Anda di halaman 1dari 143

Pediatric Ophtalmologi

 Struktur tubuh pada anak dan dewasa berbeda secara anatomis dan fisiologis
 Struktur mata
o Di depan pupil -> ada lapisan bening yaitu kornea
o Cahaya masuk ke kornea -> bilik mata depan -> pupil -> lensa -> vitreous
humor (seperti jeli berwarna bening) -> retina
o Semua yang dilewati cahaya harus bening, ada setitik darah maka pandangan
kita seperti ada bola, kalau ada garis maka seperti terlihat batang.
 Embriologi mata
o Mata dan jaringan di sekitarnya berkembang dari jaringan:
 Ektoderm
 Surface ektoderm
 Mesoderm
 Neural crest cell
o Organogenesis mulai dari minggu ke-4 kehamilan, salah satunya mata.
o Perkembangan dari fase intrauterine di minggu ke-4 kehamilan, kalau ada
gangguan bisa ada kelainan mata (katarak, glaukoma, dll). Akan terus
berkembang sampai lahir.
o Anak lahir dengan gangguan mata -> kegagalan pembentukan di kandungan,
jadi harus dijaga sejak ibu hamil untuk kesehatan mata anak.
o Pada janin 8 minggu/56 hari -> sudah terbentuk organ mata. Fase
pembentukan organ harus dibarengi dengan kesehatan ibu hamil -> gizi harus
terpenuhi.
 Perkembangan penglihatan dan binokular
o Organ mata terus berkembang setelah lahir. Saat bayi lahir, penglihatan masih
kurang baik/belum sempurna, masih sekitar 20/200 – 20/800. Bayi baru bisa
melihat sekitar 20 cm (jarak pandang pendek).
o Penglihatan terus berkembang sampai umur 6-8 tahun. Akan sama dengan
dewasa penglihatannya saat usia 6 tahun (20/20).
o Bayi melihat ke atas -> mencari titik terang/sumber cahaya -> rangsang
lampu.
 Pertumbuhan axial length
o Axial length (AL) -> sumbu bola mata, dari puncak kornea sampai ke retina.
Semakin lama semakin tumbuh AL-nya (seiring pertumbuhan).
o Pesat perkembangan panjang bola mata -> dari lahir sampai usia 2 tahun untuk
first phase. 2 tahun adalah masa emas pertumbuhan. Kalau bola mata kecil ->
hipermetropi -> semakin dewasa bergeser menjadi lebih miop.
 Oleh karena itu dari lahir-2 tahun jangan dipaparkan dengan gadget.
Lebih baik dilatih untuk penglihatan jarak jauhnya (benda besar,
warna-warna)
o Second phase -> 2-5 tahun
o Third phase -> 5-13 tahun. Kalau minus di bawah 13 tahun maka masih bisa
membaik karena perkembangan bola mata/penglihatan masih terjadi.
 Perkembangan Kornea
o Mengalami perkembangan dari 9,8 mm saat bayi menjadi 12 mm saat dewasa.
o Perubahan anatomi mata mempengaruhi fisiologis penglihatan.
o Awalnya mata bayi/anak seakan-akan plus tapi kelamaan akan normal.
o Axial length -> 14,5-15,5, corneal horizontal diameter 9,5,10,5 mm pada anak.
 Perkembangan Tajam Kelihatan
o Saat baru lahir, warna yang terlihat jelas hanya hitam putih, belum bisa
membedakan warna saat lahir. Usia 3 bulan baru mulai bisa membedakan
warna.
o Bayi sensitif dengan warna yang jelas -> merah, kuning, dll. Untuk bayi, kalau
bisa pilih warna terang untuk baju/mainan supaya melatih penglihatannya.
o Semakin berkembang -> 2 tahun mulai bisa melihat objek spesifik/bisa
mengikuti arah.
o Pada bayi 4 bulan akuitas visualnya 6/768 dan akan normal di usia 6 tahun
(6/6).
 Perkembangan Otot Ekstraokuler
o Maturasi fungsi otot ekstraokuler
o Bayi baru lahir bergerak sendiri bola matanya -> nistagmus -> masih normal,
bayi mencari fokus penglihatan. Kalau sudah di atas 2-3 bulan, bisa fiksasi,
kalau masih ada gerak involunter harus diperiksa apakah ada gangguan
penglihatan.
 Penyakit dalam Pediatrik Oftalmologi
o Banyak penyakitnya, bukan kompetensi dokter umum.
 Miopia
 Kongenital miopia -> bawaan lahir.
 Kalau anak saat diperiksa terdiagnosius miopia sebaiknya dilakukan
koreksi lensa, jangan sampai di usia 6 tahun baru dikoreksi dan
ternyata minus sudah tinggi.
 Kalau anak <13 tahun harus dikoreksi lensa (pakai kacamata) agar
tidak bertambah parah, justru jika tidak diberi kacamata maka bisa
bertambah parah -> miopia semakin parah, ambliopia (mata malas)
 Hipermetropia
 Harus dikoreksi dan diperiksa ke dokter spesialis mata
 Pemeriksaannya berbeda dengan orang dewasa karena pada bayi itu
mata cenderung hipermetropi.
 Astigmatisma
 Perlu dikoreksi dan bisa tidak dikoreksi.
 Ambliopia
 Matanya sudah dikoreksi maksimal tapi tidak bisa mencapai
penglihatan terbaik (di usia 6 tahun -> harusnya 6/6). Tidak ketemu
ukuran lensa yang pas untuk anak. Penurunan visus unilateral/bilateral
walau sudah dilakukan koreksi terbaik.
 Catatannya tidak dengan gangguan anatomis.
 Semakin tidak dikoreksi maka akan semakin malas dan lama-kelamaan
bisa hilang penglihatannya karena gangguan di neurosensorisnya.
 Mata harus diperiksa minimal saat anak masuk sekolah, mulai periksa
rutin 6 bulan sekali (kalau ada minus). Kalau tidak ada keluhan
setidaknya setahun sekali.
 Neonatal Conjungtivitas
 Neisseria Gonorrhea
 Gejalanya adalah adanya belek pada bayi dengan warna kuning
kehijauan. Bayi harus dirawat.
 Curiga orang tuanya riwayat hubungan seksual -> tertular penyakit
kelamin (misalnya sifilis, HIV/AIDS, dll).
 Vernal Conjungtivitis
 Reaksi hipersensitivitas tipe 1 dan 2
 Kelopak mata bengkak dan merah pada anak. Terasa gatal pada kedua
mata.
 Glaukoma Kongenital
 Kelainan saraf mata (defek lapangan pandang dengan atau tanpa
peningkatan TIO), kebanyakan akibat tekanan bola mata tinggi
(intraokuler/TIO).
 Gejala berupa megalokornea (kornea membesar) dan haab striae
(seperti strecth mark)
 Katarak kongenital
 Lensa keruh akibat hidrasi cairan lensa/denaturasi protein lensa.
 Gejala khas berupa mata putih, keluhan mirip retinoblastoma
(keganasan mata pada anak). Bedakan dengan retinoblastoma dapat
dilakukan USG mata -> kalau putih di belakang itu
retinoblastoma/keganasan. Kalau katarak itu putih di bagian depan.
 Foto mata anak dengan blitz -> mata putih, normalnya hitam.
 Harus sesegara mungkin dilakukan pengangkatan (ekstraksi lensa)
untuk mencegah ambliopia (mata malas)
 Sindroma Kraniofacial (sindroma -> kumpulan gejala)
 Crouzon syndrome
 Goldenhar synrome
 Hallermann-Streiff syndrome
 Pemeriksaan Mata Anak
o Beda dengan dewasa, tanya dulu apakah anak sudah bisa membaca/belum.
o Kadang tidak sesuai step pemeriksaan pada orang dewasa.
o General tips -> disapa terlebih dahulu, periksa satu mata terlebih dahulu
 Alignment -> kesejajaran bola mata, karena banyak kasus
strabismus/juling pada anak. Dengan corneal light reflection.
 Motilitas (gerak) bola mata -> dipandu dengan meminta anak melihat
boneka.
 Red reflex test -> lihat refleks yang dipantulkan retina matanya dengan
bantuan alat.
 Visual acuity -> bisa pakai Lea Symbol kalau anak belum bisa membaca,
tanya bentuk dari simbol yang ada. Periksa salah satu mata dahulu.
 Confrontational Fields, periksa lapangan pandang.
 Kapan sebaiknya anak diperiksa ke dokter mata
o Jika orang tua menemukan berbagai gejala
o 9 tanda
 Anak lahir preterm (kurang bulan), sesuai dengan gangguan
perkembangan mata
 Sulit konsentrasi dan kesulitan membaca
 Jika orang tua berkacamata
 Squinting, squeezing, menggaruk mata
 Mendekati televisi atau objek
 Kemerahan, berair, gatal
 Posisi abnormal saat melihat objek
 Sakit kepala
 Mata ke arah dalam/luar
 Pendekatan pada bayi
o Tanya riwayat kehamilan, proses kelahiran ibu.
 Pendekatan pada Bayi dengan Penurunan Visus
o Banyak menggunakan alat -> VEP, USG, CT scan, MRI
o Harus diperiksa spesialis mata dan neurologi anak (kolaborasi dengan bagian
anak)
 Preschool (anak) -> belum bisa mengekspresikan dan mengerti keluhan mata
o Sudah sering mengucek mata -> orang tua harus peka dan periksa ke dokter
mata sebagai deteksi dini.
Refraksi dan Lensa Kontak

1. Refraksi
 Refraksi -> proses cahaya masuk melalui media refraksi mata sampai ke fovea.
 Benda optik yang dipakai terkait refraksi -> lensa, lensa positif/negatif/silinder
 Punctum remotum (R) -> titik terjauh yang dapat dilihat mata tanpa akomodasi,
melihat bintang/mobil dari jauh. Tidak terhingga.
 Punctum proksimum (P) -> titik terdekat yang dapat dilihat mata dengan akomodasi
maksimal -> mata melihat tunggal. Kalau objek didekatkan menjadi ganda -> bukan
punctum proksimum.
 Daerah akomodasi -> jarak P-R
 Satuan optik -> dioptri (D)
 Sinar paralel -> dikonvergensikan ke titik fokus (dikumpulkan ke titik fokus) -> lensa
plus (+) atau konveks. Atau divergensikan seolah-olah berasal dari titik fokus
(disebarkan) -> lensa minus (-) atau konkaf.
 Sinar yang datang dari jarak >5 m itu paralel, <5 m itu divergen.
 Lensa sferikal -> lensa cekung dan cembung (diameter kurvatura yang sama di semua
meridian)
 Lensa cembung (kumpulan basis prisma) dan cekung (kumpulan apeks prisma) ->
prisma punya sifat membelok
 Semakin tebal kacamata seseorang -> efek prisma semakin jelas dan terasa
 Lensa silinder -> 2 jenis lensa yang punya meridian saling tegak lurus, aksis tidak
punya kekuatan, kekuatan di aksis tegak lurusnya. Misalnya ada rumusan -> silinder
minus 3, axis 90. Artinya lensa di aksis 90 -> letak kekuatan lensa di tegak lurus.
 Lensa sferosilinder -> kacamata itu gabungan antara lensa sferik dan silinder ->
misalnya minus 1 silinder 3, dsb.
 Lensa sferikal -> semua permukaan sama kekuatannya, baik horizontal, vertikal,
oblique itu sama misalnya +2. Kalau silinder -> kekuatannya pada tegak lurus axis.
 Misalkan setelah dikoreksi, pasien tidak nyaman -> lakukan metode sferikalekuivalen
atau transposisi. Transposisi -> Jumlah sferis ditambah silinder lalu silinder dirubah.
 Bagian refraksi pada mata -> kornea, cairan humour, lensa dan vitreous. Karena
punya indeks bias. Indeks bias -> tempat jalannya cahaya dan bisa terjadi suatu
pembelokan. Semakin jernih media maka cairan semakin lurus. Semakin keruh air
semakin membelok cahayanya.
 Proses akomodasi -> diambil peranan besarnya oleh lensa (zonula zinii yang
menggantung di corpus siliaris). Merupakan kemampuan menambah kekuatan
refraksi mata dengan meningkatkan konveksitas lensa (lensa dicembungkan).
Akomodasi dilakukan saat objek yang kita lihat < 5meter atau sinar datangnya
konvergen.
 Penglihatan manusia
o Near looking (<= 40 cm)
o Intermediate vision (40 cm-1 meter)
o Distance vision (>1 meter)
o Kalau relaksasi -> lebih dari 5 meter.
 Akomodasi -> lensa mencembung, kekuatan bertambah untuk menarik sinar yang
jatuh agar bayangan jatuh pas di fovea retinalis. Kalau objek <5meter itu sinarnya
jatuh di belakang fovea, tidak membentuk sinar paralel (pandangan kabur), mata
mengusahakan sinar jatuh di fovea sentralis.
o Kalau objek jatuhnya < 5m sinar tidak datang paralel tapi divergen. Kalau <4
m sinar konvergen -> bayangan jatuh di belakang fovea -> pandangan kabur -
> rangsang sinyal fotoreseptor di retina -> saraf mata -> otak -> kontraksi
melalui otot siliaris -> lensa mencembung.
o Jadi jarak objek tetap dekat tapi bisa terlihat jelas.
o Terjadi karena kontraksi otot siliaris pada badan siliar.
 Refleks dekat -> akomodasi, miosis, konvergensi (rectus medius mengalami
kontraksi). Terjadi saat near-looking.
 Anomali refraksi
o Emetropia (normal)
 Objek dengan jarak >5m -> bayangan tepat jatuh di fovea saat mata
relaksasi -> ketajaman penglihatan maksimal.
o Ametropia -> keadaan di mana sinar paralel jatuh di depan/belakang fovea
saat mata relaksasi.
 Miopia
 Cahaya dikoreksi dengan kacamata negatif (-) karena objek
jatuh di depan fovea sehingga penglihatan buram.
 Bayangan jatuh di depan karena kekuatan matanya positif
(terlalu kuat) akibat indeks lensa, indeks refraksi kornea atau
panjang aksial (diukur dari anterior kornea sampai fovea)
 Objek baru jelas kalau bayangan jatuh di fovea/retina.
 Gangguan penglihatan jauhnya.
 Akibat axial length > normal, gangguan kurvatura, peningkatan
indeks refraksi (diabetes), perubahan posisi lensa (karena
trauma).
 Gejala -> penglihatan jauh kabur, dekat normal. (minus 10)
10.00 D -> lihat dekat juga kabur, Astenopia -> mata lelah
karena kontraksi terus-menerus (akibat penglihatan buram),
terjadi hemeralopia (rabun senja, degenerasi sel retina),
degenerasi vitreus (spot floating vision), menekan kelopak mata
supaya penglihatan baik. Miopia tinggi -> mata
menonjol/proptosis.
 Funduskopi -> gambaran fundus tigroid, bulan sabit di sakitar
daerah papil (myopic crescent), stafiloma posterior
 Komplikasi miopia tinggi (>6) -> degenerasi, ablasio retina,
perubahan pigmentasi + makula, kadang ada perdarahan,
strabismus (kalau tidak diobati)
 <3.00 D rendah, 3.00-6.00 D sedang, >6.00 tinggi/gravis.
Sekarang >= 5 itu tinggi. Kalau miopia bertambah terus setiap
tahun-> miopia progresif. Anak preschool kecil kemungkinan
miopia lebih dari 6.00 D.
 Tatalaksana
o Miopia rendah-sedang dikoreksi dengan lensa sferis
terlemah yang memberikan tajam penglihatan terbaik.
Contoh -> VOD (Visious dasar), sesuaikan dengan
lensa/kenyamanan pasien.
 Prognosis -> simpleks/stasioner masih baik (tapi bisa menetap
setelah pubertas), kalau miopia progresif -> akan berkembang
lebih tinggi dan menimbulkan komplikasi. Miopia pada bayi ->
jangan dipaparkan handphone (dari kecil matanya
berakomodasi, matanya lebih panjang daripada anak seusianya)
 Hipermetropia
 Mata lemah -> bayangan objek di belakang fovea. Kekuatannya
negatif. Koreksi dengan lensa (+) -> bayangan tertarik ke titik
depan (fovea).
 Bermasalah pada penglihatan dekat pada hipermetropia
simpleks (<2.00 D). Kalau >4.00 D akan ada gangguan
penglihatan jauh juga.
 Prevalensi lebih kecil tapi manajemen lebih kompleks
dibanding miopia -> harus ke dokter mata.
 Manajemen lebih sulit dibanding miopia, banyak pemeriksaan
(akomodasi, dll).
 Etiologi -> aksial < normal (normalnya 23-24, ada juga yang
22, di Indonesia 23, diameter bola mata <N, 1ml diwakili 3 D)
 Manifestasi klinis
o Hipermetrofi manifestasi -> dideteksi tanpa
melumpuhkan akomodasi dan diperbaiki dengan lensa
cembung (+)
 Fakultatif -> bisa diatasi dengan kekuatan
akomodasi
 Absolut -> sudah tidak bisa diatasi
o Hipermetropia total -> dideteksi setelah dilakukan
paralisis akomodasi dengan agen siklopegik (cairan) ->
mata dilatasi maksimal.
o Hipermetropia laten -> selisih antara hipermetropia total
dengan yang manifes. Manifestasi 3, total 4 maka nilai
latennya 1. Masih bisa dibantu lensa mata (lensa
kristalina) -> lama-lama capek -> nyeri, astenopia
 Gejala -> penglihatan dekat kabur, astenopia akomodatif (mata
lelah), strabismus, penglihatan jauh kabur juga pada lansia,
hipermetropia tinggi pada anak -> strabismus konvergen
(convergent squint).
 Tatalaksana -> beri kacamata dengan koreksi terbaik (lensa
sferis positif). Jika perlu kacamata bifokal pada lansia.
 Astigmatisme
 Perbedaan derajat refraksi pada meridian yang berbeda.
 Kornea mata berbeda kekuatan -> bayangan yang difokuskan
ke fovea berbeda (ada yang di depan dan belakang). Karena
perbedaan kekuatan media refraksi.
 Bayangan -> garis/oval/lingkaran. Kalau dikoreksi dengan
kacamata silinder -> ada bagian penglihatan yang hilang (garis
hilang pada huruf B jadi seperti angka 3 saja, sering salah
baca).
 Astigmatisma vision -> pandangan bisa ganda dan buram.
 Manifestasi
o Reguler -> terjadi perbedaan pada setiap meredian
(perbedaan derajat refraksi)
o Ireguler -> perbedaan refraksi tidak hanya pada
meridian berbeda tapi juga di meredian yang sama
 90% pasien astigmatisme bermasalah pada kurvatura kornea
(lengkungan kornea). 10%nya bermasalah di lensa.
 Orang berkacamata silinder minus 2 -> astigma miopia
simpleks. Kalau silinder plus 2 -> astigma hipermetropia
simpleks. Kalau sama-sama plus/minus (tambah kompositum).
Kalau plus-minus -> astigma mikstus.
 Astigma mikstus -> salah satu bayangan tepat di belakang
fovea, dan satunya di depan fovea. Meridian horizontal di
depan fovea, meridian vertikal di belakang fovea.
 Presbiopia (terjadi karena proses degenerasi >40 tahun)
 Terjadi peribahan akomodiasi secara fisiologis yang melemah
di usia tua.
 Orang dengan presbiopia pada umur tertentu bukan sesuatu
yang pasti -> usia 40 tahun koreksi di +1.00 DD, patokan tapi
bukan pasti (bisa saja <40 tahun sudah gangguan,
o Tergantung profesi juga, penjahit, arsitektur, tukang las
 Teknis pemeriksaan refraksi
o Subjektif
o Objektif

2. Lensa Kontak
 Alat untuk mengoreksi kesalahan refraksi
 Menempel langsung pada kornea -> tapi kalo kurang tepat pemakaiannya bisa
menyebabkan komplikasi.
 Adolf eugene (1887)
 Kornea:
o Tebal 0,54 mm ditengah, di perifer lebih tebal lagi yaitu 0,65 mm.
o Ada 5 lapisan -> epitel, bowman, stroma, descement, endotel
o Sumber nutrisi dari pembuluh darah limbus, air mata, humor aqueous.
 Peripheral curve adalah bagian yang menempel di ovula surface, optic zone -> optik
yang mempunyai kekuatan.
 Banyak jenisanya: RGP (rigid gas-permeable), daily-wear soft lense, extended-wear,
entended-wear disposable, planed replacement. (Harus paham karena akan
berpengaruh sama pemakaian dan bisa berdampak terhadap kelainan kornea) karena
aturan pakainya harian, bulanan, itu stuktur kimia lensanya juga beda.
o RGP: plastik tipis, fleksibel yang memudahkan masuknya oksigen ke mata.
o Daily wear soft lense: biasanya yang sering dipakai
o Extended wear: bisa dipake tidur 7 hari tanpa dilepas, tapi jarang dinjurkan
kecuali pekerjaannya itu yang benar-benar tanpa dilepas. Baiknya tidur tanpa
lensa kontak karena bisa tergores korneanya. Tapi dia tidak mengoreksi semua
refraksi mata.
o Extended wear disposable
o Planed replacement: digunakan berjangka kebanyakan 2 minggu, sebulan atau
4 bulan. Baik untuk mata yang sehat, tapi tidak setajam RGP, perawatannya
lebih sulit.
o Intinya itu kita liat komposisi kimia yang ada di lensa kontaknya itu gimana,
water contentnya butuh berapa, berdasarkan kelainan pada matanya, biar tidak
terjadi komplikasi, makanya harus faham bgt, makin tinggi water content nya
makin banyak air mata. Misal ada yg keluhan alergi itu kita perhatikan lagi
penggunaannya gimana.
 Indikasi dari pemakaian lensa kontak -> optik, occupational, kosmetik, terapeutik,
preventif.
 Kontraindikasi:
o Gangguan mental
o Jorok (hygiene kurang)
o Lingkungan kerja kotor/berdebu
o Blepharitis kronis: pada palpebra
o Konjungtivis kronis
o Dry eye syndrome
o Distrofi/degenerasi kornea mata.
o Penyakit rekuren seperti epi-skleri-iridocyclitis
 Masalah yang bisa ditimbulkan:
o Kadar transmisi dan permeabilitas oksigen melalui bahan basa
o Reaksi alergi
o Makin tebel lensa kontak makin butuh banyak air mata
o Rutin penggantian lensa kontak -> ada perubahan kimia
o Tidur tanpa melepas lens kontak: ini bahaya, karena saat merem oksigen nya
di mata berkurang, padahal kornea sangat butuh O2.
 Komplikasi: giant papillary conjungtivitis (reaksi alergi), erosi (penekanan lama lensa
kontak), keratitis, CLARE (infiltrat terlihat saat menggunakan slit lamp),
Fungi/berjamur (ada nanahnya (lipobion) dan lesi satelit), Hypoxia (akibat dibawa
tidur, harus tranplantasi), neovascularisasi, alergi, ulkus, protozoa (acantamoeba).
 Sebelum dan sesudah harus cuci tangan, bersihkan lensa kontak dengan hati-hati dan
rutin, gosok lensa kontak dengan menggunakan jari tangan, bilas dengan air bersih
sebelum merendam lensa kontak dalam larutan multi-fungsi pada malam hari (ganti
air dalam kotak lensa kontak).

Strabismus dan Akomodasi

 Strabismus berasal dari bahasa yunani, mata berdeviasi/miring. Merupakan


abnormalitas binokular/penglihatan. Baik kelainan binokular ataupun kontrol
neuromuscular dari motilitas okuler.
 Disosiasi bola mata -> strabismus
 Binocular vision -> penglihatan yang baik -> kalau kedua bola mata sama vision-nya
maka akan menjadi lebih baik. Jika satu bola mata penglihatannya 0,8, kalau melihat
dengan kedua mata maka penglihatan menjadi 1,0 (normal). Kalau melihat dengan
satu mata visusnya 1,0, melihat dengan kedua mata menjadi 1,2 (lebih baik).
 Orthophoria -> kondisi yang normal dari otot bola mata dan keseimbangan kedua
mata -> menghasilkan penglihatan tunggal (single binocular vision). Kalau kedua otot
mata sama keduanya saat melirik ke kiri maka penglihatan akan lebih baik, tapi kalau
salah satu otot melemah maka penglihatan tidak akan baik.
 Penglihatan normal -> cahaya masuk ke fovea macula di mata kiri dan kanan. Kalau
kurang/berlebihan akan ekstrafovea -> dikirim saraf optik -> korteks serebri ->
penglihatan terlihat kurang jelas. Lebih baik jika cahaya tepat jatuh di fovea kedua
mata.
 Ada 6 otot penting yang mengatur pergerakan bola mata
o Medial rectus -> adduksi
o Lateral rectus -> abduksi
o Superior rectus -> supraduksi
o Inferior rectus -> infraduksi
o Superior oblique -> intorsi (mendekati sumbu bola mata)
o Inferior oblique -> ekstrosi (menjauhi sumbu bola mata)
 Bayangan di retina datang dari kedua mata, ketika bayangan datang dari kedua mata
maka menyebabkan penglihatan yang baik. Penglihatan terbaik -> kalau bisa melihat
tunggal 3 dimensi, ada kedalaman penglihatan. Butuh pergerakan otot mata yang baik
sehingga fokus arahnya juga baik.
 Penglihatan binocular syaratnya:
o Penglihatan mata kanan dan kiri harus sama baik dengan/tanpa koreksi
kacamata. Mata kanan dan kiri sama-sama 6/6. Satu 6/6 satu 6/9 -> dikoreksi
menjadi sama-sama 6.
o Koordinasi yang baik antar otot kedua bola mata. Saat melihat ke arah tertentu
kedua otot bola mata bekerja sinergis.
o Sintesa sistem saraf pusat -> fusi di korteks serebri
 Cahaya -> masuk ke bola mata kanan dan kiri -> bayangan jatuh tepat di kedua fovea
-> penglihatan baik
o Pergerakan otot mata harus sinergis agar bayangan jatuh tepat di fovea. Kanan
dan kiri harus seimbang.
o Sintesa sistem saraf pusat juga harus baik agar cahaya bisa divisualisasikan
 Eso-: juling ke nasal
 Exo-: juling ke temporal
 Hypo-: juling ke bawah
 Hyper-: juling ke atas
 Incyclo-: juling berputar mendekati sumbu bola mata
 Exyclo-: juling berputar menjauhi sumbu bola mata
 -phoria: juling yang tersembunyi atau laten karena masih ada fusi. Bisa juling ke arah
mana saja tapi phoria/laten/tersembunyi. Biasanya juling terlihat di kondisi tertentu,
tapi tetap bisa terdeteksi saat pemeriksaan mata.
 -tropia: sudah manifestasi, juling tidak bisa disembunyikan lagi. Juling terjadi terus
menerus.
 -phorotropia: antara -phoria dan -tropia. Misalnya saat melihat dekat tersembunyi
(masih ada fusi) tapi saat melihat jauh julingnya tidak tersembunyi. Disebut
intermittent. Muncul saat fiksasi berbeda.
 Menurut fiksasi
o Mata fiksasi itu lurus
o Alternating: fiksasi alternan -> fiksasi berganti, saat fiksasi melihat lurus ->
saat melihat lurus, mata kanan lurus, mata kiri juling atau sebaliknya. Dua-
duanya juling tapi bergantian. Lebih baik, karena masih ada kesempatan kedua
mata untuk normal penglihatannya karena perkembangannya baik (bayangan
jatuh di fovea walau bergantian).
o Monocular: terus-menerus satu mata yang juling. Mata bisa berkembang baik
jika cahaya jatuh di fovea, kalau ekstrafovea maka korteks serebri tidak
menerima rangsang cahaya dengan benar -> sel di korteks tidak berkembang -
> bisa mata malas/amblyopia (biasa terjadi <6 tahun atau saat masa
perkembangan tajam penglihatan). Jadi jangan sampai terjadi juling/refraksi
pada satu mata saja -> sel korteks serebri kurang aktif -> lazy eyes.
 Menurut onset
o Kongenital: terjadi di bawah 6 bulan
o Didapat/acquired: kalau terjadi di atas 6 bulan
 Menurut tipe deviasi
o Horizontal: eso/eksodeviasi
o Vertikal: hiper/hipodeviasi
o Torsional: insiklo/eksiklodeviasi
o Kombinasi
 Menurut variasi deviasi dari fiksasi mata
o Comitant/concomitant: juling tidak berubah besarnya sesuai arah mata.
Seluruh arah -> deviasinya sama
o Incomitant: ada gangguan gerakan bola mata sehingga deviasi berbeda pada
tiap arah. Saat lurus -> deviasi minimal, saat melirik ke arah lain -> deviasi
lebih besar. Tidak sama besar karena hambatan gerak otot mata yang bisa
terjadi akibat kelainan organik atau parese (kelumpuhan/kelainan saraf).
 Etiologi Strabismus
o Heterophoria: kelemahan otot, spasme otot, kelainan refraksi, kelainan
anatomi otot mata, kebanyakan genetik (baik kelainan otot atau anomali saraf),
masalah akomodasi, infeksi, trauma, neoplasma kepala/tumor, penyakit
spesifik yang menyerang macula mata (toxoplasmosis -> macula buruk ->
tidak bisa menerima cahaya dengan baik -> visus/penglihatan buruk -> lazy
eyes -> mata juling, apalagi jika terjadi pada perkembangan tajam mata)
 Gejala
o Subjektif
 Heterophoria: mata buram ketika lelah, sakit kepala saat membaca
 Heterotropia: diplopia, keterbatasan range of movement bola mata,
perubahan posisi kepala (head tilt -> usaha agar bisa melihat dengan
baik). Kalau head tilt -> ke ortopedi untuk diluruskan melalui operasi.
 Pemeriksaan Strabismus -> penampilan bola mata pasien dan test refleks cahaya
kornea
o Hirschberg test (subjektif)
 Pakai senter untuk melihat refleks cahaya kornea, kalau juling ke
dalam refleks akan ke temporal, kalau juling keluar refleks akan ke
nasal.
 Cahaya jatuh dekat pupil 7 derajat, kalau di tengah antara limbus dan
kornea -> 25-27 derajat.
o Krimsky’s test (objektif) -> pada anak-anak yang tidak kooperatif atau yang
tidak bisa melihat jauh (kurang dari yang paling atas dari Snellen chart). Kalau
mata juling ke dalam -> lensa prisma di puncak kornea dan base keluar ->
supaya mata bergulir ke luar -> saat kita senter dan mata belum ke tengah kita
besarkan lagi lensa prisma sampai cahaya tepat di kedua pupil bola mata
(sampai mata tidak bergerak lagi atau tidak juling lagi).
 Pakai lensa prisma untuk mengetahui derajatnya
o Cover test
 Cover-uncover test -> satu mata ditutup -> saat dibuka mata bergulir ke
luar/dalam
 Alternate cover test
 Terapi strabismus
o Targetnya -> single binocular vision
o Tidak ada operasi strabismus untuk komestik, tapi tujuannya adalah agar
fungsi mata dapat berjalan dengan lancar
o Kongenital -> harus segera ditindak untuk mencegah amblyopia
o Gangguan refraksi -> dikoreksi agar cahaya tepat jatuh di fovea kedua bola
mata -> penglihatan baik
o Latihan orthoptic -> tidak semua strabismus bisa diatasi dengan latihan.
Misalnya pada strabismus convergen disosiasi. Tujuan untuk melatih otot mata
selama 3-4 bulan, kalau masih tidak normal harus dibedah karena bisa diplopia
(di atas 15 prisma).
o Bedah
 Komplikasi
o Ambylopia -> mata malas, satu/kedua mata tidak bisa melihat dengan baik
(visus menurun) -> tidak sesuai usia. Sedangkan jika dilihat -> tidak ada
kelainan organik/anatomis saat funduskopi.
 Kelainan organik juga bisa menyebabkan amblyopia. Katarak kongenital -
> tidak ditindak -> cahaya tidak masuk sempurna ke mata -> korteks
serebri tidak aktif -> amblyopia.
 Kalau masih ada katarak -> suspek ambylopia. Saat dikoreksi -> tidak 6/6
visusnya. Kalau sudah dicek dan tidak ada kelainan anatomi + penglihatan
tidak sesuai usia -> amblyopia
 Dari lahir sampai usia 5-6 tahun harusnya tidak ada kelainan di mana
cahaya tidak jatuh ke retina (ekstrafovea, gangguan refraksi tidak
tekoreksi, dll) -> amblyopia
 Masa kritis dari perkembangan mata -> usia 0-6 bulan. Usia 6 bulan – 2
tahun masih berkembang. Saat 5-6 tahun penglihatan sudah 6/6.
 Memang masih berkembang saat 9-12 tahun tapi persentasinya kecil
sekali. Semakin dini dikoreksi maka semakin baik untuk terapi amblyopia.
 Prognosis akan lebih baik jika amblyopia terdeteksi dini -> koreksi dini.
 <6 tahun jangan sampai cahaya tidak masuk ke fovea macula ->
perkembangan mata baik jika cahaya masuk ke fovea macula dengan baik.
 Jenis Amblyopia
o Amblyopia strabismus -> paling umum
o Anisometropic amblyopia -> jauh perbedaan refraksi antara kanan dan
kiri 3 dioptri
o Isoametropic ambylopia -> perbedaan refraksi mata kanan dan kiri tidak
sampai 3 dioptri
o Deprivation amblyopia -> misalnya pada katarak tadi (gangguan cahaya
masuk ke fovea)
 Amblyopia ringan -> visus 6/10 atau ke atas -> prognosis baik
 Amblyopia sedang -> visus 2/10-6/10 -> prognosis tergantung umur
 Amblyopia berat -> visus 1/10-2/10 -> prognosis buruk
o Kosmetik
o Gangguan/kelainan postur kepala/leher
Infeksi Imunologi 1
1. Differential Diagnosis of Red Eye
 Infeksi immunologi salah satu tandanya adalah mata merah. Lihat dulu merahnya di
kelopak mata atau konjungtiva.
o Kalau di kelopak mata -> lihat apakah ada pembesaran/tumor atau tidak, kalau
di konjungtiva -> noduler (mobile) atau diffuse (di seluruh konjungtiva).
Merahnya dari tepi lalu masuk ke arah kornea/limbus, kalau merah semakin
berkurang berarti kelainan di konjungtiva (konjungtiva injeksi).
o Kalau merahnya dari kornea ke arah tepi/fornix/kelopak mata, kalau semakin
putih maka kelainan di kornea/bilik mata depan/uvea/iris bisa juga glaukoma
(perikorneal vaskular injeksi).
 Jika ada merah di konjungtiva lokal -> tanya apakah ada trauma (terpukul) atau ada
penyakit leukimia/hipertensi/virus. Kalau nodul terlokalisir dengan bercak merah
darah.
 Apakah merah normal biasa saja (tanpa gangguan visus) atau apakah ada mata merah
disertai dengan visus/penglihatan menurun perlu ditanyakan. Bisa juga tanyakan
riwayat pemakaian lensa kontak, leukimia, anemia.
 Gejala
o Tidak nyaman, seperti berpasir/kelilipan. Harus tahu tanda radang spesifik/non
spesifik. Kalau spesifik -> membran/pseudomembran di konjungtiva, kalau
membran itu dikelupas akan berdarah -> difteri di mata. Kalau non spesifik ->
tumor, rubor, dolor, kalor, functio lesia -> radang di mata. Berpasir -> tumor,
hipertrofi papiler/folikuler yang ada di konjungtiva bagian dalam (di tarsal).
o Sensasi foreign-body, gatal
o Cairan serous (virus)/mucoid(alergi)/purulent, ropy, matting(bakteri)
o Nyeri penuh -> endoftalmisis. Nyeri saat ditekan -> skleritis, mata merah
disertai pusing atau sakit di sekitar rongga orbita (glaukoma akut)
o Pandangan kabur, fotofobia (silau/nyeri jika ada sinar)
 Warning symptoms
o Pandangan kabur
o Nyeri sekali
o Fotofobia
o Colored halos (melihat lampu seperti pelangi)
o Proptosis -> mata seperti keluar/menonjol
 Bisa menuju kebutaan
 Pemeriksaan
o Visual acuity
o Ciliary flush
o Disrupsi epitel kornea
o Opasitas kornea (kornea keruh/tidak), edema kornea (kornea selalu dalam
kondisi terhidrasi, kalau air terlalu banyak masuk bisa edema), ulserasi kornea,
staining kornea
o Abnormalitas pupil -> kecil (normalnya 3 mm, jadi kalau kecil itu <3 mm,
kalau pupil ukurannya 5-6 mm itu dilatasi biasanya pada glaukoma),
synechiae (perlengketan antara iris ke kornea/synechiae anterior atau iris ke
lensa/synechiae posterior), membrane (tanyakan apakah memang bawaan atau
reaksi infeksi inflamasi)
o Anterior chamber (dibentuk kornea dan iris)-> shallow/dangkal (bisa datar
karena bawaan lahir -> normal, kalau dangkal -> sudut bilik mata depan
sempit -> merupakan predisposisi glaukoma akut sudut tertutup, kalau dalam -
> sudut bilik mata depan terbuka lebar, bisa menutup kalau glaukoma ->
sekunder lensa/lensa membesar, reaksi inflamasi
o Tekanan intraokuler abnormal -> normalnya <22 mmHg, kalau di atas itu bisa
abnormal. Tapi tidak bisa dipastikan itu abnormal, karena ada hipertensi okuli
(variesi normal, memang hidup dengan TIO 22-29/di bawah 30 mmHg) dan
glaukoma (>30 mmHg), TIO tinggi disertai gangguan fungsi dan struktur bola
mata -> penglihatan menurun/kabur, lapang pandang menyempit & struktur
bola mata -> edema kornea, papil nervus optikus atropi (c/d ratio meningkat)
o Proptosis -> bilateral -> cavernosus sinus thrombosis -> bisa anastomosis, ada
suara bising yang bisa didengar lewat stetoskop
 Penyakit Kelopak Mata
o Hordeolum internum -> meibom
o Hordeolum externum -> zeis/moll
 Bisa dicurigai keganasan kalau sudah diinsisi berkali-kali tetap tumbuh
 Diatasi dengan kompres air hangat
o Blepharitis -> ulcerative, seborrhoeic (seperti ketombe), meibomitis
o Air mata ada 3 lapis
 paling dalam mucin (melapisi permukaan bola mata, mucin membuat
permukaan kornea menjadi smooth, kalau tidak ada mucin -> rusak
vili/jonjot yang ada di konjungtiva dan bisa silinder/ulcus/infeksi,
mucin diproduksi sel goblet yang ada di konjungtiva),
 di tengah ada aquos (cairan) yang diproduksi kelenjar lakrimal,
 paling luar itu ada lipid yang dihasilkan kelenjar meibom (lipid
fungsinya mencegah penguapan, kalau ada meibomitis air mata bisa
menguap -> dry eyes)
o Parasitic blepharitis -> pada bulu mata ada phthirius pubis atau demodex
folliculorum
o Trichiasis -> bulu mata menghadap ke dalam -> berbahaya -> mengeruhkan
kornea (kornea opacity)
o Entropion -> kelopak masuk ke dalam -> kornea tergores -> iritasi
o Ektropion -> kelopak mata ke arah keluar -> air mata tidak masuk ke canalis
nasolacrimalis -> air mata keluar terus-menerus
o Tumor -> malignansi, bisa menghitam -> harus dieksisi (wide excision)
o Dacryocystitis (infeksi di saluran nasolacrimalis)
 Air mata diproduksi kelenjar lakrimalis di temporal -> punctum ->
kanalikuli -> saccus nasolacrimalis -> ductus nasolacrimalis -> hidung.
Kalau saluran buntu -> air mata ke pipi. Kalau tidak buntu tapi air
mata ke pipi -> hiperlakrimasi (mata berair karena rangsangan, bisa
karena kornea terluka), tapi kalau tidak ada luka -> buntu di ductus
lakrimalis.
o Di mata bisa terbentuk fistula dan hordeolum bisa menjadi abses.
o Mata merah akibat darah
 Bisa akibat keganasan.
 Merah di bilik mata depan -> hifema, ada yang mikrohifema
(cairan/black hole). Cairan ada rasio udara dan cairan (air-fluid level).
Mikrohifema -> di mikroskop ada bintik darah
 Pus di bilik mata depan -> hipopion
2. Uveal Tract
 Terdiri dari iris, badan siliaris, choroid
o Iris berfungsi sebagai diafragma -> tengahnya ada pupil -> mengecil saat
banyak cahaya, dilatasi saat minim cahaya
o Badan siliaris berfungsi sebagai tempat produksi aqueous humor 85% ->
masuk ke bilik mata belakang -> pupil -> bilik mata depan -> sudut bilik mata
depan -> jaringan trabekular -> canal schlemm -> vena episklera (jalur
konvensional). 15% secara pasif-> Ada jalur non konvensional -> melalui
badan siliaris -> ada musculus radier & longitudinal yang berdilatasi -> ke iris
 Menjaga struktur bola mata agar tetap bulat dan tidak kempes
 Aqueous humor diproduksi secara kontinyu
 Memberi makan sel-sel di mata karena tidak ada perdarahan
 Berfungsi juga sebagai akomodasi (kontraksi dan relaksasi lensa)
 Obat relaksasi pupil dapat meningkatkan hingga 30% produksi
aqueous humor secara nonkonvensional. Sinonim prostaglandin juga
bisa meningkatkan hingga 30%, begitu juga obat glaukoma.
o Choroid -> segmen posterior uvea, menempel ke retina, memberi makan retina
(vaskulariasi tinggi)
 Traktus uvea -> pembuluh darah utama di mata. Kalau disobek -> berdarah.
 Struktur anatomi mata
o Kornea
 Ada 5 lapis -> epitel, lapisan bowman, stroma, lapisan descemet,
endotel
 Tebalnya 500 mikron (lasik tidak boleh dilakukan jika <500 mikron)
o Anterior chamber -> kornea-iris. Kalau dangkal -> predisposisi glaukoma
karena sudut sempit
o Iris melingkar membentuk pupil (diafragma). Kalau kena sinar ukurannya <3
mm, uveitis anterior/radang iris juga <3 mm. >3 mm (5-6 mm itu dilatasi)
kemungkinan ada blok.
 Iris dalam keadaan baik -> tampak kripta-kriptanya. Kalau kripta tidak
terlihat kemungkinan irisnya edema.
 Herpes zoster -> di ujung hidung ada vesikel kemungkinan intraokuler
juga radang (terkait n. nasosiliaris cabang dari nervus trigeminus)
o Badan siliaris relaksasi cembung, kontraksi cekung. Merupakan tempat
produksi aqueous humor (secara aktif dan pasif).
 Aqueous humor (bilik belakang) lewat pupil -> bilik mata depan ->
sudut bilik mata depan -> jaringan trabekular -> kanal schlemm ->
vena episcleral -> kontinyu, untuk memberi makan
o Choroid berfungsi membeli makan retina.
o Ora serrata -> ada di posterior badan siliaris, penting untuk penyuntikkan
intraokuler (harus tahu ora serrata berapa ml dari limbus).
o Suntik obat ke badan siliaris -> ptisis (mata kempes)

Infeksi Imunologi 2 (External Eye Disease)


