Struktur tubuh pada anak dan dewasa berbeda secara anatomis dan fisiologis
Struktur mata
o Di depan pupil -> ada lapisan bening yaitu kornea
o Cahaya masuk ke kornea -> bilik mata depan -> pupil -> lensa -> vitreous
humor (seperti jeli berwarna bening) -> retina
o Semua yang dilewati cahaya harus bening, ada setitik darah maka pandangan
kita seperti ada bola, kalau ada garis maka seperti terlihat batang.
Embriologi mata
o Mata dan jaringan di sekitarnya berkembang dari jaringan:
Ektoderm
Surface ektoderm
Mesoderm
Neural crest cell
o Organogenesis mulai dari minggu ke-4 kehamilan, salah satunya mata.
o Perkembangan dari fase intrauterine di minggu ke-4 kehamilan, kalau ada
gangguan bisa ada kelainan mata (katarak, glaukoma, dll). Akan terus
berkembang sampai lahir.
o Anak lahir dengan gangguan mata -> kegagalan pembentukan di kandungan,
jadi harus dijaga sejak ibu hamil untuk kesehatan mata anak.
o Pada janin 8 minggu/56 hari -> sudah terbentuk organ mata. Fase
pembentukan organ harus dibarengi dengan kesehatan ibu hamil -> gizi harus
terpenuhi.
Perkembangan penglihatan dan binokular
o Organ mata terus berkembang setelah lahir. Saat bayi lahir, penglihatan masih
kurang baik/belum sempurna, masih sekitar 20/200 – 20/800. Bayi baru bisa
melihat sekitar 20 cm (jarak pandang pendek).
o Penglihatan terus berkembang sampai umur 6-8 tahun. Akan sama dengan
dewasa penglihatannya saat usia 6 tahun (20/20).
o Bayi melihat ke atas -> mencari titik terang/sumber cahaya -> rangsang
lampu.
Pertumbuhan axial length
o Axial length (AL) -> sumbu bola mata, dari puncak kornea sampai ke retina.
Semakin lama semakin tumbuh AL-nya (seiring pertumbuhan).
o Pesat perkembangan panjang bola mata -> dari lahir sampai usia 2 tahun untuk
first phase. 2 tahun adalah masa emas pertumbuhan. Kalau bola mata kecil ->
hipermetropi -> semakin dewasa bergeser menjadi lebih miop.
Oleh karena itu dari lahir-2 tahun jangan dipaparkan dengan gadget.
Lebih baik dilatih untuk penglihatan jarak jauhnya (benda besar,
warna-warna)
o Second phase -> 2-5 tahun
o Third phase -> 5-13 tahun. Kalau minus di bawah 13 tahun maka masih bisa
membaik karena perkembangan bola mata/penglihatan masih terjadi.
Perkembangan Kornea
o Mengalami perkembangan dari 9,8 mm saat bayi menjadi 12 mm saat dewasa.
o Perubahan anatomi mata mempengaruhi fisiologis penglihatan.
o Awalnya mata bayi/anak seakan-akan plus tapi kelamaan akan normal.
o Axial length -> 14,5-15,5, corneal horizontal diameter 9,5,10,5 mm pada anak.
Perkembangan Tajam Kelihatan
o Saat baru lahir, warna yang terlihat jelas hanya hitam putih, belum bisa
membedakan warna saat lahir. Usia 3 bulan baru mulai bisa membedakan
warna.
o Bayi sensitif dengan warna yang jelas -> merah, kuning, dll. Untuk bayi, kalau
bisa pilih warna terang untuk baju/mainan supaya melatih penglihatannya.
o Semakin berkembang -> 2 tahun mulai bisa melihat objek spesifik/bisa
mengikuti arah.
o Pada bayi 4 bulan akuitas visualnya 6/768 dan akan normal di usia 6 tahun
(6/6).
Perkembangan Otot Ekstraokuler
o Maturasi fungsi otot ekstraokuler
o Bayi baru lahir bergerak sendiri bola matanya -> nistagmus -> masih normal,
bayi mencari fokus penglihatan. Kalau sudah di atas 2-3 bulan, bisa fiksasi,
kalau masih ada gerak involunter harus diperiksa apakah ada gangguan
penglihatan.
Penyakit dalam Pediatrik Oftalmologi
o Banyak penyakitnya, bukan kompetensi dokter umum.
Miopia
Kongenital miopia -> bawaan lahir.
Kalau anak saat diperiksa terdiagnosius miopia sebaiknya dilakukan
koreksi lensa, jangan sampai di usia 6 tahun baru dikoreksi dan
ternyata minus sudah tinggi.
Kalau anak <13 tahun harus dikoreksi lensa (pakai kacamata) agar
tidak bertambah parah, justru jika tidak diberi kacamata maka bisa
bertambah parah -> miopia semakin parah, ambliopia (mata malas)
Hipermetropia
Harus dikoreksi dan diperiksa ke dokter spesialis mata
Pemeriksaannya berbeda dengan orang dewasa karena pada bayi itu
mata cenderung hipermetropi.
Astigmatisma
Perlu dikoreksi dan bisa tidak dikoreksi.
Ambliopia
Matanya sudah dikoreksi maksimal tapi tidak bisa mencapai
penglihatan terbaik (di usia 6 tahun -> harusnya 6/6). Tidak ketemu
ukuran lensa yang pas untuk anak. Penurunan visus unilateral/bilateral
walau sudah dilakukan koreksi terbaik.
Catatannya tidak dengan gangguan anatomis.
Semakin tidak dikoreksi maka akan semakin malas dan lama-kelamaan
bisa hilang penglihatannya karena gangguan di neurosensorisnya.
Mata harus diperiksa minimal saat anak masuk sekolah, mulai periksa
rutin 6 bulan sekali (kalau ada minus). Kalau tidak ada keluhan
setidaknya setahun sekali.
Neonatal Conjungtivitas
Neisseria Gonorrhea
Gejalanya adalah adanya belek pada bayi dengan warna kuning
kehijauan. Bayi harus dirawat.
Curiga orang tuanya riwayat hubungan seksual -> tertular penyakit
kelamin (misalnya sifilis, HIV/AIDS, dll).
Vernal Conjungtivitis
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 dan 2
Kelopak mata bengkak dan merah pada anak. Terasa gatal pada kedua
mata.
Glaukoma Kongenital
Kelainan saraf mata (defek lapangan pandang dengan atau tanpa
peningkatan TIO), kebanyakan akibat tekanan bola mata tinggi
(intraokuler/TIO).
Gejala berupa megalokornea (kornea membesar) dan haab striae
(seperti strecth mark)
Katarak kongenital
Lensa keruh akibat hidrasi cairan lensa/denaturasi protein lensa.
Gejala khas berupa mata putih, keluhan mirip retinoblastoma
(keganasan mata pada anak). Bedakan dengan retinoblastoma dapat
dilakukan USG mata -> kalau putih di belakang itu
retinoblastoma/keganasan. Kalau katarak itu putih di bagian depan.
Foto mata anak dengan blitz -> mata putih, normalnya hitam.
Harus sesegara mungkin dilakukan pengangkatan (ekstraksi lensa)
untuk mencegah ambliopia (mata malas)
Sindroma Kraniofacial (sindroma -> kumpulan gejala)
Crouzon syndrome
Goldenhar synrome
Hallermann-Streiff syndrome
Pemeriksaan Mata Anak
o Beda dengan dewasa, tanya dulu apakah anak sudah bisa membaca/belum.
o Kadang tidak sesuai step pemeriksaan pada orang dewasa.
o General tips -> disapa terlebih dahulu, periksa satu mata terlebih dahulu
Alignment -> kesejajaran bola mata, karena banyak kasus
strabismus/juling pada anak. Dengan corneal light reflection.
Motilitas (gerak) bola mata -> dipandu dengan meminta anak melihat
boneka.
Red reflex test -> lihat refleks yang dipantulkan retina matanya dengan
bantuan alat.
Visual acuity -> bisa pakai Lea Symbol kalau anak belum bisa membaca,
tanya bentuk dari simbol yang ada. Periksa salah satu mata dahulu.
Confrontational Fields, periksa lapangan pandang.
Kapan sebaiknya anak diperiksa ke dokter mata
o Jika orang tua menemukan berbagai gejala
o 9 tanda
Anak lahir preterm (kurang bulan), sesuai dengan gangguan
perkembangan mata
Sulit konsentrasi dan kesulitan membaca
Jika orang tua berkacamata
Squinting, squeezing, menggaruk mata
Mendekati televisi atau objek
Kemerahan, berair, gatal
Posisi abnormal saat melihat objek
Sakit kepala
Mata ke arah dalam/luar
Pendekatan pada bayi
o Tanya riwayat kehamilan, proses kelahiran ibu.
Pendekatan pada Bayi dengan Penurunan Visus
o Banyak menggunakan alat -> VEP, USG, CT scan, MRI
o Harus diperiksa spesialis mata dan neurologi anak (kolaborasi dengan bagian
anak)
Preschool (anak) -> belum bisa mengekspresikan dan mengerti keluhan mata
o Sudah sering mengucek mata -> orang tua harus peka dan periksa ke dokter
mata sebagai deteksi dini.
Refraksi dan Lensa Kontak
1. Refraksi
Refraksi -> proses cahaya masuk melalui media refraksi mata sampai ke fovea.
Benda optik yang dipakai terkait refraksi -> lensa, lensa positif/negatif/silinder
Punctum remotum (R) -> titik terjauh yang dapat dilihat mata tanpa akomodasi,
melihat bintang/mobil dari jauh. Tidak terhingga.
Punctum proksimum (P) -> titik terdekat yang dapat dilihat mata dengan akomodasi
maksimal -> mata melihat tunggal. Kalau objek didekatkan menjadi ganda -> bukan
punctum proksimum.
Daerah akomodasi -> jarak P-R
Satuan optik -> dioptri (D)
Sinar paralel -> dikonvergensikan ke titik fokus (dikumpulkan ke titik fokus) -> lensa
plus (+) atau konveks. Atau divergensikan seolah-olah berasal dari titik fokus
(disebarkan) -> lensa minus (-) atau konkaf.
Sinar yang datang dari jarak >5 m itu paralel, <5 m itu divergen.
Lensa sferikal -> lensa cekung dan cembung (diameter kurvatura yang sama di semua
meridian)
Lensa cembung (kumpulan basis prisma) dan cekung (kumpulan apeks prisma) ->
prisma punya sifat membelok
Semakin tebal kacamata seseorang -> efek prisma semakin jelas dan terasa
Lensa silinder -> 2 jenis lensa yang punya meridian saling tegak lurus, aksis tidak
punya kekuatan, kekuatan di aksis tegak lurusnya. Misalnya ada rumusan -> silinder
minus 3, axis 90. Artinya lensa di aksis 90 -> letak kekuatan lensa di tegak lurus.
Lensa sferosilinder -> kacamata itu gabungan antara lensa sferik dan silinder ->
misalnya minus 1 silinder 3, dsb.
Lensa sferikal -> semua permukaan sama kekuatannya, baik horizontal, vertikal,
oblique itu sama misalnya +2. Kalau silinder -> kekuatannya pada tegak lurus axis.
Misalkan setelah dikoreksi, pasien tidak nyaman -> lakukan metode sferikalekuivalen
atau transposisi. Transposisi -> Jumlah sferis ditambah silinder lalu silinder dirubah.
Bagian refraksi pada mata -> kornea, cairan humour, lensa dan vitreous. Karena
punya indeks bias. Indeks bias -> tempat jalannya cahaya dan bisa terjadi suatu
pembelokan. Semakin jernih media maka cairan semakin lurus. Semakin keruh air
semakin membelok cahayanya.
Proses akomodasi -> diambil peranan besarnya oleh lensa (zonula zinii yang
menggantung di corpus siliaris). Merupakan kemampuan menambah kekuatan
refraksi mata dengan meningkatkan konveksitas lensa (lensa dicembungkan).
Akomodasi dilakukan saat objek yang kita lihat < 5meter atau sinar datangnya
konvergen.
Penglihatan manusia
o Near looking (<= 40 cm)
o Intermediate vision (40 cm-1 meter)
o Distance vision (>1 meter)
o Kalau relaksasi -> lebih dari 5 meter.
