Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

INTEGRASI KEILMUAN DALAM KAJIAN ISLAM, POLITIK DAN DEMOKRASI


DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT
Disusun untuk memenuhi tugas Islam dan Ilmu Pengetahuan

Disusun Oleh :
Rihhadatul ‘Aisy (11211130000118)
Nurul Aulia (11211130000047)
Julia Ulvatmi (11211130000018)
Marra Santia Herwanti (11211130000054)
Muhammad Yozi Untoro (11211130000106)
Muhammad Nabil Aribkusuma (11211130000090)
Adib Ahmad Abdullah (11211130000081)
Adzraa Aqiilah Khansa S (11211130000112)
Rizky Aulia Nazarudin (11181110000043)
Aunurrofiq (11211130000073)

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Khoirun Nisa, MA.Pol.
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur atas nikmat dan rahmat yang telah diberikan Allah SWT karena
berkat karunianya penulis dapat menuntaskan penyusunan makalah yang berjudul “Integrasi
Keilmuan dalam Kajian Islam, Politik dan Demokrasi dalam Perspektif Islam dan Barat”
untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Ilmu Pengetahuan. Selain itu, penulis juga
berharap agar penyusunan makalah ini dapat menambah wawasan dan memperkuat daya
kritik pembaca terhadap perkembangan politik dan demokrasi antara perspektif Islam dan
Barat pada masa modern saat ini.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya berkat diberikannya tugas
penyusunan makalah ini. Tugas yang telah diberikan amat membantu penulis untuk menilik
lebih dalam mengenai bagaimana kita selaku umat islam dapat melihat perkembangan dan
integrasi ilmu politik dan demokrasi.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih jauh
dari kata sempurna baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran bagi semua pembaca guna menjadi acuan agar penulis
dapat lebih baik lagi dimasa mendatang.

Tangerang, 22 Mei 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3

BAB I 4

PENDAHULUAN 4
1.1 Argumentasi Urgensi 4
1.2 Tujuan Penulisan 4
1.3 Literature Review 5

BAB II 6

PEMBAHASAN 6
2.1 Pengertian Politik dan Demokrasi dalam Pandangan Islam dan Barat 6
2.2 Penjelasan Al Qur'an dan Hadits Mengenai Prinsip Berpolitik dan Berdemokrasi 7
2.3 Konsep Pembagian Kekuasaan Negara dalam Pandangan Islam dan Barat 14
2.4 Praktek Sistem Bernegara dalam Dunia Islam dan Barat 15
2.5 Diskursus Mengenai Implementasi Nilai-Nilai Keislaman (Syariat Islam) dalam 21
Sebuah Negara 21
2.6 Integrasi Keilmuan Antara Pandangan Islam dan Barat 24
2.7 Tokoh Muslim dalam Kajian Politik Islam dan Penjelasan Teorinya. 25
2.8 Pembahasan Artikel Ilmiah 29
POLITICAL ISLAM IN INDONESIA: Present and Future Trajectory. (oleh: Anies 29
Rasyid Baswedan) 29

BAB III 36

PENUTUP 36
3.1 Kesimpulan 36
3.2 Manfaat Penulisan 36

DAFTAR PUSTAKA 37

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Argumentasi Urgensi


Dalam kehidupan bernegara tentunya tidak lepas dengan perpolitikan, tidak ada
negara di dunia ini yang tidak menerapkan sistem perpolitikan dalam tata pemerintahannya,
termasuk Indonesia. Lantas mengapa politik itu penting dalam pemerintahan? Politik pada
dasarnya merupakan usaha untuk mencapai tujuan dalam hal ini kekuasaan baik perorangan
maupun kelompok. Partai politik sebagai sarana bagi individu-individu yang memiliki tujuan
dan misi yang sama setidaknya dalam meraih kekuasaan.
Indonesia sebagai negara yang memiliki cukup banyak partai politik, tentunya hal ini
merupakan pengimplementasian dari bentuk pemerintahan kita sendiri, yaitu demokrasi.
Dalam berdemokrasi setiap orang bebas dalam menentukan pilihan dan menyuarakan
pendapatnya, inilah mengapa partai politik dibentuk yaitu sebagai sarana untuk itu semua.
Indonesia juga sebagai negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, oleh karena itu
sudah sepatutnya kita sebagai muslim itu sendiri perlu menelisik lebih dalam mengenai islam,
politik dan demokrasi.
Seperti yang diketahui bahwa terdapat titik persamaan dan perbedaan antara prinsip
islam mengenai politik dan demokrasi, dengan demokrasi yang diterapkan pada zaman
kontemporer seperti saat ini. Sehingga integrasi antara perspektif Islam dan Barat terkait
politik dan demokrasi diperlukan adanya, sebab dengan integrasi diharapkan dapat
mendapatkan pemahaman yang memadai dan bisa mengambil tindakan yang sesuai. Selain
itu, konsep islam, politik dan demokrasi juga dapat berkembang dengan seimbang, sehingga
politik dan demokrasi tetap berjalan sesuai dengan zamannya tanpa meninggalkan nilai-nilai
keislaman.
Dalam makalah ini penulis akan mengkaji lebih lanjut mengenai islam, politik dan
demokrasi sekaligus mengintegrasikan topik tersebut ke dalam perspektif Islam dan Barat.

1.2 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini, sebagai berikut :
1. Dapat memahami pengertian konsep politik dan demokrasi
2. Dapat mengetahui dalil penjelasan Al-qur’an dan Hadits mengenai prinsip berpolitik
dan berdemokrasi
3. Dapat mengenal pembagian kekuasaan negara dalam perspektif islam dan barat

4
4. Dapat memahami praktek sistem bernegara dalam dunia Islam dan Barat
5. Dapat memahami diskursus mengenai implementasi nilai-nilai keislaman (syariat
islam) dalam sebuah negara
6. Dapat mendalami integrasi keilmuan sntsrs pandangan Islam dan Barat
7. Dapat mengetahui tokoh muslim dalam kajian politik islam dan penjelasan teorinya

1.3 Literature Review


Dalam proses pembuatan makalah, penulis menggunakan jurnal sebagai referensi
yang didapat dari jurnal online. Jurnal-jurnal yang kami dapat bertujuan untuk membantu
dalam pengkajian serta usaha mengintegrasikan islam, politik dan demokrasi yang menjadi
topik utama dalam makalah ini ke dalam perspektif islam dan Barat. Jurnal pertama yang
kami gunakan memiliki judul “Demokrasi dalam Pandangan Islam dan Barat” yang ditulis
oleh Afifa Rangkuti yang diterima pada tahun 2018 dan disetujui serta diterbitkan pada tahun
2019. Jurnal tersebut beranjak dari persoalan tentang pemahaman demokrasi yang saat ini
berlaku di Indonesia dalam prakteknya terdiri dari beberapa corak demokrasi perwakilan
yang satu sama lainnya memiliki perbedaan. Mulai dari era reformasi yang disebut sebagai
masa-masa meledaknya klaim kebebasan, dan harus diakui sesuatu yang berlebihan tidak
akan pernah baik, termasuk hal tersebut. Sehingga belajar dari keterpurukan pada masa lalu,
mendorong umat islam untuk bergerak secara dinamis dan progresif dalam
mengimplementasikan pesan dan ajaran yang telah disampaikan oleh Al-qur’an dan
mencontohkan tata cara seperti yang dipraktekkan Nabi pada zamannya. Menelaah demokrasi
menjadi penting karena terdapat relevansi dengan apa yang telah disampaikan di Al-qur’an
dan sunnah Nabi dan umat terdahulu dalam kehidupan bermasyarakat yang adil, sejahtera,
serta beradab. Adapun metode penelitian dalam jurnal ini adalah library research, dan hasil
penelitian pada jurnal ini yaitu sudah sepatutnya sebagai warga di negara yang berdemokrasi
dapat mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi tersebut dengan baik dan menyikapinya
dengan perbuatan yang positif.
Selanjutnya dalam mengkaji tokoh politik muslim dalam makalah ini serta
konsep-konsep apa yang digunakan penulis mengambil referensi dari jurnal online yang
berjudul “Filsafat Politik Al-Farabi” karya Abdullah said. Sesuai dengan judulnya disini
penulis mengambil tokoh politik muslim yaitu Al-Farabi, ia merupakan salah satu tokoh
islam yang menyumbangkan pikirannya ke dalam ilmu politik. Di jurnal ini akan dikaji lebih
mendalam lagi konsep-konsep dan pemikiran apa yang digunakan Al-Farabi dalam
membahas bentuk bentuk negara dan sistem kenegaraan.
5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Politik dan Demokrasi dalam Pandangan Islam dan Barat
Politik berasal dari bahasa Arab yaitu siyasah, yang selanjutnya kata ini
diterjemahkan menjadi siasat. Dalam al Muhth, siyasah berakar kata sasa-yasusu, dalam
kalimat tersebut sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti qama ‘alaihi wa radlaha wa
addabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). al siyasah juga berarti mengatur,
mengendalikan, mengurus atau membuat keputusan, mengatur kaum, pemerintah, dan
memimpinnya. Secara tersirat dalam pengertian siyasah terkandung dua dimensi yang
berkaitan satu sama lain yaitu:
- Tujuan yang hendak dicapai melalui proses pengendalian.
- Cara pengendalian menuju tujuan tersebut.
Dalam pandangan islam, politik adalah mengurus kemaslahatan umat manusia sesuai
syara’. Ibn A’qil sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Qayyim mengatakan bahwa politik
islam adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan
lebih jauh dari kemafsadatan sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan bahkan Allah
SWT tidak menentukannya.
Dalam bahasa Inggirs disebut politic, yang berarti cerdik dan bijaksana. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa kata politik diartikan sebagai
segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan
suatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga digunakan
sebagai nama bagi sebagai disiplin sebuah pengetahuan, yaitu ilmu politik.
Sedangkan pengertian daridemokrasi, secara etimologis demokrasi merupakan
gabungan antara dua kata dari bahasa Yunani, yaitu Demos yang berarti rakyat dan Cratein
atau Cratos yang berarti kekuasaan. Jadi secara terminologis demokrasi berarti kedaulatan
yang berada di tangan rakyat.. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat mengandung pengertian
bahwa sistem kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara di bawah kendali rakyat. Demokrasi
merupakan asas yang fundamental dalam pemerintahan. Pengertian demokrasi dilihat dari
pemikir para ahli barat antara lain:
● Joseph A. Shumpter, mengatakan bahwa demokrasi merupakan suatu perencanaan
institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh
kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.

6
● Sidney Hook, mengungkapkan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana
keputusan-keputusan pemerintahan yang penting secara langsung atau tidak langsung
didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat
dewasa.
● Henry B. Mayo, mengatakan bahwa demokrasi sebagai sistem politik merupakan
suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan
berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam
suasana terjaminnya kebebasan politik.
Dari beberapa pendapat yang telah diungkapkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa,
hakikat demokrasi dalam sistem pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan
kekuasaan di tangan rakyat, baik dalam pemerintahan maupun dalam penyelenggaraan
negara, yang mencakup tiga hal yaitu pemerintah dari rakyat (Government of the people),
kedua pemerintahan oleh rakyat (Government by people) dan yang ketiga pemerintahan untuk
rakyat (Government by people).

