rp2.770,19 triliun per 29 November 2019.

Grafik 9. Perkembangan Yield Curve SBN 2019 (persen)

10 250
9 150
8
50
7
(50)
6
5 (150)

4 (250)
0,1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
tenor, tahun
Perubahan yield ytd (bps, rhs) 28-Dec-18 30-Sep-19 29-Nov-19
Sumber: Bloomberg, diolah

Dari sisi volume perdagangan sebesar Rp2.770,19 triliun, sebagian besar SBN diserap oleh
lembaga non-bank. Sebanyak Rp704,11 triliun atau 25,42 persen dari total volume SBN diserap
oleh bank dan sebanyak Rp1.920,18 triliun atau 69,32 persennya dibeli oleh non-bank seperti
reksadana, asuransi, non-residen, dana pensiun, individu, dan lain-lain. Kepemilikan investor
non-residen secara nominal meningkat sebesar Rp169,24 triliun per 29 November 2019
dibanding periode yang sama tahun lalu. Di sisi lain, Bank Indonesia yang pada akhir triwulan
III tercatat membeli SBN sebesar Rp244,34 triliun, menambah lagi kepemilikan SBN sebanyak
Rp16,60 triliun pada Oktober-November 2019 untuk tujuan operasi moneter. Hal ini dilakukan
dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. Sementara itu, rata-rata harian perdagangan SBN
di pasar sekunder selama 2019 (ytd, hingga akhir Oktober) mencapai Rp17,23 triliun dengan
frekuensi 914 kali, lebih tinggi dibanding rata-rata perdagangan harian tahun 2018 yang
sebesar Rp14,49 triliun dengan frekuensi 768 kali.

22 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Grafik 10. Kepemilikan SBN periode: (a) Desember 2018; (b) November 2019 (ytd)
Lainnya Bank Perorangan
Dana Pensiun 6% 20% 3% Lainnya
Dana Pensiun Bank
9% Perorangan 9% 6%
25%
3%

BI
11% BI
5%

Asing Reksadana
Asing 39%
38% 5%
Asuransi Asuransi
8% 8%
Reksadana
5%

(a) (b)
Sumber: DJPPR (diolah)

Di pasar primer, rata-rata penawaran (incoming bid) yang masuk selama lelang 2019 tercatat
sebesar Rp35,48 triliun. Jumlah ini lebih tinggi dibanding periode lelang tahun lalu di mana
rata-rata penawaran yang masuk selama lelang 2018 tercatat sebesar Rp27,87 triliun. Adapun
rata-rata awarded bids meningkat dari Rp12,15 triliun pada akhir 2018 menjadi Rp14,14 triliun
pada periode 2019 (per 26 November 2019), dengan bid to cover ratio menurun dari 2,87 ke 2,44.
Untuk rekor tertinggi penawaran tahun 2019 tercatat pada level Rp93,93 triliun, yaitu pada
lelang keempat bulan Februari 2019, sementara penawaran tertinggi pada 2018 berada di angka
Rp86,21 triliun, yaitu pada lelang 5 Januari 2018. Adapun untuk lelang selama bulan Oktober-
November 2019, jumlah penawaran tertinggi yang masuk selama bulan tersebut tercatat
sebesar Rp19,27 triliun pada FR0082. Sementara imbal hasil rata-rata tertimbang yang
dimenangkan berkisar antara 4,59 persen pada SPN 3 bulan dan 8,25 persen pada PBS015.
Sementara bid to cover ratio selama lelang bulan Oktober-November 2019 berada di kisaran 1,00
hingga 14,86.
Selain investor non-residen, porsi terbesar kepemilikan SBN berikutnya dimiliki oleh bank,
dana pensiun, dan perusahaan asuransi. Kepemilikan SBN oleh bank terlihat mengalami
kenaikan dari 23,91 persen pada akhir triwulan III menjadi 25,42 persen pada akhir November
2019. Sementara itu, kepemilikan Bank Indonesia naik dari 9,17 persen ke 9,42 persen dalam
periode yang sama. Hal ini tidak terlepas dari operasi moneter Bank Indonesia untuk
mempertahankan nilai tukar Rupiah melalui pengendalian persediaan Rupiah di pasar.
Untuk obligasi korporasi sendiri, aktivitas penghimpunan dana dari masyarakat melalui
penerbitan surat utang korporasi mengalami pertumbuhan selama 2019 ini. Per akhir
November 2019, nilai total obligasi korporasi yang beredar mencapai Rp424,39 triliun, naik
sebesar 5,10 persen (yoy) dari Rp403,81 triliun pada akhir November 2018 dan naik sebesar 2,28
persen dibanding akhir triwulan III sebesar Rp414,92 triliun. Dengan kata lain, terdapat
tambahan surat utang baru senilai Rp9,47 triliun selama Oktober-November 2019. Secara
sektoral, lima besar penerbit obligasi korporasi ini masih ditempati oleh lembaga keuangan

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 23


non-bank (23,47 persen), bank (22,42 persen), energi (5,36 persen), telekomunikasi (5,18 persen),
dan konstruksi bangunan (3,67 persen).

Grafik 11. Jumlah Obligasi Korporasi yang Beredar s.d. Akhir November 2019 (triliun rupiah)

160
120
Rp triliun

80
40
0
Lembaga
Telekomuni Konstruksi Properti dan
Keuangan Bank Energi Kertas
kasi bangunan Real Estate
Nonbank
Nov 19 157,37 150,32 35,92 34,92 24,61 19,06 18,28
Sep 19 156,51 146,01 32,37 36,07 21,86 19,44 17,86
Nov 18 147,13 145,48 25,53 33,24 20,60 17,19 15,76

Sumber: KSEI (diolah)

Perkembangan Nilai Tukar


Pergerakan nilai tukar rupiah di tahun 2019 relatif stabil bila dibanding tahun 2018. Hal ini
terlihat dari pergerakan rupiah per dolar AS di tahun 2019 pada kisaran yang lebih sempit
dibanding 2018. Namun demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa pergerakan nilai tukar
Rupiah lepas dari berbagai dinamika global maupun domestik yang terjadi. Tekanan-tekanan
terhadap stabilitas nilai tukar Rupiah tetap terjadi terutama pada awal tahun 2019 dan akhir
semester I 2019. Pada triwulan II 2019, fluktuasi dan tekanan depresiasi terhadap nilai tukar
Rupiah tercatat cukup tinggi.
Di awal tahun 2019, Rupiah dibuka pada level Rp14.465 per dolar AS. Cukup tingginya nilai
tersebut dipengaruhi oleh tekanan di tahun sebelumnya, seiring kebijakan bank sentral AS
untuk menaikan suku bunga acuan di bulan September dan November 2018. Namun pada
bulan-bulan selanjutnya, meredanya isu kenaikan suku bunga AS dan membaiknya persepsi
investor atas kinerja ekonomi domestik menyebabkan arus modal ke pasar keuangan domestik
kembali meningkat. Kondisi tersebut turut mendorong apresiasi Rupiah di periode selanjutnya.
Pada pertengahan triwulan II 2019, nilai rupiah cenderung mengalami depresiasi dibanding
periode sebelumnya. Tren tersebut dipengaruhi meningkatnya gejolak pasar dunia akibat
meningkatnya tensi perang dagang antara AS dan Tiongkok. Tingginya ketidakpastian
terhadap dampak perang dagang mendorong investor untuk memindahkan dananya pada aset-
aset safe haven, khusunya di negara-negara maju. Di Indonesia, kondisi tersebut di antaranya
tercermin pada arus modal keluar yang terjadi di pasar keuangan dan penurunan indeks saham
gabungan, terutama di bulan Maret 2019. Pada bulan tersebut, nilai tukar Rupiah sempat
mencapai nilai terendah di bulan Mei 2019 yakni pada tingkat Rp14.513 per dolar AS. Isu perang
dagang kembali mereda setelah terjadi kesepakatan dalam pertemuan G-20 untuk penyelesaian
beberapa isu tarif yang terjadi di antara AS dan Tiongkok. Meredanya tensi perang dagang

24 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


turut mengurangi tekanan nilai tukar Rupiah dan mendorong tren apresiasi pada nilai tukar
Rupiah.

Grafik 12. Nilai Tukar (dalam Rupiah) dan Volatilitas Rupiah (dalam indeks)
10 MEI 2019 17 JULI 5 AGUSTUS 13 Desember
Kenaikan tarif yang AS mengancam Tiongkok AS-Tiongkok setuju
sebelumnya dari Tiongkok untuk membiarkan Yuan untuk ‘kesepakatan
10% menjadi 25% mengenakan tariff melemah hingga 18 Oktober tahap 1’
14600 140
terhadap USD325 di bawah Proses pengecualian tarif AS
14500 miliar atas RMB7/1US$ untuk impor Tiongkok senilai
impor 120
14400 USD300 miliar mulai 31 Oktober
Tiongkok 2019 hingga 31
14300 yang Januari 2020 100
tersisa.
14200
80
14100
60
14000 29 JUNI 2019
11 Oktober
13900 Pertemuan G20: AS setuju untuk tidak mengenakan 11 September AS mengumumkan 40
tariff 25% terhadap sisa impor Tiongkok sebesar Tiongkok
13800 kesepakatan "Tahap 1",
USD300 miliar. menghapus bea
2 AGUSTUS menunda kenaikan tarif 20
13700 Pengumuman pengenaan tarif 10% untuk impor masuk untuk 734 untuk barang-barang
Tiongkok senilai USD300 miliar mulai 1 Sep 2019 produk impor AS Tiongkok
13600 0
Jun-'19
Jan-'19

Feb-'19

Mar-19

Apr-'19

Sep-'19

Okt-'19
Mei-'19

Jul-'19

Ags-'19

Nov-'19

Des-'19
Volatilitas (RHS) Kurs Tengah
Sumber: Bloomberg, diolah

Pada triwulan III 2019, setelah melanjutkan tren penguatan di bulan Juli, Rupiah kembali
tertekan di bulan Agustus 2019. Tuduhan AS atas kebijakan Tiongkok untuk membiarkan
depresiasi mata uang Renminbi kembali meningkatkan tensi perang dagang. Depresiasi Yuan
telah mengapresiasi dolar AS dan menyebabkan berkurangnya daya saing produk AS di pasar
global. Implikasi penguatan dolar AS tersebut adalah pelemahan Rupiah terhadap dolar AS.
Pada bulan Agustus, Rupiah bergerak relatif stabil pada kisaran Rp14.200-an. Tensi kembali
mereda di bulan berikutnya, seiring beberapa kesepakatan antara Tiongkok dan AS yang
terjadi. Rupiah kembali menguat dan bergerak pada kisaran Rp14.100-an.
Setelah pasang surut pergerakan nilai tukar Rupiah akibat dinamika perang dagang AS dan
Tiongkok, nilai tukar Rupiah mulai menunjukkan apresiasi di bulan Oktober. Penurunan
indeks ketidakpastian ekonomi global serta kesepakatan dagang antara AS dan Tiongkok
memberikan dampak positif terhadap pasar keuangan. Selain itu, penurunan suku bunga AS
sebesar 25 bps akibat penurunan prospek pertumbuhan ekonomi AS juga berdampak positif
pada berpindahnya sentimen investor dan pasar menuju pasar negara berkembang, khususnya
yang memiliki prospek cukup baik. Dalam hal ini, pasar Indonesia dipandang memiliki prospek
ke depan yang baik, seiring kepastian hasil pemilu dan arah kebijakan pemerintah ke depan.
Namun demikian di bulan November nilai tukar kembali mengalami pelemahan. Pelemahan
ini sejalan dengan tren pasar global yang cenderung bias ke pasar negara-negara maju.
Penurunan tensi perang dagang, perbaikan indikator ekonomi di negara maju, gejolak politik
dan ekonomi di banyak negara berkembang mendorong preferensi investor global untuk
menaruh dananya ke negara maju. Kondisi tersebut antara lain tercermin pada peningkatan

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 25


indeks saham negara maju (MSCI Advanced Economy) dan penurunan indeks saham negara
berkembang (MSCI Emerging Market). Tren tersebut juga menyebabkan penurunan indeks mata
uang negara berkembang, termasuk Rupiah, dan mendorong peningkatan indeks dolar AS.
Nilai tukar Rupiah pada akhir November 2019 ditutup pada tingkat Rp14.102 per dolar AS.
Angka tersebut melemah -0,7 persen (mom) dibanding nilai tukar Oktober 2019 yang sebesar
Rp14.008 per dolar AS. Sementara itu, hingga 13 Desember, Rupiah per dolar AS tercatat sebesar
Rp13.982, terapreasiasi sebesar 0,85 persen (mom) atau terapresiasi 3,45 persen (ytd).

Grafik 13. Perkembangan Nilai Tukar s.d. 13 Desember 2019: (a) year to date (b) month to date

7,17 Thailand
Thailand 0,04

4,82 UK Indonesia
Inggris 3,54

3,70 Filipina
Singapura
Philipppines
Indonesia 0,34

3,45 Singapura
Jepang
Indonesia
Indonesia 0,85

0,77 Vietnam
Singapura
Singapore
Jepang 1,12

0,08 Vietnam
JapanMalaysia
Jepang -0,10
0,02 Afrika
Vietnam Selatan
Malaysia
Vietnam
Malaysia 0,11
-0,12 Afrika Selatan
India
Malaysia
Afrika
Malaysia 0,94
-0,53 South India
Tiongkok
Afika
Selatan
Tiongkok
Afrika Selatan 1,69
-1,30 Tiongkok
IndiaUni
Uni Eropa
India
India
Eropa
Tiongkok 1,47
-1,54 Uni
Korea
China
Uni
Korea Eropa
Selatan
Tiongkok
Eropa
Selatan
Tiongkok 0,68
-2,62 Korea
Euro
Uni
Zona
Korea Selatan
Eropa
Euro
Selatan 1,40
-5,00 S. Korea
Korea
Korea Selatan 0,83

-10 -5 0 5 10 Selatan -1,00 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00

(a) (b)
Sumber: Bloomberg

Perkembangan Likuiditas Moneter

Perkembangan kondisi likuiditas moneter di Indonesia tidak terlepas dari situasi global. Di
tahun 2018, tekanan pada nilai tukar dan dampak kenaikan suku bunga AS telah mendorong
BI untuk mengambil posisi kebijakan moneter yang lebih ketat. Suku bunga acuan 7DDR yang
di awal tahun 2018 berada pada tingkat 4,25 persen telah dinaikan hingga 5,25 persen di awal
semester II 2018, dan ke tingkat 6,00 persen di penghujung 2018. Perkembangan tersebut telah
mendorong adanya pengetatan likuiditas dan perlambatan laju pertumbuhan uang beredar.
Kondisi tersebut masih berlanjut hingga memasuki tahun 2019.

26 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Grafik 14. Pertumbuhan Uang Beredar (persen, yoy) dan Suku Bunga Acuan (persen)

20% 7%
6%
15% 5%
4%
10%
3%

5% 2%
1%
0% 0%

O
2017-J

J
J

2018-J

J
J

2019-J

J
J
N

N
M

M
S

S
A

A
F

F
M2 M1 7DRR

Sumber: Bank Indonesia

Memasuki tahun 2019, laju uang beredar tumbuh lebih rendah dibanding tahun 2018. M1 dan
M2 masing-masing tumbuh 5,5 persen (yoy) dan 3,7 persen (yoy), jauh di bawah awal tahun
2018 yang tumbuh sebesar 8,4 persen (yoy) dan 11,4 persen (yoy). Penurunan pertumbuhan
yang terjadi merupakan dampak dari kenaikan suku bunga acuan yang telah ditempuh untuk
stabilitasi nilai tukar sejak pertengahan 2018. Pertumbuhan tersebut sedikit meningkat hingga
memasuki triwulan II 2019. Periode musiman, yakni bulan Ramadan dan Idulfitri, menjadi
pendorong peningkatan laju pertumbuhan uang beredar tersebut. Namun demikian,
peningkatan uang beredar yang terjadi dirasakan belum cukup mengimbangi kebutuhan
perekonomian sehingga situasi ketatnya likuiditas tetap terasa.

Ketatnya likuiditas tercermin pada rasio M2 terhadap PDB nominal. Penurunan rasio terjadi
sejak tahun 2017 hingga memasuki tahun 2019. Tren yang terjadi mencerminkan bahwa
jumlah uang beredar yang ada di perekonomian relatif semakin kecil dibandingkan
perkembangan aktivitas ekonomi (PDB) yang ditopangnya. Likuiditas tersebut sedikit
melonggar di triwulan II seiring dengan periode Ramadan dan Idulfitri. Perkembangan
likuiditas yang terjadi juga tercermin pada pergerakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank dan
JIBOR. Peningkatan suku bunga di pasar keuangan yang terjadi, seiring peningkatan suku
bunga acuan 7DRR, mengindikasikan ketatnya likuiditas yang dihadapi perbankan.