Akomodasi -> lensa mencembung, kekuatan bertambah untuk menarik sinar yang
jatuh agar bayangan jatuh pas di fovea retinalis. Kalau objek <5meter itu sinarnya
jatuh di belakang fovea, tidak membentuk sinar paralel (pandangan kabur), mata
mengusahakan sinar jatuh di fovea sentralis.
o Kalau objek jatuhnya < 5m sinar tidak datang paralel tapi divergen. Kalau <4
m sinar konvergen -> bayangan jatuh di belakang fovea -> pandangan kabur -
> rangsang sinyal fotoreseptor di retina -> saraf mata -> otak -> kontraksi
melalui otot siliaris -> lensa mencembung.
o Jadi jarak objek tetap dekat tapi bisa terlihat jelas.
o Terjadi karena kontraksi otot siliaris pada badan siliar.
Refleks dekat -> akomodasi, miosis, konvergensi (rectus medius mengalami
kontraksi). Terjadi saat near-looking.
Anomali refraksi
o Emetropia (normal)
Objek dengan jarak >5m -> bayangan tepat jatuh di fovea saat mata
relaksasi -> ketajaman penglihatan maksimal.
o Ametropia -> keadaan di mana sinar paralel jatuh di depan/belakang fovea
saat mata relaksasi.
Miopia
Cahaya dikoreksi dengan kacamata negatif (-) karena objek
jatuh di depan fovea sehingga penglihatan buram.
Bayangan jatuh di depan karena kekuatan matanya positif
(terlalu kuat) akibat indeks lensa, indeks refraksi kornea atau
panjang aksial (diukur dari anterior kornea sampai fovea)
Objek baru jelas kalau bayangan jatuh di fovea/retina.
Gangguan penglihatan jauhnya.
Akibat axial length > normal, gangguan kurvatura, peningkatan
indeks refraksi (diabetes), perubahan posisi lensa (karena
trauma).
Gejala -> penglihatan jauh kabur, dekat normal. (minus 10)
10.00 D -> lihat dekat juga kabur, Astenopia -> mata lelah
karena kontraksi terus-menerus (akibat penglihatan buram),
terjadi hemeralopia (rabun senja, degenerasi sel retina),
degenerasi vitreus (spot floating vision), menekan kelopak mata
supaya penglihatan baik. Miopia tinggi -> mata
menonjol/proptosis.
Funduskopi -> gambaran fundus tigroid, bulan sabit di sakitar
daerah papil (myopic crescent), stafiloma posterior
Komplikasi miopia tinggi (>6) -> degenerasi, ablasio retina,
perubahan pigmentasi + makula, kadang ada perdarahan,
strabismus (kalau tidak diobati)
<3.00 D rendah, 3.00-6.00 D sedang, >6.00 tinggi/gravis.
Sekarang >= 5 itu tinggi. Kalau miopia bertambah terus setiap
tahun-> miopia progresif. Anak preschool kecil kemungkinan
miopia lebih dari 6.00 D.
Tatalaksana
o Miopia rendah-sedang dikoreksi dengan lensa sferis
terlemah yang memberikan tajam penglihatan terbaik.
Contoh -> VOD (Visious dasar), sesuaikan dengan
lensa/kenyamanan pasien.
Prognosis -> simpleks/stasioner masih baik (tapi bisa menetap
setelah pubertas), kalau miopia progresif -> akan berkembang
lebih tinggi dan menimbulkan komplikasi. Miopia pada bayi ->
jangan dipaparkan handphone (dari kecil matanya
berakomodasi, matanya lebih panjang daripada anak seusianya)
Hipermetropia
Mata lemah -> bayangan objek di belakang fovea. Kekuatannya
negatif. Koreksi dengan lensa (+) -> bayangan tertarik ke titik
depan (fovea).
Bermasalah pada penglihatan dekat pada hipermetropia
simpleks (<2.00 D). Kalau >4.00 D akan ada gangguan
penglihatan jauh juga.
Prevalensi lebih kecil tapi manajemen lebih kompleks
dibanding miopia -> harus ke dokter mata.
Manajemen lebih sulit dibanding miopia, banyak pemeriksaan
(akomodasi, dll).
Etiologi -> aksial < normal (normalnya 23-24, ada juga yang
22, di Indonesia 23, diameter bola mata <N, 1ml diwakili 3 D)
Manifestasi klinis
o Hipermetrofi manifestasi -> dideteksi tanpa
melumpuhkan akomodasi dan diperbaiki dengan lensa
cembung (+)
Fakultatif -> bisa diatasi dengan kekuatan
akomodasi
Absolut -> sudah tidak bisa diatasi
o Hipermetropia total -> dideteksi setelah dilakukan
paralisis akomodasi dengan agen siklopegik (cairan) ->
mata dilatasi maksimal.
o Hipermetropia laten -> selisih antara hipermetropia total
dengan yang manifes. Manifestasi 3, total 4 maka nilai
latennya 1. Masih bisa dibantu lensa mata (lensa
kristalina) -> lama-lama capek -> nyeri, astenopia
Gejala -> penglihatan dekat kabur, astenopia akomodatif (mata
lelah), strabismus, penglihatan jauh kabur juga pada lansia,
hipermetropia tinggi pada anak -> strabismus konvergen
(convergent squint).
Tatalaksana -> beri kacamata dengan koreksi terbaik (lensa
sferis positif). Jika perlu kacamata bifokal pada lansia.
Astigmatisme
Perbedaan derajat refraksi pada meridian yang berbeda.
Kornea mata berbeda kekuatan -> bayangan yang difokuskan
ke fovea berbeda (ada yang di depan dan belakang). Karena
perbedaan kekuatan media refraksi.
Bayangan -> garis/oval/lingkaran. Kalau dikoreksi dengan
kacamata silinder -> ada bagian penglihatan yang hilang (garis
hilang pada huruf B jadi seperti angka 3 saja, sering salah
baca).
Astigmatisma vision -> pandangan bisa ganda dan buram.
Manifestasi
o Reguler -> terjadi perbedaan pada setiap meredian
(perbedaan derajat refraksi)
o Ireguler -> perbedaan refraksi tidak hanya pada
meridian berbeda tapi juga di meredian yang sama
90% pasien astigmatisme bermasalah pada kurvatura kornea
(lengkungan kornea). 10%nya bermasalah di lensa.
Orang berkacamata silinder minus 2 -> astigma miopia
simpleks. Kalau silinder plus 2 -> astigma hipermetropia
simpleks. Kalau sama-sama plus/minus (tambah kompositum).
Kalau plus-minus -> astigma mikstus.
Astigma mikstus -> salah satu bayangan tepat di belakang
fovea, dan satunya di depan fovea. Meridian horizontal di
depan fovea, meridian vertikal di belakang fovea.
Presbiopia (terjadi karena proses degenerasi >40 tahun)
Terjadi peribahan akomodiasi secara fisiologis yang melemah
di usia tua.
Orang dengan presbiopia pada umur tertentu bukan sesuatu
yang pasti -> usia 40 tahun koreksi di +1.00 DD, patokan tapi
bukan pasti (bisa saja <40 tahun sudah gangguan,
o Tergantung profesi juga, penjahit, arsitektur, tukang las
Teknis pemeriksaan refraksi
o Subjektif
o Objektif
2. Lensa Kontak
Alat untuk mengoreksi kesalahan refraksi
Menempel langsung pada kornea -> tapi kalo kurang tepat pemakaiannya bisa
menyebabkan komplikasi.
Adolf eugene (1887)
Kornea:
o Tebal 0,54 mm ditengah, di perifer lebih tebal lagi yaitu 0,65 mm.
o Ada 5 lapisan -> epitel, bowman, stroma, descement, endotel
o Sumber nutrisi dari pembuluh darah limbus, air mata, humor aqueous.
Peripheral curve adalah bagian yang menempel di ovula surface, optic zone -> optik
yang mempunyai kekuatan.
Banyak jenisanya: RGP (rigid gas-permeable), daily-wear soft lense, extended-wear,
entended-wear disposable, planed replacement. (Harus paham karena akan
berpengaruh sama pemakaian dan bisa berdampak terhadap kelainan kornea) karena
aturan pakainya harian, bulanan, itu stuktur kimia lensanya juga beda.
o RGP: plastik tipis, fleksibel yang memudahkan masuknya oksigen ke mata.
o Daily wear soft lense: biasanya yang sering dipakai
o Extended wear: bisa dipake tidur 7 hari tanpa dilepas, tapi jarang dinjurkan
kecuali pekerjaannya itu yang benar-benar tanpa dilepas. Baiknya tidur tanpa
lensa kontak karena bisa tergores korneanya. Tapi dia tidak mengoreksi semua
refraksi mata.
o Extended wear disposable
o Planed replacement: digunakan berjangka kebanyakan 2 minggu, sebulan atau
4 bulan. Baik untuk mata yang sehat, tapi tidak setajam RGP, perawatannya
lebih sulit.
o Intinya itu kita liat komposisi kimia yang ada di lensa kontaknya itu gimana,
water contentnya butuh berapa, berdasarkan kelainan pada matanya, biar tidak
terjadi komplikasi, makanya harus faham bgt, makin tinggi water content nya
makin banyak air mata. Misal ada yg keluhan alergi itu kita perhatikan lagi
penggunaannya gimana.
Indikasi dari pemakaian lensa kontak -> optik, occupational, kosmetik, terapeutik,
preventif.
Kontraindikasi:
o Gangguan mental
o Jorok (hygiene kurang)
o Lingkungan kerja kotor/berdebu
o Blepharitis kronis: pada palpebra
o Konjungtivis kronis
o Dry eye syndrome
o Distrofi/degenerasi kornea mata.
o Penyakit rekuren seperti epi-skleri-iridocyclitis
Masalah yang bisa ditimbulkan:
o Kadar transmisi dan permeabilitas oksigen melalui bahan basa
o Reaksi alergi
o Makin tebel lensa kontak makin butuh banyak air mata
o Rutin penggantian lensa kontak -> ada perubahan kimia
o Tidur tanpa melepas lens kontak: ini bahaya, karena saat merem oksigen nya
di mata berkurang, padahal kornea sangat butuh O2.
Komplikasi: giant papillary conjungtivitis (reaksi alergi), erosi (penekanan lama lensa
kontak), keratitis, CLARE (infiltrat terlihat saat menggunakan slit lamp),
Fungi/berjamur (ada nanahnya (lipobion) dan lesi satelit), Hypoxia (akibat dibawa
tidur, harus tranplantasi), neovascularisasi, alergi, ulkus, protozoa (acantamoeba).
Sebelum dan sesudah harus cuci tangan, bersihkan lensa kontak dengan hati-hati dan
rutin, gosok lensa kontak dengan menggunakan jari tangan, bilas dengan air bersih
sebelum merendam lensa kontak dalam larutan multi-fungsi pada malam hari (ganti
air dalam kotak lensa kontak).
Glaukoma
Glaukoma -> tekanan intraokuler meningkat (terkait produksi aquos humor). Suatu
neuropati optik yang ditandai oleh pencekungan (cupping) diskus optikus dan adanya
defek lapangan pandang, biasanya disertai peningkatan tekanan intraokuler.
o Intinya -> defek lapangan pandang (terkait saraf optik), tekanan intraokuler
bisa rendah, normal atau meningkat. Kalau tekanan intraokuler meningkat
tanpa defek lapangan pandang dan pencekungan (cupping) diskus optikus ->
hipertensi okuli. Kalau ada defek lapangan pandang tapi tekanan intraokuler
rendah -> glaukoma, biasanya ada pada orang dengan kelainan perdarahan.
Glaukoma penyebab kebutaan nomor 2 setelah katarak. Buta -> menurut WHO
penglihatan kurang dari 3/60 (kurang dari 3 meter tidak bisa menghitung jari). Kalau
katarak itu bisa dioperasi selama saraf kembali (karena kebutaannya akibat media
refraksi keruh -> berawan/putih susu/coklat -> diganti dengan lensa lain atau
kacamata).
o Glaukoma kalau sudah buta tidak bisa diapa-apakan lagi karena kebutannya
itu di saraf. Glaukoma -> mencegah agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut.
o Glaukoma harus didiagnosis dan ditindak sedini mungkin agar tidak terjadi
kebutaan.
o Glaukoma ditandai dengan peningkatan tekanan intraokuler
Kebutaan di Indonesia -> 52% akibat katarak. 13,4% akibat glaukoma. 8,5%
gangguan retina -> retinopati, perdarahan retina.