2.2 Penjelasan Al Qur'an dan Hadits Mengenai Prinsip Berpolitik dan Berdemokrasi
Sesungguhnya dalam Islam, perihal prinsip berpolitik dan berdemokrasi telah
disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits yang kemudian dari zaman Rasulullah SAW sudah
mulai dipraktekan prinsip tersebut melalui sistem yang disebut dengan musyawarah. Sebagai
penduduk yang berada di negara dengan menganut bentuk Pemerintahan demokrasi, baik
secara langsung maupun tidak langsung turut mengimplementasikan prinsip demokrasi
dalam tatanan aktivitas serta kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Meski dalam
pelaksanaan prinsip politik dan demokrasi yang ada saat ini belum bisa secara sempurna
sesuai dengan ketentuan yang ada pada Al-qur’an dan Hadits.
Adapun prinsip-prinsip Islam yang berkaitan dengan nilai serta konsep dari politik
dan demokrasi, sebagai berikut:
1. As-Syura’ atau Musyawarah
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang berkaitan dengan musyawarah yaitu QS. Ali Imran
159 :

‫هّٰللا‬
‫ف َع ْنهُ ْم َوا ْستَ ْغفِرْ لَهُ ْم‬ َ ِ‫ب اَل ْنفَضُّ وْ ا ِم ْن َحوْ ل‬
ُ ‫ك ۖ فَا ْع‬ ِ ‫فَبِ َما َرحْ َم ٍة ِّمنَ ِ لِ ْنتَ لَهُ ْم ۚ َولَوْ ُك ْنتَ فَظًّا َغلِ ْيظَ ْالقَ ْل‬
َ‫اورْ هُ ْم فِى ااْل َ ْم ۚ ِر فَاِ َذا َع َز ْمتَ فَتَ َو َّكلْ َعلَى هّٰللا ِ ۗ اِ َّن هّٰللا َ ي ُِحبُّ ْال ُمتَ َو ِّكلِ ْين‬
ِ ‫َو َش‬

7
Artinya :
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila
engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah
mencintai orang yang bertawakal (Qs. Ali-Imran: 159).
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa, Pemerintah sebagai pemegang
kebijakan dan pemangku jabatan seharusnya bisa berbaur dan memahami kehendak
rakyat dengan dilandaskan pada kebesaran hati, keadilan, kasih sayang serta
kelembutan. Pemerintah yang menjadi wakil rakyat sepatutnya bisa mengambil jalan
musyawarah untuk penyelesaian persoalan agar aspirasi rakyat dapat tersampaikan
dengan tujuan rakyat mendapat jaminan agar bisa hidup dengan layak dan makmur.1
Selain QS. Al-Imran ayat 159, terdapat QS. Al-Syura ayat 38 dan Al-Baqarah ayat 233
yang juga menjelaskan tentang musyawarah.
Rasulullah SAW ketika menyelesaikan persoalan yang bersangkutan dengan
masyarakatnya, beliau juga seringkali menggunakan musyawarah dalam mengambil
keputusan dengan tujuan meneguhkan hati para sahabatnya sekaligus mengajarkan
perlunya melakukan musyawarah bagi manusia.2 Seperti di dalam hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah :
)‫لم يكن احد اكثر مشورة ألصحابه من رسول هللا صلى هللا عليه وسلم (رواه الترمذي‬
Artinya :
Tidak ada seorangpun yang lebih banyak melakukan musyawarah dengan
sahabatnya dibandingkan dengan Rasûlulâh saw. (HR. al-Tirmidzî)
Musyawarah yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW tersebut dapat
dikatakan bahwa musyawarah adalah satu cara untuk mengkaji dan menelaah jalan
keluar yang ada hubungannya dengan topik yang sedang dimusyawarahkan. Beranjak
dari kejadian tersebut, para khalifah juga menerapkan musyawarah, seperti Abu Bakar
yang mengadakan musyawarah sebelum pada akhirnya mengambil jalan untuk perang
melawan para pembangkang saat itu, Khalifah Umar bin Khattab juga turut melakukan

1
Rangkuti, A. 2018. “Demokrasi dalam Pandangan Islam dan Barat”. Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 5(2),
hlm. 50.
2
Saladin, B. 2018. “Prinsip Musyawarah Dalam Al Qur’an”. el-'Umdah, 1(2), hlm. 119.
8
musyawarah ketika menjadi pemimpin untuk menyelesaikan perihal mulai dari
pemerintahan bahkan kemiliteran.3

2. Al-’Adalah atau Keadilan


Prinsip berpolitik dan berdemokrasi dalam Islam sangat erat kaitannya adalah
keadilan. Karena keadilan merupakan prinsip yang fundamental keberadaannya untuk
ditegakkan, baik dalam Islam maupun berpolitik dan berdemokrasi. Dalam Al-qur’an
dengan tegas Allah SWT telah menyuruh umat-Nya untuk berlaku adil dan menegakkan
keadilan,4 yaitu dalam QS. An-Nisa ayat 58 :

‫اس اَ ْن تَحْ ُك ُموْ ا بِ ْال َع ْد ِل ۗ اِ َّن هّٰللا َ نِ ِع َّما‬ ۙ ٓ ‫ا َّن هّٰللا يْأم ُر ُكم اَ ْن تَُؤ ُّدوا ااْل َمٰ ٰن‬
ِ َّ‫ت اِ ٰلى اَ ْهلِهَا َواِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬
ِ ْ ُ َ َ ِ
‫هّٰللا‬
ِ َ‫يَ ِعظُ ُك ْم بِ ٖه ۗ اِ َّن َ َكانَ َس ِم ْيع ًۢا ب‬
‫ص ْيرًا‬

Artinya :
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya
kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.
(QS.An-Nisa ayat 58).
Serta di dalam QS. An-Nisa ayat 135 :
‫ْط ُشهَد َۤا َء هّٰلِل ِ َولَوْ ع َٰلٓى اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ِو ْال َوالِ َدي ِْن َوااْل َ ْق َربِ ْينَ ۚ اِ ْن يَّ ُك ْن َغنِيًّا اَوْ فَقِ ْيرًا‬
ِ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ُكوْ نُوْ ا قَ َّوا ِم ْينَ بِ ْالقِس‬
‫ْرضُوْ ا فَاِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ َخبِ ْيرًا‬ ۗ ٰ ‫هّٰلل‬
ِ ‫فَا ُ اَوْ لى بِ ِه َما فَاَل تَتَّبِعُوا ْالهَ ٰ ٓوى اَ ْن تَ ْع ِدلُوْ ا ۚ َواِ ْن ت َْل ٗ ٓوا اَوْ تُع‬

Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi
karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan
kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih
ftahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan

3
Ibid, hlm. 120.
4
Istiqlaliyah, N. 2019. “Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Alquran: studi tematik atas Ayat-Ayat Shura dan
Kontekstualisasinya di Indonesia” (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya), hlm 79.
9
(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Teliti
terhadap segala apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa ayat 135)
Dari kedua ayat tersebut telah dipaparkan bahwasannya Allah SWT
telah memerintahkan setiap manusia untuk bersikap adil dan menegakkan
keadilan. Apalagi seorang pemimpin secara khusus dan pemerintah secara umum,
sudah seharusnya dapat menerapkan kebijakan secara adil atau tidak berat
sebelah, dan semestinya memperhatikan kepentingan umum dan membelakangi
kepentingan pribadi atau golongan. Dalam implementasi sikap adil sepatutnya
dijalankan dengan penuh 'kesadaran, dengan berasaskan yang telah ditentukan
oleh Al-qur’an dan Hadits agar terhindar dari sikap lalai dan pilih kasih karena hal
tersebut tidak disukai oleh Allah SWT bahkan dapat terjerumus ke dalam
kedzaliman.5

3. Al-Amanah atau Memenuhi Kepercayaan dan Al-Masuliyyah atau tanggung jawab


Prinsip islam dalam hal politik dan demokrasi selanjutnya adalah prinsip
Al-Amanah atau Memenuhi Kepercayaan dan Al-Masuliyyah atau tanggung jawab.
Dalam QS. An-Nisa ayat 58, Allah SWT telah menyuruh manusia untuk menerapkan
sikap amanah, sebagai berikut :

‫اس اَ ْن تَحْ ُك ُموْ ا بِ ْال َع ْد ِل ۗ اِ َّن هّٰللا َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُك ْم بِ ٖه ۗ اِ َّن‬ ۙ ٓ ‫ا َّن هّٰللا يْأم ُر ُكم اَ ْن تَُؤ ُّدوا ااْل َمٰ ٰن‬
ِ َّ‫ت اِ ٰلى اَ ْهلِهَا َواِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَ ْينَ الن‬
ِ ْ ُ َ َ ِ
‫هّٰللا‬
‫ص ْيرًا‬ِ َ‫َ َكانَ َس ِم ْيع ًۢا ب‬
Artinya:
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran
kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS. An-Nisa ayat 58).
Dalam ayat tersebut tidak hanya menjelaskan tentang pentingnya bersikap adil
melainkan juga telah menyampaikan mengenai perihal fundamentalnya untuk bersikap
amanah dalam aktivitas berpolitik dan berdemokrasi, yang mana sikap tersebut harus
dimiliki oleh setiap manusia terlebih seorang pemimpin. Karena salah satu sikap
kepemimpinan adalah amanah yaitu pemimpin harus melaksanakan segala hal yang telah

5
Ibid, hlm. 80.
10
diamanatkan oleh rakyat. Selain sikap amanah, sikap tanggung jawab juga harus turut
berjalan beriringan. Sebagaimana dalam Hadits Nabi SAW yang telah diriwayatkan dari
Abdullah bin ‘Umar.
)‫كلكم راع وكلكم مسؤول عن راعيته ( رواه احمد‬
Artinya:
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban
tentang kepemimpinannya (HR. Ahmad)
Dalam hadits diatas telah menyebutkan bahwa manusia sebagai khalifah atau
pemimpin di bumi sebetulnya akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah
dilakukan saat hidup di bumi. Dalam demokrasi, pemimpin yang memangku jabatan
telah mengembang amanat yang diberikan oleh rakyat, sehingga pemimpin harus
mengambil kebijakan dan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan baik kepada
Allah SWT maupun kepada Ahl al-Hall wa al-`Aqd dan seluruh rakyatnya.6

4. Al-Musawah atau kesetaraan


Islam telah mengajarkan manusia untuk berlaku adil dan setara terlepas apapun
latar belakangnya dan yang dapat membedakan satu orang dengan yang lainnya
hanyalah. Karena dengan beragamnya perbedaan yang hidup di masyarakat bahkan di
bumi, membuat prinsip ini menjadi hal yang penting untuk dipelihara dan
diimplementasikan. Prinsip keadilan dan kesetaraan menjadi satu kesatuan yang harus
saling melengkapi, terlebih dalam kegiatan politik dan demokrasi.7 Ayat yang
menjelaskan terkait hal tersebut ialah QS. Al-Hujurat ayat 13 yaitu sebagai berikut :
‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا َخلَ ْق ٰن ُك ْم ِّم ْن َذ َك ٍر َّواُ ْن ٰثى َو َج َع ْل ٰن ُك ْم ُشعُوْ بًا َّوقَبَ ۤا ِٕى َل لِتَ َعا َرفُوْ ا ۚ اِ َّن اَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هّٰللا اَ ْت ٰقى ُك ْم ۗاِ َّن هّٰللا َ َعلِ ْي ٌم‬
‫َخبِيْر‬
Artinya :
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.
(QS. Al-Hujurat ayat 13).
Konsep politik dan demokrasi yang memberlakukan hak setara untuk seluruh
rakyat apapun latar belakangnya ketika dihadapan hukum. Sehingga hal tersebut sejalan

6
Saladin, B. 2018. “Prinsip Musyawarah Dalam Al Qur’an”. el-'Umdah, 1(2), hlm. 126.
7
Op.Cit, hlm. 81.
11
dengan prinsip islam yaitu Al-Musawah atau kesetaraan, karena islam melarang
umat-Nya untuk melakukan diskriminasi dan memandang perbedaan sebagai hal yang
harus bersatu padu karena pada hakikatnya manusia adalah sama dan harus memiliki
kesamaan dalam setiap kesempatan.8 Terdapat hadits Nabi SAW yang berkaitan dengan
prinsip kesetaraan tersebut, yaitu sebagai berikut:
“Tidak ada kelebihan orang Arab atas non arab, kulit putih atas kulit hitam, kecuali
taqwanya” (HR. Bukhari).
Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwa Islam mengakui manusia tidak hanya
terdiri dari satu golongan melainkan manusia juga terdiri dari beragam perbedaan yaitu
berbagai ras, agama, suku, bangsa, budaya dan lain sebagainya. Islam juga turut
mendukung adanya pluralisme, yaitu dengan mengakui adanya keberagaman tetapi dapat
hidup secara berdampingan dengan mengindahkan perbedaan tersebut dengan
menempatkan kedudukan yang setara (egaliter) dan prinsip ini juga diimplementasikan
dalam prinsip berpolitik dan berdemokrasi.9