BI mulai memutuskan untuk menyesuaikan posisi kebijakan moneter ke arah yang lebih
longgar. Hal tersebut melihat ketatnya likuiditas di perekonomian dan masih perlunya
dorongan bagi pertumbuhan ekonomi ke depan, serta didasari pertimbangan kondisi nilai tukar
yang relatif stabil dan inflasi yang terjaga. Sejak Juli, suku bunga acuan mulai diturunkan
secara bertahap, dari 6,00 persen pada bulan Juni 2019 hingga mencapai 5,00 persen di bulan
Oktober 2019. Seiring dengan pelonggaran tersebut, suku bunga di pasar uang bank juga mulai
menurun, mengisyaratkan likuiditas yang lebih baik. Demikian pula dengan laju pertumbuhan
uang beredar yang juga dalam tren meningkat, walaupun masih bersifat fluktuatif. Per bulan
Oktober 2019, pertumbuhan M1 dan M2 tercatat sebesar 6,3 persen dan 6,6 persen, lebih tinggi
dibanding awal tahun 2019. Demikian pula rasio M2 terhadap PDB di akhir triwulan III yang
relatif lebih tinggi dibanding kedua triwulan sebelumnya. Namun demikian, perlu dicatat

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 27


bahwa walau terjadi perbaikan, tingkat likuiditas saat ini dipandang masih relatif ketat,
khususnya bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Grafik 15. (a) Uang Beredar (M2)/PDB (ADHB); (b) Pergerakan Suku Bunga Pasar Uang

41% 1 9,0%
40,4%
39,9% 0,8
40% 39,5% 7,0%
0,6

39,5% 0,4 5,0%


39%
38,5% 0,2
38,8% 38,0%
3,0%
38% 38,4% 0

2018-J

2019-J

J
N

N
M

M
S

S
2014

2015

2016

2017

2018

2019 -Q1*

2019 -Q2*

2019 -Q3*
PUAB - Keseluruhan JIBOR - 1 Bulan
REPO 7 D

(a) (b)
Sumber: Bank Indonesia

Cat: PDB Q1,Q2,Q3 2019, dihitung berdasarkan kumulatif PDB empat triwulan terakhir

Selain isu likuiditas, permasalahan lain yang dihadapi perekonomian adalah laju
pertumbuhan kredit yang terus melambat di 2019. Sebagaimana diketahui, pertumbuhan
kredit sangat berkorelasi dengan kegiatan investasi dan pembiayaan aktivitas di sektor riil.
Pertumbuhan kredit di awal tahun 2019 mencapai 11,9 persen, terus melambat di sepanjang
tahun hingga mencapai 6,6 persen di bulan Oktober 2019. Perlambatan tersebut terutama
didorong oleh kelompok kredit modal kerja, yang pada periode tersebut turun dari 12,9 persen
menjadi 4,1 persen. Kredit konsumsi juga melambat dari 9,9 persen di awal 2019 hingga menjadi
6,6 persen di Oktober 2019. Di sisi lain, kinerja kredit investasi relatif cukup baik, terutama
Sda;’dasd
didukung kegiatan kredit konstruksi sejalan dengan pembangunan infrsatruktur terjadi.
Cat: PDBdemikian,
Namun Q1,Q2,Q3 2019, dihitung
kredit berdasarkan
investasi kumulatifmenunjukkan
yang sempat PDB 4 kuartal terakhir
tren peningkatan, mulai berbalik
dan menurun sejak awal triwulan II 2019. Laju pertumbuhan kredit investasi yang di awal
tahun 2019 mencapai 12,6 persen, telah melambat hingga mencapai 11,4 persen di Oktober 2019.

Grafik 16. LDR, Pertumbuhan Kredit dan DPK

14,0% 98%
12,0% 94,3% 96%
10,0% 94%
6,6%
8,0% 92%
6,0% 7,5% 90%
4,0% 88%
2,0% 86%
0,0% 84%
A

A
D

F
O

O
2018-J

J
J

2019-J

J
J
N

N
M

M
S

DPK Kredit LDR (rhs)

Sumber: Bank Indonesia

Beberapa permasalahan disinyalir menjadi hambatan bagi perkembangan kredit perbankan


tersebut. Rendahnya pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebagai sumber pembiayaan

28 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


kredit, telah menyebabkan tingkat Loan to Deposit Ratio (LDR) mencapai tingkat yang cukup
tinggi (±94 persen) sehingga menghambat akselerasi kredit perbankan lebih jauh. Argumen lain
menyatakan bahwa pada saat ini permintaan untuk kredit oleh sektor riil juga melambat
seiring tingginya ketidakpastian global yang berdampak pada ekspansi pertumbuhan ekonomi
domestik. Di sisi lain, terdapat indikasi peningkatan utang luar negeri swasta, di mana dalam
hal ini dapat diduga mulai beralihnya sumber pinjaman dari perbankan dalam negeri ke
sumber luar negeri akibat biaya bunga yang relatif lebih murah. Hal ini perlu terus menjadi
perhatian semua pihak, di mana hal tersebut tidak saja mengganggu kinerja ekonomi domestik
tetapi juga menimbulkan risiko utang luar negeri dan tekanan nilai tukar Rupiah.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 29


C. KINERJA PERBANKAN DOMESTIK
Kinerja industri perbankan Indonesia terjaga dengan dukungan kinerja intermediasi yang
tetap positif di tengah dinamika ekonomi global dan domestik sepanjang triwulan III 2019.
Tekanan terhadap kondisi likuditas perbankan mereda, meski terdapat perlambatan
pertumbuhan penyaluran kredit dan masih rendahnya DPK yang dihimpun perbankan. Seiring
dengan melambatnya kinerja intermediasi, indikator efisiensi dan profitabilitas perbankan
juga menunjukkan penurunan dan di saat bersamaan risiko kredit juga mengalami
peningkatan dibanding posisi akhir triwulan II 2019.

Perkembangan Intermediasi Perbankan

Grafik 17. Pertumbuhan DPK dan Kredit (persen, yoy)

%
14 98
13 96
Kredit 93,76
12
94
11
10 92
7,89
9 LDR (RHS) 90
8
DPK 88
7
6 7,47 86
5 84
Feb

Feb
Dec

Dec
Oct

Oct
Jul

May

Jul

Jul
Nov

Nov
Jan

Jun

Jan

Jun

Jan

Jun
Mar
Apr

Aug

Mar
Apr
Sep

Aug

Mar
Apr
Sep

feb

Aug
Sep
Mei

Mei
2017 2018 2019

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Laju pertumbuhan kredit terus melambat sepanjang 2019. Pertumbuhan kredit di awal tahun
2019 mencapai 11,9 persen, terus melambat di sepanjang tahun hingga mencapai 6,6 persen di
bulan Oktober. Melemahnya permintaan kredit korporasi menjadi faktor utama yang
menyebabkan perlambatan kredit. Dampak perang dagang dan perlambatan pertumbuhan
global telah menekan permintaan, domestik maupun ekspor, sekaligus membuat dunia usaha
menahan diri untuk berekspansi sehingga berdampak pada turunnya permintaan kredit. Di
saat bersamaan, perbankan juga cenderung lebih selektif dan lebih banyak melakukan
intensifikasi kredit mengingat tingginya ketidakpastian kondisi sektor keuangan dan
perekonomian.

Perbankan juga secara umum meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran kredit


mengingat dalam beberapa bulan terakhir cenderung terjadi kenaikan risiko kredit. Hal ini
dikonfirmasi oleh hasil in-depth interview dengan manajemen enam bank BUMN, bank swasta,
dan bank asing oleh Badan Kebijakan Fiskal pada akhir November 2019. Secara umum, pihak
bank menyatakan bahwa perlambatan ekonomi sangat mempengaruhi keputusan ekspansi
dan investasi oleh korporasi. Di satu sisi, sedikit sekali korporasi besar dan baru yang
mengajukan permohonan kredit, sementara, di sisi lain korporasi existing yang telah
berkomitmen melakukan kredit cenderung menahan pencairan kreditnya, yang diindikasikan
oleh meningkatnya undisbursed loan. Kondisi ini sejalan dengan hasil Survei Perbankan
triwulan III 2019 yang dilakukan oleh BI di mana secara umum terlihat adanya pertumbuhan

30 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


kredit baru yang melambat pada triwulan III 2019 dengan saldo bersih tertimbang permintaan
kredit baru yang turun ke 68,3 persen dari 78,3 persen pada triwulan II 2019, terutama
disebabkan oleh perlambatan kredit konsumsi dan kredit investasi.

Grafik 18. Pertumbuhan Kredit berdasarkan Jenisnya Penggunaannya (persen, yoy)

20

15 12,84

10 7,89
6,82
5
5,94
0 Oct

Oct
Jul

Jul

Jul
Jan

Jun

Jan

Jun

Jan

Jun
Mar
Apr

Mar
Apr

Mar
Apr
Feb

Sep

Feb

Sep

feb

Sep
Dec

Dec
Mei

May

Mei
Nov

Nov
Aug

Aug

Aug
2017 2018 2019

Kredit KMK KI KK

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Berdasarkan jenis penggunaanya, Kredit Modal Kerja (KMK), Kredit Konsumsi (KK) dan
Kredit Investasi (KI) masih menunjukkan pertumbuhan yang positif meskipun terlihat
adanya tren penurunan pada ketiga jenis kredit tersebut dalam beberapa bulan terakhir.
Dengan porsi sekitar 46 persen dari total kredit perbankan, penyaluran KMK oleh perbankan
hingga akhir triwulan III 2019 tercatat sebesar Rp2.568 triliun atau tumbuh sebesar 5,94 persen
(yoy) sekaligus merupakan laju pertumbuhan terlemah sejak September 2016. Tren
perlambatan pertumbuhan KMK secara tahunan terjadi sejak November dan mulai tumbuh
single digit pada bulan Juni 2019. Senada, dengan porsi sekitar 26 persen dari total kredit yang
disalurkan perbankan, pertumbuhan KK juga dalam tren melambat dan hanya tercatat tumbuh
6,82 persen (yoy) dengan nominal sebesar Rp1.527 triliun pada akhir triwulan III 2019. Terakhir,
dengan porsi sekitar 28 persen, penyaluran KI mencapai Rp1.430 triliun pada akhir triwulan III
2019 dengan pertumbuhan mencapai 12,84 persen.

Dari empat sektor utama penyaluran KMK, sektor industri pengolahan dan perdagangan
mengalami perlambatan tajam dibandingkan triwulan sebelumnya. Sektor tersebut memiliki
pangsa sekitar sekitar 75 persen dari total KMK yang disalurkan oleh perbankan sehingga
menyebabkan tekanan terhadap keseluruhan KMK. Melambatnya KMK sektor industri
pengolahan terutama dipengaruhi oleh subsektor pengilangan minyak bumi dan pengolahan
gas bumi, sementara perlambatan KMK sektor perdagangan dipengaruhi oleh subsektor
perdagangan eceran makanan, minuman, dan tembakau. Sementara itu, sektor jasa keuangan
sedikit melambat dan sektor pertanian justru mencatatkan pertumbuhan kredit yang lebih
tinggi. Kuatnya pertumbuhan KMK sektor pertanian terutama didukung oleh penyaluran
Kredit Usaha Rakyat yang hingga akhir September telah mencapai Rp115,9 triliun atau 82,79
persen dari target Rp140 triliun.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 31


Grafik 19. Pertumbuhan Kredit Modal Kerja (persen yoy)

15,90 Q4 2017 Q4 2018 Q1 2019 Q2 2019 Q3 2019

15,71
14,91
13,76

12,27
12,04

11,98

11,44

10,82
10,04

9,08
8,35
8,03

7,81
7,22

7,50
7,09

6,95
5,74

4,55
PERTANIAN INDUSTRI JASA KEUANGAN PERDAGANGAN
PENGOLAHAN

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Untuk jenis KI, penyaluran masih terkonsentrasi pada empat sektor utama yaitu sektor
pertanian, industri pengolahan, listrik dan gas, dan sektor perdagangan dengan total sebesar
55 persen dari total KI yang disalurkan oleh perbankan. Sektor dengan penyaluran KI terbesar
yaitu pertanian meskipun sedikit mengalami perlambatan namun masih bertahan tumbuh di
atas 8 persen. Sektor dengan penyaluran KI terbesar kedua yaitu industri pengolahan berbalik
mencatatkan pertumbuhan positif 1,25 persen (yoy) pada triwulan III 2019 setelah pada empat
triwulan sebelumnya selalu mengalami kontraksi. Berbalik positifnya KI sektor industri
pengolahan menjadi sinyal awal berakhirnya tren pelemahan sektor ini dan kembali pulihnya
aktivitas manuaktur pada triwulan IV 2019 dan 2020 mendatang. Selanjutnya, KI untuk sektor
pengadaan listrik dan gas masih mencatatkan pertumbuhan di atas 26 persen meskipun
melambat dibandingkan posisi akhir triwulan II 2019. Masih kuatnya pertumbuhan di sektor
ini terutama didukung oleh pendanaan proyek pembangkit listrik 35 ribu MW yang
dilaksanakan oleh PT PLN (Persero).

Grafik 20. Pertumbuhan Kredit Investasi (persen, yoy)


37,92

Q4 2017 Q4 2018 Q1 2019 Q2 2019 Q3 2019


26,30
23,45
15,38

12,97
10,71
10,06

10,05
9,20

8,41
8,82
8,41

6,38

3,33
1,75
1,25
(0,50)

-4,02
-4,43

-5,31

PERTANIAN INDUSTRI PENGADAAN LISTRIK PERDAGANGAN


PENGOLAHAN DAN GAS
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

32 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Pada KK, tren perlambatan penyaluran berlanjut terutama disebabkan oleh berlanjutnya
penurunan pertumbuhan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), Kredit Multiguna, dan KPR.
Hingga akhir triwulan III 2019, KKB hanya tumbuh 0,9 persen, jauh lebih rendah dibanding
periode yang sama tahun 2018 sebesar 14,5 persen maupun triwulan II 2019 sebesar 5,2 persen
(yoy). Senada, kredit multiguna tumbuh 8,7 persen (yoy) pada triwulan III 2019, lebih rendah
dibandingkan 13,7 persen (yoy) pada triwulan III 2018. Terakhir, KPR mesih tumbuh double digit
di level 10,3 persen (yoy) hingga triwulan 2019, namun lebih rendah dibandingkan 14,0 persen
(yoy) pada triwulan III 2018 maupun 12,3 persen (yoy) pada triwulan II 2019. Melambatnya
penyaluran KK dikonfirmasi oleh data penjualan mobil wholesales yang dirilis oleh Gaikindo
untuk periode Januari hingga September 2019 yang mengalami penurunan hingga -10,6 persen
(yoy), meskipun di sisi lain penjualan sepeda motor masih mampu naik 4,2 persen pada periode
yang sama. Perlambatan KPR juga tercermin dari lemahnya pertumbuhan Indeks Harga
Properti Residensial. Namun demikian, sinyal positif muncul dari pasar properti di mana BI
mencatat penjualan properti residensial pada triwulan III 2019 tumbuh 16,2 persen (qoq) dari -
15,9 persen (qoq) pada triwulan sebelumnya terutama didukung oleh pertumbuhan penjualan
rumah tipe kecil dan besar.
Perbankan terus berupaya mendorong laju penyaluran kredit, di antaranya terlihat dari tren
penurunan rata-rata suku bunga kredit dan GWM. Suku bunga kredit untuk modal kerja,
investasi, maupun konsumsi tercatat menurun masing-masing sebesar 4, 27, dan 20 bps (ytd).
Meskipun belum setinggi penurunan suku bunga acuan BI periode Juli-September 2019 yang
terpangkas sebesar 75 bps, turunnya suku bunga kredit mengindikasikan bahwa perbankan
juga berusaha untuk memicu permintaan kredit dengan menawarkan suku bunga yang lebih
menarik. Langkah tersebut mengimbangi upaya BI yang mendorong sisi penawaran melalui
penurunan Giro Wajib Minimum (GWM). BI tercatat tercatat dua kali menurunkan GWM
Rupiah untuk Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah/Unit Usaha Syariah dengan
total sebesar 100 bps yang berlaku sejak 1 Juli 2019 dan nanti pada 2 Januari 2020 sehingga
masing-masing menjadi 5,5 persen dan 4,0 persen dengan GWM rerata masing-masing tetap
sebesar 3,0 persen. Harapannya, kebijakan tersebut akan mendorong ketersediaan likuiditas di
perbankan sehingga menambah ruang yang dimiliki oleh perbankan untuk menyalurkan
kredit.
Untuk tahun 2020, pertumbuhan penyaluran kredit perbankan diperkirakan lebih tinggi
dibandingkan tahun ini. Selain didukung oleh pulihnya aktivitas perekonomian sehingga
mengerek permintaan kredit terutama dari korporasi, optimisme tersebut juga didukung oleh
pelonggaran moneter dan makroprudensial yang dilakukan oleh BI. Untuk mendorong
penguatan fungsi intermediasi perbankan, BI melakukan penyempurnaan pengaturan Rasio
Intermediasi Makroprudensial (RIM)/RIM Syariah dengan menambahkan komponen
pinjaman/pembiayaan yang diterima bank sebagai komponen sumber pendanaan bank dalam
perhitungan RIM/RIM Syariah. BI juga melakukan pelonggaran (i) Rasio Loan to Value /
Financing to Value (LTV/FTV) untuk kredit/pembiayaan properti sebesar 5 persen, (ii) uang
muka untuk kredit kendaraan bermotor pada kisaran 5 hingga 10 persen, serta (iii) tambahan
keringanan rasio LTV/FTV untuk kredit atau pembiayaan properti dan uang muka untuk
kendaraan bermotor yang berwawasan lingkungan masing-masing sebesar 5 persen.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 33


Pelonggaran LTV/FTV serta uang muka kredit kendaraan bermotor ini diperkirakan akan
memberikan dukungan terhadap kinerja kredit konsumsi.

Perkembangan DPK

Beberapa permasalahan disinyalir menjadi hambatan bagi perkembangan kredit perbankan.


