Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN PROGRESIVISME

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu :

Zul Andrivat, S.Pd, M.Pd

KELOMPOK 10

Disusun oleh:

Rahmat Hidayat (1230124109)

Sofia Jamiatul Rohmah (1230124098)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AT-TAQWA KAMPUS II

KOTA CIMAHI

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Aliran
Filsafat Pendidikan Progresivisme” tepat waktu.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Zul Andrivat, S.Pd, M.Pd.


selaku dosen mata kuliah “Filsafat Ilmu”. Tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan kami terkait bidang yang ditekuni. Kami
juga mengucapkan terimakasih pada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini .

05 Desember 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I 1

PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan 2

BAB II 4

PEMBAHASAN 4

2.1 Progresivisme 4

2.2 Sejarah Progresivisme 6

2.3 Implementasi aliran progresivisme dalam pendidikan di Indonesia 8

2.3.1 Makna Pendidikan Progresivisme 8

2.3.2 Tujuan Pendidikan Progresivisme 10

2.3.3 Kurikulum Pendidikan Progresivisme 11

2.3.4 Belajar dalam Pandangan Progresivisme 14

2.3.5 Peran Guru dalam Pandangan Progresivisme 14

2.4 Selayang Pandang Filsafat Pendidikan Progresivisme 15

2.5 Kondisi Pendidikan Indonesia Tinjauan Progresivisme 19

BAB III 22

PENUTUP 22

3.1 Kesimpulan 22

DAFTAR PUSTAKA 23
ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu jalan untuk membentuk manusia menjadi
pribadi cerdas, bermoral, dan bertanggung jawab. Melalui pendidian seseorang dapat
mengembbangkan sikap, pengetahuan, maupun keterampilan secara optimal. Dalam
Undang-Undang no 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Dalam konteks ini, pendidikan nasional Indonesia
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Disamping
itu, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

Mengingat begitu pentingnya peran pendidikan, maka pendidikan harus


dirancang dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Artinya, pendidikan harus
dikembangkan menuju kearah yang lebih maju dengan memperhatikan berbagai
potensi peserta didik dan sumber daya manusia yang dimiliki. Oleh karena itu
pendidikan hendaknya tidak hanya berpusat pada pendidikan/guru, tetapi dipusatkan
pada peserta didik. Peran guru hanya sebatas sebagai pembimbing dan fasilitator
terhadap pengembangan potensi peserta didik.

Berkaitan dengan persoalan tersebut terdapat salah satu aliran dalam filsafat
pendidikan yang mendukung adanya perubahan dalam pelaksanaan pendidikan.
Aliran filsafat yang dimaksud adalah progresivisme. Aliran ini merupakan sebuah
gerakan yang menentang pelaksanaan pendidikan secara tradisional seperti halnya

1
aliran esensialisme dan perenialisme. Aliran progresif mendukung adanya
pelaksanaan pendidikan yang dipusatkan pada peserta didik dan megembangan
berbagai kemampuannya sebagai bekals menghadapi kehidupan sosual di
lingunagnnya. Sejalan dengan itu Jalaluddin dan Abdullah Idi (2012:83) menjelaskan
bahwa filsafat progresivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah
manusia, yakni kekuatan yang diwariskan manusia sejak lahir (man's natural
powers). Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa manusia sejak lahir telah
membawa bakat dan kemampuan atau potensi dasar, terutama daya akalnya,
sehingga manusia akan dapat mengatasi segala problematika hidupnya, baik itu
tantangan, hambatan, ancaman maupun gangguan yang timbul dari lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian atau makna progresivisme dari pendidikan progresivisme?
2. Bagaimana sejarah lahirnya filsafat pendidikan progresivisme?
3. Apa yang dimaksud dengan Implementasi Aliran Progresivisme dalam
Pendidikan Indonesia?
4. Kenapa selayang pandang filsafat pendidikan progresivisme?
5. Bagaimana kondisi pendidikan Indonesia yang ditinjau dengan
progresivisme?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui makna dan arti dari Filsafat Pendidikan Progresivisme

2. Mengetahui sejarah lahir nya Filsafat Pendidikan Progresivisme

3. Mengetahui yang dimaksud dengan Implementasi Aliran Filsafat


Pendidikan Progresivisme dalam Pendidikan Indonesia

4. Untuk mengetahui tentang selayang pandang Filsafat Pendidikan


Progresivisme.

5. Untuk mengetahui tentang kondisi pendidikan Indonesia yang di tinjau


dengan Filsafat Progresivisme

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Progresivisme
Menurut bahasa istilah progresivisme berasal dari kata progresif yang artinya
bergerak maju. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata
progresif diartikan sebagai ke arah kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan sekarang;
dan bertingkat-tingkat naik. Dengan demikian, secara singkat progresif dapat
dimaknai sebagai suatu gerakan perubahan menuju perbaikan. Sering pula istilah
progresivisme dikaitkan dengan kata progress, yaitu kemajuan. Artinya
progresivisme merupakan salah satu aliran yang menghendaki suatu kemajuan, yang
mana kemajuan ini akan membawa sebuah perubahan. Pendapat lain mengatakan
bahwa progresivisme sebuah aliran yang menginginkan kemajuan-kemajuan secara
cepat (Muhmidayeli, 2011:151)

Menurut Gutek (1974:138) progresivisme modern menekankan pada konsep


‘progress’, yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
mengembangkan dan menyempurnakan lingkungannya dengan menerapkan
kecerdasan yang dimilikinya dan metode ilmiah untuk menyelesaikan permasalahan
yang timbul baik dalam kehidupan personal manusia itu sendiri maupun kehidupan
sosial. Dalam konteks inni, pendidikan akan dapat berhasil manakala mampu
melibatkan secara aktif peserta didik dalam pembelajaran, sehingga mereka
mendapatkan banyak pengalam untuk bekal kehidupannya.

