Anda di halaman 1dari 25

PROPOSAL PENELITIAN

POLA PIKIR MAHASISWA TERHADAP MODERASI BERAGAMA DI


TENGAH MARAKNYA RADIKALISME
(STUDI KASUS MAHASISWA UNIVERSITAS JEMBER)

Dosen Pengampu: Dr. Mahfudz Shidiq.S.Ag., M.M

Oleh:

1. FAJRI OKTAVIA D. (210810201037)


2. RAJWA ADZKIA NATAJATMIKA (210810201123)
3. WENDY PERMATA OKTAVIAN (210810201194)
4. FAJAR NAULI RAHMAN (210810201195)
5. DANAR KURNIA RAMADANU (210810201213)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KELAS 15


MATA KULIAH WAJIB KURIKULUM (MKWK)
LEMBAGA PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN
DAN PENJAMIN MUTU (LP3M)
UNIVERSITAS JEMBER
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat-Nya yang selama
ini kita dapatkan, yang memberi hikmah dan yang paling bermanfaat bagi seluruh umat manusia,
oleh karenanya kami dapat menyelesaikan tugas pembangunan ekonomi ini dengan baik dan
tepat pada waktunya. Ada pula maksud dan tujuan dari penyusunan proposal ini ialah untuk
memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pada mata kuliah pendidikan agama islam.

Dalam proses penyusunan tugas ini kami menjumpai berbagai hambatan, namun berkat
dukungan materil maupun nonmateril dari berbagai pihak, akhirnya kami dapat menyelesaikan
tugas ini dengan cukup baik, maka pada kesempatan ini kami menyampaikan terimakasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak terkait yang telah membantu
terselesaikannya tugas ini.

Tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan segala
saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi perbaikan pada
tugas selanjutnya. Harapan kami semoga tugas ini memberikan ilmu dan manfaat, khususnya
bagi kami dan para pembaca sekalian.

Jember,16 Juni 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

BAB I 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Manfaat Penelitian 4

BAB II 5
2.1 Konsep Pola Pikir 5
2.2 Konsep Radikalisme 5
2.3 Konsep Moderasi Beragama 8
2.4 Konsep Mahasiswa 16

BAB III 17
3.1 Metode Penelitian 17
3.2 Teknik Penentuan Informan 18

BAB IV 19
4.1 Hasil Penelitian 19
4.2 Pembahasan 20

BAB V 22
5.1 Kesimpulan 22

DAFTAR PUSTAKA 23

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Radikalisme (dari bahasa Latin radix yang berarti "akar") adalah istilah yang
digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung Gerakan Radikal. Dalam sejarah,
gerakan yang dimulai di Britania Raya ini meminta reformasi sistem pemilihan secara
radikal. Gerakan ini awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri jauh yang
menentang partai kanan jauh. Begitu "radikalisme" historis mulai terserap dalam
perkembangan liberalisme politik, pada abad ke-19 makna istilah radikal di Britania
Raya dan Eropa daratan berubah menjadi ideologi liberal yang progresif.
Menurut Cambridge Dictionary, radikal adalah percaya atau mengekspresikan
keyakinan bahwa harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau secara ekstrem.
Oxford Dictionary juga memahami ‘radikal’ sebagai orang yang mendukung suatu
perubahan politik atau perubahan sosial secara menyeluruh. Merriam Webster
mengartikan radikal sebagai opini atau perilaku orang yang menyukai perubahan
ekstrem, khususnya dalam pemerintahan atau politik.
Menurut Lexico Oxford, pengertian radikalisme adalah keyakinan atau tindakan
orang-orang yang menganjurkan reformasi politik atau sosial yang menyeluruh atau
lengkap. Arti radikal diatas sudah menunjukan betapa berbahayanya radikalisme bagi
keutuhan negara.
Di Indonesia sendiri peristiwa radikalisme sudah banyak terjadi mulai dari, aksi
bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar pada 28 Maret 2021 dan serangan terhadap
Mabes Polri oleh perempuan berinisial ZA 31 Maret 2021 adalah rentetan aksi terorisme
yang terjadi dalam sepekan terakhir dan membuat khawatir masyarakat Indonesia. Dua
peristiwa mengerikan ini seolah membuka kembali memori kita akan serangkaian
tindakan terorisme yang terjadi dalam beberapa tahun lalu, seperti Bom Thamrin (2016)
dan Bom Surabaya (2018).

3
Laporan Global Index Terrorism (GTI) tahun 2020 yang dirilis oleh Institute for
Economics and Peace (IEP) menunjukkan bahwa dalam skala global Indonesia berada di
peringkat 37 dengan skor 4.629 dari 135 negara yang terdampak oleh terorisme,
sedangkan di Asia Pasifik Indonesia berada di posisi ke-4. Contoh tersebut tentu
mengancam keutuhan Negara Republik Indonesia, masyarakat juga harus was-was
terhadap ancaman ini dan masyarakat harus diedukasi agar mengerti dan tidak
terjerumus ke dalam gelapnya dunia radikalisme.
Masyarakat dapat membentengi diri mereka sendiri dengan moderasi yang
memiliki arti memandu, mengatur, menengahi; Pengurangan kekerasan, penghindaran
keekstriman; sedangkan Moderasi beragama sangat penting dijadikan framing dalam
mengelola kehidupan beragama di masyarakat yang plural dan multikultural, masyarakat
milenial dan umat digital. Moderasi beragama diperlukan untuk menghindari
terbentuknya eksklusivisme, ekstrimisme dan terorisme.
Dalam hal ini kelompok kami mencoba untuk mencari tahu tentang pola pikir
masyarakat tentang moderasi beragama.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana pola pikir mahasiswa tentang moderasi beragama ditengah maraknya
radikalisme?