Rendahnya pertumbuhan DPK sebagai sumber pembiayaan kredit, telah menyebabkan tingkat
Loan to Deposit Ratio (LDR) mencapai tingkat yang cukup tinggi (±94 persen) sehingga
menghambat akselerasi kredit perbankan lebih jauh. Argumen lain menyatakan bahwa pada
saat ini permintaan untuk kredit oleh sektor riil juga melambat seiring tingginya
ketidakpastian global yang berdampak pada ekspansi pertumbuhan ekonomi domestik. Di sisi
lain, terdapat indikasi peningkatan utang luar negeri swasta yang dapat diduga mulai
beralihnya sumber pinjaman dari perbankan dalam negeri ke sumber luar negeri akibat biaya
bunga yang relatif lebih murah. Hal ini perlu terus menjadi perhatian semua pihak, di mana hal
tersebut tidak saja mengganggu kinerja ekonomi domestik tetapi juga menimbulkan risiko
utang luar negeri dan tekanan nilai tukar Rupiah.

Grafik 21. Pertumbuhan DPK (persen, yoy): (a) Berdasarkan Komponen; (b) Berdasarkan Valuta

14 20%
7,47
9 10% 8,42%
8,45
7,60
6,53
4 0%
2,07%

-1 -10%
Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Rupiah Valas

-6 2018 2019 -20%


1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7
DPK Giro
Tabungan Simpanan Berjangka 2016 2017 2018 2019

(a) (b)
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Secara umum. pertumbuhan DPK yang dihimpun perbankan mengalami perlambatan pada
tahun 2019. Hingga akhir triwulan III 2019, penghimpunan DPK mencapai sebesar Rp5.891,9
triliun atau tumbuh 7,47 persen (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada
triwulan II 2019 sebesar 7,62 persen (yoy). Perlambatan DPK hingga akhir triwulan III 2019
terutama didorong oleh perlambatan pertumbuhan giro dan simpanan berjangka. Giro
perbankan hanya tumbuh 8,45 persen (yoy) dan 8,40 persen (ytd) menjadi Rp1.425,4 triliun
Sda;’dasd
pada September 2019. Sementara itu, simpanan berjangka juga mencatatkan perlambatan
dengan
Cat: PDBtumbuh
Q1,Q2,Q37,60
2019, persen (yoy) dari kumulatif
dihitung berdasarkan 8,30 persen
PDB 4(yoy) pada
kuartal Juni 2019. Perlambatan
terakhir
pertumbuhan simpanan berjangka tersebut sejalan dengan penurunan rata-rata suku bunga
tertimbang simpanan berjangka pada September 2019 yang terjadi pada seluruh tenor, seiring
dengan penurunan suku bunga acuan BI 7DRR. Suku bunga simpanan berjangka dalam Rupiah
untuk tenor 1, 3, 6, dan 12 bulan menurun, masing-masing dari 6,48 persen, 6,72 persen, 7,14

34 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


persen, dan 7,08 persen pada Agustus 2019 menjadi 6,32 persen, 6,57 persen, 7,07 persen, dan
7,07 persen pada September 2019

Sementara itu, DPK dalam bentuk tabungan selama triwulan III 2019 relatif tumbuh stabil di
level 6,53 persen. Ke depan, tren perlambatan DPK diperkirakan masih akan berlanjut hingga
tahun 2020 seiring dengan turunnya suku bunga acuan. Selain itu, perlambatan
penghimpunan DPK juga terkonfirmasi dari survei perbankan yang memperkirakan adanya
perlambatan penghimpunan DPK pada triwulan IV 2019. Saldo bersih tertimbang
pertumbuhan DPK pada triwulan IV 2019 diperkirakan turun ke level 73,3 persen
dibandingkan 87,1 persen pada triwulan III 2019 terutama disebabkan penurunan giro dan
tabungan, sementara instrumen deposito justru diperkirakan meningkat.

Risiko Kredit Perbankan

Grafik 22. Perkembangan Risiko Kredit Perbankan (persen)

7 SML(%) NPL (%)


6 5,63

3 2,66

2
Oct

Oct
Jul

May

Jul

Jul
Jan

Jun

Jan

Jun

Jan

Jun
Mar
Apr

Apr
Feb

Aug

Mar
Sep

Feb

Aug

Mar
Apr
Sep

Feb

Aug
Sep
Dec

Dec
Mei

Mei
Nov

Nov

2017 2018 2019

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

Di tengah melambatnya pertumbuhan kredit perbankan, NPL perbankan pada triwulan III
tatistik Perbankan Indonesia, diolah
2019 mencapai level tertinggi selama tahun 2019 ke posisi 2,66 persen. Menurut OJK,
peningkatan NPL tersebut terjadi di semua jenis kredit dan bukan terjadi pada sektor tertentu.
Secara umum, NPL perbankan masih di bawah threshold 5 persen. Hingga akhir triwulan III
2019, kenaikan NPL tertinggi terjadi pada bank buku II dengan NPL gross sebesar 3,72 persen.
Sementara NPL bank buku 1 tercatat sebesar 3,46 persen. Adapun untuk buku 3 dan buku 4,
masing-masing di angka 2,43 dan 2,41 persen. Kenaikan NPL perbankan disebabkan oleh kasus
gagal bayar kredit di sejumlah perusahaan besar yang melibatkan beberapa bank nasional.
Salah satu contohnya adalah kasus gagal bayar bunga obligasi anak usaha PT Duniatex dan
restrukturisasi kredit PT Krakatau Steel Tbk di sejumlah bank nasional. Hingga akhir tahun
2019, NPL perbankan diperkirakan masih akan mengalami peningkatan.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 35


Tabel 3. LDR, Pertumbuhan Kredit, dan NPL
Kredit (Rp M) NPL (Rp M) Nominal
Sep-18 Sep-19 Sep-18 Sep-19 Kredit Share
No. Sektor NPL NPL
(yoy) Kredit (%)
(yoy)
1 Pertanian 338.567 370.141 5.092 5.391 9,33% 5,88% 1,46% 6,70%
2 Pertambangan 137.179 129.722 5.119 4.027 -5,44% -21,32% 3,10% 2,35%
3 Industri Pengolahan 868.916 917.459 25.145 33.542 5,59% 33,04% 3,65% 16,61%
4 Listrik, Gas, dan Air 173.478 197.443 2.035 1.854 13,81% -8,88% 0,94% 3,57%
5 Konstruksi 290.871 367.268 11.919 13.038 26,27% 9,39% 3,55% 6,65%
6 Perdagangan 961.465 1.002.342 38.131 38.713 4,25% 1,53% 3,86% 18,14%
7 Perantara Keuangan 225.945 243.991 3.529 3.163 7,99% -10,37% 1,30% 4,42%
8 Transportasi, 210.082 232.235 6.317 5.008 10,55% -20,72% 2,16% 4,20%
Perdagangan, dan
Komunikasi
9 Real Estate, Usaha 238.363 262.477 5.947 5.332 10,12% -10,35% 2,03% 4,75%
Persewaan
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

NPL sektor pengolahan dan perdagangan meningkat pada triwulan III 2019. NPL industri
tatistik Perbankan Indonesia, diolah
pengolahan pada September 2019 mencapai sebesar 3,65 persen dari total kredit sebesar Rp917
triliun. Sementara secara nominal, NPL industri pengolahan meningkat sebesar 33,04 persen
(yoy). Di sisi lain, sektor perdagangan yang memiliki pangsa kredit terbesar mencatatkan NPL
sebesar 3,86 persen pada September 2019 dengan nominal NPL naik sebesar 1,53 persen (yoy)
pada September 2019.

Indikator risiko kredit lainnya yaitu special mention loan (SML) atau kredit dalam
pengawasan khusus juga harus tetap diwaspadai. Hingga triwulan III 2019, SML perbankan
mencapai 5,63 persen dari total kredit, sedikit naik apabila dibandingkan triwulan sebelumnya
sebesar 5,58 persen (triwulan I 2019) dan 5,62 (triwulan II 2019). Secara nominal, SML tumbuh
13,89 persen (yoy) pada akhir triwulan III 2019.

Tabel 4. Rangkuman Kinerja Perbankan


Indikator 2019
Satuan 2016 2017 2018
Umum Q1 Q2 Q3
Aset (T Rp) 6.729,80 7.387,14 8.068,35 8.130,60 8.242,99 8.318,28
DPK (T Rp) 4.836,76 5.289,38 5.630,45 5.672,89 5.799,49 5.891,92
DPK (yoy) (%) 9,60 9,36 6,45 7,18 7,42 7,47
Kredit (T Rp) 4.377,20 4.737,97 5.294,88 5.291,23 5.467,65 5.524,19
Kredit (yoy) (%) 7,87 8,24 11,75 1,55 9,92 7,89
LDR (%) 90,50 89,58 94,04 93,27 94,28 93,76
NPL (%) 2,93 2,59 2,37 2,51 2,50 2,66
CAR* (%) 22,93 23,18 22,97 23,42 22,63 23,28
BOPO* (%) 82,22 78,64 77,86 82,92 80,24 80,50
NIM* (%) 5,63 5,32 5,14 4,86 4,90 4,90
ROA* (%) 2,23 2,45 2,55 2,60 2,51 2,48
*Bank umum konvensional

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah

tatistik Perbankan Indonesia, diolah

36 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Secara umum, stabilitas sistem keuangan Indonesia masih terjaga hingga triwulan III 2019
yang tercermin oleh kinerja perbankan yang positif, meskipun fungsi intermediasi
perbankan masih menjadi perhatian. Rasio kecukupan permodalan (Capital Adequacy
Ratio/CAR) industri perbankan pada akhir triwulan III 2019 masih berada pada level tinggi
yaitu 23,19 persen. Sementara CAR Bank Umum Konvensional tercatat sebesar 23,28 persen
pada triwulan III 2019, lebih tinggi jika dibandingkan triwulan II 2019 sebesar 22,63 persen.
Sehingga, dengan tingkat CAR tersebut seharusnya masih cukup memadai bagi perbankan
untuk mendukung ekspansi kredit dan mengantisipasi potensi peningkatan profil risiko. Dari
sisi risiko, rasio kredit bermasalah atau NPL perbankan tetap rendah yakni 2,66 persen (gross)
atau 1,18 persen (net) meskipun sedikit mengalami peningkatan jika dibandingkan triwulan I
dan II 2019.

Selain itu, di tengah kondisi permintaan kredit yang masih lemah, indikator profitabilitas
perbankan turut menunjukkan penurunan pada tahun 2019. NIM Bank Umum Konvensional
pada triwulan III 2019 tercatat sebesar 4,90 persen atau relatif tidak berubah dibandingkan
triwulan II 2019. Secara umum, NIM Bank Umum Konvensional di tahun 2019 mengalami
penurunan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berada pada level 5 persen.
Sementara itu, indikator Return on Asset (ROA) Bank Umum Konvensional selama tahun 2019
terus mengalami penurunan, dimana hingga triwulan III 2019 ROA perbankan secara umum
mencapai 2,48 persen, lebih rendah dibandingkan triwulan-triwulan sebelumnya.

Dari sisi efisiensi perbankan, rasio Belanja Operasional terhadap Pendapatan Operasional
(BOPO) juga relatif meningkat pada tahun 2019. BOPO Bank Umum Konvensional hingga
triwulan III 2019 tercatat sebesar 80,50 persen, sementara posisi triwulan I dan II berturut-turut
sebesar 82,92 persen dan 80,24 persen. Menurunnya efisiensi perbankan turut mendorong
menurunnya profitabilitas perbakan di tahun 2019.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 37


D. NERACA PERDAGANGAN INDONESIA

Grafik 23. (a) Pertumbuhan Ekspor Impor (persen, yoy); (b) Neraca Perdagangan (Miliar USD)
40%
Ekspor Impor Neraca
200
30%

Miliar USD
Ekspor, yoy 150
20% Impor yoy
100

10% 50

0% 0
12,1 -8,7 -3,1 20,7 4,0 5,2 -8,6 -12,7 -8,3
-50
-10%

2017

2018

J-N 2019

2017

2018

J-N 2019

2017

2018

J-N 2019
-20%
S

S
2018-J

2019-J

J
N

N
M

TOTAL Non Migas Migas

(a) (b)
Sumber: BPS

Selama tahun 2019 kinerja perdagangan Indonesia mengalami perlambatan dibandingkan


tahun sebelumnya. Memasuki awal tahun, pertumbuhan ekspor dan impor terkontraksi yang
berlanjut hingga memasuki bulan November 2019. Kontraksi terjadi baik pada komoditas migas
maupun nonmigas. Secara umum selama tahun 2019, kontraksi pertumbuhan impor sedikit
lebih tinggi dibandingkan kontraksi pada ekspor Indonesia. Tercatat secara kumulatif Januari-
Sda;’dasd
November 2019, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD3,1 miliar, yang
dipengaruhi oleh defisit migas sebesar USD8,3 miliar dan neraca nonmigas yang mengalami
Cat: PDB Q1,Q2,Q3 2019, dihitung berdasarkan kumulatif PDB 4 kuartal terakhir
surplus sebesar USD5,2 miliar.

Grafik 24. Laju Pertumbuhan Total Impor Mitra Dagang Utama Ekspor Indonesia (persen, yoy)

25%
China 20%
Jepang
20% 15%
15%
10%
10%
5%
5%
0%
0%

-5% -5%

-10% -10%
Mar-19
Mar-18

Mar-19

Mar-18
May-19

May-19
May-18

May-18
Jan-18

Jan-19

Jan-18

Jan-19
Oct-18

Oct-18
Nov-18

Nov-18
Dec-17

Dec-18

Dec-17

Dec-18
Jul-18

Jul-19

Jul-18

Jul-19
Apr-18

Apr-18
Apr-19

Apr-19
Jun-18

Jun-19

Jun-18

Jun-19
Feb-18

Aug-18
Sep-18

Feb-19

Aug-19
Sep-19

Feb-18

Aug-18
Sep-18

Feb-19

Aug-19
Sep-19

12%
USA India
16%
10% 14%

8% 12%
10%
6%
8%
4%
6%
2%
4%
0% 2%
-2% 0%
May-18

Mar-19

May-19
Mar-18
Jan-18

Oct-18

Jan-19
Nov-18
Dec-17

Dec-18
Apr-18

Jul-18

Apr-19

Jul-19
Jun-18

Jun-19
Aug-18

Aug-19
Feb-18

Sep-18

Feb-19

Sep-19

Mar-19
Mar-18

May-18

May-19
Jan-18

Jan-19
Oct-18
Nov-18
Dec-17

Apr-18

Dec-18

Apr-19
Jul-18

Jul-19
Jun-18

Jun-19
Aug-18

Aug-19
Feb-18

Sep-18

Feb-19

Sep-19

Sumber: Bloomberg

38 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Lemahnya kinerja neraca perdagangan Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
turunnya permintaan dari negara mitra dagang ekspor utama Indonesia dan juga
terkontraksinya harga komoditas di pasar global. Melemahnya permintaan negara mitra
terlihat dari terkontraksinya impor dari negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, AS, dan India
sebagaimana terlihat dalam grafik di atas. Melambatnya ekonomi di negara-negara tersebut,
serta beberapa isu global seperti perang dagang, telah mendorong penurunan hingga kontraksi
pertumbuhan impor. Dalam hal ini, kinerja ekspor Indonesia juga melemah akibat
perkembangan yang terjadi di negara mitra ekspor utama Indonesia tersebut.

Faktor lain yang mendorong pelemahan ekspor Indonesia adalah penurunan harga komoditas
global, khususnya komoditas ekspor utama Indonesia. Pelemahan ekonomi yang terus melanda
ekonomi dunia dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan penurunan permintaan
global sehingga harga-harga komoditas juga mengalami penurunan. Penurunan harga
komoditas tersebut terlihat pada komoditas seperti Batubara, Palm Oil dan Kornel Oil yang sejak
Januari 2019 mengalami kontraksi masing-masing sebesar -7,41 persen, -16,90 persen, dan -
39,53 persen.

Grafik 25. Perkembangan Harga Komoditas Ekspor Utama Indonesia (Indeks)

100,00

70,00

40,00
J

J
N

N
M

M
S

S
A

A
F

F
O

O
2018-J

2019-J

Coal Palm Oil Cornel Oil Crude Oil Kopi Robusta Karet

Sumber: Bloomberg

Bila disimak dengan lebih seksama terhadap komponen yang mempengaruhinya, dapat
diketahui bahwa faktor penurunan harga cukup mempengaruhi kinerja ekspor dan impor di
tahun 2019. Di sisi ekspor, walaupun tercatat kontraksi nilai pertumbuhan pada total ekspor
dan ekspor non migas, secara volume (riil) masih terjadi pertumbuhan positif. Dalam hal ini,
kontraksi pertumbuhan nilai ekspor lebih dipengaruhi penurunan harga komoditas ekspor.
Namun pada komponen ekspor migas, terjadi penurunan volume yang cukup signifikan. Sedikit
berbeda pada sisi impor, dimana selain harga mencatat pertumbuhan negatif, nilai impor secara
volume juga mengalami kontraksi.

Terkait neraca migas, komponen tersebut telah menjadi sumber tekanan neraca perdagangan
Indonesia, paling tidak sejak tahun 2012. Permintaan sumber energi yang tinggi seiring
perbaikan ekonomi dan daya beli masyarakat tidak mampu diimbangi dengan kapasitas
produksi minyak mentah, yang semakin terbatas seiring umur sumur-sumur miyak yang
semakin tua. Dalam menghadapi tekanan neraca migas tersebut, Pemerintah telah menempuh
strategi untuk mengalihkan ekspor minyak mentah untuk pemenuhan kebutuhan dalam

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 39


negeri. Kebijakan tersebut berdampak pada kontraksi ekspor dan impor migas hingga akhir
November 2019.