 Lebih banyak berhubungan pada kasus infeksi
 External eye disease -> kelopak mata, konjungtiva, kornea
 Kelopak mata
o Blepharitis
 Infeksi pada kelopak mata (blepha), ada anterior dan posterior.
Anterior akibat Staphylococcus aureus dan seborrheic.
 A. Seborrheic blepharitis -> ketombe, gatal
 B. Staphylococcus blepharitis -> crusta kuning
 C. Meibomian gland disfunction blepharitis-> kelopak atas lebih
banyak meibom daripada bawah, akibat sumbatan (harusnya terbuka)
 MGD (Meibomian Gland Dysfunction) -> blepharitis posterior, sering
menyebabkan mata kering karena glandula meibom menghasilkan
salah satu lapisan air mata (lipid) -> produksi lipid terhambat ->
evaporasi berlebihan dari air mata
 Staphylococcus dan seborrheic -> tidak terlalu mengganggu air
matanya
 Tatalaksana blepharitis
 Terpenting -> hygiene harus bagus, bersihkan crusta/ketombe
pakai kompres hangat, walau tidak ada keluhan MGD bisa
bersihkan dengan shampoo bayi (tidak pedih di mata) -> crusta
yang menempel lepas
 Antibiotik topikal -> kalau parah, dalam bentuk salep
 Antibiotik oral
 Topical steroid
 Topical lubrication -> MGD, sebagai pelumas air mata buatan
o Hordeolum (bintitan)
 Terjadi karena adanya sumbatan kelenjar, baik kelenjar zeiss atau
meibom kebanyakan akibat Staphylococcus aureus
 Kebanyakan akibat Staphylococcus aureus
 Ada 2 jenis
 Di luar -> bintit benjolan di luar
 Di dalam -> bintit di dalam -> kelopak mata agak bengkak dan
ada rasa mengganjal (bintitan di dalam), nyeri saat dipegang ->
harus tarik kelopak mata untuk melihat benjolannya (paling
banyak di kelopak mata bawah), pakai loop atau kacamata +3
 Tatalaksana hordeolum
 Kompres hangat (konjungtivitis baru kompres dingin), setiap 3
jam sekali, pakai handuk/sapu tangan yang benar-benar
direndam dengan air hangat kuku. Kompres sambil ditekan
untuk meredakan radangnya, karena hordeolum peradangan
tinggi dan bisa pecah sendiri kalau sudah besar atau terserap ke
jaringan kalau masih kecil.
o Kalazion
 Hordeolum membesar dan timbul peradangan kronis
 Warna benjolan sama dengan kulit, tidak nyeri saat ditekan, benjolan
tidak hilang berbulan-bulan dan bertahun-tahun
 Kalau besar -> insisi
 Kalazion luar -> insisi horizontal (mengikuti garis kulit agar tidak
terjadi scar)
 Kalazion dalam -> insisi vertikal (agar tidak menginsisi/merusak
glandula meibom)
o Trichiasis
 Bulu mata masuk ke dalam (posisi tumbuh benar tapi arah ke dalam)
 Akibat entropion (kelopak mata ke dalam -> pada lansia atau pada
anak gemuk (epiblefaron) -> bisa menggores kornea -> epiteliopathy
kornea)
 Tatalaksana -> dicabut bulu matanya, pakai kacamata +3 + pinset.
Biasanya tumbuh lagi per 2 minggu -> cabut saja sambil pasien
kontrol.
o Disthiciasis
 Bulu mata ke dalam karena barisan tumbuhnya salah (di luar barisan
semestinya -> di orifissium glandula meibom)
 Bisa menggores kornea
 Harus dicabut, atau dicauter (tapi bisa merusak oriffisium glandula
meibom)
 Mata Kering
o Tidak terjadi pada usia tua, tapi bisa juga pada usia muda
o Terjadi karena lupa mengedip saat melihat gadget, normalnya 12-16x/menit,
tapi jika sedang fokus bisa <12x/menit -> terjadi evaporasi
o Asia Dry Eye Society (2017) -> sekumpulan gejala
o 1 lapisan air mata saja terganggu -> instability tear film -> timbul gejala mata
kering, aquos merupakan lapisan paling tebal.
o Defisiensi aquos
 Sjogren -> semua produksi cairan menurun (air mata, saliva, keringat)
 Non-Sjogren -> defisiensi glandula lakrimal (faktor usia >40 tahun
produksi glandula lakrimal menurun bisa juga akibat obat-obatan)
o Mekanisme evaporasi
 Ekstrinsik -> alergi (misalnya conjunctivitis alergi -> mata cenderung
kering), penggunaan lensa kontak (pastikan mata tidak kering sebelum
dipakai, lensa kontak menyerap cairan sekitar -> gesekan dengan
kornea berbahaya)
 Intrinsik
o Tingkat keparahan sindroma mata kering
 Menurut signs and symptoms
 TBUT -> tear breakup time untuk periksa lapisan lipid (hitung waktu
pecahnya fluoroscent yang diberikan, lihat pakai slit lamp)
 Schirmer -> memeriksa aquos dari air mata -> lihat berapa ml kertas
terbasahi (kertas diletakkan di fornix superior)
 Verning test -> diperiksa di bawah mikroskop untuk periksa mucin
o Manifestasi klinis
 Mata gatal
 Sering mengedip -> akibat sebelumnya jarang mengedip, berikan
artificial tear sebagai pelumas dan batasi main gadget
 Mata tidak merah biasanya
 Fotofobia (silau) -> air mata adalah lapisan terluar, kalau kering dan
pecahnya tidak sama di setiap sisi apalagi di kornea -> efek
astigmatisme (sinar pecah)
 Sensasi benda asing -> seperti kelilipan
o Terapi
 Ringan -> cukup dengan artifical tears (insto misalnya, jangan cendo
xitrol karena ada steroid)
 Sedang
 Berat -> dirujuk, agar dokter mata yang menentukan apakah boleh
diberi steroid, kalau kornea lecet beri anti-inflamasi lain (steroid
menghambat penyembuhan lecet). Kalau berat, harus dioperasi
 MGD -> kompres air hangat dan pijat dari atas ke bawah (kalau
kelenjar atas) dan dari bawah ke atas (kelenjar bawah). Kompres
hangat untuk mencairkan, baru dipijat untuk mengatasi sumbatan.
 Conjunctiva
o Conjunctivitis
 Bacterial -> acute bacterial conjunctivitis, trachoma (jarang), adult
chlamydial conjuctivitis, neonatal conjunctivitis (ophtalmian
neonatorum apalagi yang lewat jalan lahir)
 Biasanya mata nyeri saat nunduk, gatal, mata sembab
 Membedakan virus/bakteri
 Gejala mata berair khas virus -> tidak diberi topikal antivirus,
bisa sembuh sendiri (tergantung imun), terkait kenyamanan ->
ganjal karena folikel di konjungtiva tarsal -> beri pelumas
supaya kornea tidak lecet
 Gejala gatal khas alergi -> boleh anti-inflamasi tapi saat akut,
lebih baik beri anti histamin dan mast cell stabilizers (kalau
mast cell pecah bisa keluar histamin)
 Gejala keluar sekret khasnya bakteri -> khasnya gatal, beri
topikal anti bakteri. Kecuali conjunctivitas gonorrhoeae ->
kotoran banyak sekali, setelah dibersihkan lalu ada lagi dengan
sekret purulen/mukopurulen, beri antibiotik sistemik (single
dose injeksi ceftriaxon), cari juga penyebab gonorrhoeae-nya -
> dari kelamin, terkait hygiene. Obati gonorrhoeae-nya juga
jadi harus diedukasi (berdasarkan hasil laboratorium berupa
apusan gram/kultur)
 Conjunctivitis gonorrhoeae jarang pada bayi, biasanya staphylococcus
yang banyak. Biasanya edema kelopak mata dan banyak sekret keluar
pada gonorrhoeae.
 Viral conjunctivitis -> ada bleeding spot (merah) dan folikel. Papil ada
pembuluh darah sekitar atau yang melewati atasnya, kalau folikel tidak
ada pembuluh darah tapi ada bleeding spot dengan air yang banyak.
Biasanya ada riwayat keluarga.
 Allergy conjunctivitis -> ada 5 pembagian
 Vernal keratoconjunctivitis (VKC) paling banyak -> terjadi
pada 5-25 tahun dengan riwayat alergi (biasanya tidak disadari
orang tuanya -> gatal saat bermain di atas karpet). Biasanya ada
giant papil -> gangguan kornea berupa ulkus karena papil/giant
papil akan menggores kornea saat mengedip -> tipe papebral
o Tipe limbal -> horner-trantas dots di limbus
 Kalau timbul gejala -> tanya saat kapan saja, biasanya saat
anak keluar siang hari dan merah matanya saat pulang.
 Rentang usianya sampai 25 karena biasanya umur 25 sudah
kerja kantoran.
 Kalau masih ada conjuctivitas alergy di usia 25 tahun ke atas ->
Atopic keratoconjuctivitis (AKC).
 Seasonal allergy conjunctivitas (SAC) -> musiman
 Perennial allergy conjuctivitas (PAC) -> sepanjang tahun,
karena debu rumah dan tungau
 Giant papillary conjunctivitis (GPC) -> pada pasien pasca
operasi, ada benang dan disenggol atau akibat lensa kontak.
 Terapi di fase akut beri steroid topikal, biasanya merah dan gatal. Lalu
beri antihistamin, mast cell stabilizer dan artificial tears sebagai
pelumas (apalagi kalau sudah ada papil/folikel). Kalau fase akut sudah
lewat -> sudah tidak merah, steroid tidak usah dilanjutkan lagi.
 Kalau diberikan bisa menyebabkan TIO meningkat -> bisa
glaucoma/katarak
o Subconjunctival bleeding
 Termasuk mata merah sebagian visus normal
 Terjadi akibat trauma biasanya (terpukul, tergaruk), tekanan vena
meningkat (akibat batuk terlalu kuat, bersin terlalu kuat, mengedan
terlalu kuat, DM, hipertensi -> PD rapuh dan kecil.
 Tidak berbahaya -> tidak mengganggu aksis visual. Darah tidak bisa
keluar karena tertahan conjuctiva. Tidak berbahaya tapi jangan dikucek
karena bisa pecah lagi.
 Terapi berupa vasokonstriksi PD dan pelumas berupa artifical tears.
o Pinguecula
 Penonjolan limbus -> penebalan karena sering terkena angin dan
matahari
 Tidak berbahaya, tapi mengganggu karena ada tonjolan ->
mempengaruhi penyebaran air mata -> mengganjal. Dengan adanya
penebalan (hidrovaskuler) -> banyak PD -> kena angin -> merah.
 Agar tidak jadi pterygium hindari faktor pencetusnya (angin dan sinar
UV)
o Pterygium
 Pinguecula yang berlanjut terus penebalannya sampai masuk ke bagian
kornea, kalau sudah menutup visual axis (pupil) baru dilakukan
tindakan.
 Jika tidak mengganggu, tidak dilakukan tindakan. Ditindak kalau
pasien terganggu (terkena angin/air merah karena PD melebar)
 Tidak perlu topikal steroid -> beri vasokonstriksi -> kalau merah
menghilang tidak butuh steroid
 Grading -> 1 belum limbus, 2 lewat limbus, 3 lewat tepi pupil, 4 lewat
pupil. Grade 3-4 sudah bisa mengganggu penglihatan -> harus
dibedah-> ekstirpasi pretygium.
 Kornea
o Semuanya berbahaya karena kornea adalah visual axis jadi harus ditatalaksana
dengan baik.
o Erosi kornea
 Lecet pada kornea -> warna hijau setelah diberi cairan fluoroscent
(untuk melihat apakah ada epitel kornea yang terkelupas), awalnya
berwarna orange -> ada lisozim yang dikeluarkan sel-sel epitel yang
rusak -> berikatan dengan fluoroscent yang orange -> menjadi hijau.
Kalau epitel normal akan tetap orange.
 Akibat terkena trauma (terkena kuku)
 Beri salep lalu bebat tekan agar tidak bergerak untuk mencegah
mobilisasi dulu (epitel saat mengedip berhenti timbuh), tapi sekarang
pakai lensa kontak (harus tetap meneteskan antibiotik dan artificial
tears takutnya flora normal menjadi patogen -> infeksi sekunder)
o Keratitis
 Paling bahaya -> infeksi pada kornea. Kalau infeksi lebih dalam dan
menyebabkan penggaungan -> ulcus kornea
 Akibat entamoeba biasanya kalau parasit
 Keratitis bakteri, yang ringan tetap berbahaya -> anamnesis riwayat
untuk menentukan jenis keratitis.
 Kalau petani -> karena jamur
 Kalau onset cepat -> virus, jamur onset >1 minggu.
 Tahu penyebab bakteri harus periksa apusan gram -> ambil
infiltrat dan periksa apusan gram. Masalahnya ada bakteri yang
cepat prosesnya ada yang lambat, kalau pseudomonas cepat
(bakteri gram negatif) akan ada gambaran melting pada kornea
-> beri antibakteri gram negatif (mencegah kornea bocor).
 Kalau infiltrat kena kornea (stroma) tidak akan bisa sembuh ->
bisa meninggalkan sikatrik kalau sembuh -> harus cangkok
kornea ujung-ujungnya.
 Beri terapi antibiotik, dulu jangan diberikan steroid misalnya
karena bisa cepat jebol (tambah melting), kalau tidak ada
perbaikan -> rujuk
 Keratitis jamur, karena terkena sawit/padi (karena serbuk vegatitif)
 Khasnya lesi satelit (lesi yang mengiringi lesi utamanya)
 Bisa sampai 3 bulanan penyembuhannya (karena ada hifa yang
lengket dengan jaringan), perlu kontrol rutin
 Kontraindikasi steroid
 Keratitis virus
o Kalau di epitel -> ada yang hanya bintik-bintik saja ->
funcata superficial
o Ada yang menyatu -> dendritik
o Lebih parah dari dendritik penyatuannya -> geografi
 Terapi -> di lapisan stromal/endotel beri steroid topikal. Kalau
epitel pakai antivirus topikal.
 Keratitis interstisial -> masuk ke dalam lagi yaitu di stroma
 Keratitis disiformis/endotelitis -> masuk ke endotel
 Herpes zoster ophtalmicus -> hanya satu dermatom
 Tandanya ada vesikel di ujung hidung (tip of the nose) atau
Hutchinson’s sign karena ada nervus ophtalmicus
 Terapi -> obat antiviral oral, kalau kena mata beri obat antiviral
dan antibiotik profilaksis.
 Acanthamoeba Keratitis
 Harus ditemukan parasit baru diagnosis (periksa di bawah
mikroskop)
 Tapi selalu tidak diperiksa karena jarang (biasanya virus/jamur)
 Biasanya nyeri amat sangat dan ada hubungan dengan air kotor
(mandi di sungai)
 Tidak ada sediaan obatnya di Indonesia, harusnya
polyhexamethylene biguanide -> pakai terapi antijamur.
o Kelainan lainnya
 Hypema
 Perdarahan di anterior chamber, karena pecahnya PD (arteri
siliaris) akibat trauma
 Gradasi -> microhyphema sampai grade 4 (semua anterior
chamber)
 Komplikasi -> rebleeding terjadi 2-5 hari. PD pecah butuh
waktu untuk recovery (2-5 hari harus imobilisasi) tapi karena
banyak mobilisasi -> goncangan -> plak regenerisasi lepas ->
rebleeding -> sulit dihentikan
 Terapi -> suruh pasien imobilisasi selama 5 hari, tidur dengan 2
bantal (45 derajat) agar darah turun ke bawah (gradasi/visual
aksis), beri asam tranexama, kalau nyeri jangan beri asam
mefenamat/NSAID (bisa rebleeding) tapi beri paracetamol.
 Conjunctival Foreign Body
 Pasien biasanya mengeluh kelilipan -> lihat kornea dulu ada
benda asing atau tidak lalu lipat kelopak mata atas (konjungtiva
tarsal siperior)
 Corpus alienum -> hitam, harus ambil pakai cotton bud, kalau
tidak terambil pakai ujung jarum suntik, kalau tidak diambil
bisa menggores kornea -> erosi kornea.
 Corneal Foreign Body
 Corpus alienum di kornea -> sering pada pengelas (serpihan
masuk ke mata)
 Corpus alienum menancap ke dalam -> salahnya pasien banyak
mengambil pakai uang kertas, kalau pakai uang kertas masih
ada bagian dalam yang menancap
 Cukup diambil dengan cotton bud basah (NS atau RL, boleh
pakai air minum biasa), kalau tidak terambil harus di depan slit
lamp atau di bawah mikroskop diambilnya (rujuk)
 Trauma kimia
 Asam -> paling sering terkena semburan aki mobil. Asam
prosesnya koagulasi jadi tidak bisa masuk ke dalam limbus
(tidak menyebabkan iskemik limbus).
 Basa -> paling sering terkena amonia (kerja di pabrik pupuk),
terkena cuka para. Saponifikasi -> bisa masuk ke kornea dan
limbus -> bilik mata depan.
 Atasi dengan irigasi (pakai cairan infus sebanyak-banyaknya,
balik juga kelopak matanya, pakai air jika darurat, mata kanan -
> kepala miring ke kanan)
 Iskemik limbus -> jelek prognosis untuk reepitelisasi kornea
kebanyakan karena trauma kimia basa.
 Sequelae -> iskemik limbus -> extensif cicatrizarion.
Pemasangan keratoprosthesis -> tetap bisa melihat walau
lapang pandang sempit.

Gangguan Mata pada Lensa (Katarak)


 Katarak adalah penyakit mata paling banyak, angka kejadiannya tinggi (0,1% per 240
juta) dan yang dioperasi tidak sampai setengahnya setiap tahun.
 Lensa -> media refraktif yang befungsi mentransfer cahaya ke retina sehingga
penglihatan lebih jelas.
o Indeks refraksi lensa di bagian perifernya 1,36 dan di tengah 1,4
 Embriologi Lensa
o Terbentuk dari lekukan ectoderm (optic vesicle) dari hari ke-25
o Dari surface ectoderm -> lens placode -> lens pit (pembentukan lens placode
hari ke-27 sampai 29)
o Makin lama permukaan ectoderm melekuk, hari ke-30 mulai pembentukan
vesicle lensa.
o Hari ke-33 mulai terpisah permukaan ectoderm -> pembentukan vesicle lensa
komplit
o Hari ke 35 terbentuk serat primer
o Hari ke-40 pembentukan nukleus (ada kapsul lensa, epitel lensa, serat lensa
primer nukleus embrionik)
o Minggu ke-7 (hari ke-49) mulai terbenbtuk serabut lensa sekunder
o Minggu ke-12 dan 14 epitel kapsul dan serabut semakin tumbuh dan
berkembang, akan selalu tumbuh sampai tua (lama-lama akan memadat ->
katarak)
o Gangguan kehamilan di trimester pertama (misalnya infeksi) -> gangguan
pembentukan lensa. Gangguan di trimester kedua -> penyempurnaan
terganggu. Gangguan di trimester ketiga -> gangguan pertahanan kejernihan
lensa.
o Wanita pra-nikah harus diterapi dari berbagai infeksi (rubella, toxoplasmosis)
untuk mencegah gangguan perkembangan janin.
o Lensa ada di dalam kapsul.
o Pertumbuhan dimensi
 Saat lahir -> bentuk lensa hampir sferikal. Diameter ekuator 6,5 mm.
Lebar sagittal 3 mm.
 Saat tumbuh -> usia 90 tahun -> bentuk lensa elips. Diameter ekuator
10 mm, lebar sagittal 6 mm.
 Anatomi Lensa
o Lensa terdiri atas nukleus (paling padat dan keras), korteks (membungkus
nukleus).
 Korteks anterior
 Korteks posterior
o Kapsul -> menutup lensa, elastis dan transparan mempertahankan bentuk lensa
saat akomodasi
o Lensa dibungkus kapsul -> semakin ke posterior semakin tipis kapsulnya.
Kapsul anterior yang tebal.
o Di anterior ada epitel lensa
o Lensa akan berkembang terus serabutnya sampai mati, lama-kelamaan akan
mengeras. Menjadi keras dan menebal -> epitel itu ada usianya dan terus
bertumbuh (kulit -> mengelupas), kalau epitel mata mengeras dan menebal.
o Lensa di belakang iris dan di depan vitreous. Lensa digantung ligamentum
suspensorium/zonula zinii-> juga untuk akomodasi lensa.
o Sifat lensa -> kenyal dan lentur -> berguna saat akomodasi. Lensa juga jernih
dan transparan sebagai media refraksi. Fungsi lensa -> refraksi dan akomodasi.
 Fisiologi Lensa
o Sebagai media refraksi selain kornea
o Berubah-ubah -> daya akomodasi (kemampuan lensa mencembung dan
memipih) -> lewat kontraksi musculus siliaris yang melingkar -> lensa
mengecil -> zonula zinii mengendur -> lensa menyembung. musculus
relaksasi -> lensa memipih -> zonula zinii kontraksi
o Metabolisme lensa -> mempertahankan transparansi lensa, juga untuk
menutrisikan lensa.
 90-95% metabolisme glukosa -> jalur lain ada jalur sorbitol. Kalau
abnormal -> glukosa banyak di lensa -> gangguan kejernihan lensa.
 Metabolisme protein -> paling tinggi dari seluruh jaringan tubuh
 Metabolisme glutation -> ada di epitel lensa dalam konsentrasi besar,
mencegah agregasi krtistalin dan kerusakan oksidatif
 Metabolisme antioksidan -> mempertahankan kejernihan lensa
 Mekanisme natrium-kalium pump -> mengatur keseimbangan
elektrolit -> menjaga kejernihan lensa
 Katarak
o Ada gangguan kejernihan penglihatan -> blurry vision
o Berasal dari bahasa Yunani -> Katarrhakies (air terjun -> otak orang tua
dianggap semakin mencair dan cairan turun ke mata) dan bahasa latin ->
Cataracta.
o Katarak -> kekeruhan lensa akibat hidrasi lensa dan denaturasi protein lensa
o Faktor risiko -> usia utamanya, trauma (sinar UV, riwayat pembedahan), zat
kimia (alkohol, merokok), predisposisi (DM, galaktosemia, glaukoma, uveitis,
overweight), genetik dan gangguan perkembangan, infeksi virus di masa
pertumbuhan janin
o Gejala utama -> penglihatan kabur (gangguan visus terkait fungsi lensa
sebagai media refraksi)
o Gejala tambahan
 Berasap
 Diplopia monokuler (ada bagian lensa yang berbeda kejernihannya ->
ada dua refraksi dalam satu lensa -> tutup mata sebelah ada 2
penglihatan)
 Silau (pendaran cahaya yang berbeda di retina karena refraksi berbeda
di satu lensa)
 Lebih jelas di ruang redup (ada katarak di tengah lensa -> di tempat
terang pupil mengecil -> penglihatan kabur -> pupil membesar saat
redup -> media refraksi di tengah -> penglihatan normal)
 Membaca tidak pakai kacamata
 Peningkatan derajat myopia (myopisasi -> kalau minus tambah minus),
 Penurunan sensitifitas kontras (kontras berubah jika kejernihan
berubah)
 Mata miop -> karena lensa atau kornea atau axial length
o Berdasarkan usia -> kongenital (<1 tahun), juvenil (1-40 tahun), senil (>40
tahun)
o Berdasarkan morfologi -> nuklear, kortikal, subkapsular
o Berdasarkan maturitas -> insipien (lensa keruh tapi belum ganggu
penglihatan), intumesen (lensa mengembung -> glaukoma), imatur (muncul
katarak dan gangguan penglihatan tapi tak berat), matur (lebih berat),
hipermatur (sangat berat), morgagni (korteks lensa mencair, sisa nukleus saja
yang turun ke bawah)
o Stadium katarak
 Immature -> kekeruhan meluas tapi belum seluruh lensa, shadow test
(+) -> bayangan iris di lensa, reflex fundus (+), bisa terjadi intumesen -
> glaukoma
 Mature -> lensa keruh seluruhnya, shadow test (-), fundus (-)/menurun
 Hipermatur -> lensa mengecil, kekuningan, zonula zinii mengendur
o Tatalaksana katarak
 Definitif -> operasi
 ICCE (Intracapsular Cataract Extraction)-> pengangkatan
kapsul
 ECCE (Extracapsular Cataract Extraction)
o Manual ECCE
o Small incision cataract surgery (SICS)
o Phacoemulsification -> menggunakan ultrasound
lubang kecil -> lensa dihancurkan dan diaspirasi ->
diberi cairan viskoelastis -> diberi lensa yang bisa
dilipat
o Belum ada obat”an untuk mencegah terjadinya katarak,
tapi ada bbrapa stadium tertentu bisa di terapi dengan
kacamata atau oabt”an juga ada. Obat mediaticum tp
bisa terjadi gangguan dr musculus krn reaksi obat nya
bikin kontraksi terus jadi nnti dia jadi silau.
o Atau kalo dia ada miopi bisa dikasi kacamata minus
juga.
o Obat” an lain yaa Cuma buat sementara aja bukan
tatalaksana nya banget.
o Indikasi jenis tindakan nya juga, tergantung dr
dokternya sajoo dan ketersediaan alaat.
 Semua pasien harus dirujuk tapi kalo dia derajatnya masi yang
immature atau belom ada gangguan visus yaudaa gapapa gausa
duluu.
o Komplikasi pasca operasi katarak
 Awal pasca operasi: iris prolapse, hifema, striate keratopathy,
kebocoran, pupil block (glaucoma), bacterial endophtalmitis
 Beberapa minggu-tahun: cystoid macular edema, kekeruhan kapsul
posterior (katarak sekunder), ablatio retina, tumbuh epitel ke dalam,
filtering bleb (jarang), vitreous touch syndrome (prolaps viterous),
vitreous wick syndrome, UGH syndrome (uveitis, glaucoma, hifema)

Rekonstruksi dan Bedah Plastik Mata


 Bedah plastik -> salah satu cabang ilmu kedokteran yang bertujuan merubah bentuk
bagian tubuh manusia menjadi lebih sempurna komestika) atau memperbaiki bagian
tubuh manusia akibat luka bakar, kecelakaan atau cacat bawaan melalui prosedur
operasi.
 Subdivisi ophtalmologi -> kelopak mata, cavum orbita dan sistem lakrimal
 Plastik -> plastikos (Yunani) -> membentuk
 Bedah plastik
o Bedah komestik -> anatomi dan fungsi tubuh seseorang normal -> kelopak
normal dan fungsinya normal tetapi karena tidak ada lipatan kelopak -> pasien
merasa kurang (pasien ingin ada lipatan kelopak mata agar lebih estetis dan
harmonis)
o Bedah rekonstruksi -> memang ada penyakitnya, seperti kongenital (kelopak
tidak tertutup sempurna saat tidur -> koloboma kongenital) harus
direkonstruksi. Atau ada tumor ganas di kelopak mata sehingga harus dieksisi
luas -> meninggalkan defek luas pada kelopak mata -> harus direkonstruksi
agar defek bisa ditutup -> bola mata terlindungi. Kalau ada defek luas di
kelopak mata maka bola mata terekspos -> kering -> keratitis exposure ->
ulcus -> gangguan penglihatan -> kebutaan.
 Sejarah bedah plastik dan rekonstruksi
o 6-8 sebelum Masehi sudah ada panduan bedah plastik di India yang dikenal
dengan Susrutha samhita -> menjadi rujukan bedah plastik rekonstruksi
o Abad 1 bangsa Romawi melakukan bedah plastik. Abad 15 dokter Eropa
berhasil membuat hidung baru dari kulit lengan. Abad 18 dan 20 sudah
menjadi sangat umum.
o Di Indonesia masih baru -> 1958, 1959 baru ada. Bedah plastik mata lebih
baru -> 1980 di Indonesia. Di FK Unsri -> 1994.
 Bedah mata (plastik dan rekonstruksi) harus menguasai -> anatomi, fisiologi,
fotografi, anastesi (lokal/umum), teknik penutupan luka, jenis benang dan jenis jarum
-> standar minimal
 Anatomi kelopak mata
o Kulit -> kulit yang paling tipis di tubuh manusia karena secara reguler/rutin
bergerak (18-22x/menit bergeraknya -> tipis dan elastis). Tidak memiliki
lemak subkutan di bagian yang bergerak, di bagian yang mendekati orbita ada
lemak subkutannya. Struktur sel sama dengan kulit lain.
o Otot orbicularis oculi/protactor -> otot lurik yang serabutnya melingkar
sirkuler (melingkari bola mata), otot lurik umumnya volunter, tapi pada otot
mata yang bergerak itu sifatnya involunter. Otot orbicularis yang seratnya di
cavum orbita -> volunter, misalnya saat forced blink. Kalau terjadi injury pada
otot ini, luka vertikal terhadap serabut otot -> dijahit, kalau horizontal/sejajar
dengan serabut otot biasanya tidak dijahit.
o Lempeng tarsus (tarsal plate) -> jaringan ikat berwarna putih, di dalamnya ada
kelenjar Meibom yang berfungsi menghasilkan lapisan minyak pada tear film
(lapisan teratas air mata). Fungsi lapisan minyak adalah mengurangi
penguapan air mata. Selain itu bisa juga melicinkan permukaan bola mata
(sebagai lubrikan dari gerakan kelopak mata di permukaan bola mata ->
semakin licin), di lapisan tengah ada aquos (cairan) yang dihasilkan kelenjar
lacrimalis (mayor/accessoris), lapisan tear film terbawah adalah mucin yang
dihasilkan sel goblet di conjunctiva dan limbus (paling banyak).
o Otot retractor -> otot retractor utama pada kelopak mata atas -> levator
palpebri -> untuk membuka kelopak mata. Otot orbicularis oculi tadi untuk
menutup kelopak mata. Lagoftalmus -> tidak menutup sempurna maat saat
tidur (nocturnal). Menutup dan membuka kelopak mata itu penting untuk
mendistribusikan tear film.
o Septum orbita -> jaringan ikat tipis tapi kuat karena bisa mencegah
penyebaran infeksi dari anterior ke posterior. Kalau ada selulitis palpebra di
anterior maka jarang menjadi selulitis orbita (ke posterior) karena ada septum
orbita.
o Conjunctiva tarsal -> paling posterior, langsung menempel di conjunctiva
bulbi.
o Orang dengan tidak ada lipatan kelopak mata -> tidak ada aponeurosis otot
levator yang insersi kulit
 Vaskularisasi
o Arteri carotid interna -> arteri ophthalmic -> arteri supraorbital dan arteri
lakrimalis
o Arteri carotid externa -> arteri jugular dan temporal
o Kelopak mata tidak punya nodus limfatikus -> aliran limfe akan mengalir ke
aliran pretarsal (vena angular) dan posttarsal (vena orbital)
 Anatomi Apparatus Lacrimalis
o Ada 2 sistem lakrimal
 Sistem sekresi -> glandula yang memproduksi air mata/tear film
(mucin, aquos, lipid)
 Sistem ekskresi -> glandula major di supertemporal ada 2 pars/lobus
glandula -> lobus orbitalis, dipisahkan jaringan ikat. Dan lobus
partlobalis. Antar lobus dihubungkan oleh ductus. Mengalir dari
temporal lalu berkumpul ke medial/nasal -> lacunae lacrimalis (tear
lake) -> punctum lacrimalis -> mengalir ke canalis canaliculi lacrimalis
-> bersatu menjadi canaliculi lacrimal communis -> saccus lacrimalis -
> ductus nasolacrimalis -> meatus inferior (berada di bawah konka
inferior -> rongga hidung)
 Merupakan cara transmitted disease, ada conjunctive disease
akibat virus bisa menular lewat napas
 Anatomi Cavum Orbita
o Dibentuk 7 jenis tulang -> maxilla, zygomaticus, frontal, ethmoid, sphenoid,
lacrimal, palatinum (paling sedikit memberi kontirbusi dalam pembentukan
cavum orbita)
o Melindungi bola mata dan struktur pendukungnya
o Melindungi otot bola mata, jaringan lemak, jaringan saraf, arteri, vena dan
pembuluh limfa. Pembuluh limfa bisa menyebabkan penyakit -> misalnya
edema kelopak mata (bleparocalasis).
o Ada atap dan lantai, dinding medial dan lateral.
 Sebagian besar yang membentuk atap -> os frontale
 Lantai -> zygomaticus dan maxilla
 Lateral -> zygomaticus dan frontale
 Medial -> lacrimalis, ethmoid, sebagian sphenoid
o Selain fungsi protektif, sebagai tempat melekat (origo) dari otot ekstraokuler
dan jaringan ikat (ligamentum-ligamentum). Karena ada foramen optikum
(tempat lewat nervus optikus), fissura orbitalis superior dan inferior -> fungsi
tempat lewat arteri, nervus. Fungsi landmark -> tanda, misalnya di bagian
nasal cavum orbita ada krista lacrimalis (anterior-posterior, tempat saccus
lacrimalis). Fossa lacrimalis -> tempat glandula lacrimalis mayor.
 Fotografi
o Fungsi analisis -> kalau melihat foto pasien, kita bisa menganalisis tindakan
yang perlu diterapkan untuk menangani pasien.
o Fungsi pembelajaran/instruktif -> membantu penentuan langkah
tindakan/prosedur
o Nilai medicolegal -> kalau ada claim/tuntutan penting sebagai bukti (sebelum
dan sesudah tindakan dokter)
 Anastesi
o Local -> sebagian besar bedah optik pakai anastesi local
 pakai teknik infiltrasi (zat anastesi disuntikkan lalu disemprotkan di
sekitar daerah operasi). Bisa pakai lidokain 2%, kalau waktu operasi
tidak lama. Kadang lidokain 2% juga dicampur epinefrin (konsentrasi
tertentu), epinefrin sebagai vasokonstriksi pembuluh darah, PD
terkonstriksi -> zat anastesi lidokain tidak gampang mengalir ke
pembuluh darah -> efek anastesi lebih lama dan perdarahan lebih
minimal -> operator mudah melihat bagian yang ingin dioperasi.
Lidokain 2% juga bisa dikombinasikan dengan lifokain -> kalau
digabung onset cepat tapi efeknya lebih bertahan lama.
 Teknik blok -> anastesi langsung disemprotkan ke sarafnya ->
supraorbital -> di supraorbital notch, infraorbital -> di infraorbital
fissure, trochlear.
o Umum -> pasien tidak sadar, biasanya dipakai pada pasien yang tidak
kooperatif (anak kecil), dipakai juga saat operasi dengan waktu lama.
 Teknik Penutupan Luka dengan Jahitan
o Running suture -> jahitan jelujur, pakai 1 benang dan tidak putus-putus. Ada
yang simple dan interlocking.
o Interrupted suture -> 1 jahitan, gunting, 1 jahitan, gunting, dst.
o Mattress suture -> untuk luka yang kontraksinya kuat. Ada yang vertikal dan
horizontal.
o Buried subcutaneous suture -> di bawah kulit atau dibenamkan.
 Jenis Benang
o Absorbable suture -> plain, chromic, bisa menimbulkan peradangan/jaringan
parut di kulit
o Non-absorbale suture -> lama diserapnya, bisa degradasi sendiri setelah
beberapa tahun -> polypropylene, nylon. Biasanya pakai non-absorbable agar
tidak timbul scar.
o Plain -> diserap 7 hari
o Chromic -> diserap 10-14 hari
o Nylon sebenarnya non-absorbable tapi nanti menghilang sendiri seiring waktu.
Kalau di kornea 2 tahun menghilang
o Ukuran benang, paling besar 0-0 (ditentukan USP). Semakin tinggi angka,
semakin kecil ukuran benangnya. 11-0 paling besar. Kornea 10-0, mata 6-0.
Kornea butuh mikroskop operasi.
 Jenis Jarum
o Single arm -> benang dengan 1 jarum, walaupun ukurannya sama -> jarumnya
besar. Antara double arms dan single arm, single arm jarum lebih besar.
o Double arms -> jarum lebih kecil, biasanya untuk operasi yang daerah expose
operasinya sempit. Kalau pakai jarum besar akan sulit dijahit.
o Cutting -> tip/ujungnya yang penting, tepinya tajam ada sudut-sudutnya, ada
efek traumatik. Tidak digunakan untuk menjahit tarsus karena pinggirnya
tajam, bisa rusak tarsusnya. Tarsus -> pakai tip yang round. Bagus untuk
menjahit kulit
o Reverse cutting
o Round -> untuk menjahit otot, tarsus, facia, ligamentum, tidak punya efek
traumatik pada jaringan yang dilewati.
o Eyed -> antara jarum dan benang menyatu, operasi lebih cepat -> tidak perlu
mengikatkan benang ke jarum.
o Eyeless -> antara jarum dan benang tidak menyatu. Bedanya lebih cepat dan
lebih lambat dengan yang eyed.
 Closing defects
o Direct closure -> defect kelopak mata 33%, tutup langsung jahitannya
o Semicircular flap -> defect kelopak mata 50%
o Mustarde -> defect kelopak mata >75%, flap dirotasi
o Teknis mustarde kalau defect luas
o Flap -> sumber vaskularisasi tidak terputus, lebih mudah tumbuh
o Graft -> diambil dari daerah yang jauh (misalnya kulit retroauricular -> dipilih
karena secara struktur lebih mirip kulit kelopak mata) lalu ditempel. Bisa juga
supraclavicula, medial lengan atas.
 1 lapis graft -> split graft -> misalnya ambil epidermis kulit saja
(dermis ditinggalkan)
 Full thickness graft -> epidermis dan dermis diambil
 Compound graft -> 2 jenis organ yang diambil membran mukosa +
kartilago atau conjunctiva + tarsus
 Aplikasi dari Bedah Plastik dan Rekonstruktif Mata
o Ocular injury akibat kecelakaan, kongenital, pasca reseksi tumor ganas,
kelainan akibat penuaan (kulit dan otot berlebihan -> blepharoplasty), penyakit
didapat (entropion, ektropion), sindroma (sindroma blepharophimosis ->
autosomal dominan, ptosis berat, epicanthus, telechantus) atau sindroma
treacher collin)
 Tindakan harus aseptik dan steril, pemilihan teknik dan pemilihan benang dan jarum
juga penting dalam bedah plastik dan rekonstruksi.