5. Al-Hurriyah atau kebebasan


Prinsip kebebasan yang menjadi dasar dalam berpolitik dan berdemokrasi
yakni kebebasan beragama, berpendapat, berkumpul, bersuara, memilih dan memberikan
hak suaranya tanpa adanya pasangan dan ancaman dari pihak manapun. Kebebasan yang
menjadi hak di dalam Hak Asasi Manusia juga secara langsung dalam aktivitas politik
dan demokrasi hak tersebut harus ditegakkan, tetapi hak tersebut tetap dibatasi oleh
peraturan perundang-undangan. Prinsip kebebasan ini juga memiliki keterkaitan yang
kuat dengan prinsip keadilan dan kesetaraan.10 Di dalam Islam, prinsip kebebasan ini
mencakup kebebasan beragama dan berpikir, dimana Rasulullah SAW tidak pernah
memaksakan suatu kaum atau perorangan untuk memeluk agama Islam atau ikut
ajarannya. Dan kebebasan berpikir tersebut memiliki makna bahwa sebagai manusia
yang diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT tidak boleh diganggu dan dipaksakan. 11
Konteks prinsip kebebasan beragama telah beberapa kali diulang dalam ayat Al-qur’an,
salah satunya QS. Al-Baqarah ayat 256 :

8
Zulhamdi, Z. 2019. “DEMOKRASI DALAM TEORI POLITIK ISLAM”. Syarah: Jurnal Hukum Islam dan
Ekonomi, 8(2), hlm. 134.
9
Ibid, hlm. 135.
10
Istiqlaliyah, N. 2019. “Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Alquran: studi tematik atas Ayat-Ayat Shura dan
Kontekstualisasinya di Indonesia” (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya), hlm. 82
11
Op.Cit. hlm 136.
12
َ ‫ت َويُْؤ ِم ۢ ْن بِاهّٰلل ِ فَقَ ِد ا ْستَ ْم َس‬
‫ك بِ ْالعُرْ َو ِة ْال ُو ْث ٰقى اَل‬ ِ ْ‫َي ۚ فَ َم ْن يَّ ْكفُرْ بِالطَّا ُغو‬
ِّ ‫ٓاَل اِ ْك َراهَ فِى ال ِّدي ۗ ِْن قَ ْد تَّبَيَّنَ الرُّ ْش ُد ِمنَ ْالغ‬
‫صا َم لَهَا ۗ َوهّٰللا ُ َس ِم ْي ٌع َعلِ ْي ٌم‬
َ ِ‫ا ْنف‬
Artinya:
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas
(perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar
kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh)
pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui. (QS. Al-Baqarah ayat 256 ).
Al-qur’an juga turut menjelaskan tentang konteks prinsip kebebasan berpikir, yaitu
dalam QS. Ar-Ra’ad ayat 4.
ِ ‫ان يُّس ْٰقى بِ َم ۤا ٍء َّو‬
‫اح ۙ ٍد َّونُفَضِّ ُل‬ ٍ ‫ص ْن َو‬ ٌ ‫ص ْن َو‬
ِ ‫ان َّو َغ ْي ُر‬ ِ ‫ع َّون َِخ ْي ٌل‬ ٌ ْ‫ب َّوزَر‬ ٍ ‫ت ِّم ْن اَ ْعنَا‬ ٌ ّ‫ت َّو َج ٰن‬ ِ ْ‫َوفِى ااْل َر‬
ٌ ‫ض قِطَ ٌع ُّمت َٰج ِو ٰر‬
َ‫ت لِّقَوْ ٍم يَّ ْعقِلُوْ ن‬ َ ِ‫ْض فِى ااْل ُ ُك ۗ ِل اِ َّن فِ ْي ٰذل‬
ٍ ‫ك اَل ٰ ٰي‬ ٰ
ٍ ‫ضهَا عَلى بَع‬ َ ‫بَ ْع‬

Artinya:
Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan, kebun-kebun anggur,
tanaman-tanaman, pohon kurma yang bercabang, dan yang tidak bercabang; disirami
dengan air yang sama, tetapi Kami lebihkan tanaman yang satu dari yang lainnya dalam
hal rasanya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi orang-orang yang mengerti. (QS. Ar-Ra’ad ayat 4)
Kedua ayat tersebut menyebutkan konteks terkait prinsip kebebasan beragama
dan berpikir. Namun, harus diingat kembali bahwa kebebasan yang dimiliki oleh setiap
orang dibatasi oleh kebebasan orang lain dan tidak mengganggu kepentingan khalayak
umum dan setiap sikap kebebasan harus disertai dengan tindakan yang bertanggung
jawab. Dengan demikian, dalam kegiatan berpolitik dan berdemokrasi menghargai setiap
kebebasan yang dimiliki oleh individu, dan di dalam islam pun turut membahas
mengenai hal tersebut, maka penting dalam proses berpolitik dan berdemokrasi
menyertakan prinsip Al-Hurriyah atau kebebasan. 12

12
Ibid.
13
2.3 Konsep Pembagian Kekuasaan Negara dalam Pandangan Islam dan Barat
Konsep Pembagian kekuasaan adalah sistem dimana kekuasaan dibagi-bagi sehingga
dapat tercipta nya sistem checks and balance kepada satu sama lain untuk mencegah satu
orang atau kelompok memiliki banyak kekuasaan dan menyalahgunakan kekuasaanya.

1. Konsep Pembagian Kekuasaan Negara Dalam Pandangan Barat


Dalam pandangan barat terkenal dengan istilah Trias Politica yaitu istilah
pembagian kekuasaan yang dibagi menjadi 3 yaitu Eksekutif, Legislatif, dan
Yudikatif. Trias Politika adalah prinsip bahwa kekuasaan-kekuasaan tidak diberikan
kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan.
Pemikiran ini awal nya dimunculkan oleh John Locke dan Montesquieu, John
Locke di bukunya yang berjudul Two Treaties on Civil Government (1690) yang berisi
tentang kritik atas kekuasaan absolut, kemudian pada tahun 1748 filsuf Prancis yang
bernama Montesquieu memperkembangkan pemikiran John Locke dalam bukunya
berjudul L'Esprit des Lois, Ia melihat sifat despotis dari raja-raja dinasti Bourbon.13
Pada abad ke-20 pemikiran Trias Politika berkembang bukan hanya menjadi
pemisahan kekuasaan namun menjadi pembagian kekuasaan, karena perkembangan
sosial dan ekonomi yang menjadi kompleks, asas bahwa setiap badan kenegaraan
yang dapat satu fungsi saja tidak bakal berfungsi, oleh karena itu pemikiran ini
berkembang contoh nya seperti eksekutif tidak hanya bertugas di sebagai pelaksana
undang-undang yang diterima oleh legislative, tetapi bergerak secara aktif juga di
legislatif sendiri.14

2. Konsep Pembagian Kekuasaan Negara Dalam Pandangan Islam


Semenjak terciptanya kekhalifahan Rasyidin kekuasaan pemerintahan
didominasi oleh eksekutif yaitu khalifah. Khalifah memiliki tugas sebagai kepala
negara, ia mengurusi permasalahan negara dan agama, kemudian Khalifah akan
mendelegasikan tugas-tugas negara ke Menteri, Gubernur, dan Hakim, setelah itu
mereka akan diberikan wewenang kekuasaan oleh Khalifah atau Sultan.15 Terdapat
dua jenis Menteri yaitu wazīr al-tafwīḍ atau Perdana Menteri, posisi ini memiliki

13
Miriam Budiarjo, “Perkembangan Konsep Trias Politika: Pemisahan Kekuasaan Menjadi Pembagian
Kekuasaan,” in Dasar-Dasar Ilmu Politik (PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), pp. 281-283.
14
Ibid, hlm. 286
15
Kamali, M. H. (2014). Separation of powers: An islamic perspective. ICR Journal, 5(4), 472–474.
https://doi.org/10.52282/icr.v5i4.370
14
kekuasaan politik dan juga mengambil inisiatif kemudian membuat keputusan di
semua bidang pemerintahan, setelah itu terdapat wazīr al-tanfīdh, Menteri ini
mendapatkan perintah langsung dari Perdana Menteri dan melaksanakan
perintahnya.16
Setelah itu terdapat istilah Amir atau bisa disebut sebagai gubernur atau
penguasa daerah, amir memiliki tugas untuk menjaga kestabilan di tempat daerah
yang ditugaskannya ia juga menjadi pemimpin di daerah yang ditugaskan dan
menjalankan amanat yang diberikan oleh Khalifah atau Sultan, Amir juga diberikan
kewenangan untuk memiliki tentara nya sendiri.

2.4 Praktek Sistem Bernegara dalam Dunia Islam dan Barat


1. Relasi Islam dan Negara
Tafsir mengenai hubungan Islam dan negara di kalangan umat Islam sampai sekarang
terbagi dalam tiga aliran.17 Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam bukanlah
semata-mata agama dalam pengertian Barat, yaitu hanya menyangkut hubungan manusia dan
Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan
bagi segala aspek kehidupan termasuk kehidupan politik. Para pendukung aliran ini
berpendapat bahwa (1) Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat
pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karena itu, dalam bernegara umat
Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan
jangan meniru ketatanegaraan Barat; (2) Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang
diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. dan empat
al-Khulafa’ar-Rasyidun. Tokoh-tokoh utama dari aliran ini antara lain Hasan al-Banna,
Sayyid Qutb, Muhammad Rasyid Rida dan al-Maududi. Aliran ini sering disebut dengan
aliran tradisionlis.18

Aliran yang kedua adalah aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini
Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan
tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi
budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah diutus dimaksudkan untuk mendirikan dan

16
ibid.
17
Nasaruddn Umar, “Kata Pengantar Editor” dalam Abd. Muin Salim, Fikih Siyasah Konsepsi Kekuasaan
Politik dalam Al-Qur’an (Jakarta: LSIK, 1994), h. v.
18
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran dan Sejarah Pemikirannya (Jakarta: UI Press, 1993), h. 1.
15
mengepalai satu negara. Tokoh-tokoh terkemuka dari aliran ini antara lain Ali ‘Abd ar-Raziq
dan Taha Husain. Aliran ini sering dinamakan aliran sekularis. 19

Aliran yang ketiga adalah aliran yang menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu
agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Akan
tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat
yang hanya mengatur bungan manusia dan Tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam
tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi
kehidupan bernegara. Di antara tokoh dalam aliran ini yang menonjol adalah Muhammad
Husein Haikal. Aliran yang ketiga ini dinamakan aliran modernis atau aliran substansialis. 20

Al-Qur’an memang tidak merumuskan secara konseptual apa itu negara dan bagaimana
bentuk suatu negara, namun ada beberapa term yang bisa dijelaskan untuk menjelaskan
komponen komponen suatu negara antara lain:

A. Balad (negeri atau tanah air);


Kata balad dalam Al-Qur’an, dengan segala derivasinya terulang sebanyak sembilan belas
kali.21 Sebagian berkaitan dengan permohonan Nabi Ibrahim a.s. agar negeri yang ditempati
menjadi negeri yang aman (QS. Al-Baqarah [2]:126), dan juga pentingnya memiliki cita-cita
mulia akan adanya negara yang baik di bawah ampunan Allah swt. (QS. Saba’ [34]:15).
Sebagian lain berkaitan dengan sumpah Allah Swt dengan balad negeri (QS. At-Tin [96]: 3),
dan sebagian lagi berbicara tentang orang-orang kafir yang berbuat zalim di suatu negeri
(Fajr [89]:8) dan lain sebagainya. Apapun konteks penyebutan kata balad atau baldah dalam
Al-Qur’an, yang jelas semuanya bermuara pada pengertian bahwa kata balad atau baldah
adalah daerah, tempat, kota, negeri, negara, kampung atau wilayah tertentu. Dalam konteks
kehidupan bernegara, jelas bahwa keberadaan wilayah atau tanah air menjadi suatu
keniscayaan bagi tegaknya suatu bangsa dan negara.