Grafik 26. (a) Pertumbuhan Ekspor; (b) Pertumbuhan Impor (Jan-Nov 2019, persen, ytd)
10,00 0,00

-6,21
0,00 -10,00 -9,88
-5,71
-7,61
-10,00 -20,00

-20,00 -30,00 -29,06

-26,01
-30,00 -40,00

Volume Harga Nilai


Volume Harga Nilai
(a) (b)
Sumber: BPS

Apabila dilihat dari sektornya, ekspor industri pengolahan (manufaktur) dan pertambangan
terus mengalami kontraksi selama tahun 2019. Harga komoditas yang turun (diantaranya bijih
tembaga, CPO dan batubara) menjadi penyebab utama kontraksi tersebut. Sektor pertanian
yang pada awal tahun sempat kontraksi, sudah kembali menuju tren positif yang salah satunya
didorong oleh meningkatnya ekspor kopi. Namun dikarenakan porsi sektor pertanian dalam
Sda;’dasd
total ekspor kecil, maka belum dapat mengangkat pertumbuhan ekspor ke arah yang positif.

Grafik
Cat: PDB27. (a) Pertumbuhan
Q1,Q2,Q3 2019, dihitungEkspor Sektoral
berdasarkan (Jan-Nov
kumulatif PDB 42019-
kuartal ytd);
terakhir(b) Pertumbuhan Impor Jenis
Penggunaan (Jan-Nov 2019- ytd)
50 60
N; -3,55
40
N; 3,50
0 20
N; -5,59
0
N; -16,35
N; -7,61 -20 N; -11,22
-50 N; -6,11
-40
J

J
A

A
D
F

D
F
O

Pertanian
d

A
F

D
F
O

O
J

Industri Pengolahan
Barang Konsumsi Bahan Baku
Pertambangan dan Lainnya
Barang Modal
Total Ekspor

(a) (b)
Sumber: BPS

Secara kumulatif, impor menurut jenis penggunaan masih terkontraksi untuk semua jenis
barang. Impor menurut bahan baku/penolong mengalami kontraksi terbesar, diikuti barang
konsumsi dan barang modal. Kontraksi impor barang baku/penolong dan barang modal
mengindikasikan
Sda;’dasd
perlambatan kegiatan ekonomi domestik. Namun apabila dilihat secara
bulanan, impor ketiga jenis barang ini di bulan November 2019 mengalami pertumbuhan positif
Cat: PDB
walau Q1,Q2,Q3
masih 2019,
kecil. dihitung
Impor berdasarkan
bahan kumulatif PDB
baku/penolong, 4 kuartal
barang terakhir
modal dan konsumsi masing-masing

40 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


bertumbuh sebesar 2,63 persen (mtm), 2,58 persen (mtm), dan 16,12 persen (mtm). Hal ini
menunjukkan kegiatan ekonomi kembali bergerak positif. Menurunnya suku bunga domestik
dan tersedianya likuiditas mendorong kembali investasi untuk tumbuh.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 41


E. NERACA PEMBAYARAN INDONESIA
Kondisi neraca transaksi berjalan pada triwulan III 2019 tercatat mengalami penyempitan
defisit, sesuai perkiraan dan pola musiman. Defisit pada triwulan III 2019 yang sebesar USD7,7
miliar (2,66 persen PDB), menyempit dibandingkan defisit pada triwulan II 2019 yang sebesar
USD8,2 miliar (2,93 persen PDB). Perbaikan defisit transaksi berjalan ini didorong oleh
peningkatan surplus neraca perdagangan barang dan penurunan defisit pendapatan primer, di
tengah peningkatan defisit neraca jasa dan penurunan surplus pendapatan sekunder.

Pada triwulan III 2019, neraca perdagangan barang masih mencatatkan peningkatan surplus
dibanding triwulan sebelumnya. Defisit neraca migas menyempit akibat penurunan impor
migas yang lebih dalam dibanding penurunan ekspor migas. Turunnya ekspor migas didorong
oleh harga lebih rendah dan volume ekspor yang berkurang. Impor migas juga masih
terkontraksi karena harga minyak cenderung rendah dan penurunan lifting gas. Selain itu,
kebijakan pemerintah untuk memanfaatkan minyak dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S)
untuk memenuhi kebutuhan domestik juga berdampak positif bagi penurunan impor minyak.
Sementara itu, surplus neraca nonmigas tercatat lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya
antara lain akibat penurunan volume (karet olahan dan minyak nabati) dan harga barang
ekspor (komoditas batubara dan minyak nabati) dan kontraksi impor bahan baku.

Defisit neraca jasa mengalami pelebaran defisit sebesar USD2,3 miliar, lebih tinggi
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar USD1,9 miliar. Peningkatan defisit
dipengaruhi oleh pelebaran defisit jasa transportasi. Defisit jasa transportasi terutama
disumbang oleh meningkatnya pembayaran jasa transportasi barang (freight) seiring dengan
peningkatan impor barang nonmigas dan jasa transportasi penumpang karena adanya musim
pelaksanaan haji pada triwulan III 2019. Sementara itu, penerimaan jasa perjalanan tercatat
lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya, meski terjadi perlambatan pertumbuhan
jumlah kunjungan wisman menjadi 0,4 persen (yoy) pada triwulan III dari sebelumnya 3,7
persen (yoy).

Kinerja neraca Pendapatan Primer pada triwulan III 2019 mengalami defisit USD8,42 miliar,
lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tercatat defisit USD8,73 miliar. Penurunan
defisit terutama disebabkan oleh penurunan defisit portofolio yang terjadi akibat pembayaran
deviden yang lebih rendah dari triwulan sebelumnya. Sementara itu, defisit Pendapatan
Primer yang bersumber dari Investasi Langsung mengalami peningkatan yang disebabkan oleh
menurunnya penerimaan pendapatan Investasi Langsung sejalan dengan melambatnya
pertumbuhan tingkat keuntungan atas aset di luar negeri.

Neraca Pendapatan Sekunder mencatatkan penurunan surplus menjadi USD1,78 miliar dari
triwulan sebelumnya sebesar USD1,99 miliar. Penurunan surplus tersebut disebabkan
meningkatnya pembayaran remitansi Tenaga Kerja Asing (TKA) sejalan dengan meningkatnya
jumlah pekerja asing yang mencapai 89 ribu orang pada triwulan III 2019. Sementara itu
penerimaan remitasi Pekerja Migran Indonesia (PMI) cenderung stabil.

Di tengah perlambatan perekonomian global dan masih tingginya ketidakpastian pasar


keuangan global akibat naik turunnya tensi perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok,

42 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Transaksi Modal dan Finansial (TMF) masih mampu mencatatkan surplus. Kinerja TMF
mencatatkan surplus USD7,6 miliar, meningkat dibandingkan surplus triwulan II 2019 yang
sebesar USD6,5 miliar. Kenaikan surplus ditopang oleh masih terjaganya minat investor pada
investasi langsung dan investasi portofolio serta penyempitan defisit pada investasi lainnya.
Hal ini menunjukkan perspektif investor terhadap investasi di Indonesia masih tetap positif.

Grafik 28. Neraca Pembayaran Indonesia (miliar USD)


25 150

15
100
5
50
-5

-15 0
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3

2016 2017 2018 2019


Transaksi Berjalan (LHS) Transaksi Modal dan Finansial (LHS)
Neraca Keseluruhan (LHS) Cadangan Devisa (RHS)

Sumber: Bank Indonesia

Investasi langsung masih mencatatkan surplus didorong oleh optimisme para investor asing
pada investasi jangka panjang di Indonesia. Surplus investasi langsung di triwulan ini sebesar
USD4,8 miliar, ditopang oleh aliran modal atas divestasi dua ruas tol dari investor domestik
kepada investor Hongkong. Secara sektoral, investasi langsung masih didominasi oleh sektor
industri pengolahan (khususnya industri otomotif dan elektronik), perdagangan dan sektor
pertanian, perburuan dan kehutanan, di mana ketiga sektor tersebut mendominasi 82,2% dari
total aliran dana yang masuk.

Meskipun surplus investasi langsung masih cukup tinggi, namun kinerja investasi langsung
ini dalam tren menurun jika dibandingkan surplus triwulan II 2019 yang sebesar USD5,4
miliar dan surplus pada triwulan I 2019 yang mencapai USD5,8 miliar. Hal ini perlu menjadi
perhatian dan perlu adanya upaya untuk tetap menjaga stabilitas ekonomi, perbaikan kinerja
neraca perdagangan dan daya saing ekspor, serta menjaga komunikasi ke investor bahwa
Indonesia masih cukup menarik dan layak untuk menjadi destinasi investasi sehingga aliran
masuk investasi asing dapat tetap tumbuh positif.

Sementara itu, di tengah tingginya tekanan pada pasar keuangan global, investasi portofolio
masih mencatatkan kenaikan surplus dibandingkan triwulan II 2019. Surplus investasi
portofolio pada triwulan III 2019 sebesar USD4,8 miliar ditopang oleh kenaikan pada surplus
dari sektor swasta. Surplus sektor swasta mencapai USD2,2 miliar (triwulan II 2019: USD0,5
miliar), terutama dipengaruhi oleh peningkatan penerbitan obilgasi global korporasi yang
berasal dari dua perusahaan BUMN sektor energi pada bulan Juli dan September dengan nilai
obligasi global sekitar USD2,9 miliar. Sementara itu, surplus dari sektor publik mengalami
penurunan menjadi sebesar USD2,6 miliar (triwulan II 2019: USD4 miliar), terutama disebabkan
tidak adanya penerbitan obligasi global pada periode tersebut. Namun demikian penurunan
surplus lebih lanjut pada sektor publik dapat ditahan dengan masih terjaganya minat investor

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 43


asing pada SBN domestik yang tercatat surplus sebesar USD2,6 miliar, sejalan dengan masih
menariknya yield SBN serta terjaganya nilai tukar rupiah selama triwulan III ini.

Pada sisi investasi lainnya, tingginya neto penarikan pinjaman yang dilakukan oleh sektor
swasta serta penurunan pembayaran pinjaman sektor publik menjadi faktor utama
terjadinya penyempitan defisit. Neto penarikan pinjaman yang dilakukan oleh sektor swasta
mencapai USD2,4 miliar (triwulan II 2019: USD0,4 miliar) sementara neto pembayaran
pinjaman di sektor publik turun dari sebesar USD0,8 miliar menjadi sebesar USD0,3 miliar.
Investasi lainnya secara keseluruhan mencatatkan defisit USD2,1 miliar, menyempit
dibandingkan defisit triwulan II 2019 yang sebesar USD3,5 miliar.

Gambar 1. Indikator Sustainabilitas Eksternal Indonesia di Triwulan III Relatif Baik

Sumber: Bank Indonesia, diolah

Berdasarkan perkembangan tersebut, neraca pembayaran Indonesia triwulan III 2019 yang
mencatatkan defisit USD46 juta, posisi cadangan devisa pada akhir triwulan III (September
2019) tercatat sebesar USD124,33 miliar. Posisi cadangan devisa ini meningkat jika
dibandingkan akhir triwulan II 2019 yang sebesar USD123,8 miliar. Jumlah cadangan devisa ini
setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar
negeri pemerintah, masih pada tingkat aman di atas standar kecukupan internasional sekitar 3
bulan impor. Peningkatan cadangan devisa ini sejalan dengan tren apresiasi nilai tukar yang
terjadi selama triwulan III 2019. Tren peningkatan cadangan devisa juga masih terjadi hingga
akhir Oktober 2019 yang tercatat sebesar USD126,7 miliar, sejalan dengan NFB di pasar SBN,
yang terutama ditopang oleh adanya penerbitan obligasi global pemerintah (dual currency) di
akhir bulan Oktober, penerimaan devisa migas, serta penerimaan valas lainnya. Dinamika
tersebut menunjukkan indikator sustainabilitas eksternal pada triwulan III 2019 menunjukkan
kondisi yang relatif baik dengan risiko yang terjaga.

44 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


G. PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN III 2019
Perekonomian Indonesia pada triwulan III 2019 tumbuh sebesar 5,02 persen (yoy) atau secara
kumulatif tumbuh sebesar 5,04 persen (ytd). Di tengah tekanan perekonomian global dan
penurunan harga komoditas primer yang mempengaruhi kinerja investasi dan impor,
pertumbuhan ini relatif masih cukup baik meskipun melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya. Realisasi angka pertumbuhan ini juga sesuai dengan penurunan kontribusi
permintaan domestik terkait dengan perlambatan pertumbuhan investasi, walaupun masih
ditopang oleh stabilnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga (RT) dan lembaga non-profit
rumah tangga (LNPRT). Penurunan pertumbuhan investasi juga memberikan dampak terhadap
kinerja impor yang masih mengalami kontraksi yang cukup dalam. Hal ini diimbangi oleh
kinerja ekspor yang mengalami perbaikan sehingga net ekspor bernilai positif, seperti yang
pernah terjadi di tahun 2015 dan 2016 pada saat harga komoditas mengalami tren penurunan.
Walaupun memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan perekonomian secara
keseluruhan, hal ini perlu diwaspadai dan diantisipasi dalam mendukung kinerja pertumbuhan
ekonomi ke depan, terutama terkait masih bergantungnya aktivitas perekonomian domestik
terhadap barang modal dan barang baku yang berasal dari impor.
Dari sisi PDB pengeluaran (Tabel 5), pertumbuhan ekonomi triwulan III 2019 masih ditopang
oleh konsumsi rumah tangga sebagai kontributor terbesar. Konsumsi RT dan LNPRT masih
tumbuh relatif stabil dengan tumbuh di atas 5 persen, didukung oleh tingkat inflasi yang stabil,
terutama harga kebutuhan pokok. Konsumsi makan dan minum yang merupakan penyumbang
terbesar konsumsi RT masih mampu tumbuh 5,18 persen. Sementara itu, konsumsi kebutuhan
pokok lainnya, seperti kesehatan dan pendidikan, juga masih tumbuh 7,34 persen, lebih tinggi
dari periode sebelumnya. Penyaluran program bantuan sosial seperti Program Keluarga
Harapan dan Bantuan Siswa Miskin juga mempengaruhi kinerja konsumsi RT terutama
masyarakat berpenghasilan rendah.
Secara total, pertumbuhan konsumsi RT dan LNPRT tetap menjadi mesin pertumbuhan
dengan mampu tumbuh sebesar 5,06 persen. Telah berakhirnya momentum Pemilu juga
memberikan pengaruh tidak langsung terhadap kinerja konsumsi RT dan LNPRT. Konsumsi
LNPRT mengalami penyesuaian sehingga kembali tumbuh pada pertumbuhan normal yaitu
sebesar 7,44 persen, sejalan dengan tidak adanya dorongan dari aktivitas kegiatan besar partai
politik. Beberapa kalangan menilai konsumsi rumah tangga tumbuh stagnan pada level 5
persen. Walaupun demikian, komponen konsumsi rumah tangga yang berasal dari makanan
dan minuman, transportasi dan komunikasi, serta restoran dan hotel masih tumbuh stabil
sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi triwulan III 2019.
Pada triwulan ketiga ini, konsumsi Pemerintah masih tumbuh terbatas yaitu sebesar 0,98
persen. Kinerja pertumbuhan yang masih positif ini merupakan hal yang menggembirakan
karena pola realisasi anggaran di awal tahun yang cukup besar. Pergeseran realisasi belanja ini
mengakibatkan penurunan belanja di triwulan III 2019 dibandingkan triwulan III 2018,
terutama pada belanja barang dan belanja sosial yang masing-masing tumbuh -3,25 persen dan
-7,22 persen. Belanja pegawai masih mampu tumbuh positif, meskipun hanya tumbuh terbatas
yaitu sebesar 0,56 persen.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 45


Tabel 5. Pertumbuhan PDB Menurut Pengeluaran (persen, yoy)

Komponen 2017 2018 2019

Pengeluaran
Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Q3 Y

Konsumsi
Rumah Tangga 5,00 5,03 4,93 4,98 4,98 5,01 5,23 5,07 5,20 5,13 5,27 5,38 5,06 5,24
dan LNPRT
Konsumsi
4,94 4,95 4,91 4,98 4,94 4,94 5,16 5,00 5,08 5,05 5,02 5,17 5,01 5,07
Rumah Tangga

Konsumsi LNPRT 8,08 8,53 6,04 5,26 6,93 8,10 8,75 8,59 10,79 9,08 16,95 15,28 7,44 13,15

Konsumsi
2,69 -1,94 3,46 3,80 2,13 2,71 5,20 6,27 4,56 4,80 5,20 8,25 0,98 4,69
Pemerintah

PMTB 4,77 5,34 7,08 7,26 6,15 7,94 5,85 6,96 6,01 6,67 5,03 5,01 4,21 4,74

Ekspor 8,36 2,73 16,48 8,42 8,91 5,94 7,65 8,08 4,33 6,48 -1,87 -1,98 0,02 -1,24

Impor 4,78 0,18 15,40 11,91 8,06 12,64 15,17 14,02 7,10 12,04 -7,39 -6,78 -8,61 -7,62

PDB 5,01 5,01 5,06 5,19 5,07 5,06 5,27 5,17 5,18 5,17 5,07 5,05 5,02 5,04

Sumber: BPS

Pada sisi investasi, kinerja pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)
mengalami perlambatan yaitu sebesar 4,21 persen, terpengaruh oleh kondisi ekonomi global
yang belum kondusif dan tren harga komoditas primer yang masih rendah. Seluruh
komponen PMTB mengalami penurunan kecuali komponen Cultivated Biological Resources
(CBR). Investasi bangunan yang memiliki kontribusi terbesar masih tumbuh 5,03 persen,
sejalan dengan pertumbuhan sektor konstruksi dan konsumsi semen yang juga mengalami
perlambatan. Investasi mesin dan perlengkapan yang memiliki keterkaitan dengan
perkembangan harga komoditas juga mengalami perlambatan dengan tumbuh sebesar 7,79
persen. Sementara itu, beberapa komponen investasi mengalami pertumbuhan negatif,
diantaranya investasi kendaraan, peralatan lainnya dan produk kekayaan intelektual.
Penurunan impor barang pendukung kegiatan investasi seperti barang modal dan bahan baku
pada triwulan III 2019 juga mengalami pertumbuhan negatif yang masing-masing sebesar -0,54
persen dan -14,45 persen. Dari sisi belanja pemerintah, realisasi belanja modal pada triwulan III
2019 juga menunjukkan penurunan dengan tumbuh -0,07 persen.
Meskipun kinerja pertumbuhan PMTB relatif moderat, tren pemulihan realisasi penanaman
modal menunjukkan keberlanjutan hingga triwulan III 2019. Realisasi penanaman modal
pada triwulan III 2019 mencapai Rp205,7 triliun, tumbuh sebesar 18,4 persen (yoy).
Pertumbuhan ini didukung oleh realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang
tumbuh sebesar 18,9 persen, dan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) yang tumbuh sangat
signifikan sebesar 17,8 persen dibandingkan dengan realisasi pada pertumbuhan PMA di
triwulan II sebesar 9,6 persen. Pertumbuhan realisasi PMA ini merupakan pertumbuhan
triwulanan tertinggi setelah tahun 2015. Secara kumulatif (Januari-September) 2019, realisasi
investasi mencapai Rp601,3 triliun atau tumbuh sebesar 12,3 persen (yoy). Pertumbuhan
tersebut didukung oleh pertumbuhan PMDN sebesar 17,3 persen dan PMA sebesar 8,2 persen.
Capaian ini mencapai 75,9 persen dari target realisasi investasi tahun 2019.