Gangguan Mata pada Syaraf Optik


 Anatomi dan Fisiologi Jalur Penglihatan
o Retina
o Saraf optik
o Optik kiasma
o Optic tract
o Lateral geniculate nucleus
o Optic radiation
o Visual cortex
 Proses Melihat
o Sebenarnya yang masuk ke mata adalah panjang gelombang cahaya dengan
kekuatan 400-700. Dari panjang gelombang akan diterima secara tempat yang
berlawanan. Lapang pandang itu saling mempengaruhi, mata kanan menutupi
nasal mata kiri dan sebaliknya, lapangan pandang yang terdefek biasanya tidak
terdeteksi sebelum dilakukan pemeriksaan.
o Cahaya yang datang dari temporal akan diterima di bagian nasal mata. Bagian
nasal akan diterima di bagian temporal mata. Temporal lebih luas dari nasal
karena sel neuron lebih banyak di temporal. Sel neuron -> 53% di nasal dan
47% di temporal -> berjalan bersama keluar dari bola mata -> nervus opticus.
o Lapangan pandang juga berlawanan tempatnya. Supratemporal itu lapang
pandangnya inferonasal. Supernoasal itu lapang pandangnya menjadi
inferotemporal. Temporoinferior menjadi nasalsuperior. Dari cahaya yang
masuk ke masing-masing tempat akan diterima fotoreseptor retina
o Cone, rod -> sel retina
o Cahaya ke mata -> gelombang cahaya -> reaksi kimia di retina (fotoreseptor) -
> berbagai proses terjadi. Proses ruang terang ke gelap dan sebaliknya ->
adaptasi terhadap cahaya.
o Setelah diproses di retina -> menjalar ke nervus opticus (proses kimia ->
gelombang cahaya -> impuls listrik)
o Saraf optik ada nasal dan temporal -> bergabung membentuk nervus opticus -
> sudah dalam bentuk energi listrik impulsnya -> masuk ke kiasma opticus di
intracranial (bersilangan), temporal berjalan ipsilateral dan nasal berjalan
kontralateral pada mata kiri dan kanan. Tapi di nasal itu sebelum crossing ada
lekukan sedikit wickbrand knee -> di tractus opticus ada temporal yang
ipsilateral dan nasal yang kontralteral -> mempengaruhi bentuk defek lapang
pandang. Sebelah kiri -> gabungan temporal kiri dan nasal kanan -> lateral
geniculatum body -> ada serabut pupil 20% dan penglihatan 80% -> lateral
geniculatum body -> radiasi optik -> korteks oksipital (ada 2 proses impuls
listrik), primer mengumpulkan gelombang yang masuk lalu diterjemahkan
(cortical blindess -> refleks pupil masih bagus),
o 20% masuk sebagai pupil -> ke otak tengah -> masuk ke kolikulus superior
daerah pratektum -> sinyal dari afferen dilanjutkan (efferen) ke mata
kontralateral -> senter salah satu mata maka mata lain juga akan mengecil
pupilnya.
 Retina
o Lapisan tipis, transparan, berakhir di ora serrata, memiliki 10 lapisan.
o Dari proses melihat ada proses yang tidak bisa diukur dalam satuan waktu ->
400-500 processor pernah dicoba untuk mengukur proses penglihatan -> tetap
tidak terukur.
o Proses penglihatan berjalan secara terus-menerus -> setiap berpindah
pandangan.
o Lapisan luar adalah fotoreseptor -> ablatio itu pigmented layer lepas.
Pigmented dan photoreceptor harus dilewati cahaya agar bisa ada penglihatan.
Ganglion cell membentuk nervus opticus.
o Sel ganglion yang datang dari nasal retina dapat berjalan tanpa terputus ke
discus, temporal ke discus di pole superior/inferior, macula serat macula
masuk ke discus di sisi temporal (papillo macula bundle).
o Mitokondria paling banyak di macula mata, kalau ada gangguan mitokondria
tubuh -> penglihatan duluan yang terdampak.
 Nervus Opticus
o Intraoculer -> di sklera, nasal macula lutea, lamina cribosa tempat keluar
o Intraorbital -> paling panjang, bentuk S, mulai bermyelin, ditembus pembuluh
darah, dikelilingi anulus zinii di apex orbital -> kalau ada inflamasi akan nyeri.
Periksa arah gerak bola mata nyeri/tidak untuk memastikan apakah ada
inflamasi nervus opticus. Jarang trauma karena elastis.
o Intracanalicular -> Sering terkena trauma. Di dalam os sphenoid, hanya 5mm
tapi sering bermasalah. Dikelilingi duramater, arachnoid, piamater. Menyatu
dengan periosteum di os sphenoid -> kalau ada trauma -> benturan ke saraf
optik -> bisa buta. Duramater, piamater, arachnoid berhubungan dengan otak -
> ada peningkatan tekanan intracranial -> diteruskan ke intracanalicular ->
bisa strangulasi/tercekik sarafnya -> edema papil bilateral, 80% akibat
peningkatan tekanan intracranial (akibat gangguan flow oksigen, dll).
o Intracranial -> masuk ke subarachnoid space -> trauma (jatuh, stroke,
perdarahan) di subarachnoid -> gangguan penglihatan. Signifikan kalau kita
lihat lapangan pandang untuk menentukan lokasi lesinya. Panjangnya 5-16
mm, sering mengalami kerusakan karena gangguan pada struktur sekitarnya.
 Optic Chiasma
o Membentuk bagian anterior inferior lantai dari ventrikel ketiga (menghasilkan
LCS)
o Di depan hipotalamus
o Nasal retina serabutnya crossing ke sebelahnya
o Kalau ada tumor pituitary >1cm bisa kena kiasma optikum. Temporal
hemianopsia biasanya.
 Optic Tract
o Gabungan ipsilateral temporal dan kontralateral nasal.
o Di depan lateral geniculate body
o Serabut sebagian (pupil) masuk ke colliculus
 Lateral Geniculated Body
o Tempat visual yang tinggi -> seperti antenna monitor, semua input visual
masuk ke sini lalu disebarkan lagi ke sensoris.
o Bagian dari sistem thalamus.
o Ada 6 lapisan
o 4 superior atas untuk resolusi dan persepsi warna (di sel parvocelullar ->
mengatur sendiri resolusi penglihatan sesuai kondisi ruangan). Bisa melihat
celah antar 2 baris -> melihat detail. Kalau ada orang dengan kelainan
pengenalan warna -> genetik atau acquired. Kalau genetik -> cek warna merah
dan hijau pada test ishihara.
 CGL (2 lapisan inferior)
 Inferior layer sensitif untuk deteksi motion -> input dari serat
magnocelullar.
 Kalau jelek -> refleks berkedip kurang. Kontralateral di serat 1,
4, 6. Ipsilateral di serat 2, 3, 5.
 Optic radiation -> loop of meyer, menghubungkan lateral geniculated body ke visual
cortex
 Visual Cortex
o Area 17 Brodmann area siriata itu primer, 18-19 Brodmann di para dan peri
striata itu sekunder
 Primer -> mengumpulkan panjang gelombang yang masuk. Kalau
visus jelek dari kecil -> tidak ada pengalaman
 Sekunder -> menerjemahkan apa yang dilihat. Mengelilingi area
primer.
o Ambliopia -> anak tidak mempunyai memori melihat benda
 Evaluasi Kelainan Saraf Optik
o Penurunan visus -> Snellen, dll. Tentukan berapa visusnya.
o Afferent pupillary defect
o Dischromatopsia -> LGB
o Diminished light brightness sensitivity
o Diminished conrtrast sensitivy
o Visual field defects
 Kelainan Saraf Optik
o Papil Edema
 Peningkatan tekanan intrakranial
 Semua yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial ->
menyebabkan papil edema bilateral
 Penambahan massa -> desak ruang -> peningkatan tekanan
intrakranial.
 Patogenesis
 Peningkatan tekanan intracranial -> compressed saraf optik ->
stasis dari vena retina dan optic disc
 Gejala
 Sakit kepala, mual, muntah karena cahaya. Early stages ->
fungsi nervus optikus, visus, color vision normal
 Papilledema -> gangguan lapangan pandang (lapangan pandang bawah
lebih jelas dan terang dari yang atas atau sebaliknya)
 Ophtalmoscopic finding -> optic disc edema >3 D, ada hemorrhage
dan turtous vein. Kalau dilihat 3 dimensi akan meningkat, PD turtous
(berkelok-kelok)
 Chronic papilledema -> PD seperti tidak terbentuk
 Postpapilledema atrophy -> pucat putih
o Inflammatory Optic Neuritis
 Typical (demyelinating optic neuritis) -> imunologi, daya tahan tubuh
 Atypical optic neuritis -> infeksi
 Neuroretinistis -> terbentuk macullar star mengikuti jalur saraf. 60%
akibat cat scratch disease, 25% idiopatik.
o Arteritis AION -> hipertensi, hipotensi, dislipidemi, DM
 Tanpa nyeri, tiba-tiba tidak bisa melihat saat bangun tidur.
 Biasanya di atas 50 tahun.
 Gambaran pucat
o Leber hereditary Optic Nauropathy -> pada anak-anak
o Penyebab lain dari Optic Neuropathy -> glaukoma, dll
 Methanol toxic optic neuropathy -> akibat terkonsumsi metanol
(harusnya tidak boleh dikonsumsi walau harga lebih murah dan manis
dari etanol yang biasa dikonsumsi)
 Banyak terjadi di daerah karena minim pengetahuan
 Metanol menghasilkan asam formik yang neurotoxin dan bisa
merusak saraf mata. Kalau lebih dari 20 mg/dl bisa ada cedera
oculi, kalau sampai 100 mg/dl bisa mati.
 Metanol rasanya tawar -> sering dicampur jamu, obat kuat, dll.
 Patofisologi -> metanol oleh alcohol dehidrogenase ->
formahldehid -> asam formic -> merusak mitokondrial ->
sitokrom C rilisya naik dan ROS -> visual acuity menurun
 Tanyakan berapa banyak yang diminum dan berapa lama, juga
gejala-gejalanya.
 Gejala -> SSP (sakit kepala, vertigo, letargi, bingung, konvulsi,
koma). Timbul 2-3 setelah minum. GI tract dan ginjal -> mual,
muntah, sakit perut, myoglobinuria (langka), mata -> buram,
fotofobia, dyschromatopsia.
 Tanda -> visual acuity menurun, tidak ada RAPD
 Tatalaksana -> analisa gas darah, beri etanol dan fomepizole
(tidak ada sebenarnya), beri asam folat, vitamin B, ATP dan
steroid. Beri intravenous steroid -> methylprednisolone 1
gr/hari dibagi 4.
 Morbiditas -> tergantung faktor risiko, etiologi dan durasi.
 Terapi langsung dengan hemodialisa (setelah periksa AGD).
 Ethambutol Optic Neuropathy
 Terkait kasus TBC, akibat obat yang tidak dikonsumsi sesuai
anjuran. Harus diedukasi pasiennya.
 Patogenesis
o Ethambutol merusak bakteri dengan memakannya
dengan metal ion -> zat besi bakterinya yang dimakan.
Tapi zat besi kita juga bisa dimakan.
o Metabolit ethambutol. Asam ethylenediiminodibutyric
adalah pemakan chopper dan zinc yang kuat.
o Menurunkan sitokrom c oksidase -> gangguan
mitokondrial -> gangguan penglihatan (mitokondria
banyak di papillo-macular bundle)
o Gejala -> bilateral progressive painless visual blurring,
onset ocular -> 2-5 bulan, penurunan persepsi warna,
edema optic nerve, visual defect
o Tatalaksana -> saat 2 bulan diperiksa warna kalau ada
penurunan persepsi warna harus stop ethambutol dan
ganti regimen lain agar reversibel. Tapi kalau dibiarkan
tidak akan reversibel. Terapi pemberhentian obat paling
efektif
o Prognosis baik jika cepat ditatalaksana.
 Nutritional Optic Neuropathy
 Akibat kekurangan gizi -> kekurangan vitamin B kompleks dan
protein.
 Lapangan pandang bisa menentukan lokasi lesi
Tumor Orbita
 Air mata juga mengandung komponen antibodi atau sebagai antiseptik yang
mengandung imunoglobulin.
 Rongga orbita
o Otot-otot penggerak bola mata
 Ada 6, rectus superior-inferior-lateral-medial dan oblique superior-
inferior
o Nervus optikus
 Tumor
o Setiap manusia punya kemungkinan terkena tumor. Tumor adalah
pertumbuhan yang tidak normal. Jaringan baru (neoplasma) yang timbul di
dalam tubuh akibat pengaruh berbagai faktor dan menyebabkan jaringan
setempat pada tingkat gen kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya
o Tubuh tumbuh dipengaruhi gen dan faktor lingkungan. Di tubuh ada gen untuk
pertumbuhan, gen supressor (apoptosis), gen reparasi, gen metastasis-
antimetastasis.
o Pembelahan sel terjadi lebih epat daripada sel normal dan tidak pada jalur
yang semestinya dan tumbuh tidak sesuai aturan.
o Epidemiologi -> terus meningkat, banyak faktor -> mutasi gen
 Kompetensi 2 -> cukup tahu sampai tindakan apa yang perlu dilakukan.
 Xanthelasma
o Deposit lemak
o Sifatnya komestik, banyak menyerang wanita usia 40 tahunan
 Hemangioma
o Hemangioma cavernosa kalau kecil dibiarkan saja karena akan regresi sampai
usida 4 tahun
o Hemangioma kapiler kalau menutup mata harus ditindak karena menutup
aksis visual. Kalau visus terganggu saat masa pertumbuhan -> visus tidak
berkembang -> amblyopia. Harus ditindak dengan injeksi steroid, beta-
blocker. Injeksi kortikosteroid
2. Tumor Ganas
 Basalioma
o Kasus karsinoma terbanyak pada kelopak mata (90%)
o Berasal dari stratum basal
o Tumor ganas yang paling tidak ganas
o Tumbuhnya sangat lambat
o Anamnesis -> tidak ada rasa sakit dan tidak berdarah, setelah membesar baru
terasa dan timbul masalah penglihatan.
o Etiologinya tidak jelas sebenarnya, tapi jika didukung dengan faktor risiko
barupa paparan sinar matahari yang terus menerus -> HIT 1 -> HIT 2 ->
multiplikasi sel tumor.
o Paling sering pada kelopak mata bawah bagian media
o Panjang tumor sekitar 1/3 kelopak mata (1 cm karena panjang kelopak mata 3
cm). Harus dieksisi dengan total daerah 18 ml di sekitar lokasi tumor ->
hampir 2 cm kelopak mata hilang.
o Harus jaga visus dan aspek kosmetik pasien
 Karsinoma Sel Skuamosa
o Dari sel keratinosit epitel kulit, konjungtiva dan limbus
o Paling banyak terjadi akibat pajanan sinar matahari atau infeksi virus
o Lebih ganas, biasanya berdarah dan ada rasa sakit.
o Banyak PD terkait -> kalau terpotong tumornya bisa berdarah karena
 Retinoblastoma
o Tumor menyerupai neuroblastoma dan meduloblastoma
o Berasal dari sel-sel yang ada di retina
o Khas -> cat’s eye. Bintik putih pada mata -> leukokoria, khas juga pada
katarak. Tapi retinoblastoma matanya memerah.
o Sering ketahuan secara tidak sengaja
o Paling banyak intraokuler pada bayi biasanya usia <5 tahun. Frekuensi 1 di
antara 14.000 kelahiran, di Indonesia lebih banyak dan datang si stadium
ekstraokuler. Kalau intraokuler empliasi -> bola mata diangkat. Kalau
ekstraokuler kemoterapi dengan empliasi.
o Khas: cat’s eyes, leukocoria, strabismus
 Melanoma Maligna
o Tumor ganas paling banyak pada orang dewasa.
o Keganasan pada sel yang memproduksi pigmen -> yang jinak adalah nevus
pigmentosus
o Terganas di antara tumor mata di kulit.
o Faktor risiko -> kulit terang (kurang mengandung pigmen melanin -> pigmen
melanin adalah barrier yang bisa menangkap oksidator -> sinar UV dan
infrared).
o Mutasi dari gen BAP-1 -> gen supressor. p16 -> supressor pada tumor maligna
o Visus bisa menurun
 Melanoma Koroid
 Melanoma Konjungtiva -> warna coklat kehitaman, gelap dengan pembuluh darah
feeder vessel dan area kehitaman di sekitarnya.
 Reese Elsworth -> retinoblastoma intraokuler dan ekstraokuler
 Oftalmopati Graves
o Proptosis (penonjolan) bola mata -> eksoftalmus, akibat masalah di
retrobulber (belakang bola mata) ada pertumbuhan berlebihan (hemangioma,
limfangioma)
o Graves disease -> pertumbuhan sel lemak dan deposit sel makrofag.
Merupakan penyakit autoimun.
 Rhabdomyosarcoma
o Tumor ganas terbanyak di ekstraokuler pada usia sekolah.
o Sering disebut tumor jaringan otot lurik
o Insidensi terttinggi 1-5 tahun dan 15-19 tahun.
o Tumor berjalan saat cepat, 5-6 bulan sudah membesar.
o PA -> ada pita-pita filamen Z
o Anak dengan penonjolan bola mata cepat -> curiga selulitis atau keganasan
 Tatalaksana
o Operasi, kemoterapi, radioterapi atau kombinasi
o Rata-rata kelainan yang di atas modulasi utamanya itu operasi. Kalau
rhabdomyosarcoma itu modulasi utamanya kemoterapi baru operasi.
Retinoblastoma kalau masih intraokuler -> radioterapi, kalau sudah grade
tertentu -> enukleasi (buang bola mata), kalau stadium ekstraokuler ->
kemoterapi baru enukleasi (buang bola mata).
Gangguan Mata pada Vitreoretina
 Retina seperti antena pada TV. Berfungsi sebagai penerima impuls dalam bentuk
cahaya dari luar masuk ke mata. Bagian dari sistem persarafan. Lalu dari antena
(retina) akan dilanjutkan ke kabel (nervus opticus) dan akan diterima resipien (otak) -
> akan tervisualisasikan apa yang kita lihat.
 Resipien rusak -> yang terlihat di TV hanya bintik-bintik saja -> sekaan-akan seperti
gangguan di lobus oksipitalis dan frontalis serta lateral geniculate nucleus.
 Gangguan di nervus opticus ada yang reversibel dan ireversibel (berat gangguannya
dan total tidak bisa lihat)
 Gangguan di retina -> maksimum 1/300, jarang yang total. Pada ablatio retina masih
1/300 tidak sampai 0.
 Embriologi Retina
o Pembentukan mata mulai terjadi 22 hari setelah ovulasi -> dimulai dari
lekukan dangkal -> terbentuk physical optic -> invaginasi -> menjadi lensa.
Retina adalah bagian dari bilayer optic cup, optic cup ada 2 layer -> invaginasi
-> menjadi neurosensori retina
o Retina berkembang di minggu ke -4, dari neuroectoderm -> physical optic ->
optic cup -> bagian anterior berdiferensiasi menjadi neurosensori
retina/neuroratina, yang di posterior itu lapisan epitel pigmen retina.
Merupakan satu-kesatuan, ada terbentuk ruang awalnya lalu menyatu -> ruang
subretina, kalau ada ada gangguan akan terbentuk cairan. Begitu ruang
subretina terisi produk peradangan/degenerasi maka antara anterior dan
posterior impuls mengalami gangguan -> gangguan penglihatan.
o Makula -> kumpulan sel fotoreseptor (sel konus kebanyakan) -> tajam
penglihatan, bentuk, warna, dan kecerahan terganggu kalau ada gangguan di
makula.
o Trimester kedua -> terbentuk retina dan diferensiasi neurosensori retina ->
menjadi 9 lapis -> arah luar ke dalam lapisannya (fotoreseptor sampai
membran limitan interna). Mulai juga terbentuk makula -> di embriologi
hanya berupa tonjolan dengan lapisan sel ganglion yang menebal
o Trimester ketiga -> makula belum berkembang pesat, vaskularisasi retina
berkembang pesat dari daerah sentral (nervus opticus) lalu ke anterior/perifer.
Perkembangan terbatas di ora serrata. Ora serrata ke belakang tidak ada
vaskuler, merupakan bagian penting untuk memasuki obat-obatan karena tak
ada pembuluh darah sehingga aman memasukkan sesuatu ke
intraokuler/intravitreal (tidak ada retina, badan siliaris, koroid, pembuluh
darah).
o Perkembangan retina setelah lahir -> makula masih imatur, akan terus
berkembang seiring perkembangan usia dan bermaturasi sampai usia 5-6
tahun. Usia 4 tahun berkembang dengan cepat makulanya. Maka dari itu anak-
anak lebih baik cepat dikenali gambar atau huruf untuk mengetahui
perkembangan penglihatannya (berkembang baik sesuai usianya atau tidak).
Usia 5-6 tahun tajam penglihatan sudah maksimum (6/6, bisa tanpa atau
dengan koreksi kacamata, bisa pakai otorefraktometer).
o Sampai usia 5-6 tahun harus periksa minimal 4 kali.
 Saat lahir -> melihat kelainan kongenital
 Usia 5-6 tahun -> apakah penglihatan sudah mencapai maksimum,
kalau ada gangguan dan dibiarkan bisa lazy eyes
 Usia menjelang remaja/17-18 tahun -> perkembangan bola mata
mencapai titik maksimum sehingga bisa lihat apakah perkembangan
telah mencapai maksimum -> tes buta warna
 Usia 40 tahun -> mulai terjadi degenerasi di makula/retina. Terutama
presbiopia (dalam refraksi), perlu kacamata untuk melihat dekat.
 Anatomi Retina
o Lapisan sensori retina
 Lapisan 1-5 -> lapisan dalam (nukelus dalam – membrana limitan
interna vaskularisasinya dari arteri retina sentral -> masuk bersama
nervus opticus -> transpor aktif
 Lapisan 6-9 -> eksternal, mulai fleksibel dan meluas sampai ke sel
kerucut/batang dan bisa sampai ke lapisan epitelium pigmen retina.
RPE – lapisan pleksiform luar, vaskularisasinya dari koriokapiler yang
bekerja secara difusi
 Arteri terlihat terang dan vena terlihat gelap. Rasio ukuran A/V itu 2:3
o Lapisan Epitelium Pigmen Retina
o Retina pembuluh darahnya bisa dilihat secara langsung lewat funduskopi,
dengan melihat PD bisa beri informasi:
 Bahwa arterinya misalnya sedang terjadi spastik pada pasien hipertensi
akut
 Kalau sklerotik (PD sudah lama menebal) pada pasien hipertensi
kronik.
 Kalau PD spastik dan sklerotik itu hipertensi kronik eksaserbasi akut.
 Bisa juga diinformasikan ke bagian saraf -> PD rapuh/tipis -> potensi
cerebrovascular disease.
 Gambaran PD di choroid -> kondisi ginjal -> kalau PDnya iskemik ->
fungsi ginjal menurun (pada pasien hipertensi dan DM berlangsung
lama).
 Arteri di retina memberi gambaran PD di serebral.
 Lapisan Anterior
o Membran Limitan Interna
 Lapisan terdalam retina, membentuk barrier difusi antara serabut saraf
retina dan cairan vitreous. Terdiri dari kolagen (penghubung vitreus
dengan membran limitan dalam) dan proteoglikan.
o Serabut Saraf
 Sangat bermakna, merupakan akson sel ganglion retina dan astrosit
(PD retina)
 Tersusun dari serabut saraf sentrifugal dan sentripetal
 Sel Muller -> berhubungan dengan akson sel ganglion
 Sel akson dan ganglion kalau tipis -> curiga degenerasi atropik ->
glaukoma atau buruknya suatu kondisi glaukoma. Bisa juga memberi
informasi ke bagian nervus opticus
o Lapisan Sel Ganglion
 Terdiri dari sel ganglion retina dan sel amakrin
 Sel ganglion retina memproyeksikan akson ke arah sentral dan nervus
optikus, kalau ada gangguan di lapisan ini -> bisa menyebar dan
hampir memprediksi kerusakan nervus optikus
 Bisa dilihat ada penebalan -> papil edema
 Sel Ganglion
 Sebagai eksitator dan inhibitor dari sel bipolar dan amakrin
(sering terjadi gangguan dan berakibat buruk pada retina jadi
dihambat)
o Lapisan Pleksiform Dalam
o Lapisan Nukleus Dalam
 Ada sel bipolar, horizontal dan amakrin
 Berfungsi mentransmisikan dan mengkode input sinaptik dari luar
untuk disampaikan ke fotoreseptor lalu ke sel ganglion.
 Di fotoreseptor bersama RPE -> menterjemahkan impuls dari cahaya
menjadi kimiawi lalu diterjemahkan di otak. Yang melihat adalah otak
sebenarnya.
 Memberi modulasi ke sel batang dan kerucut.
 Merupakan lapisan terpenting di retina.
o Membran Limitan Media
 Sebagai transfer impuls
o Lapisan Pleksiform Luar
o Lapisan Nukleus Luar
 Terdiri dari sel batang dan kerucut
 Paling penting juga
 Sering mengalami gangguan di lapisan ini karena sel batang (di
perifer) dan sel kerucut (di makula, sentral -> berperan penting
terhadap tajam penglihatan, warna, bentuk dan kecerahan) ada di
lapisan ini.
 Sel batang, kerucut dan RPE penting untuk menterjemahkan impuls ->
diteruskan ke akson -> nervus optikus.
o Sel Batang dan Sel Kercuut
 Sel batang -> 95% dari fotoreseptor, berada di perifer sampai ke
sentral, tepatnya di perifer tapi banyak juga di sentral. Skotopik ->
hitam-putih, adaptasi gelap terang. Kalau terganggu di sel batang ->
retanitis pigmentosa -> perifer terganggu -> visualisasi gelap terang
terganggu. Hampir tidak ada di fovea tapi ada di makula (fovea itu
sentral makula). Tidak berfungsi di siang hari (photo-bleached).
 Sel kerucut -> 6-7 juta sel, mewakili 5% fotoreseptor. Bermakna dalam
hal tajam penglihatan, kalau terganggu -> terganggu penglihatan.
Mendeteksi sinar merah 64%, hijau 32% dan biru 2%. Saat sore ->
sangat sensitif dengan sinar, hati-hati dengan sinar -> terbakar makula
-> degenerasi -> penglihatan dan tajam penglihatan terganggu, melihat
warna juga terganggu. Ini prosesnya fotopik -> penglihatan warna.
 Lapisan Posterior
o Epitel Pigmen Retina
 Terdapat di antara lapisan pertama dengan yang di bawahnya
(koriokavilaris) -> membrana Bruch
 Bola mata ada 3 lapisan -> sklera, traktus uvea, retina. Retina terdalam.
 Berperan sebagai blood-retinal barrier (mencegah produk ekstralumen
masuk ke retina) bersama endotel PD retina (mencegah produk
intralumen masuk ke retina)-> mencegah PD koroid masuk ke
retina/badan siliaris.
 Berfungsi dalam transpor cairan dan sekresi growth factors dan sitokin
(mekanisme pertahanan juga)
 Berfungsi juga pada fagositosis benda asing dan metabolisme vitamin
A. Vitamin A berperan dalam hal media sebagai proses penglihatan.
 Lapisan membran bruch -> berhubungan dengan produk metabolisme,
pada lansia sering terganggu pengeluarannya -> menumpuk di
membrana Bruch, degenerasi makula -> sering akibat konsumsi lipid
 Fungsi epitel pigmen retina -> blood retinal barrier, transportasi nutrisi
dan ion, ada pump RPE, dehidrasi area subretina (mentranspor cairan
ke membrana Bruch), sintesis enzin, GH, pigmen, interaksi dengan
faktor endokrin dan vaskular.
 Penyakit Vaskular Retina
o Paling banyak sekarang gangguan retina itu di vaskulernya -> arteri retina,
vena retina dan kapiler-kapilernya.
o Gangguan arteri retina:
 Oklusi arteri retina sentral -> luka bisa permanen (paling emergensi di
bagian mata bersama trauma kimia yang bersifat progresif dan cepat
masuk ke retina). Oklusi arteri -> tidak ada vaskularisasi masuk ->
gambaran bendera Jepang (cherry red spot) -> makula memerah dan
yang lainnya edema -> sangat emergensi
 Oklusi arteri retina cabang -> separuh penglihatan terganggu
 Retinopati hipertensi -> hipertensi tak terkontrol -> banyak sel darah
masuk ke makula (PD retina) -> penglihatan turun, hipertensi juga
mengganggu sistemik (atrofi pupil)
o Gangguan vena retina:
 Oklusi vena retina sentral -> di proksimal vena tersumbat -> berbeda
dengan oklusi arteri (PD tidak masuk ke retina -> tidak ada sumber
makanan -> retina cepat degenerasi), kalau vena -> PD melebar ->
lama-lama terisi tapi tidak bisa ke sistemik karena mampat -> PD
pecah atau berdifusi ke luar dinding PD dari intralumen -> seluruh
funduskopi retina akan berdarah semua bagian, kalau oklusi arteri
sentral makula saja yang memerah dan sisanya pucat
 Oklusi vena retina cabang
 Retinopati berhubungan dengan hiperviskositas -> berhubungan
dengan hematologi. Biasanya PD menghitam.
o Gangguan kapiler retina: retinopati diabetika
 Banyak terjadi sekarang, sampai ada subdivisi metabolisme penyakit
dalam (endokrin)
 Komplikasi
 Mikrovaskuler -> mata, ginjal -> koroid, Cerebral -> PD arteri
retina
 Makrovaskuler -> otak, jantung, PD perifer
 Kontrol diabetes dulu baru bisa ditindak matanya (karena merupakan
komplikasinya)
 Neurovaskulopati -> gangguan persarafan akibat gangguan vaskuler
 Manajemen
 Terapi sistemik dahulu (mencegah progresifitas retinoapti,
kontrol gula darah, kontrol TD, kontrol lipid) baru terapi okuler
(terapi laser, injeksi anti-VEGF maupun steroid, cegah
hilangnya fungsi penglihatan, vitrektomi).
o Harus dirujuk untuk mencegah obstruksi vaskuler retina
 Makula
o Sentral lapisan retina, struktur sangat kompleks.
o Suatu lekukan di daerah yang tidak dalam -> hanya 5 lapis
o Di daerah temporal papil
o Umbo adalah pusat foveola
o Oklusi arteri -> gangguan nutrisi dan oksigen retina
o Untuk mengetahui gangguan makula -> lihat sel batang karena jumlahnya
sedikit, kalau terlibat berarti hebat gangguannya
o Fungsi
 Sentral terganggu -> tajam penglihatan terganggu
 Terganggu warna, kecerahan, bentuk -> karena sel kerucut banyak di
makula (fungsi makula -> melihat warna)
 Edema -> perubahan refraksi -> tajam penglihatan menurun
 Edema makula -> pons terganggu (kuning-biru) -> masih bisa
perbaikan -> cari causa sistemik -> obati sistemik -> kembali normal
 Gangguan melihat warna merah-hijau itu akibat genetik -> tidak bisa
sembuh
 Kecerahan -> kalau redup -> terganggu di sel batang
 Bentuk -> di sentral fungsinya, kalau ada edema/makula hole/rusak ->
ada yang terputus garis yang kita lihat (makula hole) atau
terdistorsi/bergelombang objek (edema)
 Terapi laser -> pada bagian yang iskemik di retina, biasanya di
angiografi dulu untuk melihat letak iskemik untuk mencegah edema
retina dan makula. Laser pertama kali dilakukan di bagian mata. Lasik
-> miopia, hipermetropi, astigmatisma
 Vitreous
o 45% bagian bola mata adalah vitreous (badan kaca), kalau tak ada vitreous
maka akan mengecil bola matanya.
o Benda cair berkonsistensi seperti jeli, berkonstruksi “spongeus” bagian tengah
lebih cair.
o 99% air, zat lain mukopolisakarida, protein, lemak organik dan elektrolit (Na,
K, Bikarbionat, Glukosa).
o Mengisi 4/5 volume bola mata
o Berperan dalam indeks refraksi, indeks refraksi terbesar di kornea (50 D),
lensa (20 D), vitreuous humor, camera canaliculi anterior, badan kaca (3 D)
o Embriologi -> terbentuk pada minggu ke 4-5 masa gestasi (trimester 1),
terletak di antara lensa dan nervus opticus (di belakangnya), pertumbuhan
maksimum 2 bulan masa gestasi. Awalnya ada pembuluh darah tapi setelah
lahir harus tidak ada pembuluh darah (bisa mengganggu penglihatan kalau ada
PD)
 Badan kaca primer tidak atrofi, dan ada di belakang kutub posterior
lensa sebagai kanalis hialoidea, jadi akan tetap ada.
 Badan kaca sekunder itu avaskuler dan terdiri dari fibril kolagen tipe 2
dan hialosit yang diduga berasal dari sel mesenkimal yang juga juga
tidak hilang.
 Badan kaca tersier juga akan terus di bola mata.
 Ketika lahir -> tidak ada perkembangan badan kaca. Jadi kalau
vitrektomi -> tidak bisa tumbuh lagi, disubstitusi. Vitreous tidak
berkembang lagi setelah kelahiran -> primer di belakang, sekunder di
tengah, tersier di depan. Kalau ada patologi badan kaca -> disubstitusi
dengan cairan (sementara dengan gas/silikon -> lalu dikeluarkan dan
diganti dengan cairan produksi badan siliaris). Seiring pertumbuhan
umur badan kaca akan mengencer (sinerosis).
o Badan kaca tidak punya metabolisme -> tidak ada PD dan saraf. Kalau radang
-> vitreous tidak sakit karena tidak ada persarafan. Karena jernih -> kalau ada
kekeruhan/terlihat pembuluh darah -> bisa ditindak cepat -> media refraksi
harus jernih. Kalau saat lahir vitreous masih ada PD -> bedah -> mata bisa
bertumbuh kembang secara baik (sampai usia 5-6 tahun) -> pembentukan
memori mata lancar dan berkembang (kalau kurang memori -> mata malas).
o Patologi Vitreous
 Posterior Vitrous Detachment -> lepasnya vitreous posterior dengan
retina -> retina jadi tidak kokoh -> ablatio retina -> tidak bisa melihat
karena sistem persarafan penglihatan terganggu dan bisa ireversibel
kalau tidak ditangani cepat
 Vitreous Touch -> koreteks vitreous anterior menempel dengan
endotel kornea -> terjadi edema kornea bisa keratopati
 Vitreous Block -> vitreous keluar -> menutup pupil -> glaucoma
maligna (pada trabekula). Bisa juga menutup lensa.
 Vitreous Traction -> fibrosis -> retina terangkat -> robekan lapisan
retina -> bisa ablatio retina juga (bisa robek bisa tidak robek)
 Perdarahan Vitreous -> akibat retinopati diabetik, retinopati
proliferatif, trauma -> penglihatan kabur

Glaukoma
 Glaukoma -> tekanan intraokuler meningkat (terkait produksi aquos humor). Suatu
neuropati optik yang ditandai oleh pencekungan (cupping) diskus optikus dan adanya
defek lapangan pandang, biasanya disertai peningkatan tekanan intraokuler.
o Intinya -> defek lapangan pandang (terkait saraf optik), tekanan intraokuler
bisa rendah, normal atau meningkat. Kalau tekanan intraokuler meningkat
tanpa defek lapangan pandang dan pencekungan (cupping) diskus optikus ->
hipertensi okuli. Kalau ada defek lapangan pandang tapi tekanan intraokuler
rendah -> glaukoma, biasanya ada pada orang dengan kelainan perdarahan.
 Glaukoma penyebab kebutaan nomor 2 setelah katarak. Buta -> menurut WHO
penglihatan kurang dari 3/60 (kurang dari 3 meter tidak bisa menghitung jari). Kalau
katarak itu bisa dioperasi selama saraf kembali (karena kebutaannya akibat media
refraksi keruh -> berawan/putih susu/coklat -> diganti dengan lensa lain atau
kacamata).
o Glaukoma kalau sudah buta tidak bisa diapa-apakan lagi karena kebutannya
itu di saraf. Glaukoma -> mencegah agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut.
o Glaukoma harus didiagnosis dan ditindak sedini mungkin agar tidak terjadi
kebutaan.
o Glaukoma ditandai dengan peningkatan tekanan intraokuler
 Kebutaan di Indonesia -> 52% akibat katarak. 13,4% akibat glaukoma. 8,5%
gangguan retina -> retinopati, perdarahan retina.
 Anatomi Mata
o Mata 2/3 ditutup sklera dan 1/3 ditutup kornea. Di depan harus jernih sebagai
media refraksi yang dilewati sinar. Kornea -> iris -> masuk ke pupil -> di
belakang iris/pupil -> bilik mata belakang
o Antara kornea-iris -> bilik mata depan, iris-vitreous humor bilik mata
belakang
o Vitreous mengisi 2/3 volume mata
o Kekeruhan kornea/lensa/vitreous -> mengganggu penglihatan
o Kalau media refraksi terganggu -> koreksi pakai kacamata
o Media refraksi baik -> gangguan makula/saraf mata -> gangguan posterior
o Retina mengalami kematian akibat tekanan tinggi -> glaukoma
o Retina -> saraf optik -> diteruskan ke saraf optik -> divisualisasikan otak
 Fisiologi Aquos Humor
o Cairan jernih yang dihasilkan korpus siliaris
o Komposisi serupa plasma
o Mengalir ke anyaman trabekular, kanalis schlemm, saliuran kolektor -> ikut
aliran sistemik
o Iris membatasi anterior dan posterior chamber. Segmen anterior -> di depan
lensa. Segmen posterior -> di belakang lensa (oftalmoskop)
o Mengalir melalui konvensional dan non konvensional (uveoscleral route)
o Aquos humor menutrisikan struktur tidak berpembuluh darah -> lensa dan iris
o Peningkatan tekanan intraokuler -> produksi tetap tapi aliran terhambat ->
tekanan meningkat -> lama kelamaan merusak saraf
 Tekanan intraokuler tinggi -> saraf retina rusak -> cupping -> makin lebar cup -> Tio
makin meningkat -> dibuktikan dengan defek lapang pandang (cacat lapang pandang)
 Diagnosis glaukoma -> butuh pemeriksaan lapang pandang. Periksa
horizontal/vertikal

Penyakit Audiosensoris
 Anatomi Telinga
o Terdiri dari daun telinga, liang telinga, cavum timpani dan telinga dalam.
Cavum timpani berhubungan dengan tuba eustachius dan cavum mastoid.
o Telinga luar
 Daun telinga
 Liang telinga
 Panjang 2,5-3 cm
 1/3 bagian luar tulang rawan
 Seluruh lapisan liang telinga dilapisi kulit
 Membran telinga
 Rangsang frekuensi rendah lebih ke arah apikal
 Suara masuk menggetarkan timpani -> diteruskan ke ossicle -> menggetarkan koklea
-> frekuensi tinggi di basal koklea -> suara menjadi impuls listrik -> neurotransmitter
-> ke otak oleh saraf
 Pemeriksaan
o Tes Penala (Garpu Tala)
 Harus bisa dokter umum, terdiri dari Rinne, Weber, dan Schwabach
 Pakai yang 512 Hz jika tidak lengkap
 Rinne (+) -> hantaran udara lebih panjang daripada hantaran tulang,
pada telinga normal dan tuli sensorineural.
 Rinne (-) -> hantaran tulang lebih panjang daripada hantaran udara,
pada tuli konduksi.
 Weber -> mengetahui telinga yang sakit sebelah atau dua-duanya.
Telinga kanan dan kiri sama kuat dengarnya -> normal. Lateralisasi ke
telinga sakit -> tuli konduksi. Lateralisasi ke telinga sehat -> tuli
sensorium.
 Kedua telinga pemeriksa harus normal
 Schwabach memendek -> tuli sensorineural
 Schwabach memanjang -> tuli konduksi
o Audiometri -> masih grup pemeriksaan subjektif. Bisa menentukan derajat
gangguan pendengaran.
 Beri frekuensi 1000 Hz (paling netral), lalu turunkan ke 500-250-1000-
2000-4000-8000 Hz. Dari frekuensi yang diberikan, berapa desibel
yang bisa didengar pasien.
 Headset bisa dipakai di mastoid -> menilai BC
 Penilaian audiogram: gap -> ada perbedaan nilai AC dan BC
 AC dan BC =< 25 + tidak ada gap -> normal
 AC dan BC >25 + tidak ada gap -> tuli sensorineural
 AC < 25 dan BC =< + ada gap -> tuli konduksi
 AC dan BC >25 + ada gap -> tuli campuran
 Audiometri bermain/play -> lihat gerak mata anak sambil anak
bermain
o Audiometri Objektif
 Audiometri impedans -> memeriksa kelenturan membran timpani
dengan tekanan tertentu pada M.A.E -> timpanometri
 Bisa juga dinilai fungsi tuba eustachius terbuka/tertutup
 Refleks stapedius -> normalnya muncul pada rangsangan 70-80
dB di atas ambang dengar, lesi di koklea -> refleks stapedius
menurun, lesi retrokoklea -> refleks stapedius meningkat
 Audimetri normal dan bentuk A -> normal, B -> membran terganggu
(ada cairan, kekakuan atau bolong) -> konduksi, C -> oklusi tuba
karena problem cavum timpani (konduksi)
o Tes BERA -> pada orang pura-pura tuli bisa dites
o OAE -> mengukur dan melihat respons sel rambut telinga
 Sering dipakai untuk skrining -> universal newborn hearing screening
 Dilakukan pada bayi yang punya risiko -> targeted newborn hearing
screening -> melihat hasil OAE
 Hasil -> pass (lulus) dan reverse
 Kelainan Telinga
o Dislokasi tulang pendengaran -> tipe B
 Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak
o Penyebab ditentukan dari masa prenatal, perinatal, postnatal -> bayi dan anak
dengan faktor risiko
o Ibu kena Rubella -> anak lahir dites OAE dan hasil prefer -> kelainan
kongenital -> diagnostik dini. Harapannya sebelum 6 bulan, sudah bisa
dilakukan habilitasi dengan pemakaian alat bantu dengar agar bisa mendengar
bunyi.
 Gangguan Pendengaran pada Geriatri
o Akibat perubahan patologi pada organ auditori
 Tuli konduktif -> kolagen kurang (elastisitas kurang) dan bertambah
besar tulang telinga, atrofi dan kaku liang telinga (fungsi penghantaran
suara terganggu), kekuan sendi tulang pendengaran
 Tuli saraf (presbikusis) -> 65 tahun ke atas, tuli sensorineural frekuensi
tinggi simetris kanan dan kiri. Tapi tergantung gaya hidup onsetnya,
penggunaan headset juga dapat mempengaruhi. Dapat dimulai dari
frekuensi 1000 Hz/lebih.
 Cocktail party deafness
 Recruitment -> beda frekuensi sedikit saja bisa dideteksi
dengan audiometri khusus
 Diagnosis -> audiometri sloping (turun tajam) & gangguan
diskriminasi wicara
 Tatalaksana -> hearing aid, speech reading, auditory training
o Gangguan Pendengaran Akibat Bising
 Banyak ditemukan sekarang anak 25 tahun dengan gangguan
pendengaran
 Biasanya disertai tinitus, bila berat percakapan keras sulit dimengerti.
 Patogenesis
 Bising -> gangguan koklea -> sel rambut rusak (sel sensorik
dan penunjang) -> berefek pada sel ganglion, saraf, membran
tektoria, PD dan stria vaskulari (semua degenerasi)
 Jenis kerusakan tergantung intensitas, lama pajanan &
frekuensi bising
 Biasanya akibat riwayat kerja di pabrik atau memakai headset terlalu
lama
 Kesan diagnosis pada tes penala -> tuli sensorineural
 OAE -> refer hasilnya, OAE lebih baik sensitifitas dan spesifisitasnya
(lebih cepat didapat hasilnya)
 Frekuensi 4000 -> sering terdapat takik -> tanda terjadi trauma akustik
 Rekrutmen -> telinga tuli sensitif terhadap kenaikan intensitas bunyi
yang kecil pada frekuensi tertentu setelah terlampau ambang
dengarnya
 Prognosis kurang baik
 Pakai alat pelindung telinga (jika >85 dB)
 Konservasi pendengaran -> identifikasi sumber bising melalui survei
kebisingan, melakukan analisis kebisingan dengan sound level meter -
> akan terlihat berapa kebisingan di suatu tempat, pabrik misalnya.
 Di pabrik biasanya rutin pemeriksaan audiometri dan OAE tiap 6
bulan/10 bulan. Kalau ada penurunan pendengaran -> harus
komunikasikan tentang pekerjaannya.
o Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik
 Gejala -> tinnitus, gangguan pendengaran dan vertigo
 Mulanya terjadi gangguan vestibuler -> kalau obat distop bisa
reversibel. Kalau gangguan sensorineural dan lewat dari 4 hari atau
seminggu bisa irreversibel
 Semuanya tuli sensorineural
 Obat -> aminoglikosida, makrolide, loop diuretic, anti inflamasi, anti
malaria, sitostatika, ear drop. Dokter di puskemas sering memberi tetes
telinga yang ototoksik.
 Tatalaksana
 Stop obat ototoksik
 Rehabilitasi dengan ABD
 Psikoterapi
 Implan koklea
o Sudden deafness -> onset bisa kurang dari 3 hari. Diagnosis -> cek membran.
Kalau diatasi <7 hari hasilnya sangat baik -> injeksi kortikosteroid. Tuli
sensorineural itu reversibel.
o Kalau ada gangguan pendengaran -> cek membran timpani, kalau refleks
cahaya positif dan tidak ada kelainan -> kemungkinan besar tuli sensorineural.
Kalau ada serumen -> kemungkinan pendengaran terganggu karena terhalang
serumen.

