EDISI IV 2019
Ulasan Khusus:
Penguatan Strategi untuk Mendorong Produktivitas dan Daya Saing
Menuju Indonesia Emas
Pengarah:
Kepala Badan Kebijakan Fiskal
Penanggung Jawab:
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro
Redaktur Pelaksana:
Sekretaris Badan, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi
Makro, Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, Kepala Pusat Kebijakan Sektor
Keuangan
Editor:
Andriansyah, Brian Thomas, Endang Larasati, Evy
Mulyani, Ronald Yusuf, Thomas N.P.D Keraf, Wahyu
Utomo, Widiyanto, Yoopi Abimanyu
Edisi IV 2019
Foto Sampul: Pengrajin Tenun , NTT. Dewan Redaksi:
Abdul Aziz, Achmad Budi S., Ahmad Wira Kusuma,
Aktiva Primananda, Ali Moechtar, Alfan Mansur, Asep
Tinjauan Kebijakan Fiskal diterbitkan oleh Badan
Nurwanda, Dedy Sunaryo, Dwi Anggi Novianti,
Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, dengan
Immanuel Bhekti H., Indra Budi Sucahyo, Pipin
periode publikasi triwulanan dan memuat mengenai
Prasetyono, Putri Rizki Yulianti, Raditiyo Harya P.,
perkembangan kebijakan ekonomi, fiskal, dan
Rahadian Zulfadin, Roni Parasian, Tuti Sarinigsih Budi
keuangan terkini.
Utami, Yasir Niti Samudro
Desain Grafis:
Abraham Putra Agung, Arif Taufiq, Bramantiyo, Fatima
Medina Septiyanti
Kontributor:
Affan Hanif Imaduddin, Ari Nugroho, Bakhtiar Rifai,
Bramantiyo, Dessy Kusumawardani, Dhoni Siamsyah
F.A., Dimas Nurdy, Galuh Chandra Wibowo, Hilda
Choirunnisah, Ika Kartika Sari, Indah Kurnia Junirda,
M. Firmansyah Arviandri, Nina Hanifah, Nurul
Fatimah, Purwaningtyas Dewantoro, Restu Rinayanti,
Risyaf Fahreza, Rizal Augusta Arifiandanu, Rizki
Saputri, Widiani Putri, Wignyo Parasian, Yayu Andini
Sekretariat:
Andi Yoga Trihartanto, Bagus Handoko, Puguh Fajar
Triyanto, Suhendi Ery Saputro
Alamat Redaksi:
Gedung R.M. Notohamiprodjo, Jalan Dr. Wahidin Raya
Nomor 1 Jakarta 10710
M
enutup tahun 2019, isu-isu global masih terus berkembang dinamis. Perlambatan
aktivitas manufaktur terjadi di berbagai negara dan proyeksi pertumbuhan
ekonomi global terus terkoreksi. Perang dagang AS-Tiongkok sebagai salah satu isu
yang cukup kuat memang sudah mulai memasuki tahapan negosiasi dan kompromi. Namun
demikian, bercermin dari kesepakatan AS-Tiongkok di forum G-20 Osaka yang meleset dan
tidak berkelanjutan, kita tentu harus siap jika sewaktu-waktu muncul momentum yang dapat
menimbulkan syok pada perekonomian. Potensi ketidakpastian masih akan terus membayangi.
Di negara seperti Jerman, Singapura, atau Hong Kong, fusi dinamika domestik dan global sudah
mulai menyeret pertumbuhan ekonomi negara tersebut hingga terus melambat bahkan
berkontraksi. Di Indonesia, kinerja investasi dan perdagangan internasional memang masih
belum memenuhi ekspektasi, tetapi fundamental ekonomi mampu dijaga, ditunjukkan dengan
pertumbuhan ekonomi yang solid. Dengan potensi ketidakpastian ke depan, reformasi harus
diperkuat untuk menjaga daya saing dan meningkatkan kualitas SDM. Kebijakan fiskal juga
harus terus didorong untuk mendukung upaya tersebut hingga terwujudnya stabilitas
ekonomi.
Tema Tinjauan Ekonomi, Keuangan, dan Fiskal Edisi IV Tahun 2019 adalah Mengokohkan
Reformasi di Tengah Dinamika Global yang mencoba mengelaborasi usaha pemerintah untuk
terus menggaungkan reformasi di tengah ketidakpastian global. Dalam edisi ini terdapat ulasan
khusus terkait strategi untuk mendorong produktivitas dan daya saing menuju Indonesia Emas.
Tinjauan ini merupakan terbitan triwulanan yang menyajikan data-data dan informasi terkini
mengenai ekonomi makro, sektor keuangan, dan kebijakan fiskal. Diharapkan, materi yang
terangkum dalam tinjauan ini dapat menjadi referensi bagi para pemangku kepentingan dan
masyarakat luas dalam memahami kondisi ekonomi dan kebijakan fiskal terkini.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada berbagai pihak yang telah mendukung
kelancaran terbitnya tinjauan ini. Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
kami butuhkan untuk perbaikan ke depan. Selamat membaca.
Desember 2019
Arif Baharudin
Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal
Abreviasi .................................................................................................................................................................. 3
ytd : year-to-date
3,00% 5,02%
Inflasi November Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III
(yoy) (yoy)
5,0% 5,3%
BI 7-DRR per 30 November Pertumbuhan Belanja per November
(persen)
-7,61% -9,88%
Pertumbuhan Ekspor per November Pertumbuhan Impor per November
(ytd) (ytd)
P
erekonomian global masih terus berkembang dinamis hingga penghujung 2019.
Aktivitas manufaktur tercatat mengalami kontraksi sejak bulan Mei, meski saat ini
posisinya telah sedikit memulih. Gejolak ekonomi maupun geopolitik juga terjadi silih
berganti di berbagai negara, diwarnai sentimen proteksionisme yang mulai menghambat kerja
sama internasional. Perang dagang antara AS dan Tiongkok yang sempat tereskalasi juga
menambah ketidakpastian. Dengan beragam dinamika dan pelemahan terjadi secara luas di
perekonomian global, banyak negara yang menerapkan kebijakan yang akomodatif untuk
mencegah perlambatan ekonomi lebih dalam. Meski demikian, prospek pertumbuhan ekonomi
global di 2019 masih lemah. Outlook pertumbuhan ekonomi global di tahun 2019 diperkirakan
melambat pada tingkat terendah sejak krisis keuangan global, dan diperkirakan membaik di
2020 meskipun risiko yang membayangi tinggi.
Dinamika global sepanjang 2019 turut mempengaruhi perkembangan arus modal masuk,
yang tercermin dalam pergerakan nilai tukar dan IHSG. Secara agregat, selama Januari hingga
November 2019, terjadi NFB sebesar Rp216,2 triliun, terutama yang masuk pada pasar surat
beharga negara. Kondisi arus modal yang cukup kuat menopang stabilitas Rupiah di tahun
2019, meskipun beberapa ketidakpastian global seperti perang dagang sempat memberi
sentimen negatif pada pergerakan Rupiah. Di sisi kebijakan moneter, BI menyesuaikan posisi
pada arah yang lebih longgar dengan menurunkan suku bunga dari 6,0 persen menjadi 5,0
persen. Seiring dengan pelonggaran tersebut, suku bunga di pasar uang bank juga mulai
menurun dan laju pertumbuhan uang beredar yang juga dalam tren meningkat. Meski
demikian pertumbuhan kredit masil melambat di 2019, antara lain disinyalir diakibatkan
ketidakpastian global yang menghambat ekspansi aktivitas ekonomi serta rendahnya
pertumbuhan DPK.
Perekonomian Indonesia pada triwulan ketiga 2019 tumbuh sebesar 5,02 persen (yoy) atau
secara kumulatif tumbuh sebesar 5,04 persen (ytd). Pertumbuhan konsumsi RT dan LNPRT
tetap menjadi mesin pertumbuhan dengan mampu tumbuh sebesar 5,06 persen. Kinerja
pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami perlambatan yaitu sebesar
4,21 persen, terpengaruh oleh kondisi ekonomi global yang belum kondusif dan tren harga
komoditas primer yang masih rendah. Fenomena menarik yang terjadi pada triwulan ketiga
2019 adalah kinerja ekspor yang mampu tumbuh positif meskipun masih dalam tingkat yang
rendah, yakni sebesar 0,02 persen (yoy), setelah mengalami kontraksi sejak awal tahun 2019.
Laju pertumbuhan yang sehat masih diiringi oleh inflasi yang terkendali, yang hingga bulan
November 2009 mencapai 2,37 persen (ytd) atau 3,00 persen (yoy).
Realisasi APBN pada November 2019 masih mencatatkan kinerja yang positif di tengah
faktor global yang memberikan tantangan. Pendapatan negara dan hibah masih mencatatkan
pertumbuhan sebesar 0,9 persen (yoy). Pertumbuhan ini didorong oleh kinerja positif pada
penerimaan cukai yang tumbuh signifikan sejak awal tahun. Sementara itu, belanja negara
tercatat tumbuh sebesar 5,3 persen (yoy) sebagai dampak dari meningkatnya realisasi bantuan
sosial dalam menjaga daya beli masyarakat miskin, serta tumbuhnya Transfer ke Daerah dan
Dana Desa (TKDD). Pemerintah akan terus menjaga defisit APBN serta rasio utang dalam
tingkat terkendali guna menjaga fiskal dalam kondisi yang sehat, terutama untuk
mengantisipasi perubahan dalam perekonomian global. Pembiayaan anggaran juga dikelola
secara pruden dan produktif untuk menjaga keberlangsungan APBN. Sikap kehati-hatian
Pemerintah juga tercermin dari posisi utang yang pada akhir November 2019 sebesar 30,03
persen terhadap PDB.
ANALISIS PERKEMBANGAN
EKONOMI MAKRO
Pelemahan aktivitas ekonomi global tersebut antara lain disebabkan oleh gejolak ekonomi
maupun geopolitik yang terjadi silih berganti di berbagai negara. Sentimen proteksionisme
yang menguat sudah memasuki taraf menghambat kerja sama internasional terutama di lini
perdagangan. Sementara itu, di sisi internal khususnya pada beberapa negara, isu-isu sosial-
politik seperti ketimpangan dan ketidakpuasan akan kebijakan mulai menimbulkan keresahan
masyarakat, bahkan beberapa tereskalasi menjadi kerusuhan serta turut menciptakan
gangguan pada perekonomian.
9
7,0
7 6,0 6,2
4,5 5,0
5
2,1 2,4
3 1,7
1,2 0,5 0,5
1
-1 -0,3
AS
Jepang
Tiongkok
Hongkong
Meksiko
Eropa
Singapura
Filipina
Indonesia
Jerman
Vietnam
Thailand
India
-3
-2,9
Sumber: Bloomberg
Perang dagang antara AS dan Tiongkok menjadi salah satu persoalan besar yang memiliki
efek rambatan ke negara lainnya. Perang dagang yang sempat mereda di awal tahun 2019,
kembali memanas saat AS menaikkan tarif sebesar 10 persen dari USD200 miliar impor
Tiongkok pada bulan Mei 2019. Kesepakatan yang dibuat antara AS dan Tiongkok dalam forum
G-20 di Osaka pada bulan Juni juga tidak berkelanjutan karena AS kembali menerapkan
kenaikan tarif impor pada bulan September dan Desember. Perkembangan terakhir, AS dan
Tiongkok telah memasuki fase pertama negosiasi. AS telah bersepakat untuk membatalkan
pengenaan tarif terhadap impor Tiongkok yang seharusnya berlaku 15 Desember serta
memotong tarif impor yang telah berlaku September dari 15 persen menjadi 7,5 persen. Sebagai
gantinya, Tiongkok akan meningkatkan pembelian produk agrikultur AS secara signifikan.
Negosiasi fase kedua direncanakan akan digelar sebelum Pemilu AS 2020. Hal ini membuat
tensi perang dagang sedikit mereda, namun tidak menghilangkan risiko ketidakpastian ke
depan.
Kekhawatiran akan risiko perang dagang terhadap perekonomian AS sempat tergambar pada
inverted yield curve atau inversi kurva imbal hasil yang terjadi sejak Mei. Tak hanya
Grafik 2. Inverted Yield Curve yang terjadi sejak Mei sudah mulai normal di awal Oktober (bps)
50
30 10Y-2Y spread
10
-30
-50
Jan-19 Feb-19 Mar-19 Apr-19 May-19 Jun-19 Jul-19 Aug-19 Sep-19 Oct-19 Nov-19 Dec-19
Sumber: Bloomberg
Tensi perang dagang juga memberikan tekanan tambahan pada Tiongkok, ditunjukkan
dengan pelemahan indikator pertumbuhan ekonomi, perdagangan, dan manufaktur. Agenda
rebalancing economy Tiongkok untuk menggeser sumber utama pertumbuhan ekonomi dari
investasi menuju konsumsi juga tidak berjalan lancar, tercermin dari indeks penjualan ritel
yang belum solid dan hanya tumbuh satu digit sejak 2018, meskipun indeks kepercayaan
konsumen masih kuat. Sementara itu, PMI Manufaktur Tiongkok juga sejak awal tahun 2019
mencatat pelemahan dan kontraksi, meskipun pada beberapa bulan terakhir mulai
menunjukkan pemulihan. Dengan perkembangan demikian, pertumbuhan ekonomi Tiongkok
tercatat terus mengalami perlambatan, dengan pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga
tercatat sebesar 6,0 persen (yoy).
Grafik 3. (a) PMI Manufaktur Global; (b) PMI Manufaktur Beberapa Negara
56 70
54 60
52
50,3 50
50
40
48
Jul
Jul
Jul
Jan
Jan
Jan
Mar
Mar
Mar
Sep
Sep
Sep
Mei
Mei
Mei
Nov
Nov
Nov
46
Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt 2017 2018 2019
AS Uni Eropa
2017 2018 2019
Jepang Tiongkok
(a) (b)
Sumber: Bloomberg
Di kawasan Eropa, aktivitas ekonomi yang lesu juga terjadi khususnya di Jerman sebagai
negara manufaktur terbesar di benua tersebut. Selain terpapar dampak perang dagang, dari
sisi domestik, Jerman juga sedang menerapkan kebijakan pengetatan pengurangan emisi dan
Gejolak ekonomi dan politik yang lebih bersifat internal juga terjadi di banyak negara dan
menjadi salah satu faktor risiko yang besar. Di Eropa, penyelesaian Brexit masih belum
menunjukkan titik temu, hal ini berpengaruh buruk terhadap perekonomian Inggris, tercermin
dari penilaian lembaga rating Moody’s pada awal November 2019 yang merevisi outlook rating
Inggris menjadi negatif. Moody’s melihat ketidakpastian Brexit menunjukkan adanya
pelemahan institusi di Inggris yang akan meningkatkan tantangan formulasi kebijakan serta
menurunkan daya tarik investasi Inggris. Di Asia, salah satu tensi politik terbesar terjadi di
Hong Kong terkait undang-undang ekstradisi dan juga ketimpangan sosial-ekonomi yang
berujung pada demonstrasi besar serta kontraksi perekonomian Hong Kong. Di Timur Tengah,
fasilitas kilang minyak terbesar di Arab Saudi, Aramco, sempat diserang oleh pesawat tanpa
awak yang berdampak pada 50 persen penurunan minyak mentah Aramco atau sekitar 5
persen pasokan global. Kejadian ini sempat membuat harga minyak melonjak, tetapi proses
restorasi yang cepat mampu segera memulihkan harga. Gelombang protes di Lebanon serta
konflik Turki-Syria dan Iran-AS juga mewarnai gejolak di Timur Tengah. Di Amerika Latin,
juga terjadi pergolakan politik dan ekonomi yang dipicu oleh beragam hal seperti gagal bayar
utang dan ketidakpuasan hasil pemilu di Argentina, ketidakpuasan akan kenaikan harga tiket
subway dan isu ketimpangan di Chile, serta ketidakpuasan hasil pemilu di Bolivia yang
berujung pengunduran diri Presiden Evo Morales.
