Anda di halaman 1dari 29

MENILIK POPULISME ISLAM DALAM GERAKAN AKSI 212 SEBAGAI

GERAKAN ISLAM DI ERA KONTEMPORER

Makalah ini disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti


Latihan Kader II (Intermediate Training) HMI Korkom Walisongo
Cabang Semarang

Disusun Oleh:
Icha Rahmawati

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)


Cabang Surakarta
Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
2022
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarokatuh.

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul ”Menilik Populisme
Islam dalam Gerakan Aksi 212 Sebagai Gerakan Islam di Era Kontemporer” ini
dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi persyaratan
mengikuti Latihan Kader II (Intermediate Training) HMI Korkom Walisongo
Cabang Semarang 2022.
Tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada para pihak dan
rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini, tentunya penyusun
tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat
penyusun harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Sekian. Terima Kasih.


Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarokatuh.

Surakarta, 29 Januari 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................
1.1. Latar Belakang...........................................................................................
1.2. Rumusan Masalah......................................................................................
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................................
1.3.1. Tujuan Penelitian..............................................................................
1.3.2. Manfaat Penelitian............................................................................
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................
2.1. Tinjauan Umum Populisme Islam dan Gerakan Islam...............................
2.1.1. Populisme Islam...............................................................................
2.1.2. Gerakan Islam...................................................................................
2.1.2.1. Gerakan Islam Kanan..........................................................
2.1.2.2. Gerakan Islam Kiri..............................................................
2.1.2.3. Perbedaan Gerakan Islam Kanan dan Islam Kiri.................
2.2. Tinjauan Populisme Islam dalam Gerakan Aksi 212.................................
2.2.1. Perkembangan Populisme Islam dan Gerakan Islam di Indonesia...
2.2.1.1. Perkembangan Populisme Islam di Indonesia.....................
2.2.1.2. Pekembangan Gerakan Islam di Indonesia..........................
2.2.2. Latar Belakang Munculnya Gerakan Aksi 212................................
2.2.3. Identifikasi Keterkaitan Populisme Islam dalam Gerakan Aksi 212
sebagai Gerakan Islam......................................................................
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan.................................................................................................
3.2. Saran...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
CURRICULUM VITAE (CV).................................................................................
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Terbukanya tempat dan ruang dalam demokrasi mempengaruhi
perkembangan pemikiran dan tindakan individu dan kelompok. Pengembangan
ide dan tindakan dapat mengarah pada munculnya organisasi dan komunitas yang
didasarkan pada konstruksi makna kolektif. Perluasan dan perkembangan dalam
konstruksi makna sebagai elemen ideologis yang dilandasi oleh ide atau gagasan
dapat menciptakan ruang-ruang baru yang berbasis identitas yang muncul di
permukaan fenomena sosial untuk dijadikan sebuah ideologi. Identitas keagamaan
merupakan salah satu ideologi yang membuka jalan baru dalam perkembangan
pluralisme dan modernitas ideologis. Hal ini juga mempengaruhi munculnya
berbagai gerakan sosial baru yang berbasis ide dan konstruk makna yang berbasis
agama. Maraknya berbagai gerakan sosial keagamaan juga merupakan bagian dari
perbedaan pemahaman dan pemutakhiran teks-teks ajaran agama yang ada1.
Situasi dan kondisi tersebut dapat dimanfaatkan oleh individu dan kelompok
sebagai peluang untuk sistem komunikasi, koneksi dan pembentukan hubungan.
Beberapa istilah dalam gerakan sosial cenderung dapat dikatakan mirip
dengan populisme, hal ini lebih didasarkan dalam arti politik. Menurut Laclau,
praktik populisme adalah konstruksi politik yang menyatukan tuntutan atau
harapan yang homogen dalam masyarakat yang berkonflik dari masyarakat yang
heterogen dalam dikotomi antara tuntutan rakyat yang tidak dipenuhi dan
kekuasaan yang tidak aktif dan responsif.2 Populisme muncul dari adanya sebuah
momentum yang didasari oleh tuntutan sosial. Meskipun menggunakan simbol-
simbol identitas kelompok tertentu, tetapi yang ditampilkan adalah agenda dan
tuntutan. Kategori tuntutan ini dapat berubah karena adanya transisi. Transisi yang

1
Thohir Yuli Kusmanto, “Gerakan Sosial Keagamaan pada Komunitas Urban: Studi Gerakan
Pengajian Ahad Pagi”, Universitas Islam Semarang, Vol 1, No 1 (2017), hlm. 86
2
DefbryMargiansyah, “Populisme Di Indonesia Kontemporer: Transformasi Persaingan
Populisme Dan Konsekuensinya Dalam Dinamika Kontestasi Politik Menjelang Pemilu”, LIPI,
Vol 16, No 1 (2019), hlm. 50
dimaksud disini ialah beberapa tuntutan dan permintaan yang tidak terpenuhi.
Tuntutan ini kemudian digabungkan dengan tuntutan lain yang mencakup rantai
kesamaan, yaitu situasi yang setara dalam kadar pemaknaan tuntutan. Dengan
demikian, terbentuk batas internal dalam spektrum politik lokal, yang terbagi
(terdikotomi) dengan munculnya rantai yang setara.3
Politik Islam dan gerakan sosial Islam juga dapat dipahami sebagai respon
populis terhadap konflik sosial.4 Memang ada keterkaitan antara ormas Islam
dengan pemaknaan ajaran agama yang dapat merangsang munculnya gerakan
sosial populisme dengan ormas keagamaan yang lain sebagai basis sosialnya.
Salah satu fenomena populisme berbasis konstruksi keagamaan adalah Gerakan
212. Hal ini terlihat pada anggota berbagai ormas Islam yang mengandung unsur
populisme yang berbeda dan sekaligus menjadi cikal bakal populisme Islam.
Fenomena populisme Islam di Indonesia didasarkan atas adanya krisis
representasi dalam konteks absennya gerakan politik yang progresif sebagai ruang
bagi kelas yang terpinggirkan. Lebih dari itu, tidak terbangunnya basis sosial
multikelas serta borjuasi muslim yang kuat dan munculnya produk depolitisasi
yang panjang serta dominasi ekonomi oleh borjuasi domestik Cina, menghasilkan
aliansi populisme Islam di Indonesia yang terpecah.5 Hal tersebut berimplikasi
pada bentuk populisme di Indonesia yang cenderung bertujuan sebagai mobilisasi
elektoral semata.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis memiliki ketertatikan
untuk meneliti tentang populisme Islam dalam gerakan aksi 212 sebagai suatu
gerakan politik. Diketahui bahwa populisme Islam dan gerakan aksi 212
didasarkan atas munculnya aliansi universal diantara berbagai organisasi Islam.
Hal tersebut tentu saja dapat memperkaya dinamika terkait gerakan sosial
keagamaan dan populisme Islam khususnya dalam gerakan aksi 212. Oleh karena

3
Dea Bhakti Pratama, “Populisme Islam Dalam Gerakan 212 (Studi Kasus: Lima Organisasi
Keagamaan)”, Saskara, Vol. 1, No. 1 (Juni, 2021), hlm. 2
4
Vedi R Hadiz, Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah, (United Kingdom: Cambridge
University Press, 2016), hlm. 33
5
Abdil Mughis Mudhoffir, dkk., Populisme dan Tantangan Demokrasi di Indonesia., (Depok:
Prisma, 2017), hlm. 55
itu, perlu ada kajian lebih lanjut serta mendalam mengenai gerakan aksi 212 dan
populisme Islam.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini akan terfokus untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa itu populisme Islam dan gerakan Islam?
2. Mengapa muncul Gerakan Aksi 212 sebagai salah satu gerakan Islam?
3. Bagaimana keterkaitan antara populisme Islam dengan Gerakan Aksi 212
sebagai Gerakan Islam di Era Kontemporer?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini disusun oleh penulis dengan tujuan sebagai berikut:
a) Untuk mengetahui pengertian dari populisme Islam dan Gerakan Islam.
b) Untuk mengetahui latar belakang munculnya Gerakan Aksi 212.
c) Untuk mengetahui dan memberikan gambaran keterkaitan antara
Populisme Islam dan Gerakan Aksi 212 sebagai Gerakan Islam di Era
Kontemporer.