Senada dengan itu, Muhmidayeli (2011:151) menjelaskan bahwa progresivisme


merupakan suatu aliran yang menekankan bahwa pendidikan bukanlah sekedar upaya
pemberian sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik, tetapi hendaklah berisi
berbagai aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka secara
menyeluruh, sehingga mereka dapat empiris dan informasi teoritis, memberikan
analisis, pertimbangan, dan pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang
paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang tengah dihadapi.

3
Progresivisme merupakan salah satu aliran dalam filsafat pendidikan modern.
Menurut John S. Brubacher sebagaimana dikutip Jalaludin dan Abdullah Idi (2012:82)
aliran progresivisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John
Dewey (1859-1952) yang menitik beratkan pada segi manfaat bagi hidup praktis.
Artinya, kedua aliran ini sama-sama menekankan pada pemaksimalan potensi
manusia dalam upaya menghadapi berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Di
samping itu, kesamaan ini didasarkan pada keyakinan pragmatisme bahwa akal
manusia sangat aktif dan ingin selalu meneliti, tidak pasif dan tidak begitu saja
menerima pandangan tertentu sebelum dibuktikan kebenarannya secara empiris
(Uyoh Sahdulla, 2003:120).

Berkaitan dengan pengertian tersebut, progresivisme selalu dihubungkan


dengan istilah the liberal road to cultural, yakni liberal bersifat fleksibel (lentur dan
tidak kaku) toleran dan bersikap terbuka sering ingin mengetahui dan menyelidiki
demi pengembangan pengalaman (Djumransjah, 2006:176). Maksudnya aliran
progresivisme sangat menghargai kemampuan-kemampuan seseorang dalam upaya
pemecahan masalah melalui pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing individu.

Pendapat lain menyebutkan bahwa progresivisme sering pula dinamakan


sebagai instrumentalisme, eksperimentalisme, dan environmentalisme (Jalaluddin
dan Abdullah Idi, 2012:78). Dinamakan instrumentalisme, karena progresivisme
beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan, dan untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan
eksperimentalisme, karena liaran ini menyadari dan memperhatikan asas eksperimen
untuk menguji kebenaran suatu teori. Kemudian, dinamakan environmentalisme,
karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan
kepribadian. Selain itu, ada pula yang menyebutnya sebagai aliran naturalisme, yaitu
sebuah pandangan yang menyatakan bahwa kenyataan yang sebenarnya adalah alam
semesta ini, bukan kenyataan kenyataan spiritual dan supranatural (djumransjah,
2006-176).

Dari beberapa penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa aliran progresivisme


adalah aliran dalam filsafat pendidikan yang menghendaki adanya perubahan secara

4
cepat praktik pendidikan menuju ke arah yang positif. Dengan kata lain, pendidikan
harus mampu membawa perubahan pada diri peserta didik menjadi pribadi yang
tangguh dan mampu menghadapi berbagai persoalan serta dapat menyesuaikan diri
dengan kehidupan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, progresivisme sangat
menghendaki adanya pemecahan masalah dalam proses pendidikan.

2.2 Sejarah Progresivisme


Awal mula lahirnya aliran progresivisme ialah dilatar belakangi ketidak puasan
terhadap pelaksanaan pendidikan yang sangat tradisional, cenderung otoriter dan
peserta didik hanya dijadikan sebagai objek pembelajaran. Menurut Gutek (1974:139).
Aliran ini berkat dari semangat pembaharuan sosial pada awal abad ke 20 yakni
gerakan perubahan politik Amerika. Adapun aliran progresif pendidikan Amerika
mengacu pada pembaharuan pendidikan Eropa barat.

Pendapat lain menyebutkan bahwa aliran progresivisme secara histori telah


muncul pada abad ke-19, namun perkembangannya secara pesat baru terlihat pada
awal abad ke-20, khususnya di negara Amerika Serikat Muhmidayeli, 2011:151).
Kedua pendapat tersebut sedikit berbeda pandangan, namun dapat ditarik benang
merahnya yaitu perkembangan aliran progresivisme ini secara pesat terjadi pada abad
ke-20.

Menurut sejarah munculnya aliran progresivisme ini sangat dipengaruhi oleh


tokoh-tokoh filsafat pragmatisme sebagaimana telah disebutkan di atas, seperti
Charles S. Peirce, William James dan John Dewey, serta aliran eksperimentalisme
Francis Bacom. Selain itu, adalah John Locke yang merupakan tokoh kebebasan
politik dan JJ. Rousseau dengan ajarannya tentang kebaikan manusia telah dibawa
sejak lahir (Muhmidayeli 2011:152).

Adapun pemikiran-pemikiran yang berpengaruh terhadap perkembangan aliran


progresivisme adalah pemikiran Johan Heinrich Pestalozzi, Sigmund Freud, dan John
Dewey (Gutek, 1874:139). Pemikiran ketiga tokoh tersebut merupakan inspirasi bagi
aliran progresivisme.

5
Johann Heinrich Pestalozzi, seorang pembaharuan pendidikan Swiss pada abad
19, menyatakan bahwa pendidikan seharusnya lebih dari pembelajaran buku, dimana
merangkul keseluruhan bagian pada anak emosi, kecerdasan, dan tubuh anak.
Pendidikan lama, menurut Pestalozzi, seharusnya dilakukan di sebuah lingkungan
yang terikat secara emosional dengan anak dan memberikan keamanan pada anak.
Pendidikan tersebut seharusnya juga dimulai di lingkungan anak sejak dini dan
melibatkan indera anak pada benda-benda di sekelilingnya.