Anatomi Mata
o Mata 2/3 ditutup sklera dan 1/3 ditutup kornea. Di depan harus jernih sebagai
media refraksi yang dilewati sinar. Kornea -> iris -> masuk ke pupil -> di
belakang iris/pupil -> bilik mata belakang
o Antara kornea-iris -> bilik mata depan, iris-vitreous humor bilik mata
belakang
o Vitreous mengisi 2/3 volume mata
o Kekeruhan kornea/lensa/vitreous -> mengganggu penglihatan
o Kalau media refraksi terganggu -> koreksi pakai kacamata
o Media refraksi baik -> gangguan makula/saraf mata -> gangguan posterior
o Retina mengalami kematian akibat tekanan tinggi -> glaukoma
o Retina -> saraf optik -> diteruskan ke saraf optik -> divisualisasikan otak
Fisiologi Aquos Humor
o Cairan jernih yang dihasilkan korpus siliaris
o Komposisi serupa plasma
o Mengalir ke anyaman trabekular, kanalis schlemm, saliuran kolektor -> ikut
aliran sistemik
o Iris membatasi anterior dan posterior chamber. Segmen anterior -> di depan
lensa. Segmen posterior -> di belakang lensa (oftalmoskop)
o Mengalir melalui konvensional dan non konvensional (uveoscleral route)
o Aquos humor menutrisikan struktur tidak berpembuluh darah -> lensa dan iris
o Peningkatan tekanan intraokuler -> produksi tetap tapi aliran terhambat ->
tekanan meningkat -> lama kelamaan merusak saraf
Tekanan intraokuler tinggi -> saraf retina rusak -> cupping -> makin lebar cup -> Tio
makin meningkat -> dibuktikan dengan defek lapang pandang (cacat lapang pandang)
Diagnosis glaukoma -> butuh pemeriksaan lapang pandang. Periksa
horizontal/vertikal
Penyakit Audiosensoris
Anatomi Telinga
o Terdiri dari daun telinga, liang telinga, cavum timpani dan telinga dalam.
Cavum timpani berhubungan dengan tuba eustachius dan cavum mastoid.
o Telinga luar
Daun telinga
Liang telinga
Panjang 2,5-3 cm
1/3 bagian luar tulang rawan
Seluruh lapisan liang telinga dilapisi kulit
Membran telinga
Rangsang frekuensi rendah lebih ke arah apikal
Suara masuk menggetarkan timpani -> diteruskan ke ossicle -> menggetarkan koklea
-> frekuensi tinggi di basal koklea -> suara menjadi impuls listrik -> neurotransmitter
-> ke otak oleh saraf
Pemeriksaan
o Tes Penala (Garpu Tala)
Harus bisa dokter umum, terdiri dari Rinne, Weber, dan Schwabach
Pakai yang 512 Hz jika tidak lengkap
Rinne (+) -> hantaran udara lebih panjang daripada hantaran tulang,
pada telinga normal dan tuli sensorineural.
Rinne (-) -> hantaran tulang lebih panjang daripada hantaran udara,
pada tuli konduksi.
Weber -> mengetahui telinga yang sakit sebelah atau dua-duanya.
Telinga kanan dan kiri sama kuat dengarnya -> normal. Lateralisasi ke
telinga sakit -> tuli konduksi. Lateralisasi ke telinga sehat -> tuli
sensorium.
Kedua telinga pemeriksa harus normal
Schwabach memendek -> tuli sensorineural
Schwabach memanjang -> tuli konduksi
o Audiometri -> masih grup pemeriksaan subjektif. Bisa menentukan derajat
gangguan pendengaran.
Beri frekuensi 1000 Hz (paling netral), lalu turunkan ke 500-250-1000-
2000-4000-8000 Hz. Dari frekuensi yang diberikan, berapa desibel
yang bisa didengar pasien.
Headset bisa dipakai di mastoid -> menilai BC
Penilaian audiogram: gap -> ada perbedaan nilai AC dan BC
AC dan BC =< 25 + tidak ada gap -> normal
AC dan BC >25 + tidak ada gap -> tuli sensorineural
AC < 25 dan BC =< + ada gap -> tuli konduksi
AC dan BC >25 + ada gap -> tuli campuran
Audiometri bermain/play -> lihat gerak mata anak sambil anak
bermain
o Audiometri Objektif
Audiometri impedans -> memeriksa kelenturan membran timpani
dengan tekanan tertentu pada M.A.E -> timpanometri
Bisa juga dinilai fungsi tuba eustachius terbuka/tertutup
Refleks stapedius -> normalnya muncul pada rangsangan 70-80
dB di atas ambang dengar, lesi di koklea -> refleks stapedius
menurun, lesi retrokoklea -> refleks stapedius meningkat
Audimetri normal dan bentuk A -> normal, B -> membran terganggu
(ada cairan, kekakuan atau bolong) -> konduksi, C -> oklusi tuba
karena problem cavum timpani (konduksi)
o Tes BERA -> pada orang pura-pura tuli bisa dites
o OAE -> mengukur dan melihat respons sel rambut telinga
Sering dipakai untuk skrining -> universal newborn hearing screening
Dilakukan pada bayi yang punya risiko -> targeted newborn hearing
screening -> melihat hasil OAE
Hasil -> pass (lulus) dan reverse
Kelainan Telinga
o Dislokasi tulang pendengaran -> tipe B
Gangguan Pendengaran pada Bayi dan Anak
o Penyebab ditentukan dari masa prenatal, perinatal, postnatal -> bayi dan anak
dengan faktor risiko
o Ibu kena Rubella -> anak lahir dites OAE dan hasil prefer -> kelainan
kongenital -> diagnostik dini. Harapannya sebelum 6 bulan, sudah bisa
dilakukan habilitasi dengan pemakaian alat bantu dengar agar bisa mendengar
bunyi.
Gangguan Pendengaran pada Geriatri
o Akibat perubahan patologi pada organ auditori
Tuli konduktif -> kolagen kurang (elastisitas kurang) dan bertambah
besar tulang telinga, atrofi dan kaku liang telinga (fungsi penghantaran
suara terganggu), kekuan sendi tulang pendengaran
Tuli saraf (presbikusis) -> 65 tahun ke atas, tuli sensorineural frekuensi
tinggi simetris kanan dan kiri. Tapi tergantung gaya hidup onsetnya,
penggunaan headset juga dapat mempengaruhi. Dapat dimulai dari
frekuensi 1000 Hz/lebih.
Cocktail party deafness
Recruitment -> beda frekuensi sedikit saja bisa dideteksi
dengan audiometri khusus
Diagnosis -> audiometri sloping (turun tajam) & gangguan
diskriminasi wicara
Tatalaksana -> hearing aid, speech reading, auditory training
o Gangguan Pendengaran Akibat Bising
Banyak ditemukan sekarang anak 25 tahun dengan gangguan
pendengaran
Biasanya disertai tinitus, bila berat percakapan keras sulit dimengerti.
Patogenesis
Bising -> gangguan koklea -> sel rambut rusak (sel sensorik
dan penunjang) -> berefek pada sel ganglion, saraf, membran
tektoria, PD dan stria vaskulari (semua degenerasi)
Jenis kerusakan tergantung intensitas, lama pajanan &
frekuensi bising
Biasanya akibat riwayat kerja di pabrik atau memakai headset terlalu
lama
Kesan diagnosis pada tes penala -> tuli sensorineural
OAE -> refer hasilnya, OAE lebih baik sensitifitas dan spesifisitasnya
(lebih cepat didapat hasilnya)
Frekuensi 4000 -> sering terdapat takik -> tanda terjadi trauma akustik
Rekrutmen -> telinga tuli sensitif terhadap kenaikan intensitas bunyi
yang kecil pada frekuensi tertentu setelah terlampau ambang
dengarnya
Prognosis kurang baik
Pakai alat pelindung telinga (jika >85 dB)
Konservasi pendengaran -> identifikasi sumber bising melalui survei
kebisingan, melakukan analisis kebisingan dengan sound level meter -
> akan terlihat berapa kebisingan di suatu tempat, pabrik misalnya.
Di pabrik biasanya rutin pemeriksaan audiometri dan OAE tiap 6
bulan/10 bulan. Kalau ada penurunan pendengaran -> harus
komunikasikan tentang pekerjaannya.
o Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik
Gejala -> tinnitus, gangguan pendengaran dan vertigo
Mulanya terjadi gangguan vestibuler -> kalau obat distop bisa
reversibel. Kalau gangguan sensorineural dan lewat dari 4 hari atau
seminggu bisa irreversibel
Semuanya tuli sensorineural
Obat -> aminoglikosida, makrolide, loop diuretic, anti inflamasi, anti
malaria, sitostatika, ear drop. Dokter di puskemas sering memberi tetes
telinga yang ototoksik.
Tatalaksana
Stop obat ototoksik
Rehabilitasi dengan ABD
Psikoterapi
Implan koklea
o Sudden deafness -> onset bisa kurang dari 3 hari. Diagnosis -> cek membran.
Kalau diatasi <7 hari hasilnya sangat baik -> injeksi kortikosteroid. Tuli
sensorineural itu reversibel.
o Kalau ada gangguan pendengaran -> cek membran timpani, kalau refleks
cahaya positif dan tidak ada kelainan -> kemungkinan besar tuli sensorineural.
Kalau ada serumen -> kemungkinan pendengaran terganggu karena terhalang
serumen.
Retinopathy
1. Diabetic Retinopathy
Diabetic retinopathy merupakan salah satu penyakit non infeksi terbanyak pada mata
dan paling utama menyebabkan kehilangan penglihatan di antara pasien usia 25-74
tahun. Baik akibat DM tipe 1 atau tipe 2. Berdampak pada 3 dari 4 pasien DM, jadi
kesehatan retina harus diperiksa bagi pasien DM.
Penyebab utama -> penyakit hiperglikemik kronik -> setelah 15 tahun pasti ada, tapi 5
tahun juga bisa muncul DR-nya.