1.3.2. Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Manfaat Teoritis: Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran untuk
memahami keterkaitan antara populisme Islam dengan Gerakan Aksi 212
sebagai suatu Gerakan Islam di Era Kontemporer.
b) Manfaat Praktis: Untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti LK II
(Intermediate Training) HMI Korkom Walisongo Cabang Semarang.
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Tinjauan Umum Populisme Islam dan Gerakan Islam


2.1.1. Populisme Islam
Populisme Islam muncul setelah terjadinya gelombang massa besar-
besaran yang terjadi di Mesir dan Turki kemudian Indonesia. Tentu saja isu
ini menjadi menarik karena kerap dikaitkan dengan kebangkitan Islam.
Dalam mendefinisikan populisme Islam tidaklah mudah. Bahkan, sampai
saat ini definisi dari populisme sendiri masih belum terkonsepkan dengan
baik. Tidaklah mengherankan jika ada banyak pakar yang menulis tentang
populisme mengawali tulisannya dengan kesulitan definisi ini.6 Namun, dari
berbagai pendapat ahli mengenai populisme, dapat ditarik satu kesimpulan
bahwa populisme adalah fenomena sosial-politik dengan sejarah yang
panjang. Oleh karena itu, tidak ada defenisi yang baku terhadap populisme.
Pengertiannya bergantung pada situasi dan kondisi sosial politik, terkadang
diidentikan dengan aspirasi ideologi kanan, lain waktu identik dengan
aspirasi politik kiri. Secara sederhana, populisme adalah suatu pemahaman
yang menghadapkan politik “rakyat banyak” dengan politik “elite” yang
digambarkan sebagai tamak dan jahat.7
Istilah “populisme Islam” dipopulerkan oleh Vedi R. Hadiz sebagai
salah satu varian populisme dalam analisis fenomena di negara-negara
mayoritas Muslim. Perbedaan populisme Islam dan populisme pada
umumnya terletak pada konsep masyarakatnya. Dalam populisme pada
umumnya, perbedaan dalam masyarakat dihomogenisasi menjadi rakyat.
Sedangkan homogenisasi dalam populisme Islam tidak melalui rakyat,

6
Saidurrahman dan Azhari Akmal Tarigan, Rekonstruksi Peradaban Islam: Prespektif Prof. K. H.
Yudian Wahyudi, Ph.D., (Jakarta: Prenamedia Group, 2019), hlm. 7.
7
Vedi R. Hadiz, “Populisme Baru dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”, Jurnal Prisma, Vol. 36
No. 1 (2017), hlm. 38.
melainkan melalui ummat. Dari sudut pandang populisme Islam, meskipun
memiliki karakteristik yang berbeda, setiap orang adalah bagian dari ummat
(komunitas agama) sebagai perwakilan dari orang-orang yang bergerak
karena terpinggirkan dari elit sekuler. Umat adalah istilah yang dibutuhkan
untuk memobilisasi massa, mengingat kompleksnya keragaman agama
dalam aliansi di era masyarakat modern.8
Vedi Hadiz membedakan antara populisme Islam pada masa kolonial
dan pasca kolonial. Populisme Islam pada masa kolonial lebih bersifat
defensif, karena umat Islam pada waktu itu mendapat tekanan dari
pemerintah kolonial (Prancis, Inggris, Portugis dan Belanda). Sebagian
besar negara yang dijajah pada abad ke-18 hingga awal abad ke-20 adalah
negara-negara yang pemerintah dan mayoritas penduduknya beragama
Islam. Sifat defensif populisme Islam jenis ini adalah tekadnya untuk
membangun negara Islam dan mengusir penjajah. Identitas agama Islam
adalah pembeda antara orang yang dijajah dan orang yang dijajah. Para
penjajah dan pengikutnya dianggap kafir.9 Sedangkan Populisme Islam
pada masa pasca kolonial muncul setelah kemerdekaan. Hadiz
menyebutnya sebagai populisme Islam baru. Sekarang, umat Islam tidak
harus berurusan dengan orang-orang kafir. Pemerintah negara-negara
Muslim ini juga menganut agama yang sama. Hanya saja pemerintah
sendiri tidak terlihat berpihak pada umat Muslim. Kebijakan politik,
ekonomi, dan budaya pemerintah dinilai merugikan umat Islam. Oleh
karena itu, sentimen publik Islam saat ini adalah untuk meningkatkan peran
politik, ekonomi dan sosial umat Islam di negaranya (Turki, Mesir,
Indonesia, dll). Berbeda dengan sentimen Islam zaman kolonial, agenda
umat Islam besar saat ini bukanlah mendirikan negara Islam, tetapi
mengubah atau meningkatkan posisi sosial dan politik rakyat dalam konteks
pemerintahan dan kehidupan sosial.10

8
Vedi R. Hadiz, Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah, (Jakarta: LP3S dan Universitas
Indonesia, 2019), hlm. 20.
9
Ibid, hlm. 44.
10
Ibid, hlm. 129.
Jenis aliansi kelas dalam populisme Islam dibagi menjadi tiga, yaitu:
Pertama, kelas menengah perkotaan. Kelas ini umumnya diasosiasikan
kepada agenda sosial politik sekuler dan bersifat teknokratik. Namun,
sekarang kelas ini banyak mengisi gerakan populisme Islam. Kedua, kaum
borjuasi ikut mendukung proyek populisme Islam. Ketiga, konstituen
populisme Islam berasal dari kaum miskin kota. Kelas ini semakin besar
ketika dihadapkan dengan ekspansi kapitalisme global yang mengubah
lanskap sosial ekonomi di banyak tempat. Jadi, kelompok masyarakat
menengah bergabung dengan masyarakat urban, sedangkan kaum borjuasi
urban yang termarjinalkan bergabung dengan kaum miskin kota yang tidak
terorganisasi.11
Secara teoretis, terdapat dua indikator perbedaan populisme dengan
populisme Islam. Pertama, pola kemunculan populisme Islam tidak dari
negara atau penguasa seperti Kemalisme, Peronisme dan sebagainya, tapi
tumbuh diluar kekuatan negara atau penguasa. Kedua, pada umumnya
populisme Islam bukan bentuk populisme yang berdasarkan figur politik.
Dua indikator tersebut bermakna bahwa tujuan akhir dari populisme
cendrung lebih mengarah pada kepentingan kolektif dengan
mengatasnamakan Islam.12