Menurut Ibnu Faris dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah, secara bahasa kata baldah berarti
dada. Jika dikatakan wada’at an-naqah baldataha bi al-ard, ai sadraha; artinya onta itu
meletakkan (menderumkan) dadanya di tanah. Dari makna asal, maka secara semantik, setiap
tempat, negeri atau wilayah yang dijadkan tempat tinggal disebut sebagai baldah. Dari kata
baldah muncul kata taballada dan mubaladah yang bisa berarti “berperang” untuk membela

19
Ibid.
20
Ibid.
21
Ibid., h. 70
16
dan mempertahankan tanah air yang ditempati.22 Seolah mereka harus berani pasang dada
(baldah) untuk membela negaranya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa term al-balad
dan al-baldah dalam Al-Qur’an agaknya mengandung pesan adanya kecintaan terhadap tanah
air atau negeri yang menuntut penduduknya untuk membela dan mempertahankan
hak-haknya dari siapa saja yang hendak merenggutnya.

B. Sya‘b (bangsa)
Dalam al-Qur’an kata sya‘b disebut sekali dalam bentuk plural, yakni syu‘ub
sebagaimana dalam QS. Al-Hujurat [49]:13. Pada mulanya kata tersebut bermakna cabang
dan rumpun, sebab bangsa sesungguhnya merupakan suatu rumpun kelompok kabilah
tertentu yang tinggal di wilayah tertentu.

Suatu bangsa terbentuk biasanya karena ada unsur-unsur persamaan, seperti asal-usul
Keturunan, sejara, suku, ras, cita-cita meraih masa depan. Hal ini sejalan dengan teori Ibnu
Khaldun dalam muqaddimahnya, bahwa asal-usul negara bangsa adalah adanya kebersamaan
dalam kelompok. Menurut Ibnu khaldun hal itu timbul secara alamiah dalam kehidupan
manusia yang dikaitkan dengan adanya pertalian darah ataupun karena pertalian klan. Yang ia
maksudkan dengan ‘as}abiyyah adalah “rasa cinta” setiap orang terhadap nasabnya atau
golongannya yang diciptakan Allah di hati setiap hamba-hambaNya. Perasaan cinta kasih
tersebut teraktualisasi dalam perasaan senasib dan sepenanggungan, harga diri, kesetiaan,
kerjasama dan saling bantu di antara mereka dalam menghadapi berbagai ancaman terhadap
mereka, ataupun musibah yang menimpanya. Pertalian yang demikian melahirkan persatuan
dan pergaulan (al-ittihad wa al-iltiham).23

Walaupun, Islam memang tidak memberikan ketentuan yang tegas dan rinci
bagaimana sistem pemerintahan suatu negara dibentuk, apakah sistem republik, sistem
khilafah, imamah, monarki, otoriter atau demokrasi. Islam lebih menekankan bagaimana
sebuah sistem itu mampu melahirkan dan mengantarkan suatu bangsa ke dalam suasana adil
dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan, bebas dari tekanan tirani mayoritas
terhadap minoritas. Dengan kata lain meminjam bahasa Al Qur'an, yang penting adalah
bagaimana pemerintahan itu mampu mengantarkan pemerintahan itu menuju baldah
thayyibah wa Rabb ghafur (QS. Saba’[34]:15). Sedangkan bentuk pemerintahannya

22
Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis fi al-Lughah (Beirut: Dar al-Ihya alTuras al-‘Arabi 2001), h. 136-137.
23
Saiful Jihad “Ashabiyah dari Filsafat Sejarah ke Filsafat Politik: Telaah atas Kitab Muqaddimah Ibnu
Khaldun, dalam http://Ifuljihad.blogspot.com/2009/02/ashabiyah-dari-filasafat-sejarah.html.
17
diserahkan sepenuhnya kepada kreatifitas manusia sesuai dengan tuntutan kondisi
sosio-kultural masing-masing bangsa, sebab tidak ada bentuk spesifik tentang sistem
pemerintahan yang secara tegas dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.24 Dalam panggung
sejarah umat Islam sendiri, terdapat berbagai varian tentang sistem pemerintahan, ada yang
menganut sistem khilafah (model Sunni), imamah (model Syiah),25 monarki (kerajaan),
seperti Saudi Arabia, dan lain sebagainya. Namun demikian, hal ini bukan berarti Islam tidak
memberikan prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam mengelola pemerintahan.

2. Sistem Pemerintahan Dunia Barat


Salah satu contoh sistem pemerintahan dunia barat adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat
adalah republik konstitusional federal dan demokrasi perwakilan. Pemerintah Amerika
Serikat bertindak berdasarkan checks and balances yang ditentukan oleh Konstitusi negara,
yang berfungsi sebagai dokumen hukum tertinggi.26 Di Amerika Serikat, warga negara
biasanya tunduk pada 3 tingkat pemerintahan, yaitu federal, negara bagian, dan daerah. Tugas
pemerintah daerah biasanya dibedakan antara pemerintah county (setingkat kabupaten) dan
munisipal. Teks asli Konstitusi menetapkan struktur dan tanggung jawab pemerintah federal
dan hubungannya dengan masing-masing negara bagian Amerika Serikat yang berjumlah 50.
Konstitusi negara telah diamandemen 27 kali, termasuk 10 amandemen pertama, Bill of
Rights, yang menjadi dasar utama dari hak-hak individu orang Amerika Serikat.

A. Struktur pemerintahan federal


Konstitusi Amerika Serikat membagi pemerintah federal menjadi tiga cabang fungsi,
untuk memastikan tidak ada individu atau kelompok yang mendapatkan terlalu banyak
kendali di pemerintah pusat. Cabang legislatif bertugas untuk membuat undang-undang
(Kongres); cabang eksekutif untuk menjalankan undang-undang (Presiden, Wakil Presiden,
Kabinet); dan cabang Yudisial untuk mengevaluasi hukum (Mahkamah Agung dan
pengadilan lainnya). Setiap cabang pemerintahan dapat mengubah tindakan cabang lainnya,
contohnya sebagai berikut: Contoh pertama, presiden dapat memveto RUU legislatif yang
disahkan oleh Kongres sebelum menjadi undang-undang. Contoh kedua, Kongres bisa
mengkonfirmasi atau menolak penunjukan presiden dan dapat memberhentikan presiden dari

24
Afzalur Rahman, Islam Ideology and The Way of Life (Malaysia: AS Noordeen, 1995), h. 308.
25
Khalid Ibrahim Jjindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taymiyah tentang Pemerintahan Islam, terj.
Masrohin (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 1-8.
26
USA Facts, “Goverment structure”
https://usafacts.org/annual-publications/government-10-k/part-i/item-1-purpose-and-function-of-our-government
-general/government-structure/
18
jabatannya dalam keadaan luar biasa. Contoh ketiga, Hakim Mahkamah Agung yang dapat
membatalkan undang-undang inkonstitusional, diangkat oleh presiden dan disahkan oleh
Senat.

● Legislatif dalam pemerintahan federal


Cabang legislatif dalam pemerintahan federal berfungsi memberlakukan
undang-undang, mengkonfirmasi, atau menolak pengajuan presiden, dan memiliki wewenang
untuk menyatakan perang. Cabang ini terdiri dari Kongres (Senat dan Dewan Perwakilan
Rakyat) dan beberapa lembaga yang memberikan layanan dukungan kepada Kongres.
● Eksekutif dalam pemerintahan federal
Cabang eksekutif dalam pemerintahan federal berfungsi untuk menjalankan dan
menegakkan hukum, termasuk presiden, wakil presiden, Kabinet, 15 departemen eksekutif,
lembaga independen, dewan, komisi, dan komite lainnya.
● Yudikatif dalam pemerintahan federal
Cabang yudikatif dalam pemerintahan federal berrfungsi menafsirkan arti
undang-undang, menerapkan undang-undang untuk kasus-kasus individu, dan memutuskan
apakah undang-undang melanggar Konstitusi. Cabang yudisial terdiri dari Mahkamah Agung
dan pengadilan federal lainnya.

B. Struktur pemerintahan negara bagian Amerika Serikat


Di bawah Amandemen Kesepuluh Konstitusi Amerika Serikat, semua kekuasaan yang
tidak diberikan kepada pemerintah federal adalah milik negara bagian dan rakyat.27 Lima
puluh pemerintah negara bagian mengikuti model pemerintah federal dan terdiri dari 3
cabang, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Konstitusi Amerika Serikat mengamanatkan
bahwa 50 negara bagian menjunjung "bentuk republik" pemerintahan.

● Legislatif dalam pemerintahan negara bagian Amerika Serikat


Semua negara bagian Amerika Serikat memiliki cabang legislatif terdiri dari
perwakilan terpilih. Pihak legislatif berfungsi untuk mempertimbangkan hal-hal yang
diajukan oleh gubernur atau diperkenalkan oleh anggotanya untuk membuat peraturan
perundang-undangan menjadi undang-undang. Cabang legislatif juga menyetujui anggaran

27
Kompas Intenasional, “Bagaimana Sistem Pemerintahan di Amerika Serikat”
https://internasional.kompas.com/read/2021/11/02/053654770/bagaimana-sistem-pemerintahan-di-amerika-serik
at?page=all
19
negara bagian dan memprakarsai undang-undang pajak dan pasal-pasal pemakzulan.
Kemudian, fungsi yang terakhir adalah sebagai bagian dari sistem checks and balances di
antara tiga cabang pemerintahan negara bagian yang mencerminkan sistem federal dan
mencegah cabang mana pun menyalahgunakan kekuasaannya. Setiap negara bagian kecuali
satu memiliki badan legislatif bikameral yang terdiri dari dua majelis, yaitu majelis tinggi
yang lebih kecil dan majelis rendah yang lebih besar. Bersama-sama kedua majelis membuat
undang-undang negara bagian dan memenuhi tanggung jawab pemerintahan lainnya. Majelis
atas yang lebih kecil disebut Senat, dan anggotanya umumnya menjabat lebih lama, biasanya
4 tahun. Majelis bawah yang lebih besar disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tetapi
beberapa negara bagian menyebutnya Majelis atau Dewan Delegasi. Anggota DPR biasanya
menjabat dengan masa jabatan yang lebih pendek, seringkali 2 tahun. Nebraska adalah
satu-satunya negara bagian Amerika Serikat yang hanya memiliki satu majelis di badan
legislatifnya

● Eksekutif dalam pemerintahan negara bagian Amerika Serikat


Di setiap negara bagian Amerika Serikat, cabang eksekutif dipimpin oleh seorang
gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat. Di sebagian besar negara bagian, pemimpin lain
di cabang eksekutif juga dipilih secara langsung, seperti letnan gubernur, jaksa agung,
sekretaris negara, serta auditor dan komisaris. Negara bagian berhak untuk berorganisasi
dengan cara apa pun, sehingga mereka sering sangat berbeda dalam hal struktur eksekutif.
Tidak ada dua organisasi eksekutif negara yang identik.