Pengaruh pemikiran Sigmund Freud terhadap pendidikan progresif adalah


melalui kajian kasus Histeria (gangguan pada syaraf), Freud mengusut pada asal usul
penyakit mental ini dari masa kanak-kanak. Orang tua yang otoriter dan lingkungan
tempat tinggal anak sangat mempengaruhi kasus tersebut. Kekerasan/penindasan,
khususnya pada masalah seksual dapat menjadi penyebab penyakit syaraf yang dapat
mengganggu perkembangan anak bahkan sampai mereka dewasa.

Adapun pengaruh pemikiran John Dewey dan para pengikutnya adalah


didasarkan pada penjelasannya yang menyatakan bahwa pendidikan progresif
merupakan sebuah gerakan yang tepat sebagai perkumpulan para penentang paham
tradisionalisme. Kebanyakan dari mereka terinspirasi pada paham naturalis Eropa
speri Rousseau dan Pestalozzi, dari teori psikoanalisis Freudian dan neo-Freudian,
serta penganut aliran sosial politik Amerika dan juga paham John Dewey
instrumentalisme pragmatik.

2.3 Implementasi aliran progresivisme dalam pendidikan di Indonesia


2.3.1 Makna Pendidikan Progresivisme
Dalam pandangan progresivisme pendidikan merupakan suatu sarana atau
alat yang dipersiapkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik supaya
tetap survive terhadap semua tantangan kehidupannya yang secara praktis akan
senantiasa mengalami kemajuan (Muhmidayeli, 2011:156). Selain itu, proses
pendidikan dilaksanakan berdasarkan pada asas pragmatis. Artinya, pendidikan

6
harus dapat memberikan kebermanfaatan bagi peserta didik, terutama dalam
menghadapi persoalan yang ada di lingkungan masyarakat.

Dalam buku philosophical Alternatives in education Gutek (1974:140)


menyebutkan bahwa pendidikan progresif menekankan pada beberapa hal:

1). Pendidikan progresif hendaknya memberikan kebebasan yang mendorong


anak untuk berkembang dan tumbuh secara alami melalui kegiatan yang dapat
menanamkan inisiatif, kreatifitas, dan ekspresi diri anak

2). Segala jenis pengajaran hendaknya mengacu pada minat anak, yang
dirangsang melalui kontak dengan dunia nyata

3) Pengajar progresif berperan sebagai pembimbing anak yang diarahkan


sebagai pengendali kegiatan penelitian bukan sekedar melatih ataupun
memberikan banyak tugas

4). Prestasi peserta didik diukur dari segi mental, fisik, moral dan juga
perkembangan sosialnya

5). Dalam memenuhi kebutuhan anak dalam fase perkembangan dan


pertumbuhannya mutlak diperlukan kerjasama antara guru sekolah, rumah,
dan keluarga anak tersebut

6). Sekolah progresif yang sesungguhnya berperan sebagau laboratorium yang


berisi gagasan pendidikan inovatif dan latihan-latihan.

Menurut progresivisme proses pendidikan memiliki dua segi, yaitu psikolog


dan sosiologis. Dari segi psikologis, pendidikan harus dapat mengetahui tenaga-
tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan.
Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu psikologi dari aliran
Behaviorisme dan pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidikan harus
mengetahui kemana tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya. Di samping itu,
progresivisme memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan,
sehingga seorang pendidik harus selalu siap untuk memodifikasi berbagai metode
dan strategi dalam pengupayaan ilmu-ilmu pengetahuan terbaru dan berbagai

7
perubahan-perubahan yang menjadi kecenderungan dalam suatu masyarakat
(Muhmidayeli, 2012:156). Dalam konteks ini, pendidik harus lebih dipusatkan
pada peserta didik, dibandingkan berpusat pada pendidik maupun bahan ajar.
Karena peserta didik merupakan subjek belajar yang dituntut untuk mampu
menghadapi berbagai persoalan kehidupan di masa mendatang. Oleh karena itu,
menurut Ahmad Ma’ruf (2012) ada beberapa prinsip pendidikan yang ditekankan
dalam aliran progresivisme, di antaranya:

a) Proses pendidikan berawal dan berakhir pada anak.


b) Subjek didik adalah aktif, bukan pasif.
c) Peran guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing atau pengarah
d) Sekolah harus kooperatif dan demokratis.
e) Aktivitas lebih fokus pada masalah, bukan untuk pengarahan materi kajian.

Bila dikaitkan dengan pendidikan di Indonesia saat ini, maka progresivisme


memiliki andil yang cukup besar, terutama dalam pemahaman dan pelaksanaan
pendidikan yang sesungguhnya. Di mana pendidikan sudah seharusnya
diselenggarakan dengan memperhatikan berbagai kemampuan yang dimiliki
oleh peserta didik, serta berupaya untuk mempersiapkan peserta didik supaya
mampu menghadapi dan menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi di
lingkungan sosialnya.

Hal tersebut senada dengan pengertian pendidikan di Indonesia, yakni usaha


sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Dalam pengertian ini, pendidikan tidak hanya dimaknai sebagai
transfer pengetahuan. Pendidikan berarti proses pengembangan berbagai macam
potensi yang ada dalam diri manusia, seperti kemampuan akademis, relasional,
bakat bakat, talenta, kemampuan fisik dan daya daya seni.

8
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa aliran progresivisme telah
memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan di Indonesia. Aliran ini
telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik.
Anak didik diberikan kebaikan, baik secara fisik maupun cara berpikir, guna
mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa
terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain.