46 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Fenomena menarik yang terjadi pada triwulan III 2019 adalah kinerja ekspor yang mampu
tumbuh positif meskipun masih dalam tingkat yang rendah, yakni sebesar 0,02 persen (yoy),
setelah mengalami kontraksi sejak awal tahun 2019. Pertumbuhan positif ini salah satunya
dipengaruhi oleh pertumbuhan volume ekspor barang yang positif dan penurunan harga
komoditas ekspor utama, seperti batubara dan tambang lainnya. Kinerja pertumbuhan ekspor
barang migas mengalami perbaikan yang cukup signifikan meskipun masih tumbuh negatif,
yaitu -9,61 persen dari sebelumnya yang sebesar -33,25 persen. Berbeda dengan ekspor, impor
justru mengalami kontraksi yang lebih dalam dengan tumbuh -8,61 persen, terutama
dipengaruhi oleh impor barang migas yang juga tumbuh negatif lebih besar. Dari sisi jasa,
pertumbuhan ekspor dan impor juga mengalami kontraksi. Ekspor jasa tumbuh negatif, sejalan
dengan penurunan kunjungan wisatawan mancanegara. Sementara itu, kontraksi
pertumbuhan impor jasa dipengaruhi oleh penurunan aktivitas jasa angkutan ekspor dan
impor.
Pada triwulan III 2019, secara nilai, perubahan inventori tetap positif meskipun terjadi
penurunan. Perubahan inventori mengalami kontraksi sehingga berkontribusi negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Kinerja perubahan inventori yang lebih rendah dapat terjadi
karena dua faktor, yaitu peningkatan barang dan jasa atau penurunan persediaan barang dan
jasa. Pertumbuhan konsumsi yang stabil dan pertumbuhan investasi yang masih positif serta
diiringi dengan penurunan kinerja impor menyebabkan persediaan barang di pasar domestik
berkurang.
Dari sisi PDB menurut lapangan usaha (Tabel 6), seluruh sektor lapangan usaha
menunjukkan pertumbuhan positif dengan didorong pertumbuhan tinggi sektor jasa-jasa.
Sektor-sektor kontributor utama PDB, seperti industri pengolahan, pertanian, dan perdagangan
masih tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, dan tumbuh melambat
dibanding triwulan III 2018. Sektor jasa-jasa yang tumbuh tinggi, antara lain: jasa lainnya
(tumbuh 10,72 persen), jasa perusahaan (10,22 persen), serta jasa kesehatan (9,19 persen).
Meskipun ketiga sektor tersebut tumbuh tinggi namun sumbangannya terhadap total PDB
masih relatif kecil (di bawah 2 persen). Di sisi lain, kinerja sektoral emiten di Bursa Efek relatif
berbeda jika dibanding PDB sektoral, dimana pada triwulan III 2019, hampir seluruh sektor
mengalami penurunan atau perlambatan dibanding kinerja pada triwulan III 2018 (Grafik 29).
Sektor industri pengolahan (manufaktur) tumbuh sebesar 4,15 persen (yoy), relatif melambat
jika dibanding kinerja triwulan III 2018 yang sebesar 4,35 persen. Beberapa kelompok industri
yang mendorong kinerja manufaktur adalah industri makanan dan minuman (8,33 persen),
tekstil dan pakaian jadi (15,1 persen), serta industri furnitur (6,93 persen). Sementara itu,
beberapa kelompok industri yang mengalami kontraksi pertumbuhan, antara lain: industri alat
angkutan (-1,23 persen), industri mesin dan perlengkapan (-6,7 persen), serta industri migas dan
batubara (-0.74 persen).

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 47


Grafik 29. Pertumbuhan Penjualan Emiten BEI (persen, yoy)

Jasa Kesehatan 16,4


13,3
Perdagangan 5,3
-18,0 20,0
Konstruksi
14,6
Real Estate -12,8

Pertambangan 4,3
-16,1 70,1
Transportasi & Pergudangan
-12,5
Gas & Listrik 1,7

Informasi & Komunikasi 3,1


1,8
Jasa Keuangan 17,0
7,5
Industri Pengolahan 4,2
-16,6 15,8
Pertanian
25,8

-20 -10 0 10 20 30 40
N = 56 Perusahaan dgn
Kapitalisasi pasar terbesar di BEI Growth Q3-2019 Growth Q3-2018

Sumber: BPS

Kinerja sektor pertanian tumbuh sebesar 3,08 persen (yoy), terutama akibat musim kemarau
yang cukup panjang dan berdampak pada hasil panen padi yang menurun (tanaman pangan
tumbuh -4,81 persen). Di sisi lain, kondisi kemarau panjang justru memberikan pengaruh
positif karena cukup kondusif untuk peningkatan produksi pada hortikultura (5,07 persen),
peternakan (7,72 persen), dan perikanan (5,85 persen). Kinerja tanaman perkebunan juga
tumbuh lebih kuat (4,98 persen), terutama ditopang oleh peningkatan produksi kelapa sawit
seiring permintaan domestik CPO yang meningkat.

Sektor perdagangan tumbuh sebesar 4,75 persen (yoy), melambat dibanding kinerja triwulan
III 2018 yang sebesar 5,28 persen. Perlambatan sektor ini terutama disebabkan oleh faktor
penurunan penjualan kendaraan serta ekspor-impor yang terdampak kondisi ekonomi global.
Sementara itu, tiga sektor jasa yang terkait dengan ekonomi digital tumbuh menguat dan
berada di atas rata-rata PDB nasional, yakni sektor jasa transportasi dan pergudangan (6,63
persen), sektor jasa keuangan (6,15 persen), serta sektor informasi dan komunikasi (9,15 persen).
Tingginya aktivitas belanja online dan perkembangan fintech mendorong peningkatan
pengiriman barang dan volume transaksi di sektor keuangan.

48 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Tabel 6. Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha (persen, yoy)
2017 2018 2019
Lapangan Usaha
Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Q3 Y

Pertanian, Kehutanan, dan


7,11 3,32 2,83 2,39 3,87 3,34 4,72 3,66 3,87 3,91 1,82 5,33 3,08 3,46
Perikanan
Pertambangan dan
-1,30 2,11 1,83 0,04 0,66 1,06 2,65 2,67 2,25 2,16 2,32 -0,71 1,94 1,18
Penggalian

Industri Pengolahan 4,28 3,50 4,88 4,51 4,29 4,60 3,88 4,35 4,25 4,27 3,86 3,54 4,15 3,85

Pengadaan Listrik dan Gas 1,60 -2,53 4,88 2,27 1,54 3,31 7,56 5,58 5,46 5,47 4,12 2,20 3,75 3,35

Pengadaan Air,
Pengelolaan Sampah, 4,39 3,66 4,82 5,52 4,60 3,65 3,94 6,20 7,92 5,46 8,95 8,34 4,66 7,28
Limbah dan Daur Ulang

Konstruksi 5,96 6,95 6,98 7,24 6,80 7,35 5,73 5,79 5,58 6,09 5,91 5,69 5,65 5,75

Perdagangan Besar dan


4,61 3,47 5,22 4,53 4,46 4,99 5,22 5,28 4,39 4,97 5,27 4,63 4,75 4,88
Eceran
Transportasi &
8,06 8,80 8,88 8,21 8,49 8,56 8,70 5,65 5,34 7,01 5,25 5,78 6,63 5,90
Pergudangan
Penyediaan Akomodasi
5,35 5,60 5,52 5,11 5,39 5,17 5,60 5,91 5,95 5,66 5,87 5,52 5,36 5,58
dan Makan Minum

Informasi dan Komunikasi 10,48 11,06 8,82 8,27 9,63 7,76 5,11 8,14 7,17 7,04 9,06 9,60 9,15 9,27

Jasa Keuangan dan


6,01 5,93 6,13 3,82 5,47 4,23 3,06 3,14 6,27 4,17 7,32 4,55 6,15 6,01
Asuransi

PDB 5,01 5,01 5,06 5,19 5,07 5,06 5,27 5,17 5,18 5,17 5,07 5,05 5,02 5,04

Sumber: BPS

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 49


H. INFLASI INDONESIA
Laju inflasi menunjukkan tren penurunan di menjelang awal triwulan IV 2019, setelah
sempat meningkat di triwulan III 2019. Hingga bulan November 2019, laju inflasi mencapai
2,37 persen (ytd) atau 3,00 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan rata-rata inflasi hingga
November selama tahun 2015-2018, yaitu sebesar 2,58 persen (ytd) atau 3,75 persen (yoy). Laju
inflasi yang lebih rendah ini dipengaruhi oleh terkendalinya inflasi pangan menjelang akhir
tahun didukung oleh ketersediaan pasokan cabai dan beras. Selain itu, dari sisi komponen inti
tekanan inflasi mengalami penurunan seiring meredanya tekanan harga emas global.
Terjaganya laju inflasi secara umum juga didukung dengan komponen administered price yang
mengalami penurunan seiring berlanjutnya deflasi tarif transportasi udara. Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah bersama Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi kebijakan
dalam menjaga stabilitas harga, terutama komoditas pangan menjelang Hari Besar Keagamaan
Nasional (HBKN) Natal dan liburan akhir tahun. Hal ini diharapkan mampu menjaga tingkat
inflasi di akhir tahun 2019 tetap berada dalam rentang sasaran inflasi, serta didukung oleh
ekspektasi inflasi masyarakat yang terjaga.
Menjelang akhir tahun, laju inflasi volatile food terkendali didukung oleh pasokan aneka
cabai dan beras yang melimpah. Setelah sebelumnya menjadi sumber tekanan inflasi pangan
sebagai dampak musim kemarau panjang, aneka cabai kembali mencatatkan deflasi seiring
pasokan yang melimpah setelah panen raya di bulan Oktober. Penurunan harga aneka cabai
yang berlanjut mendorong harga kembali ke level normal. Selain itu, permintaan cabai
masyarakat relatif stabil sehingga mendorong harga turun. Penyerapan cabai oleh industri juga
mengalami penurunan diperkirakan karena faktor stok cabai untuk produk cabai olahan masih
tercukupi. Sementara itu, kecukupan stok beras Bulog dan Pasar Induk Beras Cipinang mampu
menjaga kenaikan harga beras di level yang rendah seiring penurunan produksi karena berada
pada masa panen kecil (panen dengan produksi rendah) serta mulai masuknya musim tanam.
Sementara itu, komoditas daging dan telur ayam ras serta beberapa produk hortikultura
menjadi sumber tekanan inflasi volatile food di triwulan IV 2019. Peningkatan harga yang
terjadi pada komoditas daging dan telur ayam ras dipengaruhi oleh dampak kebijakan
pengurangan bibit ayam sebagai respon anjloknya harga ayam hidup di tingkat peternak yang
terjadi sejak Lebaran. Selain itu, pergantian musim yang memengaruhi cuaca berdampak pada
produktivitas ayam pedaging dan petelur. Mulai meningkatnya permintaan menjelang HBKN
Natal dan liburan akhir tahun juga berpengaruh pada naiknya harga. Selain itu, kenaikan harga
pada beberapa produk hortikultura, seperti bawang merah, tomat sayur, dan beberapa jenis
sayuran dan buah-buahan dipengaruhi oleh berkurangnya stok karena masih dalam masa
tanam dan produksi yang turun akibat curah hujan yang masih rendah di beberapa daerah.

50 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Grafik 30. Perkembangan Inflasi Tahun 2017-2019 (persen, yoy)
12,0%
Umum
10,0%
Inti
8,0% Harga Diatur Pemerintah
8,76% Harga Bergejolak
6,0% 4,32%
5,02%
4,0% 3,30% 3,23% 3,08%

2,0% 3,07% 3,00%


3,05%
3,03%
0,0%
1,08%
-1,24%
-2,0%
Jan

Jun

Jan

Jun

Jan

Jun
Mar
Apr

Mar
Apr

Mar
Apr
Feb

Feb

Feb
Okt

Okt

Okt
Mei

Jul
Ags

Des

Mei

Jul
Ags

Des

Mei

Jul
Ags
Nov

Nov

Nov
Sep

Sep

Sep
2017 2018 2019

Sumber: BPS

Berdasarkan realisasi inflasi terakhir, inflasi komponen volatile food secara kumulatif hingga
November 2019 mencapai 3,42 persen (ytd), lebih tinggi dibandingkan rata-rata 5 tahun
terakhir pada periode yang sama, yaitu sebesar 2,78 persen (ytd). Tekanan tersebut berasal
dari dampak kemarau panjang yang berpengaruh pada penurunan produktivitas tanaman
pangan secara umum. Secara tahunan pada November, inflasi komponen volatile food mencapai
5,02 persen (yoy) atau sama dengan rata-rata 5 tahun terakhir pada periode yang sama.
Sementara itu, inflasi komponen administered price masih melanjutkan tren menurun
seiring deflasi tarif angkutan udara. Selain karena faktor kebijakan Pemerintah dalam
pengaturan tarif dan berakhirnya masa Lebaran, tarif angkutan udara menunjukkan tren
penurunan karena masuknya periode low season sehingga permintaan masyarakat juga
menurun. Sementara itu, komoditas rokok memberikan tekanan pada komponen administered
price. Sumbangan inflasi terjadi pada seluruh jenis rokok, yaitu rokok kretek, kretek filter, dan
rokok putih. Kenaikan harga tersebut diperkirakan menjadi tindakan antisipasi para pedagang
seiring dengan rencana penerapan kenaikan cukai dan harga jual eceran yang akan diterapkan
pada Januari 2020. Hal ini ditujukan untuk menghindari kenaikan harga eceran yang terlalu
tinggi. Secara kumulatif, inflasi komponen administered price hingga November 2019 relatif
rendah pada tingkat -0,12 persen (ytd) atau 1,08 persen (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan
November 2018 sebesar 2,13 persen (ytd) atau 3,07 persen (yoy).
Meredanya tekanan harga emas global mendorong penurunan inflasi inti. Sedikit meredanya
ketegangan perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok mampu menahan kenaikan harga
emas global lebih lanjut. Hal ini turut memengaruhi stabilnya harga emas perhiasan domestik
sejak Oktober. Selain itu, tekanan kenaikan biaya Pendidikan juga mulai mereda sejak bulan
Oktober seiring selesainya masa pergantian tahun ajaran baru tingkat pendidikan tinggi.
Namun, terdapat beberapa komoditas-komoditas yang memberikan tekanan sejak akhir
triwulan III, seperti nasi dengan lauk, mie, upah tukang bukan mandor, serta tarif sewa dan
kontrak rumah. Meningkatnya harga nasi dengan lauk merupakan dampak lanjutan dari
kenaikan yang sebelumnya terjadi pada bahan pangan. Penyelesaian proyek pekerjaan hingga

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 51


akhir tahun 2019 juga mendorong peningkatan upah tukang bukan mandor. Sementara itu,
peningkatan tarif sewa dan kontrak rumah salah satunya disebabkan oleh kenaikan biaya
bahan bangunan atau pemeliharaan rumah, seperti pasir, batako, batu bata, genteng, dan cat
tembok. Hingga November 2019, inflasi komponen inti mencapai 2,91 persen (ytd) atau 3,08
persen (yoy), sedikit meningkat dibandingkan November 2018 yang mencapai 2,90 persen (ytd)
atau 3,03 persen (yoy).