Patogenesis
o Peningkatan peradangan oxidative stress -> paling utama
o Peningkatan end product dari advanced glycation -> paling utama
o Peningkatan aktivasi protein C kinase pathway
Klasifikasi
o Non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR)
o Proliferative diabetic retinopathy (PDR)
o Diabetic Macular Edema -> pembengkakan di macula, bisa terjadi di NPDR
dan PDR
o Center-involved DME
o Non-center-involved DME
Diagnosis
o Ada riwayat DM, keluhan di mata -> visus menurun sifatnya fluktuatif,
floaters (seperti bintik-bintik hitam/serangga terbang), gangguan lapangan
pandang (pada DME), anamnesis tanyakan riwayat DM dan kontrol DM ->
tanyakan ABC (hbA1c, TD, dan kolesterol/profil lipid) pada pasien DM
Non-Proliferative Diabetic Retinopathy
o Karakteristik -> ditemukan dengan foto fundus. Mata terang visus turun
perlahan sifatnya -> kornea, iris, lensa, pupil tidak ada masalah, ada masalah
di retina
o Stage pertama ada mikroaneurisma -> PD kecil-kecil mengisi retina iskemik
(akibat oxidative stress, protein C kinase, advanced glycation) -> menjadi
venous beading -> IRMA (intraretinal microaneurysma -> di dalam retina PD
kecil-kecil terbentuk)
o Klasifikasi
Mild -> ada mikroaneurisma
Moderate -> perdarahan dan cotton wool spots (eksudat), kalau masih
kurang dari 4 kuadran pendarahan
Severe -> pendarahan 4 kuadran dengan microaneurisam, 2 atau lebih
kudaran venous bleeding
PDR
o Dibedakan jika ada neovaskularisasi akibat iskemik retinal -> rilis faktor
vasoporliferatif -> neovaskularisasi retina
o Pembentukan PD -> penambahan ukuran neovaskuler > regresi dari
neovaskuler
o Klasifikasi
NVD (neovascularization of the disc) -> neovaskularisasi di diskus
optik
NVE (neovascularization elsewhere) -> neovaskularisasi bukan di
diameter diskus optik
o High risk PDR
Kalau ada NVD atau pendarahan vitreous atau preretinal hemorrhage
NVD meluas sampai ¼ diskus optik dengan atau tanpa pendarahan
vitreous
NVE lebih dari 1-1/2 dengan pendarahan vitreoud
Neovaskularisasi -> PDR
Manajemen
o Kalau pendarahan kecil (mikroaneurisma -> observasi saja)
o Kalau ada severe NPDR, PDR -> PRP laser
o Kalau DME -> maculalaser, tapi tidak terlalu disarankan
o Injeksi anti VEGF -> efektif dalam membantu mengurangi DME dan
mengatasi penurunan visus pasien (ada penaikan sedikit)
o Ablatio retina/traksi viteo-macular -> vitreoretina surgery/vitrektomi
o Kontrol gula darah terpenting, kalau penanganan mata itu hanya mengatasi
gejala di matanya bukan mengatasi penyebab penyakitnya
2. Hipertensive Retinopathy
Terjadi akibat komplikasi dari hipertensi
Murni karena vaskular, kalau DR itu aliran darahnya tidak sampai
Irregular large -> exudate, edema, hemorrhage
Ada yang menyempit vaskulernya, tajam, kaku dan mengeras
Efek akut -> vasospasme sehingga aliran PD tidak bagus
Efek kronik -> akibat aterosklerosis
Patofisiologi
o Fase vasokonstriktif
o Fase sklerotik
o Fase eksudatif
o Intinya -. TD meningkat -> endotel tidak bagus (menebal, mengecil,
permukaan irreguler, melebar, saling bersilangan) -> aliran darah tidak bagus -
> iskemik, nekrosis
o Awalnya pendarahan -> keluar eksudat -> iskemik -> nekrosis
Diagnosis
o Tanyakan riwayat hipertensi pada pasien
o Gejala hipertensi -> sakit kepala, sakit dada, kesulutan bernapas, dll
o Tanya juga keluhan visus menurun tanpa mata merah (masuk kategori mata
tenang visus turun perlahan)
o Tanya juga pengobatan hipertensinya, kalau tak patuh -> komplikasi
Klasifikasi
o Grade 0 -> tidak ada perubahan
o Grade 1 -> PD menyempit dan atau mengecil (arteri mengecil -> jadi 1:3
dengan vena)
o Grade 2 -> sudah ada hemorrhage <3 kuadran
o Grade 3 -> grade 2 + ada cotton wools dan retinal edema
o Grade 4 -> grade 3 + papilledema (diskus optikus ikut membengkak), ada
pendarahan, eksudat, cotton wool spots, retinal edema
Funduskopi
o Irreguler vascular lumen
o A-V crossing -> vena tertekan arteri sehingga vena tersumbat
o Rasio arteri vena berubah jadi 1:3
o Sumbatan -> copper wiring atau silver wiring -> PD bisa kosong
FFA
o Jarang dilakukan pemeriksaannya karena semi-invasif
o Obat disuntikkan ke pasien -> tindakan cukup lama
o Penting untuk penilaian diagnosis
o Choroidopathy -> iskemik sudah sampai choroid
o Kalau ada pendarahan bisa terlihat
Mild Hypertensive Retinopathy
o Panah hitam -> A-V tumpang tindih dan melilit -> A-V nicking
o Panah putih -> silver/copper wiring -> PD kosong
Moderate Hypertensive Retinpathy
o Sudah ada pendarahan -> panah putih
o Khasnya -> pendarahan berupa garis, kalau DR bintik-bintik
o Ada eksudat -> gambar Bm cooton wool spots (panah putih), retinal
hemorrhage, microaneurysms (panah hitam)
Malignant Hypertensive Retinopathy
o Pendarahan retina, cotton wool spots, hard exudates, pembengkakan optic disc
(memerah dan membengkak)
Severe Hypertensive Retinopathy
o Eksudat semakin banyak, tampak kebocoran dari pendarahan
Malignant Hypertension
o Gambar A -> pendarahan jelas dan banyak, ada papilledema
o Gambar B -> early FFA
o Gambar C -> late FFA -> pendarahan makin banyak karena bocor
Tatalaksana
o Kontrol penyakit utamanya -> kontrol TD paling utama
o Kontrol juga jika ada DM dan dislipidemia
o Pasien dengan riwayat stroke juga ditatalaksana
o Penyakit di mata -> komplikasi
o Kalau pendarahan vitreous banyak -> vitrectomy, tapi tidak menjamin
hasilnya bagus kalau TD tidak terkontrol
o
N. Olfaktorius (N. I)
o Berfungsi untuk pembauan/penghidung
o Persiapan -> pasien sadar dan kooperatif
o Bahan -> kopi, teh, tembakau, jeruk, peppermint, kamper, mawar (rosarum)
o Sering dilakukan pada pandemi
o Interpretasi
Normal, hiperosmia, anosmia, parosmia, hiposmia, halusinasi
olfaktorik
o Pemeriksaan
Periksa THT dulu, untuk menyingkirkan gangguan lainnya (rhinitis
alergi, massa, dll) yang bisa mengganggu penciuman
Informed consent
Tutup mata pasien -> pasien mengandalkan penciuman saja
Pasien mengidentifikasi apa yang tercium jika ada zat yang didekatkan
pada lubang hidung (satu-satu lubang hidung)
N. Fasialis (N. VII)
o Berfungsi mengatur ekspresi wajah, sekresi glandula lakrimalis, sublingualis,
submandibularis, pengecapan 2/3 depan lidah, mengurangi getaran stapes
o Berada di daerah tulang temporal dan berjalan ke daerah telinga sampai ke
wajah, gangguan nervus fasialis -> daerah wajah pengot (miring) atau tidak
simetris
o Cara menilai:
Skor House Brackman, ada grading grade 1-6
Fungsi motorik (0-3)
Naikkan dahi, lihat apakah simetris kiri dan kanan
Mengangkat alis
Mengangkat hidung
Menutup mata, kalau ada kelemahan -> mata yang terganggu
tidak dapat menutup sempurna, menutup dengan usaha, dengan
usaha tetapi bola mata terpapar (incomplete)
Mencucu mulut, kalau ada gangguan hanya sebelah mulut yang
maju
Tertawa lebar, kalau ada gangguan tidak simetris (separuh
tertawa separuh tak tebruka)
Bersiul
Menggembungkan pipi, kalau gangguan bisa kempot/bocor
Menarik dagu
Pemeriksaan topografi
Larutan garam (asin), gula (manis), kinin (pahit), cuka (asam)
Julurkan lidah -> bersihkan lidah dengan air hangat -> beri
rangsangan rasa berupa tetesan pada indra pengecap 2/3 bagian
depan -> tanya pasien rasanya apa dan apakah sesuai
Tes gangguan lakrimasi
Schirmer test -> kertas lakmus diselipkan di kelopak mata
bawah kiri dan kanan -> lihat aliran sekresi air mata -> 10-15
ml normal, kalau kurang dari itu berarti ada gangguan lakrimasi
(gangguan nervus fasialis di bagian lakrimasi).
Myasthenia Gravis, Neuropati jeratan (Carpal tunnel syndrome, tarsal tunnel syndrome,
neuropati ulnaris, Peroneal palsy)
1. Myasthenia Gravis
Anamnesis khusus memegang peranan penting di bagian neuro untuk menegakkan
diagnosis (>50%) karena gejalanya khas. Ada 4 kerangka-kerangka anamnesis khas di
bagian neuro.
Myasthenia gravis -> penyakit autoimun, muncul karena kondisi tubuh yang
menyebabkan imunnya turun. Kadang ada pasien dengan kelainan sama tapi tidak
muncul gejala karena imunnya bagus terus.
MG -> penyakit autoimun akibat antibodi yang mengenai reseptor asetilkolin di post
sinap -> kerusakan reseptor asetilkolin di post sinaps sehingga kekuatan otot untuk
berdepolarisasi kurang, ditandai dengan kelemahan berfluktuatif (pagi normal,
semakin otot dipakai -> sore hari terjadi kelemahan) pada otot sirkular -> orbicularis
oculii (otot kelopak mata), otot bulbar (pita suara -> pagi suaranya bagus dan terang,
semakin siang-sore suara sengau/disfonia bahkan serak, bisa habis suaranya, otot-otot
menelan dan pernapasan juga terkena) dan otot proksimal ekstremitas .
o Awalnya dimulai dari mata -> ptosis bilateral, ada yang unilateral. Di pagi hari
bagus otot levator palpebranya, tapi siang-sore mulai ptosis. Pasien tidur sore -
> ptosis hilang, begitu juga disfonianya hilang setelah bangun tidur di sore
hari -> sifat fluktuatif (otot-ototnya depolarisasi dan repolarisasi)
Epidemiologi
o Terjadi di semua umur
o Prevalensi 150-250 kasus per 1 juta penduduk (sedikit)
o Puncak pertama di usia 20-40 tahun
o Banyak pada wanita -> 1:3 dengan laki-laki
Klasifikasi Klinis
o Stadium 1 -> kelemahan otot levator palpebra -> ptosis
o Stadium 2 -> mulai bertambah kelemahan dan mulai kena ke otot ekstremitas
o Stadium 5 -> butuh bantuan ventilator karena otot pernapasan terganggu
Patofisiologi
o Antibodi -> terjadi gangguan pada reseptor asetilkolin -> terjadi gangguan
depolarisasi karena blokade dari asetilkolin (otot tidak dicas atau lambat dicas
-> lelah -> pasien tidur/istirahat -> normal lagi)
o Kalau di stadium 4/5 tidak ngecas-ngecas karena rusak reseptornya
Manifestasi Klinis
o Gejala okular
Ptosis
Pandangan kabur (otot pupil terganggu juga)
Diplopia asimetris
o Gejala bulbar
Disfonia, disfagia, kelumpuhan otot wajah
o Leher dan ekstremitas
Pada otot proksimal dulu awalnya
o Gangguan pernapasan
Menyebabkan kematian
Diagnosis
o Dilakukan anamnesis khas neurologis
o Pemeriksaan fisik
o Tes konfirmasi
o Uji diagnostic
Tes wartenberg -> pasien diminta melihat ke atas bidang datar dengan
sudut > 30 derajat selama 60 detik, positif bila ada ptosis
Tes hitung -> pasien diminta berhitung 1-100, positif bila suara
menghilang atau sengau (disfonia/suara nasal)
Ice pack eye test -> celah antara kedua kelopak mata yang mengalami
ptosis diukur kemudian dengan es terbalut kain ditempelkan ke
kelopak mata penderita -> celah yang bertambah lebar setelah
penempelan es (bertambah ukuran celah mata yang bisa membuka) 2
menit dianggap positif
Uji tensilon -> diberi asetilkolin inhibitor, 1-2 jam perbaikan berarti
positif
Uji prostignin -> suntik 1,5 mg im, bila terjadi perbaikan gejala -> uji
prostignin positif
Tidak harus kelimanya positif -> tergantung stadium pasien tersebut,
kalau masih ringan kadang celah mata tidak begitu bermakna (tes
hitung belum terganggu juga), kalau sudah stadium berat bisa
kelimanya positif
o Pemeriksaan penunjang -> tes serologi, elektrofisiologi
Tes serologi -> AchR aB, dan MAST
Elektrofisiologi
Repetitive nerve stimulation (RNS) -> disengat listrik
wajahnya, speed 1, 2, 3 amplitudo tinggi, ada 10 amplitudo
totalnya dan makin lama akan makin menurun. Di PPT sudah
jelas positif. Kita beri stimulasi repetitif pada saraf. Sering
dijumpai amplitudo 1-5 tidak turun, yang ke-7 turun -> sudah
positif
Single fiber electromyography (SFE) -> pada otot yang lemah
Diagnosis Banding
o Perempuan terlalu sering botox -> mata menjadi ptosis -> diagnosis banding -
> botulism -> 3-6 bulan habis baru normal lagi
o Sindrom miastenia kongenital -> pada anak berhubungan dengan imunoterapi
o Paralisis nervi kraniales
o Sindroma Guillan Barre -> gejala menetap (beda dengan MG yang fluktuatif)
sampai inflamasi hilang (bukan fluktuatif dengan istirahat)
o Miopati inflamasi
o Lamber Eaton Myastenic Syndrome
o Mitokondria sitopati
o Motor neuron disease
o Distrofi otot okulofaringeal
o Penyakit tiroid pada mata
Khas MG -> pagi dan sore berbeda kekuatan ototnya, setelah istirahat bisa normal lagi
Tatalaksana
o Simptomatik -> piridostigmin dosis insiial 30-60 mg setiap 4-6 jam, tapi
awalnya tidak begini dosisnya -> sekaligus uji diagnostik
o Imunosupresan -> steroid/non steroid, azatioprin
o Intravenous Imuglobulin (IVIG) dan plasmasparesis (ganti plasma)
o Timektomi -> karena pasien MG (kelenjar timus persisten atau timoma karena
reaksi antigen-antibodi yang salah), antigen mimikri yang dihasilkan timoma
akan dihancurkan.
Diagnosis MG ditegakkan -> apakah ada timoma -> kalau ada, timektomi -> obat
imunosupresif -> lanjutkan dengan terapi plasmaparesis/pemberian imunoglobulin
sambil tetap monitor klinis untuk memberikan obat piridostigmin
Prognosis
o Mortalitas pada MG yang tidak diterapi -> 25-31%
o Penegakkan diagnosis dini -> mortalitas hanya 20-an%
o Pasien MG okuler dengan hiperplasia timus memiliki angka relaps lebih tinggi
3. Ulnar Neuropathy
Sama dengan CTS tadi, bedanya kalau ulnar di tempat jalannya saraf ulnaris.