2.3.2 Tujuan Pendidikan Progresivisme


Berkaitan dengan tujuan pendidikan, maka aliran progresivisme lebih
menekankan pada memberikan pengalaman empiris kepada peserta didik,
sehingga terbentuk pribadi yang selalu belajar dan berbuat (Muhmidayeli,
2012:156). Maksudnya pendidikan dimaksudkan untuk memberikan banyak
pengalaman kepada peserta didik dalam upaya pemecahan masalah yang dihadapi
di lingkungan sehari-hari. Dalam hal ini, pengalaman yang dipelajari harus
bersifat riil atau sesuai dengan kehidupan nyata. Oleh karenanya, seorang
pendidik harus dapat melatih anak didiknya untuk mampu memecahkan problem-
problem yang ada dalam kehidupan.

Sejalan dengan itu, tujuan pendidikan progresivisme harus mampu


memberikan keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi
dengan lingkungan yang berbeda dalam proses perubahan secara terus
menerus.Yang dimaksud dengan alat-alat adalah keterampilan pemecahan
masalah (problem solving) yang dapat digunakan oleh individu untuk menentukan,
menganalisis, dan memecahkan masalah.Pendidikan bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan memecahkan berbagai masalah baru dalam kehidupan
pribadi maupun kehidupan sosial, atau dalam berinteraksi dengan lingkungan
sekitar yang berada dalam proses perubahan. Menurut Barnadib, sebagaimana
dikutip Jalaluddin dan Abdullah Idi (2011:89) progresivisme menghendaki
pendidikan yang progres. Dalam hal ini, tujuan pendidikan hendaklah diartikan
sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus. Pendidikan bukan hanya
menyampaikan pengetahuan kepada anak didik, melainkan yang terpenting
melatih kemampuan berpikir secara ilmiah. Dalam konteks pendidikan di

9
Indonesia, maka tujuan pendidikan menurut progresivisme ini sangat senada
dengan tujuan pendidikan nasional yang ada di Indonesia. Menurut Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa
pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab. Jadi berdasarkan pengertian ini, maka aliran
progresivisme sangat sejalan dengan tujuan pendidikan yang ada di Indonesia.

2.3.3 Kurikulum Pendidikan Progresivisme


Dalam pandangan progresivisme kurikulum merupakan serangkaian
program pengajaran yang dapat mempengaruhi anak belajar secara edukatif, baik
di lingkungan sekolah maupun di luar. Menurut Amir Ma’ruf (2012) kurikulum
dalam pandangan progresivisme ialah sebagai pengalaman mendidik, bersifat
eksperimental, dan adanya rencana serta susunan yang teratur. Pengalaman belajar
adalah pengalaman apa saja yang serasi dengan tujuan menurut prinsip-prinsip
yang telah digariskan dalam pendidikan, dimana setiap proses belajar yang ada
membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Artinya, kurikulum
harusnya dirancang untuk mengembangkan berbagai potensi peserta didik, serta
dapat memberikan pengalaman yang berharga bagi kehidupan anak didik.

Aliran progresivisme menghendaki kurikulum dipusatkan pada pengalaman


yang didasarkan atas kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan
yang kompleks (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2012:91). Namun, dalam hal ini
progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah,
tetapi harus terintegrasi dalam unit. Zuhairini (1991:24) menyebutkan core
curriculum harus mengandung integrated curriculum dengan mengutamakan
metode problem solving.

Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Kilpatrick sebagaimana dikutip


Jalaluddin dan Abdullah Idi (2012:93) mengatakan suatu kurikulum dianggap baik
dapat didasarkan atas tiga prinsip, yaitu:

10
a. Meningkatkan kualitas hidup anak pada tiap jenjang.

b. Menjadikan kehidupan aktual anak ke arah perkembangan dalam suatu


kehidupan yang bulat dan menyeluruh.

c. Mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas


keberhasilan sekolah, sehingga kemampuan anak didik dapat berkembang secara
aktual dan aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan.

Dalam rangka mewujudkan ketiga prinsip tersebut, Kilpatrick mengungkapkan


ada beberapa hal yang perlu diungkapkan, di antaranya:

a. Kurikulum harus dapat meningkatkan kualitas hidup anak didik sesuai dengan
jenjang pendidikan.

b. Kurikulum yang dapat membina dan mengembangkan potensi anak didik.

c. Kurikulum yang mampu mengubah perilaku anak didik menjadi kreatif, adaptif,
dan mandiri.

d. Kurikulum berbagai macam bidang studi itu bersifat fleksibel.

Gambaran tersebut merupakan salah satu karakteristik kurikulum menurut


pandangan aliran progresivisme. Yang mana intinya kurikulum harus terintegrasi
antara masalah-masalah yang ada dalam masyarakat dengan model belajar sambil
berbuat, serta menggunakan metode problem solving dalam kegiatan
pembelajaran sehari-hari. Menurut Djumransjah (2006:181) kurikulum
progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang terpisah, melainkan
harus diusahakan menjadi satu unit dan terintegrasi. Lebih lanjut, ia
menambahkan praktik kerja di laboratorium, bengkel, dan kebun merupakan
kegiatan-kegiatan yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing
atau belajar untuk bekerja.

Berkaitan dengan hal tersebut, kurikulum aliran progresivisme dapat dilihat


melalui pengembangan yang dilakukan oleh Junius L. Meriam. Ia
mengembangkan kurikulum yang berkaitan dengan kehidupan anak dan

11
mengikutsertakan darmawisata, pekerjaan konstruktif, observasi, dan diskusi.
Selain itu, Marietta Johnson, mengenalkan teori pendidikan organik Johnson yang
menekankan pada kebutuhan, minat dan kegiatan anak dan memperhatikan betul
pada kegiatan kreatifitas anak seperti menari, menggambar, sketsa, dll (Gutek,
1974:140).