1.3 Tujuan Penelitian


Ingin mendeskripsikan pola pikir mahasiswa tentang moderasi beragama ditengah
maraknya radikalisme.

1.4 Manfaat Penelitian


Mahasiswa bisa mengerti tentang moderasi beragama dan pola piker mahasiswa
bisa lebih terbuka tentang moderasi beragama.

4
5
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Konsep Pola Pikir

Pengertian Pola Pikir-Berpikir adalah daya jiwa yang dapat meletakkan


hubungan-hubungan antara pengetahuan kita. Berpikir itu merupakan proses yang
dialektis artinya selama kita berpikir, pikiran kita dalam keadaan tanya jawab , untuk
dapat meletakkan hubungan pengetahuan kita. Dalam berpikir kita memerlukan alat yaitu
akal (ratio). Hasil berpikir itu dapat diwujudkan dengan bahasa. Inteligensi yaitu suatu
kemampuan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru secara cepat dan
tepat. Mindset (Pola pikir) adalah cara menilai dan memberikan kesimpulan terhadap
sesuatu berdasarkan sudut pandang tertentu. Perbedaan pola pikir seseorang disebabkan
oleh bedanya jumlah sudut pandang yang dijadikan dasar, landasan atau alasan.Bayaknya
sudut pandang seseorang untuk berpikir dipengaruhi oleh emosi (mentality).

2.2 Konsep Radikalisme

Kata radikalisme berasal dari bahasa Inggris berakar dari kata radix berarti akar atau
angka pokok. Menurut Poerwodarminto, radikal artinya hilang sampai ke akar-akarnya.
Atau, haluan politik yang amat keras, menurut perubahan undang-undang ketatanegaraan
dan sebagainya.

Menurut Komaruddin, radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti
akar, kaki atau dasar. Radikalisme berarti suatu paham yang menginginkan pembaharuan
atau perubahan sosial dan politik dengan ekstrem dan drastis hingga ke akarnya.

Berangkat dari beberapa pendapat tersebut dapat dilihat suatu rumusan bahwa
radikalisme adalah suatu pergerakan yang mengandung beberapa unsur pelaku, yaitu
seseorang yang melakukannya objek, yaitu arah yang ingin dicapai pergerakannya, materi
yaitu berupa ideologi atau gagasan, tempat yaitu di mana ruang pergerakan itu terjadi,
dan waktu yaitu kesempatan pada saat tertentu pergerakan itu muncul.

6
Enam unsur ini merupakan faktor yang menjadikan suatu pergerakan radikalisme
dapat terjadi. Adapun radikalisme dalam Islam dapat diartikan sebagai suatu pergerakan
berupa suatu pergerakan untuk menggantikan atau merubah ideologi lama menjadi
ideologi baru yang muncul pada internal Islam. Ini dipengaruhi oleh pemahaman terhadap
ajaran Islam itu sendiri dan pengaruh dari eksternal Islam yang menjadi stimulus
sehingga terjadi interaksi sosial sehingga mengakibatkan pergerakan radikal.

2.2.1 Faktor-faktor munculnya radikalisme


Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya radikalisme
1. Faktor Internal
Dalam konteks ini, munculnya reaksi kalangan Muslim, yang pada
prakteknya tidak jarang menampakkan wajah Islam yang “bengis”,
intoleran disebabkan adanya pressing politik dari pemerintah.
Biasanya persoalan agama kalau sudah ditunggangi oleh kepentingan
politik dan kekuasaan, agama tidak lagi menjadi sakral dan profane,
agama acapkali dijadikan alasan kebenaran untuk melampiaskan hawa
nafsu. Selain itu Islam sebagai sebuah tatanan nilai universal sering
tidak mendapatkan ruang cukup untuk berekspresi dalam bidang
politik. Bahkan dalam tataran tertentu termarjinalkan. Kondisi ini
melahirkan ironi, sebab Muslim merupakan mayoritas di negeri ini.
Kekesalan ini akhirnya membuncah dan mendapatkan momennya pada
era reformasi. Seperti disebut di atas, reaksi ini tidak jarang bersifat
radik.

2. Faktor Eksternal
Hal ini terkait dengan proses globalisasi. Proses globalisasi
meniscayakan adanya interaksi sosial-budaya dalam skala yang luas.
Dalam konteks ini, Islam sebagai tatanan nilai dihadapkan dengan
tatanan nilai-nilai modern, yang pada titik tertentu bukan saja tidak
selaras dengan nilai-nilai yang diusung Islam, tapi juga berseberangan
secara diametral. Akhirnya, proses interaksi global ini menjadi sebuah

7
kontestasi kekuatan, di mana satu sama lain saling memengaruhi
bahkan “meniadakan”.
Kondisi ini telah menyebabkan sebagian Muslim memberikan
reaksi yang kurang proporsional. Mereka bersikukuh dengan nilai
Islam, seraya memberikan “perlawanan” yang sifatnya anarkis. Sikap
sebagian Muslim seperti ini kemudian diidentifikasi sebagai gerakan
radikal. Kemunculan gerakan Radikal ini kemudian menimbulkan
wacana radikalisme yang dipahami sebagai aliran Islam garis keras di
Indonesia. Dari pemaparan singkat ini penulis mencoba membahas
sedikit lebih dalam mengenai radikalisme Islam di Indonesia yang
mana akhir-akhir ini (pasca reformasi) geliat gerakan radikalisme
mulai marak dan bertebaran di wilayah Indonesia. Yang menjadi inti
dari pembahasan adalah faktor apa yang mendorong mereka sangat
bersemangat dalam “membela Tuhan”, yang kalau ditelisik lebih
dalam sebenarnya gerakan mereka belum tentu benar menurut
perspektif masyarakat Islam mayoritas. Dan juga hal apa yang ingin
menjadi tujuan dari gerakan mereka