Dengan beragam dinamika dan pelemahan terjadi secara luas di perekonomian global,
banyak negara yang menerapkan kebijakan yang akomodatif untuk mencegah perlambatan
ekonomi lebih dalam. Di sisi kebijakan moneter, berbagai negara mulai memasuki tren
kebijakan moneter ekspansif seperti penurunan suku bunga hingga penerapan quantitative
easing (QE). Di tengah risiko pelemahan ekonomi AS, The Federal Reserves (The Fed) mulai
melakukan kembali menerapkan kebijakan moneter ekspansif di tahun 2019 dengan
melakukan penurunan suku bunga sebanyak 75 bps. Langkah serupa juga banyak diikuti oleh
negara-negara lainnya, termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, India,
Thailand, Filipina, Malaysia, dan Rusia. Banyak dari negara-negara tersebut menurunkan suku
bunga lebih dari sekali hingga Oktober 2019 dan beberapa diprediksi akan melakukan
penurunan kembali di akhir tahun. Di bulan Agustus 2019, tercatat 37 bank sentral negara
berkembang melakukan 14 kali pemotongan suku bunga, lebih banyak dibandingkan dengan
pemotongan suku bunga yang dilakukan pasca krisis finansial.
Beberapa negara, seperti Eropa dan Jepang, memilih kebijakan moneter non-konvensional
antara lain disebabkan oleh tingkat suku bunga yang sudah sangat rendah (zero bound
interest rate). Perlambatan ekonomi yang cukup signifikan di beberapa negara besar Eropa,
terutama di Jerman dan Italia, mendorong ECB untuk kembali meluncurkan kebijakan QE
Sementara itu, Jepang juga masih mempertahankan suku bunga overnight -0,1 persen dan
melakukan QE sebesar JPY80 triliun (USD740 miliar) per tahun. Di sisi lain, bank sentral AS
juga terindikasi melakukan QE untuk meredam turbulensi yang terjadi pada sistem
keuangannya (overnight market) sejak September 2019. Suku bunga repo overnight naik tajam
dari 2,25% menjadi 10% dalam semalam pada 16-17 September 2019 memberikan sinyal adanya
pengetatan likuiditas di pasar keuangan AS. Untuk memulihkan stabilitas, The Fed merespon
dengan menggelontorkan dana melalui pembelian obligasi jangka pendek (Treasury Bills) senilai
USD100 miliar di September, dan berlanjut sebesar USD60 miliar di Oktober.
Vietnam 9,00
9,00
India 4,90 6,25
Indonesia 5,00 6,00
Filipina 4,00 4,75
Tiongkok 4,35
4,35
Malaysia 3,25
3,00
AS 1,75 2,50
Thailand 1,50
1,75
Inggris 0,75
0,75
0,10
Jepang 0,10
Singapura 0,08
0,08
Jerman 0,00
0,00
Eropa 0,00
0,00
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00
Des 2018 Okt 2019
Sumber: Bloomberg
150 5
132,2 1,7
0
100 98,4
84,7 -1,4 -2,1
60,9
-5 -3,8 -2,5
50
-10
0
-15
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
2016
2018
AS UK Perancis Italia Jerman
AS UK Perancis
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Italia Jerman
2014 2015 2016 2017 2018
(a) (b)
Sumber: Bloomberg
Namun, kebijakan fiskal ekspansif ini memberikan tekanan tambahan bagi ekonomi,
terutama bagi banyak negara dengan tingkat utang dan defisit yang tinggi. Negara-negara
besar di Eropa, misalnya Perancis, Italia, dan Inggris, masih berkutat dengan tingkat utang dan
defisit fiskal yang sangat tinggi. Dalam hal ini, negara-negara tersebut perlu hati-hati dalam
membuat keputusan karena ruang kebijakan yang tersedia semakin sempit. Di sisi lain, negara-
negara berkembang smasih memiliki ruang yang relatif lebih besar untuk melakukan manuver
kebijakan, baik moneter maupun fiskal untuk menopang perekonomian di tengah
ketidakpastian ekonomi global yang tinggi.
Outlook pertumbuhan ekonomi global di tahun 2019 diperkirakan melambat pada tingkat
terendah sejak krisis keuangan global, dan diperkirakan membaik di 2020 meskipun risiko
yang membayangi tinggi. International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook
(WEO) Oktober 2019 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan naik di tahun 2020,
tetapi berbagai risiko membuka kemungkinan adanya penurunan proyeksi ke depan. Tensi
perang dagang AS dan Tiongkok diprediksi masih akan menjadi sumber utama risiko ekonomi
global. Sebagai dua kekuatan utama ekonomi dunia, perang dagang antara AS dan Tiongkok
juga berpotensi memberi dampak terhadap perekonomian negara lain, terutama yang menjadi
mitra dagang. Selain itu, keterbatasan ruang kebijakan juga membuat daya dorong pada
perekonomian menjadi terbatas. Berbagai negara telah mengambil kebijakan, baik fiskal
maupun moneter, ekspansif guna mengakselerasi perekonomian di sepanjang 2019. Namun,
kebijakan tersebut belum cukup mampu untuk menahan perlambatan ekonomi. Apabila tidak
diantisipasi, kedua faktor tersebut dapat menjadi permasalahan bagi banyak negara di tahun
2020.
5
150
4
130
3
2 110
1
90
0 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 Harga Komoditas Minyak mentah
PDB Volume Perdagangan Batubara Makanan
(a) (b)
Sumber: World Economic Outlook IMF Oktober 2019
Secara lebih rinci, IMF memproyeksikan pertumbuhan negara maju pada tahun 2020-2024
akan stagnan di kisaran 1,5-1,7 persen, sedangkan negara berkembang berada di kisaran 4,6-
4,8 persen. Stagnasi di kelompok negara maju dipengaruhi oleh AS yang kemungkinan besar
akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat menahan langkah kebijakan
ekspansi fiskal. Ketidakpastian ekonomi AS juga dibayangi oleh Pemilu yang akan berlangsung
di 2020. Isu Brexit juga berpotensi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di negara maju,
terlebih akibat ketidakpastian yang ditimbulkan pasca belum tercapainya kesepakatan Inggris
dengan Uni Eropa. Di sisi lain, negara berkembang diproyeksikan kembali tumbuh di 2020
dengan ASEAN-5 sebagai faktor pendorong utamanya. Hal tersebut juga didukung dengan
besarnya pangsa pasar yang dimiliki, meskipun di sisi lain masih diperlukan pengembangan
infrastruktur teknologi yang lebih gencar.
Grup Negara 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Dunia 3,8 3,6 3,0 3,4 3,6 3,6 3,6 3,6
Negara Maju 2,5 2,3 1,7 1,7 1,6 1,6 1,5 1,6
AS 2,4 2,9 2,4 2,1 1,7 1,6 1,6 1,6
Harga komoditas secara keseluruhan diproyeksikan tidak banyak berubah di tahun 2020,
tetapi perubahannya terlihat apabila secara spesifik ditinjau dari masing-masing komoditas.
Harga minyak diperkirakan akan turun dalam beberapa tahun ke depan, ditengarai akibat
turunnya permintaan sebagai dampak perlambatan ekonomi global. Sementara itu, harga
batubara justru diprediksi akan mengalami kenaikan setelah penurunan yang cukup tajam
pada 2019. Hal ini disebabkan adanya pergeseran kepada penggunaan listrik sebagai pengganti
bahan bakar fosil untuk kendaraan di negara-negara maju yang harus didukung oleh
penggunaan batubara sebagai sumber tenaga pembangkit listrik. Untuk harga makanan dan
pertanian pada tahun 2020 diproyeksikan stabil, kecuali apabila terjadi gangguan cuaca yang
dapat menjadi risiko terhadap komoditas ini. Adapun komoditas logam di tahun 2020
diperkirakan akan mengalami penurunan harga akibat turunnya penurunan permintaan
industri global. Tarif yang diberlakukan oleh Pemerintah AS pada komoditas alumunium dan
baja juga menjadi faktor lain penyebab turunnya harga logam di 2020. Dengan melihat adanya
kenaikan maupun penurunan harga pada setiap komoditas, dapat disimpulkan bahwa secara
total harga komoditas relatif stabil di tahun 2020.
Grafik 7. Aliran Dana Asing di Pasar Modal selama 2019 (Kumulatif s.d. November, Triliun Rupiah)
41,2
200 45,1
100 25,7
15,9
50
87,8 27,1 47,7 53,3 137,5 97,2 107,3 170,3 57,1 174,6
0
-20,6 -22,7 -49,9
-50 -39,1
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019*
SBN Saham Total
Dinamika global sepanjang 2019 turut mempengaruhi perkembangan arus modal masuk,
yang tercermin dalam pergerakan nilai tukar dan IHSG. Pada triwulan I 2019, terjadi
peningkatan arus modal masuk atau net foreign buying (NFB) di instrumen-instrumen pasar
keuangan domestik yang mencapai Rp85,5 triliun, meningkat hampir dua kali lipat dari
triwulan akhir 2018. Peningkatan tersebut ditopang arus modal masuk baik di pasar SBN
maupun saham. Perkembangan ini tidak hanya mendorong peningkatan IHSG dan penurunan
imbal hasil SBN di periode tersebut, tetapi juga mendorong apresiasi nilai tukar di triwulan I
2019.
Pada triwulan II, nilai total arus modal masuk masih cukup tinggi, yaitu mencapai Rp79,6
triliun, yang terutama ditopang oleh NFB di pasar saham pada bulan April 2019. Di bulan Mei,
eskalasi perang dagang telah mendorong investor untuk memindahkan aset dan investasinya
ke instrumen safe haven. Kondisi tersebut mendorong terjadinya arus modal keluar atau net
foreign selling di pasar keuangan Indonesia. Kondisi ini turut menjadi penyebab depresiasi
rupiah di bulan Mei. Namun, seiring dengan meredanya isu perang dagang, pasar keuangan
kembali mencatat lonjakan arus modal masuk yang juga turut mendorong apresiasi Rupiah dan
peningkatan IHSG lebih lanjut.
Perkembangan tersebut masih berlanjut hingga bulan pertama triwulan III. Walau tidak
setinggi di bulan sebelumnya, pasar keuangan kembali mencatat NFB. Di bulan Agustus,
depresiasi Renminbi dan menghangatnya kembali isu perang dagang memicu peningkatan
ketidakpastian pasar global. Hal tersebut menarik arus modal keluar dari pasar keuangan
Indonesia, tercermin dengan depresiasi Rupiah dan penurunan IHSG. Namun demikian, kondisi
tersebut mampu berangsur memulih di akhir triwulan III 2019. Secara umum, selama triwulan
III 2019, terjadi NFB sebesar Rp23 triliun yang didorong oleh NFB di pasar SBN, sementara itu
pasar saham masih mencatat arus modal keluar.
Arus modal masuk masih terjadi di bulan-bulan selanjutnya, namun dengan nilai yang
fluktuatif. Setelah mencatat peningkatan NFB sebesar Rp25 triliun di bulan Oktober 2019, arus
modal masuk turun secara signifikan di bulan November dan tercatat hanya mencapai Rp2,4
Perkembangan IHSG
-10 -5 0 5 10 15 20 25 30
IHSG hingga akhir November 2019 mencatatkan kinerja negatif dengan penurunan sebesar -
2,9 persen (ytd). Keluarnya aliran modal asing dari pasar saham menjadi salah satu penyebab
turunnya kinerja IHSG tersebut. Apabila pada Agustus 2019 investor asing masih mencatatkan
NFB sebesar Rp59,2 triliun di pasar saham, pada akhir November 2019 jumlah tersebut
berkurang menjadi Rp41,2 triliun. Sementara di pasar SBN, aliran dana asing yang masuk ke
Indonesia hingga akhir November 2019 adalah sebesar Rp174,6 triliun. Secara total, dana asing
yang masuk ke pasar modal Indonesia hingga periode akhir November 2019 adalah sebesar
Rp215,76 triliun dan didominasi oleh SBN. Hal tersebut mengingat imbal hasil SBN Indonesia
masih cukup menarik di mata investor asing. Per akhir November 2019, imbal hasil SBN tenor
10 tahun tercatat sebesar 7,11 persen.
Selain IHSG, kinerja negatif indeks saham juga dicatatkan oleh KLCI Malaysia. Salah satu
sentimen utama yang mempengaruhi pergerakan IHSG pada periode September hingga
November 2019 adalah kinerja emiten yang di bawah ekspektasi pasar. Secara umum, hingga
akhir November 2019 bursa saham global menguat cukup tajam. Penguatan paling besar
dialami oleh bursa saham S&P 500 di AS yang meningkat sebesar 25,3 persen (ytd) di level
3.140,98, dan sempat menyentuh titik tertinggi dalam sejarah. Sedangkan di kawasan Asia,
bursa saham Nikkei Jepang menjadi jawara dengan peningkatan sebesar 16,4 persen (ytd) ke
Sektor Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Agt Sept Okt Nov Ytd
IHSG 5.46 -1.37 0.39 -0.21 -3.81 2.41 0.50 -0.97 -2.52 0.96 -3.48 -3.04
Keuangan 6.04 -1.33 3.21 2.76 -3.96 4.23 1.37 -4.54 -1.51 2.72 -0.39 7.69
Barang
3.56 -0.90 -1.39 -3.33 -2.67 -2.12 -1.64 1.86 -8.08 -3.75 -5.47 -28.04
Konsumsi
Infrastruktur 9.97 2.91 -2.36 -0.42 -1.46 5.25 -0.70 2.03 -0.40 -3.78 -6.46 3.52
Perdagangan 1.77 3.42 -0.20 0.48 -3.50 0.80 1.55 -2.30 0.24 0.21 -5.32 -3.21
Industri Dasar 6.70 -3.27 -1.15 -6.30 -6.81 2.08 7.73 5.59 -3.62 7.63 1.32 8.02
Konstruksi dan
4.06 -2.61 2.43 4.68 -5.67 6.25 2.28 0.12 -0.40 5.38 -7.62 7.56
Properti
Aneka Industri 3.67 -11.91 1.25 2.52 -2.24 0.09 -4.13 -4.14 -1.51 4.89 -5.34 -19.98
Pertambangan 8.25 -2.52 -1.33 -3.80 -7.30 4.01 -4.64 -1.47 -1.12 -3.06 -9.52 -27.08
Pertanian 6.23 -8.40 -3.86 -1.54 -2.94 0.58 -3.32 0.03 1.24 0.37 -1.25 -14.59
Manufaktur 4.40 -3.32 -0.93 -3.25 -3.68 -0.70 0.37 1.95 -5.84 0.94 -3.31 -14.91
Sektor Keuangan
Indeks sektor keuangan hingga November 2019 tercatat tumbuh positif sebesar 7,69 persen
(ytd), meski secara bulanan tumbuh negatif sebesar -0,39 persen (mom). Penguatan kinerja
indeks sektor keuangan selama 2019 tidak terlepas dari kebijakan suku bunga dalam negeri
yang cenderung dovish. BI memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan 7DRR di
level 5 persen dan mempertahankan posisi Deposit Facility dan Lending Facility. Selain itu, BI
juga melakukan penurunan giro wajib minimum sebesar 50 bps untuk perbankan
konvensional dan syariah, yang diharapkan dapat mempercepat penurunan suku bunga
simpanan dan kredit.