Apabila dihubungkan dengan kurikulum yang diterapkan di Indonesia


sekarang ini, maka pandangan aliran progresivisme tersebut sangat relevan dan
mempengaruhi, bahkan menjadi salah satu dasar dalam pengembangan kurikulum
tersebut. Kurikulum yang dimaksud ialah Kurikulum 2013. Kurikulum ini mulai
diberlakukan di Indonesia pada akhir 2013 atau awal tahun 2014. Kurikulum 2013
dimaknai sebagai kurikulum yang dikembangkan dalam rangka meningkatkan dan
menyeimbangkan antara kemampuan soft skill dan hard skill yang berupa sikap,
keterampilan, dan pengetahuan (Fadlillah 2014:16). Dengan kata lain, Kurikulum
2013 berusaha untuk lebih menanamkan nilai-nilai yang tercermin pada sikap
dapat berbanding lurus dengan keterampilan yang diperoleh peserta didik melalui
pengetahuan di bangku sekolah.

Aliran progresivisme disebutkan sebagai salah satu yang mendasari


pengembangan Kurikulum 2013, dikarenakan dalam Kurikulum 2013 pendekatan
pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan saintifik. Di mana pendekatan
saintifik ini lebih menekankan pada pemecahan sebuah masalah (problem solving).
Yang dimaksud pendekatan saintifik yaitu pembelajaran dilakukan dengan
kegiatan mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar, dan
mengkomunikasikan. Jadi dapat dipahami bahwa Kurikulum 2013 sangat cocok
dengan pandangan aliran progresivisme

2.3.4 Belajar dalam Pandangan Progresivisme


Menurut aliran progresivisme belajar dilaksanakan berangkat dari asumsi
bahwa anak didik bukan manusia kecil, melainkan manusia seutuhnya yang
mempunyai potensi untuk berkembang, yang berbeda kemampuannya, aktif,
kreatif, dan dinamis serta punya motivasi untuk memenuhi kebutuhannya
(Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2012:89). Dalam konteks ini, belajar semestinya

12
dilaksanakan dengan memperhatikan berbagai potensi yang dimiliki oleh anak
didik. Oleh karena itu, dalam pandangan progresivisme belajar harus dipusatkan
pada diri siswa, bukan guru atau bahan pelajaran.

Ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam belajar menurut pandangan
progresivisme, di antaranya:

a. Memberi kesempatan anak didik untuk belajar perorangan.

b. Memberi kesempatan anak didik untuk belajar melalui pengalaman.

c. Memberi motivasi dan bukan perintah.

d. Mengikut sertakan anak didik di dalam setiap aspek kegiatan yang merupakan
kebutuhan pokok anak.

e. Menyadarkan pada anak didik bahwa hidup itu dinamis (Jalaluddin dan
Abdullah Idi, 2012:88).

Selain itu, aliran progresivisme beranggapan bahwa belajar adalah suatu proses
yang bertumpu pada kelebihan akal manusia yang bersifat kreatif dan dinamis
sebagai potensi dasar manusia dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan
(Muhmidayeli, 2011:157). Belajar dalam konteks ini harus dapat memberikan
pengalaman yang menarik bagi anak, sehingga mampu diaplikasikannya dalam
kehidupan nyata

2.3.5 Peran Guru dalam Pandangan Progresivisme


Dalam pandangan progresivisme terdapat perbedaan antara peran guru dan
siswa dalam kegiatan pembelajaran. Karena prinsip pembelajaran progresivisme
menghendaki pembelajaran yang dipusatkan pada siswa. Adapun peran guru
menurut aliran progresivisme ialah berperan sebagai fasilitator, pembimbing, dan
pengarah bagi siswa. Menurut Gutek (1974:146) pendidikan progresif mencari
guru yang memang berbeda dari guru di pendidikan tradisional dalam hal watak,
pelatihan, dan teknik pengajarannya. Karena kelas/pendidikan progresif
berorientasi pada kegiatan yang bertujuan, pendidik progresif sangat perlu
mengetahui bagaimana cara mendorong untuk dapat berpendapat, berencana, dan

13
menyelesaikan proyek mereka. Selain itu, guru juga perlu mengetahui bagaimana
tahapan kerja kelompok karena pola dasar pengajaran progresif berpusat pada
partisipasi kelompok.

Aliran progresivisme ingin mengatakan bahwa tugas guru sebagai


pembimbing aktivitas anak didik/siswa dan berusaha memberikan kemungkinan
lingkungan terbaik untuk belajar. Sebagai Pembimbing ia tidak boleh
menonjolkan diri, ia harus bersikap demokratis dan memperhatikan hak-hak
alamiah anak didik/siswa secara keseluruhan.

2.4 Selayang Pandang Filsafat Pendidikan Progresivisme


Sesuai namanya, aliran filsafat progresivisme menekankan pada kemajuan atau
progres seorang individu pebelajar. Kemajuan yang dimaksud adalah kemajuan
seorang peserta didik dalam belajar untuk menghadapi keadaan sosial pada masa
depannya. Masa depan yang dihadapi oleh seseorang tidak sama dengan masa
kehidupan para pendidiknya sehingga peserta didik benar-benar harus belajar sesuai
kebutuhannya dan sesuai zamannya.

Dalam penelusuran Djumransjah (2006:178-179), filsafat progresivisme


memiliki akar sampai pada Heraclitus (±544 s.d. ±484 SM), Socrates (469 s.d. 399
SM), dan Protagoras. Heraclitus mengatakan bahwa sifat yang utama dan realita
adalah perubahan. Tidak ada yang tetap di dunia, semua berubah. Socrates
mengatakan bahwa pengetahuan adalah kunci kebajikan. Protagoras mengatakan
bahwa kebenaran dan nilai-nilai bersifat relatif, yaitu tergantung pada waktu dan
tempat.