● Yudikatif dalam pemerintahan negara bagian Amerika Serikat


Sebagian besar negara bagian Amerika Serikat memiliki pengadilan tertinggi yang
mendengarkan banding dari pengadilan negara bagian yang lebih rendah. Struktur pengadilan
dan pengangkatan/pemilihan hakim ditentukan baik oleh undang-undang atau konstitusi
negara. Pengadilan tertinggi negara bagian Amerika Serikat biasanya berfokus pada koreksi
kesalahan yang dibuat di pengadilan yang lebih rendah dan karena itu tidak mengadakan
persidangan. Keputusan yang dibuat di pengadilan tertinggi negara bagian biasanya
mengikat. Namun, ketika pertanyaan diajukan mengenai konsistensi dengan Konstitusi AS,
masalah dapat diajukan langsung ke Mahkamah Agung Amerika Serikat. 28

28
Kompas Intenasional, “Bagaimana Sistem Pemerintahan di Amerika Serikat”
https://internasional.kompas.com/read/2021/11/02/053654770/bagaimana-sistem-pemerintahan-di-amerika-serik
at?page=all
20
2.5 Diskursus Mengenai Implementasi Nilai-Nilai Keislaman (Syariat Islam) dalam
Sebuah Negara
Pemahaman mengenai agama dan negara selalu mengalami perkembangan dari waktu
ke waktu. meski pada awalnya agama dipercaya sebagai bentuk firman tuhan yang
bersejarah, namun dalam tatanan institusinya, keagamaan berkembang secara mandiri lewat
tokoh-tokohnya. otoritas Tuhan ini kemudian memiliki saingan yang berupa negara. dalam
mengendalikan masyarakat, negara dapat lebih berkuasa dibanding negara dan agama.
bahkan, agama dapat dihilangkan atas nama negara.29
Masing-masing dari manusia menginginkan tujuannya dapat tercapai dengan cepat.
Akan tetapi karena keinginan setiap manusia berbeda, dibutuhkan peraturan agar tidak terjadi
benturan. agar hal ini tidak terjadi, manusia perlu berpegang teguh pada sebuah pedoman.
pedoman ini diwariskan oleh Nabi Muhammad berupa agama islam yang tercatat dalam
Al-Quran dan sunnah.30
Secara umum korelasi antara agama islam dan negara terbagi menjadi tiga. Pertama,
islam sebagai agama yang sempurna mencangkup seluruh aspek kehidupan manusia, tak
terkecuali negara dan politik. kedua, pendapat ini berasal dari kelompok yang percaya bahwa
Islam tidak ada korelasinya dengan negara. Ketiga, Pendapat selanjutnya mengatakan bahwa
Islam tidak mengatur segala hal, akan tetapi memberikan prinsip-prinsip nilai dan etika
kehidupan untuk bernegara.31
Lebih dari itu, Islam sebagai agama memiliki berbagai hal yang membuat kehidupan
berjalan sebagaimana mestinya. Jika kita membedah islam, di dalamnya terdapat
ajaran-ajaran yang bisa digunakan atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja,
ajaran tersebut tidak hanya sebatas pada ibadah yang selama ini orang awam pahami, seperti
Sholat, Zakat, Puasa, Ibadah Haji. Akan tetapi, Islam mengatur semua aspek kehidupan yang
ada seperti ekonomi, politik, negara, kesehatan, teknologi, sosial dan lainnya. Ajaran-ajaran
yang ada pada agama Islam bisa diterapkan dalam berbagai skala - individual sampai negara
atau sebuah sistem sekalipun.
Ada banyak nilai-nilai keislaman yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya saja salah satu sifat Rasul, yakni siddiq atau jujur. Pada skala individual

29
Edi Gunawan, “Relasi Agama dan Negara: Perspektif Pemikiran Islam,” Kuriositas Vol. 11, No. 2, Desember
2017. hal. 106
30
ibid.
31
Zaprulkhan, “Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam,” Walisongo, Volume 22, Nomor 1, Mei
2014. hal. 107
21
kita bisa mempraktekkan ini dalam kehidupan sehari-hari, dengan cara tidak mencontek saat
ujian berlangsung, tidak mengambil barang yang memang bukan hak kita. Menjadi orang
yang jujur. Dengan tidak menyontek memaksa kita untuk belajar dengan giat lagi, dan tidak
bergantung pada orang lain. Lebih banyak hal baik yang datang saat kita menerapkan salah
satu nilai keislaman yaitu siddiq atau kejujuran. Tidak hanya pada skala individual, nilai
keislaman bisa kita terapkan pada sebuah sistem seperti negara. Masih dengan salah satu sifat
Rasul tadi, yakni siddiq atau jujur. Jika nilai ini diterapkan pada sebuah sistem yang besar
seperti negara, maka akan menghasilkan dampak yang lebih besar lagi. Kita tidak akan panik
kalau dompet atau handphone kita jatuh atau ketinggalan di suatu tempat, karena kita percaya
bahwa orang-orang di negara Islandia itu penduduknya pada jujur. Berbeda jika kejadian
yang sama terjadi di negara Indonesia, pastinya sudah panik bukan main, dan jangan berharap
lebih akan kembali. Perbedaan kedua negara dalam kasus yang sama tersebut memiliki
kaitannya dengan nilai kejujuran yang ada pada setiap individu, di mana kejujuran pada
setiap individu ini diajarkan melalui pendidikan yang dirancang oleh negara.
Sudah berapa banyak uang atau aset negara yang dikorupsi oleh ‘oknum-oknum’
yang tidak bertanggung jawab.32 Jika praktik ini terjadi hanya satu atau dua kali, letak
permasalahannya ada di individu. Berbeda jika hal yang sama terus terjadi setiap tahunnya,
artinya letak permasalahannya ada pada sistem negara yang tidak bekerja sebagaimana
seharusnya. Jika nilai-nilai keislaman seperti siddiq atau kejujuran ini diimplementasi dengan
baik, pastinya Indonesia akan memiliki langkah yang lebih jauh dari sekarang ini. Rusaknya
sistem yang besar seperti negara, akan berdampak pada skala individual. Dan ini baru satu
dari sekian banyak nilai-nilai keislaman yang ada.
Pembahasan mengenai nilai-nilai keislaman dalam sebuah negara memunculkan
pertanyaan-pertanyaan seperti, “Apa ada negara yang mengimplementasi nilai-nilai
keislaman, dan bagaimana jika dibandingkan dengan negara yang tidak
mengimplementasikan nilai-nilai tersebut?”.
Pada tahun 2010, Hossein Askari dan S. Rehman dari The George Washington
University menerbitkan jurnal yang mencari tahu apa negara-negara muslim yang
mendeklarasikan diri menganut kebijakan yang didasarkan pada ajaran Islam. Dengan ini bisa
diketahui bagaimana praktik ajaran Islam mempengaruhi perilaku ekonomi, politik dan
sosial. Dengan kata lain, penelitian ini mencari tahu seberapa Islaminya negara-negara
muslim ini. Peneliti merumuskan Islamicity Index - meliputi ekonomi, hukum dan

32
Transparency International, “Corruption Perception
Index”https://www.transparency.org/en/cpi/2020/index/cze (diakses pada 21 Mei 2022, pukul 20.55).
22
pemerintahan, hak asasi manusia dan politik, serta hubungan internasional - yang menjadi
tolak ukurnya.33 Indeks tersebut didasarkan pada ajaran-ajaran Islam yang merujuk pada
Al-Qur’an dan Hadist, yang kemudian dirumuskan dengan para ahli dan organisasi Islam
seperti Organization of Islamic Cooperation (OIC). Hasilnya, dari 208 negara yang
dimasukkan dalam pengukuran ini, Selandia Baru menempati urutan pertama, dan baru pada
urutan ke 38 muncul Malaysia yang diikuti Kuwait 10 urutan setelahnya, yaitu 48. Kemudian
sisanya menempati urutan 60 ke bawah, Arab ada di urutan ke 66, dan Yaman di urutan ke
198.34 Indeks tersebut diperbarui setiap tahunnya, dan pada indeks tahun 2020, negara-negara
muslim mengalami peningkatan yang baik, namun 40 teratas ditempati negara non-muslim.35
Salah satu tolak ukur dalam indeks tersebut ialah kebersihan, yang di mana hal ini
berkaitan dengan lingkungan yang sehat, kualitas udara yang baik, serta energi terbarukan.
Islam mengajarkan untuk senantiasa menjaga kebersihan, terutama merawat lingkungan.
Pada negara muslim, kita mudah sekali menemui sampah di jalan yang bergerak karena
ketiup angin. Terkadang tumpukan sampah yang ditumpuk di pembatas jalan, seperti yang
terjadi di Kota Tangerang, Indonesia. Berbeda dengan Singapura yang memiliki kebersihan
kota yang terjaga, dan pastinya mekanisme pembuangan dan pengolahan sampah yang baik,
padahal Singapura bukan negara muslim.36
Penelitian di atas membuat kita memikirkan ulang tentang nilai-nilai keislaman pada
negara-negara muslim. Mengapa hal-hal kecil seperti kebersihan sulit sekali ditemukan pada
negara-negara muslim, justru mudah ditemukan pada negara-negara yang ‘non-muslim’.
Ternyata kita bisa mudah menemukan Islam di barat - di negara-negara yang non-muslim.
Bisa kita pahami bahwa Islam bukan hanya tentang ibadah yang selama ini kita ingat dalam
rukun Islam, melainkan Islam mengajarkan setiap kegiatan, tindakan yang kita lakukan,
dalam hal sekecil apapun. Nilai-nilai keislaman bisa diimplementasikan dimanapun, dan oleh
siapapun.37 Penelitian di atas secara tidak langsung menunjukkan,serta memproyeksikan
bagaimana sebuah negara jika mengimplementasikan nilai-nilai keislaman dalam
menjalankan sistemnya.

33
Hossein Askari & S. Rehman, “How Islamic are Islamic Countries?” Global Economy Journal Vol. 11, No.
2, 2010. h. 03.
34
Ibid, h.31-37.
35
Islamicity Indicies, “Islamicity Index 2020” http://islamicity-index.org/wp/latest-indices-2020/ (diakses pada
21 Mei 2022, pukul 21.35).
36
BBC Travel, “Singapura: Mengapa menjaga kebersihan menjadi kebiasaan benar-benar jadi kebiasaan warga
negara-kota ini?” https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-56743667 (diakses pada 21 Mei 2022, pukul 19.55).
37
Cahya Mulyana, “Nilai Agama Harus Terpancar Dalam Bernegara”
https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/398722/nilai-agama-harus-terpancar-dalam-bernegara (diakses
pada 21 Mei 2022, pukul 23.21).
23
2.6 Integrasi Keilmuan Antara Pandangan Islam dan Barat
Sistem demokrasi mulai berkembang pesat saat pasca perang Dunia Ke 2 yang
dimenangkan oleh Amerika dan sekutu-sekutunya, Amerika dan sekutunya sebagian besar
melaksanakan sistem demokrasi dalam negaranya.38 Hal ini menjadi awal dari perkembangan
sistem demokrasi dalam banyak negara.
Seharusnya demokrasi adalah hal yang dapat diterima dalam agama islam, hal ini
dikarenakan, islam adalah agama yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak
dan muamalat manusia. Sedangkan demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan yang
mekanismenya dianggap berdampak positif. Maka dari itu seharusnya jika demokrasi bisa
berdampak positif dalam suatu negara seharusnya konsep-konsep dari sistem demokrasi dapat
diterapkan dalam negara-negara islam.
Secara normatif, memang islam tidak memberikan ketentuan tegas dan rinci
bagaimana sistem pemerintahan suatu negara dibentuk, apakah sistem monarki, republik
ataupun kekhalifahan. Islam lebih menekankan bagaimana suatu negara bisa melahirkan
sistem yang mampu menjadikan suatu negara menjadi negara yang adil, makmur bebas dari
tekanan manapun.39
Sejauh ini bisa kita lihat demokrasi menjadi konsep yang menjadikan banyak negara
lebih makmur bisa dilihat dari kesuksesan negara-negara raksasa yang menjadikan demokrasi
sebagai asas dari negaranya seperti Amerika. Hal ini tentu saja menjadi tugas tersendiri bagi
negara-negara muslim. Semenjak masa runtuhnya kekhalifahan utsmani dan yang biasa
disebut masa kegelapan umat islam, banyak hal-hal dari umat islam yang tertinggal dari
negara barat salah satunya sistem pemerintahan ini. Umat muslim harus mulai berubah, kita
harus beradaptasi, tidak harus menerapkan seluruh konsep demokrasi, namun kita bisa
menjadikan konsep-konsep ini sebagai acuan dalam bernegara, islam harus menjadi garda
terdepan bagi demokratisasi karena ini merupakan wilayah baru yang harus di eksplorasi.40
Sebenarnya penerapan konsep-konsep demokrasi sudah mulai diterapkan dalam
negara-negara islam, seperti Arab Saudi, dimana rajanya pada tahun melakukan reformasi
terhadap pemilihan umum dewan kota Arab Saudi, yang dimana pemilihan umum ini
mengandung konsep-konsep dari demokrasi. Tidak hanya Arab Saudi, Indonesia juga
menerapkan prinsip demokrasi seperti pancasila yang mengusung prinsip-prinsip demokrasi
dan agama.