Carpal tunnel di saraf medianus (tengah), kalau ulnar neuropathy di arah kelingking.
Nervus medianus -> jari ke-1 sampai 4 dan setengah jari ke-4, nervus ulnaris ->
setengah jari ke-4 dan jari ke-5.
Kelemahan di jari keempat dan kelima
Daerah sensorik yang terkena dampak dari ulnar neuropathy
Manifestasi klinis
o Kelemahan dan atrofi intrinsik ulnaris
Etiologi
o Trauma terkait pekerjaan berulang
o Fraktur pergelangan tangan
o Kista ganglion di kanal Guyon
o Neurofibroma
Diagnosis Banding
o Saraf terjepit di leher -> daerah C8 T1 menyebabkan radiculopathy di lower
trunk, gejala mirip dengan Guyon canal syndrome. Neuropathy itu
keseluruhan, kalau guyon canal itu di distalnya.
Pemeriksaan
o EMG di jari kelima
4. Tarsal Tunnel Syndrome
Neuropathy jeratan itu sama baik di pergelangan tangan atau di kaki, kalau tarsal itu
di nervus tibialis yang terkompresi.
Nervus tibialis ada cabang medial, lateral, kalkaneus
Inflamasi dari suatu infeksi/gesekan -> faktor intrinsik
Sepatu terlalu sempit, kelainan bentuk kaki sejak kecil -> faktor ekstrinsik
Pasien dengan kondisi metabolik tertentu juga bisa menjadi faktor predisposisi,
bedanya adalah area yang terkena, kalau tarsal tunnel itu di daerah medial dari plantar
Red flags -> bila ada kelemahan yang menetap/kompresi saraf di punggung bawah ->
harus segera dioperasi
Kalau masih ringan bisa terapi steroid, atau latihan jika kaki flatfoot. Flatfoot tidak
hanya bawaan lahir bisa juga pada pasien obesitas -> diberi sepatu yang alasnya lebih
tebal di bagian medial untuk mencegah kerusakan saraf tibialis
Terapi dan pemeriksaanya sama.
Penurunan Kesadaran dan Peningkatan TIK pada Anak Ensefalopati, Manifestasi SSP
pada Penyakit Sistematik
Peningkatan TIK pada anak adalah kondisi emergensi. Kalau didiamkan -> kematian,
kerusakan otak permanen sehingga harus dikenali dan ditatalaksana. Paling bagus jika
kita lakukan pengenalan dini sebelum kondisi memburuk (lebih berat), lama-lama
bisa lebih luas kerusakan otaknya.
Penyebab peningkatan TIK -> cedera kepala (terutama pada anak di bawah umur
berkendara tanpa helm), hidrosefalus, tumor otak, infeksi SSP, hipoksia. Semuanya
bisa menyebabkan peninggian TIK.
Peningkatan TIK/ICP -> peningkatan TIK >= 20 mmHg selama >= 5 menit.
Normalnya pada anak tidak sampai 10 mmHg. Bayi 6 mmHg, pada bayi biasanya ada
kondisi tertentu yang menyebabkan peningkatan TIK lebih dapat dikompensasi yaitu
pada ubun-ubun/fontanella masih membuka.
CPP (cerebral perfusion pressure) -> tekanan yang dibutuhkan untuk
mempertahankan aliran darah otak adekuat -> mencegah pendarahan yang tak cukup
pada otak
MAP (mean arterial pressure) -> terkait fungsi sirkulasi
Pada jaringan, penurunan terjadi pada tahanan. TIK terganggu -> perfusi ke otak
tergantung ke TIK yang tidak begitu tinggi. Peningkatan TIK dapat menurunkan
perfusi ke otak. Perfusi ke otak juga bergantung pada tekanan darah (MAP) -> kalau
pada pasien dengan peningkatan TIK -> turunkan tensi sampai normal tapi jangan
sampai hipotensi -> akan jelek outputnya -> bisa infark, makin parah peningkatan
TIK
CPP = MAP – ICP
3 komponen otak yang bisa meningkatkan TIK
o Jaringan otak -> jaringan otak bisa membengkak
o Darah dan pembuluh darah -> vasogenik
o Ventrikel dan cairan serebrospinalis -> LCS terkait hidrosefalus
Kalau ada peningkatan di salah satu dari tiga komponen -> akan dikompensasi
komponen lainnya di batas tertentu.
Autoregulasi -> pada lebar pembuluh darah otak, di mana kalau ada aliran darah yang
lebih banyak -> PD otak konstriksi, kalau aliran darah sedikit -> PD otak dilatasi.
Terkait tekanan perfusi otak -> PD otak konstriksi agar perfusi sampai ke ujung
jaringan. Autoregulasi terjadi sampai batas tertentu, kalau terjadi
peningkatan/penurunan TIK berlebih -> autoregulasi terlampaui
Proses yang menyebabkan peningkatan TIK disebut sebagai edema serebri (edema
otak), tergantung berbagai etiologi -> ada tipe-tipe edema otak -> penting untuk
menentukan tatalaksana yang sesuai
Etiologi peningkatan TIK
o
o Kronis -> peningkatan perlahan, pada bayi yang ubun-ubun masih terbuka ->
tidak terdeteksi sampai tahap lanjut
Edema serebri
o Vasogenik -> cairan lari dari PD ke parenkim otak, biasanya terjadi pada
peningkatan permeabilitas sel endotel kapiler. Biasanya ditemukan pada
pasien dengan tumor/abses karena banyak neurovaskularisasi dengan
permeabilitas yang terganggu. Kalau PD itu sendiri biasanya sedikit -> hanya
di fase awal saja -> infeksi SSP/trauma kapitis. Klasiknya pada
neurovaskularisasi tumor/abses. Obatnya itu kortikosteroid -> biasanya pada
abses/SOL.
o Sitotoksik/seluler -> lihat dari sisi selnya, transpor cairan antar kompartemen
itu tergantung keseimbangan ion dan energi -> gangguan ion/energi akibat
hipoksia/hipoglikemia -> transpor terganggu -> pembengkakan sel. Bisa juga
sekunder akibat edema vasogenik dna interstisial tingkat lanjut. Kalau primer
itu akibat asfiksia/hipoksia, gangguan energi berupa hipoglikemia/syok.
Biasanya diberi osmoterapi.
o Interstisial -> perpindahan cairan langsung dari kompartemen cairan/tempat
pengumpulan cairan ke interstisial parenkim. Cairan di otak itu banyak di
ventrikel otak. Cairan bisa berpindah dari ventrikel ke parenkim (di whita
matter periventrikular) kalau ada TIK meningkat di ventrikel (cairan
merembes ke parenkim). Dinding parenkim -> ependimal, kalau ada
peningkatan TIK -> cairan lari keluar langsung dari ventrikel biasanya pada
hidrosefalus. Terapi definitifnya adalah operasi peralihan cairan ke peritoneal
(ventrikuloperitoneal shunt -> dipasang selang dari ventrikel ke peritoneal),
bantu dengan terapi farmakologis yang menekan produksi LCS ->
acetazolamide
o Hidrosefalus -> peningkatan TIK akibat kelebihan cairan.
Diagnosis Peningkatan TIK
o Pemeriksaan fisik
Klinis awal, klinis akhir
o Pemeriksaan penunjang
Salah satu tujuannya juga untuk mencari etiologinya
Gejala
o Nyeri kepala dan gangguan kesadaran -> cari etiologi
o Lebih lanjut akan menunjukkan gejala yang lebih parah -> disfungsi puil,
disfungsi saraf kranial, kejang, ubun-ubun menonjol, postur deserebrasi,
dekortikasi, trias Cushing
o
o Manifestasi klinis peningkatan TIK akut
Langsung berat kondisinya
Nyeri kepala hebat dan muntah, koma, hipertensu dengan
bradikardi/takikardi, gejala herniasi (peningkatan TIK parah ->
mengancam nyawa)
o TIK kronis
o
o Gejala tumor otak pada anak -> gangguan pada supratemporial dan
infratemporial (kena cerebellum) -> gangguan keseimbangan
o Pada awal peningkatan TIK, papiledema belum terlihat. Kalau ada gejala
defisit neurologis -> bisa ditemukan papiledema.
o Paresis N. III juga bisa terjadi
o Herniasi -> pergeseran jaringan otak ke tempat yang tidak semestisnya ->
menunjukkan peningkatan TIK yang sudah berat. Tergantung lokasi
penekanannya, paling bahaya kalau sudah mengenai batang otak (pusat
pernapasan, kesadaran, dll)
o Pupil, pola napas -> tanda herniasi serebri
o Dekortikasi -> cenderung fleksi
o Perubahan pola napas pada lesi otak -> bisa menunjukkan peningkatan TIK
dan bagian otak mana yang terlibat. Kalau ada perubahan pola napas,
kesadaran juga terganggu -> DD dengan gangguan primer. Cheyne stokes,
hiperventilasi neurogenik, apneustik, cluster breathing, ataxic breathing
Pemeriksaan Penunjang
o CT scan tanpa kontras, MRI kepala, USG transkranial (pada pasien yang
masih terbuka ubun-ubunnya). Pada pasien hidrosefalus -> masih bisa
membuka ubun-ubun di atas usia semestinya (biasanya 19-20 bulan sudah
menutup).
o MRI kepala tidak bisa cepat karena keterbatasan alat. MRI bisa menunjukkan
gambaran otak yang lebih detil -> bisa terdeteksi lebih banyak kelainannya,
inflamasi lebih jelas di MRI daripada CT scan. CT scan unggul kalau ada
perdarahan/kalsifikasi dan biasanya lebih cepat. CT scan radiasi lebih tinggi
dibanding MRI. Kalau ada trauma kepala/perdarahan IK -> CT scan. Kalau
tumor -> MRI, tapi biasanya CT scan dulu untuk melihat hidrosefalus.
o Pada CT -> sulci menghilang dan ventrikel menyempit. DI gambar kanan ->
garis tengah bergeser -> tanda herniasi
o
Pemeriksaan TIK
o Pemeriksaan langsung -> intraventrikuler/intraparenkimMenggunakan alat
pengukur
o Gold standard -> pasang selang (ekstraventrikuler), kelemahannya invasif dan
menjadi sumber infeksi.
o Pemeriksaan tak langsung pakai pungsi lumbal (disambung ke pengukuran
tekanan, hanya sesaat pemeriksaanya), funduskopi -> papil edema, CT scan,
CPP = MAP – ICP
o Kadang pakai pungsi lumbal pada peningkatan TIK -> pada kondisi infeksi
SSP (bisa menyebabkan peningkatan TIK). Penting karena harus tahu jenis
infeksi SSP, bisa mengisolasi mikroba dan melakukan uji sensitivitas
antibiotik.
Lihat gejala herniasi, pupil anisokor, ubun-ubun menonjol, dekortikasi
-> CT scan -> tak ada tumor/hidrosefalus -> lakukan pungsi lumbal.
Kalau ada tumor/hidrosefalus -> tunda sampai diatasi peningkatan
TIK. Kalau hidrosefalus -> jangan di pungsi lumbal, minta cairan
lewat shunt saja. Jadi harus dipastikan dulu apakah pungsi lumbal
dapat dilakukan.
Tatalaksana Peningkatan TIK
o ABC dan stabilisasi -> menjamin sirkulasi -> sirkulasi otak harus dijaga
karena perfusi terganggu
o Peningkatan TIK -> lakukan pencitraan -> untuk melihat apakah ada kondisi
yang dapat ditatalaksana dengan pembedahan, kalau ada maka lakukakn dulu
karena itu primarynya
Kalau ada peningkatan TIK -> posisi kepala (jangan noleh, dielevasi 0-
30 derajat), cegah hipertermia, cegah hipoksia, pelihara sirkulasi,
cegah hipotermia (suhu -> meningkatkan metabolisme -> menambah
beban metabolisme otak), cegah nyeri (sedasi dengan baik),
identifikasi dan tatalaksana kejang (pada peningkatan TIK sering
kejang).
Konfirmasi peningkatan TIK -> lakukan pencitraan otak, kalau ada
kelainan yang dapat diintervensi dengan bedah -> kerjakan dulu
(hidrosefalus/perdarahan), konsul dengan bedah saraf (biasanya tidak
bisa langsung, jadi kalau hidrosefalus beri acetazolamide dulu, kalau
tumor beri kortikosteroid) -> masih jelek TIKnya -> edema sitotoksik
sekunder -> osmoterapi. Kalau tidak ada lesi bedah masih ada edema -
> beri osmoterapi langsung.