2.2.2 Sejarah munculnya radikalisme


Gerakan ini telah muncul pada masa kemerdekaan Indonesia,
bahkan dapat dikatakan sebagai akar gerakan Islam garis keras era
reformasi. Gerakan dimaksud adalah DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang muncul era 1950- an
(tepatnya 1949). Darul Islam atau NII mulanya di Jawa Barat, Aceh dan
Makassar. Gerakan ini disatukan oleh visi dan misi untuk menjadikan
syariat sebagai dasar negara Indonesia.
Gerakan DI ini berhenti setelah semua pimpinannya atau terbunuh
pada awal 1960- an. Sungguhpun demikian, bukan berarti gerakan
semacam ini lenyap dari Indonesia. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-
an gerakan Islam garis keras muncul kembali, seperti Komando Jihad,

8
Ali Imron, kasus Talangsari oleh Warsidi dan Teror Warman di Lampung
untuk mendirikan negara Islam, dan semacamnya.
Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau gerakan-
gerakan Islam garis keras tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik
lokal: dari ketidakpuasan politik, keterpinggiran politik dan semacamnya.
Namun setelah terbentuknya gerakan tersebut, agama meskipun pada
awalnya bukan sebagai pemicunya, kemudian menjadi faktor legitimasi
maupun perekat yang sangat penting bagi gerakan Islam garis keras.
Sungguhpun begitu, radikalisme agama yang dilakukan oleh sekelompok
muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai
biang radikalisme. Yang pasti, radikalisme berpotensi menjadi bahaya
besar bagi masa depan peradaban manusia.
Gerakan radikalisme ini awalnya muncul sebagai bentuk
perlawanan terhadap komunisme di Indonesia. Selain itu, perlawanan
mereka terhadap penerapan Pancasila sebagai asas Tunggal dalam
politik. Bagi Kaum radikalis agama sistem demokrasi pancasila itu
dianggap haram hukumnya dan pemerintah di dalamnya adalah kafir
taghut (istilah bahasa arab merujuk pada “setan”), begitu pula masyarakat
sipil yang bukan termasuk golongan mereka. Oleh sebab itu bersama
kelompoknya, kaum ini menggaungkan formalisasi syariah sebagai solusi
dalam kehidupan bernegara.

2.3 Konsep Moderasi Beragama


Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia
menjadi sorotan penting dalam hal moderasi Islam. Moderasi adalah ajaran inti agama
Islam. Islam moderat adalah paham keagamaan yang sangat relevan dalam konteks
keberagaman dalam segala aspek, baik agama, adat istiadat, suku dan bangsa itu sendiri
(Dawing, 2017, p. 231). Oleh karena itu pemahaman tentang moderasi beragama harus
dipahami secara kontekstual bukan secara tekstual, artinya bahwa moderasi dalam
beragama di Indonesia buka Indonesia yang dimoderatkan, tetapi cara pemahaman dalam
beragama yang harus moderat karena Indonesia memiliki banyaknya kultur, budaya dan
adat-istiadat. Moderasi Islam ini dapat menjawab berbagai problematika dalam

9
keagamaan dan peradaban global. Yang tidak kalah penting bahwa muslim moderat
mampu menjawab dengan lantang disertai dengan tindakan damai dengan kelompok
berbasis radikal, ekstrimis dan puritan yang melakukan segala halnya dengan tindakan
kekerasan (Fadl, 2005, p. 343). Islam dan umat Islam saat ini paling tidak menghadapi
dua tantangan;
Pertama, kecenderungan sebagian kalangan umat Islam untuk bersikap ekstrem
dan ketat dalam memahami teks-teks keagamaan dan mencoba memaksakan cara tersebut
di tengah masyarakat muslim, bahkan dalam beberapa hal menggunakan kekerasan;
Kedua, kecenderungan lain yang juga ekstrem dengan bersikap longgar dalam
beragama dan tunduk pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya dan
peradaban lain. Dalam upayanya itu mereka mengutip teks-teks keagamaan (Al-Qur’an
dan Hadis) dan karya-karya ulama klasik (turats) sebagai landasan dan kerangka
pemikiran, tetapi dengan memahaminya secara tekstual dan terlepas dari konteks
kesejarahan. Sehingga tak ayal mereka seperti generasi yang terlambat lahir, sebab hidup
ditengah masyarakat modern dengan cara berpikir generasi terdahulu (Hanafi, 2013, pp.
1–2). Heterogenitas atau kemajemukan/keberagaman adalah sebuah keniscayaan dalam
kehidupan ini. Ia adalah sunnatullah yang dapat dilihat di alam ini. Allah menciptakan
alam ini di atas sunnah heterogenitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Dalam kerangka
kesatuan manusia, kita melihat bagaimana Allah menciptakan berbagai suku bangsa.
Dalam kerangka kesatuan suatu bangsa, Allah menciptakan beragam etnis, suku, dan
kelompok. Dalam kerangka kesatuan sebuah bahasa, Allah menciptakan berbagai dialek.
Dalam kerangka kesatuan syari’at, Allah menciptakan berbagai mazhab sebagai hasil
ijtihad masing-masing. Dalam kerangka kesatuan umat (ummatan wahidah), Allah
menciptakan berbagai agama.
Keberagaman dalam beragama adalah sunnatullah sehingga keberadaannya tidak
bisa dinafikan begitu saja (Ali, 2010, p. 59). Dalam menghadapi masyarakat majemuk,
senjata yang paling ampuh untuk mengatur agar tidak terjadi radikalisme, bentrokan
adalah melalui pendidikan Islam yang moderat dan inklusif (Alam, 2017, p. 36). Dalam
realitas kehidupan nyata, manusia tidak dapat menghindarkan diri dari perkara-perkara
yang berseberangan. Karena itu al-Wasathiyyah Islamiyyah mengapresiasi unsur
rabbaniyyah (ketuhanan) dan insaniyyah (kemanusiaan), mengkombinasi antara