38
Ali Mutakin.2016. Islam dan Demokrasi, hlm 27
39
Mismubarak. 2019. INTEGRASI AGAMA DAN POLITIK
40
A. Malik Madany. Politik Berpayung Fiqih (Yogyakarta : Pustaka Pesantren). 2010
24
Semakin zaman berkembang semakin juga umat muslim harus beradaptasi, bukan
hanya untuk kepentingan negara islam, akan tetapi juga untuk kepentingan seluruh umat
muslim.

2.7 Tokoh Muslim dalam Kajian Politik Islam dan Penjelasan Teorinya.
Dalam perkembangan ilmu politik tentunya tidak lepas dari tokoh tokoh pemikir yang
menggiatinya. Islam tentunya sebagai salah satu agama yang menerapkan sistem
pemerintahan khalifah pada masanya memiliki metode bagaimana suatu wilayah atau negara
menjalankan pemerintahannya terlebih dalam berpolitik.
Setelah Rasulullah wafat ditunjuk 4 khulafaur rasyidin yang kemudian memimpin
diantaranya ada Abu Bakar Ash-Shiddiq (632-634 M) yang kemudian dilanjutkan oleh Umar
bin Khattab (634 - 644 M), Utsman bin Affan (644 - 456 M) dan terakhir dilanjutkan oleh Ali
bin Abi Thalib (655 - 660 M) 41.
Kemudian muncullah beberapa tokoh-tokoh islam pemikir politik yang
Tokoh-tokoh islam dalam kajian politik islam antara lain:
1. Al - Farabi
Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkas bin Auzalagh adalah nama
lengkapnya. Lahir pada 870 Masehi di Urtar (sebuah wilayah di bagian negara
Uzbekistan).42 Dalam kajiannya Al-Farabi merupakan tokoh politik islam yang yang
memfokuskan kajiannya tentang konsepsi politik kenegaraan, ia juga dianggap sebagai
tokoh islam dengan konsep kenegaraan terlengkap dengan konsepsi-konsepsi dan teori
politiknya. Al-Farabi pencetus konsep al-madaniah al-fadilah dianggap sebagai perintis
jalan dalam konsep kenegaraan.43
Berikut ini konsep negara ideal menurut Al-Farabi, ada tiga pokok hal yang
dikaji, yaitu karakteristik negara ideal, klasifikasi masyarakat, dan klasifikasi negara.
1. Karakteristik Negara Ideal
Sama halnya seperti Plato, Aristoteles dan Ibnu Abi Rabi, Al-Farabi
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kecenderungan
alami untuk bermasyarakat. dan tujuan bermasyarakat ini bukan hanya karena
manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan makhluk lain

41
Kastolani. 2021. Mengenal 4 Orang Khulafaur Rasyidin dan Masa Kepemimpinannya dalam
Sejarah Islam. Diakses dari https://www.inews.id/lifestyle/muslim/khulafaur-rasyidin/4
42
Admin. 2021. Mari Mengenal Al-Farabi Sebagai Pemikir Politik Islam Era Klasik. Diakses dari
http://iqt.unida.gontor.ac.id/mari-mengenal-al-farabi-sebagai-pemikir-politik-islam-era-klasik-2/
43
Lihat dalam H. Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama, (al-Madianah alFadilah) (Jakarta: Kinta, 1968),
25
namun juga karena untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang dapat
memberikan kebahagiaan kepada manusia itu sendiri, tidak n]hanya dari segi
materil namun juga spiritual dan tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak.
Pendapat Al-Farabi ini setidaknya menambahkan sisi agama dari pandangan Plato
dan Aristoteles yang mengaitkan politik dengan moralitas, akhlak dan budi
pekerti.44
Selanjutnya tujuan Al-Farabi dalam konsep (Al-Madaniah Al-Fadilah).
Pertama, mencita-citakan akan mengatur dunia Internasional dengan satu
lembaga yang bersifat Universal dan untuk mencontohkan suatu negara utama.
Kedua, menurut Al-farabi negara adalah suatu negara ketuhanan yang memiliki
tujuan kebahagiaan bersama, spiritual dan materil di bawah pimpinan seorang
Presiden dan didukung juga dengan masyarakat yang kolektif dan kooperatif
baik cara berpikir maupun bertindak.
Setiap negara pastinya memiliki tujuan yang dicita-citakan bersama
(ends of the state). Al-farabi berpendapat bahwa tujuan terakhir itu adalah
“kebahagiaan” (happiness), Adapun karakter negara ideal dapat ditinjau dari
beberapa arah, antara lain:
a. Ideologi Warga Negara, manusia atau warga negara tentunya memiliki dasar
pikiran dan pendapat yang mengharuskan ia bertindak untuk memenuhi
kebutuhannya dan tujuan akhir, yaitu kebahagiaan. Dan untuk mencapai
impian itu diperlukan tekad yang bulat untuk mendorongnya kepada hal-hal
perbuatan yang baik.
b. Akhlak, Al-farabi membicarakan dari suatu komentar terhadap karangan
Aristoteles yang dinamakan Kitabu al-Akhlaq (Aristotle Nicomachean ethics)
ia memberikan tujuan bahwa yang akhir dari akhlak adalah pencapaian
kebahagiaan total, kebahagiaan materil dan kebahagiaan spiritual, akhlak
dibagi juga menjadi dua yaitu Akhlak baik (Mahmudah) dan akhlak buruk
(Mazmumah). Sesuai dengan syarat yang dikemukakan bahwa setiap warga
negara harus memiliki ideologi dan akhlak atau tabiat yang baik. Lalu dari
manakah ukuran suatu akhlak dinilai baik atau buruk?. Aristoteles menjawab,
ukurannya adalah pikiran (akal) dan falsafah. Yang kemudian dijaman

44
Said, A. (2019). Filsafat Politik Al-Farabi. Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy, 1(1),
63-78.
26
sekarang dijabarkan menjadi 5 dasar, yaitu theologis (agama), hedonis (rasa
senang), utilities (manfaat), vitalitis (kekuasaan), naturalistis (hukum alam).45
c. Keragaman didasari oleh dua faktor alaminya, yaitu kejadian dan lingkungan
alam, ditambah pula diluar faktor alamiah, bahasa. Perbedaan ini juga dipicu
faktor alamiah juga seperti perbedaan tekanan udara, permukaan bumi, cuaca,
geologi dan faktor alam lainnya. Keragaman makanan diikuti keragaman
material, industri juga berdampak pada keberagaman tabiat manusia.46
2. Klasifikasi Masyarakat
Masyarakat Sempurna, Al-farabi mengklasifikasikan masyarakat menjadi tiga
macam; Pertama, masyarakat sempurna besar, yaitu dari kesepakatan banyak
bangsa untuk bergabung dan saling kooperatif. Kedua, masyarakat sedang, yaitu
suatu bangsa yang menempati satu teritorial (negara). Ketiga, masyarakat kecil,
masyarakat sempurna yang menempati suatu negara-kota.47
Masyarakat Tidak Sempurna, adalah kehidupan sosial di tingkat yang lebih
kecil seperti di desa, kampung, sampai lingkungan keluarga. Bisa dikatakan
bahwa al-Farabi menganggap bahwa tiga unit kelompok sosial ini tidak bisa
disebut masyarakat yang sempurna karenanya tidak mampu untuk berdiri secara
otonom dan independen dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya, baik
ekonomi, sosial, budaya dan spiritual.48
3. Klasifikasi Negara
Al-farabi memfokuskan pembahasan pembagian negara-kota kedalam
berbagai macam, yakni:
a. Kota Utama (al-madinah al-fadilah)
Dalam bentuk negara-kota utama, al-farabi mengibaratkan ini seperti
tubuh manusia yang terdiri dari kepala, badan, tangan hingga kaki. Elemen
terpentingnya ada di kepala, karena kepala (otak) segala perbuatan manusia
dikendalikan, dan untuk mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati.49
Demikian juga dengan Negara utama, agar sebuah negara berjalan dengan baik
dibutuhkan kepala dalam hal ini pemimpin yang bijaksana dan mempunyai hati

45
Ibid.
46
Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik, 357.
47
Ali Abdul Mu’ti Muhammad, Filsafat Politik, 354.
48
Ibid., 52.
49
Hayimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama 2002)
27
nurani. Setidaknya harus ada dua hal ini dalam diri seorang pemimpin, yaitu
fitrah - tabiat dan talenta - kehendak.

b. Negara Bodoh (al-madaniah al jahiliyah)


Negara yang bodoh adalah negara yang rakyatnya tidak tahu tentang
kebahagiaan dan tidak terbayang pada mereka apa kebahagiaan itu. Kalau
dituntun mereka tidak mau mengikuti dan kalau diberi tahu mereka tidak mau
percaya. 50

c. Negara Rusak (al-madaniah al-fasiqah)


Negara yang rakyatnya tahu apa kebahagiaan itu, sama halnya dengan rakyat
di negara yang utama, tetapi mereka berperilaku dan hidup seperti rakyat di
negara yang bodoh. Dengan kata lain, mereka tahu tentang hal-hal yang baik,
tetapi yang mereka lakukan adalah perbuatan yang hina.51

d. Negara yang Merosot (al-madaniah al-mubadillah)


Negara yang pandangan-pandangan dan perbuatan-perbuatan penduduknya
pada mulanya sama dengan pandangan dan perbuatan masyarakat negara utama,
kemudian beralih dan pandangan itu karena kemasukan pandangan lain sehingga
terjerumus kedalam pandangan yang tidak terpuji.52

e. Negara Sesat (al-madaniah adh-dalalah)


Negara yang dibungkus kesesatan, penipuan, fitnah. Rakyatnya tidak percaya
akan adanya Tuhan dan kepala negara menipu dengan mengaku-ngaku sebagai
tuhan.

f. Rumput-rumput liar (nawabit)


Maksud rumput-rumput liar disini adalah orang-orang dalam suatu negara
yang rendah budi pekertinya, berwatak liar dan tanpa budaya, yang dapat
mengganggu keserasian kehidupan bernegara dimanapun.53

50
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 57.
51
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 57
52
Abu Nasr al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (Bairut: Da al-Iraq, 2002), 133.
53
Ibid
28
2.8 Pembahasan Artikel Ilmiah
POLITICAL ISLAM IN INDONESIA: Present and Future Trajectory. (oleh: Anies
Rasyid Baswedan)

a. Pendahuluan
Para pemimpin Muslim dan partai politik Islam telah berjuang untuk menerapkan
hukum Syariah (hukum ketuhanan Islam) ke dalam Konstitusi Indonesia sejak era
kemerdekaan, tetapi upaya mereka selalu gagal. Selama hampir setengah abad, diskusi yang
terjadi antara pendukung dan penentang Syariah sebagian besar mengalami stagnasi, dengan
sedikit argumen baru dari kedua belah pihak. Upaya terakhir untuk mengupayakan hukum
Syariah terjadi pada sidang tahunan MPR 2002.. Hal ini menimbulkan pertanyaan,
"Bagaimana pola politik Islam di Indonesia?" Apa yang akan menjadi tujuan jangka panjang
Islam politik di Indonesia? Akankah perjuangan untuk Syariah berakhir? Manakah dari partai
politik Islam yang memiliki peluang terbaik untuk sukses dalam pemilu?

b. Politik Islam di Indonesia


Muslim di Indonesia beraneka ragam. Secara umum mereka terbagi menjadi 2
kelompok, yakni muslim yang taat/beramal (santri) dan muslim nominal/non-praktek
(sinkretis). Muslim yang taat terbagi lagi menjadi 2 yaitu muslim tradisionalis dan modernis.
Istilah politik islam di Indonesia sendiri merujuk kepada pihak yang membawa agenda islam
ke dalam hukum dan kebijakan pemerintah Indonesia melalui proses pemilihan umum dan
lembaga legislatif (MPR dan DPR).
Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia mengalami periode demokrasi liberal. Pada
tahun 1955, Indonesia menyelenggarakan pemilu pertamanya untuk memilih Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante. Ada 10 partai politik yang berbasis Islam, dan
dua di antaranya memperoleh suara yang signifikan dalam pemilihan Dewan Konstituante,
yakni partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan 20.8% dan Nahdlatul
Ulama dengan 18.5%. Di sisi lain, Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia
masing-masing memenangkan suara 24% dan 16%. Ketiadaan mayoritas di dalam Dewan
Konstituante berakibat pada debat berkepanjangan terkait basis ideologi negara. Pihak
sekuler yang dipimpin oleh Soekarno, mempromosikan 5 dasar yang dikenal sebagai
Pancasila. Pihak Islamis, dipimpin oleh Muhammad Natsir, mempromosikan Islam sebagai
prinsip dasar negara.