Faktor eksternal juga ikut berpengaruh dalam pergerakan saham sektor ini. Beberapa di
antaranya adalah lembaga pemeringkat internasional Moody’s yang memberikan prospek
stabil pada bank-bank di Indonesia. Penurunan suku bunga dan kondisi politik yang stabil juga
turut menyumbang sentimen positif untuk sektor perbankan. Selain itu, dalam risalah
pertemuan FOMC pada November lalu, The Fed mengisyaratkan akan menahan suku bunga
setelah pertemuan terakhir. Kebijakan The Fed ini bertentangan dengan kebijakan suku bunga
rendah yang ingin dilihat oleh Presiden AS. Faktor eksternal lainnya antara lain adalah
dukungan AS terhadap pendemo Hong Kong yang membuat Tiongkok keberatan dan menuduh
AS campur tangan.
Indeks sektor konsumsi mencatatkan pertumbuhan negatif pada November sebesar -5,47
persen (mom) atau -28,04 persen (ytd). Pelemahan ini tercermin dari Indeks Keyakinan
Konsumen (IKK) yang melemah pada Oktober 2019 dan merupakan indeks terendah sejak
Februari 2017. Meski demikian, IKK tercatat kembali meningkat pada bulan November. IKK
pada November berada di 124,2, meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar
118,4. Selain itu, Inflasi (IHK) pada November 2019 tercatat lebih rendah, yakni sebesar 0,14
persen (mom) ditopang oleh inflasi kelompok inti yang melambat dan inflasi kelompok
administered prices yang stabil. Inflasi sampai dengan bulan November 2019 mencapai 2,37
persen (ytd), atau secara tahunan tercatat 3,00 persen (yoy), menurun dibandingkan dengan
inflasi Oktober 2019 sebesar 3,13 persen (yoy).
Sektor Infrastruktur
Saham sektor infrastruktur masih banyak dicari oleh para pelaku pasar di tengah kondisi
yang tidak menentu, menyebabkan penguatan di sektor ini sebesar 3,52 persen (ytd).
Pembangunan infrastruktur dipastikan tetap akan melaju beberapa tahun ke depan yang akan
menghubungkan kawasan produksi dengan kawasan distribusi, mempermudah akses ke
kawasan wisata, sehingga mampu mengakselerasi nilai tambah perekonomian rakyat.
Peningkatan prospek bisnis infrastruktur dan konstruksi ini diperkirakan akan mendorong
kinerja perusahaan. Kinerja emiten BUMN infrastruktur akan banyak mendapat penugasan
untuk membangun proyek-proyek besar pemerintah seperti saham Telkom yang mulai
mendapat sentimen positif dari peresmian proyek infrastruktur Palapa Ring. Pemerintah juga
telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan pembiayaan infrastruktur salah
satunya adalah partisipasi pasar modal dengan menyetujui pencatatan Unit Penyertaan Dana
Investasi Infrastruktur (DINFRA) berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Toll Road Mandiri
001. KIK DINFRA ini disambut antusias pasar dengan dana yang berhasil dihimpun sebanyak
Rp1,1 triliun.
Indeks sektor konstruksi dan properti mencatatkan kinerja positif sebesar 7,56 persen (ytd).
Hal ini tercermin dari harga properti residensial di pasar primer pada triwulan III 2019
mengalami pertumbuhan tipis, dengan indeks harga properti residensial naik sebesar 0,50
persen (qoq) atau lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang sebesar 0,41 persen (qoq).
Kenaikan harga tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga bahan bangunan dan
penambahan fasilitas umum pada perumahan yang sedang dibangun. Secara tahunan,
pertumbuhan indeks tersebut juga menunjukkan perbaikan, yaitu dari 1,71 persen (yoy) pada
triwulan II 2019, menjadi 1,80 persen (yoy) di triwulan III 2019, meski lebih rendah dibanding
Sektor Pertambangan
Hingga November, sektor ini mencatatkan kinerja negatif sebesar -27,08 persen (ytd).
Pelemahan sektor pertambangan ini didorong oleh fluktuasi harga komoditas di tingkat dunia
yang terpengaruh perang dagang dan kondisi geopolitik, salah satunya karena serangan yang
terjadi di ladang minyak milik perusahaan minyak Saudi Aramco di Arab Saudi. Dari sisi
domestik, penurunan kinerja saham ini dipengaruhi oleh ketidakpastian RUU Minerba. DPR
mengumumkan penundaan pengesahan revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU
Minerba).
Di sisi lain, Pemerintah mempercepat penghentian kebijakan relaksasi impor biji nikel dari
sebelumnya 31 Desember 2022 menjadi 31 Desember 2019. Percepatan ini dituangkan dalam
Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2019 tentang perubahan kedua Peraturan Menteri
ESDM Nomor 25 tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Perubahan Peraturan Menteri ESDM tersebut memuat ketentuan tentang ekspor bijih nikel
kadar dibawah 1,7 persen, di mana rekomendasi ekspor yang diberikan kepada pemegang IUP
operasi produksi sebelum dan sesudah regulasi baru ini ditetapkan berlaku sampai 31 Desember
2019.
Sektor Pertanian/Perkebunan
Sektor ini mengalami pertumbuhan negatif pada November sebesar 14,59 persen (ytd) yang
dipengaruhi oleh gejolak harga komoditas di pasar global seperti harga CPO. Ke depannya,
faktor yang akan memengaruhi pergerakan harga CPO global adalah perayaan Diwali di India
pada Oktober. Selain dapat menjadi bahan bakar diya, konsumsi CPO di India diprediksi
memuncak karena menjadi kebutuhan utama untuk memasak masakan di negara tersebut.
Kinerja saham ini pada triwulan IV juga diprediksi akan berbalik menguat dengan adanya
peningkatan permintaan komoditas tersebut seiring masuknya musim dingin di sejumlah
negara.
Sektor Manufaktur
Indeks sektor manufatur tercatat tumbuh negatif sebesar 14,91 persen (ytd) hingga
November. Hal ini sejalan dengan PMI manufaktur Indonesia yang masih berkontraksi di bulan
November atau lima bulan berturut-turut. Data survei juga menunjukkan bahwa permintaan
domestik dan eksternal masih lemah. Permintaan ekspor baru juga kembali menurun pada
bulan September. Akibatnya, produksi terus dikurangi karena perusahaan menyesuaikan
operasional di tengah-tengah penurunan penjualan.
10 250
9 150
8
50
7
(50)
6
5 (150)
4 (250)
0,1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
tenor, tahun
Perubahan yield ytd (bps, rhs) 28-Dec-18 30-Sep-19 29-Nov-19
Sumber: Bloomberg, diolah
Dari sisi volume perdagangan sebesar Rp2.770,19 triliun, sebagian besar SBN diserap oleh
lembaga non-bank. Sebanyak Rp704,11 triliun atau 25,42 persen dari total volume SBN diserap
oleh bank dan sebanyak Rp1.920,18 triliun atau 69,32 persennya dibeli oleh non-bank seperti
reksadana, asuransi, non-residen, dana pensiun, individu, dan lain-lain. Kepemilikan investor
non-residen secara nominal meningkat sebesar Rp169,24 triliun per 29 November 2019
dibanding periode yang sama tahun lalu. Di sisi lain, Bank Indonesia yang pada akhir triwulan
III tercatat membeli SBN sebesar Rp244,34 triliun, menambah lagi kepemilikan SBN sebanyak
Rp16,60 triliun pada Oktober-November 2019 untuk tujuan operasi moneter. Hal ini dilakukan
dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. Sementara itu, rata-rata harian perdagangan SBN
di pasar sekunder selama 2019 (ytd, hingga akhir Oktober) mencapai Rp17,23 triliun dengan
frekuensi 914 kali, lebih tinggi dibanding rata-rata perdagangan harian tahun 2018 yang
sebesar Rp14,49 triliun dengan frekuensi 768 kali.
BI
11% BI
5%
Asing Reksadana
Asing 39%
38% 5%
Asuransi Asuransi
8% 8%
Reksadana
5%
(a) (b)
Sumber: DJPPR (diolah)
Di pasar primer, rata-rata penawaran (incoming bid) yang masuk selama lelang 2019 tercatat
sebesar Rp35,48 triliun. Jumlah ini lebih tinggi dibanding periode lelang tahun lalu di mana
rata-rata penawaran yang masuk selama lelang 2018 tercatat sebesar Rp27,87 triliun. Adapun
rata-rata awarded bids meningkat dari Rp12,15 triliun pada akhir 2018 menjadi Rp14,14 triliun
pada periode 2019 (per 26 November 2019), dengan bid to cover ratio menurun dari 2,87 ke 2,44.
Untuk rekor tertinggi penawaran tahun 2019 tercatat pada level Rp93,93 triliun, yaitu pada
lelang keempat bulan Februari 2019, sementara penawaran tertinggi pada 2018 berada di angka
Rp86,21 triliun, yaitu pada lelang 5 Januari 2018. Adapun untuk lelang selama bulan Oktober-
November 2019, jumlah penawaran tertinggi yang masuk selama bulan tersebut tercatat
sebesar Rp19,27 triliun pada FR0082. Sementara imbal hasil rata-rata tertimbang yang
dimenangkan berkisar antara 4,59 persen pada SPN 3 bulan dan 8,25 persen pada PBS015.
Sementara bid to cover ratio selama lelang bulan Oktober-November 2019 berada di kisaran 1,00
hingga 14,86.
Selain investor non-residen, porsi terbesar kepemilikan SBN berikutnya dimiliki oleh bank,
dana pensiun, dan perusahaan asuransi. Kepemilikan SBN oleh bank terlihat mengalami
kenaikan dari 23,91 persen pada akhir triwulan III menjadi 25,42 persen pada akhir November
2019. Sementara itu, kepemilikan Bank Indonesia naik dari 9,17 persen ke 9,42 persen dalam
periode yang sama. Hal ini tidak terlepas dari operasi moneter Bank Indonesia untuk
mempertahankan nilai tukar Rupiah melalui pengendalian persediaan Rupiah di pasar.
Untuk obligasi korporasi sendiri, aktivitas penghimpunan dana dari masyarakat melalui
penerbitan surat utang korporasi mengalami pertumbuhan selama 2019 ini. Per akhir
November 2019, nilai total obligasi korporasi yang beredar mencapai Rp424,39 triliun, naik
sebesar 5,10 persen (yoy) dari Rp403,81 triliun pada akhir November 2018 dan naik sebesar 2,28
persen dibanding akhir triwulan III sebesar Rp414,92 triliun. Dengan kata lain, terdapat
tambahan surat utang baru senilai Rp9,47 triliun selama Oktober-November 2019. Secara
sektoral, lima besar penerbit obligasi korporasi ini masih ditempati oleh lembaga keuangan
Grafik 11. Jumlah Obligasi Korporasi yang Beredar s.d. Akhir November 2019 (triliun rupiah)
160
120
Rp triliun
80
40
0
Lembaga
Telekomuni Konstruksi Properti dan
Keuangan Bank Energi Kertas
kasi bangunan Real Estate
Nonbank
Nov 19 157,37 150,32 35,92 34,92 24,61 19,06 18,28
Sep 19 156,51 146,01 32,37 36,07 21,86 19,44 17,86
Nov 18 147,13 145,48 25,53 33,24 20,60 17,19 15,76
Grafik 12. Nilai Tukar (dalam Rupiah) dan Volatilitas Rupiah (dalam indeks)
10 MEI 2019 17 JULI 5 AGUSTUS 13 Desember
Kenaikan tarif yang AS mengancam Tiongkok AS-Tiongkok setuju
sebelumnya dari Tiongkok untuk membiarkan Yuan untuk ‘kesepakatan
10% menjadi 25% mengenakan tariff melemah hingga 18 Oktober tahap 1’
14600 140
terhadap USD325 di bawah Proses pengecualian tarif AS
14500 miliar atas RMB7/1US$ untuk impor Tiongkok senilai
impor 120
14400 USD300 miliar mulai 31 Oktober
Tiongkok 2019 hingga 31
14300 yang Januari 2020 100
tersisa.
14200
80
14100
60
14000 29 JUNI 2019
11 Oktober
13900 Pertemuan G20: AS setuju untuk tidak mengenakan 11 September AS mengumumkan 40
tariff 25% terhadap sisa impor Tiongkok sebesar Tiongkok
13800 kesepakatan "Tahap 1",
USD300 miliar. menghapus bea
2 AGUSTUS menunda kenaikan tarif 20
13700 Pengumuman pengenaan tarif 10% untuk impor masuk untuk 734 untuk barang-barang
Tiongkok senilai USD300 miliar mulai 1 Sep 2019 produk impor AS Tiongkok
13600 0
Jun-'19
Jan-'19
Feb-'19
Mar-19
Apr-'19
Sep-'19
Okt-'19
Mei-'19
Jul-'19
Ags-'19
Nov-'19
Des-'19
Volatilitas (RHS) Kurs Tengah
Sumber: Bloomberg, diolah
Pada triwulan III 2019, setelah melanjutkan tren penguatan di bulan Juli, Rupiah kembali
tertekan di bulan Agustus 2019. Tuduhan AS atas kebijakan Tiongkok untuk membiarkan
depresiasi mata uang Renminbi kembali meningkatkan tensi perang dagang. Depresiasi Yuan
telah mengapresiasi dolar AS dan menyebabkan berkurangnya daya saing produk AS di pasar
global. Implikasi penguatan dolar AS tersebut adalah pelemahan Rupiah terhadap dolar AS.
Pada bulan Agustus, Rupiah bergerak relatif stabil pada kisaran Rp14.200-an. Tensi kembali
mereda di bulan berikutnya, seiring beberapa kesepakatan antara Tiongkok dan AS yang
terjadi. Rupiah kembali menguat dan bergerak pada kisaran Rp14.100-an.
Setelah pasang surut pergerakan nilai tukar Rupiah akibat dinamika perang dagang AS dan
Tiongkok, nilai tukar Rupiah mulai menunjukkan apresiasi di bulan Oktober. Penurunan
indeks ketidakpastian ekonomi global serta kesepakatan dagang antara AS dan Tiongkok
memberikan dampak positif terhadap pasar keuangan. Selain itu, penurunan suku bunga AS
sebesar 25 bps akibat penurunan prospek pertumbuhan ekonomi AS juga berdampak positif
pada berpindahnya sentimen investor dan pasar menuju pasar negara berkembang, khususnya
yang memiliki prospek cukup baik. Dalam hal ini, pasar Indonesia dipandang memiliki prospek
ke depan yang baik, seiring kepastian hasil pemilu dan arah kebijakan pemerintah ke depan.