Dalam tulisan Sadulloh (2007:142-143) dikatakan bahwa filsafat progresivisme


berpendapat bahwa kebenaran yang berlaku pada masa kini belum tentu berlaku pada
masa datang. Oleh karena itu, peserta didik harus disiapkan sedemikian rupa dengan
pelbagai strategi pemecahan masalah memungkinkan mereka mengatasi tantangan-
tantangan yang menghadang pada masa depan peserta didik. Di samping itu, strategi
pemecahan masalah yang pelajari juga diharapkan dapat juga digunakan untuk
menemukan kebenaran kebenaran yang relevan secara kekinian. Melalui analisis diri

14
dan refleksi yang berkelanjutan, individu diharapkan dapat mengidentifikasi nilai-
nilai yang tepat dalam waktu dekat.

Orang-orang progresivis berpandangan bahwa kehidupan berkembang kearah


positif dan bahwa umat manusia – muda maupun tua – pada dasarnya baik dan dapat
dipercaya untuk bertindak dalam minat-minat terbaik mereka sendiri. Oleh karena itu,
para pendidik (ahli pendidikan) progresivis membebaskan para peserta didik
menentukan pengalaman belajar mereka. Guru dalam kelas berfungsi sebagai
fasilitator untuk membantu para peserta didik mempelajari hal hal yang dianggap
penting bagi mereka alih-alih menjejalkan kebenaran-kebenaran yang diyakini guru.
Para peserta didik mengalami kehidupan keseharian sebanyak mungkin dengan
bekerja secara kooperatif dalam kelompok dalam memecahkan masalah-masalah
yang mereka anggap penting, bukan yang dianggap penting oleh pendidik.

Pendidikan progresivisme didasari oleh filsafat naturalisme romantik Jean


Jacques Rousseau dan pragmatiste John Dewey. Filsafat Rousseau yang menjadi
dasar pendidikan progresivisme adalah pandangan tentang hakikat manusia dalam
Emile. Sementara itu, pandangan-pandangan Dewey yang menjadi pijakan
pendidikan progresivisme di antaranya adalah pandangan tentang minat dan
kebebasan dalam teori pengetahuan.

Dalam Emile Buku Pertama Ayat 10 disebutkan: “Tout est bien sortant des
mains de l'Auteur des choses, tout dégénère entre les mains de l'homme.” Dengan
kata lain, pada mulanya setiap individu manusia dilahirkan dalam keadaan baik dan
mengalami penurunan nilai kebaikan setelah diasuh atau ditangani oleh manusia. Di
bagian lain dia juga mengatakan bahwa pendidikan bukan lagi dari Tuhan, melainkan
dari alam, dari manusia, dan dari lingkungan. Alam mendidik manusia untuk tumbuh
secara internal dan meningkatkan keterampilan keterampilan organ-organ tubuh,
manusia mendidik manusia untuk mempergunakan pertumbuhan dan ketrampilan-
keterampilan tersebut, dan lingkungan mendidik manusia melalui pengalaman-
pengalaman. “Cette éducation nous vient de la nature, ou des hommes ou des choses.
Le développement interne de nos facultés et de nos organes est l'éducation de la
nature; l'usage qu'on nous apprend à faire de ce développement est l'éducation des

15
hommes; et l'acquis de notre propre expérience sur les objets qui nous affectent est
l'éducation des choses.” (Rousseau dalam Emile Buku Pertama Pasal 15).

Pandangan-pandangan Dewey tentang minat dan kebebasan di antaranya dapat


ditemukan di Dewey 1916 yang dikutip oleh Wilds dan Lottich (1970:430)
menyatakan bahwa sekolah berfungsi pula menyesuaikan sifat-sifat individu dengan
berbagai pengaruh lingkungan sosial yang dimasukinya, misalnya penyesuaian
dengan lingkungan: keluarga, masyarakat awam, bengkel atau toko, dan organisasi
keagamaan. Karena seseorang berganti-ganti dalam pengalaman dari lingkungan satu
ke lingkungan yang lain, ia memiliki pengaruh antagonistik. Bahaya tersebut
meniscayakan sekolah sebagai suatu kantor yang mantap dan terpadu.

Di samping itu, dalam Dewey dan Childs (1933:42-43) disebutkan pula bahwa
gagasan tentang demokrasi mencakupi gagasan moral yang lebih luas, seperti hak
yang setara pada tiap individu atas kesempatan menempuh karir dan
mengembangkan kepribadian masing masing, individualisme moral, kepercayaan
atas kemungkinan adanya kehidupan yang melimpah bagi semua baik secara material
maupun secara budaya, kepercayaan bahwa pemerintah merupakan kegiatan
organisasi relawan untuk barang-barang umum, kepercayaan atas kepandaian dan
kemampuan beradaptasi individu, dan sikap yang menerima perubahan untuk
kebaikan mendatang daripada sikap menentang sebagai tanda degenerasi dari
kejayaan masa lalu.

Di dalam sebuah artikelnya Thinking in Education (1967) yang pada catatan


kakinya disebutkan artikel tersebut berasal dari karyanya pada 1916 dan
diperbaharuinya pada 1944, Dewey menekankan pentingnya mengembangkan
kemampuan berpikir peserta didik dan bukan menjejali mereka dengan pikiran
pikiran guru. Yang penting adalah daya pikir peserta didik dan keterampilan yang
diperoleh bukan dari berpikir tidak akan banyak manfaatnya, seperti katanya: “And
skill obtained apart from thinking is not connected with any sense of the purpose for
which it is to be used.” (Dewey 1967:96).