29
Pada tahun 1959, Soekarno membubarkan Dewan Konstituante dan mendirikan
"Demokrasi Terpimpin", yang berlangsung hingga tahun 1965. Selama periode ini, NU
adalah satu-satunya partai Islam yang terus menavigasi melalui kawanan politik dalam
negeri. setelah mengambil alih kekuasaan pada tahun 1966, Orde Baru Soeharto mencegah
pembentukan kembali Masyumi yang telah menjadi partai besar Islam pada era 50-an. Pada
tahun 1973, partai politik disederhanakan. Empat partai politik Islam dipaksa untuk
bergabung menjadi satu partai bernama Partai Persatuan Pembangunan. Pada awal 1980-an,
rezim meningkatkan kampanyenya untuk membendung partai-partai Islam dengan
mewajibkan semua organisasi mengadopsi Pancasila sebagai asas tunggal mereka.

c. Partai Politik Besar


Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, partai-partai politik di Indonesia mulai
menjamur. Di antara 141 partai politik baru, 42 secara eksplisit mengklaim Islam sebagai
ideologi mereka atau mendapat dukungan sebagian besar dari kelompok-kelompok Islam.
Jumlah ini kemudian menurun, karena hanya 20 partai Islam yang lolos ke pemilu 1999.
Hasil dari pemilu 1999 mengindikasikan hanya ada 7 partai besar yang bermain peran besar
dalam panggung politik Indonesia, 6 diantaranya Islam-friendly. Partai pertama adalah PDIP,
yang diketuai oleh Megawati Soekarnoputri. PDIP satu-satunya partai yang tidak
islam-friendly. Selanjutnya ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang didirikan pada
tahun 1973 setelah melalui proses unifikasi 4 partai Islam, yakni NU, Parmusi (Partai
Muslimin Indonesia), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), dan Perti (Partai Pergerakan
Tarbiyah Indonesia). Selanjutnya ada Partai Bulan Bintang yang didirikan pada Juli 1998,
Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa yang juga didirikan pada Juli 1998,
Partai Amanat Nasional yang didirikan pada Agustus 1998 oleh aktivis oposisi Soeharto,
serta yang terakhir Partai Golkar yang didirikan pada tahun 1964 dan menjadi partai yang
berkuasa selama era Soeharto.

d. Membedakan Golkar dengan PDIP


Terdapat dua faktor yang membedakan Golkar dan PDIP. Pertama, bagaimana respon
mereka terhadap aspirasi muslim. Kedua, bagaimana perekrutan dan kepemimpinan
partainya. Terdapat dua kelompok sekuler yang muncul sebagai respon dari adanya aspirasi
muslim, yaitu sekuler-eksklusif dan sekuler-inklusif. Sekuler-eksklusif berpandangan bahwa
agenda yang berbau Islam tidak dapat diterima lantaran takut mengancam eksistensi
Pancasila. Sedangkan sekuler-inklusif berpandangan bahwa agenda Islam bisa diterima

30
asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Pada akhir 1980-an, setelah
kebijakan asas tunggal Pancasila dalam partai Islam diterima secara luas oleh
organisasi-organisasi Islam, Suharto mulai mengubah politiknya dari sekuler-eksklusif
menjadi sekuler-inklusif. Ia mulai memandang perkembangan masyarakat Islam dan
mengakomodasi aspirasi muslim sebagai hal yang dapat diterima secara luas. Saat ini, kedua
pandangan sekuler ini terwakili di dua partai besar sekuler, Golkar dan PDIP. Golkar
melanjutkan apa yang telah ditetapkan Soeharto dalam beberapa tahun terakhir
kepresidenannya: mematuhi nilai-nilai moral Islam dan merangkul Muslim. PDIP dengan
susunan kepemimpinannya yang eksklusif-sekularis, nasionalis, dan non-Muslim tetap
mempertahankan pandangan kedua yang mencegah masuknya ide-ide yang berbau agama
(yaitu, Islam- dalam pemerintahan).
Faktor kedua adalah perekrutan dan kepemimpinan dari kedua partai. Pada era
Suharto, biasanya mantan aktivis mahasiswa akan bergabung dengan partai politik.
Umumnya alumni HMI akan bergabung ke PPP atau partai Golkar. Sedangkan alumni GMNI
akan bergabung ke PDIP. Dominasi Santri dalam kepemimpinan Golkar dan di antara
legislatornya tidak dapat dipisahkan dari perpecahan yang terjadi selama konvensi nasional
partai pada Agustus 1998. Pemilihan pemimpin partai pada saat itu diwarnai dengan
kompetisi sayap sekuler-eksklusif dengan sekuler-inklusif. Sayap sekuler-eksklusif partai
yang dipimpin Jenderal Edy Sudrajat, mantan Ketua Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, gagal mengamankan posisi kepemimpinan. Hal ini mengakibatkan keretakan di
tubuh Golkar. Ketika DPR memperdebatkan RUU Sistem Pendidikan Nasional yang
kontroversial pada awal 2003, Golkar memihak partai-partai Islam dan Islam-inklusif untuk
mendukung RUU tersebut, sementara. PDIP adalah satu-satunya partai besar yang
menentangnya. PDIP dalam masalah ini menunjukkan dominasi pandangan eksklusif sekuler
di partainya meskipun proporsi pemilih Muslimnya tinggi. Ini juga menunjukkan bagaimana
PDIP masih mengandalkan konstituen tradisionalnya, yaitu sekularis, non-Muslim, dan etnis
minoritas, sementara Golkar telah mengakui pentingnya dukungan elektoral Muslimnya.
Kasus diatas memperlihatkan seperti apa percampuran dari (1) perspektif
sekuler-inklusif, (2) Santri dalam kepemimpinan, dan (3) bagian terpenting atau constituents
“Muslim” menunjukkan sisi Golkar yang diabaikan. Karena sebab itulah Golkar bisa
dikatakan seperti kelompok partai yang memberikan kehangatan, kenyamanan dan
keramahtamahan terhadap Islam (Islam-friendly). Meskipun begitu, partai tersebut identik
dengan rezim mendiang Soeharto yang didukung oleh angkatan bersenjata, birokrasi juga
karakter sekuler-inklusifnya yang kerap kali terlihat kabur.
31
d. Keberagaman dalam Politik Islam
Pada tahun 1950-an, Politik Islam erat kaitannya dengan Partai - Partai Islam. Hal
tersebut dapat dilihat pada upaya dari beberapa pihak yang menginginkan pendirian negara
Islam dengan mengadopsi Syariah secara formal. Contohnya seperti Masyumi yang memiliki
komitmen tinggi terhadap agenda Islam semacam ini. Memang, Politik Islam tidak hanya
membahas tentang Syariah tetapi juga berbicara tentang bagaimana interaksi dinamis antara
aspirasi “Muslim” dengan Politik Pancasila yang sekuler serta memberikan ‘cita rasa’
pluralisme dalam Politik Islam pada tahun 1950-an di masa pemerintahan Soeharto.
Berbicara tentang Politik Islam, Indonesia erat kaitannya dengan berbagai macam
Organisasi Masyarakat khususnya Islam. Beberapa diantaranya yaitu Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah yang masih mempertahankan eksistensinya hingga saat ini. Kedua ormas
Islam ini sempat menarik diri dari posisi mereka waktu itu pada tahun 1950-an karena
pengadopsian Syariah secara formal dalam Konstitusi menghilang dari agenda mereka.
Meskipun begitu, mereka menunjukkan bahwa negara dapat memenuhi aspirasi “Muslim”
tanpa penerimaan formal terhadap Syariah di dalam Konstitusi juga Partai Politik Islam.
Fokusnya pun berubah yakni bagaimana caranya untuk membawa Islam masuk ke dalam
ranah kebijakan negara yang berpegang teguh pada Pancasila dan tidak memaksa terhadap
penerapan Syariah. Pernyataan ini didukung dengan hadirnya Undang-Undang Dasar
Peradilan Agama tahun 1989 (UU No. 7) dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 (Instruksi
Presiden No. 1) yang membuktikan akan keberhasilan pada perubahan status Syariah dalam
sistem hukum di Indonesia serta menunjukkan “Muslim” yang lebih pragmatis dalam politik
dengan memfokuskan tingkat kebijakan dibandingkan dasar filosofis negara.
Pada masa pemerintahan pasca Soeharto, Politik Islam diwakili oleh partai - partai
yang mendukung formalisasi hubungan antara negara dengan Islam dan juga mendukung
negara yang berbasis non-agama. Negara berbasis non - agama disini ialah menyambut baik
pengintegrasian aspirasi “Muslim” dan nilai - nilai Islam ke dalam kebijakan pemerintah.
Partai - partai Islam-friendly ini terdiri dari Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menganut Islam sebagai
Ideologinya atau dengan kata lain sebagai Partai Islam. Lalu, dilanjut dengan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang menyatakan
dukungannya terhadap Ideologi Pancasila tetapi juga ‘ditunggangi’ dengan fungsi lain yakni
sebagai lengan politik dari Organisasi Masyarakat Islam. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
sebagai lengan politik dari Nahdlatul Ulama dan Partai Amanat Nasional sebagai lengan

32
politik dari Muhammadiyah. Walaupun keduanya tidak menyatakan secara eksplisit akan
fokus mereka terhadap agenda Islam, mereka mendapatkan dukungan dari para pemimpin
juga organisasi Islam. Berlanjut ke partai terakhir yaitu Golkar. Golkar masuk ke dalam
Partai Islam-friendly karena kepemimpinannya yang didominasi oleh Santri, perspektifnya
yang sekuler-inklusif dan menyambut aspirasi “Muslim” dengan baik. Persamaan antara
Partai Golkar, PAN dan PKB terletak pada penyambutan baik mereka terhadap aspirasi
politik “Muslim”, tetapi semua itu bertentangan dengan penerimaan formal Syariah dalam
Konstitusi.
Dilihat dari cukup banyaknya pemilih Indonesia, menjelaskan bahwa dukungan
Politik Islam pada Pemilu tahun 1955 dan tahun 1999 menunjukkan adanya potensi yang
tumbuh bagi Partai - Partai Islam-friendly untuk mendominasi politik Indonesia.

e. Perubahan dalam Lingkungan Politik


Pada pemilu tahun 1999, terdapat empat perubahan yang signifikan di dalam
lingkungan politik. Pertama, kesadaran masyarakat dalam politik cukup meningkat yang
terlihat dari besarnya pengaruh dari seberapa lama suatu partai berdiri hingga pengaruh ulama
yang cukup kuat di beberapa daerah tertentu.
Kedua, dampak dari pemilu pada tahun 1999 yang pada saat itu legislator yang
memilih presiden secara tidak langsung. Contohnya seperti pemilih yang ingin memberikan
suara mereka untuk partai dari calon presiden yang mereka inginkan dan para calon legislatif
baik di tingkat nasional, daerah hingga kabupaten kerap kali menjadi free riders dengan
memanfaatkan momen kepopuleran capres dari partainya. Tetapi dengan adanya
pembaharuan undang - undang pemilu, pemilih bisa memisahkan suara untuk presiden
dengan legislator. Jadi, kepercayaan pemilih terhadap calon presiden belum tentu mampu
membantu calon legislatif meskipun berasal dari partai yang sama.
Ketiga, Desentralisasi pada tahun 1999 menjadi kekuatan dalam membentuk politik
lokal. Pada saat desentralisasi dilaksanakan, masyarakat cenderung lebih fokus pada isu - isu
lokal dibandingkan isu - isu nasional yang diikuti dengan tekanan kuat dari masyarakat
kepada partai dan legislator daerah agar mereka mampu meningkatkan kinerja mereka.
Berbeda dengan sekarang, keikutsertaan partai bisa dibilang dapat membantu di hasil pemilu
berikutnya.
Keempat, pencerminan pemilih Muslim dengan gagasan umum mengenai
pemerintahan Islam dan Syariah. Berdasarkan survei, kebanyakan masyarakat Indonesia
setuju dengan suatu pernyataan bahwa pemerintahan Islam merupakan pilihan terbaik bagi