2.1.2. Gerakan Islam


Gerakan Islam merupakan aktivitas masyarakat secara kolektif dan
terorganisir untuk mengembalikan Islam pada kepimimpinan masyarakat,
mengarahkan kehidupan pada semua bidangnya, dengan perintah dan
larangan-Nya, ketetapan-ketetapan dan anjuran-anjuran-Nya. Gerakan Islam,
segala sesuatunya adalah aktivitas, upaya terus menerus dan berkelanjutan,
bukan sekedar hanya pembicaraan yang diucapkan, pidato yang
disampaikan, ceramah-ceramah yang diagendakan, buku-buku yang

11
Faisal Riza, Aktivisme Islam Kaum Urban (Politisasi Identitas, Mobilisasi dan Pragmatisme
Politik), (Medan: CV Pusdikra MJ, 2020), hlm. 204.
12
Wasisto Raharjo Jati. “Trajektori Populisme Islam di Kalangan Kelas Menengah Muslim
Indonesia”, Jurnal Prisma, Vol. 36, No. 3, (2017), hlm. 26.
dikarang, atau makalah-makalah yang diterbitkan, meskipun itu semua
sangat dibutuhkan. Akan tetapi itu hanya merupakan bagian dari aktivitas,
bukan gerakan itu sendiri.13
Istilah “Gerakan Islam” akhir-akhir ini menjadi populer karena
sering dikaitkan dengan istilah politik, ekstremisme, atau simbol kekerasan
untuk mencapai tujuan politik. Hal ini didasarkan pada serangkaian kajian
dan penelitian tentang Gerakan Islam yang seringkali dikaitkan dengan
varian radikal gerakan ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
gerakan Islam diidentikkan dengan gerakan politik yang bertujuan untuk
mengubah rezim di tingkat nasional dan global. Sementara itu, aktivitas dan
perjuangan ormas Islam yang menggunakan cara-cara transformasional dan
damai seringkali tidak dicap sebagai 'gerakan Islam', istilah "organisasi
Islam" digunakan untuk menggambarkan gerakan ini. Dalam konteks
Gerakan Islam, mengacu pada dua konsep, yaitu: pembaruan dan reformasi,
yang membutuhkan perubahan dan transformasi secara damai dan
beradab.14 Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama
Islam tentu saja mengalami banyak pergolakan Gerakan Islam. Gerakan
Islam di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Gerakan Islam Kanan dan
Gerakan Islam Kiri. Adapun penjelasan mengenai dua Gerakan Islam
tersebut adalah sebagai berikut:
2.1.2.1. Gerakan Islam Kanan
Bangkitnya gerakan Islam Kanan atau fundamentalisme Islam di
Indonesia sebenarnya melampaui gerakan reformasi yang menggulingkan
rezim otoriter Suharto. Namun, gerakan ini muncul secara dramatis setelah
jatuhnya Suharto pada tahun 1998. Hal itu ditandai dengan munculnya
berbagai organisasi yang mengatasnamakan Islam dan perjuangan untuk
menegakkan syariat. Secara historis, gerakan fundamentalisme Islam di
Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak zaman penjajahan Belanda. Salah

13
Ahmad Mulyono, Thesis: “Konsep Gerakan Islam Imam Syahid Hasan Al Hanna” (Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2004)
14
Mohammad Syifa A. Widigdo, “Gerakan Islam Indonesia: Mengurai Belenggu, Membangun
Peradaban”, Islamic World and Politics, Vol. 02, No. 02, (Desemeber, 2018), hlm. 387-388
satu gerakan Islam garis keras yang muncul saat itu adalah gerakan DI/TII
(Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Gerakan ini berkembang pesat di
beberapa daerah antara lain Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan ini
memiliki tujuan, yaitu syariat Islam sebagai dasar negara Indonesia dan
menamakan dirinya sebaga Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan ini
berhenti ketika semua pimpinan mereka tertangkap atau terbunuh pada awal
1960-an. Gerakan yang sama kembali muncul pada awal tahun 1970-an dan
1980-an. Isu-isu yang diangkat pada masa itu adalah gerakan melawan
komunisme di Indonesia. Sehingga kuat dugaan Gerakan Islam pada saat itu
sengaja dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menghabisi komunis di
Indonesia.15
Setelah itu, gerakan fundamentaslisme Islam atau Islam Kanan ini
kembali merebak pada orde reformasi. Selain sebagai wujud respons
psikologis terhadap tekanan orde baru pada era sebelumnya, gerakan ini
juga muncul sebaga uforia atas kebebasan yang mereka terima. Isu-isu yang
diangkat selain ingin menegakkan syari‘ah juga mengusung isu-isu
solidaritas terhadap penderitaan umat Islam di belahan bumi lain.
Kelompok ini terinspirasi juga oleh gerakan revolusi di Iran. Sehingga
akhirnya muncul gerakan radikalisme di Indonesia. Terlepas dari isu-isu
yang mereka angkat, secara pandangan teologis, mereka mereka juga
terinspirasi oleh pemahaman agama yang teksualis. Kelompok ini
cenderung mengabaikan faktor konteks sosial di masyarakat, sejarah dan
politik. Dari beberapa pandangan di atas dapat ditarik sebuah garis merah
bahwa yang termasuk dalam golongan gerakan Islam Kanan antara lain;
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Fron Pembela Islam
(FPI), dan Hizbuttahrir Indonesia (HTI). Kelompok-kelompok Islam ini,
memiliki rekam jejak yang sama atau setidaknya persis dengan ciri-ciri
Islam kanan yang telah digambarkan di atas.16

15
Muhammad Muslim, “Islam Kanan Versus Islam Kiri di Indonesia”, al-‗Adâlah,Vol. 16, No. 02,
(November, 2012), hlm. 230.
16
Ibid.
2.1.2.2. Gerakan Islam Kiri
Berbicara mengenai gerakan Islam Kiri di Indonesia, sama halnya
dengan membicarakan masalah gerakan modernisme Islam di Indonesia itu
sendiri sebab gerakan modernisme inilah yang kemudian memunculkan
berbagai akar pemikiran yang liberal dan menganggap Islam sebagai agama
yang dinamis dan plural. Saat lebih jauh membahas masalah gerakan
modernisme Islam di Indonesia, maka yang sangat dekat dengan gerakan
tersebut adalah gerakan Islam Liberal yang ada di Indonesia. Gerakan Islam
Kiri ditujukan untuk membekali pribadi dan menggugah kesadaran untuk
menyongsong kebangkitan modern rakyat. Ia melontarkan berbagai
pemikiran alternatif, meninggalkan solusi-solusi parsial menuju suatu ide
komprehensif untuk memantapkan posisi rakyat dalam sejarah, dan hanya
mengakui keadulata ada pada mayoritas rakyat.17 Berikut ini adalah tahapan
Gerakan Islam Kiri di Indonesia:18
A. Era Orde Baru
Era Orde Baru memiliki dampak tersendiri bagi umat Islam. Pada
saat itu, sejumlah cendekiawan Muslim mencoba memberikan respons
terhadap situasi yang dinilai tidak memberi kebebasan berpikir. Kelompok
inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang Pembaharuan
Pemikiran Islam. Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak hanya
secara tekstual tetapi justru lebih ke penafsiran kontekstual.
Sedikitnya terdapat empat versi Islam liberal yang muncul saat itu,
yaitu modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan neo
modernisme. Kelompok modernisme mengembangkan pola pemikiran yang
menekankan pada aspek rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam sesuai
dengan kondisi-kondisi modern. Tokoh-tokoh yang dianggap mewakili
pemikiran modernisme antara lain, Ahmad Syafii Ma`arif, Nurcholish
Madjid, dan Djohan Effendi.