Retinopathy
1. Diabetic Retinopathy
 Diabetic retinopathy merupakan salah satu penyakit non infeksi terbanyak pada mata
dan paling utama menyebabkan kehilangan penglihatan di antara pasien usia 25-74
tahun. Baik akibat DM tipe 1 atau tipe 2. Berdampak pada 3 dari 4 pasien DM, jadi
kesehatan retina harus diperiksa bagi pasien DM.
 Penyebab utama -> penyakit hiperglikemik kronik -> setelah 15 tahun pasti ada, tapi 5
tahun juga bisa muncul DR-nya.
 Patogenesis
o Peningkatan peradangan oxidative stress -> paling utama
o Peningkatan end product dari advanced glycation -> paling utama
o Peningkatan aktivasi protein C kinase pathway
 Klasifikasi
o Non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR)
o Proliferative diabetic retinopathy (PDR)
o Diabetic Macular Edema -> pembengkakan di macula, bisa terjadi di NPDR
dan PDR
o Center-involved DME
o Non-center-involved DME
 Diagnosis
o Ada riwayat DM, keluhan di mata -> visus menurun sifatnya fluktuatif,
floaters (seperti bintik-bintik hitam/serangga terbang), gangguan lapangan
pandang (pada DME), anamnesis tanyakan riwayat DM dan kontrol DM ->
tanyakan ABC (hbA1c, TD, dan kolesterol/profil lipid) pada pasien DM
 Non-Proliferative Diabetic Retinopathy
o Karakteristik -> ditemukan dengan foto fundus. Mata terang visus turun
perlahan sifatnya -> kornea, iris, lensa, pupil tidak ada masalah, ada masalah
di retina
o Stage pertama ada mikroaneurisma -> PD kecil-kecil mengisi retina iskemik
(akibat oxidative stress, protein C kinase, advanced glycation) -> menjadi
venous beading -> IRMA (intraretinal microaneurysma -> di dalam retina PD
kecil-kecil terbentuk)
o Klasifikasi
 Mild -> ada mikroaneurisma
 Moderate -> perdarahan dan cotton wool spots (eksudat), kalau masih
kurang dari 4 kuadran pendarahan
 Severe -> pendarahan 4 kuadran dengan microaneurisam, 2 atau lebih
kudaran venous bleeding
 PDR
o Dibedakan jika ada neovaskularisasi akibat iskemik retinal -> rilis faktor
vasoporliferatif -> neovaskularisasi retina
o Pembentukan PD -> penambahan ukuran neovaskuler > regresi dari
neovaskuler
o Klasifikasi
 NVD (neovascularization of the disc) -> neovaskularisasi di diskus
optik
 NVE (neovascularization elsewhere) -> neovaskularisasi bukan di
diameter diskus optik
o High risk PDR
 Kalau ada NVD atau pendarahan vitreous atau preretinal hemorrhage
 NVD meluas sampai ¼ diskus optik dengan atau tanpa pendarahan
vitreous
 NVE lebih dari 1-1/2 dengan pendarahan vitreoud
 Neovaskularisasi -> PDR
 Manajemen
o Kalau pendarahan kecil (mikroaneurisma -> observasi saja)
o Kalau ada severe NPDR, PDR -> PRP laser
o Kalau DME -> maculalaser, tapi tidak terlalu disarankan
o Injeksi anti VEGF -> efektif dalam membantu mengurangi DME dan
mengatasi penurunan visus pasien (ada penaikan sedikit)
o Ablatio retina/traksi viteo-macular -> vitreoretina surgery/vitrektomi
o Kontrol gula darah terpenting, kalau penanganan mata itu hanya mengatasi
gejala di matanya bukan mengatasi penyebab penyakitnya

2. Hipertensive Retinopathy
 Terjadi akibat komplikasi dari hipertensi
 Murni karena vaskular, kalau DR itu aliran darahnya tidak sampai
 Irregular large -> exudate, edema, hemorrhage
 Ada yang menyempit vaskulernya, tajam, kaku dan mengeras
 Efek akut -> vasospasme sehingga aliran PD tidak bagus
 Efek kronik -> akibat aterosklerosis
 Patofisiologi
o Fase vasokonstriktif
o Fase sklerotik
o Fase eksudatif
o Intinya -. TD meningkat -> endotel tidak bagus (menebal, mengecil,
permukaan irreguler, melebar, saling bersilangan) -> aliran darah tidak bagus -
> iskemik, nekrosis
o Awalnya pendarahan -> keluar eksudat -> iskemik -> nekrosis
 Diagnosis
o Tanyakan riwayat hipertensi pada pasien
o Gejala hipertensi -> sakit kepala, sakit dada, kesulutan bernapas, dll
o Tanya juga keluhan visus menurun tanpa mata merah (masuk kategori mata
tenang visus turun perlahan)
o Tanya juga pengobatan hipertensinya, kalau tak patuh -> komplikasi
 Klasifikasi
o Grade 0 -> tidak ada perubahan
o Grade 1 -> PD menyempit dan atau mengecil (arteri mengecil -> jadi 1:3
dengan vena)
o Grade 2 -> sudah ada hemorrhage <3 kuadran
o Grade 3 -> grade 2 + ada cotton wools dan retinal edema
o Grade 4 -> grade 3 + papilledema (diskus optikus ikut membengkak), ada
pendarahan, eksudat, cotton wool spots, retinal edema
 Funduskopi
o Irreguler vascular lumen
o A-V crossing -> vena tertekan arteri sehingga vena tersumbat
o Rasio arteri vena berubah jadi 1:3
o Sumbatan -> copper wiring atau silver wiring -> PD bisa kosong
 FFA
o Jarang dilakukan pemeriksaannya karena semi-invasif
o Obat disuntikkan ke pasien -> tindakan cukup lama
o Penting untuk penilaian diagnosis
o Choroidopathy -> iskemik sudah sampai choroid
o Kalau ada pendarahan bisa terlihat
 Mild Hypertensive Retinopathy
o Panah hitam -> A-V tumpang tindih dan melilit -> A-V nicking
o Panah putih -> silver/copper wiring -> PD kosong
 Moderate Hypertensive Retinpathy
o Sudah ada pendarahan -> panah putih
o Khasnya -> pendarahan berupa garis, kalau DR bintik-bintik
o Ada eksudat -> gambar Bm cooton wool spots (panah putih), retinal
hemorrhage, microaneurysms (panah hitam)
 Malignant Hypertensive Retinopathy
o Pendarahan retina, cotton wool spots, hard exudates, pembengkakan optic disc
(memerah dan membengkak)
 Severe Hypertensive Retinopathy
o Eksudat semakin banyak, tampak kebocoran dari pendarahan
 Malignant Hypertension
o Gambar A -> pendarahan jelas dan banyak, ada papilledema
o Gambar B -> early FFA
o Gambar C -> late FFA -> pendarahan makin banyak karena bocor
 Tatalaksana
o Kontrol penyakit utamanya -> kontrol TD paling utama
o Kontrol juga jika ada DM dan dislipidemia
o Pasien dengan riwayat stroke juga ditatalaksana
o Penyakit di mata -> komplikasi
o Kalau pendarahan vitreous banyak -> vitrectomy, tapi tidak menjamin
hasilnya bagus kalau TD tidak terkontrol

3. Ablatio Retina/Retinal Detachment


 Kondisi di mana terlepasnya/terpisahnya lapisan neurosensori dari lapisan RPE retina
 Akibat robek, ada cairan di bawahnya, benturan sehingga terjadi tarikan, atau karena
penyakit lain sehingga terjadi tarikan
 Natural course -> karena penuaan, cairan vitreous sudah tidak kencang -> terjadi
tarikan -> cairan masuk ke antara lapisan retina
 Non-natural course -> pasien usia muda, karena benturan di mata
 Posterior Vitreous Detachment -> gambaran awal, ada retraksi/tarikan -> ring pada
foto fundus
o Gambaran tarikan PVD -> round or oval hole, ada juga gambaran flap tear
 Diagnosis
o Karakteristik -> mata tenang visus turun mendadak
o Keluhan -> awalnya biasanya visus belum turun -> photopsias (silau) -> tiba-
tiba seperti ada tirai yang menutup visus
 Lesi Ablatio Retina
o Ada gambaran tarikan di A, gambaran robekan akibat tarikan di B
 Gambar Skematik Ablatio Retina
o Gambar 1 -> sudah mulai ada tarikan, di retina bergaris
o Gambar 2 -> sudah robek -> lebih gelap lagi garisan
o Ada yang bentuk oval/bulat
o E dan F -> lapisan sudah tidak bagus -> degenerasi -> terjadi robekan
 Tatalaksana
o Terpisahnya retina karena robekan akibat berbagai faktor
o Apapun jenisnya -> vitrektomi, sclera buckling sekarang, bisa vitrektomi +
silicon
o Pakai Lincoff untuk mencari robekan -> robekan si superotemporal di gambar
1, superior-jam 9/3 robekannya di gambar 2
 Klasifikasi
o Rhegmatogenous -> ada robekan/bolong
 Myopia, trauma oculer, aphasia
o Traction -> ada tarikan -> PVD
 Hipertensi
o Serous/hemorrhagic -> ada cairan yang masuk atau pendarahan -> mengarah
ke malignansi
 PDRN
 Riwayat -> tanya riwayat berkacamata, DM, benturan, operasi mata
 Keluhan
o Photopsia -> silau
o Defek lapangan pandang -> seperti tertutup tirai (tertutup bagian atas atau
bawahnya saja)
o Floaters
 Fuduskopi
o Gambaran ablatio, ada gambaran traksi, robekan -> tergantung jenisnya
o Gejala tetap sama -> photopsia, lapangan pandang tertutup tirai
 Klasifikasi -> berdasarkan kerutan (akibat robekan) -> menentukan prognosis pasca
operasi
 Inferotemporal retinal dialisis -> melengkung ada garis -> ada cairan yang
mengangkat
 Ada gambaran mengkerut -> retinal detachment
 DD -> retinoschisis, rhegto?
 Tatalaksana
o Masuk kategori emergensi (kalau kejadian <1 minggu), semakin cepat
ditatalaksana -> semakin baik
o Kalau pasien sudah defek lapangan pandang 1 bulan -> ablatio retina bisa
dioperasi tapi hasil tak akan bagus karena neurosensori sudah tidak
menyambung lagi -> fungsi neurosensori
o Minta pasien membatasi aktivitas agar robekan/traksi tidak parah
o Rujukan -> spesialis mata subspesialis vitroretina
Pemeriksaan Fisik Sensori pada THT
 Tes Rinne
o Rinne (+) jika hantaran udara lebih panjang dari hantaran tulang, terjadi pada
telinga normal atau tuli sensorineural. Saat garpu tala dipindahkan ke depan
liang telinga masih terdengar getarannya.
o Rinne (-) jika hantaran tulang lebih panjang dari hantaran udara, terjadi pada
tuli konduksi. Saat di belakang processus mastoideus tidak terdengar, di liang
telinga juga tidak terdengar.
 Tes Weber
o Bertujuan membandingkan hantaran telinga kiri dan kanan penderita
o Penala digetarkan -> dasar penala diletakkan di garis tengah kepala (ubun-
ubun, glabella, dagu, pertengahan gigi sering -> paling sensitiif). Biasanya di
ubun-ubun atau glabella.
o Dibandingkan apakah terdengar jelas di telinga kanan/kiri atau tak ada
lateralisasi
o Normalnya tidak ada lateralisasi -> belum tentu normal sebenarnya karena
bisa saja terjadi tuli konduktif atau sensorineural kiri dan kanan yang sama
derajat pendengarannya/ketuliannya
o Lateralisasi ke telinga sakit -> tuli konduktif, misalnya infeksi liang telinga
(otitis media akut/kronis, sumbatan akibat serumen/benda asing, abses) ->
mengganggu konduksi
o Lateralisasi ke telinga sehat -> tuli sensorineural, gangguan pada telinga dalam
-> NIHL, presbikusis, trauma akustik
 Tes Schwabach
o Membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang
pendengarannya normal (pasien dibandingkan dengan pemeriksa)
o Syarat pemeriksa: kedua telinga normal
o Cara:
 Penala digetarkan
 Dasar diletakkan di prosesus mastoideus
 Jika pasien sudah tidak mendengar -> pindahkan penala ke prosesus
mastoideus pemeriksa
 Bila masih terdengar oleh pemeriksa -> Schwabach (pasien)
memendek
 Bila pemeriksa juga tidak mendengar -> lakukan tes konfirmasi dari
pemeriksa ke pasien (dibalik)
 Jadi pemeriksa dulu mendengar getaran penala di prosesus mastoideus
pemeriksa-> bila sudah tidak terdengar lagi baru ke pasien
 Kalau pasien masih mendengar -> Schwabach memanjang
o Interpretasi
 Schwabach memendek -> hantaran tulang pasien lebih pendek dari
hantaran tulang pemeriksa -> sensorineural hearing loss
 Schwabach memanjang -> hantaran tulang pasien lebih panjang dari
hantaran tulang pemeriksa -> tuli konduktif
 Kesimpulan Tes Penala
o Tes Rinne, Weber dan Schwabach tidak bisa berdiri sendiri, harus dilakukan
ketiganya untuk mendiagnosis.

o
 N. Olfaktorius (N. I)
o Berfungsi untuk pembauan/penghidung
o Persiapan -> pasien sadar dan kooperatif
o Bahan -> kopi, teh, tembakau, jeruk, peppermint, kamper, mawar (rosarum)
o Sering dilakukan pada pandemi
o Interpretasi
 Normal, hiperosmia, anosmia, parosmia, hiposmia, halusinasi
olfaktorik
o Pemeriksaan
 Periksa THT dulu, untuk menyingkirkan gangguan lainnya (rhinitis
alergi, massa, dll) yang bisa mengganggu penciuman
 Informed consent
 Tutup mata pasien -> pasien mengandalkan penciuman saja
 Pasien mengidentifikasi apa yang tercium jika ada zat yang didekatkan
pada lubang hidung (satu-satu lubang hidung)
 N. Fasialis (N. VII)
o Berfungsi mengatur ekspresi wajah, sekresi glandula lakrimalis, sublingualis,
submandibularis, pengecapan 2/3 depan lidah, mengurangi getaran stapes
o Berada di daerah tulang temporal dan berjalan ke daerah telinga sampai ke
wajah, gangguan nervus fasialis -> daerah wajah pengot (miring) atau tidak
simetris
o Cara menilai:
 Skor House Brackman, ada grading grade 1-6


 Fungsi motorik (0-3)
 Naikkan dahi, lihat apakah simetris kiri dan kanan
 Mengangkat alis
 Mengangkat hidung
 Menutup mata, kalau ada kelemahan -> mata yang terganggu
tidak dapat menutup sempurna, menutup dengan usaha, dengan
usaha tetapi bola mata terpapar (incomplete)
 Mencucu mulut, kalau ada gangguan hanya sebelah mulut yang
maju
 Tertawa lebar, kalau ada gangguan tidak simetris (separuh
tertawa separuh tak tebruka)
 Bersiul
 Menggembungkan pipi, kalau gangguan bisa kempot/bocor
 Menarik dagu
 Pemeriksaan topografi
 Larutan garam (asin), gula (manis), kinin (pahit), cuka (asam)
 Julurkan lidah -> bersihkan lidah dengan air hangat -> beri
rangsangan rasa berupa tetesan pada indra pengecap 2/3 bagian
depan -> tanya pasien rasanya apa dan apakah sesuai
 Tes gangguan lakrimasi
 Schirmer test -> kertas lakmus diselipkan di kelopak mata
bawah kiri dan kanan -> lihat aliran sekresi air mata -> 10-15
ml normal, kalau kurang dari itu berarti ada gangguan lakrimasi
(gangguan nervus fasialis di bagian lakrimasi).

Myasthenia Gravis, Neuropati jeratan (Carpal tunnel syndrome, tarsal tunnel syndrome,
neuropati ulnaris, Peroneal palsy)
1. Myasthenia Gravis
 Anamnesis khusus memegang peranan penting di bagian neuro untuk menegakkan
diagnosis (>50%) karena gejalanya khas. Ada 4 kerangka-kerangka anamnesis khas di
bagian neuro.
 Myasthenia gravis -> penyakit autoimun, muncul karena kondisi tubuh yang
menyebabkan imunnya turun. Kadang ada pasien dengan kelainan sama tapi tidak
muncul gejala karena imunnya bagus terus.
 MG -> penyakit autoimun akibat antibodi yang mengenai reseptor asetilkolin di post
sinap -> kerusakan reseptor asetilkolin di post sinaps sehingga kekuatan otot untuk
berdepolarisasi kurang, ditandai dengan kelemahan berfluktuatif (pagi normal,
semakin otot dipakai -> sore hari terjadi kelemahan) pada otot sirkular -> orbicularis
oculii (otot kelopak mata), otot bulbar (pita suara -> pagi suaranya bagus dan terang,
semakin siang-sore suara sengau/disfonia bahkan serak, bisa habis suaranya, otot-otot
menelan dan pernapasan juga terkena) dan otot proksimal ekstremitas .
o Awalnya dimulai dari mata -> ptosis bilateral, ada yang unilateral. Di pagi hari
bagus otot levator palpebranya, tapi siang-sore mulai ptosis. Pasien tidur sore -
> ptosis hilang, begitu juga disfonianya hilang setelah bangun tidur di sore
hari -> sifat fluktuatif (otot-ototnya depolarisasi dan repolarisasi)
 Epidemiologi
o Terjadi di semua umur
o Prevalensi 150-250 kasus per 1 juta penduduk (sedikit)
o Puncak pertama di usia 20-40 tahun
o Banyak pada wanita -> 1:3 dengan laki-laki
 Klasifikasi Klinis
o Stadium 1 -> kelemahan otot levator palpebra -> ptosis
o Stadium 2 -> mulai bertambah kelemahan dan mulai kena ke otot ekstremitas
o Stadium 5 -> butuh bantuan ventilator karena otot pernapasan terganggu
 Patofisiologi
o Antibodi -> terjadi gangguan pada reseptor asetilkolin -> terjadi gangguan
depolarisasi karena blokade dari asetilkolin (otot tidak dicas atau lambat dicas
-> lelah -> pasien tidur/istirahat -> normal lagi)
o Kalau di stadium 4/5 tidak ngecas-ngecas karena rusak reseptornya
 Manifestasi Klinis
o Gejala okular
 Ptosis
 Pandangan kabur (otot pupil terganggu juga)
 Diplopia asimetris
o Gejala bulbar
 Disfonia, disfagia, kelumpuhan otot wajah
o Leher dan ekstremitas
 Pada otot proksimal dulu awalnya
o Gangguan pernapasan
 Menyebabkan kematian
 Diagnosis
o Dilakukan anamnesis khas neurologis
o Pemeriksaan fisik
o Tes konfirmasi
o Uji diagnostic
 Tes wartenberg -> pasien diminta melihat ke atas bidang datar dengan
sudut > 30 derajat selama 60 detik, positif bila ada ptosis
 Tes hitung -> pasien diminta berhitung 1-100, positif bila suara
menghilang atau sengau (disfonia/suara nasal)
 Ice pack eye test -> celah antara kedua kelopak mata yang mengalami
ptosis diukur kemudian dengan es terbalut kain ditempelkan ke
kelopak mata penderita -> celah yang bertambah lebar setelah
penempelan es (bertambah ukuran celah mata yang bisa membuka) 2
menit dianggap positif
 Uji tensilon -> diberi asetilkolin inhibitor, 1-2 jam perbaikan berarti
positif
 Uji prostignin -> suntik 1,5 mg im, bila terjadi perbaikan gejala -> uji
prostignin positif
 Tidak harus kelimanya positif -> tergantung stadium pasien tersebut,
kalau masih ringan kadang celah mata tidak begitu bermakna (tes
hitung belum terganggu juga), kalau sudah stadium berat bisa
kelimanya positif
o Pemeriksaan penunjang -> tes serologi, elektrofisiologi
 Tes serologi -> AchR aB, dan MAST
 Elektrofisiologi
 Repetitive nerve stimulation (RNS) -> disengat listrik
wajahnya, speed 1, 2, 3 amplitudo tinggi, ada 10 amplitudo
totalnya dan makin lama akan makin menurun. Di PPT sudah
jelas positif. Kita beri stimulasi repetitif pada saraf. Sering
dijumpai amplitudo 1-5 tidak turun, yang ke-7 turun -> sudah
positif
 Single fiber electromyography (SFE) -> pada otot yang lemah
 Diagnosis Banding
o Perempuan terlalu sering botox -> mata menjadi ptosis -> diagnosis banding -
> botulism -> 3-6 bulan habis baru normal lagi
o Sindrom miastenia kongenital -> pada anak berhubungan dengan imunoterapi
o Paralisis nervi kraniales
o Sindroma Guillan Barre -> gejala menetap (beda dengan MG yang fluktuatif)
sampai inflamasi hilang (bukan fluktuatif dengan istirahat)
o Miopati inflamasi
o Lamber Eaton Myastenic Syndrome
o Mitokondria sitopati
o Motor neuron disease
o Distrofi otot okulofaringeal
o Penyakit tiroid pada mata
 Khas MG -> pagi dan sore berbeda kekuatan ototnya, setelah istirahat bisa normal lagi
 Tatalaksana
o Simptomatik -> piridostigmin dosis insiial 30-60 mg setiap 4-6 jam, tapi
awalnya tidak begini dosisnya -> sekaligus uji diagnostik
o Imunosupresan -> steroid/non steroid, azatioprin
o Intravenous Imuglobulin (IVIG) dan plasmasparesis (ganti plasma)
o Timektomi -> karena pasien MG (kelenjar timus persisten atau timoma karena
reaksi antigen-antibodi yang salah), antigen mimikri yang dihasilkan timoma
akan dihancurkan.
 Diagnosis MG ditegakkan -> apakah ada timoma -> kalau ada, timektomi -> obat
imunosupresif -> lanjutkan dengan terapi plasmaparesis/pemberian imunoglobulin
sambil tetap monitor klinis untuk memberikan obat piridostigmin
 Prognosis
o Mortalitas pada MG yang tidak diterapi -> 25-31%
o Penegakkan diagnosis dini -> mortalitas hanya 20-an%
o Pasien MG okuler dengan hiperplasia timus memiliki angka relaps lebih tinggi

2. Carpal Tunnel Syndrome


 Saraf medianus berada di carpal tunnel, kalau penggunaan pergelangan tangan terus
berulang maka saraf akan bengkak
 Ada stadium 1-6, menegakkan stadium dengan alat elektromiografi
 Sering pada usia 30-60 tahun, lebih sering terjadi pada wanita karena kegiatan rumah
tangga. Sering juga pada orang yang lebih tua, kelebihan berat badan, dan tidak aktif
secara fisik.
 Gejala sensorik -> gejala motorik (kelamahan atau atrofi otot tenar)
 Faktor predisposisi
o Malaligned colles fracture
o Edema akibat infeksi/trauma
o Tumor, seperti ganglion, lipoma, xanthoma di carpal tunnel -> menekan saraf
medianus
 Penyebab
o Kondisi sistemik -> obesitas, DM, disfungsi tiroid, amiloidosis, penyakit
Raynaud, alcoholism
o Kebiasaan posisi tidur di mana pergelangan tangan tetap tertekuk akut
o Trauma akibat gerak tangan berulang
o Pekerja pengguna mesin, juru ketik
 Gejala
o Negatif -> kebas/baal
o Positif -> nyeri, rasa terbakar, atrofi otot tenar
 Phalen test
o Fleksi akut pergelangan tangan selama 60 detik -> parastesia (tak nyaman)
berarti positif
 Tourniquet test
o Pakai manset tekanan darah -> distensi vena -> timbul gejala
 Pemeriksaan dengan EMG
 Terapi
o Diimobilisasi relatif -> disanggah pergelangan tangan
o Fisioterapi
o Obat -> steroid
o Stadium 5-6 -> operasi

3. Ulnar Neuropathy
 Sama dengan CTS tadi, bedanya kalau ulnar di tempat jalannya saraf ulnaris.
 Carpal tunnel di saraf medianus (tengah), kalau ulnar neuropathy di arah kelingking.
 Nervus medianus -> jari ke-1 sampai 4 dan setengah jari ke-4, nervus ulnaris ->
setengah jari ke-4 dan jari ke-5.
 Kelemahan di jari keempat dan kelima
 Daerah sensorik yang terkena dampak dari ulnar neuropathy
 Manifestasi klinis
o Kelemahan dan atrofi intrinsik ulnaris
 Etiologi
o Trauma terkait pekerjaan berulang
o Fraktur pergelangan tangan
o Kista ganglion di kanal Guyon
o Neurofibroma
 Diagnosis Banding
o Saraf terjepit di leher -> daerah C8 T1 menyebabkan radiculopathy di lower
trunk, gejala mirip dengan Guyon canal syndrome. Neuropathy itu
keseluruhan, kalau guyon canal itu di distalnya.
 Pemeriksaan
o EMG di jari kelima
4. Tarsal Tunnel Syndrome
 Neuropathy jeratan itu sama baik di pergelangan tangan atau di kaki, kalau tarsal itu
di nervus tibialis yang terkompresi.
 Nervus tibialis ada cabang medial, lateral, kalkaneus
 Inflamasi dari suatu infeksi/gesekan -> faktor intrinsik
 Sepatu terlalu sempit, kelainan bentuk kaki sejak kecil -> faktor ekstrinsik
 Pasien dengan kondisi metabolik tertentu juga bisa menjadi faktor predisposisi,
bedanya adalah area yang terkena, kalau tarsal tunnel itu di daerah medial dari plantar
 Red flags -> bila ada kelemahan yang menetap/kompresi saraf di punggung bawah ->
harus segera dioperasi
 Kalau masih ringan bisa terapi steroid, atau latihan jika kaki flatfoot. Flatfoot tidak
hanya bawaan lahir bisa juga pada pasien obesitas -> diberi sepatu yang alasnya lebih
tebal di bagian medial untuk mencegah kerusakan saraf tibialis
 Terapi dan pemeriksaanya sama.

Vertigo (BPPV, Meniere's Diseases, Neuritis Vestibularis, Vertigo Sentral)


 Vertigo -> suatu gejala penyakit -> symptom, beberapa penyakit memberi manifestasi
vertigo. Vertigo -> pusing berputar, tapi biasanya banyak yang dikeluhkan pasien
vertigo ke kita. Jadi sebagai dokter harus bisa menarik kesimpulan apakah benar
pasien mengalami gangguan keseimbangan yaitu vertigo.
 Vertigo -> perasaan di mana pasien merasa dirinya berputar atau merasa dunia di
sektarnya berputar. Pasien mengelu puyeng, sempoyongan, pening, dll.
 Vertigo bukan diagnosisnya, tapi itu adalah symptom, yang kita cari itu etiologinya
agar bisa memberi tatalaksana yang sesuai.
 Pada kehidupan sehari-hari
o Provokasi -> perubahan posisi, tempat ketinggian, pusing berputar

Kelainan Neurobehaviouronal pada Anak


 Pentingnya bagi dokter spesialis anak -> melakukan skrining tumbuh kembang, harus
deteksi dini sejak dalam kandungan -> baru lahir -> tumbuh menjadi dewasa.
 Harus tahu penyakit-penyakit yang menganggu perkembangan -> banyak penyakit
yang terkait perkembangan otak.
 Di video
o Janin dalam rahim bergerak dan mengikuti pola perkembangannya. Pada saat
pertama kali perkembangan embriologi sel membelah menjadi dua, maka
secara utuh selalu ada sisi kiri dan kanan, otak pun ada kiri dan kanan, pada
setiap perkembangan di mulai dari belakang ke atas sampai ke korteks (akhir
perkembangan otak). Korteks nanti akan membentuk/membantu
perkembangan motorik baik motorik kasar/halus.
o Tumbuh dan kembang menjadi dua -> berfusi. Akan ada kegagalan fusi ->
spina bifida. Otak bisa keluar -> ensefalokel/meningiokel -> kalau terjadi
harus dideteksi saat bayi baru lahir. Tidak harus spesialis yang melihat, dokter
umum harus melihat dan skrining. Kalau ada benjolan di garis lurus penyatuan
berarti ada gangguan sistem fusi -> muncul gangguan pada otak ->
enselafokel/meningiokel. Kalau tidak tertolong di awal/tidak terdeteksi di
awal.
o Otak matang mulai dari bawah -> batang otak -> otak. Di otak akan matang di
tengah sampai ke ujung/korteks. Kalau kita lihat secara real otak itu ->
cerebrum-medulla spinalis, pematangan pertama lihat kepala dulu -> leher ->
badan -> tangan -> kaki. Konteksnya -> pematangan dari tengah dengan
postur yang diatur dari batang otak sampai ke atas baru ke cerebrum maka
motorik halus terakhir ada pada jari-jari, pada motorik anak otot trunkal yang
bergerak atau bergerak pada motorik kasar
o Trimester kedua dan ketiga -> kompleksitas perkembangan otak, saat bayi
lahir maka kompleksitas masih minim tapi sudah terjalin satu dengan yang
lain. Yang mematangkan otak -> sensorik yang ada berkembang sejak lahir.
Sensorik itu banyak -> nervi craniales ada sifat sensorik (mata, telinga,
tenggorokan, pengecapan, lidah, hidung dan papil/kulit). Kalau pada anak
sejak lahir tidak dilakukan rangsangan sensorik maka perkembangannya tidak
maksimal -> gangguan jaras asosiasi (bagaimana anak memahami setiap
sensorik yang masuk ke tubuhnya). Contohnya pada anak autis -> tidak pernah
diberikan sensorik sama sekali maka dia tidak bisa memprogram dan
menganalisis sensorik yang ada. Anak hiperaktif biasanya kalau jatuh tidak
teriak.
o Intinya bagaimana kita memahami perkembangan otak yang nantinya akan
berdampak pada klinis yang harus dipahami.
 Perkembangan otak -> genetik (saat keluar sudah ada penyatuan antara sel telur dan
sperma -> terbentuk kromosom yang ada dan berhubungan dengan kondisi ibu),
lingkungan (internal dan eksternal), preventif dan intervensi (harus dilakukan, saat ini
terbatas).
 Periode paling penting pada masa prenatal
o Trimester 1 organ terbentuk
o Trimester 2 ada satu jalinan terbentuk
o Trimester 3 penyempurnaan sel di otak
o Akan terlihat kelainan di trimester 1-3, bisa cacat/tanpa cacat organik dengan
gangguan tumbuh kembang
 Prenatal -> trimester 1 (induksi dorsal)
o Berasal dari ectoderm (lapisan tengah)
o Gangguan induksi pembentukan kerangka
o Spina bifida, kranioskizis, mielomeningokoel,
o Masa gestasi minggu ke 5-6 (induksi ventral)
o Terlihat labioskizis, mikroftalmus, palatoskizis
o Pada perkembangan proliferasi, bulan ke-2 dan ke-3 proliferasi berhubungan
dengan jumlah sel di dalam -> perbanyakan/perpecahan dalam bentuk sel dan
lihat apakah ada mikrosefali (proliferasi kurang) atau proliferasi lebih pada
sturge weber (PD berlebihan -> muka merah -> neurocutaneous -> bisa
kejang), neurofibromatosis dan tuberosklerosis -> kulit tampak ada kelainan,
akan muncul kejang pada anak suatu saat.
o Proses migrasi -> bulan ke-3 sampai bulan ke-6 terjadi
 Skizensefali (tidak semua otak bermigrasi dengan baik -> ibu sakit ->
sumbing otak -> otak tidak utuh, ada 1 potongan otak yang tidak utuh -
> anak bisa hebiparesis -> di tahap awal, anak keluhan lambat jalan
dan lambat duduk -> intervensi segera, karena ada kejang
 Lisensefali
 Polimikrogiria
 Heteropia neuronal
 MRI -> kelainan struktur otak. MRI dibutuhkan tergantung
pemeriksaan klinis
o Proses organisasi -> bulan ke-5 sampai tahun ke-2 (post natal). Ada sistem di
otak yang mengatur koordinasi gerak anak.
 Sindrom down -> dismorfik muka, kelainan jantung, gangguan
hormonal -> kecerdasan terganggu dan keterlambatan perkembangan
 Autism
 Sinrom rett
 Fragile-X
 Neuronal ektopia
 Gliosis
o Proses mielinisasi -> terjadi di bulan ke-6 sampai lahir
 Leukodistrofi
 Periventrikuler leukomalasia
 Krabbe
 Penyakit Canavan
 Keterlemabatan pertumbuhan dan kejang spasme
 Jumlah DNA bisa jadi lebih banyak, sensorik di masa post natal, harus
diintervensi. Motorik halus tidak harus diintervensi karena akan
berkembang sendiri.
 Periode Perinatal-Postnatal
o Semakin bertambah usia, semakin terjalin dan semakin banyak jalunan serabut
saraf -> tergantung perkembangan otak
o Mielin berperan untuk mempercepat arus informasi
o Akson dan dendrit berkolaborasi untuk mentransfer info yang ada
o Perinatal
 Bayi baru lahir premature -> punya risk factor karena saat lahir belum
siap dan belum selesai perkembangannya -> akan ada intervensi dari
luar yang menganggu kematangan saraf penglihatan dan neurosensorik
 Ensefalopati neonatal
o Postnatal
 Infeksi -> meningitis -> atrofi korteks cerebri, gangguan
perkembangan, hidrosefalus, dll
 Psikososial -> anak sulit berkomunikasi, anak tidak bisa jalan dan
duduk, anak bengong -> keterlambatan dan gangguan perkembangan
 Kecurigaan
o Dismorfik
 Asosiasi malformasi -> terkait intrauterine
 Malformasi -> Syndrome Down -> wajah dismorfik, kelebihan
kromosom ke-21.
 Ada brakisefali, occiput datar, lingkar kepala kecil, celah
palpebra besar, mongoloism, kesalahan refraksi, nystagmus
paling banyak, strabismus, hidung kecil, lipatan telinga di atas
kecil, gigi kecil
 Syndrome APERT -> seperti orang arab, hidung mancung dan kepala
kecil, paling banyak acrocephalosyndactyly -> jari berfusi, branchial
merupakan gambaran penting.
 Diameter anteroposterior wajah pendek, dahi penuh, bola mata
datar, anggota tubuh menyatu (syndactyly), SSP ada argenesis
corpus callosum (mengatur kiri dan kanan) -> terkait gangguan
tingkah laku pada anak, ventrikulomegali tidak progresif,
hidrosefalus progresif, rata-rata panjang dan berat lahir di atas
persentil 50
 Sindroma Cornelia De Lange -> mukanya rata, sudut atas bibir tak ada,
banyak bulu, terlihat saat agak besar anaknya, paling banyak di luar
negeri.
 Gangguan perkembangan berat -> fisik dan intelektual
terganggu, berat lahir rendah <2,5 kg, pertumbuhan lambat, alis
yang sangat tebal, kelainan tungkai, celah mata panjang, hidung
pendek mencuat ke atas, kaki-tangan kecil, penggabungan
sebagian jari kaki kedua dan ketiga, refluks gastroesofageal dan
kejang sebagai gambaran klinis
 Sindroma Crouzon -> kelainan genetik dikenal sebagai sindrom dari
arkus brankial -> postur. Brankial -> penting pada embrio jadi
gangguan kemana-kemana.
 Kraniosinotosis
 Dismorfik berhubungan dengan rongga tubuh
 Hidung seperti paruh, napas pendek, septum nasal bermasalah
 Wajah hipoplasia di tengah
 Mata eksoftalmus (proptosis)
 Telinga kanal sempit, deformasi telinga tengah
 Sindroma Sturge Weber -> ensefalotrigeminalangiomatosis
(angiomatosis -> port wine stain -> muka merah dan separuh kaki).
Karena berhubungan dengan vaskuler end-artery -> sering terjadi
glaucoma (TIO meningkat)
 Ada 3 tipe
o Tipe 1 PWS dengan angioma (paling sering)
o Tipe 2 PWS tanpa angioma
o Tipe 3 angioma tanpa PWS
o Biasanya kejang
 Jaringan kapiler otak -> angioma
 2 tahun pertama kejang, atrofi korteks serebri, awalnya hanya
kejang (dianggap epilepsi, kalau simptomatik -> ada kelainan
penyerta -> EEG -> lihat fokus primernya -> ketahuan
kelainannya di mana)
 Diagnosis -> kejang, PWS, atau angioma
o Makrosefali -> lingkar kepala lebih dari +2 SD (grafik Nelhaus), normal ->
pada 2% anak, karena faktor familial
 Hidrosefalus (ventrikel berisi cairan) -> tidak diintervensi dengan cepat
-> perkembangan tidak maksimal
 Hidransefali (otak diganti air)
 Algoritma -> analisis, lihat riwayat penyakit, riwayat keluarga (kepala
bapak dan ibu besar/kecil), harus ukur lingkar kepala
 Meningokel
 Hidrosefalus -> ventrikel melebar berisi cairan, bisa didapat (infeksi ->
meningitis tb atau bakterialis -> tiba-tiba penurunan kesadaran ->
hidrosefalus akut) dan kongenital
 Atrofi -> ventrikel melebar sedikit dan ujung masih lancip dan kopong,
kalau hidrosefalus ventrikel sangat melebar dan terlihat penuh (tumpul)
 Makrosefal -> bisa hidrosefalus/hidransefali -> bedakan dengan CT
scan atau USG janin
 Hidransefali -> sel otak terganti dengan air
o Mikrosefali
 Ukur lingkar kepala -> biasnaya <= -2 SD dari nilai normal
 Mikrosefali sekunder -> penyakit yang mendasari, mikrosefali primer -
> kongenital/genetik
 Sekunder -> bayi baru lahir ada meningitis/biru -> sel otak tidak
berkembang dengan baik -> mikrosefali -> keterlambatan
 Prevalensi jarang
 Intrauterin -> primer, ada mutasi kromosom pada trimester kedua
(berhubungan dengan proliferasi)
 Dampak funsgional -> mental retardasi (gangguan IQ), IQ deteksi ->
<5 tahun akan terlihat keterlambatan pada 2 sektor -> kalau ada
gangguan di 2 sektor atau lebih -> bisa ditetapkan keterlambatan
mental. Biasanya spesialis neurologi anak akan mencari cara
mengembangkan sel yang masih bagus akan berkembang dengan baik
dan sel yang rusak akan diserap dengan baik -> intervensi dini
 Intervensi salah satunya mengatasi komorbid -> epilepsi paling
banyak, gangguan gizi juga banyak
 Gangguan migrasi -> polymicrogyria, holoprosesencephaly, agenesis
corpus callosum, macrogrya
 Sekunder -> malnutrisi, HIE/hypoxic-ischemic encephalopathy
(asfiksia berat -> intervensi cepat karena gangguan ke otak cepat),
craniosynostosis
 Pendekatan diagnostik -> dokter umum harus bisa skrining dan deteksi
dini -> 144 kasus kompetensi 4.
 Prognosis -> deteksi dini sangat menentukan
o Lihat kepala anak -> ukur lingkar kepala

Penurunan Kesadaran dan Peningkatan TIK pada Anak Ensefalopati, Manifestasi SSP
pada Penyakit Sistematik
 Peningkatan TIK pada anak adalah kondisi emergensi. Kalau didiamkan -> kematian,
kerusakan otak permanen sehingga harus dikenali dan ditatalaksana. Paling bagus jika
kita lakukan pengenalan dini sebelum kondisi memburuk (lebih berat), lama-lama
bisa lebih luas kerusakan otaknya.
 Penyebab peningkatan TIK -> cedera kepala (terutama pada anak di bawah umur
berkendara tanpa helm), hidrosefalus, tumor otak, infeksi SSP, hipoksia. Semuanya
bisa menyebabkan peninggian TIK.
 Peningkatan TIK/ICP -> peningkatan TIK >= 20 mmHg selama >= 5 menit.
Normalnya pada anak tidak sampai 10 mmHg. Bayi 6 mmHg, pada bayi biasanya ada
kondisi tertentu yang menyebabkan peningkatan TIK lebih dapat dikompensasi yaitu
pada ubun-ubun/fontanella masih membuka.
 CPP (cerebral perfusion pressure) -> tekanan yang dibutuhkan untuk
mempertahankan aliran darah otak adekuat -> mencegah pendarahan yang tak cukup
pada otak
 MAP (mean arterial pressure) -> terkait fungsi sirkulasi
 Pada jaringan, penurunan terjadi pada tahanan. TIK terganggu -> perfusi ke otak
tergantung ke TIK yang tidak begitu tinggi. Peningkatan TIK dapat menurunkan
perfusi ke otak. Perfusi ke otak juga bergantung pada tekanan darah (MAP) -> kalau
pada pasien dengan peningkatan TIK -> turunkan tensi sampai normal tapi jangan
sampai hipotensi -> akan jelek outputnya -> bisa infark, makin parah peningkatan
TIK
 CPP = MAP – ICP
 3 komponen otak yang bisa meningkatkan TIK
o Jaringan otak -> jaringan otak bisa membengkak
o Darah dan pembuluh darah -> vasogenik
o Ventrikel dan cairan serebrospinalis -> LCS terkait hidrosefalus
 Kalau ada peningkatan di salah satu dari tiga komponen -> akan dikompensasi
komponen lainnya di batas tertentu.
 Autoregulasi -> pada lebar pembuluh darah otak, di mana kalau ada aliran darah yang
lebih banyak -> PD otak konstriksi, kalau aliran darah sedikit -> PD otak dilatasi.
Terkait tekanan perfusi otak -> PD otak konstriksi agar perfusi sampai ke ujung
jaringan. Autoregulasi terjadi sampai batas tertentu, kalau terjadi
peningkatan/penurunan TIK berlebih -> autoregulasi terlampaui
 Proses yang menyebabkan peningkatan TIK disebut sebagai edema serebri (edema
otak), tergantung berbagai etiologi -> ada tipe-tipe edema otak -> penting untuk
menentukan tatalaksana yang sesuai
 Etiologi peningkatan TIK

o
o Kronis -> peningkatan perlahan, pada bayi yang ubun-ubun masih terbuka ->
tidak terdeteksi sampai tahap lanjut
 Edema serebri
o Vasogenik -> cairan lari dari PD ke parenkim otak, biasanya terjadi pada
peningkatan permeabilitas sel endotel kapiler. Biasanya ditemukan pada
pasien dengan tumor/abses karena banyak neurovaskularisasi dengan
permeabilitas yang terganggu. Kalau PD itu sendiri biasanya sedikit -> hanya
di fase awal saja -> infeksi SSP/trauma kapitis. Klasiknya pada
neurovaskularisasi tumor/abses. Obatnya itu kortikosteroid -> biasanya pada
abses/SOL.
o Sitotoksik/seluler -> lihat dari sisi selnya, transpor cairan antar kompartemen
itu tergantung keseimbangan ion dan energi -> gangguan ion/energi akibat
hipoksia/hipoglikemia -> transpor terganggu -> pembengkakan sel. Bisa juga
sekunder akibat edema vasogenik dna interstisial tingkat lanjut. Kalau primer
itu akibat asfiksia/hipoksia, gangguan energi berupa hipoglikemia/syok.
Biasanya diberi osmoterapi.
o Interstisial -> perpindahan cairan langsung dari kompartemen cairan/tempat
pengumpulan cairan ke interstisial parenkim. Cairan di otak itu banyak di
ventrikel otak. Cairan bisa berpindah dari ventrikel ke parenkim (di whita
matter periventrikular) kalau ada TIK meningkat di ventrikel (cairan
merembes ke parenkim). Dinding parenkim -> ependimal, kalau ada
peningkatan TIK -> cairan lari keluar langsung dari ventrikel biasanya pada
hidrosefalus. Terapi definitifnya adalah operasi peralihan cairan ke peritoneal
(ventrikuloperitoneal shunt -> dipasang selang dari ventrikel ke peritoneal),
bantu dengan terapi farmakologis yang menekan produksi LCS ->

acetazolamide
o Hidrosefalus -> peningkatan TIK akibat kelebihan cairan.
 Diagnosis Peningkatan TIK
o Pemeriksaan fisik
 Klinis awal, klinis akhir
o Pemeriksaan penunjang
 Salah satu tujuannya juga untuk mencari etiologinya
 Gejala
o Nyeri kepala dan gangguan kesadaran -> cari etiologi
o Lebih lanjut akan menunjukkan gejala yang lebih parah -> disfungsi puil,
disfungsi saraf kranial, kejang, ubun-ubun menonjol, postur deserebrasi,
dekortikasi, trias Cushing
o
o Manifestasi klinis peningkatan TIK akut
 Langsung berat kondisinya
 Nyeri kepala hebat dan muntah, koma, hipertensu dengan
bradikardi/takikardi, gejala herniasi (peningkatan TIK parah ->
mengancam nyawa)
o TIK kronis

o
o Gejala tumor otak pada anak -> gangguan pada supratemporial dan
infratemporial (kena cerebellum) -> gangguan keseimbangan
o Pada awal peningkatan TIK, papiledema belum terlihat. Kalau ada gejala
defisit neurologis -> bisa ditemukan papiledema.
o Paresis N. III juga bisa terjadi
o Herniasi -> pergeseran jaringan otak ke tempat yang tidak semestisnya ->
menunjukkan peningkatan TIK yang sudah berat. Tergantung lokasi
penekanannya, paling bahaya kalau sudah mengenai batang otak (pusat
pernapasan, kesadaran, dll)
o Pupil, pola napas -> tanda herniasi serebri
o Dekortikasi -> cenderung fleksi
o Perubahan pola napas pada lesi otak -> bisa menunjukkan peningkatan TIK
dan bagian otak mana yang terlibat. Kalau ada perubahan pola napas,
kesadaran juga terganggu -> DD dengan gangguan primer. Cheyne stokes,
hiperventilasi neurogenik, apneustik, cluster breathing, ataxic breathing
 Pemeriksaan Penunjang
o CT scan tanpa kontras, MRI kepala, USG transkranial (pada pasien yang
masih terbuka ubun-ubunnya). Pada pasien hidrosefalus -> masih bisa
membuka ubun-ubun di atas usia semestinya (biasanya 19-20 bulan sudah
menutup).
o MRI kepala tidak bisa cepat karena keterbatasan alat. MRI bisa menunjukkan
gambaran otak yang lebih detil -> bisa terdeteksi lebih banyak kelainannya,
inflamasi lebih jelas di MRI daripada CT scan. CT scan unggul kalau ada
perdarahan/kalsifikasi dan biasanya lebih cepat. CT scan radiasi lebih tinggi
dibanding MRI. Kalau ada trauma kepala/perdarahan IK -> CT scan. Kalau
tumor -> MRI, tapi biasanya CT scan dulu untuk melihat hidrosefalus.
o Pada CT -> sulci menghilang dan ventrikel menyempit. DI gambar kanan ->
garis tengah bergeser -> tanda herniasi

o
 Pemeriksaan TIK
o Pemeriksaan langsung -> intraventrikuler/intraparenkimMenggunakan alat
pengukur
o Gold standard -> pasang selang (ekstraventrikuler), kelemahannya invasif dan
menjadi sumber infeksi.
o Pemeriksaan tak langsung pakai pungsi lumbal (disambung ke pengukuran
tekanan, hanya sesaat pemeriksaanya), funduskopi -> papil edema, CT scan,
CPP = MAP – ICP
o Kadang pakai pungsi lumbal pada peningkatan TIK -> pada kondisi infeksi
SSP (bisa menyebabkan peningkatan TIK). Penting karena harus tahu jenis
infeksi SSP, bisa mengisolasi mikroba dan melakukan uji sensitivitas
antibiotik.
 Lihat gejala herniasi, pupil anisokor, ubun-ubun menonjol, dekortikasi
-> CT scan -> tak ada tumor/hidrosefalus -> lakukan pungsi lumbal.
Kalau ada tumor/hidrosefalus -> tunda sampai diatasi peningkatan
TIK. Kalau hidrosefalus -> jangan di pungsi lumbal, minta cairan
lewat shunt saja. Jadi harus dipastikan dulu apakah pungsi lumbal
dapat dilakukan.
 Tatalaksana Peningkatan TIK
o ABC dan stabilisasi -> menjamin sirkulasi -> sirkulasi otak harus dijaga
karena perfusi terganggu
o Peningkatan TIK -> lakukan pencitraan -> untuk melihat apakah ada kondisi
yang dapat ditatalaksana dengan pembedahan, kalau ada maka lakukakn dulu
karena itu primarynya
 Kalau ada peningkatan TIK -> posisi kepala (jangan noleh, dielevasi 0-
30 derajat), cegah hipertermia, cegah hipoksia, pelihara sirkulasi,
cegah hipotermia (suhu -> meningkatkan metabolisme -> menambah
beban metabolisme otak), cegah nyeri (sedasi dengan baik),
identifikasi dan tatalaksana kejang (pada peningkatan TIK sering
kejang).
 Konfirmasi peningkatan TIK -> lakukan pencitraan otak, kalau ada
kelainan yang dapat diintervensi dengan bedah -> kerjakan dulu
(hidrosefalus/perdarahan), konsul dengan bedah saraf (biasanya tidak
bisa langsung, jadi kalau hidrosefalus beri acetazolamide dulu, kalau
tumor beri kortikosteroid) -> masih jelek TIKnya -> edema sitotoksik
sekunder -> osmoterapi. Kalau tidak ada lesi bedah masih ada edema -
> beri osmoterapi langsung.
 Kalau tidak ada kelainan bedah/sudah diatasi -> masih ada peningkatan
TIK -> beri osmoterapi dengan salin hipertonik/manitol (pengobatan
yang bertuju untuk edema tipe sitotoksik) -> bisa edema akibat
sitotoksik primer/komplikasi sitotoksik -> masih tinggi TIK -> lakukan
dekompresi (jarang dilakukan karena sudah tahap lanjut kondisi
pasien).
 CT scan

o
o Ventrikel melebar, ujung-ujungnya tumpul -> edema interstisial -> pasang
shunt atau beri acetazolamide (untuk sementara)

o
o Kondisi normal -> sulcus gyrus masih terlihat

o
o Ada massa, dinding tebal -> kemungkinan ada abses. Penebalan -> PD
melebar -> edema vasogenik -> responsif terhadap kortikosteroid. Edema
perifokal, gambaran sulci menghilang dan ventrikel menyempit di 1 hemisfer
o
o Ada infark -> edema sitotoksik primer -> beri osmoterapi (saline
hipertonik/manitol)
 Osmoterapi
o Manitol 20%