Kalau tidak ada kelainan bedah/sudah diatasi -> masih ada peningkatan
TIK -> beri osmoterapi dengan salin hipertonik/manitol (pengobatan
yang bertuju untuk edema tipe sitotoksik) -> bisa edema akibat
sitotoksik primer/komplikasi sitotoksik -> masih tinggi TIK -> lakukan
dekompresi (jarang dilakukan karena sudah tahap lanjut kondisi
pasien).
CT scan
o
o Ventrikel melebar, ujung-ujungnya tumpul -> edema interstisial -> pasang
shunt atau beri acetazolamide (untuk sementara)
o
o Kondisi normal -> sulcus gyrus masih terlihat
o
o Ada massa, dinding tebal -> kemungkinan ada abses. Penebalan -> PD
melebar -> edema vasogenik -> responsif terhadap kortikosteroid. Edema
perifokal, gambaran sulci menghilang dan ventrikel menyempit di 1 hemisfer
o
o Ada infark -> edema sitotoksik primer -> beri osmoterapi (saline
hipertonik/manitol)
Osmoterapi
o Manitol 20%
Diberi sedikit-sedikit, paling lama 8 jam
Menarik cairan dari parenkim ke pembuluh darah
o NaCl hipertonik
Bisa memperbaiki tekanan darah
Kelemahannya -> sebaiknya diberi vena besar/sentral, kadang kita
tidak punya akses
Tatalaksana TIK
o
Tatalaksana TIK pada tumor otak/Sol
o Kortikosteroid, biasanya digunakan dexamethasone 0,25 = 0,5 mg/kg 4 kali
perhari, max 16 mg/hari
o Bisa beri kortikosteroid kalau ada curiga edema sekunder
Drainase LCS
o Pada hidrosefalus, atau untuk memonitor TIK
Kejang, Status Epileptikus, Epilepsi, Epilepsi Rujuk Balik
Kejang/seizure/konvulsi/non-konvulsi -> suatu tanda/gejala yang bersifat sesaat, bisa
hanya motorik bisa hanya perubahan perilaku. Terjadi sesaat karena aktivitas listrik
otak yang abnormal.
Kompetensi SKDI untuk kejang dan status epileptikus -> emergensi (3b), dan epilepsi
-> tatalaksana awal non emergensi (3a)
Di tubuh ada mekanisme eksitasi dan inhibisi. Kalau ada action potential datang di pre
sinaps -> merangsang masuknya kalsium (2) di channel kalsium -> merangsang
vesikel (berisi neurotransmitter inhibisi/eksitasi) merilis neurotransmitter ->
neurotransmitter dirilis di celah sinaps -> berikatan dengan reseptor yang sesuai
(kunci-gembok)
o Eksitasi -> aksi potensial
o Inhibisi -> menghambat
Kejang -> yang menghinhibisi adalah GABA dan yang mengeksitasi adalah glutamat.
Neurotransmitter berikatan dengan reseptor GABA dan glutamat.
Saat kejang yang mengeksitasi dikeluarkan lebih banyak sehingga neuron inhibisi
tidak bisa meng-counter -> timbul cetusan listrik abnormal. Kalau otak direkam ->
tampak gambaran gelombang yang tinggi-tinggi.
Saat kejang:
o Terjadi abnormal listrik otak
o Eksitasi > inhibisi
Kelainannya di saraf pusat
Tetanus bukan kejang karena bukan bermasalah di saraf pusat
o Provoke seizure (kondisi abnormal akut yang mendasari -> acute symptomatic
seizure) dan unprovoked seizure (tidak ada kondisi abnormal akut yang
mendasari -> epilepsi)
o Jadi orang kejang bukan selalu epilepsi, dan epilepsi tidak selalu kaku
kelojotan.
Diagnosis banding kejang
o Saat bertemu pasien kejang -> cari penyebab/DD
o V (vaskuler) -> perdarahan otak, penyumbatan, gangguan bentuk pembuluh
darah otak (arteriovena malformation -> arteri bersambung dengan vena tanpa
perantara kapiler -> dinding tipis), perdarahan subarachnoid
o Infeksi -> mengitis, meningioensfalitis, abses serebri
o Trauma
o Auto imun -> SLE, vaskulitis
o Metabolik -> cuci darah -> uremia, bisa akibat hipoglikemia
o Idiopatik (unprovoke), iatrogenik (obat-obatan)
o Neoplasma
o Structural
Pasien dibawa dengan kelemahan sebelah badan, sakit kepala, muntah, stroke -> kena
di daerah korteks yang iritatif-> kejang, bukan epilepsi karena ada kondisi akut yang
mendasari
Apapun penyebab kejang harus dihentikan
Manajemen Utama Kejang
o ABC (fungsi vital) -> mulut berbuih, pasien kejang saat makan,
o Hentikan kejang -> dengan obat antikejang
o Cari penyebab dan pencetus -> berpikir cepat DD-nya apa
o Cegah kelainan sistemik -> cegah kejang berkepanjangan
Manajemen Kejang
o Harus tetap tenang (pemeriksa)
o Yakinkan apa yang kita lakukan tidak menyebabkan cedera pada pasien, kalau
pasien aspirasi -> lateral decubitus. Kalau kejang dekat pot bunga ->
singkirkan pot bunga
o Beri oksigen -> saat pasien kejang, saluran napas tertutup akibat hipersalivasi,
terutama pada penderita tua/riwayat penyakit jantung
o Perhatikan dan tunggu 3 menit (60-70% kejang akan berhenti dalam 3 menit)
Selagi menunggu, lakukan
Periksa gula darah sewaktu -> ada hipoglikemi/hiperglikemi
Pasang IV line kalau ada, tapi biasanya susah kalau klinisi
sendiri
o Periksa laboratorium
o Kalau ada hipoglikemia -> beri glukosa 40% 50cc.
o Kalau glukosa normal/setelah diberi glukosa diberi diazepam (antikejang lini
pertama di Indonesia) 5-10 mg (<20 kg 5 mg, >20 kg 10mg) iv selama 2-3
menit secara pelan untuk mencegah depresi napas. Bisa pakai midazolam
kalau ada aksesnya
o Kalau kejang menetap, diazepam dapat diulang dalam interval 5-10 menit
dengan tetap mengawasi depresi pernapasan. Luar negeri pakai lorazepam.
Status Epileptikus
o Suatu kejang yang lama -> gagal dengan 2x diazepam. Lebih dari 30 menit.
Ada bangkitan/kejang secara terus-menerus
Tatalaksana Status Epileptikus
o Kalau kejangnya tonik klonik/kelojotan -> 5 menit berlangsung dan gagal 2x
diazepam -> established status epileptikus, konsistensi sistemik muncul 30
menit
o Kalau kejang bentuknya fokal (sebelah badan) -> dipanggil tak respon ->
punya waktu lebih lama (10 menit) untuk menentukan itu status epileptikus,
konsistensi sistemik akan muncul >60 menit.
o Kejang bengong -> tegakkan diagnosis epilepsi 15 menit
o Kalau kejang masih tak berhenti -> lini kedua -> fenitoin 15-20 mg/kgBB iv
lambat/cepat per infus, tak boleh melebihi 50 mg/menit karena bisa aritmia
cordis, memanjangnya interval QT, hipotensi. Pasien BB 50 kg -> maksimal
1000 mg fenitoin, harus habis selama 20 menit (order 30 menit ke perawat).
Isi fenitoin itu 100 mg -> butuh 10 ampul fenitoin kalau 1000 mg butuhnya.
o 80% pasien status epileptikus akan berhenti kejangnya dengan diazepam dan
fenitoin. Kalau masih berlangsung -> diberi obat dengan setengah dosis ->
masih kejang -> kirim ke ICU (status epileptikus refracter) -> diberi obat agen
anastesi -> kalau gagal dengan diazepam, fenitoin dan agen anastesi -> status
epileptikus super refracter. Dokter umum -> kompetensi diazepam dan
fenitoin. Penderita akan mendapat barbiturat/benzodiaczepane/barbitural dan
sudah harus dilakukan intubasi (5-10 mg/kgBB).
o Status epileptikus harus dihentikan karena bisa hipoksia, hipotensi, kematian,
gagal jantung, asidosis, edema otak
o Dilakukan manajemen lanjutan untuk DD
Komplikasi Lanjutan
o Kognitif berisiko terganggu, minder secara sosial, perubahan perilaku
Terapi Status Epileptikus Konvulsi
o Di rumah biasanya diberi diazepam perektal -> di UGD punya kesempatan 1x
pemberian diazepam lagi.
o Selain fenitoin -> fenobarbital. Asam valproate iv dan levitiracetam iv juga
ada digunakan di luar negeri (di Indonesia masih tablet).
o Fenitoin dan alternatif lainnya gagal -> masuk ICU (status epileptikus
refracter/super refracter)
Prognosis
o STESS (Status Epileptikus Severity Score)
Epilepsi
o Ada 50 juta penduduk dunia menderita epilepsi
o Secara konseptual -> kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan
untuk menimbulkan bangkitan (kejang) epileptik yang terus-menerus
(berulang), dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial.
o Epilepsi adalah diagnosa klinis
o Secara sederhana/operatif, epilepsi -> suatu penyakit otak yang ditandai
dengan kondisi/gejala berikut:
Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi (bukan karena stroke,
hiperglikemi, trauma) atau 2 bangkitan refleks dengan jarak waktu
antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam
1 bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinnya bangkitan berulang dalam 10 tahun ke depan
sama dengan minimal 60%
Bangkitan pertama terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke ->
epilepsi pasca stroke
Bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi struktural ->
tumor
Epileptiform discharges
Sudah ditegakkan diagnosis sindrome epilepsi
o Bangkitan refleks -> kejang refleks -> kejang yang muncul akibat faktor
pencetus spesifik seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif,
somatomotor yang harusnya tidak menimbulkan kejang.
Misalnya ada pasien yang kejang akibat mandi air dingin/mendengar
musik keras/dikejutkan. Epilepsi -> aliran listrik abnormal di otak ->
sesuatu hal bisa precipitate kejang. Tapi mandi air dingin/mendengar
musik keras/dikejutkan bukan penyebab kejangnya.
Pembagian Epilepsi
o Klasifikasi berdasarkan bentukan kejangnya
o ILAE 2017 -> yang dipakai sekarang, klasifikasi kejang dari tipe bangkitan
Epilepsi fokal -> pasien tahu kalau dia mau ada serangan
Aware -> selama serangan masih sadar
Impaired awareness -> gangguan kesadaran, tidak berespons ->
bengong
Epilepsi umum -> pasien tidak tahu kalau dia mau ada serangan, pasti
ada gangguan kesadaran
Epilepsi tidak diketahui (fokal/umum)
o ILAE 1981
Partial (focal di 2017)
Simple partial -> partial aware, pasien masih sadar/tahu kalau
pasien ingin kejang/saat kejang
Complex partial -> focal with impaired awareness -> pasien
déjà vu dan mengecap-ngecap
Secondarily generalized -> impaired awareness (focal to
bilateral tonic-clonic)
Generalized
Absence (petit mal) -> tiba-tiba bengong
Myoclonic -> memegang sesuatu dan menyentakkan badan
Atonic -> tiba-tiba jatuh
Tonic -> kaku
Tonic-clonic -> kaku dan kelojotan
Perlu aulo dan autoanamnesa (mengetahui dia kejang/tidak
karena dia tidak sadar kalau dia kejang)
o Focal seizure -> manifestasi klinis tergantung daerah yang mengalami
gangguan
Temporal -> pasien tidak nyaman di ulu hati
Oksipital -> pasien merasa tiba-tiba gelap pandangannya -> kadang
salah diagnosis TIA
Daerah focal -> timbul di satu tempat di otak -> menyebar. Makanya
sempat sadar kalau ingin ada serangan. Kalau menyebar di 1 hemisfer -
> timbul gangguan kesadaran. Kalau menyebar ke keseluruhan ->
pasien tidak bisa sadar kalau ada sarangan
o Psychogenic Non-Epileptic Seizure -> kejang bohongan, mirip epileptic
seizure, kadang bentuk aneh, ada cetusan emosi, jarang melukai diri, jarang
terjadi pada waktu tidur, jarang terjadi saat pasien sendiri
Bedanya dengan epileptic seizure -> orang epilepsi itu ada fokus
epilepsi di satu tempat (abnormal aliran listrik otaknya) maka
gejalanya akan sama tiap bulan/tiap kejang -> epilepsi itu bangkitan
sesaat dan stereotipik/khas. Kalau Psychogenic -> berbeda-beda
bentukan kejangnya dan tidak khas.