Namun demikian di bulan November nilai tukar kembali mengalami pelemahan. Pelemahan
ini sejalan dengan tren pasar global yang cenderung bias ke pasar negara-negara maju.
Penurunan tensi perang dagang, perbaikan indikator ekonomi di negara maju, gejolak politik
dan ekonomi di banyak negara berkembang mendorong preferensi investor global untuk
menaruh dananya ke negara maju. Kondisi tersebut antara lain tercermin pada peningkatan
Grafik 13. Perkembangan Nilai Tukar s.d. 13 Desember 2019: (a) year to date (b) month to date
7,17 Thailand
Thailand 0,04
4,82 UK Indonesia
Inggris 3,54
3,70 Filipina
Singapura
Philipppines
Indonesia 0,34
3,45 Singapura
Jepang
Indonesia
Indonesia 0,85
0,77 Vietnam
Singapura
Singapore
Jepang 1,12
0,08 Vietnam
JapanMalaysia
Jepang -0,10
0,02 Afrika
Vietnam Selatan
Malaysia
Vietnam
Malaysia 0,11
-0,12 Afrika Selatan
India
Malaysia
Afrika
Malaysia 0,94
-0,53 South India
Tiongkok
Afika
Selatan
Tiongkok
Afrika Selatan 1,69
-1,30 Tiongkok
IndiaUni
Uni Eropa
India
India
Eropa
Tiongkok 1,47
-1,54 Uni
Korea
China
Uni
Korea Eropa
Selatan
Tiongkok
Eropa
Selatan
Tiongkok 0,68
-2,62 Korea
Euro
Uni
Zona
Korea Selatan
Eropa
Euro
Selatan 1,40
-5,00 S. Korea
Korea
Korea Selatan 0,83
(a) (b)
Sumber: Bloomberg
Perkembangan kondisi likuiditas moneter di Indonesia tidak terlepas dari situasi global. Di
tahun 2018, tekanan pada nilai tukar dan dampak kenaikan suku bunga AS telah mendorong
BI untuk mengambil posisi kebijakan moneter yang lebih ketat. Suku bunga acuan 7DDR yang
di awal tahun 2018 berada pada tingkat 4,25 persen telah dinaikan hingga 5,25 persen di awal
semester II 2018, dan ke tingkat 6,00 persen di penghujung 2018. Perkembangan tersebut telah
mendorong adanya pengetatan likuiditas dan perlambatan laju pertumbuhan uang beredar.
Kondisi tersebut masih berlanjut hingga memasuki tahun 2019.
20% 7%
6%
15% 5%
4%
10%
3%
5% 2%
1%
0% 0%
O
2017-J
J
J
2018-J
J
J
2019-J
J
J
N
N
M
M
S
S
A
A
F
F
M2 M1 7DRR
Memasuki tahun 2019, laju uang beredar tumbuh lebih rendah dibanding tahun 2018. M1 dan
M2 masing-masing tumbuh 5,5 persen (yoy) dan 3,7 persen (yoy), jauh di bawah awal tahun
2018 yang tumbuh sebesar 8,4 persen (yoy) dan 11,4 persen (yoy). Penurunan pertumbuhan
yang terjadi merupakan dampak dari kenaikan suku bunga acuan yang telah ditempuh untuk
stabilitasi nilai tukar sejak pertengahan 2018. Pertumbuhan tersebut sedikit meningkat hingga
memasuki triwulan II 2019. Periode musiman, yakni bulan Ramadan dan Idulfitri, menjadi
pendorong peningkatan laju pertumbuhan uang beredar tersebut. Namun demikian,
peningkatan uang beredar yang terjadi dirasakan belum cukup mengimbangi kebutuhan
perekonomian sehingga situasi ketatnya likuiditas tetap terasa.
Ketatnya likuiditas tercermin pada rasio M2 terhadap PDB nominal. Penurunan rasio terjadi
sejak tahun 2017 hingga memasuki tahun 2019. Tren yang terjadi mencerminkan bahwa
jumlah uang beredar yang ada di perekonomian relatif semakin kecil dibandingkan
perkembangan aktivitas ekonomi (PDB) yang ditopangnya. Likuiditas tersebut sedikit
melonggar di triwulan II seiring dengan periode Ramadan dan Idulfitri. Perkembangan
likuiditas yang terjadi juga tercermin pada pergerakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank dan
JIBOR. Peningkatan suku bunga di pasar keuangan yang terjadi, seiring peningkatan suku
bunga acuan 7DRR, mengindikasikan ketatnya likuiditas yang dihadapi perbankan.
BI mulai memutuskan untuk menyesuaikan posisi kebijakan moneter ke arah yang lebih
longgar. Hal tersebut melihat ketatnya likuiditas di perekonomian dan masih perlunya
dorongan bagi pertumbuhan ekonomi ke depan, serta didasari pertimbangan kondisi nilai tukar
yang relatif stabil dan inflasi yang terjaga. Sejak Juli, suku bunga acuan mulai diturunkan
secara bertahap, dari 6,00 persen pada bulan Juni 2019 hingga mencapai 5,00 persen di bulan
Oktober 2019. Seiring dengan pelonggaran tersebut, suku bunga di pasar uang bank juga mulai
menurun, mengisyaratkan likuiditas yang lebih baik. Demikian pula dengan laju pertumbuhan
uang beredar yang juga dalam tren meningkat, walaupun masih bersifat fluktuatif. Per bulan
Oktober 2019, pertumbuhan M1 dan M2 tercatat sebesar 6,3 persen dan 6,6 persen, lebih tinggi
dibanding awal tahun 2019. Demikian pula rasio M2 terhadap PDB di akhir triwulan III yang
relatif lebih tinggi dibanding kedua triwulan sebelumnya. Namun demikian, perlu dicatat
Grafik 15. (a) Uang Beredar (M2)/PDB (ADHB); (b) Pergerakan Suku Bunga Pasar Uang
41% 1 9,0%
40,4%
39,9% 0,8
40% 39,5% 7,0%
0,6
2018-J
2019-J
J
N
N
M
M
S
S
2014
2015
2016
2017
2018
2019 -Q1*
2019 -Q2*
2019 -Q3*
PUAB - Keseluruhan JIBOR - 1 Bulan
REPO 7 D
(a) (b)
Sumber: Bank Indonesia
Cat: PDB Q1,Q2,Q3 2019, dihitung berdasarkan kumulatif PDB empat triwulan terakhir
Selain isu likuiditas, permasalahan lain yang dihadapi perekonomian adalah laju
pertumbuhan kredit yang terus melambat di 2019. Sebagaimana diketahui, pertumbuhan
kredit sangat berkorelasi dengan kegiatan investasi dan pembiayaan aktivitas di sektor riil.
Pertumbuhan kredit di awal tahun 2019 mencapai 11,9 persen, terus melambat di sepanjang
tahun hingga mencapai 6,6 persen di bulan Oktober 2019. Perlambatan tersebut terutama
didorong oleh kelompok kredit modal kerja, yang pada periode tersebut turun dari 12,9 persen
menjadi 4,1 persen. Kredit konsumsi juga melambat dari 9,9 persen di awal 2019 hingga menjadi
6,6 persen di Oktober 2019. Di sisi lain, kinerja kredit investasi relatif cukup baik, terutama
Sda;’dasd
didukung kegiatan kredit konstruksi sejalan dengan pembangunan infrsatruktur terjadi.
Cat: PDBdemikian,
Namun Q1,Q2,Q3 2019, dihitung
kredit berdasarkan
investasi kumulatifmenunjukkan
yang sempat PDB 4 kuartal terakhir
tren peningkatan, mulai berbalik
dan menurun sejak awal triwulan II 2019. Laju pertumbuhan kredit investasi yang di awal
tahun 2019 mencapai 12,6 persen, telah melambat hingga mencapai 11,4 persen di Oktober 2019.
14,0% 98%
12,0% 94,3% 96%
10,0% 94%
6,6%
8,0% 92%
6,0% 7,5% 90%
4,0% 88%
2,0% 86%
0,0% 84%
A
A
D
F
O
O
2018-J
J
J
2019-J
J
J
N
N
M
M
S
%
14 98
13 96
Kredit 93,76
12
94
11
10 92
7,89
9 LDR (RHS) 90
8
DPK 88
7
6 7,47 86
5 84
Feb
Feb
Dec
Dec
Oct
Oct
Jul
May
Jul
Jul
Nov
Nov
Jan
Jun
Jan
Jun
Jan
Jun
Mar
Apr
Aug
Mar
Apr
Sep
Aug
Mar
Apr
Sep
feb
Aug
Sep
Mei
Mei
2017 2018 2019
Laju pertumbuhan kredit terus melambat sepanjang 2019. Pertumbuhan kredit di awal tahun
2019 mencapai 11,9 persen, terus melambat di sepanjang tahun hingga mencapai 6,6 persen di
bulan Oktober. Melemahnya permintaan kredit korporasi menjadi faktor utama yang
menyebabkan perlambatan kredit. Dampak perang dagang dan perlambatan pertumbuhan
global telah menekan permintaan, domestik maupun ekspor, sekaligus membuat dunia usaha
menahan diri untuk berekspansi sehingga berdampak pada turunnya permintaan kredit. Di
saat bersamaan, perbankan juga cenderung lebih selektif dan lebih banyak melakukan
intensifikasi kredit mengingat tingginya ketidakpastian kondisi sektor keuangan dan
perekonomian.
20
15 12,84
10 7,89
6,82
5
5,94
0 Oct
Oct
Jul
Jul
Jul
Jan
Jun
Jan
Jun
Jan
Jun
Mar
Apr
Mar
Apr
Mar
Apr
Feb
Sep
Feb
Sep
feb
Sep
Dec
Dec
Mei
May
Mei
Nov
Nov
Aug
Aug
Aug
2017 2018 2019
Kredit KMK KI KK
Berdasarkan jenis penggunaanya, Kredit Modal Kerja (KMK), Kredit Konsumsi (KK) dan
Kredit Investasi (KI) masih menunjukkan pertumbuhan yang positif meskipun terlihat
adanya tren penurunan pada ketiga jenis kredit tersebut dalam beberapa bulan terakhir.
Dengan porsi sekitar 46 persen dari total kredit perbankan, penyaluran KMK oleh perbankan
hingga akhir triwulan III 2019 tercatat sebesar Rp2.568 triliun atau tumbuh sebesar 5,94 persen
(yoy) sekaligus merupakan laju pertumbuhan terlemah sejak September 2016. Tren
perlambatan pertumbuhan KMK secara tahunan terjadi sejak November dan mulai tumbuh
single digit pada bulan Juni 2019. Senada, dengan porsi sekitar 26 persen dari total kredit yang
disalurkan perbankan, pertumbuhan KK juga dalam tren melambat dan hanya tercatat tumbuh
6,82 persen (yoy) dengan nominal sebesar Rp1.527 triliun pada akhir triwulan III 2019. Terakhir,
dengan porsi sekitar 28 persen, penyaluran KI mencapai Rp1.430 triliun pada akhir triwulan III
2019 dengan pertumbuhan mencapai 12,84 persen.
Dari empat sektor utama penyaluran KMK, sektor industri pengolahan dan perdagangan
mengalami perlambatan tajam dibandingkan triwulan sebelumnya. Sektor tersebut memiliki
pangsa sekitar sekitar 75 persen dari total KMK yang disalurkan oleh perbankan sehingga
menyebabkan tekanan terhadap keseluruhan KMK. Melambatnya KMK sektor industri
pengolahan terutama dipengaruhi oleh subsektor pengilangan minyak bumi dan pengolahan
gas bumi, sementara perlambatan KMK sektor perdagangan dipengaruhi oleh subsektor
perdagangan eceran makanan, minuman, dan tembakau. Sementara itu, sektor jasa keuangan
sedikit melambat dan sektor pertanian justru mencatatkan pertumbuhan kredit yang lebih
tinggi. Kuatnya pertumbuhan KMK sektor pertanian terutama didukung oleh penyaluran
Kredit Usaha Rakyat yang hingga akhir September telah mencapai Rp115,9 triliun atau 82,79
persen dari target Rp140 triliun.
15,71
14,91
13,76
12,27
12,04
11,98
11,44
10,82
10,04
9,08
8,35
8,03
7,81
7,22
7,50
7,09
6,95
5,74
4,55
PERTANIAN INDUSTRI JASA KEUANGAN PERDAGANGAN
PENGOLAHAN
Untuk jenis KI, penyaluran masih terkonsentrasi pada empat sektor utama yaitu sektor
pertanian, industri pengolahan, listrik dan gas, dan sektor perdagangan dengan total sebesar
55 persen dari total KI yang disalurkan oleh perbankan. Sektor dengan penyaluran KI terbesar
yaitu pertanian meskipun sedikit mengalami perlambatan namun masih bertahan tumbuh di
atas 8 persen. Sektor dengan penyaluran KI terbesar kedua yaitu industri pengolahan berbalik
mencatatkan pertumbuhan positif 1,25 persen (yoy) pada triwulan III 2019 setelah pada empat
triwulan sebelumnya selalu mengalami kontraksi. Berbalik positifnya KI sektor industri
pengolahan menjadi sinyal awal berakhirnya tren pelemahan sektor ini dan kembali pulihnya
aktivitas manuaktur pada triwulan IV 2019 dan 2020 mendatang. Selanjutnya, KI untuk sektor
pengadaan listrik dan gas masih mencatatkan pertumbuhan di atas 26 persen meskipun
melambat dibandingkan posisi akhir triwulan II 2019. Masih kuatnya pertumbuhan di sektor
ini terutama didukung oleh pendanaan proyek pembangkit listrik 35 ribu MW yang
dilaksanakan oleh PT PLN (Persero).