10
maddiyyah (materialisme) dan ruhiyyah (spiritualisme), menggabungkan antara wahyu
(revelation) dan akal (reason), antara maslahah ammah (al-jamāiyyah) dan maslahah
individu (al-fardiyyah) (Almu’tasim, 2019). Penelitian ini bertujuan untuk menjadikan
keberagaman agama sebagai aset yang penting bagi negara Indonesia adalah bagaimana
cara moderat yang ditawarkan oleh Islam dapat menjadi pemersatu bagi Indonesia. Kata
moderasi dalam bahasa Arab diartikan “alwasathiyyah”. Secara bahasa “al-wasathiyyah”
berasal dari kata “wasath” (Faiqah & Pransiska, 2018; Rozi, 2019). Al-Asfahaniy
mendefenisikan “wasathan” dengan “sawa’un” yaitu tengah-tengah diantara dua batas,
atau dengan keadilan, yang tengah-tengan atau yang standar atau yang biasabiasa saja.
Wasathan juga bermakna menjaga dari bersikap tanpa kompromi bahkan meninggalkan
garis kebenaran agama (Al-Asfahani, 2009, p. 869).
Kata “al-wasathiyyah” berakar pada kata “alwasth” (dengan huruf sin yang di-
sukun-kan) dan “al-wasth” (dengan huruf sin yang di-fathah-kan) yang keduanya
merupakan mashdar (infinitife) dari kata kerja (verb) “wasatha”. Selain itu kata
wasathiyyah juga seringkali disinonimkan dengan kata “al-iqtishad” dengan pola
subjeknya “almuqtashid”. Namun, secara aplikatif kata “wasathiyyah” lebih populer
digunakan untuk menunjukkan sebuah paradigma berpikir paripurna, khususnya yang
berkaitan dengan sikap beragama dalam Islam (Zamimah, 2018). Sementara dalam
bahasa Arab, kata moderasi biasa diistilahkan dengan “wasath” atau “wasathiyyah”;
orangnya disebut “wasith”.
Kata “wasit” sendiri sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia yang memiliki tiga
pengertian, yaitu 1) penengah, pengantara (misalnya dalam perdagangan, bisnis, dan
sebagainya), 2) pelerai (pemisah, pendamai) antara yang berselisih, dan 3) pemimpin di
pertandingan. Yang jelas, menurut pakar bahasa Arab, kata tersebut merupakan “segala
yang baik sesuai objeknya” (Almu’tasim, 2019). Dalam sebuah ungkapan bahasa Arab
sebaik-baik segala sesuatu adalah yang berada di tengah-tengah. Misalnya dermawan
yaitu sikap di antara kikir dan boros, pemberani yaitu sikap di antara penakut dan nekat,
dan lain-lain (Agama, 2012, p. 5). Pada tataran praksisnya, wujud moderat atau jalan
tengah dalam Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat wilayah pembahasan, yaitu:
1) moderat dalam persoalan akidah;
2) moderat dalam persoalan ibadah;

11
3) moderat dalam persoalan perangai dan budi pekerti; dan
4) moderat dalam persoalan tasyri’ (pembentukan syariat) (Yasid, 2010).
Menurut Quraish Shihab melihat bahwa dalam moderasi (wasathiyyah) terdapat
pilar-pilar penting yakni (Zamimah, 2018): Pertama, pilar keadilan, pilar ini sangat
utama, beberapa makna keadilan yang dipaparkan adalah: pertama, adil dalam arti
“sama” yakni persamaan dalam hak. Seseorang yang berjalan lurus dan sikapnya selalu
menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang
menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih.
Adil juga berarti penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini mengantar pada
persamaan, walau dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Adil adalah memberikan
kepada pemilik hak-haknya melalui jalan yang terdekat. Ini bukan menuntut seseorang
memberikan haknya kepada pihak lain tanpa menunda-nunda. Adil juga berarti moderasi
‘tidak mengurangi tidak juga melebihkan”. Kedua, pilar keseimbangan.
Menurut Quraish Shihab, keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di
dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan
kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok
itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Keseimbangan tidak
mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa
saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh
fungsi yang diharapkan darinya. Dalam penafsiran Quraish Shihab, keseimbangan adalah
menjadi prinsip yang pokok dalam wasathiyyah. Karena tanpa adanya keseimbangan tak
dapat terwujud keadilan. Keseimbangan dalam penciptaan misalnya, Allah menciptakan
segala sesuatu menurut ukurannya, sesuai dengan kuantitasnya dan sesuai kebutuhan
makhluk hidup. Allah juga mengatur sistem alam raya sehingga masing-masing beredar
secara seimbang sesuai kadar sehingga langit dan benda-benda angkasa tidak saling
bertabrakan. Ketiga, pilar toleransi. Quraish Shihab memaparkan bahwa toleransi adalah
batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih bisa diterima.
Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus dilakukan menjadi tidak
dilakukan, singkatnya adalah penyimpangan yang dapat dibenarkan. Konsep wasathiyyah
sepertinya menjadi garis pemisah dua hal yang berseberangan. Penengah ini diklaim tidak
membenarkan adanya pemikiran radikal dalam agama, serta sebaliknya tidak