16
Dalam artikel tersebut, ada empat butir penting yang disajikan oleh Dewey.
Butir-butir tersebut berisi prinsip-prinsip dasar pengembangan daya pikir peserta
didik. Prinsip-prinsip dasar tersebut, pada masanya, adalah hal-hal yang dianggap
baru dalam pembelajaran.

Pertama, tahap paling awal pengembangan pengalaman berpikir adalah


“pengalaman”. Peserta didik hendaknya diberi pengalaman hidup empiris sehingga
benar-benar mengalami berpikir. Pengalaman didefinisikan sebagai upaya mencoba
melakukan sesuatu dan mengupayakan agar pada gilirannya sesuatu tersebut dapat
bermanfaat. Pengajaran dengan materi yang sudah disiapkan, seperti dalam mata
pelajaran (aritmatika, geografi, dsb.) dianggap sebagai suatu kesalahan. Oleh karena
pendidikan diupayakan terjauhkan dari sistem persekolahan. Pembelajaran seharus-
nya dilakukan dengan pemberian pengalaman di dunia kehidupan nyata yang
menarik dan mengaktifkan peserta didik (hlm. 97).

Kedua, data yang dikehendaki atau diperlukan dalam proses mengalami


pemecahan masalah pada kadar kesulitan tertentu harus tersedia. Tugas guru adalah
terkadang juga memberitahu peserta didik agar berpikir dan memecahkan masalah
tanpa bantuan guru. Materi-materi berpikir yang digunakan bukan buah-buah pikiran
melainkan tindakan, fakta, peristiwa, dan hubungan antar sesuatu. Kesulitan adalah
perangsang yang tidak boleh tidak ada untuk berpikir. Namun, sayangnya tidak
semua situasi yang diberikan oleh guru membutuhkan pemikiran karena terlalu
mudah. Terkadang juga kesulitan terlalu banyak dan rumit sehingga membuat peserta
didik menyerah. Oleh karena itu, kesulitan yang dibuat harus sesuai dengan
kebutuhan belajar (hlm. 99-100).

Ketiga, korelasi dalam memikirkan fakta, data, dan pengetahuan yang telah
diperoleh merupakan saran, inferensi, makna yang diperkirakan, perkiraan,
penjelasan tentatif atau gagasan. Pengamatan dan pengingatan yang seksama
menentukan apa yang diberikan, apa yang sudah ada, dan bahkan dijamin. Peserta
didik tidak dapat menyelesaikan semua masalah. Terkadang, mereka perlu membuat
menentukan, memperjelas, dan menyampaikan pertanyaan; mereka tidak dapat
menjawabnya. Kesimpulan-kesimpulan yang nantinya diperoleh merupakan temuan-

17
temuan orisinil bagi mereka meskipun mungkin orang lain sudah mengetahui.
Misalnya, anak usia dua tahun menemukan cara menyusun balok-balok dan anak
kelas satu menemukan bahwa dua keping logam lima ratusan bernilai seribu rupiah.
Dalam hal pendidikan moral, kegiatan yang dilakukan dapat berupa pemberian
pengalaman terhadap suatu situasi untuk dipikirkan dan dibicarakan bersama bukan
pemberian pikiran mengenai ajaran moral (hlm.100-102).

Keempat, Ide atau gagasan baik berupa dugaan semenjana maupun teori yang
melangit diperlakukan sebagai pemecahan yang dimungkinkan. Gagasan-gagasan
tersebut menjadi teruji ketika diberlakukan atau dioperasikan. Gagasan-gagasan
tersebut juga digunakan untuk menuntun dan mengatur pengamatan, pemikiran, dan
percobaan berikutnya. Di samping itu, gagasan-gagasan yang timbul adalah hasil
antara dalam pembelajaran, bukan hasil akhir. Oleh karena itu, setiap sekolah
hendaknya dilengkapi dengan perangkat-perangkat yang memungkinkan terjadinya
pengujian gagasan-gagasan yang timbul dalam pembelajaran (hlm. 102-103). Dengan
prinsip-prinsip tersebut, aliran progresivisme sangat dikenal dengan slogan learning
by doing. Dari hal tersebut, sampai dengan sekarang, sekolah-sekolah dilengkapi
dengan berbagai laboratorium.

2.5 Kondisi Pendidikan Indonesia Tinjauan Progresivisme


Pendidikan merupakan masalah hidup dan kehidupan masyarakat. Proses
pendidikan berada dan berkembang bersama perkembangan hidup dan kehidupan
manusia, bahkan keduanya merupakan proses yang satu. Masalah pendidikan tidak
dapat dipecahkan keseluruhannya hanay dengan metode ilmiah semata, akan tetapi
untuk memecahkan masalah pendidikan seseorang harus menggunakan analisis
filsafat (Jalaludin dalam Nanuri, 2013).

Contoh kondisi pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM)


Program Khusus Kartasura di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah melakukan
tindakan progresif dalam melakukan perubahan di sekolahnya. MIM PK Kartasura
yang semula hanya merupakan sekolah dasar biasa dengan murid yang semakin
merosot dalam hal jumlah siswa kemudian melakukan perubahan dengan memformat
kurikulum yang berbasis multiple intelegensi dan semua anak bisa diterima di

18
sekolah tersebut termasuk anak berkebutuhan khusus. Dengan menambahkan nama
program khusus hal ini akan lebih menarik. Sampai saat ini kurang lebih 500 siswa
dengan 15 kelas. Kurikulum berbasis multiple intelegensi sendiri sangat berpusat
pada pada potensi yang dimiliki anak, sehingga di sekolah tersebut tidak hanya
mengandalkan aspek kognitif saja, tapi lebih mengembangkan potensi yang dimiliki
anak.