12,97
10,71
10,06
10,05
9,20
8,41
8,82
8,41
6,38
3,33
1,75
1,25
(0,50)
-4,02
-4,43
-5,31
Perkembangan DPK
Grafik 21. Pertumbuhan DPK (persen, yoy): (a) Berdasarkan Komponen; (b) Berdasarkan Valuta
14 20%
7,47
9 10% 8,42%
8,45
7,60
6,53
4 0%
2,07%
-1 -10%
Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Rupiah Valas
(a) (b)
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, diolah
Secara umum. pertumbuhan DPK yang dihimpun perbankan mengalami perlambatan pada
tahun 2019. Hingga akhir triwulan III 2019, penghimpunan DPK mencapai sebesar Rp5.891,9
triliun atau tumbuh 7,47 persen (yoy), menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada
triwulan II 2019 sebesar 7,62 persen (yoy). Perlambatan DPK hingga akhir triwulan III 2019
terutama didorong oleh perlambatan pertumbuhan giro dan simpanan berjangka. Giro
perbankan hanya tumbuh 8,45 persen (yoy) dan 8,40 persen (ytd) menjadi Rp1.425,4 triliun
Sda;’dasd
pada September 2019. Sementara itu, simpanan berjangka juga mencatatkan perlambatan
dengan
Cat: PDBtumbuh
Q1,Q2,Q37,60
2019, persen (yoy) dari kumulatif
dihitung berdasarkan 8,30 persen
PDB 4(yoy) pada
kuartal Juni 2019. Perlambatan
terakhir
pertumbuhan simpanan berjangka tersebut sejalan dengan penurunan rata-rata suku bunga
tertimbang simpanan berjangka pada September 2019 yang terjadi pada seluruh tenor, seiring
dengan penurunan suku bunga acuan BI 7DRR. Suku bunga simpanan berjangka dalam Rupiah
untuk tenor 1, 3, 6, dan 12 bulan menurun, masing-masing dari 6,48 persen, 6,72 persen, 7,14
Sementara itu, DPK dalam bentuk tabungan selama triwulan III 2019 relatif tumbuh stabil di
level 6,53 persen. Ke depan, tren perlambatan DPK diperkirakan masih akan berlanjut hingga
tahun 2020 seiring dengan turunnya suku bunga acuan. Selain itu, perlambatan
penghimpunan DPK juga terkonfirmasi dari survei perbankan yang memperkirakan adanya
perlambatan penghimpunan DPK pada triwulan IV 2019. Saldo bersih tertimbang
pertumbuhan DPK pada triwulan IV 2019 diperkirakan turun ke level 73,3 persen
dibandingkan 87,1 persen pada triwulan III 2019 terutama disebabkan penurunan giro dan
tabungan, sementara instrumen deposito justru diperkirakan meningkat.
3 2,66
2
Oct
Oct
Jul
May
Jul
Jul
Jan
Jun
Jan
Jun
Jan
Jun
Mar
Apr
Apr
Feb
Aug
Mar
Sep
Feb
Aug
Mar
Apr
Sep
Feb
Aug
Sep
Dec
Dec
Mei
Mei
Nov
Nov
Di tengah melambatnya pertumbuhan kredit perbankan, NPL perbankan pada triwulan III
tatistik Perbankan Indonesia, diolah
2019 mencapai level tertinggi selama tahun 2019 ke posisi 2,66 persen. Menurut OJK,
peningkatan NPL tersebut terjadi di semua jenis kredit dan bukan terjadi pada sektor tertentu.
Secara umum, NPL perbankan masih di bawah threshold 5 persen. Hingga akhir triwulan III
2019, kenaikan NPL tertinggi terjadi pada bank buku II dengan NPL gross sebesar 3,72 persen.
Sementara NPL bank buku 1 tercatat sebesar 3,46 persen. Adapun untuk buku 3 dan buku 4,
masing-masing di angka 2,43 dan 2,41 persen. Kenaikan NPL perbankan disebabkan oleh kasus
gagal bayar kredit di sejumlah perusahaan besar yang melibatkan beberapa bank nasional.
Salah satu contohnya adalah kasus gagal bayar bunga obligasi anak usaha PT Duniatex dan
restrukturisasi kredit PT Krakatau Steel Tbk di sejumlah bank nasional. Hingga akhir tahun
2019, NPL perbankan diperkirakan masih akan mengalami peningkatan.
NPL sektor pengolahan dan perdagangan meningkat pada triwulan III 2019. NPL industri
tatistik Perbankan Indonesia, diolah
pengolahan pada September 2019 mencapai sebesar 3,65 persen dari total kredit sebesar Rp917
triliun. Sementara secara nominal, NPL industri pengolahan meningkat sebesar 33,04 persen
(yoy). Di sisi lain, sektor perdagangan yang memiliki pangsa kredit terbesar mencatatkan NPL
sebesar 3,86 persen pada September 2019 dengan nominal NPL naik sebesar 1,53 persen (yoy)
pada September 2019.
Indikator risiko kredit lainnya yaitu special mention loan (SML) atau kredit dalam
pengawasan khusus juga harus tetap diwaspadai. Hingga triwulan III 2019, SML perbankan
mencapai 5,63 persen dari total kredit, sedikit naik apabila dibandingkan triwulan sebelumnya
sebesar 5,58 persen (triwulan I 2019) dan 5,62 (triwulan II 2019). Secara nominal, SML tumbuh
13,89 persen (yoy) pada akhir triwulan III 2019.
Selain itu, di tengah kondisi permintaan kredit yang masih lemah, indikator profitabilitas
perbankan turut menunjukkan penurunan pada tahun 2019. NIM Bank Umum Konvensional
pada triwulan III 2019 tercatat sebesar 4,90 persen atau relatif tidak berubah dibandingkan
triwulan II 2019. Secara umum, NIM Bank Umum Konvensional di tahun 2019 mengalami
penurunan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berada pada level 5 persen.
Sementara itu, indikator Return on Asset (ROA) Bank Umum Konvensional selama tahun 2019
terus mengalami penurunan, dimana hingga triwulan III 2019 ROA perbankan secara umum
mencapai 2,48 persen, lebih rendah dibandingkan triwulan-triwulan sebelumnya.
Dari sisi efisiensi perbankan, rasio Belanja Operasional terhadap Pendapatan Operasional
(BOPO) juga relatif meningkat pada tahun 2019. BOPO Bank Umum Konvensional hingga
triwulan III 2019 tercatat sebesar 80,50 persen, sementara posisi triwulan I dan II berturut-turut
sebesar 82,92 persen dan 80,24 persen. Menurunnya efisiensi perbankan turut mendorong
menurunnya profitabilitas perbakan di tahun 2019.
Grafik 23. (a) Pertumbuhan Ekspor Impor (persen, yoy); (b) Neraca Perdagangan (Miliar USD)
40%
Ekspor Impor Neraca
200
30%
Miliar USD
Ekspor, yoy 150
20% Impor yoy
100
10% 50
0% 0
12,1 -8,7 -3,1 20,7 4,0 5,2 -8,6 -12,7 -8,3
-50
-10%
2017
2018
J-N 2019
2017
2018
J-N 2019
2017
2018
J-N 2019
-20%
S
S
2018-J
2019-J
J
N
N
M
(a) (b)
Sumber: BPS
Grafik 24. Laju Pertumbuhan Total Impor Mitra Dagang Utama Ekspor Indonesia (persen, yoy)
25%
China 20%
Jepang
20% 15%
15%
10%
10%
5%
5%
0%
0%
-5% -5%
-10% -10%
Mar-19
Mar-18
Mar-19
Mar-18
May-19
May-19
May-18
May-18
Jan-18
Jan-19
Jan-18
Jan-19
Oct-18
Oct-18
Nov-18
Nov-18
Dec-17
Dec-18
Dec-17
Dec-18
Jul-18
Jul-19
Jul-18
Jul-19
Apr-18
Apr-18
Apr-19
Apr-19
Jun-18
Jun-19
Jun-18
Jun-19
Feb-18
Aug-18
Sep-18
Feb-19
Aug-19
Sep-19
Feb-18
Aug-18
Sep-18
Feb-19
Aug-19
Sep-19
12%
USA India
16%
10% 14%
8% 12%
10%
6%
8%
4%
6%
2%
4%
0% 2%
-2% 0%
May-18
Mar-19
May-19
Mar-18
Jan-18
Oct-18
Jan-19
Nov-18
Dec-17
Dec-18
Apr-18
Jul-18
Apr-19
Jul-19
Jun-18
Jun-19
Aug-18
Aug-19
Feb-18
Sep-18
Feb-19
Sep-19
Mar-19
Mar-18
May-18
May-19
Jan-18
Jan-19
Oct-18
Nov-18
Dec-17
Apr-18
Dec-18
Apr-19
Jul-18
Jul-19
Jun-18
Jun-19
Aug-18
Aug-19
Feb-18
Sep-18
Feb-19
Sep-19
Sumber: Bloomberg
Faktor lain yang mendorong pelemahan ekspor Indonesia adalah penurunan harga komoditas
global, khususnya komoditas ekspor utama Indonesia. Pelemahan ekonomi yang terus melanda
ekonomi dunia dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan penurunan permintaan
global sehingga harga-harga komoditas juga mengalami penurunan. Penurunan harga
komoditas tersebut terlihat pada komoditas seperti Batubara, Palm Oil dan Kornel Oil yang sejak
Januari 2019 mengalami kontraksi masing-masing sebesar -7,41 persen, -16,90 persen, dan -
39,53 persen.
100,00
70,00
40,00
J
J
N
N
M
M
S
S
A
A
F
F
O
O
2018-J
2019-J
Coal Palm Oil Cornel Oil Crude Oil Kopi Robusta Karet
Sumber: Bloomberg
Bila disimak dengan lebih seksama terhadap komponen yang mempengaruhinya, dapat
diketahui bahwa faktor penurunan harga cukup mempengaruhi kinerja ekspor dan impor di
tahun 2019. Di sisi ekspor, walaupun tercatat kontraksi nilai pertumbuhan pada total ekspor
dan ekspor non migas, secara volume (riil) masih terjadi pertumbuhan positif. Dalam hal ini,
kontraksi pertumbuhan nilai ekspor lebih dipengaruhi penurunan harga komoditas ekspor.
Namun pada komponen ekspor migas, terjadi penurunan volume yang cukup signifikan. Sedikit
berbeda pada sisi impor, dimana selain harga mencatat pertumbuhan negatif, nilai impor secara
volume juga mengalami kontraksi.
Terkait neraca migas, komponen tersebut telah menjadi sumber tekanan neraca perdagangan
Indonesia, paling tidak sejak tahun 2012. Permintaan sumber energi yang tinggi seiring
perbaikan ekonomi dan daya beli masyarakat tidak mampu diimbangi dengan kapasitas
produksi minyak mentah, yang semakin terbatas seiring umur sumur-sumur miyak yang
semakin tua. Dalam menghadapi tekanan neraca migas tersebut, Pemerintah telah menempuh
strategi untuk mengalihkan ekspor minyak mentah untuk pemenuhan kebutuhan dalam
Grafik 26. (a) Pertumbuhan Ekspor; (b) Pertumbuhan Impor (Jan-Nov 2019, persen, ytd)
10,00 0,00
-6,21
0,00 -10,00 -9,88
-5,71
-7,61
-10,00 -20,00
-26,01
-30,00 -40,00
Apabila dilihat dari sektornya, ekspor industri pengolahan (manufaktur) dan pertambangan
terus mengalami kontraksi selama tahun 2019. Harga komoditas yang turun (diantaranya bijih
tembaga, CPO dan batubara) menjadi penyebab utama kontraksi tersebut. Sektor pertanian
yang pada awal tahun sempat kontraksi, sudah kembali menuju tren positif yang salah satunya
didorong oleh meningkatnya ekspor kopi. Namun dikarenakan porsi sektor pertanian dalam
Sda;’dasd
total ekspor kecil, maka belum dapat mengangkat pertumbuhan ekspor ke arah yang positif.
Grafik
Cat: PDB27. (a) Pertumbuhan
Q1,Q2,Q3 2019, dihitungEkspor Sektoral
berdasarkan (Jan-Nov
kumulatif PDB 42019-
kuartal ytd);
terakhir(b) Pertumbuhan Impor Jenis
Penggunaan (Jan-Nov 2019- ytd)
50 60
N; -3,55
40
N; 3,50
0 20
N; -5,59
0
N; -16,35
N; -7,61 -20 N; -11,22
-50 N; -6,11
-40
J
J
A
A
D
F
D
F
O
Pertanian
d
A
F
D
F
O
O
J
Industri Pengolahan
Barang Konsumsi Bahan Baku
Pertambangan dan Lainnya
Barang Modal
Total Ekspor
(a) (b)
Sumber: BPS
Secara kumulatif, impor menurut jenis penggunaan masih terkontraksi untuk semua jenis
barang. Impor menurut bahan baku/penolong mengalami kontraksi terbesar, diikuti barang
konsumsi dan barang modal. Kontraksi impor barang baku/penolong dan barang modal
mengindikasikan
Sda;’dasd
perlambatan kegiatan ekonomi domestik. Namun apabila dilihat secara
bulanan, impor ketiga jenis barang ini di bulan November 2019 mengalami pertumbuhan positif
Cat: PDB
walau Q1,Q2,Q3
masih 2019,
kecil. dihitung
Impor berdasarkan
bahan kumulatif PDB
baku/penolong, 4 kuartal
barang terakhir
modal dan konsumsi masing-masing
Pada triwulan III 2019, neraca perdagangan barang masih mencatatkan peningkatan surplus
dibanding triwulan sebelumnya. Defisit neraca migas menyempit akibat penurunan impor
migas yang lebih dalam dibanding penurunan ekspor migas. Turunnya ekspor migas didorong
oleh harga lebih rendah dan volume ekspor yang berkurang. Impor migas juga masih
terkontraksi karena harga minyak cenderung rendah dan penurunan lifting gas. Selain itu,
kebijakan pemerintah untuk memanfaatkan minyak dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S)
untuk memenuhi kebutuhan domestik juga berdampak positif bagi penurunan impor minyak.
Sementara itu, surplus neraca nonmigas tercatat lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya
antara lain akibat penurunan volume (karet olahan dan minyak nabati) dan harga barang
ekspor (komoditas batubara dan minyak nabati) dan kontraksi impor bahan baku.
Defisit neraca jasa mengalami pelebaran defisit sebesar USD2,3 miliar, lebih tinggi
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar USD1,9 miliar. Peningkatan defisit
dipengaruhi oleh pelebaran defisit jasa transportasi. Defisit jasa transportasi terutama
disumbang oleh meningkatnya pembayaran jasa transportasi barang (freight) seiring dengan
peningkatan impor barang nonmigas dan jasa transportasi penumpang karena adanya musim
pelaksanaan haji pada triwulan III 2019. Sementara itu, penerimaan jasa perjalanan tercatat
lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya, meski terjadi perlambatan pertumbuhan
jumlah kunjungan wisman menjadi 0,4 persen (yoy) pada triwulan III dari sebelumnya 3,7
persen (yoy).
Kinerja neraca Pendapatan Primer pada triwulan III 2019 mengalami defisit USD8,42 miliar,
lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang tercatat defisit USD8,73 miliar. Penurunan
defisit terutama disebabkan oleh penurunan defisit portofolio yang terjadi akibat pembayaran
deviden yang lebih rendah dari triwulan sebelumnya. Sementara itu, defisit Pendapatan
Primer yang bersumber dari Investasi Langsung mengalami peningkatan yang disebabkan oleh
menurunnya penerimaan pendapatan Investasi Langsung sejalan dengan melambatnya
pertumbuhan tingkat keuntungan atas aset di luar negeri.
Neraca Pendapatan Sekunder mencatatkan penurunan surplus menjadi USD1,78 miliar dari
triwulan sebelumnya sebesar USD1,99 miliar. Penurunan surplus tersebut disebabkan
meningkatnya pembayaran remitansi Tenaga Kerja Asing (TKA) sejalan dengan meningkatnya
jumlah pekerja asing yang mencapai 89 ribu orang pada triwulan III 2019. Sementara itu
penerimaan remitasi Pekerja Migran Indonesia (PMI) cenderung stabil.