12
membenarkan juga upaya mengabaikan kandungan al-Qur’an sebagai dasar hukum
utama. Oleh karena itu, Wasathiyah ini lebih cenderung toleran serta tidak juga renggang
dalam memaknai ajaran Islam. Menurut Yusuf Al-Qardhawi, wasathiyyah (pemahaman
moderat) adalah salah satu karakteristik Islam yang tidak dimiliki oleh Ideologi-ideologi
lain. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an al-Baqarah ayat 143 berikut:
‫طًا َ س َ ً و ُأ َّمة ْ ا ُكم َ ْلن َ ع َ َك ج ِ ل ٰ َ َك َذ َ و‬
Artinya: dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil. Hukum yang adil merupakan tuntutan dasar bagi setiap struktur masyarakat.
Hukum yang adil menjamin hak-hak semua lapisan dan individu sesuai dengan
kesejahteraan umum, diiringi penerapan perilaku dari berbagai peraturannya (Syafrudin,
2009, p. 105). Sekurang-kurangnya ada empat makna keadilan menurut Quraish Shihab
(2017) yaitu :
Pertama, adil dalam arti “sama”. Tetapi harus digarisbawahi bahwa persamaan
yang dimaksud adalah persamaan dalam hak.
Kedua, adil dalam arti “seimbang”. Keseimbangan ditemukan pada suatu
kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan yang
tertentu. Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari
kadar atau syarat seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan).
Namun perlu dicatat bahwa kesimbangan tidak mengharuskan persamaan. Bisa saja satu
bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi
yang diharapkan darinya.
Ketiga, adil adalah “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-
hak itu kepada setiap pemiliknya.” Pengertian inilah yang didefinisikan dengan
“menempatkan sesuatu pada tempatnya.” Lawannya adalah “kezaliman”, dalam arti
pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian menyirami tumbuhan adalah
keadilan dan menyirami duri adalah lawannya, pengertian keadilan seperti ini,
melahirkan keadilan sosial.
Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti “memelihara
kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan
perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Keadilan Ilahi pada
dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi

13
bahwa rahmat Allah tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.
Allah menciptakan dan mengelola alam raya ini dengan keadilan, dan menuntut agar
keadilan mencakup semua aspek kehidupan, termasuk akidah, syariat atau hukum,
akhlak, bahkan cinta dan benci (Agama, 2012, p. 30). Dalam konteks Indonesia, Islam
Moderat yang mengimplementasikan Ummatan Wasathan terdapat pada dua golongan
yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya mencerminkan ajaran
Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang mengakui toleransi serta kedamaian dalam berdakwah
(Hilmy, 2012). Sikap moderasi NU pada dasarnya tidak terlepas dari akidah Ahlusunnah
wa al-Jama'ah (Aswaja) yang dapat digolongkan paham moderat. Dalam Anggaran Dasar
NU dikatakan, bahwa NU sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut
paham Ahlussunah wa al-Jama’ah dengan mengakui mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki,
Syafi'i, dan Hambali. Penjabaran secara terperinci, bahwa dalam bidang akidah, NU
mengikuti paham Ahlussunah wa al-Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-
Asy'ari, dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi. Dalam bidang fiqih, NU mengikuti jalan
pendekatan (al-mazhab) dari Mazhab Abu Hanifah Al-Nu'man, Imam Malik ibn Anas,
Imam Muhammad ibn Idris Al-Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbali. Dalam bidang tasawuf
mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali, serta imam-imam
yang lain (Qomar, 2002, p. 62).
Dalam konteks pemikiran keislaman di Indonesia, konsep moderatisme Islam
memiliki sekurang-kurangnya lima karakteristik berikut ini.
1. Pertama, ideologi non-kekerasan dalam mendakwahkan Islam.
2. Kedua, mengadopsi pola kehidupan modern beserta seluruh derivasinya,
seperti sains dan teknologi, demokrasi, HAM dan semacamnya.
3. Ketiga, penggunaan pemikiran rasional dalam mendekati dan memahami
ajaran Islam.
4. Keempat, menggunakan pendekatan kontekstual dalam memahami sumber-
sumber ajaran Islam.
5. Kelima, penggunaan ijtihad dalam menetapkan hukum Islam (istinbat).
Namun demikian, kelima karakteristik tersebut dapat diperluas menjadi
beberapa karakteristik lagi seperti toleransi, harmoni dan kerjasama antar
kelompok agama yang berbeda (Hilmy, 2012).

14
Moderatisme ajaran Islam yang sesuai dengan misi Rahmatan lil ‘Alamin, maka
memang diperlukan sikap anti kekerasan dalam bersikap di kalangan masyarakat,
memahami perbedaan yang mungkin terjadi, mengutamakan kontekstualisasi dalam
memaknai ayat Ilahiyah, menggunakan istinbath untuk menerapkan hukum terkini serta
menggunakan pendekatan sains dan teknologi untuk membenarkan dan mengatasi
dinamika persoalan di masyarakat Indonesia. Selayaknya perbedaan sikap menjadi
sebuah dinamisasi kehidupan sosial yang menjadi bagian dari masyarakat yang madani.
Keberadaan Islam moderat cukup menjadi penjaga dan pengawal konsistensi Islam yang
telah dibawa oleh Rasulullah Saw. Untuk mengembalikan citra Islam yang sebenarnya,
maka diperlukan moderasi agar penganut lain dapat merasakan kebenaran ajaran Islam
yang Rahmatan lil ‘Alamin. Moderasi dalam bidang politik (peran kepala negara) adalah
amat naif bila ada negara tanpa pemimpin atau kepala negara. Maka dalam Islam, kepala
negara atau kepala pemerintahan itu wajib adanya dan memiliki sikap kuat dan amanah.
Para penguasa di negara kita harus menyadari bahwa mereka hidup di tanah air Islam dan
memerintah orang-orang yang mayoritas Islam. Adalah hak setiap bangsa untuk memiliki
pemerintahannya yang menyeluruh. Hak mereka pula, memiliki undang-undang dasar
serta peraturan-peraturan yang menggambarkan tentang kepercayaan-kepercayaan, nilai-
nilai, serta adat-istiadat. Adapun mereka yang mengaku sebagai orang Islam, tetapi
menolak hukum Islam, maka perbuatan mereka ini tidak dapat diterima oleh akal atau
pun diridai oleh suatu agama. Adapun ciri-ciri lain tentang wasathiyyah yang
disampaikan oleh Afrizal Nur dan Mukhlis (2016) sebagai berikut:
1. Tawassuth (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang
tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran
agama).
2. Tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara
seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi,
tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhira,
(penyimpangan,) dan ikhtilaf (perbedaan).
3. I’tidâl (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional.