 Diberi sedikit-sedikit, paling lama 8 jam
 Menarik cairan dari parenkim ke pembuluh darah
o NaCl hipertonik
 Bisa memperbaiki tekanan darah
 Kelemahannya -> sebaiknya diberi vena besar/sentral, kadang kita
tidak punya akses
 Tatalaksana TIK

o
 Tatalaksana TIK pada tumor otak/Sol
o Kortikosteroid, biasanya digunakan dexamethasone 0,25 = 0,5 mg/kg 4 kali
perhari, max 16 mg/hari
o Bisa beri kortikosteroid kalau ada curiga edema sekunder
 Drainase LCS
o Pada hidrosefalus, atau untuk memonitor TIK
Kejang, Status Epileptikus, Epilepsi, Epilepsi Rujuk Balik
 Kejang/seizure/konvulsi/non-konvulsi -> suatu tanda/gejala yang bersifat sesaat, bisa
hanya motorik bisa hanya perubahan perilaku. Terjadi sesaat karena aktivitas listrik
otak yang abnormal.
 Kompetensi SKDI untuk kejang dan status epileptikus -> emergensi (3b), dan epilepsi
-> tatalaksana awal non emergensi (3a)
 Di tubuh ada mekanisme eksitasi dan inhibisi. Kalau ada action potential datang di pre
sinaps -> merangsang masuknya kalsium (2) di channel kalsium -> merangsang
vesikel (berisi neurotransmitter inhibisi/eksitasi) merilis neurotransmitter ->
neurotransmitter dirilis di celah sinaps -> berikatan dengan reseptor yang sesuai
(kunci-gembok)
o Eksitasi -> aksi potensial
o Inhibisi -> menghambat
 Kejang -> yang menghinhibisi adalah GABA dan yang mengeksitasi adalah glutamat.
Neurotransmitter berikatan dengan reseptor GABA dan glutamat.
 Saat kejang yang mengeksitasi dikeluarkan lebih banyak sehingga neuron inhibisi
tidak bisa meng-counter -> timbul cetusan listrik abnormal. Kalau otak direkam ->
tampak gambaran gelombang yang tinggi-tinggi.
 Saat kejang:
o Terjadi abnormal listrik otak
o Eksitasi > inhibisi
 Kelainannya di saraf pusat
 Tetanus bukan kejang karena bukan bermasalah di saraf pusat
o Provoke seizure (kondisi abnormal akut yang mendasari -> acute symptomatic
seizure) dan unprovoked seizure (tidak ada kondisi abnormal akut yang
mendasari -> epilepsi)
o Jadi orang kejang bukan selalu epilepsi, dan epilepsi tidak selalu kaku
kelojotan.
 Diagnosis banding kejang
o Saat bertemu pasien kejang -> cari penyebab/DD
o V (vaskuler) -> perdarahan otak, penyumbatan, gangguan bentuk pembuluh
darah otak (arteriovena malformation -> arteri bersambung dengan vena tanpa
perantara kapiler -> dinding tipis), perdarahan subarachnoid
o Infeksi -> mengitis, meningioensfalitis, abses serebri
o Trauma
o Auto imun -> SLE, vaskulitis
o Metabolik -> cuci darah -> uremia, bisa akibat hipoglikemia
o Idiopatik (unprovoke), iatrogenik (obat-obatan)
o Neoplasma
o Structural
 Pasien dibawa dengan kelemahan sebelah badan, sakit kepala, muntah, stroke -> kena
di daerah korteks yang iritatif-> kejang, bukan epilepsi karena ada kondisi akut yang
mendasari
 Apapun penyebab kejang harus dihentikan
 Manajemen Utama Kejang
o ABC (fungsi vital) -> mulut berbuih, pasien kejang saat makan,
o Hentikan kejang -> dengan obat antikejang
o Cari penyebab dan pencetus -> berpikir cepat DD-nya apa
o Cegah kelainan sistemik -> cegah kejang berkepanjangan
 Manajemen Kejang
o Harus tetap tenang (pemeriksa)
o Yakinkan apa yang kita lakukan tidak menyebabkan cedera pada pasien, kalau
pasien aspirasi -> lateral decubitus. Kalau kejang dekat pot bunga ->
singkirkan pot bunga
o Beri oksigen -> saat pasien kejang, saluran napas tertutup akibat hipersalivasi,
terutama pada penderita tua/riwayat penyakit jantung
o Perhatikan dan tunggu 3 menit (60-70% kejang akan berhenti dalam 3 menit)
 Selagi menunggu, lakukan
 Periksa gula darah sewaktu -> ada hipoglikemi/hiperglikemi
 Pasang IV line kalau ada, tapi biasanya susah kalau klinisi
sendiri
o Periksa laboratorium
o Kalau ada hipoglikemia -> beri glukosa 40% 50cc.
o Kalau glukosa normal/setelah diberi glukosa diberi diazepam (antikejang lini
pertama di Indonesia) 5-10 mg (<20 kg 5 mg, >20 kg 10mg) iv selama 2-3
menit secara pelan untuk mencegah depresi napas. Bisa pakai midazolam
kalau ada aksesnya
o Kalau kejang menetap, diazepam dapat diulang dalam interval 5-10 menit
dengan tetap mengawasi depresi pernapasan. Luar negeri pakai lorazepam.
 Status Epileptikus
o Suatu kejang yang lama -> gagal dengan 2x diazepam. Lebih dari 30 menit.
Ada bangkitan/kejang secara terus-menerus
 Tatalaksana Status Epileptikus
o Kalau kejangnya tonik klonik/kelojotan -> 5 menit berlangsung dan gagal 2x
diazepam -> established status epileptikus, konsistensi sistemik muncul 30
menit
o Kalau kejang bentuknya fokal (sebelah badan) -> dipanggil tak respon ->
punya waktu lebih lama (10 menit) untuk menentukan itu status epileptikus,
konsistensi sistemik akan muncul >60 menit.
o Kejang bengong -> tegakkan diagnosis epilepsi 15 menit
o Kalau kejang masih tak berhenti -> lini kedua -> fenitoin 15-20 mg/kgBB iv
lambat/cepat per infus, tak boleh melebihi 50 mg/menit karena bisa aritmia
cordis, memanjangnya interval QT, hipotensi. Pasien BB 50 kg -> maksimal
1000 mg fenitoin, harus habis selama 20 menit (order 30 menit ke perawat).
Isi fenitoin itu 100 mg -> butuh 10 ampul fenitoin kalau 1000 mg butuhnya.
o 80% pasien status epileptikus akan berhenti kejangnya dengan diazepam dan
fenitoin. Kalau masih berlangsung -> diberi obat dengan setengah dosis ->
masih kejang -> kirim ke ICU (status epileptikus refracter) -> diberi obat agen
anastesi -> kalau gagal dengan diazepam, fenitoin dan agen anastesi -> status
epileptikus super refracter. Dokter umum -> kompetensi diazepam dan
fenitoin. Penderita akan mendapat barbiturat/benzodiaczepane/barbitural dan
sudah harus dilakukan intubasi (5-10 mg/kgBB).
o Status epileptikus harus dihentikan karena bisa hipoksia, hipotensi, kematian,
gagal jantung, asidosis, edema otak
o Dilakukan manajemen lanjutan untuk DD
 Komplikasi Lanjutan
o Kognitif berisiko terganggu, minder secara sosial, perubahan perilaku
 Terapi Status Epileptikus Konvulsi
o Di rumah biasanya diberi diazepam perektal -> di UGD punya kesempatan 1x
pemberian diazepam lagi.
o Selain fenitoin -> fenobarbital. Asam valproate iv dan levitiracetam iv juga
ada digunakan di luar negeri (di Indonesia masih tablet).
o Fenitoin dan alternatif lainnya gagal -> masuk ICU (status epileptikus
refracter/super refracter)
 Prognosis
o STESS (Status Epileptikus Severity Score)
 Epilepsi
o Ada 50 juta penduduk dunia menderita epilepsi
o Secara konseptual -> kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan
untuk menimbulkan bangkitan (kejang) epileptik yang terus-menerus
(berulang), dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial.
o Epilepsi adalah diagnosa klinis
o Secara sederhana/operatif, epilepsi -> suatu penyakit otak yang ditandai
dengan kondisi/gejala berikut:
 Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi (bukan karena stroke,
hiperglikemi, trauma) atau 2 bangkitan refleks dengan jarak waktu
antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam
 1 bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinnya bangkitan berulang dalam 10 tahun ke depan
sama dengan minimal 60%
 Bangkitan pertama terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke ->
epilepsi pasca stroke
 Bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi struktural ->
tumor
 Epileptiform discharges
 Sudah ditegakkan diagnosis sindrome epilepsi
o Bangkitan refleks -> kejang refleks -> kejang yang muncul akibat faktor
pencetus spesifik seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif,
somatomotor yang harusnya tidak menimbulkan kejang.
 Misalnya ada pasien yang kejang akibat mandi air dingin/mendengar
musik keras/dikejutkan. Epilepsi -> aliran listrik abnormal di otak ->
sesuatu hal bisa precipitate kejang. Tapi mandi air dingin/mendengar
musik keras/dikejutkan bukan penyebab kejangnya.
 Pembagian Epilepsi
o Klasifikasi berdasarkan bentukan kejangnya
o ILAE 2017 -> yang dipakai sekarang, klasifikasi kejang dari tipe bangkitan
 Epilepsi fokal -> pasien tahu kalau dia mau ada serangan
 Aware -> selama serangan masih sadar
 Impaired awareness -> gangguan kesadaran, tidak berespons ->
bengong
 Epilepsi umum -> pasien tidak tahu kalau dia mau ada serangan, pasti
ada gangguan kesadaran
 Epilepsi tidak diketahui (fokal/umum)
o ILAE 1981
 Partial (focal di 2017)
 Simple partial -> partial aware, pasien masih sadar/tahu kalau
pasien ingin kejang/saat kejang
 Complex partial -> focal with impaired awareness -> pasien
déjà vu dan mengecap-ngecap
 Secondarily generalized -> impaired awareness (focal to
bilateral tonic-clonic)
 Generalized
 Absence (petit mal) -> tiba-tiba bengong
 Myoclonic -> memegang sesuatu dan menyentakkan badan
 Atonic -> tiba-tiba jatuh
 Tonic -> kaku
 Tonic-clonic -> kaku dan kelojotan
 Perlu aulo dan autoanamnesa (mengetahui dia kejang/tidak
karena dia tidak sadar kalau dia kejang)
o Focal seizure -> manifestasi klinis tergantung daerah yang mengalami
gangguan
 Temporal -> pasien tidak nyaman di ulu hati
 Oksipital -> pasien merasa tiba-tiba gelap pandangannya -> kadang
salah diagnosis TIA
 Daerah focal -> timbul di satu tempat di otak -> menyebar. Makanya
sempat sadar kalau ingin ada serangan. Kalau menyebar di 1 hemisfer -
> timbul gangguan kesadaran. Kalau menyebar ke keseluruhan ->
pasien tidak bisa sadar kalau ada sarangan
o Psychogenic Non-Epileptic Seizure -> kejang bohongan, mirip epileptic
seizure, kadang bentuk aneh, ada cetusan emosi, jarang melukai diri, jarang
terjadi pada waktu tidur, jarang terjadi saat pasien sendiri
 Bedanya dengan epileptic seizure -> orang epilepsi itu ada fokus
epilepsi di satu tempat (abnormal aliran listrik otaknya) maka
gejalanya akan sama tiap bulan/tiap kejang -> epilepsi itu bangkitan
sesaat dan stereotipik/khas. Kalau Psychogenic -> berbeda-beda
bentukan kejangnya dan tidak khas.
 Etiologi Epilepsi
o Idiopatik -> tidak diketahui penyebabnya
o Simptomatik -> ada penyebab, ada kelainan di otak -> pernah stroke, pernah
kecelakaan satu tahun yang lalu, ada jejas di otak (infeksi SSP), tumor otak
o Kriptogenik -> dianggap simptomatik tapi tidak diketahui kelainannya dimana
 Diagnosis
o Baca sendiri
 Pengobatan Epilepsi
o Harus tepat obat, dosis dan waktu pemberiannya berdasarkan tipe bangkitan
o Hati-hati efek samping obat
o Ada klasifikasi obat berdasarkan usia dan bangkitannya.
o Absence pada anak -> asam valproate level A
o Tonic-clonic pada dewasa -> tidak ada level A dan B, langsung C
o Level A -> secara trial bermanfaat, level B -> penelitiannya tidak randomized,
level C -> case control, level D -> nilai evidence terendah (opini expert)
o Ada obat yang cut sinyal neurotransmitter di Na channel, di vesicle, di
reseptor GABA, di reseptor glutamat -> tergantung jenis epilepsi. Diharapkan
ada 1 macam obat -> monoterapi, langsung cut semuanya -> tapi tidak ada jadi
terapinya banyak obat
 Efek Samping Obat
o Absans dan myoclonic -> Jangan berikan fenitoin dan carbamazepine karena
memperburuk serangan
o Myoclonic dan absence -> pilihan pertama adalah asam valproate
o Asam valproate tidak direkomendasikan ke wanita usia produktif -> PCOS
(polikisstik), teratogenik, trombositopenia, sindroma metabolik (dislipidemia,
hipeglikemia, DM)
 SKDI
o Kejang dan status epileptikus 3B (tatalaksana awal kasus emergensi)
o Epilepsi 3A (tatalaksana awal kasus non emergensi)
o Lalu rujuk ke spesialis saraf
 Kapan Merujuk Pasien Epilepsi ke SpS
o Diagnosa awal ditegakkan (3a) -> rujuk ke spesialis untuk mengkonfirmasi
diagnosis -> cari etiologi, dokter spesialis memberi obat sesuai tipe epilepsi
dan dipantau selama 3 bulan aman, kalau stabil -> kembalikan lagi ke dokter
umum dalam program rujuk balik. Dokter umum akan mengobati kembali
kecuali:
 Jika ada kejang
 Jika ada kondisi khusus
o Sampai 3 tahun tidak ada serangan epilepsi -> turunkan perlahan dosis obat
(25%) -> konfirmasi listrik otak pakai EEG -> harus dirujuk ke dokter
spesialis
o Kalau kejang kambuh di bulan ke-12 -> obati -> mulai dari 0 lagi hitungan
terapinya
o Cek juga apakah ada efek samping obat (oleh dokter spesialis) -> fungsi hati,
fungsi ginjal (topiramate)
 Program Rujuk Balik (PRB)
o Epilepsi termasuk 9 jenis penyakit kronis yang termasuk program rujuk balik
 Dengan EEG hanya 60% pasien bisa terkonfirmasi epilepsi, karena EEG hanya 30
menit, bisa saja terjadi kejang di luar 30 menit itu.
 Epilepsi bisa diobati -> cari evolution of epilepsy.

HIV/AIDS tanpa Komplikasi, AIDS dengan Komplikasi


1. HIV-AIDS tanpa Komplikasi
 HIV -> human immunodeficiency virus –> virusnya
 AIDS -> acquired immunodeficiency syndrome -> sindromnya, dikatakan AIDS
kalau sudah muncul manifestasi (stadium lanjut). Tahap awal infeksi HIV mungkin
saja pasien tidak akan bermanifestasi
 Kasus HIV di Indonesia tersebar paling tinggi di DKI Jakarta, disusul Jawa Barat,
Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Papua.
 HIV berbentuk bulat dengan kapsul dan ada spike-nya, teridentifikasi tahun 1984,
teridentifikasi sebagai retrovirus dan mengandung RNA yang berenzim reverse
transcriptase yang mengtranslate RNA virus ke DNA sel host. Saat virus menginfeksi
host -> enzim mentranslate RNA virus ke DNA host.
 Target awal HIV adalah sel CD-4 -> berbagai proses -> masuk ke inti sel host ->
RNA virus dikodekan ke dalam DNA host oleh enzim -> virus bereplikasi -> fungsi
sel host diambil alih virus -> menjadi virus aktif -> lepas -> menginfeksi sel lainnya
 Pada grafik, yang merah menunjukkan jumlah CD-4, yang hijau menunjukkan jumlah
viral load (virulensi virus). Target pengobatan HIV adalah menekan serendah
mungkin viral load, semakin rendah viral load maka aktifitas virus semakin rendah
 Dari awal infeksi -> gejala -> hitungan tahun. Rata-rata 10-15 tahun bermanifestasi.
Belakangan ini bisa 5-10 tahun sudah bermanifestasi.
o Saat awal terinfeksi disebut primary HIV infection (fase pertama tertular via
seksual/parenteral), di fase ini viral load sangat melonjak, namun karena CD-4
host masih bagus. CD-4 masih bisa menekan viral load hingga batas yang
tidak terdeteksi.
o Jumlah CD-4 awalnya tinggi, lalu fluktuatif (menurun -> meningkat), saat
meningkat lagi, CD-4 tidak menyampai base linenya. Viral load >1.000, lama-
lama menurun dan tidak bisa melawan virusnya.
o Antibodi baru terprodukasi rata-rata 25 hari, jadi kalau test di bawah 25 hari
itu biasanya hasil test negatif (negatif palsu). Ada beberapa test HIV yang bisa
digunakan. Saat pemeriksaan -> antibodi HIV belum terbentuk (negatif palsu)
 Infeksi pertama -> kondisi stabil -> CD-4 masih bisa melawan viral load -> hitungan
tahun (dormant period) -> tidak terdeteksi. Awalnya terasa myalgia, demam, flu.
Gejala baru muncul saat terjadi penurunan CD-4. CD-4 menurun akibat proses
infeksi/inflamasi. Saat CD-4 naik lagi juga tidak akan mencapai kadar sebelumnya ->
lama-lama masuk stadium lanjut.
 Stadium lanjut -> muncul gejala keganasan/kanker. Pasien HIV meninggal sebagian
besar karena penyakit yang menyerangnya bukan karena HIV-nya. Jadi pasien HIV
juga punya risiko keganasan selain risiko infeksi.
 Test Diagnosis HIV
o Tes serologi
 Tes cepat (rapid)
 Tes enzim immunoassay
 Mendeteksi antibodi saja atau antigen dan antibodi. Antibodi
disarankan >25 hari karena baru terbentyk antibodi.
o Tes virologis (PCR)
 Mendeteksi RNA HIV
 Lebih sensitif
 DNA HIV untuk diagnosis HIV bayi
 Algoritma HIV
o Positif -> kalau 3 kali pemeriksaan hasil positif.
o Pada pemeriksaan reagen pertama hasilnya non reaktif -> laporkan sebagai
negatif.
o Kalau Test 1 reaktif -> reagen 2 -> reaktif -> reagen 3 -> reaktif -> positif.
Kalau reagen 2/3 negatif -> ulangi tes lagi -> kalau salah satunya non reaktif -
> laporkan kasus inkonklusif (status HIV tidak bisa ditentukan positif/negatif).
o Pasien dengan risiko tapi hasilnya negatif/inkonklusif -> lakukan pemeriksaan
ulang paling cepat 4 minggu atau 3 bulan.
 Kapan Mulai Terapi ARV
o Target pertama -> ODHA dengan infeksi oportunistik
 Kalau infeksi oportunistik harus lihat infeksi apa yang menyerang,
kalau infeksi jamur/Tb maka ARV tidak bisa langsung diberikan ->
ditunda hingga 4-8 minggu -> mencegah sindrom pulih imun (reaksi
sindrom inflamasi yang terjadi pada pasien HIV dengan infeksi
oportunistik -> inflamasi meningkat pada pasien yang sebelumnya
tidak bergejala karena imun pulih akibat pemberian ARV -> imun
diperkuat tapi antigen belum sembuh). Cegah pulih imun -> terdeteksi
HIV di RS berbarengan dengan infeksi lainnya -> terapi infeksinya
baru beri ARV
 Kalau infeksi oportunistiknya CMV, toxoplasmosis -> bisa beri terapi
ARV 2 minggu setelah terapi.
o ODHA tanpa infeksi oporutnistik
 Segera beri ARV jika pasien siap
o Pedoman baru -> semua ODHA sudah dapat dimulai pemberian ARV tapi
pasien harus siap.
o Pedoman lama


 ARV tidak bisa mengeradikasi HIV
o Viral load turun di level yang tidak terdeteksi -> ARV berfungsi menekan
viral load, sehingga walau virus ada tapi tidak terdeteksi -> kalau viral load
tidak terdeteksi -> aktifitas virus lemah
o ARV tidak bisa selalu menekan viral load karena CD-4 semakin turun, saat
CD-4 sangat rendah -> ARV tidak bisa menekan viral load -> virus tidak
tereradikasi -> HIV tidak bisa sembuh dengan ARV
 Kegagalan Terapi
o Dinilai minimal sudah 6 bulan terapi ARV dengan kepatuhan yang baik
 Gagal klinis -> muncul infeksi oportunistik berulang/baru
 Gagal imunologis -> dewasa -> CD4 di bawah 250 dengan kegagalan
klinis atau CD4 persisten di bawah 100. Anak <5 tahun -> CD
persisten di bawah 200 atau <10 %
 Gagal virologis -> viral load di atas 1000 kopi/ml dengan 2x
pemeriksaan viral load dengan jarak 3-6 bulan
o Kalau saat dicek ketiganya gagal -> cek kepatuhan terapi ARV -> ARV patuh
-> pertimbangkan obat ARV ke lini ke-2
 Pemantauan setelah Pemberian ARV
o Rekomendasi -> pemeriksaan viral load rutin di bulan ke-6 dan ke-12 setelah
memulai ARV dan berikutnya setiap 12 bulan
o Gagal virologis jelas -> evaluasi -> kalau masih jelek -> ulangi viral load ->
viral load <1000 kopi -> pertahankan ARV lini pertama, kalau viral load
masih tinggi -> pindah ke ARV lini kedua.
2. HIV-AIDS dengan Komplikasi
 Kalau di fase awal -> primary HIV infection -> flu-like syndrome, demam, myalgia -
> stadium meningkat -> stadium akhir -> AIDS
 Asimptomatik hitungan tahun
o Saat infeksi -> viral load meningkat, bisa ditekan oleh CD-4 yang masih baik -
> CD-4 lama-lama turun -> tidak bisa menekan viral load -> saat CD-4 turun
dan viral load meningkat -> muncul manifestasi klinis HIV-AIDS.
o Pertama-tama di stadum berat akan muncul gejala konstitusional -> demam
terus-menerus berbulan-bulan, diare berulang, batuk terus-terusan)
o Lalu muncul infeksi oportunistik -> Herpes, TBC, sarkoma -> meninggal
 Infeksi oportunistik -> infeksi yang timbul/bermanifestasi saat status imun seseorang
turun. Misalnya pada pasien TBC -> saat dites, antibodi terhadap Tb positif, tapi
apakah kalau kita fototoraks/batuk tidak terkena Tb -> imun kita baik. Bisa
muncul/bermanifestasi kalau imun turun. Toxoplasmosis -> orang dengan
imunokompeten tidak akan ada manifestasi karena dormant -> CD-4
turun/immunocompromised -> toxoplasmosis bermanifestasi.
o Infeksinya tergantung jumlah CD-4, makin rendah CD-4 akan makin berat
gejalanya.
o Infeksi primer -> demam, myalgia, arthralgia, meningoencephalitis
o Early (CD4 > 500) -> GBS, CDN
o Intermediate (CD4 200-500) -> Tb, herpes zoster
o Advanced (CD4 <200) -> keganasan, infeksi intrakranial oportunistik,
toxoplasmosis
o Infeksi tertentu muncul saat CD4 sangat rendah -> cytomegalovirus muncul
saat CD4 50.
o Pada HIV-AIDS tidak hanya menyerang otak, tapi juga spinal cord (saraf tepi
dan otot)

 Cerebrovascular disorders -> endocarditis nonbacterial, vasculitis ->
lesi di otak -> manifestasi cerebrovascular disorders
 Spinal cord -> myelopathy dan myelitis akibat herpes simplex/zoster
 Meningitis -> terbanyak bisa cryptococcal, Tb dan sifilis
 Saraf tepi -> distal sensory polyneuropathy (yang distal terkena
dampak)
 Toxoplasmosis Serebral
o Ciri khas -> ada gambaran massa seperti tumor dengan pericoccal edema yang
luas

o
o Penyebab -> Toxoplasma gondii
o Gejala mirip dengan infeksi otak lainnya -> penurunan kesadaran, demam,
nyeri kepala, kejang, hemiparese, dll
o Diagnosis pasti -> harus biopsi otak. Tapi jarang didapatkan biopsi otak di
toksoplasmosis karena dia di bangsal ganglia dan subkorteks jadi susah
diambil sampelnya.
o Diagnosis presumptif -> defisit neurologi progresif, radiologis tampak massa
menyangat kontras, pasien respon dengan pengobatan 2 minggu -> 3 kriteria
terpenuhi tanpa biopsi -> diagnosis bisa ditegakkan
o Terapi -> lini pertama pirimetamine dan sulfadiazine (ditambahkan
clindamisin). Dulu pakai suldox (pirimetamine dan sulfametoksazole),
sekarang kombinasi clindamisin dan cotrimoxazole.
o Pengobatan fase akut -> 3-6 minggu


 Setelah 6 minggu lihat CD4 -> kalau <200 -> beri dosis setengahnya
 Dapat ditambahkan asam folinat untuk mecengah anemia akibat
pirimetamin
 Meningitis Kriptokokus
o Infeksi meningens akibat jamur Cryptococcus neoformans, ada 26 spesies
yang bisa menginfeksi manusia.
o Gejala -> penurunan kesadaran, kejang, nyeri kepala, dll
o Diagnosis pasti
 Pemeriksaan LCS -> tinta india
 Kultur LCS
 Deteksi antigen kriptokokal dari LCS
o CT scan/MRI tidak spesifik
o Terapi
 First line -> kombinasi ampoterisin-B dan flukonzol. Ampoterisin-B
diberikan 2 minggu pertama
 Minggu 3-10 cukup dengan flukonazol saja.
 Ampoterisin-B di Indonesia hanya ada preparat dengan toksisitas
tinggi -> pasien terkena efek toksik
 Jika tidak terdapat ampoterisin-B bisa pakai flukonazol saja dengan
dosis lebih tinggi salam 10-12 minggu
 Fase rumatan -> flukonazol 200 mg.hr hingga CD4 >200
 PML
o Demyelinasi SSP akibat infeksi virus sebelumnya -> JC virus menyerang
oligodendrosit dan astrosit
o Lesi asimetris di daerah white matter
o Di MRI flare akan muncul gambaran hiperintens

o Terapi dengan cidoclovir
 Encephalitis CMV
o Akibat cytomgealovirus
o Selain otak, bisa menyerang retina dan gastrointestinal
o Ada yang encephalitis dan poliradikulomyelitis
o Diagnosis khas -> penyengatan periventrikuler pada imaging
o Terapi -> Ganciclovir
 Meningits TB
o Akibat Mycobacterium tuberculosis
o Pada pasien non-HIV juga banyak kasusnya, biasanya pada gizi
buruk/DM/pasien kanker
o Diagnosis
 LCS test lini pertamanya-> pleositosis limfositik (peningkatan leukosit
-> limfosit/mononuklear, glukosa rendah, protein meningkat
 Imaging -> penyangatan di meningen, tuberkuloma, hidrosefalus
o Manifestasi -> ciri khasnya parese nn. Craniales, sisanya sama
o Terapi -> OAT
 PCNSL
o Limfoma non-Hodgkins yang menyerang SSP
o Diasosiasikan dengan infeksi virus Epstein-Barr sebelumnya -> mencetuskan
PCNSL pasa pasien HIV-AIDS
o Diagnosis dengan biopsi
o Kriteria diagnosa presumptif tokso -> 2 minggu terapi respons. Kalau tidak
respons -> perlu dipertimbangkan DD pertama yaitu PCNSL
o Terapi -> WBRT (radiasi) + kortikosteroid, methotrexate (kemoterapi) dan
diteruskan WBRT atau kombinasi obat kemo intravena dengan methotrexate
intratechal (dimasukkan ke LCS)
 Komplikasi pada Saraf Tepi
o Distal symmetric polyneuropathy
 Neuropathy perifer -> lower motor neuron -> hiporefleks, tonus
menurun
 Utamanya terlibat daerah distal -> kaki/tangan
 DD -> polyneuropathy pada DM
o Acute/Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy
 Gejala ascending disertai keterlibatan nn. Craniales
 Refleks menurun
o Progressive Polyradiculopathy
 Khasnya di cauda equina -> bokong
 Gangguan spinchter ani/uri -> BAB/BAK terganggu
 Tidak ada gangguan nn. Craniales dan kaki/tangan
o Mononeuritis
 Hanya 1 saraf yang terkena tapi di berbagai sisi
 Demensia HIV
o Gejala
 Gangguan kognitif -> konsentrasi dan atensi terganggu, mental
slowing, tidak bisa multitasking
 Gangguan behaviour -> apatis, withdrawal, iritabulitas, perubahan
perilaku
 Gangguan motorik -> ceroboh, suka terjatuh, lambat, tremor, gait
unsteadiness (gangguan berjalan)
o Stadium awal
 MMSE normal tapi respons lambat
 Refleks fisiologis meningkat, babinski +, snour respon bisa +
 Gerakan pursuit dan sakadik mata melambat
 Gerakan motorik halus lambat atau disritmia
 Slow walking. Kesulitan saat berputar
o Stadium lanjut


 Demensia HIV tidak hanya kognitif terganggu -> behaviour dan
motorik juga
o Stadium -> normal, mild, moderate, severe, end stage
o Diagnosis pakai kriteria probable dan possible
o Pemeriksaan kognitif
 MMSE
 Atensiv -> forward digit span
 Memori -> Rey Auditory Verbal Learning Test, Rey Osterich Complex
Figure (ROCF)
 Bahasa -> Animal naming (fluency), Token test
 Fungsi Eksekutif -> Trail Making A/B, ROCF
 Visuospasial -> ROCF, Block Design , Kecepatan Psikomotor
 Fingger tapping test
o Tatalaksana -> ARV, ada beberapa antiretroviral dengan penetrasi LCS baik -
> efavirenz (ESO gangguan kognitif -> harus hati-hati)
o Terapi adjunctive/neuroprotectan -> stimulan dan L-deprenyl, dll.

3. Rabies
4. Spondilitis TB
Tetanus, Meningitis, Ensefalitis, Malaria Serebral
1. Tetanus
 Muka menyeringai -> risus sardonicus. Mulut mengatup/tidak bisa membuka ->
trismus. Tangan dan kaki kaku -> kejang rangsang. Posisi melengkung (hiperlordotik)
-> epistotonus
 Etiologi -> bakteri basil gram positif -> Clostridium tetani, bentuk bakteri seperti
batang bersifat obligat dan anaerob. Tidak bisa bertahan di lingkungan yang ada
oksigennya. Bisa menginfeksi manusia karena menghasilkan spora yang survivalnya
tinggi -> bisa tahan panas (121o C, 10-15 menit) dan resisten terhadap fenol (alkohol)
dan antiseptik -> bisa bertahan di udara bebas, menempel di tanah, permukaan
berkarat -> ketika ada luka -> spora masuk.
 Portal of entry tetanus -> masa inkubasi 3-21 hari. Pasien tetanus luka 3 hari -> masih
bisa. Pasien tetanus 3 minggu juga masih bisa. Semua luka bisa jadi sumber infeksi
tetanus -> bisa dari luka bakar, tertusuk duri ikan, luka tembak, jarum suntik, body
piercing, pembedahan tidak steril, abses gigi, gigitan manusia, ulkus diabetikum,
fraktur basis cranii, otitis media supuratif kronik (robek membran timpani -> telinga
tengah anaerob -> clostridium tetani berkembang).
 Luka rentan tetanus -> luka dibersihkan <6 jam, kedalaman luka >1 cm, luka kotor
(terkontaminasi), tepi luka irreguler/avulsi/stelata (seperti bintang -> daerah anaerob),
luka di daerah denervasi/iskemik (telapak kaki), terinfeksi (purulent/jaringan
nekrotik). Kalau ada luka dengan tanda-tanda tersebut harus hati-hati infeksi tetanus.
 Clostridium tetani menghasilkan 2 toxin
o Tetanolysin -> hemolytic toxin, berpotensi terhadap proses infeksi.
o Tetanospasmin -> bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis -> blokade
neurotransmitter pada level presinaptik.
 Patofisiologi
o Spora masuk -> tetanospasmin masuk lewat sirkulasi limfe dan vaskuler ->
mencapai ujung saraf -> berikatan dengan gangliosid di neuromuscular
junction -> mengganggu pelepasan GABA dan glisin (yang berfungsi sebagai
neuron inhibitor) -> kalau terganggu maka inhibisi respon refleks motorik
gagal -> klinis tetanus -> rigiditas, instabilitas autonom kalau kena batang otak
bisa terjadi instabilitas otonom.
o Pada gerakan normal -> trisep kontraksi maka bicep relaksasi dan sebaliknya.
Proses tersebut dipengaruhi neurotransmitter. Untuk membuat satu otot
bekrontraksi harus ada impuls motorik yang dihantarkan (lewat saraf tapi ke
otot). Ada neuron exitator, pada kelompok otot antagonis agar bisa bergerak
simultan maka harus diblokade impuls motorik yang lewat -> peran GABA
dan glisin. Jadi saat trisep kontraksi, bicep relaksasi.
o Pada tetanus -> gangliosid ditempeli tetanospasmin -> tidak ada rilis GABA
dan glisin -> kelompok otot bisep akan berkontraksi saat trisep kontraksi ->
kejang rangsang/spasme. Jika hal tersebut terjadi sepanjang otot paravertebrae
-> hiperlordotik -> epistotonus. Kalau terjadi kelompok otot naseter -> sulit
membuka mulut -> trismus (otot rahang bawah spasme). Kalau terjadi di otot
wajah -> risus sardonicus. Bisa juga terjadi di kelompok otot abdomen ->
rigiditas abdomen/defans muscular (jadi tetanus sering disalah diagnosis
dengan kasus peritonitis). Obstruksi otot laring -> pasien seperti disfagia.
Gangguan saraf otonom -> gangguan pernapasan dan otot jantung.
 Batasan trismus -> tidak bisa membuka mulut lebih dari 3,5 cm.
 Kejang rangsang bedanya dengan kejang epilepsi -> kalau kejang
tetanus, level kelainannya di neuromuscular junction (otot) dan
sifatnya kejang rangsang, kalau tak ada stimulasi tak akan kejang.
Kalau epilepsi itu level kelainan di hipereksitasi di korteks otak dan
sifatnya unprovoked (tanpa provokasi, bukan kejang rangsang).
 4 Tipe Tetanus
o Lokalik -> di sisi luka. Bersama yang cephalic -> sering miss diagnosed
o Cephalic -> di wajah -> trismus dan risus sardonicus, akibat trauma kepala dan
otitis media
o Generalized
o Neonatal -> penyebab terbanyak adalah dari luka umbilicus. Bayi baru lahir di
daerah -> ada perawatan luka biasanya (ditempelkan ramuan herbal) di
umbilical, kalau tak bersih mengolah herbalnya -> terkontaminasi tanah yang
ada spora -> jalur masuk tetanus.
 Klasifikasi Tetanus
o Hanya menetukan prognosis, tidak menentukan tatalaksana. Tatalaksana sama.
o Ada kriteria 1-5
 Diagnosis
o Penegakkan utama dengan anamnesis dan gejala klinis
o Lab -> tidak terlalu efektif
o Spatula test -> sensitivitas 94% dan spesifisitas 100%
 Tongue spatel dimasukkan dan ditekan di lidah belakang -> akan ada
refleks menggigit. Harus pakai yang berbahan besi.
 Diagnosis banding
o Meningoencephalitis, polio, rabies, peritonitis, hipokalsemia tetani, keracunan
strychnine, sepsis, subarachnoid hemorrhagic
o Spasme otot paravertebrae-> otot leher terlibat -> sering dimiss-diagnosed
kaku kuduk.
o Rabies -> kejang rangsang
o Polio -> tetraplegi, pasien tak bisa bergerak
o Peritonitis -> defans muscular
o Hipokalsemia tetany -> tetany laten karena hipokalsemia yang berlangsung
lama -> spasme, biasanya pada perempuan. Dicetuskan kondisi hiperventilasi,
tangannya obstetric
 Tujuan Tatalaksana
 Eradikasi penyebab -> pakai antibiotik untuk Clostridium tetani ->
metronidazole dan penisilin G. Penisilin G sudah jarang tersedia jadi
pakai Metronidazole, reaksi alergi Penisilin G juga lebih tinggi jadi
ditinggalkan.
 Netralisasi toksin bebas -> anti tetanus serum (dari kuda -> ATS
/manusia -> HTIG). Toksin bebas yang bisa dinetralisir (hanya di limfe
dan vaskuler) -> karena kalau sudah berikatan di gangliosid kita tidak
bisa menetralisir lagi, akan hilang sendiri pada waktu 6-8 minggu.
 Kontrol spasme otot -> bisa pakai benzodiazepine
(diazepam/midazolam) atau MgSO4. Pada spasme berat pakai
antispasme sentral (antropium)
 Atasi gangguan otonom -> MgSO4 dan beta-blocker atau kalsium
berkala. Penggunaan MgSO4 harus hatu-hati -> bisa menyebabkan
hipokalsemia -> hipokalsemia berat -> mengganggu kontraksi jantung
-> pantau kalsium berkala
 Suportif -> pasien tidak bisa menelan pakaikan NGT
 tatalaksana komplikasi -> paling banyak adalah pneumonia aspirasi
(pasien tidak bisa menelan dan tersedak) -> pakaikan NGT
 Tatalaksana
o Antibitoik, HTIg (tetagam), ATS, Terapi suportif
o Rawat di ruang isolasi -> signifikan berpengaruh terhadap angka kematian
pasien tetanus
 Prognosis
o Dipengaruhi oleh:

o Makin sering kejang -> prognosis buruk

2. Meningitis
 Meningitis -> penyakit peradangan di meningen saja. Paling banyak terlibat adalah
arachnoid dan piameter (leptomeningen). Pacimeningen -> duramater.
 Kalau melibatkan ensfalon/jaringan otak -> ensefalitis. Tapi kalau melibatkan
keduanya -> meningoensefalitis.
 Meningen ada 3 lapisan -> duramater, arachnoid -> subarachnoid space -> berisi LCS
dan pembuluh darah), piamater (menempel dengan otak).
 Etiologi -> infeksi bakteri, jamur, tuberculosis ataupun viral.
 Patofisiologi
o Meningitis bakterial -> sinusitis -> meningitis
 Kuman kolonisasi di nasofaring -> kuman dari rongga sinus -> masuk
ke mukosa -> ke kapiler pembuluh darah -> ke pembuluh darah di
medulla spinalis -> kuman merusak blood CSF barrier -> kuman
masuk ke CSF -> di CSF akan ikut sirkulasi (medulla spinalis ->
rongga subarachnoid) -> di ruang subarachnoid terus berkolonisasi
(piamater dan arachnoid terkena) -> menimbulkan peradangan.
 Pada infeksi tahap lanjut peradangan bisa meluas ke duramater dan
parenkim (meningoensefalitis).
 Bisa duramater duluan yang terlibat kalau sumber infeksi berasal dari
trauma kepala terbuka atau dari luka operasi craniotomy