33
Indonesia dan mewajibkan setiap Muslim di Indonesia untuk mengikuti Syariah. Namun,
shalat lima waktu dan penegakan puasa memiliki persentase yang rendah. Salah satu faktor
yang mempengaruhi hal ini adalah para pemimpin “Muslim” dulu pada tahun 1950-an
terkesan menghindar dalam menjelaskan rincian dari Syariah dan cenderung memfokuskan
istilah yang luas seperti “Negara Islam” dan “Syariah” untuk membuat semua pihak setuju.
Jadi, dapat dikatakan bahwa para pemilih “Muslim” menyetujui gagasan umum
mengenai negara Islam juga menerima Syariah namun perilaku mereka tidak mencerminkan
pernyataan mereka serta merasa tidak ada urgensi dalam hal tersebut tetapi memang ada
potensi yang cukup baik bagi partai politik Islam-friendly dalam menarik dukungan dari
pemilih “Muslim”.

f. Perbandingan Partai Politik


Kali ini, pendekatan yang digunakan dalam artikel adalah pendekatan sosiologis
dengan mengembangkan delapan variabel dalam melakukan analisis komparatif.
Variabel pertama yaitu basis partai. Misalnya seperti PKB yang cenderung bergantung
pada pemilih dari daerah pendukungnya yakni provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah yang
tentunya didominasi oleh NU. Meskipun begitu, Golkar lah yang mampu mendapatkan
dukungan secara signifikan dalam tingkat nasional. Pasca tahun 1999, dukungan elektoral
akhirnya tidak bersifat regional.
Variabel kedua yaitu keyakinan partai terhadap daya tarik pemimpinnya. Misalnya
PAN sangat bergantung kepada Amien Rais dan PKB sangat bergantung kepada
Abdurrahman Wahid sebagai tokoh kunci mereka. Sedangkan PKS menghindari
ketergantungan mereka terhadap pemimpin tertentu sebagai tokoh kunci partai. Jadi, tokoh
kunci tidak/pemimpin partai yang populer tidak selalu membantu dalam mendapatkan
dukungan karena tokoh tersebut hanya memiliki karisma diri yang tidak bisa didapat dari
seluruh anggota partai dan menghindari ketergantungan pada tokoh tertentu mungkin bisa
membantu dalam mendapatkan dukungan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.
Variabel ketiga yaitu konflik internal partai. Posisi elite politik cukup berpengaruh
dalam konflik internal partai, kemampuan untuk ‘menahan’ perbedaan dengan memelihara
solidaritas internal merupakan kunci guna memprediksi keberlanjutan suatu partai dalam
jangka panjang.
Variabel keempat yaitu hubungan partai dengan kekuatan politik di masa lampau.
Misalnya seperti Golkar identik dengan rezim Soeharto yang tentunya membuat Golkar
tercemar atau PKB yang erat kaitannya dengan NU.

34
Variabel kelima yaitu relasi dengan kelompok agama besar. Dapat dilihat contohnya
dari Muhammadiyah yang kerap kali dianggap sebagai “Muslim” wilayah kota, sedangkan
NU dianggap sebagai “Muslim” wilayah daerah. PKB identik dengan NU dan PAN sekarang
ini dikaitkan dengan Muhammadiyah.
Variabel keenam yaitu penekanan pada kegiatan partai. Demi mengambil hati
masyarakat, hampir semua pihak menawarkan berbagai cara yakni dengan memberikan
bantuan langsung yang dilakukan secara simbolik oleh pimpinan partai diikuti dengan
diliputnya momen oleh media massa. Meskipun begitu, bantuan tersebut hanya bersifat
sementara. Tindakan ini merupakan tindakan yang positif dan dianggap mampu membantu
dalam mendapatkan dukungan.
Variabel ketujuh yaitu keterlibatan anggota dalam suatu partai. Ada kebebasan luas
bagi para pimpinan partai untuk ikut serta dalam kegiatan politik, akan tetapi keikutsertaan
anggota biasanya terbatas pada kampanye dan perayaan tertentu saja.
Variabel kedelapan yaitu Syariah. Sebenarnya, tingkat pemahaman masyarakat
terhadap penerapan hukum Islam masih minim. Ada berbagai macam perspektif dari partai -
partai Islam-friendly. Seperti PBB dan PPP yang melihat Syariah bisa dimasukkan ke dalam
Konstitusi. Golkar, PKB, dan PAN menolak untuk menerima Syariah. Dan ada PKS yang
menggabungkan Syariah dengan dakwah seperti pendidikan massa atas Syariah, dijadikan
sebagai agenda jangka panjang. Berbeda dengan PBB dan PPP yang jangka waktunya
pendek. Jadi bisa dikatakan bahwa dukungan dalam penerapan Syariah terbilang masih
lemah. Kalau partai - partai Islam-friendly hanya fokus terhadap permasalahan tersebut, maka
mereka akan rugi jika tujuannya ingin mendapatkan dukungan pemilih yang lebih banyak.

35
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang memberikan penekanan pada
keberadaan kekuasaan ditangan rakyat, baik dalam pemerintahan maupun dalam
penyelenggaraan negara, yang mencakup tiga hal yaitu pemerintah dari rakyat, pemerintah
oleh rakyat, dan pemerintahan untuk rakyat. Politik dapat diartikan sebagai segala urusan dan
tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara atau
terhadap negara lain, tipu muslihat, dan atau kelicikan, dan juga digunakan sebagai nama bagi
sebuah disiplin pengetahuan yaitu ilmu politik. Perihal prinsip berpolitik dan berdemokrasi
juga terdapat di dalam islam, karena terdapat beberapa dalil Al-qur’an dan Hadits yang
menjelaskan terkait prinsip tersebut. Prinsip tersebut adalah prinsip As-Syura dalam surah Al
Imran ayat 159, Al ‘Adalah dalam An-Nisa ayat 135 , Al amanah dan Al Masuliyyah dalam
An-Nisa ayat 58, Al-Musawah dalam Al-Hujurat ayat 13, dan Al Hurriyah dalam Al
Baqarah 256.
Tokoh pemikir politik islam adalah Al Farabi, dan adapun persamaan serta perbedaan
konsep pembagian kekuasaan dalam Islam dan Barat. Serta praktek sistem bernegara turut
diterapkan dalam dunia Islam dan Barat yang kemudian melihat dari implementasi nilai-nilai
keislaman (syariat islam) dalam sebuah negara. Integrasi keilmuan antara pandangan Islam
dan Barat juga memperlihatkan bahwa dari kedua perspektif dapat diintegrasikan.

3.2 Manfaat Penulisan


Setelah menelaah lebih dalam mengenai bahasan politik dan demokrasi dalam
pandangan islam dan baradat, manfaat penulisan makalah ini diantaranya adalah memberi
pandangan dan pemahaman Islam dan Barat kepada penulis dan pembaca mengenai politik
dan demokrasi, integrasi keduanya, mengenal banyak tokoh mengenai politik islam, hingga
mengetahui dasar dalam berpolitik dan demokrasi dalam islam, yakni dalil al-qur’an dan
hadist.

36
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Budiardjo, Miriam. 2007. Perkembangan Konsep Trias Politika: Pemisahan Kekuasaan 
Menjadi Pembagian Kekuasaan.  in Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka.
Ahmad, Zainal Abidin. Negara Utama, (al-Madianah alFadilah). Jakarta, Kinta, 1968.
Mu'ti Muhammad, Ali Abdul. Filsafat Politik Antara Barat Dan Islam. Yogyakarta, Pustaka
Setia, 2010.
Hayimsyah Nasution. Filsafat Islam. Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002.
Sjadzali, Munawir. Islam dan tata negara : ajaran, sejarah dan pemikiran. Jakarta,
Penerbitan Universitas Indonesia, 1993.
Al farabi, Abu Nasr. Kitab ara ahl al-Madinah al-fadilah. Bairut, Dar al-Mashriq, 2002.

Jurnal dan Skripsi


Askari, Hossein & S. Rehman. (2010). How Islamic are Islamic Countries?. Global
Economy  Journal, 10(2), 1-40. 
Gunawan, Edi. Relasi Agama dan Negara: Perspektif pemikiran agama, vol. 11, no. 2, 2017, 
p. 106. media.neliti.com

Rehman, S. S. (2010). dan Hossein Askari “How Islamic are Islamic Countries”. Global
Economy Journal, 10(3).
Istiqlaliyah, N. (2019). Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Alquran: studi tematik atas 
          Ayat-Ayat Shura dan Kontekstualisasinya di Indonesia (Doctoral dissertation, UIN
Sunan Ampel Surabaya).
Kamali, M. H. (2014). Separation of Powers: An Islamic Perspective. Islam and
Civilisational Renewal (ICR), 5(4). 472–474. https://doi.org/10.52282/icr.v5i4.370 
Rangkuti, A. (2018). Demokrasi dalam Pandangan Islam dan Barat. Jurnal Ilmiah
Penegakan Hukum, 5(2), 40-59.
Said, A. (2019). Filsafat Politik Al-Farabi. Indonesian Journal of Islamic Theology and
Philosophy, 1(1), 63-78.
Saladin, B. (2018). Prinsip Musyawarah Dalam Al Qur’an. el-'Umdah, 1(2), 117-129.

Zaprulkhan. Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif islam, vol. 22, no. 1, 2014, p. 107.
Zulhamdi, Z. (2019). DEMOKRASI DALAM TEORI POLITIK ISLAM. Syarah: Jurnal 
  Hukum Islam dan Ekonomi, 8(2), 123-146
37
Mutakin, Ali. “Islam dan Demokrasi.” ISLAM DAN DEMOKRASI: Kajian Fikih Siyasah
Tentang Tantangan Dan Hambatan Demokratisasi Di Dunia Islam, vol. 2, no. 1,
2016,p. 27.
Mismubarak. INTEGRASI AGAMA DAN POLITIK (Tela’ah Pemikiran Hamka terhadap
ayat-ayat Politik dalam Tafsir al-Azhar). 2019.

Artikel dan Berita Online


Transparency International. “CORRUPTION PERCEPTIONS INDEX.” 2020
CORRUPTION PERCEPTIONS INDEX, Transparency
International,https://www.transparency.org/en/cpi/2020/index/cze. Accessed 23 May
2022.
Islamicity Indicies. “2020 – Islamicity Indices.” Islamicity Indices,
http://islamicity-index.org/wp/latest-indices-2020/. Accessed 23 May 2022
BBC Travel. “Mengapa menjaga kebersihan benar-benar jadi kebiasaan warga Singapura?”
BBC, 18 April 2021, https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-56743667. Accessed 23 May
2022.
Mulyana, cahya. “Nilai Agama Harus Terpancar dalam Bernegara.” Media Indonesia, 17
April 2021,https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/398722/nilai-agamaharus-t
erpancar-dalam-bernegara. Accessed 23 May 2022.
Kastolani. “Mengenal 4 Orang Khulafaur Rasyidin dan Masa Kepemimpinannya dalam
Sejarah Islam.” iNews, 6 June 2021,https://www.inews.id/lifestyle/muslim/kh
ulafaur-rasyidin/4. Accessed 23 May 2022.
Madani, Abdul Malik. Politik Berpayung Fiqih. Yogyakarta, Pustaka Pesantren, 2010.
“Mari Mengenal Al-Farabi Sebagai Pemikir Politik Islam Era Klasik - Quranic And
Tafsir Studies.” iqt unida, 28 September 2021, http://iqt.unida.gontor.ac.id/mari-
mengenal-al-farabi-sebagai-pemikir-politik-islam-era-klasik-2/. Accessed 23 May
2022.

38

Anda mungkin juga menyukai