15
100
5
50
-5
-15 0
Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3
Investasi langsung masih mencatatkan surplus didorong oleh optimisme para investor asing
pada investasi jangka panjang di Indonesia. Surplus investasi langsung di triwulan ini sebesar
USD4,8 miliar, ditopang oleh aliran modal atas divestasi dua ruas tol dari investor domestik
kepada investor Hongkong. Secara sektoral, investasi langsung masih didominasi oleh sektor
industri pengolahan (khususnya industri otomotif dan elektronik), perdagangan dan sektor
pertanian, perburuan dan kehutanan, di mana ketiga sektor tersebut mendominasi 82,2% dari
total aliran dana yang masuk.
Meskipun surplus investasi langsung masih cukup tinggi, namun kinerja investasi langsung
ini dalam tren menurun jika dibandingkan surplus triwulan II 2019 yang sebesar USD5,4
miliar dan surplus pada triwulan I 2019 yang mencapai USD5,8 miliar. Hal ini perlu menjadi
perhatian dan perlu adanya upaya untuk tetap menjaga stabilitas ekonomi, perbaikan kinerja
neraca perdagangan dan daya saing ekspor, serta menjaga komunikasi ke investor bahwa
Indonesia masih cukup menarik dan layak untuk menjadi destinasi investasi sehingga aliran
masuk investasi asing dapat tetap tumbuh positif.
Sementara itu, di tengah tingginya tekanan pada pasar keuangan global, investasi portofolio
masih mencatatkan kenaikan surplus dibandingkan triwulan II 2019. Surplus investasi
portofolio pada triwulan III 2019 sebesar USD4,8 miliar ditopang oleh kenaikan pada surplus
dari sektor swasta. Surplus sektor swasta mencapai USD2,2 miliar (triwulan II 2019: USD0,5
miliar), terutama dipengaruhi oleh peningkatan penerbitan obilgasi global korporasi yang
berasal dari dua perusahaan BUMN sektor energi pada bulan Juli dan September dengan nilai
obligasi global sekitar USD2,9 miliar. Sementara itu, surplus dari sektor publik mengalami
penurunan menjadi sebesar USD2,6 miliar (triwulan II 2019: USD4 miliar), terutama disebabkan
tidak adanya penerbitan obligasi global pada periode tersebut. Namun demikian penurunan
surplus lebih lanjut pada sektor publik dapat ditahan dengan masih terjaganya minat investor
Pada sisi investasi lainnya, tingginya neto penarikan pinjaman yang dilakukan oleh sektor
swasta serta penurunan pembayaran pinjaman sektor publik menjadi faktor utama
terjadinya penyempitan defisit. Neto penarikan pinjaman yang dilakukan oleh sektor swasta
mencapai USD2,4 miliar (triwulan II 2019: USD0,4 miliar) sementara neto pembayaran
pinjaman di sektor publik turun dari sebesar USD0,8 miliar menjadi sebesar USD0,3 miliar.
Investasi lainnya secara keseluruhan mencatatkan defisit USD2,1 miliar, menyempit
dibandingkan defisit triwulan II 2019 yang sebesar USD3,5 miliar.
Berdasarkan perkembangan tersebut, neraca pembayaran Indonesia triwulan III 2019 yang
mencatatkan defisit USD46 juta, posisi cadangan devisa pada akhir triwulan III (September
2019) tercatat sebesar USD124,33 miliar. Posisi cadangan devisa ini meningkat jika
dibandingkan akhir triwulan II 2019 yang sebesar USD123,8 miliar. Jumlah cadangan devisa ini
setara dengan pembiayaan 7,2 bulan impor atau 6,9 bulan impor dan pembayaran utang luar
negeri pemerintah, masih pada tingkat aman di atas standar kecukupan internasional sekitar 3
bulan impor. Peningkatan cadangan devisa ini sejalan dengan tren apresiasi nilai tukar yang
terjadi selama triwulan III 2019. Tren peningkatan cadangan devisa juga masih terjadi hingga
akhir Oktober 2019 yang tercatat sebesar USD126,7 miliar, sejalan dengan NFB di pasar SBN,
yang terutama ditopang oleh adanya penerbitan obligasi global pemerintah (dual currency) di
akhir bulan Oktober, penerimaan devisa migas, serta penerimaan valas lainnya. Dinamika
tersebut menunjukkan indikator sustainabilitas eksternal pada triwulan III 2019 menunjukkan
kondisi yang relatif baik dengan risiko yang terjaga.
Pengeluaran
Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Q3 Q4 Y Q1 Q2 Q3 Y
Konsumsi
Rumah Tangga 5,00 5,03 4,93 4,98 4,98 5,01 5,23 5,07 5,20 5,13 5,27 5,38 5,06 5,24
dan LNPRT
Konsumsi
4,94 4,95 4,91 4,98 4,94 4,94 5,16 5,00 5,08 5,05 5,02 5,17 5,01 5,07
Rumah Tangga
Konsumsi LNPRT 8,08 8,53 6,04 5,26 6,93 8,10 8,75 8,59 10,79 9,08 16,95 15,28 7,44 13,15
Konsumsi
2,69 -1,94 3,46 3,80 2,13 2,71 5,20 6,27 4,56 4,80 5,20 8,25 0,98 4,69
Pemerintah
PMTB 4,77 5,34 7,08 7,26 6,15 7,94 5,85 6,96 6,01 6,67 5,03 5,01 4,21 4,74
Ekspor 8,36 2,73 16,48 8,42 8,91 5,94 7,65 8,08 4,33 6,48 -1,87 -1,98 0,02 -1,24
Impor 4,78 0,18 15,40 11,91 8,06 12,64 15,17 14,02 7,10 12,04 -7,39 -6,78 -8,61 -7,62
PDB 5,01 5,01 5,06 5,19 5,07 5,06 5,27 5,17 5,18 5,17 5,07 5,05 5,02 5,04
Sumber: BPS
Pada sisi investasi, kinerja pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)
mengalami perlambatan yaitu sebesar 4,21 persen, terpengaruh oleh kondisi ekonomi global
yang belum kondusif dan tren harga komoditas primer yang masih rendah. Seluruh
komponen PMTB mengalami penurunan kecuali komponen Cultivated Biological Resources
(CBR). Investasi bangunan yang memiliki kontribusi terbesar masih tumbuh 5,03 persen,
sejalan dengan pertumbuhan sektor konstruksi dan konsumsi semen yang juga mengalami
perlambatan. Investasi mesin dan perlengkapan yang memiliki keterkaitan dengan
perkembangan harga komoditas juga mengalami perlambatan dengan tumbuh sebesar 7,79
persen. Sementara itu, beberapa komponen investasi mengalami pertumbuhan negatif,
diantaranya investasi kendaraan, peralatan lainnya dan produk kekayaan intelektual.
Penurunan impor barang pendukung kegiatan investasi seperti barang modal dan bahan baku
pada triwulan III 2019 juga mengalami pertumbuhan negatif yang masing-masing sebesar -0,54
persen dan -14,45 persen. Dari sisi belanja pemerintah, realisasi belanja modal pada triwulan III
2019 juga menunjukkan penurunan dengan tumbuh -0,07 persen.
Meskipun kinerja pertumbuhan PMTB relatif moderat, tren pemulihan realisasi penanaman
modal menunjukkan keberlanjutan hingga triwulan III 2019. Realisasi penanaman modal
pada triwulan III 2019 mencapai Rp205,7 triliun, tumbuh sebesar 18,4 persen (yoy).
Pertumbuhan ini didukung oleh realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang
tumbuh sebesar 18,9 persen, dan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) yang tumbuh sangat
signifikan sebesar 17,8 persen dibandingkan dengan realisasi pada pertumbuhan PMA di
triwulan II sebesar 9,6 persen. Pertumbuhan realisasi PMA ini merupakan pertumbuhan
triwulanan tertinggi setelah tahun 2015. Secara kumulatif (Januari-September) 2019, realisasi
investasi mencapai Rp601,3 triliun atau tumbuh sebesar 12,3 persen (yoy). Pertumbuhan
tersebut didukung oleh pertumbuhan PMDN sebesar 17,3 persen dan PMA sebesar 8,2 persen.
Capaian ini mencapai 75,9 persen dari target realisasi investasi tahun 2019.
Pertambangan 4,3
-16,1 70,1
Transportasi & Pergudangan
-12,5
Gas & Listrik 1,7
-20 -10 0 10 20 30 40
N = 56 Perusahaan dgn
Kapitalisasi pasar terbesar di BEI Growth Q3-2019 Growth Q3-2018
Sumber: BPS
Kinerja sektor pertanian tumbuh sebesar 3,08 persen (yoy), terutama akibat musim kemarau
yang cukup panjang dan berdampak pada hasil panen padi yang menurun (tanaman pangan
tumbuh -4,81 persen). Di sisi lain, kondisi kemarau panjang justru memberikan pengaruh
positif karena cukup kondusif untuk peningkatan produksi pada hortikultura (5,07 persen),
peternakan (7,72 persen), dan perikanan (5,85 persen). Kinerja tanaman perkebunan juga
tumbuh lebih kuat (4,98 persen), terutama ditopang oleh peningkatan produksi kelapa sawit
seiring permintaan domestik CPO yang meningkat.
Sektor perdagangan tumbuh sebesar 4,75 persen (yoy), melambat dibanding kinerja triwulan
III 2018 yang sebesar 5,28 persen. Perlambatan sektor ini terutama disebabkan oleh faktor
penurunan penjualan kendaraan serta ekspor-impor yang terdampak kondisi ekonomi global.
Sementara itu, tiga sektor jasa yang terkait dengan ekonomi digital tumbuh menguat dan
berada di atas rata-rata PDB nasional, yakni sektor jasa transportasi dan pergudangan (6,63
persen), sektor jasa keuangan (6,15 persen), serta sektor informasi dan komunikasi (9,15 persen).
Tingginya aktivitas belanja online dan perkembangan fintech mendorong peningkatan
pengiriman barang dan volume transaksi di sektor keuangan.
Industri Pengolahan 4,28 3,50 4,88 4,51 4,29 4,60 3,88 4,35 4,25 4,27 3,86 3,54 4,15 3,85
Pengadaan Listrik dan Gas 1,60 -2,53 4,88 2,27 1,54 3,31 7,56 5,58 5,46 5,47 4,12 2,20 3,75 3,35
Pengadaan Air,
Pengelolaan Sampah, 4,39 3,66 4,82 5,52 4,60 3,65 3,94 6,20 7,92 5,46 8,95 8,34 4,66 7,28
Limbah dan Daur Ulang
Konstruksi 5,96 6,95 6,98 7,24 6,80 7,35 5,73 5,79 5,58 6,09 5,91 5,69 5,65 5,75
Informasi dan Komunikasi 10,48 11,06 8,82 8,27 9,63 7,76 5,11 8,14 7,17 7,04 9,06 9,60 9,15 9,27
PDB 5,01 5,01 5,06 5,19 5,07 5,06 5,27 5,17 5,18 5,17 5,07 5,05 5,02 5,04
Sumber: BPS
Jun
Jan
Jun
Jan
Jun
Mar
Apr
Mar
Apr
Mar
Apr
Feb
Feb
Feb
Okt
Okt
Okt
Mei
Jul
Ags
Des
Mei
Jul
Ags
Des
Mei
Jul
Ags
Nov
Nov
Nov
Sep
Sep
Sep
2017 2018 2019
Sumber: BPS
Berdasarkan realisasi inflasi terakhir, inflasi komponen volatile food secara kumulatif hingga
November 2019 mencapai 3,42 persen (ytd), lebih tinggi dibandingkan rata-rata 5 tahun
terakhir pada periode yang sama, yaitu sebesar 2,78 persen (ytd). Tekanan tersebut berasal
dari dampak kemarau panjang yang berpengaruh pada penurunan produktivitas tanaman
pangan secara umum. Secara tahunan pada November, inflasi komponen volatile food mencapai
5,02 persen (yoy) atau sama dengan rata-rata 5 tahun terakhir pada periode yang sama.
Sementara itu, inflasi komponen administered price masih melanjutkan tren menurun
seiring deflasi tarif angkutan udara. Selain karena faktor kebijakan Pemerintah dalam
pengaturan tarif dan berakhirnya masa Lebaran, tarif angkutan udara menunjukkan tren
penurunan karena masuknya periode low season sehingga permintaan masyarakat juga
menurun. Sementara itu, komoditas rokok memberikan tekanan pada komponen administered
price. Sumbangan inflasi terjadi pada seluruh jenis rokok, yaitu rokok kretek, kretek filter, dan
rokok putih. Kenaikan harga tersebut diperkirakan menjadi tindakan antisipasi para pedagang
seiring dengan rencana penerapan kenaikan cukai dan harga jual eceran yang akan diterapkan
pada Januari 2020. Hal ini ditujukan untuk menghindari kenaikan harga eceran yang terlalu
tinggi. Secara kumulatif, inflasi komponen administered price hingga November 2019 relatif
rendah pada tingkat -0,12 persen (ytd) atau 1,08 persen (yoy), jauh lebih rendah dibandingkan
November 2018 sebesar 2,13 persen (ytd) atau 3,07 persen (yoy).
Meredanya tekanan harga emas global mendorong penurunan inflasi inti. Sedikit meredanya
ketegangan perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok mampu menahan kenaikan harga
emas global lebih lanjut. Hal ini turut memengaruhi stabilnya harga emas perhiasan domestik
sejak Oktober. Selain itu, tekanan kenaikan biaya Pendidikan juga mulai mereda sejak bulan
Oktober seiring selesainya masa pergantian tahun ajaran baru tingkat pendidikan tinggi.
Namun, terdapat beberapa komoditas-komoditas yang memberikan tekanan sejak akhir
triwulan III, seperti nasi dengan lauk, mie, upah tukang bukan mandor, serta tarif sewa dan
kontrak rumah. Meningkatnya harga nasi dengan lauk merupakan dampak lanjutan dari
kenaikan yang sebelumnya terjadi pada bahan pangan. Penyelesaian proyek pekerjaan hingga
Sumber: BPS
5,40 5,28
3,61
3,30
2,30 2,17
1,60
0,90
0,60
0,10
Filipina Indonesia Malaysia Singapura Vietnam Myanmar Thailand Laos Kamboja Tiongkok
Sumber : Bloomberg
Secara absolut, kesempatan kerja baru yang tercipta sedikit lebih rendah dibandingkan dengan
penambahan angkatan kerja baru. Kesempatan kerja baru yang tercipta hanya sebesar 2,50 juta
atau lebih rendah sebesar 50 ribu dari penambahan angkatan kerja baru yang meningkat sebesar
2,55 juta orang. Sektor perdagangan memegang peranan terbesar dalam menciptakan
kesempatan kerja baru yakni sebesar 1,5 juta orang, yang kemudian diikuti oleh sektor jasa
kemasyarakatan (0,8 juta orang), dan sektor industri (0,7 juta orang). Sementara itu, kesempatan
kerja yang diciptakan oleh sektor konstruksi relatif kecil meski Pemerintah sedang giat
membangun infrastruktur dalam empat tahun terakhir.