 Gejala klinis
o Trias klasik -> demam, nyeri kepala hebat dan kaku kuduk
 Diagnosis
o Etiologi pasti dicek lewat LCS, darah bisa membantu bisa tidak (tes serologi -
> antigen HSV positif -> bukan pasti bahwa itu meningitis virus/herpes
simplex -> harus kombinasi dengan LCS), foto toraks untuk memperkecil
peluang diagnosis meningitis Tb, bisa saja pasien Tb non paru -> meningitis
Tb. CT scan kepala untuk melihat komplikasi dan kontraindikasi dari LP.
o LCS -> diambil lewat lumbal pungsi -> menembus subarahcnoid -> lumbal 3-
4/4-5 sambil tertidur pasiennya.
 Karakteristik
o LCS membantu klinisi dalam menegakkan etiologi
o

o Lihat dulu jumlah selnya meningkat/tidak -> kalau meningkat berarti infeksi.
Lanjut lihat neutrofil, kalau dominan berarti bakteri, kalau menurun
neutrofilnya (dominan monosit) berarti bisa viral/jamur. Lanjut lihat glukosa
(viral normal). Protein terakhir dilihat -> sejalan dengan peningkatan jumlah
sel.
o Tidak bisa mendiagnosis meningitis Tb/jamur lewat LCS -> harus lewat
kultur/tinta india.
 Algoritma
o Boleh langsung lumbal pungsi tanpa CT scan kalau pasien tidak ada defisit
neurologik, kejang, penyakit neurologis dengan massa intrakranial.
o Kontraindikasi lumbal pungsi -> gambaran massa intrakranial, hidrosefalus
non-komunikan.
 Tatalaksana
o Kausatif -> tergantung penyebab
o Anti edema -> pakai dexamethasone, karena efek glukokortikoid paling tinggi
(potensiasi glukokortikoid -> terkait efek antiinflamasi). Pada clinical trial
yang besar -> menurunkan risiko kematian meningitis -> memperbaiki blood
brain barrier, penetrasi obat-obatan cepat.
 Komplikasi
o Hemiparese, hidrosefalus, meninggal.
3. Ensefalitis
 Ensefalitis -> inflamasi akut pada parenkim/jaringan otak.
 Etiologi -> selain infeksi, bisa juga akibat autoimun (anti MNDR ensefalitis) atau
pasca vaksinasi.
 Virus herpes simplex -> paling banyak sebagai penyebab utama ensefalitis
o HSV 1 -> oral herpes
o HSV 2 -> genitalia herpes
o Tapi sekarang sudah tidak jelas
o Dapat disembuhkan
 Arbovirus
o West nile virus
o La crosse encephalitis
o Eastern equine encephalitis
o Encephalitis dengue -> paling banyak di Indonesia, DBD bisa menyebabkan
encephalitis dengue -> gejala mirip malaria serebral (gejala akhir malaria).
Ada microbleeding di otak
 Enterovirus
o Melalui gastrointestinal -> banyak penyebab
 Rabies
o Akibat rhabdoviridae
 Patogenesis
o Virus menginvasi membran sel -> bereplikasi di sel -> sel ruptur -> virus yang
aktif menginfeksi sel sehat lainnya
o Ensephalitis diffusa
 Menginvasi tubuh secara langsung ke otak secara hematogen ->
biasanya lebih berat
o Infeksi fokal
 Menginvasi jaringan lain dulu sebelum ke otak -> lebih kecil
kerusakan otaknya
 Gejala klinis
o Trias klasik ensefalitis -> penurunan kesadaran, kejang, demam
o Kalau ada trias klasik meningitis juga -> meningoensefalitis. Kalau ada kaku
kuduk -> meningitis.
 Diagnosis
o Tetap LCS menjadi pemeriksaan utama
o CT scan, EEG, dan biopsi otak (pemeriksaan gold standard rabies)
 Panduan diagnosa pada Encephalitis HSV
o Pada EEG, CT scan dan MRI ada lesi asimetris di frontal dan temporal
o Pemeriksaan HSV positif
 Terapi
o Tidak butuh Ab kalau HSV
o Acyclovir intravena, anti kejang dan simptomatuis
 Prognosis
o Episode akut -> 1-3 minggu
o Tergantung jenis virusnya dan mortalitas meningkat seiring pertambahan usia
4. Malaria Serebral
 Malaria serebral adalah komplikasi terberat dari malaria parcifarum. Ditandai dengan
perubahan status mental dan bisa koma. Prognosis malaria serebral berat, sebagian
kasus berakhir dengan kematian.
 Paling banyak di daerah endemik tropik dan subtropik. Di Indonesia khususnya di
daerah bagian timur seperti Sulawesi Utara,
 Predisposisi -> usia tua, kehamilan, immunocompromised (HIV +)
 Klasifikasi
o Sedang -> delirium
o Berat -> stupor
o Sangat berat -> koma, termasuk juga dinilai dengan respon pengobatan (tidak
respon terapi)
 Fase
o Prodormal -> demam, sakit pinggang, mialgia, menggigil
o Akut -> nyeri kepala hebat, mual muntah, gangguan kesadaran
 Patofisiologi
o Hipotesis mekanik
 Akibat iskemik pada sel otak yang terjadi akibat gangguan aliran darah
mikrovaskular karena eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum
-> ligan sel -> menurunkan aliran darah mikrovaskular ->
pembentukan rosette di RBC -> deformiabilitas sel darah merah
o Hipotesis humoral
 Akibat difusi nitrit oxide yang masuk blood brain barrier karena
stimulasi terhadap toksin yang dikeluarkan malaria -> makrofag
bekerja -> TNF alpha rilis -> pelepasan NO -> masuk blood brain
barrier -> gangguan sinaps
 Gambaran klinis
o Inkubasi 12 hari rata-rata
o Manifestasi -> penuruann kesadaran, demam, gejala sisa neurologis, koma
o Pada anak sering terjadi komplikasi -> anemia
o Malaria serebral -> ensefalopati simetrik karena tanda UMN simetrik
 Diagnosis penunjang
o Tidak terlalu efektif
o Lumbal pungsi dan analisis LCS -> kalau kasusnya meragukan saja. Kalau
sudah tegak malaria serebral dan ada penurunan kesadaran biasanya langsung
diagnosis malaria serebral.
o EEG tidak spesifik, CT scan hasilnya normal.
 Tatalaksana
o Umum -> stabilisasi jalan nafas, observasi kejang, monitor vital sign,
memelihara intake dan output
o Pakai antimalaria. Doksisiklin dan klorokuin dipakai untuk profilaksis
(konsumsi saat masuk ke endemik malaria)
o Jangan diberikan -> kortikosteroid (bisa harmful)
 Prognosis
o Buruk -> pasien kebanyakan meninggal

Tension Headache, Migraine, Migraine Tidak Spesifik, Cluster Headache, Neuralgia


Trigeminal
 Nyeri kepala -> nyeri yang muncul di kepala, sekitar mata, telinga, leher bagian atas
 Kalau ketemu pasien dengan nyeri kepala, lakukan pemeriksaan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
 Anamnesis -> SOCRATES
o Site/lokasi
o Origin/asal
o Karakteristik
o Radiasi/penjalaran
o Gejala terkait
o Timing/durasi
o Faktor yang memperberat dan memperingan
o Keparahan
o Kondisi pasien di antara serangan
 Pemeriksaan fisik
o Utamanya TTV terutama TD -> terkait hipertensi pada nyeri kepala
o Neurologis -> menyingkirkan nyeri kepala sekunder
o Funduskopi -> menilai papil apakah edema/tidak -> peningkatan TIK
o Inspeksi, palpasi temporal artery
o Range of movement kepala dan leher
 Nyeri kepala primer -> sudah dilakukan pemeriksaan dan tersingkirkan nyeri kepala
sekunder
 Nyeri kepala sekunder -> disebabkan penyebab lain, sebagian besar nyeri kepala itu
sekunder
 Algoritma
o Anamnesis -> ada warning signs/red flags -> nyeri kepala muncul tiba-tiba
dengan intensitas berat dan belum dialami sebelumnya (perdarahan
subarachnoid), nyeri kepala progresif disertai muntah (TIK meningkat pada
tumor otak), nyeri kepala tiba-tiba setelah aktivitas fisik (intracerebral
hemorrhage), usia >50 tahun, simptom neurologis fokal, iritasi meninges,
gejala mata, riwayat kanker/HIV. Kalau ada warning signs -> tatalaksana
segera. Tak ada warning signs -> periksa fisik dan neurologis -> hasil
abnormal -> imaging untuk eksklusi sakit kepala skunder. Hasil normal ->
nyeri kepala primer. Nyeri kepala primer atipikal -> tidak mengikuti pola ->
bisa dirujuk ke rumah sakit, kalau khas nyeri kepala primer -> tatalaksana.
 Nyeri kepala primer
o Migrain
 Nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan berlangsung 4-72
jam (minimal 4 jam tanpa tatalaksana), karakteristik tipikal unilateral,
berdenyut, intensitas sedang-berat, dicetuskan aktivitas fisik rutin,
dapat disertai dengan muntah/mual/fotofobia dan fonofobia.
 Insidensi -> female:male -> 2:1
 Klasifikasi berdasarkan ICHD-3 -> tanpa aura (common migraine) dan
dengan aura (classic migraine). Nonspecific migraine -> kondisi tidak
mengikuti pola tipikal serangan migraine -> migraine equivalent tanpa
nyeri kepala (aura saja)
 Migraine secara subjektif yang didapat dari anamnesis
 Common migraine -> minimal 5 serangan, kadang sulit
dibedakan nyerinya migraine/bukan
o Nyeri berlangsung 4-72 jam, paling tidak ada 2 dari 4
karakteristik (unilateral, berdenyut, intensitas sedang-
berat, dicetuskan aktivitas fisik rutin), selama sakit
kepala ada setidaknya 1 keluhan -> mual, muntah,
fotofobia, fonofobia.
 Classic migraine -> hanya 2 serangan saja, serangan tipikal jadi
bisa ditegakkan hanya dengan 2 serangan, auranya -> 1 atau
lebih aura yang fully reversibel
o Kalau melihat kilatan cahaya -> hilang -> nyeri kepala.
Kalau ireversibel -> ada sesuatu di otak bukan migraine.
o Berupa aura visual, sensorik, speech, motor, brain stem
dan retinal.
o Auranya ada 3 dari 6 karakteristik -> paling tidak 1 aura
muncul gradual dalam 5 menit, 1-2 aura terjadi
bersamaan/bergantian, masing-masing aura berlangsung
5-60 menit, setidaknya 1 aura unilateral, 1 aura gejala
positif, diikuti serangan selama 60 menit
o Paling sering aura visual, ada juga yang afasia ->
unilateral (memenuhi 1 kriteria)
o Aura -> gejala neurologis kompleks yang bisa
menyertai fase nyeri kepala, berlangsung 5-20 menit
(paling lama 60 menit), bisa berupa aura visual,
motorik, sensorik atau kombinasi. Paling sering visual,
gejala positif/negatif. Negatif -> scotoma (kehilangan 1
titik lapangan pandang), homonymous hemianopia ->
kehilangan 1 sisi lapangan pandang (nabrak saat jalan),
altitudinal visual defects (kehilangan lapangan pandang
separuh atas bawah), tunnel vision (kehilangan
lapangan pandang di kanan dan kiri). Positif ->
scintilating scotoma (melihat kilauan), fotopsia (kelap
kelip), cahaya bergelombang (geometri), micropsia
(lapangan pandang mengecil), macropsia.
o Aura kedua terbanyak -> sensorik, biasanya mengikuti
aura visual (beriringan)
o Central scotoma -> hilang lapang pandang tengah.
Multiple scotoma -> banyak titik-titik dan pandangan
blur.
 Terpenting tidak termasuk diagnosis lain ICHD-3
 Pada pemeriksaan fisik tak ada defisit neurologis, kalau ada defisit
neurologis -> nyeri kepala sekunder, konfirmasi dengan CT scan
 Etiopatogenesis
 Ada 2 teori
o Teori vaskular -> vasokonstriksi PD (gejala aura)
kepala lalu diikuti vasodilatasi (nyeri kepala).
o Teori neurogenik -> terkait neuronal hyperexcitability -
> terbaru -> orang hiperaktif (pasien predisposisi
genetik) -> dipicu trigger dari luar (depresi, stres,
kelelahan, menstruasi, perubahan mood, kurang tidur,
konsumsi keju, coklat, alkohol) -> meningkatkan
aktivitas hipotalamus (mengatur siklus 24 jam tubuh) ->
fase prodromal (beberapa jam-hari -> pasien sudah
mulai menunjukkan gejala -> mudah lapar, kelelahan,
mengantuk, tidak bisa tidur, sering BAK) -> aktivitas
neuronal menyebar ke batang otak -> diteruskan ke
korteks -> cortical spreading depression (CSD -> kata
kunci migraine) -> muncul gelombang depolarisasi
yang menyebar di korteks -> cikal bakal aura -> aura
yang muncul tergantung lobus/lokasi mana yang terlibat
-> aura visual muncul (oksipital), sensorik (gyrus
precentralis), motorik (gyrus prefontralis). Lobus
oksipital -> menyebar depolarisasinya -> meninggalkan
daerah hipoaktif (lapangan pandang menghilang)->
yang dilihat garis pelangi adalah garis kuning. Fase
migraine tidak harus prodrom -> bisa langsung di fase
korteks/aura (5-60 menit) -> rilis mediator inflamasi
(CGRP, NO, etc) -> aktivasi nociceptor trigeminal di
meningens -> nyeri kepala 4-72 jam -> recovery -> fase
postdormal (24-48 jam) -> pasien ngantuk, kelelahan,
perubahan mood, kaku otot.
 Tatalaksana
o Abortif
 Nonspesifik -> ranah dokter umum, gunakan
obatan over the counter (PCT, ibuprofen,
aspirin) atau NSAID (microflenax). Beri
antiemetik agar tidak muntah.
 Spesifik -> triptan dan ergotamin. Ergotamin
tidak direkomendasikan untuk fase akut.
 Pasien hamil dengan migraine -> semua obat
terapi akut migraine kontraindikasi terutama di
trimester pertama kecuali PCT. PCT boleh
diberikan di trimester berapapun. Kalau NSAID
boleh diberikan setelah trimester kedua.
o Profilaksis
 Apapun nyeri kepala -> terapi profilaksis
diberikan kalau sudah menganggu keseharian
pasien atau serangan terlalu sering. Obat-obatan
start low, dose low -> sampai migraine
terkontrol.
 Indikasi -> gangguan ADL, serangan terlalu
sering, >3 hari/bulan, >8x/hari. Beta blocker,
antidepresi, antidepresan, calcium channel
blocker.
 Tidak memenuhi karakteristik -> migrain probable, masuk ke status ->
dokter spesialis yang tatalaksana
o Tension type headache
 Muscle contraction headache, psychomyogenic headache, stress
headache, dll
 Karakteristik -> bilateral, kualitas menekan/mengikat, intensitas
ringan-sedang, berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa hari,
tidak diperberat aktivitas fisik rutin, tidak disertai nausea, fotofobia
dan fonofobia bisa muncul
 Insiden -> female:male -> 3:1, paling banyak di usia 20-40 tahun.
 Klasifikasi
 1-14 hari/bulan
o Episodic TTH
 Infrequent/jarang
 Serangan <1 hari/bulan, rata-rata <12
hari/tahun
 Frequent
 1-14 hari/bulan selama lebih dari 3 bulan
 >14 hari/bulan
o Chronic TTH
 15 hari lebih selama lebih dari 3 bulan
 Anamnesis
 Butuh 10 serangan untuk menegakkan diagnosis (karena tidak
begitu khas), durasi 30 menit sampai 1 minggu, paling tidak
ada 2 dari 4 (bilateral, menekan/mengikat, intensitas ringan-
sedang, tidak diperberat aktivitas rutin) tidak disertai
mual/muntah
 Tidak terpenuhi kriteria -> probable TTH
Pemfis
 Pericranial tenderness -> otot frontal, temporal, masseter,
pterygoid, sternocleoidomastoideus, splenius dan trapezius.
o Periksa dengan jari telunjuk dan tengah -> tekan secara
sirkuler
 Patogenesis
 Faktor risiko tersering -> peningkatan durasi stres
psikologis/fisik -> tegangnya otot pericranial -> melepaskan
substansi laktat, piruvat -> aktivasi reseptor nosiseptif -> timbul
nyeri TTH episodic (mekanisme perifer) -> input diteruskan ke
sentral -> modulasi -> nyeri kepala reda. Chronic TTH ->
mekanisme sentral -> modulasi tidak baik -> nyeri kepala terus-
menerus
 Tatalaksana
 Non-farmakologi -> kontrol diet, yoga, pemijatan, jangan
gunakan alagetik harian, terapi perilaku
 Farmakologi
o Akut -> analgetik (PCT, ibuprofen, aspirin), kafein,
kombinasi
o Kronik -> antidepresan (amitriptiline) dan antianxiety
(BZP -> hati-hati bisa adiksi)
o Profilaksis -> beri pada TTH frequent dan chronic ->
mengganggu kualitas hidup pasien.
o Trigeminal Autonomic Cephalalgias (TAC)
 Ciliary, Harris
 Karakteristik -> unilateral, ada keterlibatan otonom (parasimpatis) di
sisi nyeri kepala (kalau nyeri di kanan -> gejala otonom muncul di sisi
kanan -> keluar air mata, meler, mata bengkak dan merah). Sindrom
mengaktivasi refleks (trigeminal parasympathetic reflex).
 Klasifikasi -> Cluster headache
 Ciri khas -> unilateral, intensitas berat/severe, muncul di
orbital, supraorbital, temporal atau kombinasi, berlangsung 15-
180 menit, muncul 2 kali sekali sampai 8 kali sehari. Gejala
nyeri berupa injeksi konjungtiva (mata merah), lakrimasi,
kongesti nasal, rhinorrhoea (keluar cairan hidung), berkeringat
wajahnya, miosis (pupil membesar), ptosis, agitasi (gelisah)
 Ada periodisitas -> antara serangan dan remisi polanya sama.
 Ada simptom otonom
 Insiden -> male:female -> 9:1 usia 20-29 tahun
o Episodic -> serangannya berlangsung 1 hari sampai 1
tahun, dipisahkan periodi remisi >1 bulan (sembuh agak
lama baru muncul cluster)
o Chronic -> muncul terus-menerus lebih dari 1 tahun
tanpa ada periode remisi atau remisi hanya 1 minggu
(tidak sampai 1 bulan)
 Kriteria diagnostik -> sifatnya berat/sangat berat, unilateral,
superorbita, orbita, temporal 15-180 menit, paling tidak ada 1
dari gejala yang ipsilateral dengan nyeri kepala -> injeksi
konjungtiva, kongesti nasal, edema eyelid, keringat di wajah,
miosis, ptosis, muncul 2x sehari atau 8x sehari
 Trigeminal autonomic cephalgia -> sensitisasi jaras trigeminal
o Distribusi cabang trigeminus terutama cabang
oftalmikus
o Otonom
o Cephalgia -> nyeri kepala, peridositas
 Nyeri muncul di trigeminus -> aktivasi jaras trigeminal ->
pelepasan neuropeptida vasoaktif dan inflammatory -> edema
PD karotis -> iritasi plexus simpatis di sekitar arteri karotis ->
muncul gejala dan nyeri di daerah distirbusi trigeminal
 Otonom -> aktivasi jaras parasimpatis (bagian dari nervus
facialis) -> trigeminofacial reflex (dengan aktivasi jaras
trigeminal) -> lakrimasi, rhinorrhoea
 Cephalgia -> ritmik dan pola sama melibatkan circadian
rhythm -> aktivasi hypothalamus
 Patofisiologi nyeri kepala yang pasti belum diketahui
 Tatalaksana
o Akut -> obat utama adalah oksigen sebanyak 7-15
liter/menit, pakai zolmitriptan, lidocainem octreitide
o Preventif -> calcium channel blocker (verapamil),
kortikosteroid. Dilakukan jika nyeri kepala tidak respon
terhadap terapi abortif, muncul >15 menit, ada
keinginan pasien untuk menerima terapi pencegahan
dan menerima efek samping obat -> intinya kalau
mengganggu ADL.
o Trigeminal Neuralgia
 Masuk ke facial pain (ICHD-3), merupakan nyeri di daerah nervus
trigeminus. Suatu kelainan yang ditandai dengan nyeri berulang,
unilateral dan electic-shock like, muncul abrupt (mendadak) dan
hilangnya juga mendadak (paroksismal), terbatas pada distribusi
nervus trigeminus (bisa 1 divisi atau lebih), dicetuskan stimulus yang
tidak berbahaya. Pasien susah beraktivitas -> muncul saat makan, sikat
gigi, minum.
 Bisa muncul tanpa alasan jelas -> idiopatik atau sebagai bagian dari
kelainan lainnnya -> ada tumor di daerah antara pons dan cerebellum -
> menekan nervus 5. Atau pada multiple sclerosis -> demyelinisasi di
pons yang dekat trigeminus. Kalau akibat penyebab lain -> secondary
trigeminal neuralgia. Classic -> kompresi PD di tempat keluarnya saraf
trigeminal -> arteri sereberalis superior paling sering (arteri di atas
cerebellum)
 Insidensi -> male:female -> 2:3, usia 52-58 tahun (idiopatik),
simptomatik tersering di usia 30-35 tahun.
 Distribusi -> oftalmik/mandibularis/maksilaris, 35% cabang kedua,
diikuti cabang ketiga dan pertama. Kadang bisa terlibat divisi satu dan
dua (10%), divisi 2 dan 3 (20%)
 Classical -> kompresi PD, secondary -> underlying, primary -> tidak
ditemukan penyebabnya
 Kriteria diagnosis
 Nyeri paroksismal (mendadak muncul-hilang), rekurens,
unilateral di daerah distribusi 1/lebih n. trigeminus, muncul
beberapa detik-2 menit, intensitas berat/sangat berat, electric-
shock like (ditembak, diiris), dicetuskan stimulus yang tidak
berbahaya (gosok gigi, tertawa, mengunyah)
 Neurologis -> idiopatik tidak ditemukan, simptomatik
tergantung lokasi defisit.
 Pemeriksaan -> MRI kepala/MRA
 Patofisiologi
 N. trigeminus terkompresi dari PD di belakangnya (looping ->
superior cerebellar artery) -> iritasi terus menerus -> chronic
irritation at the roor entry zone -> peningkatan serat aferen ->
trigeminal neuralgia
 Tatalaksana
 Farmakologis -> lini pertama carbamazepine (antikonvulsan
100 mg/2x sehari initial dose -> maintenance dise),
oxcarbazpine, gabepentin, lamotrigine, baclofen
 Bedah -> Gamma knife radiosurgery, radiofrequency
elecrocosglaton, flisrrol iectin, ballon micocompression, MVD
paling sering (n. trigeminal dan PD diberi bantalan agar PD
tidak langsung mengiritasi sarafnya). Bedah dilakukan jika
terapi farmakologis tidak efektif.
Neuropatik Simetris, Pleksopati, Guillain Barre Syndrome, Bell’s Palsy
 Medulla spinalis -> keluar radiks anterior dan posterior -> saraf spinalis -> bergabung
menjadi plexus -> saraf tepi -> masuk ke otot (neuromuscular junction)
1. Neuropati
 Neuropati perifer -> penyakit yang kena dari radiks-> plexus-> neuromusuclar
junction. Kalau otot myopati.
 Neuropati -> kerusakan sistem saraf tepi. Bisa terjadi kerusakan di
myelin/akson/keduanya.
 Penyebab bisa akibat metabolik (DM, ginjal, prifiria), nutrisional (defisiensi B1, B6,
B12, asam folat), toksik, keganasan, trauma, infeksi-inflamasi (lepra), autoimun dan
genetik.
 Klasifikasi
o Polineuropati -> neuropati simetris
o Radikulopati -> kena radiks
o Mononeuropati -> kena 1 saraf (carpal tunnel syndrome), mononeuropati
multiplex (beberapa saraf)
 Patofisiologi
o Degenerasi Wallerian -> kelainan akson, degenerasi akson berlangsung dari
distal sampai lesi proksimal.
o Degenerasi Aksonal -> degenerasi aksonal pada daerah distal. Bersifat simetris
dan selama perjalanan penyakit akson berdegenerasi dari distal ke proksimal.
Sering terjadi pada polineuropati metabolik
 Perbaikan lambat
o Demielinisasi Segmental -> degenerasi fokal myelin. Tahu kalau myelin yang
kena -> lakukan pemeriksaan EMG (pungsi saraf). Ketika kecepatan hantar
saraf terganggu -> myelin. Kalau akson terganggu akan terlihat di
amplitudonya.
 Algoritma Diagnosis
o Kalau simptom berlanjut -> lakukan pemeriksaan EMG.
 Manifestasi Klinik
o Awalnya biasanya ada gangguan sensorik -> parestesia, nyeri, terbakar,
penurunan rasa raba, vibrasi dan posisi (berasa oleng).
o Gangguan motorik -> kelemahan otot-otot (merasa lemah)
o Refleks tendon menurun -> saat lakukan pemeriksaan refleks
o Fasikulasi -> kedutan-kedutan
 Tatalaksana
o Farmakologik
 Terapi kausatif -> obati penyebab. Misalnya DM -> obati DM. Kalau
defisiensi vitamin, beri vitamin.
 Simptomatis -> apa yang dikeluhkan kita tatalaksana, kalau nyeri ->
analgetik, kalau kurang nyaman sampai mengganggu -> antiepileptik.
Nyeri kronik -> gabapentin, carbamazepine, pregabalin dan kombinasi
antidepresan (amitriptilin), bisa beri antidepresan
 Vitamin neurotropik -> memperbaiki saraf -> B1, B6, B12, asam folat
o Non-farmakologik
 Terapi suportif -> turunkan BB kalau gemuk (diet penurunan BB),
gangguan di kaki -> sesuaikan ukuran sepatu (hindari ulcus) dan
nyaman
 Fisioterapi/PSM (peripheral magnetic stimulation), mobolisasi,
masase, gerakan sendi
 Komplikasi
o Komplikasi saraf di kaki dan tungkai bawah, karena kaki kurang aliran
darahnya -> sistem saraf mudah mati dan rusak -> gangrene diabetikum
misalnya
o Neuropati pada saluran pencernaan -> konstipasi tanpa sebab, diare tiba-tiba
o Neuropati kandung kemih
 Prognosis
o Hasil akhir neuropati sangat bergantung pada penyebabnya. Sangat bervariasi
dari gangguan reversible -> sampai komplikasi fatal (sulit sembuh).
o Hasil pemeriksaan hanya myelin yang terganggu -> bisa diperbaiki.
o Sel saraf tidak bisa diganti jika mati, tapi bisa pulih dari kerusakan (tergantung
kemampuan pemulihan, kerusakan dan umur seseorang serta keadaan sehat).
o Pengembangan ke depan -> masih dalam penelitian
 Contoh kasus kelainan saraf tepi
o Saraf kranialis -> bell’s palsy (parese nervus VII perifer)
o Saraf spinalis -> motor neuron (poliomyelitis dan ALS), radiks saraf spinal
(radikulopati), lesi pleksus brakhialis dan lumbo sacralis.
o Saraf tepi -> polineuropati (neuropati simetris), GBS, CTS, dll.
o Neuromuscular junction -> Myasthenia gravis, sindrom eaton lambert.
2. Bell’s Palsy
o Paralisis otot wajah tipe lower motor neuron (perifer) yang dulu dikatakan
tidak diketahui penyebabnya. Sekarang -> disebabkan virus. Gangguan di
nervus 7 (facialis).
o Dulu disebut idiopathic facial paralysis (IFP). Sekarang disebut Bell’s Palsy.
o Sering ditemukan di kehidupan.
o Akibat proses inflamasi dan iskemik.
o Penyebab keseluruhan -> virus
o Banyak terjadi di usia 10-40 tahun. 23 kasus/100.000 penduduk AS. BP adalah
60-75% kasus paralisis otot wajah unilateral. 63% kena sisi kanan wajah,
rekurensi 4-14%.
o Gejala bervariasi tergantung lokasi kelainan.
o Kalau paresis otot tipe UMN/sentral -> daerah dahi dua-duanya bisa
mengkerut saat diminta, kalau disuruh meringis tidak bisa sebelah. Kalau pada
Bell’s Palsy -> diminta angkat dahi tidak bisa sebelahnya, saat disuruh
meringis tidak bisa sebelah.
o Lesi pada sentral -> saraf yang ungu dan hijau terganggu sebelah saja, yang
ungu masih ada suplai dari sisi kontralateral jadi dahinya normal, yang hijau
terganggu karena tidak ada suplai dari kontralateral -> gangguan di daerah
bawah wajah saja unilateral.
o Lesi pada perifer -> saraf yang ungu dan hijau yang mempersarafi wajah atas
dan bawah unilateral terganggu.
o Manifestasi klinis
 Kesulitan menutup kelopak mata (lagoftalmus) -> mata kering dan
berair mata (dry eyes).
 Nyeri di telinga belakang/mastoid
 Hiperakusis -> daerah yang terganggu terlalu nyaring di stetoskop
 Gangguan pengecepan di satu sisi lidah
 Pandangan terganggu
o Diagnosis
 Diagnosis eksklusi -> ketika sudah menyingkirkan yang lain -> Bell’s
Palsy. Kalau ada trauma -> parese n. VII perifer traumatik (bukan BP).
Kalau tumor juga tidak bisa dikatakan BP -> semua dieksklusi dan kita
lebih yakin karena virus -> Bell’s Palsy.
 Lakukan pemeriksaan saat curiga adanya gangguan nervus VII perifer.
Periksa gula darah, ENMG (melihat kelainan akson-myelin), MRI
(melihat tumor -> tumor parotis misalnya).
o Tatalaksana
 Steroid -> secara umum bisa, paling banyak pakai Prednison.
Dikombinasi dengan antiviral. Antiviral bisa pakai asiklovir (5x800
mg/hari) atau valasiklovir (3x100 mg/hari)
 Gangguan penutupan mata dan aliran mata abnormal -> beri obat tetes
dan pasangi perban sebagai penutup mata agar tidak kering.
o Prognosis
 Grup 1 -> penyembuhan komplit tanpa sekuele -> terbanyak di usia
muda (2-3 minggu sembuh)
 Grup 2 -> penyembuhan inkomplit
 Grup 3 -> ada sekuele
 Rekurensi sering terjadi pada riwayat keluarga dengan BP rekurens.
3. Sindrom Guillain Barre
o 1-2 kasus per 100.000, laki-laki = perempuan, banyak di umur 30-an.
o Akibat autoimun -> sering juga akibat infeksi saluran napas dan pencernaan,
bisa virus/infeksi. Ada reaksi antigen-antibodi.
o Infeksi, vaksinasi, operasi, trauma, kehamilan juga bisa mencetuskan GBS.
o Kerusakan mielin dan akson yang terjadi pada GBS -> mekanisme autoimun.
o Klasifikasi
 AIDP -> demielinisasi
 AMSAN -> sedkit demielinisasi klinisnya gangguan sensorik-motorik,
dibuktikan dengan pemeriksaan EMNG
 AMAN -> akson terganggu -> motoriknya saja yang kena
 Miler Fisher -> disertai optalmoplegia dan ataksia
 CIDP -> kronis, kelainan motorik lebih dominan
 Varian lain
 Acute pandysautonomia -> diare, muntah, dizziness
o Patogenesis
 Imunopatogenesis menimbulkan jejas saraf tepi
 Antibodi/respon kekebalan seluler terhadap agen infeksius saraf tepi.
 Sel makrofag PD meliputi akson-myelin -> menggerogoti myelin ->
bisa merusak akson-myelin secara menyeluruh
o Khas GBS -> monophasic course of GBS -> sekali kena dan ada perbaikan
maka tak akan kena lagi.
 Pertama-tama faktor pencetus ada faktor infeksi yang banyak, bisa juga
faktor yang menyebabkan reaksi antigen-antibodi tubuh (faktor
pencetus tadi) -> proses membaik -> tidak begitu lama tiba-tiba ada
reaksi antigen-antibodi dengan harapan jika ada faktor sejenis masuk
kembali -> bisa diatasi. Celakanya salah antisipasi -> antigen-antibodi
justru menyerang saraf tepi. Gejala klasik GBS -> pada hari kenanya,
gejala motorik terganggu dan ada kelemahan. Tapi pasien tidak tahu
apa penyebabnya, jika kita tanya riwayatnya (4 minggu ke belakang)
biasanya ada trauma/infeksi. Jadi harus anamnesis lebih jauh apakah
ada faktor pencetus untuk timbulnya reaksi antigen.
 Lalu saat kena GBS -> menurun gejalanya -> lama-lama membaik ->
monophasic course.
 Poliphasic -> menurun gejalanya -> membaik -> menurun lagi -> dst.
o Gambaran klinis
 Gangguan motorik lebih dahulu bersifat simetris (LMN)
 Gangguan sensoroik hipestesi
o Diagnosis
Trias GBS: simetris, ascending, hipofleksia/arefleksia (refleks
menurun)
 Gejala -> kelemahan progresif pada kedua lengan dan tungkai,
arefleksia
 Gejala pendukung -> saat kena tidak ada demam (reaksi
antigen/antibodi terjadi 4 minggu kemudian), ketika ada kelemahan
dan demam tinggi -> bisa singkirkan diagnosis GBS
 Peningkatan protein pada LCS, ENMG -> terdapat perlambatan/blok
hantaran saraf
o Diagnosis banding
 Polineuropati
 Tetraparesis
 Hipokalemia
 Myasthenia gravis
o Tatalaksana
 Belum ada drug of choice yang bagus -> jadi simptomatis. Tujuan
utama pengobatan -> perawatan baik dan perbaiki prognosis.
 Pakai imunoterapi -> plasmaparesis/IVIG
 Suportif -> manajemen ancaman gagal napas (kena otot napasnya) dan
gangguan jalan napas dengan ventilator, manajemen disfungsi saraf
otonom, fisioterapi -> melatih kekuatan otot.
 Spesifik -> lini pertama dengan plasmaparesis.
 IVIG diberikan selama 5 hari
o Pemantauan derajat keparahan dengan Hughes score

o
 1-2 beri istirahat dan neurotropik
 5 harus tangani di RS dengan ventilator dan beri plasmaparesis
o Progonosis
 75-90% sembuh sempurna
 25-36% timbul gejala sisa
 Angka kematian 3%
 Prognosis buruk -> usia tua, gejala berat, onset gejala cepat. Dari
terpapar faktor pencetus ke timbul gejala waktunya cepat ->
progonosis buruk (1 minggu onsetnya misalnya).
4. Lesi Pleksus
o Saraf spinal membentuk pleksus -> terurai kembali menjasi beberapa saraf
perifer ekstremitas atas (pleksus brakhialis) dan bawah (pleksus
lumbosakralis).
o Pleksus brakhialis
 Penyebab bisa trauma pada clavicula dan radiasi
 Trauma lahir -> ERB paralysis (lesi di trunkus superior -> lengan atas
lemah, biceps dan deltoid) dan klumke paralysis (lesi di trunkus
inferior -> lemah di jari tangan). Tapi sekarang trauma lahir sudah
jarang -> diantisipasi dengan sectio kalau ada kesulitan lahir.
 Tidak bisa bergerak sama sekali -> lesi di keseluruhan.
 Sekarang banyak terjadi akibat kecelakaan -> humerus patah -> sulit
digerakkan (kemudian ada lesi pleksus)
o Pleksus lumbosakralis
 Penyebab utama trauma lahir, trauma sendi panggul dan radiasi
 Gejala tergantung pleksus yang terkena
 Pemeriksaan dengan EMNG dan foto clavicula/pelvis
5. Neuropati Diabetik
o Neuropati simetris. Salah satu komplikasi jangka panjang DM paling umum,
mempengaruhi hampir 50% pasien DM.
o Ditandai dengan kehilangan progresif serabut saraf, menyebabkan berbagai
gejala tergantung saraf yang terkena.
o Kriteria diagnosis
 Perika HbA1c -> melihat apakah kena penyakit DM yang berobat tidak
teratur. Kalau >- 6,5% -> DM tak terkontrol dalam 3 bulan terakhir.
 Periksa gula darah puasa -> >126 mg/dL
 Glukosa post prandial -> >= 200 mg/dL
 Gula darah sewaktu -> >= 200 mg/dL
o Mempengaruhi 2-8% populasi
o Lamanya menderita DM sangat berhubungan dengan timbulnya penyakit
neuropati diabetik. Makin lama menderita DM dan tidak terkontrol -> 50%
kemungkinan terjadi polineuropati setelah 25 tahun.
o Jarang terjadi pada usia <30 tahun. Komplikasi meningkat sejalan dengan
lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia -> lama tidak terkontrol.
o Tanda dan gejala
 Bervariasi tergantung berat-ringan
 Gangguan serabut saraf besar -> sentuhan ringan
 Gangguan serabut saraf kecil -> nyeri neuropatik, persepsi suhu,
parastesia
 Nyeri neuropatik -> seperti berjalan di atas paku
o Sindrom neuropati diabetik
 Polineuropati distal -> ujung kaki. Simetris, terutama sensorik
mempengaruhi kaki dan tungkai secara kronis
 Optalmoplegia akut
 Mononeuropati akut
 Nyeri akut/subakut
 Kelemahan motorik proksimal
 Sangat bervariasi -> sensorik/motorik/otonom
 Diduga penyebabnya iskemik/infark pada saraf karena
mikrovaskularisasi akibat DM. Cedera di kepala biasanya cepat
mengeluarkan darah, di kaki aliran darah kurang -> sistem saraf di kaki
cepat terganggu terutama pasien dengan polineuropati diabetik.
o Secara keseluruhan


o Polineuropati diabetik sensorik distal
 Simetris, mengenai sensorik, berkembang dalam 10 tahun, keluhan
persisten -> kesemutan di malam hari saja (karena iskemik bisa hilang
di pagi hari -> otot kontraksi -> aliran darah lancar atau siang hari
tidak terasa karena melakukan kegiatan lain).
 Pada dasarnya bisa mengganggu -> awalnya selalu sensorik
(kesemutan, rasa tak nyaman) dan lama-lama tidak terasa lagi (saraf
mati). Sehingga kalau tingkatnya lama -> sampai gangrene dan
berulkus -> tidak nyeri lagi -> berbahaya karena sarafnya sudah mati.
 Gangguan di telapak tangan dan kaki hingga tungkai.
 Kalau berat bisa ada Charcot’s foot dengan ulserasi -> sulit sembuh ->
perbaikan sel tidak ada -> bisa nyeri.
 Lebih berat -> bisa terjadi gangguan motorik.