17
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta: LKiS,
1993), hlm. 177
18
Op. cit., hlm. 233.
Selain para pemikir tersebut, ada juga para pemikir yang masuk
dalam gerakan universalisme Islam. Gerakan ini, sebenarnya, merupakan
pendukung modernisme yang secara spesifik berpendapat bahwa, pada
dasarnya Islam itu bersifat universal. Mereka berpandangan bahwa Islam
berada dalam konteks nasional, tetapi nasionalisasi itu bukanlah tujuan final
Islam itu sendiri. Karena itu, pada dasarnya, mereka tidak mengenal
dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Kelompok ini berpadangan
bahwa keduanya bisa saling menunjang. Pola pemikiran ini, diilhami oleh
pemikiran Jalaluddin Rahmat, M. Amien Rais, A.M. Saefuddin, Endang
Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin Abdul Rahim.
Ada lagi satu kelompok yanag memiliki pola pemikiran Islam
sosialis-demokratis, yang berpandangan bahwa kehadiran Islam harus
memberi makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini, Islam harus
menjadi kekuatan yang mampu menjadi motivator secara terus menerus
dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Sejumlah pemikir yang masuk
dalam katagoriini, antara lain, Adi Sasono, M. Dawam Rahardjo, serta
Kuntowidjojo.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah gerakan Neo Modernisme
di Indonesia. Mereka memiliki asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan
dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam
diharapkan menjadi leading-ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa
depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan tradisi
keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-
muhafazhat „ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah
(memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih
baik). Ada dua tokoh intelektual yang menjadi pendukung utama neo
modernisme ini adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.
B. Era Reformasi
Orde Reformasi tidak hanya melahirkan kelompok-kelompok Islam
Radikal, tapi pada saat yang sama juga telah melahirkan kelompok Islam
Liberal. Kedunya memiliki sudut pandang yang berlawanan, dalam
menafsirkan agama. Salah satu jaringan kelompok liberal yang muncul di
era reformasi adalah Jaringan Islam Liberal yang tujuannya utamnya adalah
untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia.
Upaya yang dilakukan oleh kelompok pemuda Islam ini antara
lain,membuat milis Islamliberal@yahoo.com dan juga menyebarkan
gagasan-gagasannya melalui website www.islamlib.com. Kegiatan utama
kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam,
Negara, dan isu-isu kemasyarakatan.
Pada awal kehadirannya, isu-isu ke-Islaman yang diangkat adalah
seputar definisi dan sikap Islam Liberal tentang, negara dan isu-isu
kemasyarakatan. Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat
kabar utama yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos
yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H,
Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan gagasan-gagasan dan
penafsiran liberal. Sejumlah karya yang menjadi representasi pemikiran
liberal Islam antara lain, Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina),
Menjadi Muslim Liberal (Ulil AbsharAbdalla) Counter-Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk), Indahnya Perkawinan Antar
Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel tentang Islam yang
mengikuti arus utama pemikiran liberal.

2.1.2.3. Perbedaan Gerakan Islam Kanan dan Islam Kiri


Gerakan Islam Kanan dan Gerakan Islam Kiri memiliki perbedana
yang sangat fundamental, pemahaman Islam kiri dalam memahami ajaran
agama dan memahami al-Qur‘an dengan cara yang kontekstual bahkan
tidak jarang menggunakan pendekatan hermeunetika yang selama ini
berkembang untuk tafsir bibel. Dalam hal bernegara, kelompok Islam Kiri
memandang bahwa Indonesia sudah negara yang final dengan berlandaskan
UUD 1945 dan berdasarkan Pancasila. Sementara, kelompok Islam Kanan
memiliki pemahaman yang sangat literal terhadap ajaran Islam, dan
bekeinginan untuk mendirikan negara Islam atau setidaknya akan
memberlakukan Syari‘at Islam. Berikut ini adalah ciri-ciri dari kedua
Gerakan Islam tersebut:19

No. Gerakan Islam Kiri Gerakan Islam Kanan


1. Pemahaman yang kontekstual Pemahaman yang sangat literal
bahkan tidak jarang terhadap ajaran Islam
menggunakan pendekatan
hermeunetika yang berkembang
untuk tafsir bibel
2. Islam merupakan konstruksi Keyakinan yang sangat kuat
historis bahkan dalam bahwa Islam adalah satu-satunya
pandangan ekstrim mereka al- solusi untuk menyelesaikan
Quran adalah produk budaya berbagai krisis di negeri ini
3. Negara boleh berbentuk apa Perjuangan yang tak kenal lelah
saja yang penting nilai Islam menegakkan syariat Islam
dapat ditegakkan
4. Bersikap pluralis bahkan dalam Resistensi terhadap kelompok
pemahaman keagamaan yang berbeda pemahaman dan
menganut wihdatul adyan keyakinan
5. Menolak Barat dengan konsep Penolakan dan kebencian yang
oksidentalismenya (sebenarnya nyaris tanpa cadangan terhadap
tidak menolak) segala sesuatu yang berbau Barat

2.2. Tinjauan Populisme Islam dalam Gerakan Aksi 212


2.2.1. Perkembangan Populisme Islam dan Gerakan Islam di Indonesia
2.2.1.1 Perkembangan Populisme Islam di Indonesia
Di Indonesia, krisis politik berbasis representasi saat ini berakar dari
sejarah yang panjang. Depolitisasi demokrasi terutama dalam wujud
kebijakan massa Orde Baru sekaligus upayanya menutup pelbagai
19
Op. cit., hlm. 229.
kemungkinan munculnya antagonisme politik, baik gerakan progresif maupun
kelompok Islam, atas nama keamanan dan ketertiban umum nyatanya bukan
hanya menghasilkan masyarakat yang apolitis serta gerakan masyarakat
warga yang terfragmentasi, melainkan pula lembaga-lembaga representatif,
misalnya, partai politik kehilangan kemampuannya dalam memobilisasi dan
mengorganisasikan basis politiknya.20
Pasca-Orde Baru dalam era neoliberalisme ini tampak tidak banyak
perbedaan. Sementara itu, kelompok borjuasi Tionghoa yang mendominasi
kapital kian bertambah kekayaannya dan membuat mereka memiliki pengaruh
yang jauh lebih besar dalam konstelasi kekuasaan. Hal tersebut dapat dengan
mudah diamini ketika partai-partai politik yang karena tidak memiliki kelas
kapitalis yang kuat juga karena ketiadaan basis sosial yang mengakar dan kuat
mereka bergantung pada kaum borjuasi Tionghoa untuk membentuk aliansi
predatoris dalam kontestasi elektoral. Alhasil, mekanisme politik demokratis
dilangsungkan hanya sebagai ajang dalam arena baru perebutan kekuasaan
dan akumulasi aset para elite predatoris. Keadaan tersebut menandai
terjadinya krisis representasi di Indonesia yang terus-menerus direproduksi
sampai sekarang.21
Selain karena semakin mapannya kelompok borjuasi Tionghoa pasca-
Orde Baru, kesenjangan ekonomi tersebut terlihat, misalnya, dalam laporan
Credit Suisse pada 2016 yang menunjukkan bahwa 1 persen orang terkaya di
Indonesia (sekitar 2,6 juta orang) menguasai sekitar 49 persen atau hampir
setengahnya dari total kekayaan Indonesia, sementara 10 persen orang terkaya
(26 juta orang) memiliki 77 persen total kemakmuran Indonesia. Sebaliknya,
hanya 1,4 persen daritotal kekayaan aset negara dimiliki 100 juta orang
termiskin (40 persen) Indonesia. Artinya, kelas menengah rentan (precariat
middle class) yang mendominasi kelas menengah di Indonesia itu bisa kapan
saja kembali jatuh miskin. Kecemasan akan terjadinya pemiskinan sosial di