15
4. Tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam
aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya.
5. Musawah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan
perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang.
6. Syura (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan
musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan
kemaslahatan di atas segalanya.
7. Ishlah (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai
keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman
dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah ‘ammah) dengan tetap
berpegang pada prinsip al-muhafazhah ‘ala alqadimi al-shalih wa al-akhdzu bi
al-jadidi alashlah (melestarikan tradisi lama yang masih relevan, dan
menerapkan hal-hal baru yang lebih relevan).
8. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi
hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diterapkan dibandingkan
dengan yang kepentingannya lebih rendah.
9. Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk
melakukan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik.
Demikianlah konsep yang ditawarkan oleh Islam tentang moderasi beragama di
Indonesia, sehingga konsep tersebut diharapkan mampu untuk diterapkan dalam
kehidupan bernegara dan berbangsa. Sehingga dengan konsep moderasi ini akan
membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, tidak ada diskriminasi dalam keberagaman.
Kesimpulan Islam tidak menganggap semua agama itu sama tapi memperlakukan semua
agama itu sama, dan ini sesuai dengan konsep-konsep dari Islam wasattiyah itu sendiri
yaitu konsep egaliter atau tidak mendiskriminasi agama yang lain. Dan adapun cara-cara
moderat yang dimaksudkan itu adalah Konsep yang pertama yaitu konsep tasamuh
(toleransi), sesuai dengan ciri-ciri moderasi Islam di atas dapat dipastikan jika antar umat
beragama di Indonesia sudah hidup berdampingan dan saling toleransi, akan menjaga
kestabilitasan antar umat beragama dan menjaga kerukunan antar umat beragama.
Konsep kedua yang ditawarkan oleh Islam yaitu tawazun (berkeseimbangan), i’tidâl
(lurus dan tegas), tasamuh (toleransi), musawah (egaliter), syura (musyawarah), ishlah

16
(reformasi), aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), tathawwur wa ibtikar (dinamis
dan inovatif).

2.4 Konsep Mahasiswa

Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada suatu perguruan
tinggi (Paryati Sudarman, 2004:32).1 Sedangkan menurut Takwin (2008) Mahasiswa
adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik universitas, Institut atau akademi.
Mereka yang terdaftar dapat disebut sebagai mahasiswa. Mahasiswa merupakan suatu
kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan
tinggi. Mahasiswa juga merupakan calon intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu
lapisan masyarakat yang seringkali syarat dengan berbagai predikat. Dari pendapat diatas
bisa dijelaskan bahwa mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena
hubungannya dengan perguruan tinggi yang diharapkan menjadi calon-calon intelektual.

17
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. menurut Sugiyono
(2019:18) metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya
adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data
dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari generalisasi.

Diantara alasan pengambilan metode penelitian kualitatif ini adalah karena penelitian ini
mencoba mengungkap fenomena yang berkaitan perilaku seorang mahasiswa terhadap
radikalisme yang terjadi di lingkungan sekitar.

3.1.1 Teknik Observasi


Pada penelitian ini, kami menggunakan teknik observasi yaitu dengan cara
observasi terkontrol. Kami melakukan observasi berlokasi di Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Jember. Kami melakukan observasi terhadap mahasiswa
jurusan manajemen.

3.1.2 Teknik Wawancara

Dalam proses pengumpulan data pada penelitian ini, penelitian


menggunakan metode wawancara tersruktur. wawancara tersruktur adalah
pertanyaan-pertanyaan mengarahkan jawaban dalam pola pertanyaan yang
dikemukakan. Jadi pewawancara sudah menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang
lengkap dan rinci mengenai moderasi beragama dan radikalisme

Metode ini digunakan untuk mendapatkan data tentang pola pikir


mahasiswa khususnya mahasiswa ekonomi dan bisnis prodi manajemen
Universitas Jember.

18
3.1.3 Dokumentasi

Metode ini dapat diartikan sebagai cara pengumpulan data dengan cara
memanfaatkan data-data berupa buku, catatan (dokumen) sebagaimana dijelaskan
oleh Sanapiah Faesal sebagai berikut: metode dokumenter, sumber informasinya
berupa bahan-bahan tertulis atau tercatat.

Pada metode ini petugas pengumpulan data tinggal mentransfer bahan-bahan


tertulis yang relevan pada lembaran-lembaran yang telah disiapkan untuk mereka
sebagaimana mestinya.Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan
mempelajari catatan-catatan mengenai data pribadi responden.

Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data yang berkenaan dengan pola
pikir mahasiswa khususnya mahasiswa ekonomi dan bisnis prodi manajemen
Universitas Jember

3.2 Teknik Penentuan Informan

Teknik penentuan informan yang penulis gunakan adalah teknik penentuan


informan sering digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu purposive sampling dan
snowball sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel yang
mempertimbangkan hal hal tertentu dalam pengambilan sampelnya. Sedangkan snowball
sampling adalah dari jumlah informan yang sedikit kemudian lama lama berkembang
menjadi banyak dikarenakan kebutuhan informasi yang lebih spesifik serta lebih banyak.

19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil data lapangan yang telah penyusun lakukan dari hasil wawancara,
penyusun telah mendapatkan hasil dari kegiatan wawancara oleh beberapa informasi tersebut.
adapun tujuan dari dilakukannya wawancara yang penyusun lakukan yaitu agar mengetahui
seberapa paham mahasiswa mengenai moderasi beragama di tengah maraknya radikalisme yang
beredar di masyarakat. selain tujuan tersebut wawancara ini dilakukan agar dapat membuka
pikiran mahasiswa tentang seberapa pentingnya moderasi beragama untuk membuka mindset
kita terhadap radikalisme.

4.1.1 Pemahaman tentang konsep moderasi beragama

Pertanyaan pertama dijawab langsung ada beberapa informan dengan berbagai


kriteria jawaban, Azalia berpendapat bahwa jawaban dari pertanyaan pertama yaitu
"sikap maupun cara pandang beragama mengenai suatu hal secara benar, adil dan
seimbang."
Selanjutnya terdapat jawaban dari Dinda yang menjelaskan bahwa "moderasi
beragama merupakan cara pandang dan sikap dalam beragama." jawaban lain dijelaskan
oleh Farah yang menyatakan bahwa "cara pandang dalam beragama secara moderat yakni
memahami dan mengamalkan ajaran agama."
Selanjutnya terdapat pendapat dari Maulana Asyrofi yaitu "sikap atau tindakan
mengenai agama secara moderat." juga terdapat tanggapan dari dua informan yang tidak
mau disebutkan namanya, dirinya berpendapat yang intinya sama yaitu "cara pandang
seseorang terhadap suatu agama yang dinilai dari kondisi modern saat ini."
4.1.2 Pendapat atau opini tentang moderasi beragama

Klasifikasi pertanyaan kedua kami mendapat jawaban dari informan yang serupa,
yaitu dari Azalia bahwasanya membuat kemajuan agar selalu toleran dalam menghadapi
perbedaan yang ada. sedangkan jawaban dari Dinda yaitu moderasi beragama dapat
menjadi tindakan yang mampu menjadi penengah dalam upaya menyelesaikan persoalan-
persoalan agama agar tercipta perdamaian. saudari Farah juga berpendapat bahwa
moderasi sangat diperlukan karena untuk mengetahui cara pandang manusia terhadap
agama yang dianut ataupun tidak. selanjutnya jawaban dari Maulana menyatakan bahwa

20
moderasi beragama diperlukan untuk mengembalikan pemahaman beragama agar sesuai
dengan esensinya.
4.1.3 Pemahaman tentang radikalisme

Jawaban dari berbagai informal untuk pertanyaan ketiga yang mencangkup


mengenai radikalisme yaitu dari saudari Azalia yaitu bahwasanya suatu tindakan yang
melenceng dan menimbulkan sebuah ancaman. bagi informan kedua menyatakan bahwa
aliran yang menginginkan perubahan atau pembauran sosial dan politik dengan cara
kekerasan dan condong terhadap aliran yang salah. jawaban dari informan ketiga yakni
suatu aliran yang menyebabkan tindakan yang salah dan tidak sesuai dengan hakikat
beragama dan bisa dikategorikan sebagai paham terorisme.
4.1.4 Pendapat atau opini tentang radikalisme

Pertanyaan keempat mengenai pendapat para informan mengenai radikalisme juga


mendapatkan jawaban yang bervariasi antara lain : informan Azalia menyatakan bahwa
sebuah paham yang dapat menjadi suatu ancaman sendiri yang memungkinkan
munculnya tindakan ketidak kondusifan dalam suatu lingkungan. informan kedua yaitu
Dinda menyatakan bahwa radikalisme dalam Islam merupakan suatu tindakan yang tidak
sesuai dengan agama sehingga dinilai mengganggu kestabilan agama tersebut. selain itu
juga beberapa informasi berargumen bahwa radikalisme merupakan suatu hal yang
membahayakan dan bisa mengganggu ideologi suatu agama dan alangkah baiknya untuk
semua orang menghindari paham radikalisme tersebut.
4.1.5 Tindakan preventif ketika menemui radikalisme di lingkungan sekitar

Pertanyaan terakhir mengenai langkah yang harus dilakukan jika terjadi suatu
tindakan yang bersangkutan dengan paham radikalisme yaitu dengan klasifikasi jawaban:
informan Azalia menyatakan bahwa cara membentengi diri agar tidak terpengaruh
terhadap provokasi dan hasil hutan yang ada oleh oknum-oknum dari paham tersebut.
sedangkan informan Dinda mengemukakan bahwasanya upaya yang dilakukan adalah
menjaga agar tidak terlibat dalam paham atau tindakan radikalisme bisa dengan
berpikiran terbuka dan toleran, berperan aktif dalam melaporkan radikalisme, waspada
terhadap provokasi dan hasutan atau bisa juga dengan mengikuti komunitas perdamaian.
untuk pendapat selanjutnya yaitu merupakan gabungan dari beberapa informasi dengan
intisari penjelasannya yaitu semua orang harus bisa membuka mindsetnya mengenai
radikalisme sehingga bisa aware jika terjadi provokasi yang ada serta bisa melakukan
antisipasi apabila tindakan radikalisme menimbulkan kericuhan dan memakan korban
sehingga bisa melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