Contoh progressive lainnya adalah pendidikan kejuruan atau SMK sebenarnya


baik dalam rangka membina bakat dan kreativitas peserta didik sehingga ketika
keluar dari dunia pendidikan formal dan berhadapan dengan kehidupan masyarakat,
mereka tidak akan kewalahan menciptakan lapangan kerja sendiri. Berkaitan dengan
itu pula, SMK akan mampu menjawab tantangan persaingan dunia kerja karena bakat
dan kreativitas yang dikembangkan berbeda-beda bidangnya. Hal ini bertolak
belakang dengan sistem pendidikan di SMA yang diseragamkan dari Sabang sampai
Merauke, walaupun karakteristik budaya dan daerahnya berbeda-beda.

Pendidikan Progresivisme bertujuan untuk menjadikan manusia itu menjadi


orang-orang yang dapat membuka rahasia dari alam semesta. Inilah yang menjadi
tujuan pendidikan aliran ini. Alam semesta memiliki problem-problem. Dan itu
sangat mempengaruhi keberadaan manusia. Maka, dengan sendirinya manusia itu
sendirilah yang harus mencari pemecahan masalahnya sendiri. Dan murid diberi
keleluasaan untuk membangun kreativitasnya dalam hal menjawab problem yang
terjadi, namun sesuai dengan minatnya sendiri.

Dalam bukunya, Allan C Ornstein dan Daniel U Levine mencatatkan bahwa:


“Progressives generally were not interested in using the curriculum to transmit
subjects to student. Rather,the curriculum was to come from the child. Learning
could take a variety of forms such as problem solving , field trips, creative artistic
expression, and projects. Above all, progressives saw the teaching learning as active,
exciting and ever changing” (Ornstein dan Levine dalam Nanuru, 2013).

Sekolah yang baik adalah sekolah yang dapat memberi jaminan kepada para
siswanya selama ia belajar. Maksudnya adalah bahwa sekolah harus mampu untuk

19
membantu dan menolong siswanya untuk bertumbuh dan berkembang serta memberi
keleluasaan tempat untuk para murid untuk mengembangkan minat dan bakatnya
melalui bimbingan para guru. Hal ini adalah benar. Akan tetapi, untuk mengarahkan
apa yang menjadi maksud dan tujuan penyelenggaraan pendidikan itu dituangkan
melalui kurikulum yang jelas dan tepat. Namun, yang terjadi adalah bahwa bagi
aliran ini memandang bahwa segala sesuatu adalah berasaskan fleksibilitas, dinamis
dan didalamnya termasuk kurikulum.

Dari uraian di atas dapat dilihat kelemahan progresivisme sistem pendidikan ini
mendorong kreativitas anak, namun akan menjadi kesulitan untuk
mengarahkannyasampai di mana maksud dan tujuan dari kreativitas si anak tersebut.
Karena kurikulum yang fleksibel kadang tidak punya target yang jelas untuk
muridnya.

20
BAB III

PENUTUP
3.1Kesimpulan
Berkaitan dengan tujuan pendidikan, maka aliran progresivisme lebih
menekankan pada memberikan pengalaman empiris kepada peserta didik,
sehingga terbentuk pribadi yang selalu belajar dan berbuat.

Sejalan dengan itu, tujuan pendidikan progresivisme harus mampu


memberikan keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi
dengan lingkungan yang berbeda dalam proses perubahan secara terus
menerus.Yang dimaksud dengan alat-alat adalah keterampilan pemecahan
masalah yang dapat digunakan oleh individu untuk menentukan, menganalisis,
dan memecahkan masalah.Pendidikan bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan memecahkan berbagai masalah baru dalam kehidupan pribadi
maupun kehidupan sosial, atau dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang
berada dalam proses perubahan.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, maka tujuan pendidikan menurut


progresivisme ini sangat senada dengan tujuan pendidikan nasional yang ada di
Indonesia.

Pengalaman belajar adalah pengalaman apa saja yang serasi dengan tujuan
menurut prinsip-prinsip yang telah digariskan dalam pendidikan, dimana setiap
proses belajar yang ada membantu pertumbuhan dan perkembangan anak didik.

Artinya, kurikulum harusnya dirancang untuk mengembangkan berbagai


potensi peserta didik, serta dapat memberikan pengalaman yang berharga bagi
kehidupan anak didik.

21
DAFTAR PUSTAKA

file:///D:/SEMESTER%205/FILSAFAT%20PENDIDIKAN/218557-filsafat-
pendidikan-progresivisme-dan-pe%20(1).pdf

D:/SEMESTER%205/FILSAFAT%20PENDIDIKAN/28.pdf

file:///D:/SEMESTER%205/FILSAFAT%20PENDIDIKAN/8.%20ASLI-
ALIRAN%20PROGRESIVISME%20DALAM%20PENDIDIKAN%20DI%20IND
ONESIA.pdf

Barnadib, Imam. (2002). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Darmi. (2013). Aliran-Aliran yang Mempengaruhi Kurikulum Pendidikan. Aceh


Barat: Jurnal At- Ta’dib. 1-7.

Depdiknas. (2009). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Djumransjah. (2002). Filsafat Pendidikan. Jawa Timur: Bayumedia Publishing.

Fadlillah, M. 2014. Implementasi Kurikulum 2013. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media

Gutek. Gerad Lee. (1974). Philosofical Alternatives in Education. Loyala


University of Chicago.

Jalaluddin dan Abdullah Idi. (2012).

Filsafat Pendidikan; Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.

Muhmidayeli. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: Refika Aditama.

Sadullah, Uyoh. (2003). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

22

Anda mungkin juga menyukai