20
Muhammad Naufan Rizqullah, Mulawarman Hannase, “Mendudukan Ulang Populisme Islam:
Karakter Politik Identitas dan Perkambangannya di Indonesia”, Syntax Admiration, Vol. 2, No.6,
(Juni, 2021), hlm. 1127.
21
Ibid, hlm. 1128.
kalangan kelas menengah rentan tersebut, serta kekecewaan kelas pekerja
prekariat atas sistem ketenagakerjaan patut diperhatikan sehubungan dengan
problem berbasis identitas: kecemburuan ekonomi terhadap etnis Tionghoa.
Di titik itulah populisme kanan juga memungkinkan dirinya untuk muncul
dan segera menguat.22
Populisme Islam di Indonesia sesungguhnya sudah terfragmentasi
sejak era Orde Baru dengan bermacam kelompok kepentingan di dalamnya.
Fragmentasi tersebut dapat dilacak dari beragam jenisnya kelompok Islam
yang bisa mengaku merepresentasikan “umat” dari gerakan yang mengambil
jalur terorisme, juga gerakan yang menolak negara-demokrasi sampai
kelompok kekerasan sipil, kelompok pengajian yang apolitis, serta partai
politik Islam.23 Kemudian pada masa reformasi dan pasca reformasi dengan
lahirnya otonomi daerah menjadi satu jejak populisme Islam di level lokal
menjadi laku bahkan dalam beberapa persoalan yang menghubungkan
masyarakat dan pemerintah daerah diterapkan regulasi atau Perda seperti
provinsi Aceh dan Sumatera Barat.24
2.2.1.2 Perkembangan Gerakan Islam di Indonesia
Gerakan Islam di Indonesia sampai pada abad kesembilan belas
mempunyai pola yang bersifat komunal. Para tokoh pemimpin Islam
menggunakan solidaritas pedesaan, solidaritas petani misalnya, untuk
menggerakkan perlawanan terhadap penjajah.Solidaritas semacam ini
memang berakar pada struktur masyarakat agraris, dan biasanya berpusat
pada sekitar tokoh- tokoh kharismatis. Pola gerakan komunal dengan
menggunakan solidaritas mekanis seperti ini bersifat sangat lokal. Solidaritas
komunal seperti itu, bukan karena perikatan asosiasional. Ikatan jaringan
seperti itu terbentuk karena hubungan darah, perkawinan silang atau

22
Ibid, hlm. 1129.
23
Ibid, hlm. 1130.
24
Nasir Tamara, Ed., Demokrasi di Era Digital, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2021),
hlm. 428.
hubungan perguruan. Jadi belum diikat oleh jaringan yang lebih bersifat
organis.25
Munculnya Sarikat Dagang Islam pada awal abad kedua puluh,
menandakan dimulainya babak baru dalam gerakan Islam di Indonesia. Ciri
pokok pergerakan Islam pada babak ini adalah bahwa tokoh-tokohnya tidak
lagi berlatar belakang pedesaan, tapi merupakan wakil dari kelas menengah
perkotaan. Bentuk organisasinya-pun sudah modern. Demikianlah, organisasi-
organisasi yang muncul setelah itu hampir seluruhnya menggunakan cara-cara
modern, tetapi adanya perbedaan orientasi gerakan diantara mereka. Berbeda
misalnya dengan SDI (SI), Muhammadiyah lahir dengan orientasi keagamaan.
Muhammadiyah lebih menampilkan diri sebagai gerakan puritan untuk
menghapus beban-beban kultural Islam yang terkena pengaruh budaya
agraris.26
Kemunculan Nahdhatul Ulama (NU) juga tidak terlepas dari pada
masalah basis sosial ini. Sesungguhnya NU lahir karena reaksi terhadap dua
hal. Pertama, ia merupakan reaksi terhadap politisasi agama yang dlakukan
oleh Syarekat Islam (SI), dan kedua merupakan reaksi terhadap gerakan
pembaharuan Muhammadiyah. Tetapi perbedaan yang lebih mendasar antara
SI dan Muhammadiyah di satu pihak, dengan NU di pihak lain sesungguhnya
adalah karena keduanya mempunyai basis sosial yang berbeda. NU
bagaimanapun tetap mewakili tradisi masyarakat komunal agraris yang dijalin
dalam ikatan- ikatan solidaritas mekanis paternalistik. Di lain pihak SI dan
Muhammadiyah muncul sebagai wadah yang mewakili tradisi baru
masyarakat urban, pedagang, dengan ikatan- ikatan solidaritas organis
partisipatif. Itu sebabnya, jika NU mengembangkan gerakannya dengan
menggunakan lembaga- lembaga dan jaringan- jaringan lama, maka SI dan
Muhammadiyah menciptakan lembaga- lembaga dan tradisitradisi baru
dengan jaringan yang bersifat organis dan asosiasional.27

25
A. Zaeny, “Transformasi Sosial dan Gerakan Islam di Indonesia”, Pengembangan Masyarakat
Islam, V0l. 1, No.2, (Juni, 2005), hlm. 163
26
Ibid.
27
Ibid, hlm. 164.
2.2.2. Latar Belakang Munculnya Gerakan Aksi 212
Gerakan Aksi 212 (Aksi Bela Islam III) dalam liputan di banyak
media diberitakan sebagai aksi damai. Hal itu dikarenakan aksi tersebut
ditunjukkan melalui suatu mobilisasi massa yang sangat besar dalam bentuk
ibadah shalat Jum’at di lapangan Monas, Jakarta pada 2 Desember 2016. Hal
yang membedakannya dengan aksi sebelumnya di Aksi Bela Islam I dan
bahkan II pada 4 November 2016 yang berakhir dengan unjuk rasa dan
kerusuhan di beberapa lokasi di DKI Jakarta. Sebelumnya, pada tanggal 4
November 2016 sejumlah ormas Islam yang didukung oleh beberapa
organisasi mahasiswa Islam melakukan demonstrasi besar yang berakhir
dengan kerusuhan untuk menuntut Ahok atau Gubernur DKI Jakarta, Basuki
Tjahaja Purnama yang dianggap telah melakukan penghinaan terhadap kaum
Muslim karena pernyataannya di hadapan sejumlah masyarakat di Kepulauan
Seribu pada bulan September 2016 dengan mengutip ayat dari Al Qur’an
yaitu Surah Al Maidah ayat 51. Polemik tentang penistaan agama inilah yang
menjadi momentum awal bagaimana mobilisasi massa dilakukan oleh GNPF-
MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa – Majelis Ulama Indonesia) sebagai
penyelenggara aksi tersebut. GNPF-MUI sebagai ‘organizer’ utama Aksi Bela
Islam menyatakan bahwa mobilisasi massa itu dibenarkan karena Majelis
Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan pernyataan sikap terkait
pernyataan Ahok tersebut sebagai suatu pernyataan yang menistakan Al
Quran dan ulama dan karena disampaikan di muka umum, maka pernyataan
tersebut dianggap memiliki konsekuensi hukum.28
Kasus ini mulai menjadi perhatian publik di level nasional hingga
internasional, sejak adanya polemik ‘penistaan agama’ yang mulai muncul
melalui postingan video Ahok yang berkunjung ke Kepulauan Seribu dengan
tajuk “Penistaan terhadap Agama?” yang diunggah oleh Buni Yani pada 6
Oktober 2016 melalui akun Facebooknya. Penggalan perkataan Ahok yang
menyebutkan “jangan mau dibohongi pakai Ayat Al Maidah 51” itulah yang