4.2 Pembahasan

Dari penjelasan diatas kita bisa tahu dari perspektif mahasiswa bahwa moderasi
beragama merupakan hal yang perlu kita tanamkan dalam diri pada zaman sekarang. Karena kita
sudah berada ada pada era yang dimana ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang pesat,

21
dan dengan pesatnya perkembangan tersebut maka agama juga harus bisa beradaptasi dan
menyesuaikan diri dengan modernisasi yang terjadi. Maksudnya bukan dengan kita
memodernkan agama karena itu sudah menjadi ketetapan Tuhan, tetapi kita memodernkan cara
pandang, sikap dan perilaku terhadap modernisasi yang terjadi. Dengan memupuk tali
persaudaraan dan rasa kemanusiaan tinggi antar sesame baik dari golongan agama manapun,
maka kita bisa survive dari modernisasi yang terjadi. Berdasar dari hakikat moderasi beragama
itu sendiri, Toleransi menjadi salah satu tonggak utama dalam kita melakukan moderasi
beragama dikarenakan beranekaragamnya ras, suku, adat, budaya, dan agama yang ada di
Indonesia terkhusus lingkungan kampus itu sendiri. Selain itu, salah satu pondasi utama dalam
moderasi beragama adalah Pendidikan. Pendidikan penting karena jika kita terdidik maka kita
dapat mencerna dan mengolah informasi keagamaan yang diterima dengan masuk akal dan
konkrit ditengah era tafsir keagamaan yang subjektif dan diskriminatif. Melalui Pendidikan pula
lahir orang orang berilmu sekaligus orang-orang berbudi pekerti yang luhur, serta mampu
mengekspresikan keilmuannya dengan baik dalam aspek kemasyarakatan dan tidak lupa
menekankan aspek keadilan dan keseimmbangan.

22
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah informan berikan dapat diambil kesimpulan


bahwa moderasi beragama merupakan sebuah sikap atau cara pandang perilaku beragama,
toleran, serta menghargai adanya perbedaan beragama yang mendarat toleran dan menghargai
sesama pemeluk agama tanpa menghilangkan nilai-nilai dari agama yang dipeluk serta selalu
mengejawantahkan kemaslahatan bersama. dianjurkan untuk menjalin persaudaraan beragama
dengan cara yang lama lembut dan saling mengasihi satu sama lain walaupun berbeda keyakinan
cara pandang atau sikap masyarakat dalam beragama, hal ini merupakan sebuah upaya dalam
menghargai perbedaan agama.

Untuk kesimpulan dari penjelasan informan mengenai radikalisme dan segala hal yang
berkaitan dengan radikalisme yaitu merupakan sebuah paham yang tidak sesuai dengan ajaran
agama yang ada di Indonesia sehingga dinilai dapat mengganggu kestabilan serta keutuhan
hakikat beragama yang ada. perlu digarisbawahi bahwa radikalisme dapat terjadi di mana saja
sehingga hal yang harus dilakukan sebagai orang yang berilmu dan berakal adalah membuka
pikiran kita terhadap hal-hal yang ada di sekitar kita tentang hal-hal yang mengajarkan sebuah
kebaikan dan kemaslahatan. dengan memperkuat keyakinan atau pondasi beragama serta
membuka luas pikiran kita maka probabilitas terhindar dari paham radikalisme akan tinggi.
penjelasan ilmuwan ini sendiri memperkuat teori yang ada mengenai moderasi beragama di
tengah maraknya radikalisme yang dapat diambil kesimpulan bahwa teori-teori yang ada
sebelumnya sudah sesuai dan bisa kita jadikan pedoman agar penulis bisa terhindar dari paham
radikalisme.

23
DAFTAR PUSTAKA

Al-Amin, M. I. (2022, January 18). Radikalisme Adalah Paham yang Menghendaki Perubahan,

Ini Penjelasannya - Nasional Katadata.co.id. Katadata. Retrieved June 20, 2022, from

https://katadata.co.id/safrezi/berita/61e664b8b2ff9/radikalisme-adalah-paham-yang-

menghendaki-perubahan-ini-penjelasannya

Fahri, M., & Zainuri, A. (2020). Moderasi Beragama di Indonesia. Intizar, 25(2), 95-100.

https://doi.org/10.19109/intizar.v25i2.5640

Febriani, M. A. (2018). HUBUNGAN ANTARA IDENTITAS DIRI DENGAN POTENSI

RADIKALISME PADA REMAJA SMA DI SURABAYA.

http://repository.untag-sby.ac.id/1780/

Kementrian Agama RI. (2019). Pengembangan MODERASI BERAGAMA di Lembaga

Pendidikan Keagamaan.

https://simlitbangdiklat.kemenag.go.id/simlitbang/spdata/upload/dokumen-penelitian/

1586948306Executive_Summary_Moderasi.pdf

Pratiwi, Y. E., Yanzi, H., & Nurmalisa, Y. (2016). PERBEDAAN SIKAP DAN POLA PIKIR

SISWA KELAS XI PADA MATA PELAJARAN PKn. JURNAL KULTUR DEMOKRASI, 4(2),

1-14. http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/JKD/article/view/10913

Tapingku, J. (2021, September 15). OPINI: Moderasi Beragama sebagai Perekat dan Pemersatu

Bangsa. IAIN PAREPARE. Retrieved June 20, 2022, from https://www.iainpare.ac.id/moderasi-

beragama-sebagai-perekat/

24

Anda mungkin juga menyukai