Grafik 31. Komponen Pembentuk Inflasi Januari–November 2019 (persen, ytd)

2,8 2,36 2,48 2,37


2,20 2,22
2,4 2,05
2,0 1,48
1,6
1,2 0,80
0,8 0,32 0,35
0,24
0,4
0,0
-0,4 Jan-19 Feb-19 Mar-19 Apr-19 May-19 Jun-19 Jul-19 Aug-19 Sep-19 Oct-19 Nov-19

Inti Harga Diatur Pemerintah Harga Bergejolak Umum

Sumber: BPS

52 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Boks 1. Strategi Peningkatan Daya Serap Tenaga Kerja
untuk Menurunkan Angka Pengangguran

Rilis ketenagakerjaan Indonesia pada Agustus 2019 menunjukkan kenaikan Tingkat


Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan jumlah angkatan kerja, serta penurunan Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT). TPAK Agustus 2019 tercatat sebesar 67,49 persen, naik 0,23 pp
dibandingkan TPAK Agustus 2018 yang sebesar 67,26 persen. Peningkatan TPAK ini menjadi
indikasi adanya potensi ekonomi dari sisi penawaran tenaga kerja. Kenaikan TPAK mendorong
kenaikan jumlah angkatan kerja pada bulan Agustus 2019 menjadi 133,56 juta orang, meningkat
2,55 juta orang dibandingkan Agustus 2018. Sementara itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
menunjukkan tren penurunan sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2019. Pada Agustus 2019,
TPT turun menjadi 5,28 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 5,34 persen.
Indonesia menempati urutan kedua TPT tertinggi di Kawasan ASEAN setelah Filipina (5,40
persen). TPT Indonesia relatif tinggi dibandingkan Malaysia yang hanya 3,30 persen (per
September 2019) dan Vietnam yang sebesar 2,17 persen (per September 2019), mengingat
Indonesia menampung jumlah tenaga kerja dan populasi terbesar di Kawasan ASEAN. Data
World Bank menyatakan total populasi Indonesia pada 2018 mencapai 267,6 juta jiwa dan berada
pada peringkat empat dunia. Sedangkan, Vietnam dan Malaysia masing-masing hanya 95,5 dan
31,5 juta jiwa. Namun demikian, Tiongkok sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak
di dunia yakni dengan populasi 1,39 milliar jiwa pada 2018, tetap mampu menekan angka
pengangguran pada level 3,61 persen (per September 2019). Jadi, faktor jumlah penduduk justru
akan menjadi potensi ekonomi apabila serapan tenaga kerja Indonesia dapat dioptimalkan.

Grafik 32. Tingkat Pengangguran (dalam persen)

5,40 5,28

3,61
3,30

2,30 2,17
1,60
0,90
0,60
0,10

Filipina Indonesia Malaysia Singapura Vietnam Myanmar Thailand Laos Kamboja Tiongkok
Sumber : Bloomberg

Secara absolut, kesempatan kerja baru yang tercipta sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
penambahan angkatan kerja baru. Kesempatan kerja baru yang tercipta hanya sebesar 2,50 juta
atau lebih rendah sebesar 50 ribu dari penambahan angkatan kerja baru yang meningkat sebesar
2,55 juta orang. Sektor perdagangan memegang peranan terbesar dalam menciptakan
kesempatan kerja baru yakni sebesar 1,5 juta orang, yang kemudian diikuti oleh sektor jasa
kemasyarakatan (0,8 juta orang), dan sektor industri (0,7 juta orang). Sementara itu, kesempatan
kerja yang diciptakan oleh sektor konstruksi relatif kecil meski Pemerintah sedang giat
membangun infrastruktur dalam empat tahun terakhir.
Pada Agustus 2019, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan 0,40 persen
lapangan kerja baru, atau tambahan sekitar 495 ribu orang tenaga kerja. Secara rata-rata dalam
periode 2015-2019, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan 468 ribu

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 53


kesempatan kerja baru, lebih tinggi dibandingkan dengan periode 2009-2014 yang hanya sebesar
365 ribu kesempatan kerja baru per 1 persen pertumbuhan ekonomi.

Grafik 33. Penambahan Kesempatan Kerja Menurut Lapangan Usaha

Juta orang 5,1 Persen, yoy


2,6
5,0 6,0
3,3 3,6
4,0 3,0 2,5 5,0
2,3 4,0
3,0 1,9
0,3 0,2
2,0 3,0
1,0 2,0
0,0 1,0
-1,0 0,0
-2,0 -1,0
-3,0 -0,8 -2,0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Jasa Kemasyarakatan Jasa Keuangan Transportasi dan Komunikasi
Perdagangan Konstruksi LGA
Industri Pertambangan Pertanian
Lap. Kerja baru Pert. Lap. Kerja (kanan)
Sumber : BPS, diolah.

Dalam rangka mencapai TPT yang jauh lebih rendah, Pemerintah perlu memperkuat strategi
kebijakan cipta lapangan kerja guna menambah daya serap tenaga kerja di perekonomian.
Untuk menstimulus penyerapan tenaga kerja, Pemerintah akan fokus antara lain pada hal-hal
berikut: (1) pengembangan dan perbaikan pasar tenaga kerja untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi dan job creation, (2) peraturan ketenagakerjaan yang seimbang, (3) peningkatan kualitas
dan produktivitas tenaga kerja, (4) kesesuaian antara keterampilan pekerja dengan kebutuhan
dunia usaha (skill mismatch), dan (5) penyiapan SDM melalui pelatihan vokasi untuk up and re-
skilling.

Grafik 34. Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja

Persen dlm ribu


7 713 800
6 700
578
501 537 600
5 495
515
436 500
4 374
351 400
3
237 300
2 189
0,03 200
0,44 0,49 0,51 0,62 0,43 0,48 0,40
1 0,22 0,32 0,33 39 100
0,17
0 0
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019*
Elastisitas Penyerapan TK (RHS, Ribu Orang) PDB (%, yoy) Bekerja (%, yoy) Growth Bekerja per PDB (%)

Sumber : BPS, diolah

54 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 55
BAGIAN II

ANALISIS KINERJA APBN


DAN KEBIJAKAN FISKAL

56 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 57
ANALISIS KINERJA APBN PER NOVEMBER 2019
Di tengah prospek perlambatan yang terjadi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia di
triwulan III, realisasi APBN pada November 2019 masih mencatatkan kinerja yang positif.
Pendapatan negara dan hibah masih mencatatkan pertumbuhan sebesar 0,9 persen (yoy).
Pertumbuhan ini didorong oleh kinerja positif pada penerimaan cukai yang tumbuh signifikan
sejak awal tahun. Sementara itu, belanja negara tercatat tumbuh sebesar 5,3 persen (yoy). Ini
merupakan dampak dari meningkatnya realisasi bantuan sosial dalam menjaga daya beli
masyarakat miskin, seperti PKH, PBI JKN, dan PBNT. Di samping itu, tumbuhnya Transfer ke
Daerah dan Dana Desa (TKDD) juga berdampak pada pertumbuhan belanja negara. Pemerintah
akan terus menjaga defisit APBN serta rasio utang dalam tingkat terkendali guna menjaga fiskal
dalam kondisi yang sehat, terutama untuk mengantisipasi perubahan dalam perekonomian
global.

Tabel 7. Kinerja APBN per Oktober 2019 (triliun Rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan

Kinerja pendapatan negara tercatat masih tumbuh positif, kendati dibandingkan tahun
sebelumnya mengalami perlambatan. Hingga akhir November 2019, pendapatan negara
mampu mencatatkan pertumbuhan sebesar 0,9 persen (yoy). Secara spesifik, komponen
penerimaan perpajakan, kepabeanan dan cukai, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
mampu mencatatkan pertumbuhan, masing-masing sebesar 0,8 persen (yoy), 2,60 persen (yoy),
dan 3,44 persen (yoy). Ketiga komponen tersebut memberikan kontribusi atas positifnya
kinerja pendapatan negara.

58 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Tabel 8. Penerimaan Beberapa Jenis Pajak; Grafik 35. Pertumbuhan Penerimaan Beberapa Jenis Pajak

10,6%
Rp 133,17 T growth y-o-y 2019 15,6%
PPh 21
11,7 %
growth y-o-y 2018 -1,5%
Rp 49,32 T
PPh 22 Impor 27,3%
4,3 %
16,6%
Rp 10,34 T
PPh OP 20,9%
0,9 %
1,2%
Rp 211,66 T
PPh Badan 22,1%
18,6 %
Rp 49,25 T -5,3%
PPh 26 15,3%
4,3 %
Rp 107,44 T 6,7%
PPh Final
9,5 % 9,4%

PPN Dalam Rp 271,51 T -1,8%


Negeri 23,9 % 8,5%
Rp 155,7 T -7,9%
PPN Impor
13,7 % 26,5%

Sumber: Kementerian Keuangan

Pertumbuhan penerimaan perpajakan yang mencapai 0,80 persen (yoy) ditopang oleh
beberapa komponen perpajakan yang mengalami baik pertumbuhan positif maupun negatif.
Pertumbuhan positif didorong oleh peningkatan pada kinerja PPh nonmigas yang tumbuh
sebesar 4,07 persen (yoy). Tumbuhnya PPh nonmigas bersumber dari jenis pajak PPh Pasal
25/29 orang pribadi serta PPh Pasal 21, menunjukkan bahwa fundamental ketenagakerjaan di
Indonesia relatif stabil. Sementara itu, pertumbuhan negatif yang terjadi disebabkan pajak-
pajak atas impor yang secara umum mengalami kontraksi. Moderasi aktivitas impor ditambah
masih lemahnya harga komoditas di pasar global membuat kegiatan impor pun mengalami
penurunan. Lemahnya kinerja pajak impor sangat mempengaruhi pertumbuhan penerimaan
perpajakan, walaupun pada November 2019 masih mampu mencatatkan pertumbuhan yang
positif.
Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai terus melanjutkan tren positif dengan
pertumbuhan mencapai 2,60 persen (yoy). Pertumbuhan ini didorong oleh Cukai Hasil
Tembakau (CHT) memiliki porsi terbesar pada penerimaan cukai dan mampu mencatatkan
pertumbuhan sebesar 13,69 persen (yoy). Kebijakan relaksasi pelunasan pita cukai rokok serta
efektivitas program Penerbitan Cukai Berisiko Tinggi (PCBT) dalam mengurangi peredaran
rokok illegal berkontibusi besar atas kinerja penerimaan CHT. Di samping itu, penerimaan
cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) juga mampu tumbuh sebesar 15,49 persen
(yoy). Hal ini disebabkan kondusifnya pasar permintaan dari MMEA. Dua komponen ini
memberikan sumbangsih bagi pertumbuhan pada penerimaan kepabeanan dan cukai,
melanjutkan tren yang berlangsung sejak awal tahun.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 59


Tabel 9. Kinerja Realisasi PNBP (triliun Rupiah)

Sumber: Kementerian Keuangan

Sejalan dengan penerimaan perpajakan serta kepabeanan dan cukai, PNBP mampu tumbuh
sebesar 3,44 persen (yoy). Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kinerja PNBP, yakni
penerimaan SDA serta Kekayaan Negara Dipisahkan (KND). Penerimaan SDA pada Bulan
November 2019 mencatatkan pertumbuhan negatif sebesar 9,22 persen (yoy). Hal ini
disebabkan penurunan harga komoditas pertambangan, seperti rata-rata ICP dan harga
batubara selama periode Januari-Oktober 2019. Sementara itu, komponen KND mampu
mencatatkan pertumbuhan 70,19 persen (yoy). Setoran sisa surplus Bank Indonesia pada Mei
2019 serta dividen BUMN yang terealisasi hingga November 2019 berandil besar dari
pertumbuhan signifikan pada komponen KND. Dapat disimpulkan, komponen KND
berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan PNBP, di tengah pelemahan harga komoditas
di pasar global.

Realisasi belanja negara hingga November 2019 masih menunjukkan kinerja positif dengan
total realisasi sebesar Rp2.046 triliun atau 83,1% terhadap APBN 2019. Kinerja ini didukung
oleh realisasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.293,2 triliun (79,1% terhadap APBN) dan
Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp752,8 triliun (91,1% terhadap APBN).
Secara nominal, realisasi belanja pemerintah pusat dan TKDD lebih tinggi dibanding tahun
2018 namun penyerapannya lebih rendah jika dibandingkan target APBN.
Kinerja realisasi belanja pemerintah pusat hingga November 2019 tercatat membaik
dibanding periode yang sama di 2018, terutama pada Belanja Kementerian/Lembaga (K/L).
Realisasi belanja K/L mencapai Rp717,8 triliun (83,9% terhadap APBN) atau tumbuh 7,7%
dibanding realisasi tahun sebelumnya. Perbaikan kinerja ini terutama ditopang oleh
peningkatan realisasi bantuan sosial, belanja pegawai, dan belanja barang, yang kemudian
berkontribusi pada perbaikan pertumbuhan konsumsi (baik konsumsi rumah tangga maupun
konsumsi pemerintah). Sementara realisasi belanja Non K/L hingga November 2019 tercatat
sebesar Rp575,4 triliun (73,9% terhadap APBN). Realisasi ini lebih rendah dibanding kinerja
November 2018 yang mencapai 92,1% terhadap APBN akibat dari menurunnya realisasi belanja
subsidi.

60 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Tabel 10. Kinerja Penyerapan Belanja Pemerintah Pusat hingga 30 November 2019

Sumber: Kementerian Keuangan

Hingga 30 November 2019, realisasi bantuan sosial (Bansos) telah mencapai Rp105,7 triliun
(108,9% terhadap APBN) atau tumbuh 44,1% dibanding realisasi November 2018. Peningkatan
realisasi Bansos ini mencerminkan komitmen dan keberpihakan pemerintah untuk menjaga
daya beli masyarakat berpendapatan rendah dan mengurangi kesenjangan, yaitu melalui
penyaluran Bansos dalam bentuk PKH, subsidi premi PBI JKN, BPNT, dan belanja Bansos
lainnya. Belanja pegawai tumbuh 12,1% dibanding realisasi November 2018, didorong oleh
kenaikan tunjangan kinerja atas capaian reformasi birokrasi beberapa K/L, kenaikan gaji
pokok, serta pencairan THR dan gaji ke-13. Realisasi belanja barang juga mampu tumbuh 1,4%
dibanding November 2018 antara lain untuk pelaksanaan dan pengawasan Pemilu, dukungan
pengadaan alutsista, fasilitas peningkatan kualitas rumah swadaya, dan preservasi
pemeliharaan rutin jalan nasional. Sementara realisasi belanja modal tumbuh negatif 6,8%
karena target di APBN 2019 yang lebih rendah dibanding APBN 2018. Selain itu, realisasi
belanja modal di 2019 juga masih menghadapi kendala penyelesaian ganti rugi pembebasan
lahan, payung hukum penugasan baru yang terbit di pertengahan 2019, serta gangguan
keamanan seperti di provinsi Papua dan Papua Barat.

Selain capaian output perlindungan sosial, atas belanja K/L yang telah terealisasi, pemerintah
telah menghasilkan progress dalam mencapai target output strategis K/L lainnya, yaitu
dalam bentuk infrastruktur (jalan baru, rel kereta api, jembatan), pendidikan (KIP, BOS,
Bidikmisi), kesehatan (JKN KIS, pencegahan stunting), dan ketahanan pangan (jaringan irigasi
tersier, produksi padi, cetak sawah baru). Di sisi lain, pemerintah juga tetap menjaga stabilitas
harga dan daya beli masyarakat untuk menjangkau barang-barang tertentu melalui
penyaluran belanja subsidi (energi dan non energi). Hingga 30 November 2019, realisasi belanja
subsidi mencapai Rp177,7 triliun atau 79,2% terhadap APBN, lebih rendah dibanding realisasi

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 61


November tahun 2018 yang mencapai Rp182,7 triliun. Realisasi subsidi non energi tumbuh 3,5%
dibanding tahun lalu namun realisasinya masih lebih rendah dibanding pagu anggaran di
APBN karena lambatnya penagihan dan proses verifikasi sebagai dasar pembayaran subsidi. Di
sisi lain, realisasi belanja subsidi energi lebih rendah dari target dan turun hingga -5,3%
dibanding tahun lalu, antara lain karena:
1. realisasi ICP Januari-November yang rata-rata USD61,94/barel, lebih rendah dibanding
asumsi USD70/barel,
2. realisasi nilai tukar Rupiah Januari-November yang rata-rata mencapai Rp14.087/USD
(lebih kuat dibanding asumsi Rp15.000/USD).