28
Arie Setyaningrum Pamungkas dan Gita Octaviani, “Aksi Bela Islam dan Ruang Publik Muslim:
Dari Representasi Daring ke Komunitas Luring”, Pemikiran Sosiologi, Vol. 4, No. 2 , (Agustus,
2017), hlm. 66.
kemudian digiring menjadi polemik publik, apalagi ketika itu di akhir tahun
2016 hingga awal tahun 2017 situasi di DKI Jakarta sedang dalam keadaan
‘panas’ khususnya pada masa kampanye sebelum berlangsungnya Pilkada
DKI 2017 pada putaran pertama 15 Februari 2017, dan terus berlanjut
sebelum putaran kedua Pilkada DKI pada 19 April 2017. Kasus Ahok tersebut
menimbulkan polemik dan bahkan kegaduhan politik menjelang
dilaksanakannya Pilkada DKI Jakarta pada awal 2017 dimana Ahok juga ikut
mencalonkan diri sebagai Petahanan. Pada akhirnya polemik itu berujung
pada peradilan atas penistaan agama dan diputuskannya Ahok terbukti
bersalah melakukan penistaan agama dengan vonis hukuman selama 2 tahun
penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 9
Mei 2017.29
Wacana masif yang disebarluaskan khususnya oleh GNPF-MUI ke
khalayak ramai khususnya pada publik kaum Muslim di Indonesia adalah
pendapat bahwa Ahok sebagai seorang non-Muslim dengan sengaja
menggunakan pernyataan itu dengan tujuan untuk menyatakan bahwa “Ayat
Al Maidah 51 digunakan untuk membohongi umat Muslim agar tidak
memilih pemimpin kafir.” Hal itu memunculkan dua polemik utama yang
diwacanakan GNPF-MUI khususnya melalui media sosial yakni;30
(1) Tafsir GNPF-MUI bahwa Ahok telah menghina ulama (pemimpin kaum
Muslim) karena kalimatnya itu mengindikasikan pesan seorang ulama itu
adalah “orang yang suka berbohong (penipu).”
(2) Tafsir GNPF-MUI bahwa Ahok telah menista AlQur’an khususnya aAl
Maidah Ayat 51, dengan mengindikasikan bahwa ulama yang menggunakan
ayat itu, ditujukan untuk kepentingan ‘menipu’ umat dan atau ayat itu telah
‘menipu’ umat kaum Muslim pada umumnya, padahal ayat itu secara ‘teks’
adalah teks suci yang merupakan wahyu Allah SWT yang secara mutlak
termaktub sebagai ‘kitab Allah’ dan karenanya tidak bisa dikutip

29
Ibid, hlm. 67.
30
Ibid.
‘sembarangan’ atau dijadikan alasan argumentasi khususnya oleh seorang
non-Muslim (kafir). Jadi Ahok dianggap telah menistakan Al-Qur’an.
Kedua interpretasi atas ‘penggalan kalimat yang dinyatakan oleh
Ahok’ di dalam video Buni Yani itulah yang paling dominan diwacanakan
oleh para penggerak Aksi Bela Islam khususnya GNPF-MUI melalui media
sosial yang kemudian tersebar luas secara massif melalui jejaring komunitas
khususnya melalui teknologi ‘mobile’ smartphone melalui aplikasi pesan
personal WhatsApp hingga menjangkau ke ruang privat banyak Muslim di
seluruh Indonesia.31
Meski demikian, Aksi Bela Islam II pada bulan November 2016 yang
berakhir dengan kerusuhan telah menimbulkan reaksi di kalangan publik di
Indonesia berupa wacana kontra yakni bahwa mereka (ormas-ormas
khususnya ormas Islam) yang mengorganisir Aksi Bela Islam adalah
kelompok-kelompok Islam radikal, yang intoleran, dan bertujuan bukan hanya
untuk ‘Memenjarakan Ahok’ semata, melainkan suatu ‘makar politik’ yang
diarahkan pada pemerintahan yang sah berdasarkan konstitusi yaitu pada
pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, karena aksi itu
sebenarnya ditujukan untuk mengganti konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yaitu Pancasila dan UUD 1945 dengan ideologi Islam
radikal transnasional seperti mempromosikan sistem ‘Khilafah Islamiyah’
atau kekhalifan Islam dengan menggunakan ‘syariat Islam’ sebagai landasan
hukum formal politik.32
Politik pewacanaan yang demikian sangat cepat sekali berubah
khususnya pasca Aksi Bela Islam II pada 4 November 2016 yang juga
menimbulkan ketegangan politik antar elit politik di Indonesia, juga ikut
mempengaruhi bagaimana pewacanaan mengenai ‘Aksi Bela Islam’
direproduksi melalui format pewacanaan baru dimana wacana yang disusun
dan disebarluaskan kepada publik bukan hanya tentang ‘membela Islam’
semata-mata, tetapi bahwa kepentingan membela Islam itu ditujukan bagi

31
Ibid.
32
Ibid, hlm. 69.
‘persatuan dan kesatuan’ nasional dimana umat Muslim sebagai mayoritas
penduduk di Indonesia masih menginginkan bentuk NKRI sebagai negara
kesatuan dan bahwasanya aksi-aksi bela Islam selama ini sama sekali tidak
melanggar ketentuan konstitusi dan bahkan dianggap (diklaim) sebagai
manifestasi aspirasi suara umat Islam di Indonesia yang sesungguhnya.33
Oleh karena itu, dalam mobilisasi massa Aksi Bela Islam III,
dukungan yang diberikan pada aksi ini mengalami ‘perluasan simpati’ yang
muncul khususnya ketika media massa banyak memberitakan reaksi yang
dimunculkan oleh pemerintah Joko Widodo (Jokowi) pasca Aksi Bela Islam
II di bulan November 2016 melalui serangkaian tuduhan makar terhadap
beberapa tokoh politik oposisi yang diduga ikut terlibat memfasilitasi dan
memberi dukungan dalam aksi tersebut. Kalangan inisiator Aksi Bela Islam
khususnya FPI dan juga GNPF-MUI mentafsirkan reaksi pemerintah Jokowi
itu sebagai suatu bentuk kedzaliman oleh penguasa terhadap umat Islam.
Inilah yang sehingga mendorong gelombang simpati publik khususnya kaum
Muslim.
Dukungan bagi Aksi Bela Islam semakin membesar semenjak
keluarnya fatwa MUI tentang penistaan agama oleh Ahok pada 9 November
2017 (hanya beberapa hari setelah Aksi Bela Islam II pada 4 November 2017.
Dampak lain selain munculnya dukungan dan simpati yang sangat besar dari
banyak kaum Muslim pada Aksi Bela Islam III atau Aksi 212, adalah
bagaimana ormas-ormas lslam dan juga ormas-ormas lain non keagamaan
menggunakan wacana NKRI di dalam mewacanakan ‘Aksi Bela Islam’ dan
membuat pemerintah pada akhirnya ikut memfasilitasi aksi yang ditunjukkan
melalui ‘shalat Jumat’ di lapangan Monas pada tanggal 2 Desember 2016,
yang bahkan akhirnya juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan Wapres
Jusuf Kalla34