Complete Spinal Transaction, Acute Medulla Compression, Epidural Hematome,


Subdural Hematome, Fraktur Basis Kranii, Amnesia Paskatrauma
Gambaran CT scan kepala pasien dengan Traumatic Brain Injury.
1. Traumatic Brain Injury
 Cedera otak traumatik -> PPT
 Klasifikasi
o Ringan, sedang, berat
o Minimal, ringan, sedang, berat
o Biasa dipakai dari Consensus Nasional PERDOSI -> minimal, ringan, sedang
dan berat
o Dibedakan dari -> skala GCS, gambaran klinis (pingsan/tidak, defisit
neurologis), CT scan kepala
o Tujuan klasifikasi -> pedoman triase di gawat darurat, penanganannya berbeda
antara yang minimal, sedang, berat. Pada saat jaga IGD -> penting untuk
diketahui klasifikasinya
o Pasien GCS 15, pingsan 2 jam, defisit neruologis (tergantung letak lesi, bisa
hemiparese atau ada paresen nervus craniales) -> klasifikasi sedang, ambil
tanda paling berat
o Diagnosis pasca perawatan -> terkait prognosis setelah tatalaksana dan
perawatan baru digolongkan. Ada komponen amnesia pasca trauma, GCS, CT
scan, pingsan dan ada tindakan operatif.
 Cedera otak akan menyebabkan 2 hal
o Cedera primer -> akibat langsung dari benturan di kepala, misalnya ada fraktur
tulang tengkorak, kontusio, perdarahan atau kerusakan aksonal luas (diffuse
axonal injury)
o Cedera sekunder -> terjadi dalam hitungan detik, menit bahkan hari. Bisa
terjadi peningkatan TIK (hipoksia, hipotensi, hipotermia), radikal bebas ->
cegah/tatalaksana diharapkan jangan sampai terjadi cedera sekunder karena
bisa memperburuk outcome pasien.
 Gambar kanan -> posisi netral. Kalau seseorang berkendara dengan kecepatan tinggi
dan tiba-tiba berhenti maka tubuh akan ke depan (mengikuti gaya fisika) -> badan
akan ke depan -> menimbulkan 2 efek, di kepala dan leher. Di kepala -> tengkorak
dan otak memiliki kepadatan berbeda (tengkorak lebih padat), otak tidak menempel
erat (tulang tengkorak lebih dulu maju -> otak menyentuh tengkorak -> cedera otak).
Bisa coup-countrecoup -> terbentur ke depan lalu balik ke belakang -> timbul lesi
lagi. Jadi bisa ada 2 lesi -> frontal dan oksipital misalnya. Benturan langsung -> coup.
Pada leher -> ada hiperekstensi dan hiperfleksi medulla spinalis bisa edema dan
cedera -> defisit neueologis (wireless injury)
 Jenis-jenis
o Epidural hematoma (EDH) > epidural (sebelum piamater), darah ada di atas
dural dan kauvarial -> bentuknya gendut/bikonveks shape. Biasanya akibat
robekan pada arteri meningeal media di temporal umumnya. Bisa ada lucid
interval -> saat kepalanya terbentur akan pingsan/kehilangan kesadaran ->
bangun -> beberapa saat kemudian pingsan kembali akibat bertambahnya
volume darah di epidural. Karena arteri -> prosesnya cepat (akut -> beberapa
jam)
o Subdural hematoma (SDH) -> pada usia tua, ada riwayat trauma, kadang
riwayat traumanya ringan dengan onset lebih lambat dibanding epidural
hematoma. Akibat robeknya bridging vein (lebih lama lucid intervalnya). Bisa
subakut/kronis (berminggu-minggu). Karena terjadi di ruang subdural ->
bentuknya pipih/bulan sabit.
o Keduanya banyak ditemukan
o Subarachnoid hemorrhage traumatica (SAH) -> gejala berupa sakit kepala
thunderclap (sangat berat -> ternyeri yang dirasakan pasien), gejala rangsang
meningeal (meningeal signs -> kaku kuduk, brudzinsky, kernig, lasseque).
Karena di antara subarachnoid dan piamater -> pendarahan mengikuti sulcus
otak -> di CT scan seperti garis/cacing.
o Intracerebral hemorrhage traumatica -> kalau spontan itu stroke. Di
intraparenkim otak. Pada concussion tidak ada kerusakan otak struktural ->
gangguan fungsi neurologis sementara, pada pemfis neurologis itu normal.
Pada contusion/memar otak -> edema dan perdarahan superfisial, biasanya ada
defisit neurologis (tergantung lokasi lesinya)
o Fraktur basis cranii
 Fossa Anterior biasanya ada keluar cairan likuor dari hidung
(rhinorrhea) bisa juga ada racoon eye (bilateral), gangguan penghidung
(anosmia)
 Fossa media biasanya ada di belakang telinga (battles sign), cairan
likuor keluar dari telinga, gangguan nervus 7 dan 8 (kelumpuhan otot
wajah, telinga berdenging), battles sign
 Fissa posterior -> bilateral mastoid echhymosis/battles sign
 Halo tes -> darah yang keluar diletakkan di kertas/kassa, didiamkan
beberapa saat, kalau bentuknya tengah darah dan sekitarnya serous ->
double ring sign -> positif -> pasien kemungkinan mengalami fraktur
basis cranii.
 Kapan dilakukan CT scan kepala
o Pasien ditabrak mobil lalu terjatuh -> memar di lengan bawah. Tidak ada jejas
di kepala, GCS 15, tidak ada defisit neurologis, tidak ada pingsan, mual dan
muntah. Jika pasien meminta dilakukan CT scan kepala -> pakai kriteria untuk
memudahkan penentuan.
o High risk harus dilakukan CT scan kepala
o Medium risk -> amnesia, retrogade persisten high risk mechanisme injury,
intoksikasi -> boleh dilakukan CT scan kepala
o Jejas di atas klavikula, kejang, sakit kepala, muntah proyektil, koagulopati
(pasien hiperkoagulasi dengan pemakaian obat antikoagulan -> boleh
dilakukan CT scan kepala
o Lakukan CT scan tanpa kontras, kalau pakai kontras lama prosesnya
sedangkan CT scan kepala hanya untuk melihat lesi struktural dan pendarahan.
CT scan kepala dengan bone window juga perlu diminta (siapa tahu ada
fraktur basis).
o Bisa juga dilakukan rontgen pada kalvaria, mulai ditinggalkan karena hanya
bisa melihat tulang sedangkan parenkim tak terlihat.
 Fraktur depresi -> bisa ada perdarahan di bawahnya
o Gambar 1 -> konveks EDH, gambar 2 -> SDH, gambar 3 -> ICH (di tunjuk
panah ada darah dan edema -> contusio), gambar 4 -> bone window, gambar 5
-> fraktur basis cranii temporal, gambar 6 ICH, gambar 7 SAH (garis-garis
mengikuti sulcus), gambar 8 subgaleal hematoma, gambar 9 edema serebri
(sulcus tidak jelas, white dan grey matter tidak jelas)
 Tatalaksana
o ABC -> primary survey
o Kontrol servikal
o Lakukan secondary survey
 Harus lakukan treatment ABC dulu untuk mencegah keparahan
penyakit pasien
o Tatalaksana untuk mencegah secondary brain injury
 Hipoksia -> jaga saturasi oksigen normal (>94/96) -> jaga ventilasi
adekuat.
 Hiperventilasi -> menurunkan TIK
 Hipotensi -> pertahankan TD agar cerebral perfusion pressure cukup,
kalau terlalu rendah -> CPP turun -> hipoperfusi otak -> hipoksia
 Hipovolemi -> berikan normal saline, jangan beri cairan hipotonik ->
mencegah perparahan edema -> klinis pasien memburuk.
 Herniasi -> akibat TIK naik. Hukum Monroe-Kelli. Orang dewasa ->
sutura tertutup, kalau ada penambahan tekanan dan perdarahan ->
volume di otak tetap -> tubuh berkompensasi -> korbankan LCS dan
PD arteri -> kalau gagal -> herniasi -> menekan ke batang otak
(banyak fungsi vital) -> prognosis pasien malam
 TIK tinggi -> lakukan tatalaksana, beri mannitol 20% dosis 0,25-1
mg/kgBB atau hipertonik saline dengan tujuan supaya sel yang edema
dengan hipertonik saline -> cairannya pindah ke intravaskuler ->
dibuang ke ginjal -> mengurangi edema
 Demam -> antipiretik
 Kejang -> antikonvulsan, beberapa literatur menyatakan antikonvulsan
sebagai terapi profilaksis (misalnya lesi di kortikal)
 Infeksi -> beri antibiotik
 Pertimbangan lain -> pasang kateter
o Kapan konsul ke bedah saraf/operasi
 Balik ke tatalaksana -> konservatif (neurologi) dan operatif (stase
bedah saraf).
 Rujuk ke fasilitas yang ada dokter saraf -> pasien trauma kepala
sedang. Kalau trauma kepala ringan tidak butuh konsul, tapi tetap
lakukan observasi selama 2x24 jam -> boleh dirawat/pulangkan asal
ada yang mengawasi dan tempat tinggal juga bisa mencapai fasilitas
kesehatan. Dipulangkan dengan informed consent ke keluarga pasien -
> jika pasien menunjukkan tanda bawa ke rumah sakit.
o Indikasi operasi
 EDH -> 40 cc dengan midline shift, >30 cc pada fossa posterior
 SDH luas
 Fraktur impresi/terbuka -> konsulkan
 Boleh dipulangkan jika pasien sudah stabil/kegawatdaruratan sudah
teratasi. Bisa ada sekuele -> misalnya lumpuh -> kontrol.
2, Spinal Cord Injury
 Cedera medulla spinalis -> cedera langsung yang menyebabkan jejas
 Cedera primer -> fraktur, luka tembus, pendarahan, kontusia, whiplash injury, level
tersering C5-C4-C6-T12-L1-T10 -> paling mobile
 Cedera sekunder -> akson bisa putus, pendarahan, isi sel keluar, proses inflamasi ->
berlanjut (darah sedikit tapi masih terjadi proses inflamasi), vasospasme pembuluh
darah -> terbentuk jaringan parut -> degenerasi wallerian -> penyembuhannya sulit
 Tipe-tipe spinal cord injury
o Lesi komplit -> fungsinya semua terganggu. Ada 2 -> traktus turun
(kortikospinalis/piramidalis) yang berperan motorik (dari korteks -> medulla
spinalis, sebelumnya menyilang 80-90% di dekusasio piramidalis -> menjadi
lateral, yang tidak menyilang menjadi traktus kortikospinalis ventral ada juga
traktus naik yang berperan sensorik (dari reseptor sensorik perifer -> dibawa
traktus spinotalamikus lateral -> mengatur suhu dan nyeri, ventral untuk
sentuhan ringan -> eksteroseptif, dorsal columns -> sentuhan dalam,
propioseptif dan vibrasi.
 Lesi anterior -> motoriknya kena (akan ada parese tergantung level,
kalau di leher akan tetra), eksteroseptif juga kena (gangguan otonom,
disfungsi spinchter)
 Lesi posterior -> columna dorsalis paling terkena -> gangguan
propioseptif, kalau meluas bisa kena motorik dan eksteroseptif.
 Lesi sentral -> kelemahan, tangan lebih berat dibanding tungkai karena
topografinya itu tangan lebih medial di medulla spinalis dibanding
tungkai. Gangguan sensorik dan otonom. Propioseptif tidak terganggu.
 Brown-Sequard syndrome -> terkena sebagian, gangguan motorik
ipsilateral. Propioseptif juga ada ganguan ipsilateral (propioseptif naik
dulu baru menyilang, kalau eksteroseptif langsung menyilang ->
kontralateral lesi). Bisa ada perbedaan gejala di sisi antara propioseptif
dan eksteroseptif.
 Conus Medullaris -> ujung medulla spinalis, di level L1-L2
 Kelumpuhan bersifat UMN (refleks naik, tonus naik)
 Pinggang lebih nyeri
 Gangguan spinchter gangguannya lebih cepat
 Lebih sering dibanding cauda equina
 Cauda Equina -> seperti ekor kuda
 Berupa radiks-radiks/serabut
 LMN -> flaccid
o Lesi inkomplit
 Assessment
o Pakai AIS grade, yang E (Excellent) paling bagus -> normal. A paling jelek ->
komplit, sensorik motorik terganggu. B -> sensorik masih ada sebagian,
motorik sama sekali tak ada. C -> motorik masih ada dengan kekuatan di
bawah 3, D -> motorik masih ada kemampuan di atas 3.
 Pemeriksaan Penunjang
o Gambar 1 -> fraktur os vertebrae
o Gambar 3 -> tulang geser ke belakang
o Gambar 4 -> fraktur, biasanya kalau pasien jatuh dari ketinggian. Atau
jatuhnya ringan pada orang tua -> osteoporosis atau infeksi.
 Manajemen
o ABC tetap utama (primary survey)
o Tidak boleh dipindahkan secara sembarangan, kalau ada fraktur/cedera
medulla spinalis -> memperberat kondisi pasien. Pindahkan dengan metode
Logroll -> buruh 3 orang dan 1 orang menjaga leher, jadi saat dibalik harus
dipertahankan tulang belakang tetap lurus (oleh 3 orang tadi -> berbarengan
dengan aba-aba 1 orang). Bisa 2 orang dengan tangan disilang. Kalau tidak
cukup orang -> pakai tandu dengan tali pipih. Leher pakai cervical collar ->
curiga cedera cervical.
 Tatalaksana
o Patofisiologi proses inflamasi -> beri steroid (walau masih kontroversial),
kalau pasien onsetnya <3 jam beli methylprednisolone 30 mg/kgBB IV bolus
dalam 15 menit, interval 45 menit beri lagi dosis 5,4 mg/kgBB/jam IV
kontinyu selama 23 jam. Pasien onset 3-8 jam, inisial sama tapi kontinyunya
selama 47 jam. Tanya riwayat DM -> GD bisa naik -> dosis insulin dinaikkan
atau bahkan pakai insulin drip, hati-hati juga perdarahan lambung -> beri obat
lambung.
o Pasang kateter kalau ada retensi
o Cegah dekubitus
o Karena pasien imobilisasi -> jangan sampai DVT (deep vein thrombosis)
o Kalau nyeri beri analgetik
o Kalau sudah selesai semua lakukan fisioterapi
o Indikasi operasi
 Fraktur -> pecahan tulamg menekan medulla spinalis
 Fraktur, dislokasi labil
 Fungsi neurologi memburuk progresis
 Herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla spinalis ->
konsulkan ke bedah orthospines/bedah saraf

Neurobehavioral Disorder
 Autis adalah kelainan saraf yang memang berhubungan dengan tingkah laku.
Sistem yang dibangun adalah hambatan sensorik yang masuk ke otak, tidak
diproses dan tidak ada keluarannya. Seseorang bisa bicara karena mendengar,
orang bisa paham karena diberi tahu, bisa mengenal lingkungan karena ada
sensori taktil.
 Dari tumbuh kembang lebih banyaj eksplor terkait skrining. Dari neurologi
dilihat aspek neuroanatomi dan neurofisologi sehingga runut untuk memberi
terapi baik secara intervensi obat atau tanpa intervensi obat.
 Dilihat dari gangguan neurobehavior -> gangguan perilaku. Cedera terkait
perilaku
o Tourette syndrome -> latah biasanya ngomong kotor karena fokus
yang terdengar adalah omongan kotor terkait lingkungan sekitar ->
minim rekaman otaknya karena selalu monoton input sensorisnya ->
tidak berkembang otaknya
o Autisme -> gangguan sensorik, kontak mata, bicara, interaksi sosial.
Keempat itu terlihat autisnya seperti apa -> ASD (austistic spectrum
disorder) -> berbagai macam, banyak penyebab -> konvus collosum,
sistem limbik, amygdala, interpretasi yang tidak bagus dari jaras
asosiasinya. Sering diawali dengan global developmental delay ->
ternyata bukan autis -> intelectual disability. Anak autis terdeteksi
sebelum 5 tahun biasanya. Bisa bicara baik dengan intervensi cepat ->
latih area prefrontal. Bisa tidak berkembang jika anak diberikan
gadget.
 Banyak pasien neurobehaviour -> penggunaan gadget
meningkat saat Covid -> gangguan perkembangan otak karena
minimal eksplor
o Demensia -> lupa, ada memori yang hilang.
o Gangguan obsesif konvulsif hampir sama dengan gejala ADHD.
Melakukan ritual secara terus-menerus tapi mudah mengamuk. Emosi -
> lalu sadar bahwa itu salah. Banyak pada anak-anak terkait kelainan
neurologi dan kejang.
o ADHD -> defisit hiperaktif disorder. Tidak ada perhatian sama sekali
dan anak hiperaktif. Bisa berbicara dengan baik (dibanding autis).
o Multiple sclerosis -> ada tahap awalnya -> myelitis
 Penyebab Gangguan Neurobehaviour
o Pengaruh lingkungan, genetik, biologis dapat menjadi faktor peningkat
risiko gangguan neurobehavior.
o Pengaruh lingkungan lain
 Obat
 Paparan kimia
 Status sosial ekonomi rendah -> berhubungan dengan
kemampuan komunikasi kurang baik dan pemberian makan
kurang baik
 Bayi lahir prematur
 Gejala Gangguan
o Adanya perubahan perilaku, kemampuan motorik terbatas -> anak
dengan gangguan behaviour sering kurang terarah dalam bergerak
(minim -> motorik tidak terarah). Motorik harusnya makin bertambah
usia makin terarah. Dari awal bisa dideteksi bayi bermasalah/tidak
dengan melihat perkembangan berdasarkan milestone. Lihat usia
3/6/9/12/15/18/2 tahun/3 tahun/5 tahun -> perkembangan motorik,
interaksi sosial, bahasa dan emosional.
o Kebutuhan esensial tidak terpenuhi merupakan salah satu faktor
gangguan behaviour.
 Retardasi Mental dan Global Development Delay
o Retardasi mental -> diawali dengan anak dengan GDD (global
developmental delay) -> ada 2 ranah yang terjadi kelainan.
o Biasanya karena motorik dan bicara terganggu. GDD -> kelainan
anatomikal/fisiologi otak. Kalau hanya motoric delay -> stimulasi
kurang -> intervensi stimulasi -> membaik. Kalau 2 ranah terganggu ->
area di otak (Brodman, Wernicke, Broca) terganggu -> di berbagai
tempat sudah terjadi kelainan patologis.
o Setelah usia 5 tahun -> intelectual disability. Sulit dirubah. Intervensi
harus di bawah 5 tahun. Skrining cepat jauh lebih baik untuk
menentukan apakah ada delay/perkembangan neurologi.
o Kalau anak sudah dewasa -> risiko tinggi mengalami kesulitan belajar
dan penurunan kinerja.
 Evaluasi Intelektual
o Developmental test -> bayley scales untuk spesifiknya, kalau
internasional pakai denver developmental screening test
o Intellegence test -> wechsler intelligence biasanya dipakai psikolog
o Neurophsychological -> NEPSY
o Qualitative Description of IQ -> nilai di bawah 90 -> anak sulit belajar
-> instruksi tidak nyambung -> susah connect -> epilepsi juga bisa
menyebabkan gangguan kognitif pada anak.
 Etiologi GGD
o Prenatal -> genetic
o Perinatal
o Postnatal -> stunting paling banyak akibat nutirsi tak bagus
o Undetermined
 Evaluasi pasien
o Dapatkan riwayat dan pemeriksaan secara detail dan terperinci
o Rujuk untuk pemeriksaan pendengaran dan oftalmologis
 Tanya kebiasaan anak terkait kegiatan saat mendengar sesuatu
kira-kira menari atau tidak. Kalau menari berarti mendengar.
 Sensorik yang membuat anak berbicara adalah pendengaran.
o Pertimbangkan studi metabolik/T4 (berhubungan dengan intelektual)
jika skrining bayi baru lahir tidakdilakukan
o Jika riwayat ada dugaan kejang atau sindrom epilepsi, lakukan
pemeriksaan EEG.
o Pertimbangkan skrining untuk autisme atau gangguan bahasa
 Neurobehavioral Disorder
o Gangguan tingkah laku -> gangguan emosional.
o Anak dengan gangguan tingkah laku saat bayi sering tidak bagus
tidurnya -> sering terbangun. High-pithced cry, kejang tak terdeteksi -
> anak mengalami gangguan tingkah laku karena tak bisa
memfokuskan informasi yang diterima.
o Gangguan behavioural paling umum
 Mood disorders
 Anxiety disorders
 Learning disabilities
 ODD (Oppotional Defiant Disorders)
 Depression -> aturan kebiasaan dari orang tua terlalu ketat
 Conduct disorders ->
 ASD (Autism Spectrum Disorders)
 ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorders)
 Tidak semua gangguan tingkah laku itu autis -> intervensi dulu.
ASD on therapy -> gejala ASD tapi membaik setelah
intervensi.
 Autism Spectrum Disorder
o Autis bukan penyakit tapi gangguan perkembangan. Jadi bukan
penderita tapi penyandang. Gangguan dalam masa perkembangan.
o <5 tahun masih bisa diintervensi, <5 tahun wajib mengusahakan agar
anak bisa berbicara, paling tidak bisa memformulasikan kata-kata. <5
tahun -> selesai masa perkembangan bicara maksimum.
o Bicara sengau biasanya karena bicaranya tidak terlatih. Gangguan
autisme mempengaruhi gangguan perkembangan otak. Harus
diintervensi -> ada fasenya.
o Gangguan perkembangan otak akibat kelainan jaras prefrontal, jaras
limbik, jaras sensorik -> berpengaruh pada jaras asosiasi. Pola perilaku
stereotipik, repetitif, restriktif, minat terbatas karena memori otak
terbatas.
o Etiologi
 Genetik -> paling banyak diturunkan orang tua (bapaknya).
 Lingkungan -> paparan lingkungan berupa polusi (merkuri,
masih diteliti)
o Anak dengan gangguan behavior cenderung punya fokus yang limit
karena selalu mengingat pada 1 hal (mainannya hanya satu itu saja
terus-menerus). Emosional -> intervensi dengan bicara dengan
halus/pelan agar lebih tenang. Saat anak marah/mengamuk -> menjauh
-> nanti akan mendekat. Bisa impulsif kalau pada anak. Pada dewasa
semakin lama semakin terpengaruhi lingkungan
o Faktor risiko
 Anak yang lahir dari orang tua lebih tua berisiko tinggi ASD
 10% ditemukan mengalami sindrom down, sindrom x rapuh,
tuberous sklerosis, kelainan genetik lain.
 Pria 4-5x lebih mungkin mengalami ASD
 20-40% memiliki defisit bahasa/sosial
 Pasien <2 tahun -> progresnya bagus dan bisa dilepas. Kalau 5
tahun ke atas harus diintervensi sekeluarga agar berhasil.
o Vaksin tidak berasosiasi langung dengan autisme -> tidak terbukti
menyebabkan autisme -> tergantung lingkungan.
o Karakteristik anak
 Perkembangan terlambat
 Memiliki kelainan sensoris
 Menolak dipeluk
 Memiliki rasa ketertarikan pada benda yang berlebihan
 Memiliki kecenderungan perilaku yang berulang-ulang
 Trias -> gejala utama
 Perilaku repetitif
 Interaksi sosial
 Gangguan komunikasi
o Mengalami keterlambatan dalam bicara
o Gangguan verbal dan non verbal
o Bicara dengan Bahasa aneh yang sulit
dimengerti
o Echolalia/membeo/meniru
o Gangguan interaksi sosial
 Tidak kontak mata -> tatapan kosong
 Lebih suka sendiri daripada bermain bersama -> suka
menyendiri
 Tidak suka berbagi
 Tidak memahami orang lain
o Gangguan komunikasi
 Keterlambatan bicara
 Gerakan/ritual tidak biasa
o Gangguan perilaku
 Perilaku stereotipis
 Perilaku diulang-ulang
 Flapping -> memukul pipi
 Berjalan jinjit -> tidak melampau milestone
 Sangat senang pada aktifitas/benda tertentu
 Paling senang dengan air
 Sering mengurutkan benda -> menjajarkan benda
o Gejala lain
 Tantrum
 Agresif, mencelakai diri -> self-biting, menjedotkan kepala ke
pintu
 Hipersensitif/hiposensitif
 Hiperaktif, impulsif, inatesi
 Paling banyak berhubungan dengan kejang -> 40% ada riwayat
kejang -> kelainan ke arah kelainan saraf
o Red flag
 Tidak ada babbling, tidak menunjuk, atau tidak menunjukkan
mimik wajah yang wajar pada usia 12 bulan
 Tidak ada kata berarti pada usia 16 bulan
 Tidak ada kalimat terdiri dari 2 kata yang bukan ekolalia pada
usia 24 bulan
 Hilangnya kemampuan berbahasa atau kemampuan sosial pada
usia berapapun
 Ditambah -> Anak tidak menoleh atau sulit menoleh bila
dipanggil namanya pada umur 6 bulan-1 tahun
 Sensorik bisa terlihat utuh di usia 3 bulan -> ibu harus sering
kontak
 Usia 9 bulan -> wernicke berkembang dengan baik -> 6 bulan
berikutnya broca berkembang dengan baik -> 15 bulan
biasanya sudah berinteraksi dengan baik karena otak
berkembang baik
o Diagnosis Sering Terlambat
 Terlalu lama ditunggu/ditahan orang tua sampai 1 tahun.
 Harus cepat dibawa untuk diberi bantuan profesional
 Asupan dari keluarga dan teman dekat yang salah juga bisa
memperlambat diagnosis
 Harus dilatih dulu/diintervensi dulu sebelum anak
sekolah
 Keluarga juga sering menyembunyikan anaknya.
o Penyakit Penyerta Autis
 Disabilitas intelektual -> 50-60%
 Kejang -> epilepsi -> 1/3 penderita ASD
 Masalah pencernaan -> zat aktif tidak terserap dengan baik
 Gangguan tidur, cemas, depresi
 Disfungsi integrasi sensori -> hiper/hiposensitive
 PICA -> memasukkan barang ke mulut
 Gangguan hiperaktifitas
 Sindrom Tourette
o Tatalaksana Komprehensif
 Kolaborasi/multiprofesi
 Dokter -> beri obat, turunkan dosis perlahan. Jarang
dilakukan,
 Psikologi
 Rehab medik, terapis (sensori integrasi, okupasi, wicara,
fisioterapi)
 Guru
o Tujuan terapi
 Sembuh/tidak tergantung intervensi
 Tujuan terpenting -> memperbaiki/menghilangkan
penyakit/kondisi penyerta
 Butuh deteksi dini
o Tatalaksana
 Medikamentosa
 Indikasi kuat -> tantrum, self injury, repetitive,
hiperaktifitas, sulit tidur, epilepsi
 Non obat -> sesuai kondisi anak
 Terapi wicara -> lakukan setelah anak mulai bisa fokus
 Okupasi integrasi sensorik (SI-OT)
o terapi ini bila dilakukan dalam 60 menit
sebanyak 2 kali dalam satu minggu selama 12
minggu dapat meningkatkan perilaku positif,
khususnya dalam domain komunikasi (termasuk
ekspresif dan subdomain reseptif) domain
sosialisasi. Terapi ini menjadi referensi utk anak
ASD agar dapat meningkatkan komunikasi,
interaksi dan keseharian.
o Keluarga harus melakukan intervensi dengan
baik, bukan terapisnya.
o Dilatih multitasking juga. Pasien juga butuh
keseimbangan. Dilatih fokus terhadap suatu hal.
Harus enjoy -> bisa depresi -> muncul Tick.
o Harus ke dokter jika ada gejala:

 Harus deteksi dini, intervensi di usia dini bisa diselamatkan


pasiennya
 ADHD
o Lebih banyak gangguan behaviour umum -> hiperaktif dan gangguan
pemusatan perhatian
o Kurang perhatian, hiperaktif, impulsivitas
o Kelainan -> loss dari korteks frontal dan parietal. Serebrum dan
serebellum berpengaruh. Otak tidak maksimum, serebellum kecil
(tidak bisa memformulasikan).
o Etiologi
 Kelahiran prematur
 Paparan racun
 Ibu mengonsumsi obat-obatan terlarang
o Atensi hilang -> predominan inatensi, predominan hiperaktif-impulsif,
atau kombinasi
o Inatensi -> Pasien seringkali tidak mendengar jika diajak bicara,
seringkali kehilangan barang yang dibutuhkan untuk
bertugas/beraktivitas, tidak menyukai tugas karena atensinya tidak ada.
o Hiperaktif-impulsif -> Kaki/tangan tidak bisa diam/mengetuk tangan
dan kaki, mengeliat di kursi, berlarian/memanjat berlebihan di situasi
tidak tepat, mengalami kesulitan dalam bermain, terlalu banyak bicara,
memberi jawaban sebelum pertanyaan selesai
o Tingkat Keparahan ADHD

 Suka mengobrak-ngabrik barang, cepat bosan


o Komplikasi
 Terbanyak adalah penyalahgunaan obat-obatan
o Prognosis ADHD
 Inatensi bisa berkurang tapi hiperaktif dan impulsifnya bisa
meningkat.
o Diagnosis ADHD
 Pemeriksaan medis (tes gambar dan tes laboratorium).
 Pengumpulan informasi (isu medis, sejarah medis personal dan
keluarga, serta catatan sekolah).
 Wawancara atau kuesioner yang dilakukan terhadap orang yang
mengenal anak.
 Kriteria ADHD dari Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders.
 Skala penilaian ADHD untuk mengumpulkan dan
mengevaluasi informasi mengenai anak.
 American Center for Disease Control and Prevention (CDC)
menyebutkan bahwa orang dengan ADHD menunjukkan pola
lalai yang terus-menerus dan mengganggu fungsi atau
perkembangan.
o Diagnosis Banding
 Migrain -> anak sulit fokus, depresi
o Perbedaan ADHD dan Autisme
 ADHD -> menghindari hal yang perlu fokus tinggi, cenderung
bicara tanpa henti dan bisa mengganggu orang yang sedang
berbicara, tidak suka melakukan rutinitas yang sama setiap hari
 Autisme -> fokus pada hal yang mereka sukai,
o Terapi Intervensi ADHD
 Kadang pakai methylphenidate
 Terapi kognitif/cognitive behavioural therapy (CBT)
 Membiasakan pola makan yang sehat dan bergizi seimbang
 Memastikan anak cukup tidur dan istirahat
 Membatasi waktu anak dalam menonton televisi, bermain video
game, dan menggunakan ponsel atau computer
 Mengajak anak melakukan aktivitas fisik minimal 60 menit
setiap hari
Kejang Demam, Infeksi SSP pada Anak
 Kalau ketemu pasien dengan kejang dalam hal etiologi lihat dulu ada demam/tidak
ada demam
o Kalau ada demam -> terbanyak kejang damam, pal
 Usia tipikal kejang demam ->
 Jika di otak tidak ada infeksi/inflamasi artinya pada kejang dmeam selalu ada kondisi
yang menyebabkan demamnya. Kejang demam -> anak bisa batuk pilek, laringitis,
otitis media -> demam -> kejang. Tidak ada hubungan dengan infeksi SSP
(meningitis/ensefalitis).
 Keterangan
o Kejang terjadi akibat kenaikan suhu tubuh bukan karena gangguan elektrolit
atau metabolik lainnya. Hiperglikemi, hiponatremi -> dehidrasi, pada diare
biasanya. Pasien datang dengan kejang disertai demam -> pasien sudah ada
riwayat kejang demam, juga ada diare akut dehidrasi berat. Belum pasti kejang
demma -> periksa elektrolit.
o Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai
kejang demam. Kalau sudah ada kejang tanpa provokasi sebelumnya sudah
tidak bisa disebut kejang demam -> epilepsi
o Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam,
namun jarang sekali. Harus hat-hati karena kelompok usia di bawha 6 bulan
tinggi kemungkinan terkena infeksi SSP. Kalau ada pasien kejang dengan
demam usia <6 bulan -> harus lebih agresif menyingkirkan diagnosis infeksi
SSP -> cek gejala infeksi SSP -> tidak ada gejala khas, malas minum, letargi,
lesu, iritable.
o Bayi berusia <1 bulan tidak termasuk kejang demam tapi disebut kejang
neonatus.
 Umumnya kejang demam itu ringan gejalanya. Fokus kita menentukan apakah kejang
disertai demam itu kejang demam atau kondisi lain yang lebih serius.
 Usia anak >5 tahun hati-hati karena ada GEFS+ -> dilakukan pemeriksaan genetik.
Meskipun epilepsi, sekitar 40% tidak pernah kejang dengan demam. Sebagian besar
bentuk GEFS+ adalah autosomal dominan yang berarti riwayat keluarganya kuat
(ayah, ibu, paman, nenek, kakek kejang). GEFS+ kejangnya sering dan memanjang di
atas usia 5 tahun.
 Epidemiologi -> dia tas 3 tahun hanya 6%
 Kejang demam umumnya diklasifikasikan
o Kejang demam sederhana
 Singkat <15 menit
 Tak ada kejang fokal, jadi umum (tonik/klonik)
 Tidak berulang dalam 24 jam
 Harus memenuhi 3 syarat di atas
o Kejang demam kompleks
 Lama >15 menit
 Fokal/fokal menjadi umum
 Berulang >1 kali dalam waktu 24 jam
o Terkait prognosis dan perkembangan ke epilepsi
 Angka kejadian tinggi, di Indonesia lebih dekat ke Jepang (9-10%). Bisa lebih dari 9-
10% karena penyakit infeksi yang lebih banyak terkait negara berkembang. Sulit
diteliti karena pasien kejang demam jarang dibawa ke rumah sakit jadi data sulit
dikumpulkan. Meningitis, ensefalitis lebih mudah dapat datanya.
 Patogenesis belum jelas, ada kerentanan genetis.
 Pemeriksaan fisik
o Tidak ada infeksi/inflamasi otak -> pemeriksaan fisik normal
o Sebagian sangat kecil aksus dapat mengalami paresis yang bersifat sementara
(paresis Todd) -> hemiparesis, bertahan beberapa jam paling lama 3 hari.
o Perbedaan dengan infeksi SSP -> lihat gejala iritabilitas, penuruann kesadaran,
hemiparesis, ubun menonjol, letargik, high-pitched cry -> infeksi intrakranial
o Obat anti kejang itu bisa menyebabkan sedasi, namun umumnya tidak dalam
dan tidak menetap. Bisa apneu tapi tidak lama. Golongan diazepam biasanya.
 Pemeriksaan penunjang
o Pencitraan dan EEG tidak diindikasikan.
o EEG dipertimbangkan kalau kejang fokal/kejang demam terjadi pertama kali
di usia >6 tahun
o Pencitraan diindikasikan misalnya apabila terdapat defisit neurologis menetap
o Laboratorium -> mencari etiologi demam -> darah tepi, elektrolit. Periksa
trombosit -> DBD.
o Pemeriksaan LCS pada kejang demam
 Tidak rutin dilakukan pada anak dengan keadaan umum baik
 Harus ada gejala rangsang meningeal atau kita ragu saat pemeriksaan
 Terdapat kecurigaan infeksi SSP berdasarkan anamnesis dna
pemeriksaan klinis
 Sebelumnya mendapat Ab -> pertimbangkan ke arah lumbal
pungsi/LCS
 Tatalaksana
o Jika pasien datang dengan kejang -> tatalaksana kejang sesuai panduan
tatalaksana kejang dan status epileptikus pada anak
o Khusus kejang demam
 Rumatan
 Asam valproat atau fenobarbital rutin sampai 1 tahun bebas
kejang. Lebih dipilih asam valproat karena fenobarbital bisa
mengganggu fungsi kognitif -> terapi epilepsi kalau sudah
tatalaksana lebih dari 1 tahun
 Indikasi
o Kejang fokal
o Kejang lama >15 emnit
o Terdapat kelainan neurologis yang nyata (cerebral
palsy, dll) sebelum/sesudah, kalau ada indikasi ini pilih
terapi salah satu.
 Asam valproat dosis 15-40 mg/kg/hari dibagi 2-3 dosis,
maksimal 1000 mg/kali atau 3000 mg/hari
o Beri dari dosis terendah -> beri pakai pipet
o Efek samping ada hepatotoksisitas -> harus cek fungsi
hati
 Intermiten
 Lebih ringan
 Obatnya diazepam oral 0,3 mg/kg/kali (maksimal 7,5 mg per
kali) atau rektal 0,5 mg/kg/kali (hanya pada anak dengan
keterbatasan oral -> muntah). Beri 3x sehari. Beri tiap 8 jam
selama 48 jam pertama demam -> hari ketiga tak usah lagi,
karena kejang demam timbul pada 48 jam pertama demam
 Indikasi
o Kelainan neurologis berat, misalnya cerebral palsy
(kelainan gerak akibat lesi tidak progresif saat otak
berkembang) -> bayi kecil karena meningitis -> infeksi
lain -> infark -> cerebral palsy -> tidak bisa sembuh).
Saat kejang harus sama kekuatan cerebral palsy -> tidak
ada defisit neurologis tambahan pada kejang demam.
o Berulang 4 kalau/lebih dalam setahun
o Usia <6 bulan
o Bila kejang terjadi pada suhu <39oC
o Suhu tubuh meningkat cepat -> kejang
 Tidak perlu profilaksis
o Tatalaksana demam dengan antipiretik, tapi tidak mengurangsi risiko kejang
o Tatalaksana penyebab demam -> infeksi bakteri -> beri Ab
o Risiko berulangnya kejang
 Riwayat kejang demam/epilepsi dalam keluarga
 Usia ,12 bulan
 Suhu tubuh <39 derajat sata kejang
 Interval waktu singkat antara awitan demam dan kejang
 Apoabila kejangd emma pertama merupakan KDK
 Sebagian besar mengulang dalam 1 tahun pertama
o Risiko epilepsi
 Kelainan neurologis/perkembangan yang sebelum kejang demam
pertama (CP misalnya)
 Kejang demam kompleks
 Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
 KDS berulang 4 kali dalam1 tahun
 Edukasi ornag tua
o Yakinkan bahwa prognosis baik (dalam 1-2 tahun)
o Memberi tahu cara penanganan kejang
o Beri informasi kemungkinan kejang kembali
o Beri obat profilaksis untuk mencegah berulagnya kejang -> beri tahu efek
samping
 Kesalahan/Pitfalls
o Kesalahan diagnosis -> infeksi didiagnosis menjadi kejang demam ->
membahayakan pasien. Kejang demam disertai demam didiagnosis infeksi ->
pasien mendapat terapi dan pemeriksaan yang tidak perlu
o Tidak mengedukasi keluarga pasien
o Melakukan pemeriksaan yang tidak rutin -> pencitraan dan EEG
 Ensefalopati
o Ada 2 definisi/cakupan
 Secara luas, intinya semua gangguan korteks otak yang luas yang
ditandai gangguan kesadaran, kognitif/kepribadian, kejang. Kalau
memenuhi 2 dari 3 syarat -> ensefalopati
 Secara sempit, merupakan 2 dari 3 syarat tadi tapi tidak diakibatkan
proses inflamasi korteks (ensefalitis)
 Ensefalitis
o Inflamasi pada parenkim otak, akibat virus tapi sekarang juga diketahui
disebabkan autoimun
o Dalam konteks gangguan korteks otak ada gejala spesifik -> secara empiris
bisa diarahkan pada diagnosis ensefalitis kalau ada
 Gangguan kesadaran
 Demam
 Kejang fokal/umum
 Defisit neurologis
 Kelainan LCS
 Kelainan pencitraan
 Kelainan EEG
 Harus disingkirkan trauma, metabolik, tumor (scan), sepsis dan
penyebab non infeksi lainnya
o Gangguan kesadaran, kognitif, kejang juga disebabkan
 Epilepsi yang lama
 Meningoensefalitis
 Gangguan metabolik
 Psikologis -> bukan gangguan korteks
 Penyakit jantung/paru
 Ensefalopati sepsis
o Tidak ada inflamasi ke otak
o Pasien sepsis, kriteria sepsis terpenuhi
o Tidak ada arah ke infeksi SSP -> meningits/ensefalitis
o Jika pasien sepsis dengan gangguan kesadaran apalagi kejang-> lakukan
analisis LCS (LP) -> tidak ketemu tanda inflamasi -> ensefalopati sepsis
o Toksin bisa merusak parenkim otak
 Ensefalopati tifoid
o Masih bisa terjadi walau jarang
o Terjadi pada pasien yang tidak diberi antibiotik, beri obat dexamethasone
dosis tinggi
 Ensefalopati dengue
o Berat klinisnya, terbukti ada infeksi dengue (NS1 atau serologis)
 Ensefalopati hipoksik
o Gangguan suplai oksigen otak
o Ensefalopati meski bukan menginflamasi otak tapi masih bisa merusak otak
o Jaringan otak bisa mati karena tidak tersuplai oksigen
 Ensefalopati natal karena proses kehamilan
o Asfiksia natal -> merusak otak yang berkembang
 Ensefalopati hipertensif dan uremik (pada penyakit ginjal)
o Bentukan khas -> posterior reversible encepahopathy syndrome -> dekat
dengan sirkus wilisi -> tekanan sistemik dan vaskuler meningkat -> merembes
cairan vaskular -> edema yang sumbernya vasogenik
 Ensefalopati pada SLE
o Khasnya -> gejala psikiatrik -> gangguan perilaku, rewel, bengong, tidak mau
makan.
o Disalah diagnosis dengan psikosis neurosis.
 Gangguan metabolik dan sistemik lain
o Hiponatremi, hipernatremi, hashimoto, gangguan adrenal, gangguan
paratiroid, gangguan metabolik bawaan -> jangan dianggap muncul secara
dini, ada yang timbul saat balita usia sekolah bahkan remaja atau dewasa ->
substrat metabolik berakumulasi baru merusak jaringan.
 Ensefalitis Autoimun
o Sering ditemukan, mirip ensefalopati lupus, pasien penurunan kesadaran,
perubahan kepribadian tapi tidak disertai demam.
Epilepsi dan Kelainan Paroksismal Non Epileptik pada Anak
 25% kesalahan diagnosis kejang terjadi pada anak karena anak tidak bisa
mengeksplor dan menjelaskan penyakitnya
 Epilepsi -> kelainan intrakranial
o Membran sel tidak stabil
o Gangguan ATPase
o Sel glia bermasalah
o Keseimbangan zat yang bisa mensensitisasi dan menghambat
(neurotransmitter -> glisin/GABA)
 Hampir ¼ epilepsi resisten obat karena anak tidak ingin minum obat atau saat tidur
tidak konsumsi obat -> susah adaptasi, bergantung ke ibunya. Sulit dibangunkan dan
adanya penolakan pada anak saat konsumsi oabt -> menyebabkan resisten.
 Komorbid secara umum adalah disability intelektual, ketidakmampuan belajar,
gangguan attention, gangguan attention-deficit/hiperaktif (ADHD).
 Paling utama adalah deteksi apakah epielpsi atau bukan dan monitor apa perlu EEG.
EEG diperlukan kalau ada kejang tanpa demam, kejang berulang, kejang demam >5
tahun. EEG normal belum pasti epilepsi dan belum pasti tidak epilepsi -> butuh gejala
pendukung.
 Tatalaksananya dengan mengajarkan mengatasi kejang -> apapun penyebabnya, saat
kejang beri diazepam. Tidak perlu lihat diagnosisnya -> atasi kejang. Berfikir ABC
(bebaskan jalan napas, oksigenisasi, lepaskan yang sempit agar bisa bernapas lega,
keluarkan lendir), kejang mendadak karena gangguan aspirasi. Obat yang diberikan
oleh neurologi anak -> diberi obat 2 tahun bebas kejang -> turunkan dosis perlahan
(tapering off0.
 Kejang -> berlebihan gangguan listrik -> karena ATPase, membran sel,
neurotransmitter imbalance, masalah sel glia. Sel glia untuk penyimpanan dan
metabolisme yang ada di otak -> gangguan fisiologis, anatomis, biokimia atau
gabungan.
 Manifestasi klinis
o Bengong -> normal -> bengong lagi. Saat bengong informasi tak diterima ->
absence -> learning disabilities.
o Serangan kejang -> kejang kelojotan, kejang tanpa kelojotan, umum/seluruh
tubuh (penurunan kesadaran), fokal (sederhana tanpa penurunan kesadaram ->
tangan kelojotan saja), kompleks (kejang seluruh tubuh).
o Kejang tonik seluruh tubuh tanpa penurunan kesadaran -> tetanus spasm atau
hipokalsemia.
 Kejang demam -> gangguan sistemik infeksi.
 Diagnosis
o Anamnesis
 Epilepsi -> kejang tanpa demam.
 DD -> infeksi intrakranial -> lumbal pungsi
 Kalau kejang berulang setiap demam -> kejang demam
 Kejang demam tiba-tiba ada kejang tanpa demam -> epilepsi
 Kejang tanpa demam -> kejang muncul dengan demam -> epilepsi
 Epilepsi -> frekuensi melebihi >= 2 kali, kalau lebih dari 2 kali disebut
epilepsi. Kalau dalam 24 jam 3-4x bukan epilepsi. Kalau hari ini
kejang lalu 2-3 hari lagi kejang -> epilepsi
 Tanya berapa lama, apakah sebelumnya ada sakit, apakah mendadak,
apakah ada penurunan kesadaran, apakah ada muntah/diare (imbalance
elektrolit), hipoglikemia (karena muntah/diare)
 Penyebab ekstracranial atau intracranial (epilepsi simptomatik ->
tumor, cairan, malformasi kongenital -> fokus terjadinya kejang ->
epilepsi karena berulang dengan episode tertentu)
o Pemeriksaan fisik
 Lingkar kepala penting -> gambaran perkembangan otak. Lingkar
kepala kurang -> cari tahu genetik/bukan (sejak lahir atau muncul saat
beberapa saat anaknya berkembang). Jadi penting untuk mengukur
lingkar kepala saat lahir. Lingkar kepala kecil, perkembangan otak
masih normal (sesuai milestone) -> ukuran lingkar kepala normal
(memang turunan). Ukuran lingkar kepala besar -> apakah
turunan/bukan, besar tapi jalannya biasa saja berarti normal (biasanya
bapak dan ibunya juga besar lingkar kepalanya). Fontanela harus
dilihat. Usia 15 bulan ubun-ubun sudah harus menutup, kalau telat
mungkin ada faktor lain sehingga lingkar kepala tidak menutup dengan
baik
 Fungsi vital
 Keadaan umum -> secara umum dan khusus (head to toe) untuk
melihat apakah ada kelainan yang berhubungan
 Kejang dengan demam -> ekstra/intrakranial. Intrakranial (infeksi
SSP), tanya pertama/berulang -> berulang kemungkinan berkembang
menjadi epilepsi. Epilepsi simptomatik -> ada penyebab mendasari
dari EEG dan MRI, kalau epilepsi idiopatik -> tidak bisa dijelaskan,
akibat genetik.
 Harus perika keadaan spesifik pasien saat datang dengan keluhan
kejang. Anamnesis -> frekuensi, lama, sejak kapan, penyakit
mendasari, riwayat kepala, kejang pertama/berulang, trauma ada atau
tidak, lalu cari riwayat perkembangan sejak lahir sampai sekarang
(lahir langsung/tidak langsung menangis -> risiko kejang dan
terhambatnya perkembangan otak tinggi)
o Pemeriksaan penunjang
 Harus paham dulu kejang/serangan menyerupai epilepsi (jitteriness, hiperekplexia,
syncope, dystonia, breath holding spell, sleep myoclonus, chorea, bangkitan
opsiogenik) -> non epileptic paroxysmal
o Histerikal -> kaku seperti kejang tonik
o Epilepsi muncul dan hilang tiba-tiba
o EEG -> ada gelombang epileptik yang masih terdeteksi setelah beberapa saat
 Kejang umum tonik klonik
o Mata mendelik -> kaku -> kelojotan
 Bukan kejang -> sudden attack
o Pada anak yang suka menahan kencing
o Gerakan tidak khas
o Serangan berlangsung beberapa menit/lebih
 Bukan kejang -> Breath Holding Spell
o Tidak ada penurunan kesadaran tapi nangis berkepanjangan (tidak menarik
napas karena tidak bisa) -> hipoksia -> lemas -> bisa pingsan
o Cirinya -> menangis lalu membiru
o Lawannya -> muka pucat dan kaku -> Valid Holding Spell
o Terbanyak karena merasa tak nyaman
 Spasme infantil
o Sering tak disadari orang tua
o Bayi tidak bisa duduk
o Bangkitan seperti terkejut
o Ada gelombangan disaritmia/burst
o Harus diobati cepat karena mengganggu -> regresi
o Kelainan perkembangan
 Absans
o Dicetuskan hiperventilasi lalu bengong (behavioral arrest)
 Algoritma Penegakkan Diagnosis
o Pertimbangkan kondisi lain yang bisa menyebabkan kejang, lihat apakah
terprovokasi atau tidak, kalau ada lakukan pencitraan (tumor) kalau tak ada
lakukan EEG. Kalau tidak ada provokasi -> apakah ada trauma -> infeksi ->
gangguan metabolik, Infeksi -> lakukan pungsi lumbal.
o Cari faktor provokais lainnya -> trauma, jejas di kepala, sakit kepala hebat,
penggunana obat-obatan, gangguan elektrolit (muntah, diare).
 Periksa elektrolit kalau muntah dan diare berkali-kali
 Kejang lama -> periksa gula darah. Hipoksia -> metabolisme butuh
energi lebih -> butuh glukosa
o Kalau tidak ditemukan provokasi -> epilepsi
 Epilepsi -> unprovoked seizure -> pertama kali kejang tanpa provokasi
 Klasifikasi seizure
o Focal onset -> bisa berkembang menjadi general, focal sendiri tapi sederhana
(tanpa penurunan kesadaran -> defek terlihat dari EEG)
o Generalized onset
o Unknown onset
 Kejang fokal
o Di satu hemisfer, terlokalisir, dokal klinik/distonik, mata melihat kek
kiri/kanan, ada aura, di EEG misalnya ada spike wave di daerah oksipital
 Kejang umum
o Semua ekstremitas bergerak
o Seluruh EEG ada spike wave
 Fase tonik-klonik
o Awalnya tonik dahulu, disertai vokalisasi
 Kejang mioklonik -> gerakan menyentak pada sekelompok otot, dapat tunggal atau
multipel. Biasanya pada otot−otot fleksor
 Sindroma epilepsi
o Awitan khas (onset dan waktunya)
o Gambaran kejang khas
o Gambaran EEG khas
o Ada fase-fasenya -> neonatal (othahara syndrome paling jelek), anak 9west
syndrome jelek perkembangannya), remaja, familial
o Early infantile epileptic ecephalopathy (sindrom othohara) -> bayi baru lahir
(3 bulan ke bawah), lidah kadang keluar.
 Komorbid epilepsi
o Bisa membuat depresi, anxiety, autism spectrum disorder (5,9-64,1%),
kognitif -> ADHD, learning disability, disabilitas intelektual, medical ->
cerebral palsy
 Langkah Penegakkan Diagnosis
o Lihat apakah paroksismal atau tidak, lihat apakah lebih dari satu kali, tipe apa
kejangnyam cari etiologi -> pengobatan
 Diagnosis epilepsi
o Dismorfik wajah -> sudut nacrolasimalis bermasalah, sudut wajah kelainan ->
syndrom down, apert syndrome
o 10% anak epilepsi EEG normal
o 3% anak sehat EEG abnormal
o Epilepsi -> EEG normal -> obati gejala walau EEG normal
o MRI -> lihat defisit nerurologi
o Pemeriksaan metabolik penting untuk melihat apa ada error metabolisme ->
banyak berhubungan dengan myoclonic
 Tatalaksana
o Apapun kondisi kejangnya -> beri diazepam.
o Obat rumatan -> pilih sesuai gejala pasien
o Lini pertama -> fenobarbital, kalau akut secara diazepam tidak ada perbaikan -
> masih kejang -> fenitoin
 Pertimbangakn untuk mengontrol kejang
 Toksisitas efek samping
 Antisipasi kecepatan respons obat
o Fenitoin masih tidak ampuh -> midazolam (bisa menyebabkan depresi napas)
-> masukkan ke ICU
o Obati bangkitan kejang bukan gambaran EEGnya -> kalau baru pertama kali
risiko berulang tinggi
o Tidak ada gejala dan EEG abnormal -> tidak diberi obat
o Lini kedua -> sesuai gejala
o Kejang umum -> 2 tahun bebas kejang, kejang fokal -> 3 tahun bebas kejang
(ada pencetus yang terbukti dengan EEG), epilepsi absence -> 2 tahun bebas
serangan, juvenile mioklonik -> seumur hidup
o Di Indonesia bentuk sirup dan sprinkle sedikit -> dibuat racikan -> jeleknya
tergantung apotek -> dosis kurang bisa resisten.
o Hati-hati dalam pemberian obat karena bisa terjadi interaksi obat
 Faktor Berulang
o Riwayat bangkitan tonik-klonik
o Saat diberi obat maintenance -> kejang berulang. Hilang kejang setelah diberi
obat -> bagus.
 Kesimpulan
o Waspadai unprovoked seizure -> kejang terjadi pertama kali
o FUS -> unprovoked seizure
Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Anak
 Kejang akut dan status epileptikus banyak ditemukan pada anak -> kegawatdaruratan
neurologis yang banyak dijumpai pada anak serta berpotensi menyebablan kematian
atau disabilitas jangka panjang.
 Penyebab status epileptikus
o Kejang demam (terutama <1 tahun) -> masih ringan, prevalensi cukup tinggi
pada <1 tahun, angka kejadian tinggi (10%) -> bisa berkembang menjadi
status epileptikus
o Infeksi SSP -> lebih sedikti dari kejang demam, kemungkinan lebih besar
menjadi status epileptikus
o Epilepsi -> tidak minum obat
o Gangguan metabolik
 Kejang -> gejala dan tanda akibat lepasnya muatan listrik berlebihan dan hipersinkron
dari neuron otak
o Gejala dan tanda macam-macam, klasik itu konvulsif (tonik-klonik -> kaku
kelojotan). Non konvulsif -> klonik sebagian badan (kontraksi relaksasi
ritmik), bengong. Ada gejala yang mirip migraine -> voltez? Gangguan
penghidung -> seperti mencium bangkai -> di EEG hasilnya abnormal.
o Fokal -> melibatkan 1 hemisfer otak, umum -> melibatkan kedua hemisfer
otak. Bisa konvulsif dan non konvulsif
o Dengan/tanpa penuruann kesadaran. Bangkitan umum/bilateral selalu disertai
penurunan kesadaran -> kalau tanpa penurunan kesadaran bisa saja yang lain
bukan kejang.
 Status epileptikus -> kejang yang lama dan terus >30 menit atau kejang berulang
selama 30 menit tanpa pemulihan kesadaran. Kalau sudah 30 menti bsia terjadi
kerusakan otak menetap. Sebelum 30 menit ada batas waktu lainnya yaitu jika kejang
lama dan kejang tersebut kemungkinan besar tidak berhenti tanpa prevensi ->
impending SE -> SE tonik klonik (t1) -> 5 menit.
o Kejang bukan tonik-klonik -> terjadinya kerusakan otak bisa lebih lama ->
status epileptikus 30 menit penilaiannya
o Harus diatasi karena menyebabkan kerusakan otak permanen -> bisa
menyebabkan kematian
o Yang awalnya bukan epilepsi -> bisa epilepsi, kalau sudah ada epilepsi ->
tambah parah epilepsinya -> sulti diatasi
o Kerusakan otak yang lumayan berat terlihat pada MRI -> rempote
symptomatic epilepsy, acute symptomatic seizure -> trauma kpitis, febrile
 Mekanisme kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan otak permanen dan
kematian
o Aliran darah ke otak terganggu
o Perdarahan otak -> menurunkan energi otak -> kerusakan otak
o Awalnya edema otak tipe sitotoksik
 Bukan kejang -> historia, distonia
o Kejang biasanya onsetnya tiba-tiba, epilepsi juga tiba-tiba stop. Tiba-tiba
datang dan hilang -> paroksismal. Sakit perut juga paroksismal sifatnya.
o Kejang biasanya kesadaran terganggu, kalau kejang fokal bisa terganggu bis
atidak tapi sebagian besar terganggu
o Kejang gerakan ekstremitas sinkron (atas-bawah sinkron)
o Kejang gerakan bola mata abnormal -> mendelik
o Kejang serangannya khas/tipikal -> pada individu itu tidak banyak berbeda
gejalanya
o Kejang itu gerakannya stereotipikal, mata membuka dan mendelik,
hiperkontinensia -> ngompol.
 Kejang tonik-klonik -> tonik dahulu, bangkitan fokal kompleks terlebih dahulu,
gerakan bisa fleksi bisa ekstensi.
 Korea -> tidak sinkron gerakannya, tidak ada gerakan mata abnormal, tidak ada
penurunan kesadaran. Anak korea dan neurologis normal -> jantung rematik
 Distonia -> kaku seluruh badan, sadar, badan melinting/memuntir, berlangsung
berjam-jam.
 EEG iktal belum tentu ketemu kejangnya bisa saja masih normal.
 Tatalaksana kejang akut -> harus IV -> UKK Neurologi IDAI
o Diazepam per rektal maksimal 2 jarak 5 menit (kalau kejang tak teratasi). <12
kg 5 mg dan >= 12 kg 10 mg
o Tunggu 5 menit -> upayakan pasang IV -> diazepam IV (0,2-0,5 mg/kg/bb
dengan kecepatan 2 mg/menit, maksimal dosis 10 mg) atau midazolam o,2
mg/kg/IM/buccal (jika infus gagal dipasang)
o Tunggu 5-10 menit -> Fenitoin 20 mg/kg/iv (20 menot/50ml NS) ->
fenobarbital (20 mg/kg/iv (rate >10 menit) -> maksimal 1 g keduanya. Atau
sebaliknya (fenobarbital -> fenitoin)
 Fenitoin lebih lambat -> banyak efeknya
o Masih belum teratasi -> SE refrakter harus di ICU -> pakai midazolam IV
bolus dan kontinyu.
o Asam valproate belum ada preparat IV di Indonesia -> masih terbatas untuk
obat rumatan.
o Diazepam/midazolam onset kerjanya 1-3 menit tapi durasi juga cepat (5-12
menit) sehingga cocok untuk obat akut lini pertama, tapi tak cocok untuk obat
rumatan/maintenance
o Fenobarbital dan fenitoin onsetnya lambat (10-30 menit) tapi durasinya 12-24
jam -> cocok untuk obat rumatan
o Dipilih IV -> paling bagus untuk menghentikan kejang mulai dari obat masuk,
tapi lama kalau pasien belum dipasang infus -> rute alternatif.
 Hasil pengobatan
o 90% teratasi dengan lini 1 dan 2
o 10% -> SE refrakter -> tidak teratasi dengan benzodiazepin + 2 obat
o SE super refakter -> SE yang tidak teratasi lebih dari 24 jam
 Diazepam per rektal ada dosis berdasarkan usia -> progresif menurun seiring
pertambahan usia. Ujungnya dipatah lalu dimasukkan ke anus. Kalau ingin diresepkan
harus dipegarakan ke pasiennya cara pemakaian obatnya.
 Fenitoin sebetulnya banyak efek samping -> aritmia, hipotensi dan yang sering terjadi
bermasalah itu purple glove syndrome (harus amputasi). Fenobarbitol banyak
sedasinya, kalau fenitoin bisa cepat evaluasi respons terapi.
 Pada bagan di kotak sebelah kanan dan catatan tambahan.
o Pasien datang kejang disertai demam, ubun menonjol, ada rangsang meningeal
-> beri diazpem rektal bisa teratasi, tapi bisa timbul lagi kejangnya ->
meningitis -> harus maintenance fenitoin/fenobarbital (durasi kerja lama).
Kalau pasien datang tanpa kejang harus pertimbangkan terapi maintenance
(fenitoin dan fenobarbital).
o Kalau kejang sulit teratasi (baru bisa diatasi lini kedua atau setelahnya)-> beri
maintenance dahulu -> kalau ada risiko kejang berulang.
o Untuk memberi maintenance -> dosis pertama maintenance 12 jam setelah
loading dose -> fenitoin 5 mg/kg/hari atau fenobarbitol 3-5 mg/kg/hari dibagi
2 dosis -> diberi tiap 12 jam. Loading 20 mg/kg/iv jam 8 pagi -> maintenance
jam 8 malam -> jam 12 malam kejang -> beri diazepam. Setelah itu bisa beri
loading tambahan 5-10 mg/kg/iv (kemungkinan dosis masih kurang).
o Kalau sudah diberi maintenance -> diberi maintenance -> kejang lagi ->
loading dose lagi -> tambahkan dosis tambahan 2,5 mg/kali. Kalau kejang
sempat teratasi -> beri loading dose tambahan. Kalau kejang tidak teratasi baru
lanjut ke bagan bawahnya.
 Perawatan setelah kejang
o Periksa elektrolit -> anak usia di bawah 6 bulan juga dicek
o Obat rumatan diberi jika kejang sulit diatasi dan risiko kambuh tinggi
o Jika kejang lagi -> diazepam, feno/feni
o Cari etiologi kejang
 Penghentian obat
o Tergantung etiologi
 Infeksi SSP -> pasca fase akut obat dapat dihentikan. Klinis membaik
juga turunkan obatnya.
 Epilepsi -> kalau sudah dapat obat, patuh obat tapi masih kejang ->
naikkan obat (asam valproate, carbamazepin)
 Kelainan elektrolit -> obat dihentikan bila kelainan terkoreksi
 Pasien dengan kejang beserta demam -> membaik -> kejang lagi -> kemungkinan
besar berkembang menjadi epilepsi
 Ilustrasi kasus 1 -> beri diazepam -> tunggu 5 menit -> diazepam dosis lama ->
tunggu sambil pasang infus -> diazepam IV 0,2-0,5 mg/kg -> sebaiknya ambil dosis
rentang tertinggi (0,5 mg x 10 -> 5 mg) dan encerkan -> beri selama 2,5 menit
(setengah dosis)-> kalau disuntik dan kejang berhenti -> stop pemberian obat
meskipun sebelum dosis yang dianjurkan -> masih kejang lagi beri fenitoin (20 mg/kg
-> 200 mg) dimasukkan dalam NaCl fisiologis 50 ml selama 20 menit -> terapi
maintenance (BB -> 2,5 mg tiap 12 jam), disuntik 12 jam setelah loading dose
sebelumnya. Pengenceran 10 gr/ml NaCl -> 25 mg jadi 2,5 ml NaCl -> kecepatan
tergantung dosis (2,5 menit). Beri juga tatalaksana kausatif -> antibiotik. Beri terapi
suportif juga sesuai gejala.
 Sebelum tatalaksana kejang -> amankan ABC
o Tanya obat kejang apa yang telah diberi sebelumnya -> kalau belum beri
diazepam rektal. Kalau belum berhenti beri feni/feno.