Tabel 11. Kinerja Penyerapan Transfer ke Daerah dan Dana Desa hingga 30 November 2019
2017 2018 2019
Transfer ke Daerah dan Dana Desa Real s.d. %thd Real s.d. %thd Growth Real s.d. %thd Growth
APBN APBN
Nov APBN-P Nov APBN (%) Nov APBN (%)
1 Transfer ke Daerah 644.8 91.3 706.2 662.6 93.8 2.8 756.8 689.2 91.1 4.0
a. Dana Perimbangan 621.8 91.6 676.6 638.5 94.4 2.7 724.6 662.6 91.4 3.8
i. Dana Transfer Umum 468.8 94.9 490.7 478.1 97.4 2.0 524.2 496.1 94.6 3.8
1) Dana Bagi Hasil 70.9 74.4 89.2 76.8 86.1 8.3 106.4 75.3 70.8 (2.0)
2) Dana Alokasi Umum 397.8 99.8 401.5 401.2 99.9 0.9 417.9 420.8 100.7 4.9
ii. Dana Transfer Khusus 153.0 82.9 185.9 160.4 86.3 4.8 200.4 166.5 83.1 3.8
1) Dana Alokasi Khusus Fisik 50.3 72.3 62.4 48.8 78.2 (2.9) 69.3 47.9 69.1 (1.9)
2) Dana Alokasi Khusus Non Fisik 102.8 89.3 123.5 111.6 90.4 8.6 131.0 118.6 90.5 6.3
b. Dana I nsentif Daerah 7.5 100.0 8.5 8.1 95.3 7.6 10.0 9.7 96.8 20.0
c. Dana Otonomi Khusus dan 15.5 76.4 21.1 16.0 75.8 22.2 16.9 76.4
3.8 5.5
Penyesuaian
2 Dana Desa 55.0 91.6 60.0 54.4 90.7 (1.0) 70.0 63.6 90.9 16.9

JUMLAH 699.7 91.3 766.2 717.1 93.6 2.5 826.8 752.8 91.1 5.0

Sumber: Kementerian Keuangan

Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sampai dengan November 2019 mampu
tumbuh 5,0% dibanding periode yang sama di 2018, dengan realisasi sebesar Rp752,8 triliun
atau 91,1% terhadap APBN. Realisasi Transfer ke Daerah (TKD) mampu tumbuh positif 4,0%
didorong oleh kinerja positif atas penyerapan Dana Insentif Daerah (DID), DAK Non Fisik, dan
Dana Alokasi Umum (DAU). Realisasi penyaluran DAK Fisik masih tumbuh negatif 1,9%.
Pemerintah melakukan pengetatan syarat penyaluran DAK Fisik untuk lebih memberikan
jaminan atas ketercapaian output DAK. Di sisi lain, realisasi Dana Desa berhasil tumbuh 16,9%
dibanding November 2018, atau lebih besar Rp9,2 triliun (dari Rp54,4 triliun menjadi Rp63,6
triliun), didorong oleh kenaikan penyaluran Dana Desa Tahap I dan II. Selain itu, Pemerintah
(Kementerian Keuangan, Kementerian PDTT, Kementerian Dalam Negeri) juga aktif
berkomunikasi dengan Pemerintah Daerah agar dapat segera memenuhi persyaratan demi
penyaluran TKDD yang lebih cepat dan menggunakan TKDD sesuai ketentuan agar dapat
berkontribusi dalam mengakselerasi ekonomi.

Realisasi pembiayaan anggaran hingga November 2019 mencapai Rp421 triliun, yang dikelola
untuk mengantisipasi risiko global dan tujuan investasi jangka panjang. Realisasi tersebut
mencapai 142 persen dari rencana dalam APBN 2019, serta tumbuh 21 persen dibanding
realisasi periode yang sama tahun 2018. Dilihat dari komponennya, realisasi pembiayaan utang
mencapai Rp442,9 triliun, yang antara lain terdiri dari penerbitan SBN (neto) sebesar Rp465,1
triliun. Penerbitan SBN tersebut tumbuh 25,9 persen dibanding realisasi periode yang sama

62 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


tahun 2018, dimana kenaikan tersebut merupakan bagian dari strategi front loading dalam
memanfaatkan kondusifnya situasi pasar keuangan di semester I serta mengantisipasi risiko
global yang meningkat ke depannya. Sementara itu, realisasi pinjaman tercatat negatif -Rp29,7
triliun dikarenakan pembiayaan cicilan pokok utang lebih besar daripada penarikan.

Tabel 12. Kinerja Pembiayaan Anggaran hingga 30 November 2019


2017 2018 2019
Pembiayaan Anggaran
Realisasi Realisasi Realisasi
(triliun rupiah) % thd % thd Growth % thd Growth
s.d. 30 APBN s.d. 30 APBN s.d. 30
APBNP APBN (%) APBN (%)
November November November

I. PEMBIAYAAN UTANG 444,8 96,4 399,2 363,7 91,1 (18,2) 359,3 442,9 123,3 21,8
a. Surat Berharga Negara (neto) 442,5 94,7 414,5 369,4 89,1 (16,5) 389,0 465,1 119,6 25,9
b. Pinjaman (neto) 2,3 (38,3) (15,3) (5,8) 37,6 (351,4) (29,7) (22,2) 74,7 285,4
II. PEMBIAYAAN INVESTASI (6,0) 10,0 (65,7) (15,6) 23,8 - (75,9) (22,4) 29,5 -
III. PEMBERIAN PINJAMAN 1,7 (46,6) (6,7) (0,3) 4,5 (117,6) (2,4) 0,4 (14,9) (216,1)
IV. KEWAJIBAN PENJAMINAN - - (1,1) - - - - - - -
V. PEMBIAYAAN LAINNYA 0,3 113,3 0,2 0,2 88,4 (52,4) 15,0 0,2 1,1 (1,7)

JUMLAH 440,9 111,0 325,9 347,9 106,7 (21,1) 296,0 421,0 142,2 21,0

Sumber: Kementerian Keuangan

Pembiayaan dikelola secara pruden dan produktif untuk menjaga keberlangsungan APBN.
Pengelolaan pinjaman terus diarahkan untuk mendukung produktivitas seperti untuk
perbaikan infrastruktur. Beberapa contoh realisasi pembiayaan dalam mendukung
infrastruktur ialah terwujudnya Jembatan Youtefa di Papua yang dibiayai dari dana Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp1,3 triliun. Pinjaman juga terus memprioritaskan
sumber dalam negeri untuk meminimalisir risiko seperti kurs. Sikap kehati-hatian Pemerintah
juga tercermin dari posisi utang yang pada akhir November 2019 sebesar Rp4.814,31 triliun,
atau sebesar 30,03 persen terhadap PDB. Tingkat utang masih berada jauh di bawah batas yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara yakni 60 persen terhadap PDB.
Pemerintah terus mendorong diversifikasi pembiayaan untuk menjaga keberlangsungan
pembangunan. Dari total Rp 4.814,31 triliun, sebesar 84 persen, atau Rp4.044,3 triliun
bersumber dari Surat Berharga Negara dan sisanya berasal dari pinjaman negara.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 63


BAGIAN III
ULASAN KHUSUS
Penguatan Strategi untuk
Mendorong Produktivitas dan
Daya Saing Menuju Indonesia
Emas

64 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 65
Penguatan Strategi Untuk Mendorong Produktivitas dan Daya Saing Menuju Indonesia Emas
Indonesia harus memacu pertumbuhan produktivitas sebagai syarat keluar dari jebakan
negara berpendapatan menengah dan segera menjadi negara maju. Hal tersebut menjadi topik
diskusi dalam seminar internasional tahunan Kementerian Keuangan yang bertajuk 9th
Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED), yang telah
selesai dilaksanakan di Nusa Dua, Bali tanggal 5-6 Desember 2019. Tema yang diangkat sangat
menarik yaitu Thriving Indonesia: Reinforcing Strategies to Boost Productivity and Increase
Competitiveness. Gelaran ini dibuka oleh Wakil Menteri Keuangan Republik Indonesia, Profesor
Suahasil Nazara, dan dihadiri oleh para pembicara penting lainnya.

Secara teori, ukuran ekonomi sebuah negara dikaitkan dengan total barang dan jasa yang
diproduksi dalam setahun atau disebut juga Produk Domestik Bruto (PDB). Jadi, bagaimana cara
memproduksinya dan seberapa banyak jumlahnya akan berkaitan dengan produktivitas.
Secara sederhana, perbedaan produktivitas antarnegara dapat dilukiskan dengan nilai PDB per
kapita. Nilai PDB nominal Indonesia jauh lebih besar dibandingkan Singapura, Indonesia saat
ini berada di urutan ke-16 dunia untuk ukuran PDB, sedangkan Singapura hanya menempati
urutan ke-38. Namun secara produktivitas, Singapura jauh lebih tinggi di atas Indonesia karena
jumlah penduduknya yang jauh lebih sedikit dibandingkan Indonesia. Jadi, secara per kapita
PDB Singapura sebesar USD49.754 per tahun sebanding dengan lebih dari 12 kali output per
kapita Indonesia, yang hanya sebesar USD4.000 setahun. Artinya, seorang penduduk
Singapura (secara per kapita) dapat menghasilkan nilai barang dan jasa yang jauh lebih besar
dibandingkan seorang penduduk Indonesia dalam setahun.

Tingginya produktivitas akan menentukan standar hidup sebuah negara. Negara yang
memiliki produktivitas rendah cenderung memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi, derajat
kesehatan yang lebih rendah, dan kemampuan akademis yang juga lebih rendah. Sebagai
contoh di atas adalah Singapura yang menempati urutan tertinggi dalam kategori Human
Capital Index/HCI (indikator produktivitas antarnegara yang diterbitkan Bank Dunia dengan
melihat sisi kuantitas dan kualitas kesehatan, pendidikan, dan level ekonomi). Sementara itu,
Indonesia saat ini hanya menempati urutan ke-87 di HCI yang dikeluarkan oleh Bank Dunia.
Jadi, tingkat produktivitas Indonesia tertinggal cukup jauh jika dibandingkan dengan
Singapura.

Secara jumlah (kuantitas) penduduk Indonesia sangat besar, namun kualitas manusianya
masih relatif tertinggal. Potensi yang dimiliki Indonesia dalam bentuk populasi yang besar
harus disertai dengan peningkatan kualitas. Apalagi proyeksi ke depan yaitu di usia emas
Indonesia pada tahun 2045, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 319 juta orang. Di
tahun tersebut, Indonesia akan memiliki 47 persen penduduk yang berusia produktif, 73 persen
tinggal di perkotaan, dan 70 persen dari jumlah tersebut diperkirakan menjadi kelas menengah.
Beberapa lembaga juga memproyeksikan Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar
kelima dengan pendapatan per kapita mencapai USD23.199 pada tahun 2045.

Kinerja ekonomi nasional secara keseluruhan telah menunjukkan peningkatan yang sangat
signifikan dan lebih baik dibanding banyak negara. Enam tahun silam, Indonesia masuk dalam

66 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


kategori The Fragile Five bersama India, Brazil, Afrika Selatan, dan Turki. Sebagian dari kelima
negara tersebut dalam lima tahun terakhir mengalami perlambatan bahkan ada yang sudah
berada pada tahap resesi seperti Turki. Sementara itu, Indonesia tetap menunjukkan kinerja
ekonomi yang stabil dengan kemampuan mencapai pertumbuhan sekitar 5 persen. Dalam
situasi global yang tidak menentu selama beberapa periode terakhir, kinerja ekonomi Indonesia
yang stabil merupakan sebuah prestasi. Hal tersebut juga diiringi dengan perbaikan iklim
investasi yang diakui global, yang dibuktikan melalui kenaikan peringkat rating dari lembaga
seperti Moody’s, Standard & Poors, Fitch, dan R&I. Selain itu, dalam lima tahun terakhir posisi
kemudahan berusaha/Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia juga membaik, dari urutan ke-
128 menjadi ke-73 secara global. Ranking Indonesia tersebut melesat jauh dari urutan ke-128
pada tahun 2013.

Grafik 36. Kinerja Ekonomi Beberapa Negara (persen, yoy)

10

8
6,20
6 5,00 5,05

2 1,01 0,90 0,90

0
Brazil Russia India China South Africa Indonesia

Q1-2018 Q2-2018 Q3-2018 Q4-2018 Q1-2019 Q2-2019

Sumber: Bloomberg

Salah satu faktor yang menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap stabil adalah konsumsi
rumah tangga, dimana sektor ini menyumbang 54,8 persen terhadap PDB. Namun demikian,
jika perekonomian hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga, Indonesia tidak akan bisa
melompat lebih tinggi untuk cepat mengejar cita-cita menjadi negara maju. Rata-rata
pertumbuhan konsumsi rumah tangga dalam periode 2006-2018 adalah sebesar 5,06 persen.
Laju perekonomian dapat jauh lebih cepat jika Indonesia mampu meningkatkan peran investasi
dan ekspor. Saat ini masing-masing indikator tersebut hanya menyumbang PDB sebesar 32,8
persen dan 1,1 persen. Untuk dapat mendorong investasi dan ekspor berperan lebih besar, maka
faktor produktivitas dan daya saing menjadi kunci utama.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 67


Gambar 2. Pertumbuhan PDB dan Sumbernya Berdasarkan Sisi Pengeluaran (persen, yoy)

Konsumsi Pemerintah Investasi (PMTB)


Rata-rata Rata-rata

PDB Sisi 2006-2015: 2015: 5.3


2016: -0.1
2006-2015: 2015: 5.0
2016: 4.5
2017: 2.1 2017: 6.2
Pengeluaran 6,0% 2018: 4.8
6,8% 2018: 6.7
2019 Q3: 1.0 2019 Q3: 4.2
(%, year-on-year)
Konsumsi RT dan LNPRT Impor Ekspor
Rata-rata Rata-rata Rata-rata
2006-2015: 2015: 4.8 2006-2015 : 2015: -6.2 2006-2015 : 2015: -2.1
2016: 5.0 2016: -2.4 2016: -1.7
2017: 5.0 2017: 8.1 2017: 8.9

5,1% 2018: 5.1


2019 Q3: 5.1 4,7% 2018: 12.0
2019 Q3: -8.6 5,2% 2018: 6.5
2019 Q3: 0.02

Net Ekspor; Lainnya;


1.1% 3.6%

Investasi
(PMTB); Konsumsi RT
32.8% dan LNPRT;
54.8%

Konsumsi
Pemerintah
7.7%

Catatan: RT = Rumah Tangga


LNPRT = Lembaga Non Profit yang Melayani Konsumsi RT
PMTB = Pembentukan Modal Tetap Bruto
Sumber: BPS

Sementara itu, dari sisi lapangan usaha, transformasi yang terjadi tidak seperti yang
diharapkan karena pergeseran peran sektor pertanian ke sektor industri manufaktur terhenti
sejak tahun 2002. Padahal di periode-periode sebelumnya, peran sektor industri manufaktur
terus menguat dan menggeser peran sektor pertanian. Sektor industri manufaktur menjadi
penting untuk mengambil alih peran sektor pertanian karena pertumbuhan di sektor ini akan
dapat menciptakan nilai tambah yang tinggi. Sebetulnya, terjadi transformasi dari sektor
primer atau kegiatan ekonomi yang bersifat ekstraktif (pertanian) ke sektor non-primer (sektor
yang menghasilkan nilai tambah lebih tinggi dan melahirkan inovasi) seperti industri
manufaktur. Namun, ekonomi kita cenderung bergeser ke sektor jasa yang justru informal dan
dengan nilai tambah rendah.

68 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Kembali pada teori, jika ingin tumbuh lebih tinggi maka Indonesia harus melihat sumber-
sumber pertumbuhan ekonomi yang berasal dari tenaga kerja (labour), modal (capital), dan
produktivitas faktor total (total factor productivity/TFP). Kita bisa mendekomposisi
pertumbuhan ekonomi nasional, yang mencapai 5,2 persen di 2018 ke dalam tiga unsur tersebut
masing-masing menjadi 0,9 persen dari pertumbuhan tenaga kerja, 3,0 persen modal, dan 1,3
persen TFP. Hal yang sangat disayangkan adalah tren peran TFP yang semula sekitar 3,0 persen
pada periode 2000-2006, justru terus mengecil. TFP adalah rasio antara output total terhadap
input total yang merupakan salah satu faktor produksi selain modal dan tenaga kerja, atau
singkatnya tingkat produktivitas suatu ekonomi. Jika kita mampu menjaga peran TFP di angka
tersebut, pertumbuhan ekonomi nasional bisa berada di atas 6 persen di beberapa tahun
terakhir. Artinya kita akan lebih cepat bertransformasi menjadi negara maju.

Grafik 37. Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi (persen)

10 8,2 7,8
7,5
6,4 6,2 6,0 6,3 6,0
5,7 5,5
5,6 5,0
6 2,8 3,7 2,8 4,7
4,9 4,5 4,8 5,0 4,9 5,0 5,1 5,2 4,6
3,6 1,8 2,1 2,1 0,5
3,5 0,6 1,1 1,3
3,0 3,6 2,8 2,2
1,0 3,2 2,3 1,2 1,8
2,9 3,4 4,0 4,0 3,7 3,0 3,2 2,8 2,9 2,9 3,0
2 0,8 2,2 2,7 2,6 3,0
1,0 1,6 1,9 3,0 3,1 3,0
0,1 0,7 0,9 1,0 1,0 2,0
-0,1 -0,1 1,1 1,5 -0,4 2,3
1,9 1,2 1,1 0,9 1,3 0,8 0,6 0,5 0,4 0,6 0,5 0,1 0,8 2,3 1,3 0,1
0,8 1,5 1,1 0,9
-2 -13,1 0,1
-15,4

-6

-10

-14
Labor Capital TFP GDP Growth

-18
1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

2018
Source: Nurwanda & Rifai (2018)

Dari sisi produktivitas tenaga kerja (labour productivity/LP), berdasarkan data Asian
Productivity Organization (APO), pertumbuhan LP Indonesia dalam periode 2010-2016 masih
tertinggal dari Filipina, Vietnam, Kamboja, dan Laos. Masing-masing LP negara tersebut
mampu tumbuh sebesar 3,8 persen, 4,5 persen, 4,9 persen, dan 5,3 persen, sedangkan LP
Indonesia hanya tumbuh sebesar 3,6 persen di periode yang sama. Selanjutnya, apabila kita
membagi PDB ke dalam tiga sektor yakni pertanian, industri manufaktur, dan jasa, maka tren
produktivitas tenaga kerja ketiga sektor dapat terlihat pada gambar di bawah ini. Ketiga LP
menunjukkan tren yang meningkat terutama untuk sektor pertanian.