Pada Agustus 2019, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan 0,40 persen
lapangan kerja baru, atau tambahan sekitar 495 ribu orang tenaga kerja. Secara rata-rata dalam
periode 2015-2019, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menciptakan 468 ribu
Dalam rangka mencapai TPT yang jauh lebih rendah, Pemerintah perlu memperkuat strategi
kebijakan cipta lapangan kerja guna menambah daya serap tenaga kerja di perekonomian.
Untuk menstimulus penyerapan tenaga kerja, Pemerintah akan fokus antara lain pada hal-hal
berikut: (1) pengembangan dan perbaikan pasar tenaga kerja untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi dan job creation, (2) peraturan ketenagakerjaan yang seimbang, (3) peningkatan kualitas
dan produktivitas tenaga kerja, (4) kesesuaian antara keterampilan pekerja dengan kebutuhan
dunia usaha (skill mismatch), dan (5) penyiapan SDM melalui pelatihan vokasi untuk up and re-
skilling.
Kinerja pendapatan negara tercatat masih tumbuh positif, kendati dibandingkan tahun
sebelumnya mengalami perlambatan. Hingga akhir November 2019, pendapatan negara
mampu mencatatkan pertumbuhan sebesar 0,9 persen (yoy). Secara spesifik, komponen
penerimaan perpajakan, kepabeanan dan cukai, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
mampu mencatatkan pertumbuhan, masing-masing sebesar 0,8 persen (yoy), 2,60 persen (yoy),
dan 3,44 persen (yoy). Ketiga komponen tersebut memberikan kontribusi atas positifnya
kinerja pendapatan negara.
10,6%
Rp 133,17 T growth y-o-y 2019 15,6%
PPh 21
11,7 %
growth y-o-y 2018 -1,5%
Rp 49,32 T
PPh 22 Impor 27,3%
4,3 %
16,6%
Rp 10,34 T
PPh OP 20,9%
0,9 %
1,2%
Rp 211,66 T
PPh Badan 22,1%
18,6 %
Rp 49,25 T -5,3%
PPh 26 15,3%
4,3 %
Rp 107,44 T 6,7%
PPh Final
9,5 % 9,4%
Pertumbuhan penerimaan perpajakan yang mencapai 0,80 persen (yoy) ditopang oleh
beberapa komponen perpajakan yang mengalami baik pertumbuhan positif maupun negatif.
Pertumbuhan positif didorong oleh peningkatan pada kinerja PPh nonmigas yang tumbuh
sebesar 4,07 persen (yoy). Tumbuhnya PPh nonmigas bersumber dari jenis pajak PPh Pasal
25/29 orang pribadi serta PPh Pasal 21, menunjukkan bahwa fundamental ketenagakerjaan di
Indonesia relatif stabil. Sementara itu, pertumbuhan negatif yang terjadi disebabkan pajak-
pajak atas impor yang secara umum mengalami kontraksi. Moderasi aktivitas impor ditambah
masih lemahnya harga komoditas di pasar global membuat kegiatan impor pun mengalami
penurunan. Lemahnya kinerja pajak impor sangat mempengaruhi pertumbuhan penerimaan
perpajakan, walaupun pada November 2019 masih mampu mencatatkan pertumbuhan yang
positif.
Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai terus melanjutkan tren positif dengan
pertumbuhan mencapai 2,60 persen (yoy). Pertumbuhan ini didorong oleh Cukai Hasil
Tembakau (CHT) memiliki porsi terbesar pada penerimaan cukai dan mampu mencatatkan
pertumbuhan sebesar 13,69 persen (yoy). Kebijakan relaksasi pelunasan pita cukai rokok serta
efektivitas program Penerbitan Cukai Berisiko Tinggi (PCBT) dalam mengurangi peredaran
rokok illegal berkontibusi besar atas kinerja penerimaan CHT. Di samping itu, penerimaan
cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) juga mampu tumbuh sebesar 15,49 persen
(yoy). Hal ini disebabkan kondusifnya pasar permintaan dari MMEA. Dua komponen ini
memberikan sumbangsih bagi pertumbuhan pada penerimaan kepabeanan dan cukai,
melanjutkan tren yang berlangsung sejak awal tahun.
Sejalan dengan penerimaan perpajakan serta kepabeanan dan cukai, PNBP mampu tumbuh
sebesar 3,44 persen (yoy). Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kinerja PNBP, yakni
penerimaan SDA serta Kekayaan Negara Dipisahkan (KND). Penerimaan SDA pada Bulan
November 2019 mencatatkan pertumbuhan negatif sebesar 9,22 persen (yoy). Hal ini
disebabkan penurunan harga komoditas pertambangan, seperti rata-rata ICP dan harga
batubara selama periode Januari-Oktober 2019. Sementara itu, komponen KND mampu
mencatatkan pertumbuhan 70,19 persen (yoy). Setoran sisa surplus Bank Indonesia pada Mei
2019 serta dividen BUMN yang terealisasi hingga November 2019 berandil besar dari
pertumbuhan signifikan pada komponen KND. Dapat disimpulkan, komponen KND
berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan PNBP, di tengah pelemahan harga komoditas
di pasar global.
Realisasi belanja negara hingga November 2019 masih menunjukkan kinerja positif dengan
total realisasi sebesar Rp2.046 triliun atau 83,1% terhadap APBN 2019. Kinerja ini didukung
oleh realisasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.293,2 triliun (79,1% terhadap APBN) dan
Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp752,8 triliun (91,1% terhadap APBN).
Secara nominal, realisasi belanja pemerintah pusat dan TKDD lebih tinggi dibanding tahun
2018 namun penyerapannya lebih rendah jika dibandingkan target APBN.
Kinerja realisasi belanja pemerintah pusat hingga November 2019 tercatat membaik
dibanding periode yang sama di 2018, terutama pada Belanja Kementerian/Lembaga (K/L).
Realisasi belanja K/L mencapai Rp717,8 triliun (83,9% terhadap APBN) atau tumbuh 7,7%
dibanding realisasi tahun sebelumnya. Perbaikan kinerja ini terutama ditopang oleh
peningkatan realisasi bantuan sosial, belanja pegawai, dan belanja barang, yang kemudian
berkontribusi pada perbaikan pertumbuhan konsumsi (baik konsumsi rumah tangga maupun
konsumsi pemerintah). Sementara realisasi belanja Non K/L hingga November 2019 tercatat
sebesar Rp575,4 triliun (73,9% terhadap APBN). Realisasi ini lebih rendah dibanding kinerja
November 2018 yang mencapai 92,1% terhadap APBN akibat dari menurunnya realisasi belanja
subsidi.
Hingga 30 November 2019, realisasi bantuan sosial (Bansos) telah mencapai Rp105,7 triliun
(108,9% terhadap APBN) atau tumbuh 44,1% dibanding realisasi November 2018. Peningkatan
realisasi Bansos ini mencerminkan komitmen dan keberpihakan pemerintah untuk menjaga
daya beli masyarakat berpendapatan rendah dan mengurangi kesenjangan, yaitu melalui
penyaluran Bansos dalam bentuk PKH, subsidi premi PBI JKN, BPNT, dan belanja Bansos
lainnya. Belanja pegawai tumbuh 12,1% dibanding realisasi November 2018, didorong oleh
kenaikan tunjangan kinerja atas capaian reformasi birokrasi beberapa K/L, kenaikan gaji
pokok, serta pencairan THR dan gaji ke-13. Realisasi belanja barang juga mampu tumbuh 1,4%
dibanding November 2018 antara lain untuk pelaksanaan dan pengawasan Pemilu, dukungan
pengadaan alutsista, fasilitas peningkatan kualitas rumah swadaya, dan preservasi
pemeliharaan rutin jalan nasional. Sementara realisasi belanja modal tumbuh negatif 6,8%
karena target di APBN 2019 yang lebih rendah dibanding APBN 2018. Selain itu, realisasi
belanja modal di 2019 juga masih menghadapi kendala penyelesaian ganti rugi pembebasan
lahan, payung hukum penugasan baru yang terbit di pertengahan 2019, serta gangguan
keamanan seperti di provinsi Papua dan Papua Barat.
Selain capaian output perlindungan sosial, atas belanja K/L yang telah terealisasi, pemerintah
telah menghasilkan progress dalam mencapai target output strategis K/L lainnya, yaitu
dalam bentuk infrastruktur (jalan baru, rel kereta api, jembatan), pendidikan (KIP, BOS,
Bidikmisi), kesehatan (JKN KIS, pencegahan stunting), dan ketahanan pangan (jaringan irigasi
tersier, produksi padi, cetak sawah baru). Di sisi lain, pemerintah juga tetap menjaga stabilitas
harga dan daya beli masyarakat untuk menjangkau barang-barang tertentu melalui
penyaluran belanja subsidi (energi dan non energi). Hingga 30 November 2019, realisasi belanja
subsidi mencapai Rp177,7 triliun atau 79,2% terhadap APBN, lebih rendah dibanding realisasi
Tabel 11. Kinerja Penyerapan Transfer ke Daerah dan Dana Desa hingga 30 November 2019
2017 2018 2019
Transfer ke Daerah dan Dana Desa Real s.d. %thd Real s.d. %thd Growth Real s.d. %thd Growth
APBN APBN
Nov APBN-P Nov APBN (%) Nov APBN (%)
1 Transfer ke Daerah 644.8 91.3 706.2 662.6 93.8 2.8 756.8 689.2 91.1 4.0
a. Dana Perimbangan 621.8 91.6 676.6 638.5 94.4 2.7 724.6 662.6 91.4 3.8
i. Dana Transfer Umum 468.8 94.9 490.7 478.1 97.4 2.0 524.2 496.1 94.6 3.8
1) Dana Bagi Hasil 70.9 74.4 89.2 76.8 86.1 8.3 106.4 75.3 70.8 (2.0)
2) Dana Alokasi Umum 397.8 99.8 401.5 401.2 99.9 0.9 417.9 420.8 100.7 4.9
ii. Dana Transfer Khusus 153.0 82.9 185.9 160.4 86.3 4.8 200.4 166.5 83.1 3.8
1) Dana Alokasi Khusus Fisik 50.3 72.3 62.4 48.8 78.2 (2.9) 69.3 47.9 69.1 (1.9)
2) Dana Alokasi Khusus Non Fisik 102.8 89.3 123.5 111.6 90.4 8.6 131.0 118.6 90.5 6.3
b. Dana I nsentif Daerah 7.5 100.0 8.5 8.1 95.3 7.6 10.0 9.7 96.8 20.0
c. Dana Otonomi Khusus dan 15.5 76.4 21.1 16.0 75.8 22.2 16.9 76.4
3.8 5.5
Penyesuaian
2 Dana Desa 55.0 91.6 60.0 54.4 90.7 (1.0) 70.0 63.6 90.9 16.9
JUMLAH 699.7 91.3 766.2 717.1 93.6 2.5 826.8 752.8 91.1 5.0
Realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sampai dengan November 2019 mampu
tumbuh 5,0% dibanding periode yang sama di 2018, dengan realisasi sebesar Rp752,8 triliun
atau 91,1% terhadap APBN. Realisasi Transfer ke Daerah (TKD) mampu tumbuh positif 4,0%
didorong oleh kinerja positif atas penyerapan Dana Insentif Daerah (DID), DAK Non Fisik, dan
Dana Alokasi Umum (DAU). Realisasi penyaluran DAK Fisik masih tumbuh negatif 1,9%.
Pemerintah melakukan pengetatan syarat penyaluran DAK Fisik untuk lebih memberikan
jaminan atas ketercapaian output DAK. Di sisi lain, realisasi Dana Desa berhasil tumbuh 16,9%
dibanding November 2018, atau lebih besar Rp9,2 triliun (dari Rp54,4 triliun menjadi Rp63,6
triliun), didorong oleh kenaikan penyaluran Dana Desa Tahap I dan II. Selain itu, Pemerintah
(Kementerian Keuangan, Kementerian PDTT, Kementerian Dalam Negeri) juga aktif
berkomunikasi dengan Pemerintah Daerah agar dapat segera memenuhi persyaratan demi
penyaluran TKDD yang lebih cepat dan menggunakan TKDD sesuai ketentuan agar dapat
berkontribusi dalam mengakselerasi ekonomi.
Realisasi pembiayaan anggaran hingga November 2019 mencapai Rp421 triliun, yang dikelola
untuk mengantisipasi risiko global dan tujuan investasi jangka panjang. Realisasi tersebut
mencapai 142 persen dari rencana dalam APBN 2019, serta tumbuh 21 persen dibanding
realisasi periode yang sama tahun 2018. Dilihat dari komponennya, realisasi pembiayaan utang
mencapai Rp442,9 triliun, yang antara lain terdiri dari penerbitan SBN (neto) sebesar Rp465,1
triliun. Penerbitan SBN tersebut tumbuh 25,9 persen dibanding realisasi periode yang sama
I. PEMBIAYAAN UTANG 444,8 96,4 399,2 363,7 91,1 (18,2) 359,3 442,9 123,3 21,8
a. Surat Berharga Negara (neto) 442,5 94,7 414,5 369,4 89,1 (16,5) 389,0 465,1 119,6 25,9
b. Pinjaman (neto) 2,3 (38,3) (15,3) (5,8) 37,6 (351,4) (29,7) (22,2) 74,7 285,4
II. PEMBIAYAAN INVESTASI (6,0) 10,0 (65,7) (15,6) 23,8 - (75,9) (22,4) 29,5 -
III. PEMBERIAN PINJAMAN 1,7 (46,6) (6,7) (0,3) 4,5 (117,6) (2,4) 0,4 (14,9) (216,1)
IV. KEWAJIBAN PENJAMINAN - - (1,1) - - - - - - -
V. PEMBIAYAAN LAINNYA 0,3 113,3 0,2 0,2 88,4 (52,4) 15,0 0,2 1,1 (1,7)
JUMLAH 440,9 111,0 325,9 347,9 106,7 (21,1) 296,0 421,0 142,2 21,0
Pembiayaan dikelola secara pruden dan produktif untuk menjaga keberlangsungan APBN.
Pengelolaan pinjaman terus diarahkan untuk mendukung produktivitas seperti untuk
perbaikan infrastruktur. Beberapa contoh realisasi pembiayaan dalam mendukung
infrastruktur ialah terwujudnya Jembatan Youtefa di Papua yang dibiayai dari dana Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp1,3 triliun. Pinjaman juga terus memprioritaskan
sumber dalam negeri untuk meminimalisir risiko seperti kurs. Sikap kehati-hatian Pemerintah
juga tercermin dari posisi utang yang pada akhir November 2019 sebesar Rp4.814,31 triliun,
atau sebesar 30,03 persen terhadap PDB. Tingkat utang masih berada jauh di bawah batas yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara yakni 60 persen terhadap PDB.
Pemerintah terus mendorong diversifikasi pembiayaan untuk menjaga keberlangsungan
pembangunan. Dari total Rp 4.814,31 triliun, sebesar 84 persen, atau Rp4.044,3 triliun
bersumber dari Surat Berharga Negara dan sisanya berasal dari pinjaman negara.
Secara teori, ukuran ekonomi sebuah negara dikaitkan dengan total barang dan jasa yang
diproduksi dalam setahun atau disebut juga Produk Domestik Bruto (PDB). Jadi, bagaimana cara
memproduksinya dan seberapa banyak jumlahnya akan berkaitan dengan produktivitas.