33
Ibid.
34
Ibid, hlm. 70.
2.2.3. Identifikasi Keterkaitan Populisme Islam dalam Gerakan Aksi 212
sebagai Gerakan Islam
Gerakan-gerakan berbasis agama di Indonesia telah melahirkan
populisme Islam. Menurut Vedi Hadiz, populisme Islam ini dikonstruksi
melalui upaya pembentukan narasi identitas Ummah sebagai bentuk lain dari
rakyat (the people). Narasi Ummah ini tidak hanya dapat dimainkan oleh
kelompok Islam tapi juga terhubung dengan kelompok-kelompok oligarki
yang memiliki keberpihakan moral terhadap keresahan yang sedang dihadapi
oleh kelompok Islam. Ketimpangan sosial dan ekonomi masih menjadi
masalah utama dari kemunculan populisme. Begitupun degan ketidakhadiran
gerakan progresif, narasi Ummah menjadi retorika yang dipakai oleh para
oligarki. Gerakan aksi 212 yang berjilid-jilid menjadi salah satu contoh nyata
dari fenomena politik identitas dan populisme saat ini.35
Populisme adalah sebuah momen dan muncul sebagai sebuah
momentum, maka populisme merupakan gerakan yang memiliki kerusakan
yang besar, populisme tidak konstan tetapi sekali itu terjadi, dan dampak yang
muncul tidak hanya berbicara horizontal, tetapi juga pada tataran atau politis,
dan itu terjadi secara langsung dan tidak langsung. dapat kita rasakan pada
tubuh sosial sebagai masyarakat. Implikasi yang dapat dirasakan dan terlihat
secara langsung adalah terbentuknya polarisasi dalam tubuh sosial masyarakat.
Polarisasi inilah yang memberikan dampak pada sosial tubuh, ekonomi dan
politik. Seperti data yang menjadi bukti yang diperoleh, polarisasi dalam
tubuh sosial yang terjadi pada kemunculan gerakan populisme 212 meliputi
menguatnya persatuan antar organisasi Islam yang saling memperkuat Islam
pasca terjadinya gerakan 212.
Fenomena gerakan Aksi 212 menunjukkan karakteristiknya sendiri
sebagai sebuah populisme Islam di Indonesia. Jika pra reformasi, kontestasi
ideologi nasionalis, agama, komunis merupakan murni perdebatan ideologis
dialektis, tidak demikian pasca reformasi. Meskipun komunis jelas sudah

35
La Ode Machdani Afala, Politik Identitas di Indonesia, (Malang: Tim UB Press, 2020), hlm.
134.
dilarang oleh orde baru, fragmentasi lebih beragam kemudian berkembang
justru di dalam kubu nasionalis dan agama (Islam). Narasi-narasi yang
kemudian muncul sekiranya dapat dibedakan: nasionalis agama, Islam kanan
yang mengarah kepada institusionalisasi agama Islam maupun implementasi
penerapan syariat Islam, dan Islam kiri yang lebih soft.36
Gerakan Aksi 212 mereresentasikan kemarahan umat Islam di
Indonesia atas pernyataan Basuki Tjahaja Purnama yang mengutip Al-Maidah.
GNPF-MUI hadir menaungi partisipan aksi lintas organisasi Islam, lintas-
komunitas Islam, dan pribadi-pribadi tanpa afiliasi. Peranan yang dimainkan
organisator-organisator GNPF-MUI mengondisikan kesediaan para partisipan
potensial untuk ikut aksi bela agama. Para organisator mendefinisikan insiden
Al-Maidah sebagai penistaan agama. Meskipun ada isu lain yang dilekatkan
pada masalah penistaan agama, seperti ketidakadilan hukum, kepribadian
Basuki Tjahaja Purnama sampai persoalan kinerja yang buruk dari seorang
Basuki Tjahaja Purnama ketika memimpin DKI.37
Dalam proses mobilisasi massa, di antara organisator GNPF-MUI
membingkai sedemikian rupa masalah penistaan agama kepada khalayak
umum. Basuki Tjahaja Purnama dianggap kebal terhadap hukum. Oleh karena
itu, penyelesaian masalah penistaan agama dilakukan melalui demonstrasi.
Demonstrasi bukan dalam pengertian independen di antara organisasi-
organisasi Islam, melainkan melibatkan umat Islam di Indonesia. Demonstrasi
terhadap sang penista agama diidentikan dengan membela agama Islam.
Sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk membela agamanya ketika
mendapat perlakuan buruk dari orang yang bukan Islam. Niat baik membela
agama menginisiasi para organisator mengemas Aksi bela Islam dalam
suasana damai tanpa melupakan tututan-tuntutan yang sudah disepakati
bersama.