Etiologi Epilepsi
o Idiopatik -> tidak diketahui penyebabnya
o Simptomatik -> ada penyebab, ada kelainan di otak -> pernah stroke, pernah
kecelakaan satu tahun yang lalu, ada jejas di otak (infeksi SSP), tumor otak
o Kriptogenik -> dianggap simptomatik tapi tidak diketahui kelainannya dimana
Diagnosis
o Baca sendiri
Pengobatan Epilepsi
o Harus tepat obat, dosis dan waktu pemberiannya berdasarkan tipe bangkitan
o Hati-hati efek samping obat
o Ada klasifikasi obat berdasarkan usia dan bangkitannya.
o Absence pada anak -> asam valproate level A
o Tonic-clonic pada dewasa -> tidak ada level A dan B, langsung C
o Level A -> secara trial bermanfaat, level B -> penelitiannya tidak randomized,
level C -> case control, level D -> nilai evidence terendah (opini expert)
o Ada obat yang cut sinyal neurotransmitter di Na channel, di vesicle, di
reseptor GABA, di reseptor glutamat -> tergantung jenis epilepsi. Diharapkan
ada 1 macam obat -> monoterapi, langsung cut semuanya -> tapi tidak ada jadi
terapinya banyak obat
Efek Samping Obat
o Absans dan myoclonic -> Jangan berikan fenitoin dan carbamazepine karena
memperburuk serangan
o Myoclonic dan absence -> pilihan pertama adalah asam valproate
o Asam valproate tidak direkomendasikan ke wanita usia produktif -> PCOS
(polikisstik), teratogenik, trombositopenia, sindroma metabolik (dislipidemia,
hipeglikemia, DM)
SKDI
o Kejang dan status epileptikus 3B (tatalaksana awal kasus emergensi)
o Epilepsi 3A (tatalaksana awal kasus non emergensi)
o Lalu rujuk ke spesialis saraf
Kapan Merujuk Pasien Epilepsi ke SpS
o Diagnosa awal ditegakkan (3a) -> rujuk ke spesialis untuk mengkonfirmasi
diagnosis -> cari etiologi, dokter spesialis memberi obat sesuai tipe epilepsi
dan dipantau selama 3 bulan aman, kalau stabil -> kembalikan lagi ke dokter
umum dalam program rujuk balik. Dokter umum akan mengobati kembali
kecuali:
Jika ada kejang
Jika ada kondisi khusus
o Sampai 3 tahun tidak ada serangan epilepsi -> turunkan perlahan dosis obat
(25%) -> konfirmasi listrik otak pakai EEG -> harus dirujuk ke dokter
spesialis
o Kalau kejang kambuh di bulan ke-12 -> obati -> mulai dari 0 lagi hitungan
terapinya
o Cek juga apakah ada efek samping obat (oleh dokter spesialis) -> fungsi hati,
fungsi ginjal (topiramate)
Program Rujuk Balik (PRB)
o Epilepsi termasuk 9 jenis penyakit kronis yang termasuk program rujuk balik
Dengan EEG hanya 60% pasien bisa terkonfirmasi epilepsi, karena EEG hanya 30
menit, bisa saja terjadi kejang di luar 30 menit itu.
Epilepsi bisa diobati -> cari evolution of epilepsy.
ARV tidak bisa mengeradikasi HIV
o Viral load turun di level yang tidak terdeteksi -> ARV berfungsi menekan
viral load, sehingga walau virus ada tapi tidak terdeteksi -> kalau viral load
tidak terdeteksi -> aktifitas virus lemah
o ARV tidak bisa selalu menekan viral load karena CD-4 semakin turun, saat
CD-4 sangat rendah -> ARV tidak bisa menekan viral load -> virus tidak
tereradikasi -> HIV tidak bisa sembuh dengan ARV
Kegagalan Terapi
o Dinilai minimal sudah 6 bulan terapi ARV dengan kepatuhan yang baik
Gagal klinis -> muncul infeksi oportunistik berulang/baru
Gagal imunologis -> dewasa -> CD4 di bawah 250 dengan kegagalan
klinis atau CD4 persisten di bawah 100. Anak <5 tahun -> CD
persisten di bawah 200 atau <10 %
Gagal virologis -> viral load di atas 1000 kopi/ml dengan 2x
pemeriksaan viral load dengan jarak 3-6 bulan
o Kalau saat dicek ketiganya gagal -> cek kepatuhan terapi ARV -> ARV patuh
-> pertimbangkan obat ARV ke lini ke-2
Pemantauan setelah Pemberian ARV
o Rekomendasi -> pemeriksaan viral load rutin di bulan ke-6 dan ke-12 setelah
memulai ARV dan berikutnya setiap 12 bulan
o Gagal virologis jelas -> evaluasi -> kalau masih jelek -> ulangi viral load ->
viral load <1000 kopi -> pertahankan ARV lini pertama, kalau viral load
masih tinggi -> pindah ke ARV lini kedua.
2. HIV-AIDS dengan Komplikasi
Kalau di fase awal -> primary HIV infection -> flu-like syndrome, demam, myalgia -
> stadium meningkat -> stadium akhir -> AIDS
Asimptomatik hitungan tahun
o Saat infeksi -> viral load meningkat, bisa ditekan oleh CD-4 yang masih baik -
> CD-4 lama-lama turun -> tidak bisa menekan viral load -> saat CD-4 turun
dan viral load meningkat -> muncul manifestasi klinis HIV-AIDS.
o Pertama-tama di stadum berat akan muncul gejala konstitusional -> demam
terus-menerus berbulan-bulan, diare berulang, batuk terus-terusan)
o Lalu muncul infeksi oportunistik -> Herpes, TBC, sarkoma -> meninggal
Infeksi oportunistik -> infeksi yang timbul/bermanifestasi saat status imun seseorang
turun. Misalnya pada pasien TBC -> saat dites, antibodi terhadap Tb positif, tapi
apakah kalau kita fototoraks/batuk tidak terkena Tb -> imun kita baik. Bisa
muncul/bermanifestasi kalau imun turun. Toxoplasmosis -> orang dengan
imunokompeten tidak akan ada manifestasi karena dormant -> CD-4
turun/immunocompromised -> toxoplasmosis bermanifestasi.
o Infeksinya tergantung jumlah CD-4, makin rendah CD-4 akan makin berat
gejalanya.
o Infeksi primer -> demam, myalgia, arthralgia, meningoencephalitis
o Early (CD4 > 500) -> GBS, CDN
o Intermediate (CD4 200-500) -> Tb, herpes zoster
o Advanced (CD4 <200) -> keganasan, infeksi intrakranial oportunistik,
toxoplasmosis
o Infeksi tertentu muncul saat CD4 sangat rendah -> cytomegalovirus muncul
saat CD4 50.
o Pada HIV-AIDS tidak hanya menyerang otak, tapi juga spinal cord (saraf tepi
dan otot)
Cerebrovascular disorders -> endocarditis nonbacterial, vasculitis ->
lesi di otak -> manifestasi cerebrovascular disorders
Spinal cord -> myelopathy dan myelitis akibat herpes simplex/zoster
Meningitis -> terbanyak bisa cryptococcal, Tb dan sifilis
Saraf tepi -> distal sensory polyneuropathy (yang distal terkena
dampak)
Toxoplasmosis Serebral
o Ciri khas -> ada gambaran massa seperti tumor dengan pericoccal edema yang
luas
o
o Penyebab -> Toxoplasma gondii
o Gejala mirip dengan infeksi otak lainnya -> penurunan kesadaran, demam,
nyeri kepala, kejang, hemiparese, dll
o Diagnosis pasti -> harus biopsi otak. Tapi jarang didapatkan biopsi otak di
toksoplasmosis karena dia di bangsal ganglia dan subkorteks jadi susah
diambil sampelnya.
o Diagnosis presumptif -> defisit neurologi progresif, radiologis tampak massa
menyangat kontras, pasien respon dengan pengobatan 2 minggu -> 3 kriteria
terpenuhi tanpa biopsi -> diagnosis bisa ditegakkan
o Terapi -> lini pertama pirimetamine dan sulfadiazine (ditambahkan
clindamisin). Dulu pakai suldox (pirimetamine dan sulfametoksazole),
sekarang kombinasi clindamisin dan cotrimoxazole.
o Pengobatan fase akut -> 3-6 minggu
Setelah 6 minggu lihat CD4 -> kalau <200 -> beri dosis setengahnya
Dapat ditambahkan asam folinat untuk mecengah anemia akibat
pirimetamin
Meningitis Kriptokokus
o Infeksi meningens akibat jamur Cryptococcus neoformans, ada 26 spesies
yang bisa menginfeksi manusia.
o Gejala -> penurunan kesadaran, kejang, nyeri kepala, dll
o Diagnosis pasti
Pemeriksaan LCS -> tinta india
Kultur LCS
Deteksi antigen kriptokokal dari LCS
o CT scan/MRI tidak spesifik
o Terapi
First line -> kombinasi ampoterisin-B dan flukonzol. Ampoterisin-B
diberikan 2 minggu pertama
Minggu 3-10 cukup dengan flukonazol saja.
Ampoterisin-B di Indonesia hanya ada preparat dengan toksisitas
tinggi -> pasien terkena efek toksik
Jika tidak terdapat ampoterisin-B bisa pakai flukonazol saja dengan
dosis lebih tinggi salam 10-12 minggu
Fase rumatan -> flukonazol 200 mg.hr hingga CD4 >200
PML
o Demyelinasi SSP akibat infeksi virus sebelumnya -> JC virus menyerang
oligodendrosit dan astrosit
o Lesi asimetris di daerah white matter
o Di MRI flare akan muncul gambaran hiperintens
o Terapi dengan cidoclovir
Encephalitis CMV
o Akibat cytomgealovirus
o Selain otak, bisa menyerang retina dan gastrointestinal
o Ada yang encephalitis dan poliradikulomyelitis
o Diagnosis khas -> penyengatan periventrikuler pada imaging
o Terapi -> Ganciclovir
Meningits TB
o Akibat Mycobacterium tuberculosis
o Pada pasien non-HIV juga banyak kasusnya, biasanya pada gizi
buruk/DM/pasien kanker
o Diagnosis
LCS test lini pertamanya-> pleositosis limfositik (peningkatan leukosit
-> limfosit/mononuklear, glukosa rendah, protein meningkat
Imaging -> penyangatan di meningen, tuberkuloma, hidrosefalus
o Manifestasi -> ciri khasnya parese nn. Craniales, sisanya sama
o Terapi -> OAT
PCNSL
o Limfoma non-Hodgkins yang menyerang SSP
o Diasosiasikan dengan infeksi virus Epstein-Barr sebelumnya -> mencetuskan
PCNSL pasa pasien HIV-AIDS
o Diagnosis dengan biopsi
o Kriteria diagnosa presumptif tokso -> 2 minggu terapi respons. Kalau tidak
respons -> perlu dipertimbangkan DD pertama yaitu PCNSL
o Terapi -> WBRT (radiasi) + kortikosteroid, methotrexate (kemoterapi) dan
diteruskan WBRT atau kombinasi obat kemo intravena dengan methotrexate
intratechal (dimasukkan ke LCS)
Komplikasi pada Saraf Tepi
o Distal symmetric polyneuropathy
Neuropathy perifer -> lower motor neuron -> hiporefleks, tonus
menurun
Utamanya terlibat daerah distal -> kaki/tangan
DD -> polyneuropathy pada DM
o Acute/Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy
Gejala ascending disertai keterlibatan nn. Craniales
Refleks menurun
o Progressive Polyradiculopathy
Khasnya di cauda equina -> bokong
Gangguan spinchter ani/uri -> BAB/BAK terganggu
Tidak ada gangguan nn. Craniales dan kaki/tangan
o Mononeuritis
Hanya 1 saraf yang terkena tapi di berbagai sisi
Demensia HIV
o Gejala
Gangguan kognitif -> konsentrasi dan atensi terganggu, mental
slowing, tidak bisa multitasking
Gangguan behaviour -> apatis, withdrawal, iritabulitas, perubahan
perilaku
Gangguan motorik -> ceroboh, suka terjatuh, lambat, tremor, gait
unsteadiness (gangguan berjalan)
o Stadium awal
MMSE normal tapi respons lambat
Refleks fisiologis meningkat, babinski +, snour respon bisa +
Gerakan pursuit dan sakadik mata melambat
Gerakan motorik halus lambat atau disritmia
Slow walking. Kesulitan saat berputar
o Stadium lanjut
Demensia HIV tidak hanya kognitif terganggu -> behaviour dan
motorik juga
o Stadium -> normal, mild, moderate, severe, end stage
o Diagnosis pakai kriteria probable dan possible
o Pemeriksaan kognitif
MMSE
Atensiv -> forward digit span
Memori -> Rey Auditory Verbal Learning Test, Rey Osterich Complex
Figure (ROCF)
Bahasa -> Animal naming (fluency), Token test
Fungsi Eksekutif -> Trail Making A/B, ROCF
Visuospasial -> ROCF, Block Design , Kecepatan Psikomotor
Fingger tapping test
o Tatalaksana -> ARV, ada beberapa antiretroviral dengan penetrasi LCS baik -
> efavirenz (ESO gangguan kognitif -> harus hati-hati)
o Terapi adjunctive/neuroprotectan -> stimulan dan L-deprenyl, dll.