Secara sederhana, perbedaan produktivitas antarnegara dapat dilukiskan dengan nilai PDB per
kapita. Nilai PDB nominal Indonesia jauh lebih besar dibandingkan Singapura, Indonesia saat
ini berada di urutan ke-16 dunia untuk ukuran PDB, sedangkan Singapura hanya menempati
urutan ke-38. Namun secara produktivitas, Singapura jauh lebih tinggi di atas Indonesia karena
jumlah penduduknya yang jauh lebih sedikit dibandingkan Indonesia. Jadi, secara per kapita
PDB Singapura sebesar USD49.754 per tahun sebanding dengan lebih dari 12 kali output per
kapita Indonesia, yang hanya sebesar USD4.000 setahun. Artinya, seorang penduduk
Singapura (secara per kapita) dapat menghasilkan nilai barang dan jasa yang jauh lebih besar
dibandingkan seorang penduduk Indonesia dalam setahun.
Tingginya produktivitas akan menentukan standar hidup sebuah negara. Negara yang
memiliki produktivitas rendah cenderung memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi, derajat
kesehatan yang lebih rendah, dan kemampuan akademis yang juga lebih rendah. Sebagai
contoh di atas adalah Singapura yang menempati urutan tertinggi dalam kategori Human
Capital Index/HCI (indikator produktivitas antarnegara yang diterbitkan Bank Dunia dengan
melihat sisi kuantitas dan kualitas kesehatan, pendidikan, dan level ekonomi). Sementara itu,
Indonesia saat ini hanya menempati urutan ke-87 di HCI yang dikeluarkan oleh Bank Dunia.
Jadi, tingkat produktivitas Indonesia tertinggal cukup jauh jika dibandingkan dengan
Singapura.
Secara jumlah (kuantitas) penduduk Indonesia sangat besar, namun kualitas manusianya
masih relatif tertinggal. Potensi yang dimiliki Indonesia dalam bentuk populasi yang besar
harus disertai dengan peningkatan kualitas. Apalagi proyeksi ke depan yaitu di usia emas
Indonesia pada tahun 2045, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 319 juta orang. Di
tahun tersebut, Indonesia akan memiliki 47 persen penduduk yang berusia produktif, 73 persen
tinggal di perkotaan, dan 70 persen dari jumlah tersebut diperkirakan menjadi kelas menengah.
Beberapa lembaga juga memproyeksikan Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar
kelima dengan pendapatan per kapita mencapai USD23.199 pada tahun 2045.
Kinerja ekonomi nasional secara keseluruhan telah menunjukkan peningkatan yang sangat
signifikan dan lebih baik dibanding banyak negara. Enam tahun silam, Indonesia masuk dalam
10
8
6,20
6 5,00 5,05
0
Brazil Russia India China South Africa Indonesia
Sumber: Bloomberg
Salah satu faktor yang menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap stabil adalah konsumsi
rumah tangga, dimana sektor ini menyumbang 54,8 persen terhadap PDB. Namun demikian,
jika perekonomian hanya mengandalkan konsumsi rumah tangga, Indonesia tidak akan bisa
melompat lebih tinggi untuk cepat mengejar cita-cita menjadi negara maju. Rata-rata
pertumbuhan konsumsi rumah tangga dalam periode 2006-2018 adalah sebesar 5,06 persen.
Laju perekonomian dapat jauh lebih cepat jika Indonesia mampu meningkatkan peran investasi
dan ekspor. Saat ini masing-masing indikator tersebut hanya menyumbang PDB sebesar 32,8
persen dan 1,1 persen. Untuk dapat mendorong investasi dan ekspor berperan lebih besar, maka
faktor produktivitas dan daya saing menjadi kunci utama.
Investasi
(PMTB); Konsumsi RT
32.8% dan LNPRT;
54.8%
Konsumsi
Pemerintah
7.7%
Sementara itu, dari sisi lapangan usaha, transformasi yang terjadi tidak seperti yang
diharapkan karena pergeseran peran sektor pertanian ke sektor industri manufaktur terhenti
sejak tahun 2002. Padahal di periode-periode sebelumnya, peran sektor industri manufaktur
terus menguat dan menggeser peran sektor pertanian. Sektor industri manufaktur menjadi
penting untuk mengambil alih peran sektor pertanian karena pertumbuhan di sektor ini akan
dapat menciptakan nilai tambah yang tinggi. Sebetulnya, terjadi transformasi dari sektor
primer atau kegiatan ekonomi yang bersifat ekstraktif (pertanian) ke sektor non-primer (sektor
yang menghasilkan nilai tambah lebih tinggi dan melahirkan inovasi) seperti industri
manufaktur. Namun, ekonomi kita cenderung bergeser ke sektor jasa yang justru informal dan
dengan nilai tambah rendah.
10 8,2 7,8
7,5
6,4 6,2 6,0 6,3 6,0
5,7 5,5
5,6 5,0
6 2,8 3,7 2,8 4,7
4,9 4,5 4,8 5,0 4,9 5,0 5,1 5,2 4,6
3,6 1,8 2,1 2,1 0,5
3,5 0,6 1,1 1,3
3,0 3,6 2,8 2,2
1,0 3,2 2,3 1,2 1,8
2,9 3,4 4,0 4,0 3,7 3,0 3,2 2,8 2,9 2,9 3,0
2 0,8 2,2 2,7 2,6 3,0
1,0 1,6 1,9 3,0 3,1 3,0
0,1 0,7 0,9 1,0 1,0 2,0
-0,1 -0,1 1,1 1,5 -0,4 2,3
1,9 1,2 1,1 0,9 1,3 0,8 0,6 0,5 0,4 0,6 0,5 0,1 0,8 2,3 1,3 0,1
0,8 1,5 1,1 0,9
-2 -13,1 0,1
-15,4
-6
-10
-14
Labor Capital TFP GDP Growth
-18
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
Source: Nurwanda & Rifai (2018)
Dari sisi produktivitas tenaga kerja (labour productivity/LP), berdasarkan data Asian
Productivity Organization (APO), pertumbuhan LP Indonesia dalam periode 2010-2016 masih
tertinggal dari Filipina, Vietnam, Kamboja, dan Laos. Masing-masing LP negara tersebut
mampu tumbuh sebesar 3,8 persen, 4,5 persen, 4,9 persen, dan 5,3 persen, sedangkan LP
Indonesia hanya tumbuh sebesar 3,6 persen di periode yang sama. Selanjutnya, apabila kita
membagi PDB ke dalam tiga sektor yakni pertanian, industri manufaktur, dan jasa, maka tren
produktivitas tenaga kerja ketiga sektor dapat terlihat pada gambar di bawah ini. Ketiga LP
menunjukkan tren yang meningkat terutama untuk sektor pertanian.
Di sisi lain, output per tenaga kerja di industri manufaktur justru melemah pada tiga tahun
terakhir, padahal sebelum 2007 LP sektor ini terus meningkat dan mampu menyumbang nilai
tambah yang tinggi ke perekonomian. Ada dua indikasi yang dapat diambil dari tren yang
terjadi, pertama, dari sisi peran industri manufaktur terhadap PDB dan kedua, dari sisi
peralihan tenaga kerja ke sektor manufaktur. Industri manufaktur sempat mengalami
penguatan porsi di ekonomi hingga mencapai 29,1 persen terhadap total PDB sampai dengan
Grafik 38. (a) Gambar 3. Produktivitas Tenaga Kerja Tiga Sektor Ekonomi (harga konstan),
(b) Indeks Labour Productivity (harga konstan, 1990=100)
300 245
Juta Rp.
225
250
205
200
185
150
165
100
145
50
125
-
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
105
85
Pertanian Industri Manufaktur Jasa-jasa
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
Sumber: BPS, diolah penulis
Dari proporsi industri manufaktur yang tidak mencapai 20 persen terhadap PDB, sebagian
besar produknya didominasi oleh makanan dan minuman, tekstil dan garmen, kulit dan
sepatu, kayu, kertas, furnitur dan sebagainya yang merupakan kategori berteknologi rendah.
Komoditas tersebut menyumbang 47,2 persen terhadap total produk industri manufaktur
Indonesia. Selanjutnya, dapat dilihat juga dari tren ekspor produk industri manufaktur yang
semakin didominasi oleh produk dengan kategori teknologi rendah dengan bahan baku
produksi yang juga masih bergantung dari input luar negeri. Berdasarkan data UN Comtrade,
porsi ekspor kita untuk produk kategori teknologi menengah dan tinggi cenderung stagnan
yang masing-masing berada di sekitar 0,60 persen dan 0,35 persen terhadap ekspor global sejak
tahun 2003. Sebaliknya, peran ekspor produk industri kategori teknologi rendah justru dengan
tren meningkat, yakni dari 1,48 persen (2003) ke 2,26 persen (2018) terhadap total ekspor produk
industri dunia. Data ini menunjukkan kita lebih unggul di produk ekspor berteknologi rendah
Salah satu penyebab rendahnya tingkat produktivitas Indonesia tidak terlepas dari faktor
kualitas tenaga kerja dan bidang pekerjaan. Tingginya lapangan kerja informal cenderung
memberikan sumbangsih nilai tambah yang rendah di perekonomian. Telah berlangsung lama
sektor informal ini terus mendominasi dengan angka terakhir mencapai 57 persen dari
lapangan kerja yang tersedia. Tingginya sektor informal ini juga disebabkan oleh latar belakang
pendidikan tenaga kerja Indonesia yang masih relatif kurang memadai dimana tenaga kerja
berpendidikan SMP ke bawah mencapai 57,5 persen dari total pekerja. Sebesar 60,43 persen dari
total pekerja Indonesia juga dengan keterampilan dan keahlian yang masih rendah. Bila
dibedah lebih dalam, di sektor informal tenaga kerja dengan pendidikan SMP ke bawah masih
mendominasi dan mencapai 75,6 persen. Sementara sektor formal memiliki catatan statistik
yang lebih baik dimana tenaga kerja yang berpendidikan SMP ke bawah hanya sekitar 36,6
persen dari total tenaga kerja formal meskipun masih menempati porsi tertinggi dari total
pekerja di sektor ini.
Jika kondisi ini terus berlanjut dan tidak segera dibenahi maka pertumbuhan ekonomi
Indonesia dalam jangka panjang akan terhambat. Peningkatan produktivitas Indonesia ini
bukan hanya pekerjaan satu atau lima tahun saja tetapi harus terus dilakukan secara
berkesinambungan. Sudah saatnya yang menjadi subjek dan objek yang dibangun adalah
manusia Indonesia, dan membangun manusia adalah pekerjaan jangka panjang. Selain
membangun manusianya, Indonesia juga harus terus memperbaiki iklim usaha dan
infrastruktur sehingga mendukung pertumbuhan produktivitas yang lebih tinggi dan mampu
mendorong perbaikan daya saing. Pemerintah dalam hal ini tentu sudah menyadari aspek-
aspek apa saja yang harus diperhatikan untuk menopang produktivitas dalam jangka panjang
diantaranya sebagai berikut.
Pertama, Pemerintah tetap melanjutkan investasi di infrastruktur. Dalam lima tahun terakhir
pemerintah telah bekerja keras untuk membangun infrastruktur dasar dan pendukung
perbaikan aktivitas ekonomi, seperti transportasi (darat, laut, dan udara), infrastruktur energi,
infrastruktur teknologi dan digital (misalnya satelit). Investasi di infrastruktur juga akan
mendukung perluasan akses logistik, jasa telekomunikasi modern, dan ketercukupan energi
listrik yang pada akhirnya akan menopang pertumbuhan produktivitas penduduk dan
perusahaan.
Kedua, Presiden Joko Widodo telah menekankan penguatan di sumber daya manusia (SDM)
pada periode kedua pemerintahannya. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, Indonesia masih
memiliki pekerjaan rumah yang banyak untuk memperbaiki kualitas SDM. Kita harus mampu
menciptakan tenaga kerja yang memiliki keahlian dan keterampilan tinggi yang dapat dengan
cepat mengadopsi perkembangan teknologi. Selain itu, perlu strategi untuk mengalokasikan
penawaran dan permintaan tenaga kerja secara efisien sehingga tingkat produktivitas tenaga
kerja Indonesia juga dapat meningkat secara berkelanjutan.
Keempat, salah satu hambatan pelaku ekonomi untuk lebih produktif adalah terbatasnya
akses pendanaan. Oleh karena itu, Pemerintah perlu terus melakukan pendalaman sektor
keuangan sehingga tersedia akses pembiayaan yang lebih luas yang dapat digunakan oleh
pelaku ekonomi untuk melahirkan lebih banyak inovasi. Selain itu, akses pembiayaan yang
memadai akan mendukung juga pelaku ekonomi untuk mencapai produksi mendekati full
capacity (tingkat biaya produksi paling minimum). Dengan catatan, produk yang dihasilkan
juga dapat dipasarkan, sehingga mendorong peningkatan profit dan meningkatkan income.
Dalam hal ini, perluasan pasar ekspor menjadi salah satu strategi yang perlu terus diperkuat
oleh Pemerintah.
Terakhir, Pemerintah harus mampu menjalankan tata nilai pemerintahan yang baik (good
governance) dan menjaga stabilitas ekonomi makro dan politik. Ini adalah syarat penting
untuk dapat menjalankan keempat strategi peningkatan produktivitas di atas. Tanpa hal ini,
kebijakan yang diambil akan menjadi tidak efektif. Untuk itu, Pemerintah harus terus
bertransformasi menjadi lebih baik dalam melaksanakan tugasnya sebagai manajer negara.
Saat ini, sinergi antara pusat dan daerah masih menjadi pekerjaan rumah utama untuk terus
ditingkatkan agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah lebih efektif. Selanjutnya, dengan
stabilitas ekonomi dan politik, dunia bisnis akan mampu merencanakan aktivitas bisnisnya di
masa yang akan datang dan mengurangi risiko bisnis yang ada. Dengan demikian, dunia usaha
akan terus yakin berinvestasi untuk melahirkan output yang lebih besar dan terus melakukan
inovasi.
Kelima langkah di atas merupakan upaya reformasi struktural yang harus terus diupayakan
oleh Indonesia. Posisi EoDB yang relatif stagnan dalam dua tahun terakhir pada peringkat 72-
73 menjadi salah satu indikasi perlunya upaya yang lebih kuat dalam implementasi reformasi
ekonomi. Padahal di tahun 2014 – 2017, peringkat kemudahan usaha kita sempat meningkat
tajam, yang didorong oleh beberapa langkah reformasi penting, seperti perubahan rezim
subsidi energi, akselerasi infrastruktur, serta penyederhanaan perizinan. Saat inilah
momentum yang tepat untuk Indonesia dalam meningkatkan daya saing dan kemudahan
berusaha khususnya pada hal-hal yang masih menjadi hambatan struktural Indonesia.
Berdasarkan pengukuran dalam EoDB beberapa isu yang masih menjadi faktor penghambat
seperti Starting Business, Enforcing Contracts, Trading Across Border, Dealing with Construction
Permit, dan Registration Property. Sementara itu, dalam kacamata Global Competitiveness Index,
Indonesia harus terus memperkuat daya saing pada area kualitas sumber daya manusia