Di sisi lain, output per tenaga kerja di industri manufaktur justru melemah pada tiga tahun
terakhir, padahal sebelum 2007 LP sektor ini terus meningkat dan mampu menyumbang nilai
tambah yang tinggi ke perekonomian. Ada dua indikasi yang dapat diambil dari tren yang
terjadi, pertama, dari sisi peran industri manufaktur terhadap PDB dan kedua, dari sisi
peralihan tenaga kerja ke sektor manufaktur. Industri manufaktur sempat mengalami
penguatan porsi di ekonomi hingga mencapai 29,1 persen terhadap total PDB sampai dengan

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 69


tahun 2001, kemudian perannya cenderung terus menurun hingga mencapai hanya 19,9 persen
pada tahun 2018. Proporsinya terhadap PDB terus menurun, namun dari sisi penyerapan
tenaga kerja justru meningkat. Dengan demikian, jika dihitung output per tenaga kerja, LP
industri manufaktur menurun terutama dalam tiga tahun terakhir yakni dari Rp123,7 juta di
2016 menjadi Rp120,2 juta di 2018, untuk setiap tenaga kerja per tahun di sektor industri
manufaktur. Sementara itu, LP sektor jasa berkinerja cukup baik dan konsisten, dengan tren
yang terus meningkat.

Grafik 38. (a) Gambar 3. Produktivitas Tenaga Kerja Tiga Sektor Ekonomi (harga konstan),
(b) Indeks Labour Productivity (harga konstan, 1990=100)
300 245
Juta Rp.

225
250

205
200

185
150

165
100
145
50
125
-
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018

105

85
Pertanian Industri Manufaktur Jasa-jasa
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
Sumber: BPS, diolah penulis

Beberapa faktor yang diduga mengakibatkan produktivitas di sektor industri manufaktur


tumbuh rendah, diantaranya daya saing produk manufaktur yang diperkirakan mulai
melemah. Indikasi pertama adalah Indonesia relatif kurang terpengaruh terhadap dinamika
perdagangan global. Di tengah situasi perang dagang dan beberapa sumber risiko lainnya,
pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk stabil dibandingkan dengan negara-negara maju
dan negara-negara berkembang. Hal ini terjadi karena perekonomian domestik mengandalkan
konsumsi rumah tangga yang menempati porsi 55 persen terhadap PDB. Sementara ekspor
bersih hanya berkontribusi sebesar 1 persen terhadap PDB, artinya Indonesia cenderung tidak
dapat mengambil keuntungan besar dari kegiatan perdagangan global yang bisa saja
disebabkan oleh rendahnya peran ekonomi domestik atas global value chain (GVC).

Dari proporsi industri manufaktur yang tidak mencapai 20 persen terhadap PDB, sebagian
besar produknya didominasi oleh makanan dan minuman, tekstil dan garmen, kulit dan
sepatu, kayu, kertas, furnitur dan sebagainya yang merupakan kategori berteknologi rendah.
Komoditas tersebut menyumbang 47,2 persen terhadap total produk industri manufaktur
Indonesia. Selanjutnya, dapat dilihat juga dari tren ekspor produk industri manufaktur yang
semakin didominasi oleh produk dengan kategori teknologi rendah dengan bahan baku
produksi yang juga masih bergantung dari input luar negeri. Berdasarkan data UN Comtrade,
porsi ekspor kita untuk produk kategori teknologi menengah dan tinggi cenderung stagnan
yang masing-masing berada di sekitar 0,60 persen dan 0,35 persen terhadap ekspor global sejak
tahun 2003. Sebaliknya, peran ekspor produk industri kategori teknologi rendah justru dengan
tren meningkat, yakni dari 1,48 persen (2003) ke 2,26 persen (2018) terhadap total ekspor produk
industri dunia. Data ini menunjukkan kita lebih unggul di produk ekspor berteknologi rendah

70 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


dengan nilai tambah yang juga relatif lebih rendah dibanding produk berteknologi menengah
dan tinggi, dan bukan justru sebaliknya, produk kita harus mampu berkompetisi di kategori
berteknologi menengah dan tinggi.

Salah satu penyebab rendahnya tingkat produktivitas Indonesia tidak terlepas dari faktor
kualitas tenaga kerja dan bidang pekerjaan. Tingginya lapangan kerja informal cenderung
memberikan sumbangsih nilai tambah yang rendah di perekonomian. Telah berlangsung lama
sektor informal ini terus mendominasi dengan angka terakhir mencapai 57 persen dari
lapangan kerja yang tersedia. Tingginya sektor informal ini juga disebabkan oleh latar belakang
pendidikan tenaga kerja Indonesia yang masih relatif kurang memadai dimana tenaga kerja
berpendidikan SMP ke bawah mencapai 57,5 persen dari total pekerja. Sebesar 60,43 persen dari
total pekerja Indonesia juga dengan keterampilan dan keahlian yang masih rendah. Bila
dibedah lebih dalam, di sektor informal tenaga kerja dengan pendidikan SMP ke bawah masih
mendominasi dan mencapai 75,6 persen. Sementara sektor formal memiliki catatan statistik
yang lebih baik dimana tenaga kerja yang berpendidikan SMP ke bawah hanya sekitar 36,6
persen dari total tenaga kerja formal meskipun masih menempati porsi tertinggi dari total
pekerja di sektor ini.

Jika kondisi ini terus berlanjut dan tidak segera dibenahi maka pertumbuhan ekonomi
Indonesia dalam jangka panjang akan terhambat. Peningkatan produktivitas Indonesia ini
bukan hanya pekerjaan satu atau lima tahun saja tetapi harus terus dilakukan secara
berkesinambungan. Sudah saatnya yang menjadi subjek dan objek yang dibangun adalah
manusia Indonesia, dan membangun manusia adalah pekerjaan jangka panjang. Selain
membangun manusianya, Indonesia juga harus terus memperbaiki iklim usaha dan
infrastruktur sehingga mendukung pertumbuhan produktivitas yang lebih tinggi dan mampu
mendorong perbaikan daya saing. Pemerintah dalam hal ini tentu sudah menyadari aspek-
aspek apa saja yang harus diperhatikan untuk menopang produktivitas dalam jangka panjang
diantaranya sebagai berikut.

Pertama, Pemerintah tetap melanjutkan investasi di infrastruktur. Dalam lima tahun terakhir
pemerintah telah bekerja keras untuk membangun infrastruktur dasar dan pendukung
perbaikan aktivitas ekonomi, seperti transportasi (darat, laut, dan udara), infrastruktur energi,
infrastruktur teknologi dan digital (misalnya satelit). Investasi di infrastruktur juga akan
mendukung perluasan akses logistik, jasa telekomunikasi modern, dan ketercukupan energi
listrik yang pada akhirnya akan menopang pertumbuhan produktivitas penduduk dan
perusahaan.

Kedua, Presiden Joko Widodo telah menekankan penguatan di sumber daya manusia (SDM)
pada periode kedua pemerintahannya. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, Indonesia masih
memiliki pekerjaan rumah yang banyak untuk memperbaiki kualitas SDM. Kita harus mampu
menciptakan tenaga kerja yang memiliki keahlian dan keterampilan tinggi yang dapat dengan
cepat mengadopsi perkembangan teknologi. Selain itu, perlu strategi untuk mengalokasikan
penawaran dan permintaan tenaga kerja secara efisien sehingga tingkat produktivitas tenaga
kerja Indonesia juga dapat meningkat secara berkelanjutan.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 71


Ketiga, dalam rangka mendorong lahirnya produktivitas, Pemerintah harus mampu menjaga
kompetisi di semua sektor secara sehat. Secara teori, kompetisi akan menciptakan daya saing
antar-individu dan antarperusahaan. Kompetisi juga akan melahirkan inovasi dari para pelaku
serta memperbaiki struktur ekonomi ke depan menjadi lebih efisien. Struktur ekonomi yang
mengarah menjadi lebih efisien, dalam jangka panjang, juga akan memperbaiki produktivitas.
Untuk itu, penegakan aturan persaingan sehat agar tercipta ’level playing field’ oleh lembaga
terkait menjadi penting, seperti oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), guna
mencegah terjadinya kegagalan pasar dan mengurangi praktik pencari rente.

Keempat, salah satu hambatan pelaku ekonomi untuk lebih produktif adalah terbatasnya
akses pendanaan. Oleh karena itu, Pemerintah perlu terus melakukan pendalaman sektor
keuangan sehingga tersedia akses pembiayaan yang lebih luas yang dapat digunakan oleh
pelaku ekonomi untuk melahirkan lebih banyak inovasi. Selain itu, akses pembiayaan yang
memadai akan mendukung juga pelaku ekonomi untuk mencapai produksi mendekati full
capacity (tingkat biaya produksi paling minimum). Dengan catatan, produk yang dihasilkan
juga dapat dipasarkan, sehingga mendorong peningkatan profit dan meningkatkan income.
Dalam hal ini, perluasan pasar ekspor menjadi salah satu strategi yang perlu terus diperkuat
oleh Pemerintah.

Terakhir, Pemerintah harus mampu menjalankan tata nilai pemerintahan yang baik (good
governance) dan menjaga stabilitas ekonomi makro dan politik. Ini adalah syarat penting
untuk dapat menjalankan keempat strategi peningkatan produktivitas di atas. Tanpa hal ini,
kebijakan yang diambil akan menjadi tidak efektif. Untuk itu, Pemerintah harus terus
bertransformasi menjadi lebih baik dalam melaksanakan tugasnya sebagai manajer negara.
Saat ini, sinergi antara pusat dan daerah masih menjadi pekerjaan rumah utama untuk terus
ditingkatkan agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah lebih efektif. Selanjutnya, dengan
stabilitas ekonomi dan politik, dunia bisnis akan mampu merencanakan aktivitas bisnisnya di
masa yang akan datang dan mengurangi risiko bisnis yang ada. Dengan demikian, dunia usaha
akan terus yakin berinvestasi untuk melahirkan output yang lebih besar dan terus melakukan
inovasi.

Kelima langkah di atas merupakan upaya reformasi struktural yang harus terus diupayakan
oleh Indonesia. Posisi EoDB yang relatif stagnan dalam dua tahun terakhir pada peringkat 72-
73 menjadi salah satu indikasi perlunya upaya yang lebih kuat dalam implementasi reformasi
ekonomi. Padahal di tahun 2014 – 2017, peringkat kemudahan usaha kita sempat meningkat
tajam, yang didorong oleh beberapa langkah reformasi penting, seperti perubahan rezim
subsidi energi, akselerasi infrastruktur, serta penyederhanaan perizinan. Saat inilah
momentum yang tepat untuk Indonesia dalam meningkatkan daya saing dan kemudahan
berusaha khususnya pada hal-hal yang masih menjadi hambatan struktural Indonesia.
Berdasarkan pengukuran dalam EoDB beberapa isu yang masih menjadi faktor penghambat
seperti Starting Business, Enforcing Contracts, Trading Across Border, Dealing with Construction
Permit, dan Registration Property. Sementara itu, dalam kacamata Global Competitiveness Index,
Indonesia harus terus memperkuat daya saing pada area kualitas sumber daya manusia

72 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


(kesehatan, skills, pasar tenaga kerja, dan inovasi), institusi, infrastruktur, serta sistem
keuangan.

Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 73


LAMPIRAN
PERKEMBANGAN
INDIKATOR
EKONOMI MAKRO

74 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 75
Data Perkembangan Indikator Ekonomi Makro
2018 2019
Indikator
November Desember Januari Februari M aret April M ei Juni Juli Agustus September Oktober November
Produk Domestik Bruto (PDB)
Pertumbuhan Ekonomi (%, yoy) 5,18 5,07 5,05 5,02
Nominal harga konstan (triliun rupiah) 2.638,89 2.625,04 2.735,25 2.818,88
Nominal harga berlaku (triliun rupiah) 3.798,68 3.782,36 3.963,46 4.067,78

76 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal


Harga
IHK 134,56 135,39 135,83 135,72 135,87 136,47 137,40 138,16 138,59 138,75 138,37 3,13 3,00
Inflasi (%, yoy) 3,23 3,13 2,82 2,57 2,48 2,83 3,32 3,28 3,32 3,49 3,39 3,13 3,00
Core (%, yoy) 3,03 3,07 3,06 3,06 3,03 3,05 3,12 3,25 3,18 3,30 3,32 3,20 3,08
Administrative Price (%, yoy) 3,07 3,36 3,39 3,38 3,25 3,17 3,38 1,89 2,22 1,87 1,88 1,58 1,08
Volatile Food (%, yoy) 4,32 3,39 1,76 0,33 0,16 2,05 4,08 4,91 4,90 5,96 5,49 4,82 5,02
Nilai Tukar (Rp/ US$)
Rata-rata 14.697 14.497 14.163 14.035 14.211 14.143 14.393 14.227 14.044 14.242 14.111 14.118 14.069
End Of Period 14.339 14.481 14.072 14.062 14.244 14.215 14.385 14.141 14.026 14.308 14.176 14.008 14.102
Suku Bunga (%)
BI-7days Repo Rate 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 6,00 5,75 5,50 5,25 5,00 5,00
Kredit Konsumsi (eop) 11,8 11,73 11,72 11,68 11,64 11,62 11,57 11,57 11,55 11,55 11,53 11,51
Kredit Modal Kerja (eop) 10,48 10,34 10,52 10,55 10,51 10,5 10,43 10,42 10,42 10,40 10,33 10,22
Kredit Investasi (eop) 10,51 10,38 10,38 10,36 10,34 10,31 10,26 10,24 10,22 10,16 10,11 10,04
Harga M inyak (US$/ barel)
ICP 68,6 54,8 56,6 61,3 63,6 68,3 68,1 61,0 61,3 57,3 60,8 59,8 63,3
WTI 50,9 49,0 51,6 55,0 58,2 63,9 60,9 54,7 55,0 54,8 57,0 54,0 57,1
Brent 58,4 57,7 60,2 64,0 66,1 71,3 71,1 64,1 64,0 59,0 62,8 59,7 63,0
SUN dan Saham
Obligasi Yield (5YR) 7,82 7,91 7,85 7,51 7,15 7,31 7,54 6,78 6,84 6,79 6,71 6,43 6,49
Obligasi Yield (10YR) 7,87 8,03 8,01 7,82 7,63 7,83 7,96 7,37 7,38 7,33 7,29 7,00 7,11
Saham IHSG 6.056 6.194 6.533 6.443 6.469 6.455 6.209 6.359 6.391 6.328 6.169 6.228 6.012
NFB SUN, Saham, SBI 46.065 -12.395 30.502 30.842 24.141 46.030 -16.807 50.382 24.265 -3.441 12.578 25.706 1.652
Perbankan (%)
CAR 23,32 23,3 23,22 23,45 23,42 23,21 22,43 22,63 23,19 23,93 23,28
LDR 93,19 94,78 93,97 94,12 94 94,25 96,19 94,98 94,48 94,66 94,34
NPL 2,7 2,59 2,56 2,6 2,5 2,57 2,61 2,5 2,58 2,6 2,6
Pertumbuhan Kredit 12,05 11,7 11,9 12,7 11,55 11,06 11,06 9,34 9,69 8,67 8,00 6,61
Sumber: Bank Indonesia, BPS, Bloomberg, dan DJA
Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 77
Perbandingan Penyerapan APBN November 2018 dan November 2019
2018 2019
Uraian Realisasi s.d % thd Realisasi s.d % thd
APBN APBN
30 November APBN 30 November APBN
A. Pendapatan Negara dan Hibah 1.894,72 1.662,92 87,77% 2.165,11 1.677,11 77,46%
I. Penerimaan Dalam Negeri 1.893,52 1.652,23 87,26% 2.164,68 1.675,16 77,39%
1. Penerimaan Perpajakan 1.618,10 1.301,52 80,44% 1.786,38 1.312,40 73,47%
a. Pajak Dalam Negeri 1.579,40 1.259,97 79,78% 1.743,06 1.275,62 73,18%
b. Pajak Perdagangan Internasional 38,70 41,55 107,36% 43,32 36,77 84,88%
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 275,43 350,72 127,33% 378,30 362,77 95,89%
II. Hibah 1,20 10,69 893,04% 0,44 1,95 447,25%
B. Belanja Negara 2.220,66 1.942,61 87,48% 2.461,11 2.046,05 83,14%
I. Belanja Pemerintah Pusat 1.454,49 1.225,54 84,26% 1.634,34 1.293,20 79,13%
1. Belanja K/ L 847,44 666,39 78,64% 855,45 717,84 83,91%
2. Belanja Non K/ L 607,06 559,15 92,11% 778,89 575,36 73,87%
II. Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa 766,16 717,07 93,59% 826,77 752,85 91,06%
1. Transfer ke Daerah 706,16 662,64 93,84% 756,77 689,21 91,07%
2. Dana Desa 60,00 54,43 90,71% 70,00 63,63 90,90%
C. Keseimbangan Primer (87,33) (28,58) 32,72% (20,12) (101,31)
D. Surplus/ Defisit Anggaran (A - B) (325,94) (279,69) (296,00) (368,94)
% Surplus / (Defisit) Anggaran thd PDB (2,19) (1,89) (1,84) (2,30) 125,00%
E. Pembiayaan 325,94 347,94 106,75% 296,00 421,03 142,24%
I. Pembiayaan Utang 399,22 363,69 91,10% 359,25 442,92 123,29%
II. Pembiayaan Investasi (65,65) (15,61) 23,78% (75,90) (22,40) 29,51%
III. Pemberian Pinjaman (6,69) (0,30) 4,51% (2,35) 0,35 -14,91%
IV. Kewajiban Penjaminan (1,12) - 0,00% - - 0,00%
V. Pembiayaan Lainnya 0,18 0,16 88,42% 15,00 0,16 1,06%
KELEBIHAN / (KEKURANGAN) PEM BIAYAAN ANGGARAN 68,25 52,09
78 Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal
Edisi IV 2019 | Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal 79

Anda mungkin juga menyukai