36
Muhamad Luthfi, Rusydan Fathy, dan Mohammad faisal asadi, “GNPF MUI: Strategi
Pembingkaian dan Keberhasilan Gerakan Populis Islam di Indonesia”, Asketik, Vol. 3, No. 1, (Juli,
2019), hlm. 30.
37
Ibid, hlm. 43
Perbedaan ideologi organisasi-organisasi Islam tidak menyulitkan
untuk bekerja sama dalam satu organisasi gerakan GNPF-MUI. Mereka
dipersatukan oleh insiden Al-Maidah yang melibatkan orientasi tujuan yang
sama, meminta pertanggungjawaban Basuki Tjahaja Purnama atas
perbuatannya di depan hukum. Di antara organisator GNPF-MUI memainkan
kelihaiannya merekrut partisipan gerakan melalui saluran-saluran yang
dianggap efektif dan efisien.
Isu-isu lain yang menyorot beberapa kebijakan Basuki Tjahaja
Purnama seperti penggusuran membuat penggiringan kesepahaman dan
mobilisasi partisipan gerakan kian sukses. Keberadaan kelas menengah
muslim di Indonesia yang dominan menjadi salah satu faktor penentu
keberhasilan dalam rangkaian strategi pembingkaian GNPF MUI. Tujuan
gerakan tersebut akhirnya membuahkan hasil – GNPF MUI berubah nama
menjadi GNPF Ulama dengan cakupan misi yang lebih luas.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Gerakan Aksi 212
merupakan bagian dalam pembahasan mengenai populisme di Indonesia.
Namun demikian, perspektif gerakan sosial melalui teori strategi
pembingkaian mampu secara komprehensif menggambarkan proses menuju
keberhasilan dari gerakan ini. Terlepas dari kompleksitas peta politik Islam
dalam fenomena populisme Islam, rangkaian proses dan tahapan strategi
pembingkaian juga memiliki kompleksitasnya sendiri. Titik temu dua
pendekatan tersebut, yaitu populisme Islam dan strategi pembingkaian
terletak pada mobilisasi massa dan partisipasi lintas organisasi dan lintas kelas
yang ditempatkan sebagai strategi politik. Bagaimanapun, lebih jauh kajian
ini juga ingin menunjukkan dinamika relasi penguasa dan masyarakat dalam
konteks konsolidasi demokrasi.
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Populisme Islam merupakan gejala modern dari suatu kebangkitan Islam.
Ia hadir bersamaan dengan momentum kebangkitan politik umat Islam. Salah satu
gerakan populisme Islam di Indonesia yang secara mencolok tampil lewat aksi-
aksi ialah Gerakan Aksi 212 di Monas yang menjadi suatu gerakan kritik dan
counter terhadap politik yang tidak bermoral dari penguasa. Populisme Islam
gerakan 212 juga merupakan tantangan sekaligus dapat menjadi sumber daya
yang potensial bagi terwujudnya demokrasi radikal. Populisme juga merupakan
bentuk cita-cita demokrasi tertinggi maupun musuhnya, tetapi ia merupakan
cerminan dimana demokrasi dapat membuat dirinya sendiri dan mencari tahu
tentang apa yang kurang dan apa yang harus diperjuangkan. maka dari itu,
populisme dapat menjadi sebuah besar besar bagi demokrasi dan masyarakat
tergantung pada kekuatan dan agenda yang akan diperjuangkan, karena populisme
merupakan sebuah strategi yang dengannya untuk apunti dan intensitas. ia dapat
membawa kebaikan dan juga dapat menjadi mara bahaya bagi kehidupan manusia.

3.2. Saran
Menyikapi keberadaan populisme Islam Indonesia seharusnya dilakukan
melalui pendidikan politik dan proses penyadaran akan makna sesungguhnya
berdemokrasi dan bernegara. Kemudian, edukasi politik juga menjadi hal yang
penting untuk menghimbau masyarakat terkait fenomena populisme yang
mengakibatkan disintegrasi dalam masyarakat. Selain itu, oleh karena gerakan
populis merupakan gerakan yang sah dalam demokrasi maka perlu pengaturan
lebih lanjut terkait keamanan politik.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Afala, La Ode Machdani. 2020. Politik Identitas di Indonesia. Malang: Tim UB
Press.

Hadiz, Vedi R. 2016. Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah. United
Kingdom: Cambridge University Press

Hadiz, Vedi R. 2019. Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah. Jakarta:
LP3S dan Universitas Indonesia

Mudhoffir, Abdil Mughis, dkk. 2017. Populisme dan Tantangan Demokrasi di


Indonesia. Depok: Prisma.

Riza, Faisal. 2020. Aktivisme Islam Kaum Urban (Politisasi Identitas, Mobilisasi
dan Pragmatisme Politik). Medan: CV Pusdikra MJ

Saidurrahman dan Azhari Akmal Tarigan. 2019. Rekonstruksi Peradaban Islam:


Prespektif Prof. K. H. Yudian Wahyudi, Ph.D. Jakarta: Prenamedia Group

Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme.


Yogyakarta: LKiS

Tamara, Nasir , Ed. 2021. Demokrasi di Era Digital. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia

Jurnal:
Hadiz, Vedi R. . 2017. “Populisme Baru dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”.
Jurnal Prisma. 36(1): 38

Jati, Wasisto Raharjo. 2017. “Trajektori Populisme Islam di Kalangan Kelas


Menengah Muslim Indonesia”. Jurnal Prisma. 36(3): 26

Kusmanto, Thohir Yuli. 2017. “Gerakan Sosial Keagamaan pada Komunitas


Urban: Studi Gerakan Pengajian Ahad Pagi”. Universitas Islam
Semarang. 1(1): 86

Luthfi, Muhamad , Rusydan Fathy, dan Mohammad faisal asadi. 2019. “GNPF
MUI: Strategi Pembingkaian dan Keberhasilan Gerakan Populis Islam di
Indonesia”. Asketik. 3(1): 30-43

Margiansyah, Defbry. 2019. “Populisme Di Indonesia Kontemporer: Transformasi


Persaingan Populisme Dan Konsekuensinya Dalam Dinamika Kontestasi
Politik Menjelang Pemilu”. LIPI. 16(1): 50
Pamungkas, Arie Setyaningrum dan Gita Octaviani. 2017. “Aksi Bela Islam dan
Ruang Publik Muslim: Dari Representasi Daring ke Komunitas Luring”.
Pemikiran Sosiologi. 4(2): 66-70

Pratama, Dea Bhakti. 2021. “Populisme Islam Dalam Gerakan 212 (Studi Kasus:
Lima Organisasi Keagamaan)”. Saskara. 1(1): 2

Rizqullah, Muhammad Naufan dan Mulawarman Hannase. 2021. “Mendudukan


Ulang Populisme Islam: Karakter Politik Identitas dan Perkambangannya
di Indonesia”. Syntax Admiration. 2(6): 1127-1130.

Widigdo, Mohammad Syifa A.. 2018. “Gerakan Islam Indonesia: Mengurai


Belenggu, Membangun Peradaban”. Islamic World and Politics. 2(2):
387-388

Zaeny, A. 2005. “Transformasi Sosial dan Gerakan Islam di Indonesia”.


Pengembangan Masyarakat Islam. 1(2): 163-164

Thesis:
Mulyono, Ahmad. 2004. Konsep Gerakan Islam Imam Syahid Hasan Al Hanna
[thesis]. Yogyakarta (ID) : UIN Sunan Kalijaga
CURRICULUM VITAE CALON PESERTA
LATIHAN KADER II (INTERMEDIATE TRAINING)
HMI CABANG SEMARANG KORKOM UIN WALISONGO

A. Informasi Diri
1. Nama Lengkap ; Icha Rahmawati
2. Tempat, Tanggal ; Klaten, 02 Juni 2001
Lahir
3. Alamat ; Tambaksari RT.01/RW.03, Gemblegan, Kalikotes,
Klaten
4. No Tlp/Hp ; 085868443877
5. Email ; icharahmawati0206@gmail.com
6. Asal Cabang ; Surakarta

B. Latar Belakang Pendidikan


1. Perguruan Tinggi ; Universitas Sebelas Maret Surakarta
2. Fakultas/Jurusan ; Hukum/ Ilmu Hukum
3. Angkatan/Tahun ; 2019
Masuk

C. Jenjang Training
1. LK1 (Basic Training) ; 2021 Komisariat Ahmad Dahlan II
UMS Cabang Sukoharjo
2. LK2 (Intermediate ; - -
Training)
3. LK3 (Advance ; - -
Traning)
4. Latihan Khusus ; 2021 HMI Cabang Tasikmalaya
Khohati

D. Pengalaman Organisasi
Internal HMI Eksternal HMI Lain-Lainnya
Departemen Kajian BEM FH UNS 2020
Keilmuan
BEM FH UNS 2021
KOMDA KLATEN

F. Moto Hidup
No Pain No Gain

Surakarta, 30 Januari 2022

Icha Rahmawati

Anda mungkin juga menyukai