Tetanus Neonatorum
 Penyakit tetanus itu endemik, kalau pandemik itu menyebar ke seluruh dunia,
endemik itu lokal sifatnya. Akibat hygiene yang kurang dan perawatan luka yang
kurang baik.
 Disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani, bakteri gram positif, basilus anaerob
(membentuk batang dan hidup tak butuh oksigen, kalau ada oksigen malah mati ->
titik lemah ini digunakan untuk pengobatan), kumannya membentuk spora ->
membungkus diri -> beri obat untuk menghancurkan spora, bakteri akan
mengeluarkan eksotoksin -> harus dilawan toksin yang dikeluarkan, kuman hidup di
tanah -> kalau di hewan dan manusia hidupnya di saluran pencernaan.
o Bakteri gram positif -> terkait obat-obatan, ada untuk yang gram negatif dan
positif, kalau obatnya tidak sesuai maka tidak akan mempan.
 Tempat masuk kuman ke tubuh -> luka terbuka, laserasi, luka bakar, luka tusuk,
infeksi telinga tengah (otitis media akut -> bisa kena tetanus) dan pada tali pusar (tali
pusar harus didesinfeksi, kalau diberi kunyit dll -> anaerob -> kuman tumbuh)
 Masa inkubasi (masuknya kuman sampai menimbulkan gejala) -> rata-rata 3-21 hari,
bisa juga 1 hari-beberapa bulan. Belum timbul gejala karena toksin belum
dikeluarkan, toksin bisa dikeluarkan jika kuman sudah membuat spora.
 Patogenesis
o Kuman membentuk spora dengan lingkungan baik -> kuman menjadi vegetatif
-> mengeluarkan toksin yaitu tetanospasmin (neurotoksin) -> toksin akan
ditangkap oleh reseptor -> reseptor mengirimkan impuls ke saraf
sensoroik/motorik/autonom -> aksonal -> medula spinalis + batang otak ->
timbul gejala klinis
 Gejala klinis
o Motorik
 Kekakuan otot rahang/mulut (risus sardonicus),
 Kena tulang belakang -> perut papan,
 Kaku kuduk (kepala ditekuk dan dada dikontrol dengan digoyang ->
ada tahanan -> kaku kuduk positif),
 Opistotonus -> otot tulang belakang mengeras sehingga penderita akan
melengkung dan tangan bisa dimasukkan di bawah badannya,
 Sukar menelan,
 Spasme glotis dan laring -> sianosis dan sesak napas,
 Spasme otot pernapasan -> kegagalan bernapas -> pasien bisa
meninggal.
o Autonom
 Gelisah, hiperiritabel (mudah terangsang), banyak keringat, suhu
meningkat, palpitasi (denyut jantung meningkat)
 Bentuk klinis
o Berdasarkan lokasi bisa lokal dan umum
o Berdasarkan umur
 <= 1 bulan -> tetanus neonatorum (kurang dari beberapa hari -> 28
hari)
 > 1 bulan -> tetanus anak
 Penentuan derajat tetanus neonatorum
o Umur <6 hari skor 4, 6-10 hari skor 2, >10 hari skor 1
o Kejang spontan (tidak diapa-apakan kejang sendiri) skornya 2, kejang
rangsang -> distimulasi (cubit/kejutkan) skornya 1
o Sianosis (kebiruan di tubuh) skornya 2
o Suhu >38 skornya 1
o Trismus skornya 1
 Skor 2-4 derajat 1
 Skor 5-7 derajat 2
 Skor 8-10 derajat 3
 Penentuan derajat tetanus anak
o Ada 6 indikator
o Ada salah satu saja gejalanya di gejala 3 -> sebut derajat 4
 Misal, inkubasi 14 hari, onset 3-6 hari, tetapi terjadi trismus berat,
disfagi dan kejang hanya sebentar -> ada 1 saja gejala derajat tertinggi
-> masuk derajat tertinggi
 Penatalaksanaan
o Netralisasi toksin -> kuman mengeluarkan toksin jadi harus dinetralisasi pakai
ATS (antitetanus serum -> dari binatang), bisa pakai tetagam -> dari manusia.
o Beri antikonvulsan -> diazepam
 Pada anak -> 4-8 mg
 Pada neonatus -> 8-10 mg
 Guna range adalah menyesuaikan dosis, dosis diazepam 1 ampulnya
adalah 10 mg -> boleh dinaikkan sedikit (masih dalam range) agar
mudah penggunaan ampulnya
o Beri juga gabungan fenobarbital dan largactil (untuk maintenance)
 Pada anak -> 6 kali fenobarbital 30 mg + largactil 2-5 mg/kgBB dibagi
6. Kalau gejala menurun -> turunkan jadi 3-4 kali -> kalau gejala
menurun bisa kurangkan lagi dosisnya (maintenance)
o Antibiotik -> perlu karena infeksi bakteri (membunuh kuman agar toksinnya
juga tidak dihasilkan terus)
 Beri Ab broad spectrum -> ampisilin spectrum + dan gentamisin
spectrum -, walau penyebab gram positif masih ada kemungkinan
adanya kuman lain jadi diberi broad spectrum.
 Pada anak -> PP (Penicilin prokain) 50.000 iu/kgBB -> maksimal 2
juta, biasanya dibagi 2-3
o Antiseptik
 H2O2 -> mengeluarkan O2 -> terkait bakteri yang anaerob, biasanya
disemprot agar merata
 Ditambah debridement luka -> lukanya dibuat terbuka sehingga tidak
terjadi tempat anaerob
o Suportif dan simptomatik
 Suportif -> membantu keadaan pasien (beri vitamin)
 Simptomatik -> mengatasi gejala (demam diberi antipiretik, muntah
diberi antiemesis)
 Kausatif -> obati penyebab penyakit
 Cegah pasien agar tidak mengalami kegagalan pernapasan
(spasme/paralisis pernapasan) -> kalau sudah terjadi beri pernapasan
buatan.
Gangguan Penghidu
 Salah satu penyebab gangguan penghidu adalah trauma kepala terkait letak saraf
olfaktori
 Proses penggantian dimulai dari sel basal (stratum germinativum) selama 3-6 bulan,
akibat penuaan, proses neurogenesis. Baik anosmia maupun hiposmia ada yang
bersifat reversibel dan ireversibel.
 Amigdala adalah salah satu pusat penghidu. Diterima epitel -> masuk ke reseptor sel
 Proses penghidung (jalur molekul bau sampai ke celah olfaktoria)
o Aliran orthonasal langsung
o Aliran retrograde nasofaring -> masuk lewat rongga mulut, di belakang hidung
ada nasofaring -> naik ke atas. Jadi kalau makan aroma masih tercium dari
retrograde ini. Makanya saat flu ada makanan yang enak dan tidak enak.
 Sekali mencium bau -> terbentuk memori sistem penghidu.
 Bau gas yang bocor -> berbahaya bagi sistem penghidu, karena jika tidak ada memori
maka kita tidak tahu itu bau gas bocor.
 Ammonia merangsang nervus 5 -> tidak bisa mencium ammonia berarti berpura-pura
karena ammonia tidak merangsang nervus olfaktorius.
 Patofisiologi gangguan pemghidu
o Gangguan konduksi -> inflamasi, hipertrofi mukosa hdiung, polip nasi, alergi -
> pembengkakan -> gangguan akses pembau.
o Gangguan sensorineural -> sel inflamasi melepaskan mediator inflamasi
meningkatkan hipersekresi pada mukosa saluran napas dan kelenjar bowman
mengganggu konsentrasi ion pada mukosa olfaktori -> ganggu proses
transduksi. Eosinofil bersifat toksik terhadap olfaktori.
 Insiden
o Insidennya semakin meningkat seiring tahun
 Klasifikasi ganguan penghidu
o Anosmia -> tak ada fungsi penghidu sama sekali
o Hiposmia -> penurunan fungsi penghidu -> harus banyak kadar aroma baru
tercium
o Kakosmia/pantosmia -> persepsi tanpa ada stimulus
o Parosmia -> perubahan persepsi terhadap stimulus bau, semenjak positif covid
banyak dari anosmia yang tak kunjuk sembuh berkembang menjadi parosmia.
Biasa mencium sesuatu enak tapi lama-kelamaan jadi tidak enak.
 Etiologi
o Hiposmia -> obstruksi hidung (pilek, polip), penyakit sistemik (DM,
parkinson disease), obat-obatan (anti tiroid, kemoterapi, antihistamin)
o Anosmia -> infeksi, trauma (kalau tidak melewati golden period dari trauma
akan membaik gangguannya, lewat dari 4 minggu akan sulit), tumor (Ca
nasofaring, angiofibroma), degenerasi
o Parosmia -> trauma
o Kakosmia -> epilepsi, kelainan psikologik, kelainan psikiatri
o Ganggaun konduksi -> rinitis, sinusitis, polip, papiloma inverted, keganasan,
kista dermoid -> partikel aroma bau terhambat ke area olfaktorius
o Gangguan sensorineural -> kerusakan epitel olfaktorius, reseptor
penghidu/struktur saraf pusat, trauma kepala, infeksi virus, defisiensi gizi,
proses degenratif. Kalau covid bisa menetap -> olfaktorius training.
 Diagnosis
o Anamnesis
 Identitas pasien terkait prevalensi jenis kelamin, usia juga spesifik
 Tanya lamanya, hilang timbul/terus-menerus, unilateral/bilateral,
penyakit lain, trauma, obat-obatan, kelainan sensors lain
(pengecap/penglihatan, Ca nasofaring -> perluasan gangguan ke indra
penglihatan dan pengecap.
 Anamnesis 70% bisa menegakkan diagnosis
o Pemeriksaan fisik
 Rinoskopi anterior
 Rinoskopi posterior
o Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan penghidu sederhana
 Foto SPN
 Laboratorium
 Pemeriksaan fungsi penghidu
o UPSIT (Univerisity of Pensylvania Smell Identification Test) -> mahal
o Tes ambang butanol
o Sniffin stick test
o CC-SIT
o Pemeriksaan penghidu retronasal
o Olfactory-evoked response
 Interpretasi dan Terapi
o Kerusakan nervus. Olfaktorius, tumor n. olfaktorius, lansia, trauma kepala,
tumor intrakranial, epilepsi lobus tempora
 Rinosinusitis Kronis dan Gangguan Olfaktorius
o Rinosinusitis kronis berperan 25% pada kasus gangguan penghidu
o Menurunkan aliran udara nasal dan inflamasi pada neurorepitelium
o Mediator inflamasi yang dilepaskan -> limfosit, makrofag, eosinofi. Sitokin
adalah zat toksik terhadap reseptor n. olfaktorius
o Aktivitas caspase-3 pada biopsi mukosa pasien RSK -> apoptosis sel
olfaktorius
o Derajat gangguan penciuman tergantung keparahan RSK
o Sifatnya ireversibel (perbaikan temporer dan parsial)
 Olfactory training menggunakan zat penghidu yang sifatnya spesifik -> lemon, kopi,
cengkeh, tembakau, teh, sitrus. Tes derajat penghidu beri bau familiar -> tembakau,
cuka, lemon, cengkeh. Untuk bayi, belum ada pemeriksaan spesifik untuk penghidu.

Kelainan Neuromuskular Anak (AFP)/Infeksi Susunan Saraf Pusat

 Anatomi otak dan sawar darah otak/meningens, otak dilindungi selaput meningen dan
ada pembuluh darah disitu. Meningen ada 3 lapis -> duramater, arachnoid dan
piamater. Arachnoid yang kaya PD, piamater menempel ke sulcus gyrus otak.
 Meningen juga membentuk blood brain barrier supaya kuman tidak mudah masuk ->
kuman bisa menempel disitu -> sering meningitis (infeksi selaput meningen),
piamater dan arachnoid (leptomeningen). Ensefalitis -> kuman melewati sawar darah
otak, biasanya virus. Penyebaran bakteri dari meningen biasanya fokal -> mengenai
parenkim tapi ada supresi fokal -> cerebritis (bisa viral bisa bakteri). Infeksi diffuse
itu ensefalitis.
 Meningitis bisa bakterialis, viral atau tuberkulosis. Cerebritis -> akumulasi pus ->
abses. Pengumpulan pus di meningens di subdural -> empyema subdural. Ensefalitis
ada HSV dan japanese (viral), biasanya berat tapi ada obatnya jadi penting kalau
HSV, kalau japanese ensefalitis tidak ada obat tapi ada imunisasinya (belum
diwajibkan secara luas karena bahannya dari babi -> penyebaran lewat babi).
Ensefalitis post infeksius/autoimun -> post infeksi berarti infeksi sudah lewat lalu
timbul kekebalan tubuh yang menyerang SSP (autoimun/mimicry).
 Meningitis -> peradangan terutama pada meningen, penurunan kesdaran bukan gejala
utama. Gejala utamanya gejala rangsang meningeal.
 Ensefalitis -> peradangan pada parenkim otak, gejala utama berupa penurunan
kesadaran.
 Pada anak, gejawal awal meningitis tidak terdeteksi -> datang saat ensefalopati.
Gejala juga overlapping -> butuh analisis LCS.
 Lesi di kortikal -> inflamasi kortikal luas (ensefalitis) -> penurunan kesadaran
 Ada tempat di sekitar batang otak -> jaras kesadaran terkonsentrasi -> lesi kortikal
sedikit saja di pons/batang otak atau infark-> gangguan kesadaram
 Meningitis/ensefalitis itu berat bisa datang sebagai kegawatdaruratan medis yang
harus di diagnosis dan ditatalaksana secepatnya -> bisa mati dan memberi gejala sisa
yang berat kalau tidak.
o Gawat darurat -> peningkatan TIK yang jika dibiarkan maka rusak otak ->
defisit dan kematian
o Kejang dan status epileptikus
o Gejala akibat infeksi berat -> syok (aliran darah ke otak turun) kedaruratan,
sepsis juga bisa menyebabkan BIC (perdarahan kemana-mana)
o Defisit neurologis -> bisa permanen
 Meningitis terutama pada bayi akibat saluran napas berat -> pneumonia contohnya.
 Tatalaksananya harus intensif. Harus dibawa ke ICU segera karena mortalitas tinggi.
 Pasien datang kejang disertai demam -> bisa saja syok ada henti napas, jangan
konsentrasi kejang saja jadi langsung terapi suportif.

o
 Lihat jalan napas, hemodinamik, hipotensi/hipertensi
 Tatalaksan akejang -> konsensus IDAI
 Tatalaksana TIK -> posisi, sedasi, hipotermi, cari kelainan bedah (abses harus
dioperasi)
 Tatalaksana spesifik -> Ab untuk kasus meningitis bakterialis, antiviral untuk
ensefalitis.
 Diagnosis dengan analisis LCS -> menentukan apakah itu infeksi SSP/bukan. Kejang
+ demam + tidak sadar + defisit neurologis -> analisis LCS -> menentukan infeksi
SSP atau bukan dan jenis apa infeksi SSPnya.
o Prosedur dengan ditusuk pada L4
o Pada sebagian besar kasus aman dilakukan, tapi ada precautionsnya sekarang
o Kalau ada anak dicurigai infeksi SSP -> kita tidak melakukan pungsi lumbal -
> kalau ada defisit neurologis -> bisa dituntut karena kita tidak berusaha
mencari penyebab dengan pungsi lumbal.
o Precautions -> kardiorespirasi tak stabil (kalau syok sudah diatasi dengan obat
vasoaktif -> adrenaline, dopamin, dll, gangguan napas dengan
intubasi/ventilator mekanik, kalau aman boleh dilakukan LCS), tanda
peningkatan TIK signifikan dan fokal (GCS <10, hemiparesis fokal,
hidrosefalus) harus CT scan otak dulu, infeksi kulit/jaringan lunak tempat
dilakukan lumbal pungsi (meski kita beri upaya pencegahan infeksi kita tidak
tahu subkutis dimana jadi merepotkan), perdarahan intrakranial, gangguan
pembekuan darah (trombosit <50.000 -> transfusi trombosit -> kalau sudah
bagus noleh di LP)
o Pasien datang dengan ubun menonjol dengan kejang dan penurunan
kesadaran, pucat dan demam, riwayat lahir di dukun -> APCD -> defisiensi
vitamin K bleeding, bisa gangguan otak dan disabilitas permanen -> di bawah
4 bulan.
o Normalnya LCS 0-5 sel/mm3 MN, PMN sangat jarang, 1 PMN pada klinis
meningitis bisa dikatakan signifikan. Leukosit 1 semua MN itu normal, hati-
hati jangan baca diff count. Nilai sel, hitung jenis, protein dan glukosa.
o Tujuannya mencari bukti mikrobiologis -> sangat spesifik -> pewarnaan gram,
BTA dan kultur.
 PCR -> ketemu kuman -> perlu kultur karena ingin melihat resistensi
Ab juga. Untuk TB ada PCR GeneXpert -> resistensi rifampisin
o Lihat jumlah selnya dahulu, bakteri harusnya >500 mm3, kalau LCS sudah
ditusuk -> leukosit akan lisis jadi harus cepat diperiksa di mikroskop.
Pengambilan saat LP -> sel saat rentan, jadi harus dialirkan lewat tube dan
tidak boleh digoncang saat pengantaran ke laboratorium -> LP tidak selalu
ideal.
o

o Hitung jenisnya juga, PMN dengan jumlah sel meningkat -> meningitis
bakterialis. Protein jika ada inflamasi pasti naik (>40/50 mg/dL), glukosa jika
ada inflamasi pasti turun (<40/50 mg/dL)
 Kultur jarang tumbuh karena pemakaian Ab. Kuman jika di dalam tubuh sulit diobati
-> bisa ventrikulitis, tapi jika ingin kita periksa biasanya kuman mudah mati bahkan
mati terus. Kultur jarang ketemu diagnosisnya. Akibat sudah diberi Ab sebelumnya.
 Pakai PCR karena tidak dipengaruhi Ab. Kultur viral sulit karena sensitivitas rendah
jadi pakai PCR. Kalau TB pakai PCR juga karena kultur lama hasilnya.
 Pencitraan/neuroimaging
o CT scan yang tersedia luas, kalau MRI itu sedikit.
o CT scan tidak spesifik -> meningitis/ensefalitis sulit dilihat. Kalau pada TB
ada penyangatan ganglia basalis
o CT scan bertujuan untuk melihat ada/tidaknya komplikasi -> kalau ada
pergeseran midline -> terapi dahulu. Kalau hidrosefalus -> VP shunt oleh tim
bedah sambil diambil LCS -> lebih bagus hasilnya.
 Ensefalitis Virus -> inflamasi diffuse pada parenkim akibat virus
o Gejala utamanya -> trias -> penurunan kesadaran, demam dan kejang
o Virus terpenting adalah HSV -> berat kalau menginfeksi tapi ada obatnya.
o Saat ini untuk diagnosis ensefalits diperluas jadi kriteria ensefalitis consortium
 Gangguan kesaran 24 jam atau lebih (mayor)
 Demam, kejang, defisit neurologis, hasil LCS tak normal, di pencitraan
dan EEG ada kelainan (minor)
 Tidak memenuhi meningitis (sel tidak ribuan, tidak dominan PMN)
o Penyebab terbanyak -> HSV, VZV dan enterovirus
o Diagnosis cepat harus pakai PCR HSV dari LCS
o Kasus dengan tanda dan gejala tertentu beri asiklovir (untuk HSV)
o Manifestasi klinis -> gejala prodormal demam, diare (tergantung penyebab),
defisit neurologis, peningkatan TIK.
o Tanda dan gejala bervariasi sesuai kemungkinan virus penyebab.
 Herpes simpleks -> ada perubahan perilaku dan kejang fokal. Bisa beri
asiklovir kalau tidak ada perbaikan (dan hasil pemeriksaan lainnya)
o Pemeriksaan LCS -> jumlah sel 5-100 sel/mm3, dominan limfosit, glukosa
normal dan protein meningkat
 Sulit dikultur jadi mengandalkan PCR. PCR itu polymer 1 virus jadi
butuh banyak kalau ingin DD dengan bakteri lain. PCR multiplex ->
14 mikroorganisme (bakteri virus campur).
o PCR itu sensitivitas dan spesifitifat >95%, IgM sensitif pada 10 hari pertama -
> tapi tidak ada biasanya -> bergantung pada gejala
o MRI -> ada penyengatan di lobus temporal, kalau EEG ada gambaran PLED
(periodic lateralized epileptic discharges -> gangguan kejang setengah tapi
hilang-timbul). Sulit dilakukan terkait kondisi pasien yang sudah berat.
o Tatalaksana -> sama dengan peningkata TIK -> beri obat antiedema obat
(manitol -> edema sitotoksik, atau NaCl hipertonik), oksigenasi, asiklovir
untuk obatnya.
 Meningitis Bakterialis
o Peradangan leptomeningen (piamater dan arachnoid) karena infeksi di ruang
subarachnoid
o Bisa menyebabkan kematian dan kecacatan berat, angka kematian semakin
tinggi, sebagian besar kasus dapat dicegah dengan vaksinasi -> vaksin
hemofilus influenza tipe B/HEB (penyebab terbanyak meningitis bakterialis) -
> berdampak pada penurunan kasus. Pneumococcus (streptococcus meningeal)
juga akan masuk PPI, kalau vaksin meningitis neisseria belum boleh untuk
anak-anak.
o Patogenesis
 Perhatikan pasien dengan gejala infeksi berat apakah ada infeksi SSP
juga
 Hematogen -> pada bayi kecil, ada infeksi di tempat lain lalu
ada infeksis sistemik, biasanya pneumonia dan sepsis. Pasien
dengan gangguan kesadaran dan kejang -> LP. Lihat ubun-
ubun menonjol/tidak, GRM dan kesadaran dilihta.
 Perkontinuitatum -> pada anak lebih besar, THT biasanya
(infeksi langsung) -> sinus, mastoiditis, sinus cavernosus,
OMSK, OMA -> abses otak kebanyakan
 Implantasi langsung -> trauma kepala terbuka, implantasi
koklea -> kebanyakan VP shunt
 Neonatus -> infeksi transplasental, infeksi amnion ->
bakterimia ->30% menjadi meningitis.
 Meningitis bisa merusak otak.
 Akibat inflamasi meningen -> penekanan mekanis -> edema
otak -> TIK akibat inflamasi meningen -> aliran darah otak
menurun -> edema sitotoksik -> oksigen berkurang. Bisa juga
menyerang otak menjadi cerebritis.
o Manifestasi klinis
 Neonatus-3 bulan gejala tidak khas, sulit dibedakan dengan infeksi
berat lainnya
 Demam, letargi, malas minum, muntah, hipotermia, kesadaran
menurun, UUB menonjol, apneu, kejang. Infeksi disertai kejang ->
lihat apakah ada infeksi SSP.
 Usia 2 tahun juga masih tidak khas -> pikirkan setiap kondisi
menyerupai kejang demam kompleks.
 Anak besar -> sakit kepala, tanda rangsang meningeal jelas.
 Di bawah usia sekolah -> infeksi SSP bisa 40x lipat
o Gejala rangsang meningeal
 Kaku kuduk -> kalau leher ditekuk ada tahanan
 Burdzinski 1 -> kalau leher ditekuk ada fleksi ekstremitas bawah
 Brudzinski 2 -> kaki di fleksi dan kontralateral ikut fleksi
 Kernig -> fleksi panggul dan lutut, pelan-pelan diekstensikan, sebelum
135 derajat ada nyeri/tahanan -> tanda positif
o Penyebab dan tatalaksana meningitis bakterialis

 Untuk menentukan terapi empiris terkait antibiotik


 Streptococcus agalactiae -> GBS
 E. coli -> bisa ke bayi akibat neonatus yang mendapat transmisi
vertikal dari orang tua
 1-3 bulan terpenting haemophilus influenza B -> kasus menurun
drastis akibat vaksinasi.
 3 bulan-2 tahun -> bisa diatasi dengan vaksinasi sebenarnya. Di
Indonesia vancomycin tidak sebagai terapi empiris karena takutnya
resisten.
o LCS pada meningitis bakterialis
 Sel >1.000 sel/mm3 dominan PMN, dipengaruhi pemakaian Ab
sebelumnya dan kualitas pengiriman.
 Lihat hitung jenis juga penting.
o Tatalaksana
 Beri antibiotik empiris sambil menunggu hasil kultur (jadi wajib
dikultur) LCS dan darah (patogenesis hematogen).
 Kortikosteroid untuk inflamasi, dosis lebih kecil untuk 2-4 hari
pertama Ab
 Pencegahan efektif -> imunasi, nutrisi dan hygiene
 Ketemu kuman tapi belum ada hasil resistensi (biasanya dari hasil
PCR)
 Meningitis Tuberkulosa
o Ensefalitis virus dan meningitis bakterialis itu akut, kalau meningitis
tubekrulosis itu bisa lebih dari 5-7 hari gejalanya.
o Biasanya pasien datang dengan kondisi buruk -> kerusakan otaknya luas
o Patogenesis
 Dari awal sudah meningoensefalitis -> dari awal ada gangguan
kesadaran dan gejala rangsang meningeal
 Tahap pertama tidak khas -> TB milier kalau dirontgen -> indikasi LP
 Tahap kedua defisit neurologis
 Tahap ketiga -> diffuse, tahap kedua ketiga bisa diinduce trauma
kepala ringan atau infeksi lain -> hidrosefalus 70% -> tidak sadar
pasiennya
o Diagnosis laboratorium
 Periksa LCS -> sel lebih tinggi dari virus -> maksimal 500 sel dominan
MN, protein meningkat dan glukosa menurun.
 PCR GeneXper/Rif -> melihat resistensi rifampisin
o CT scan spesifik -> penyangatan basal ganglialis
o Tatalaksana
 Obat anti Tb -> 1 tahun diberikan
 Terapu ajuvan anti-inflamasi dengan kortikosteroid
 Post Infectious/Autoimmune CNS Disease
o Penyakit SSP post infeksi
o Paling sering ditemukan -> Anti-NMDA receptor encephalitis atau ensefalitis
autoimun -> butuh pemeriksaan serologis yang menunjang
o Gejala khas -> fase awal psikiatri (psikosis -> mengamuk, awalnya
disorientasi, susah mengingat pelajaran) dan fase hiperkinetik (mengeceap-
ngecap, gelisah, disintegrais bicara) -> jatuh ke fase penurunan kesadaran
ensefalitis
o Ensefaltis anti-NMDAR banyak pada remaja perempuan
o Tatalaksana pakai IVIG dosis 2 gram/kgBB (2-5 hari)

Pharmacy: Medicines Preparation for Special Sensory Organ System


 Bentuk sediaan obat cair topikal dan sediaan steril. Cairan topikal -> untuk mata,
telinga.
 Sediaan cairan topikal -> obat kumur (sakit tenggorokan), litus oris (telinga), guttae
nasales (tetes hidung), inhalation (obat asma, lewat mulut), epithema obat kompres,
collyrium, guttae opth (tetes mata), guttae auricularis (tetes telinga)
 Obat tetes telinga
o Guttae auriculares -> ear drops
o Ditulis ads di resep (auricularis dextra sinistra) atau ditulis eds (ear).
o Cairan pembawa bukan air, tapi minyak yang lembut (lemak yang ringan agar
mudah melekat dengan dinding telinga)
o Diteteskan dalam telinga, pembawanya gliserin/PEG. Bentuk larutan suspensi
yang digunakan pada telinga dengan cara diteteskan dalam jumlah kecil ke
dalam saluran telinga untuk melepaskan kotoran telinga (lilin telinga) atau
mengobati infeksi, peradangan atau rasa sakit.
o Efeknya lokal, bahan obat dapat berupa anastetik lokal, peroksida, antibakteri
dan fungsida yang berbentuk cairan/larutan untuk membersihkan,
menghangatkan atau mengeringkan telinga.
o Preparat untuk melepaskan kotoran telinga
 Tumpukan kotoran telinga bisa mengeras -> gatal, sakit, dsb.
 Bentuknya minyak mineral encer, minyak nabati, hidrogen peroksida.
Propilen glikol digunakan untuk mengelmusi kotoran telinga.
o Bisa untuk antiinfeksi, antiradang dan analgetik
o Dibuat dalam bentuk sediaan khusus, tidak boleh digunakan untuk jangka
panjang -> ototoksik dan superinfeksi.
o Infeksi akibat jamur -> jangan pakai tetes telinga -> superinfeksi
o Formulasi -> pembawa kental agar obat bisa kontak dengan jaringan telinga
lebih lama untuk mengurangi peradangan, membuang lembab dan antibiotik.
o pH di antara 5-7,8
o Hangatkan obat tetes telinga -> agar kotoran bisa lepas saat obat dimasukkan
o Bilas ujung botol tetes -> agar bakteri yang menempel bisa hilang
 Obat tetes hidung
o Guttae nasales/nasal drops
o Sebagai vehiculum pakai air, pada hidung lebih baik cairan isotonis
o Tidak boleh pakai minyak lemak/minyak mineral
o Ditulis gtt I nasal (guttae nasal)
o Bahan pembawa lain -> proilenglikol
o Viskositas larutan harus seimbang dengan viskositas mukosa hidung
o pH 5,5-6,5 atau 5,5-7 pada anak
 Obat tetes mata
o Sediaan harus steril, berupa larutan/suspensi, umumnya larutan (homogen,
jernih, isotonis, isohidri) kalau suspensi bisa perih
o Larutan steril dan bebas partikel asing. Obat tetes mata dibanding tetes telinga
dan hidung jauh lebih banyak karena bisa menyebabkan mata terasa bengkak
jadi harus istotonis
o Digunakan sebagai antialergi, antibakteri, antivirus, glaukoma atau lokal
anastesi
o Syarat
 Jernih -> disaring saat pembuatan
 Isotonis, sedikit hipo/hipertonis (hipertonis -> air mata keluar karena
agak pedih, hipotonis -> mata terasa agak bengkak)
 Isohidris -> pH mata = pH cairan obat tetes mata
 Steril
 Stabilitas -> pH 7 lebih bagus
o Zat tambahan berupa pengawet (digunakan berulang, kalau mini dose tidak
pakai pengawet), pengisotonis, peningkat viskositas, anti oksidan, pendapar
(menjaga kestabilan pH).
o Tetes mata dikemas dalam botol tetes steril, tetes mata dosis tunggal/sekali
pakai dikemas dalam syringe steril tanpa jarum, disimpan dalam temperatur
kamar/kulkas tapi bukan di freezer (mengeras -> berubah bentuknya)
o Sediaan obat mata
 Tetes mata (oculoguttae)
 Salap (oculenta)
 Pencuci mata (collyria)
 Larutan perawat lensa kontak
 Inserte
 Gargarisma (obat kumur)
o Sediaan berupa larutan dalam keadaan pekat dan harus diencerkan dahulu
sebelum digunakan.

Anda mungkin juga menyukai