3. Rabies
4. Spondilitis TB
Tetanus, Meningitis, Ensefalitis, Malaria Serebral
1. Tetanus
Muka menyeringai -> risus sardonicus. Mulut mengatup/tidak bisa membuka ->
trismus. Tangan dan kaki kaku -> kejang rangsang. Posisi melengkung (hiperlordotik)
-> epistotonus
Etiologi -> bakteri basil gram positif -> Clostridium tetani, bentuk bakteri seperti
batang bersifat obligat dan anaerob. Tidak bisa bertahan di lingkungan yang ada
oksigennya. Bisa menginfeksi manusia karena menghasilkan spora yang survivalnya
tinggi -> bisa tahan panas (121o C, 10-15 menit) dan resisten terhadap fenol (alkohol)
dan antiseptik -> bisa bertahan di udara bebas, menempel di tanah, permukaan
berkarat -> ketika ada luka -> spora masuk.
Portal of entry tetanus -> masa inkubasi 3-21 hari. Pasien tetanus luka 3 hari -> masih
bisa. Pasien tetanus 3 minggu juga masih bisa. Semua luka bisa jadi sumber infeksi
tetanus -> bisa dari luka bakar, tertusuk duri ikan, luka tembak, jarum suntik, body
piercing, pembedahan tidak steril, abses gigi, gigitan manusia, ulkus diabetikum,
fraktur basis cranii, otitis media supuratif kronik (robek membran timpani -> telinga
tengah anaerob -> clostridium tetani berkembang).
Luka rentan tetanus -> luka dibersihkan <6 jam, kedalaman luka >1 cm, luka kotor
(terkontaminasi), tepi luka irreguler/avulsi/stelata (seperti bintang -> daerah anaerob),
luka di daerah denervasi/iskemik (telapak kaki), terinfeksi (purulent/jaringan
nekrotik). Kalau ada luka dengan tanda-tanda tersebut harus hati-hati infeksi tetanus.
Clostridium tetani menghasilkan 2 toxin
o Tetanolysin -> hemolytic toxin, berpotensi terhadap proses infeksi.
o Tetanospasmin -> bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis -> blokade
neurotransmitter pada level presinaptik.
Patofisiologi
o Spora masuk -> tetanospasmin masuk lewat sirkulasi limfe dan vaskuler ->
mencapai ujung saraf -> berikatan dengan gangliosid di neuromuscular
junction -> mengganggu pelepasan GABA dan glisin (yang berfungsi sebagai
neuron inhibitor) -> kalau terganggu maka inhibisi respon refleks motorik
gagal -> klinis tetanus -> rigiditas, instabilitas autonom kalau kena batang otak
bisa terjadi instabilitas otonom.
o Pada gerakan normal -> trisep kontraksi maka bicep relaksasi dan sebaliknya.
Proses tersebut dipengaruhi neurotransmitter. Untuk membuat satu otot
bekrontraksi harus ada impuls motorik yang dihantarkan (lewat saraf tapi ke
otot). Ada neuron exitator, pada kelompok otot antagonis agar bisa bergerak
simultan maka harus diblokade impuls motorik yang lewat -> peran GABA
dan glisin. Jadi saat trisep kontraksi, bicep relaksasi.
o Pada tetanus -> gangliosid ditempeli tetanospasmin -> tidak ada rilis GABA
dan glisin -> kelompok otot bisep akan berkontraksi saat trisep kontraksi ->
kejang rangsang/spasme. Jika hal tersebut terjadi sepanjang otot paravertebrae
-> hiperlordotik -> epistotonus. Kalau terjadi kelompok otot naseter -> sulit
membuka mulut -> trismus (otot rahang bawah spasme). Kalau terjadi di otot
wajah -> risus sardonicus. Bisa juga terjadi di kelompok otot abdomen ->
rigiditas abdomen/defans muscular (jadi tetanus sering disalah diagnosis
dengan kasus peritonitis). Obstruksi otot laring -> pasien seperti disfagia.
Gangguan saraf otonom -> gangguan pernapasan dan otot jantung.
Batasan trismus -> tidak bisa membuka mulut lebih dari 3,5 cm.
Kejang rangsang bedanya dengan kejang epilepsi -> kalau kejang
tetanus, level kelainannya di neuromuscular junction (otot) dan
sifatnya kejang rangsang, kalau tak ada stimulasi tak akan kejang.
Kalau epilepsi itu level kelainan di hipereksitasi di korteks otak dan
sifatnya unprovoked (tanpa provokasi, bukan kejang rangsang).
4 Tipe Tetanus
o Lokalik -> di sisi luka. Bersama yang cephalic -> sering miss diagnosed
o Cephalic -> di wajah -> trismus dan risus sardonicus, akibat trauma kepala dan
otitis media
o Generalized
o Neonatal -> penyebab terbanyak adalah dari luka umbilicus. Bayi baru lahir di
daerah -> ada perawatan luka biasanya (ditempelkan ramuan herbal) di
umbilical, kalau tak bersih mengolah herbalnya -> terkontaminasi tanah yang
ada spora -> jalur masuk tetanus.
Klasifikasi Tetanus
o Hanya menetukan prognosis, tidak menentukan tatalaksana. Tatalaksana sama.
o Ada kriteria 1-5
Diagnosis
o Penegakkan utama dengan anamnesis dan gejala klinis
o Lab -> tidak terlalu efektif
o Spatula test -> sensitivitas 94% dan spesifisitas 100%
Tongue spatel dimasukkan dan ditekan di lidah belakang -> akan ada
refleks menggigit. Harus pakai yang berbahan besi.
Diagnosis banding
o Meningoencephalitis, polio, rabies, peritonitis, hipokalsemia tetani, keracunan
strychnine, sepsis, subarachnoid hemorrhagic
o Spasme otot paravertebrae-> otot leher terlibat -> sering dimiss-diagnosed
kaku kuduk.
o Rabies -> kejang rangsang
o Polio -> tetraplegi, pasien tak bisa bergerak
o Peritonitis -> defans muscular
o Hipokalsemia tetany -> tetany laten karena hipokalsemia yang berlangsung
lama -> spasme, biasanya pada perempuan. Dicetuskan kondisi hiperventilasi,
tangannya obstetric
Tujuan Tatalaksana
Eradikasi penyebab -> pakai antibiotik untuk Clostridium tetani ->
metronidazole dan penisilin G. Penisilin G sudah jarang tersedia jadi
pakai Metronidazole, reaksi alergi Penisilin G juga lebih tinggi jadi
ditinggalkan.
Netralisasi toksin bebas -> anti tetanus serum (dari kuda -> ATS
/manusia -> HTIG). Toksin bebas yang bisa dinetralisir (hanya di limfe
dan vaskuler) -> karena kalau sudah berikatan di gangliosid kita tidak
bisa menetralisir lagi, akan hilang sendiri pada waktu 6-8 minggu.
Kontrol spasme otot -> bisa pakai benzodiazepine
(diazepam/midazolam) atau MgSO4. Pada spasme berat pakai
antispasme sentral (antropium)
Atasi gangguan otonom -> MgSO4 dan beta-blocker atau kalsium
berkala. Penggunaan MgSO4 harus hatu-hati -> bisa menyebabkan
hipokalsemia -> hipokalsemia berat -> mengganggu kontraksi jantung
-> pantau kalsium berkala
Suportif -> pasien tidak bisa menelan pakaikan NGT
tatalaksana komplikasi -> paling banyak adalah pneumonia aspirasi
(pasien tidak bisa menelan dan tersedak) -> pakaikan NGT
Tatalaksana
o Antibitoik, HTIg (tetagam), ATS, Terapi suportif
o Rawat di ruang isolasi -> signifikan berpengaruh terhadap angka kematian
pasien tetanus
Prognosis
o Dipengaruhi oleh:
2. Meningitis
Meningitis -> penyakit peradangan di meningen saja. Paling banyak terlibat adalah
arachnoid dan piameter (leptomeningen). Pacimeningen -> duramater.
Kalau melibatkan ensfalon/jaringan otak -> ensefalitis. Tapi kalau melibatkan
keduanya -> meningoensefalitis.
Meningen ada 3 lapisan -> duramater, arachnoid -> subarachnoid space -> berisi LCS
dan pembuluh darah), piamater (menempel dengan otak).
Etiologi -> infeksi bakteri, jamur, tuberculosis ataupun viral.
Patofisiologi
o Meningitis bakterial -> sinusitis -> meningitis
Kuman kolonisasi di nasofaring -> kuman dari rongga sinus -> masuk
ke mukosa -> ke kapiler pembuluh darah -> ke pembuluh darah di
medulla spinalis -> kuman merusak blood CSF barrier -> kuman
masuk ke CSF -> di CSF akan ikut sirkulasi (medulla spinalis ->
rongga subarachnoid) -> di ruang subarachnoid terus berkolonisasi
(piamater dan arachnoid terkena) -> menimbulkan peradangan.
Pada infeksi tahap lanjut peradangan bisa meluas ke duramater dan
parenkim (meningoensefalitis).
Bisa duramater duluan yang terlibat kalau sumber infeksi berasal dari
trauma kepala terbuka atau dari luka operasi craniotomy
Gejala klinis
o Trias klasik -> demam, nyeri kepala hebat dan kaku kuduk
Diagnosis
o Etiologi pasti dicek lewat LCS, darah bisa membantu bisa tidak (tes serologi -
> antigen HSV positif -> bukan pasti bahwa itu meningitis virus/herpes
simplex -> harus kombinasi dengan LCS), foto toraks untuk memperkecil
peluang diagnosis meningitis Tb, bisa saja pasien Tb non paru -> meningitis
Tb. CT scan kepala untuk melihat komplikasi dan kontraindikasi dari LP.
o LCS -> diambil lewat lumbal pungsi -> menembus subarahcnoid -> lumbal 3-
4/4-5 sambil tertidur pasiennya.
Karakteristik
o LCS membantu klinisi dalam menegakkan etiologi
o
o Lihat dulu jumlah selnya meningkat/tidak -> kalau meningkat berarti infeksi.
Lanjut lihat neutrofil, kalau dominan berarti bakteri, kalau menurun
neutrofilnya (dominan monosit) berarti bisa viral/jamur. Lanjut lihat glukosa
(viral normal). Protein terakhir dilihat -> sejalan dengan peningkatan jumlah
sel.
o Tidak bisa mendiagnosis meningitis Tb/jamur lewat LCS -> harus lewat
kultur/tinta india.
Algoritma
o Boleh langsung lumbal pungsi tanpa CT scan kalau pasien tidak ada defisit
neurologik, kejang, penyakit neurologis dengan massa intrakranial.
o Kontraindikasi lumbal pungsi -> gambaran massa intrakranial, hidrosefalus
non-komunikan.
Tatalaksana
o Kausatif -> tergantung penyebab
o Anti edema -> pakai dexamethasone, karena efek glukokortikoid paling tinggi
(potensiasi glukokortikoid -> terkait efek antiinflamasi). Pada clinical trial
yang besar -> menurunkan risiko kematian meningitis -> memperbaiki blood
brain barrier, penetrasi obat-obatan cepat.
Komplikasi
o Hemiparese, hidrosefalus, meninggal.
3. Ensefalitis
Ensefalitis -> inflamasi akut pada parenkim/jaringan otak.
Etiologi -> selain infeksi, bisa juga akibat autoimun (anti MNDR ensefalitis) atau
pasca vaksinasi.
Virus herpes simplex -> paling banyak sebagai penyebab utama ensefalitis
o HSV 1 -> oral herpes
o HSV 2 -> genitalia herpes
o Tapi sekarang sudah tidak jelas
o Dapat disembuhkan
Arbovirus
o West nile virus
o La crosse encephalitis
o Eastern equine encephalitis
o Encephalitis dengue -> paling banyak di Indonesia, DBD bisa menyebabkan
encephalitis dengue -> gejala mirip malaria serebral (gejala akhir malaria).
Ada microbleeding di otak
Enterovirus
o Melalui gastrointestinal -> banyak penyebab
Rabies
o Akibat rhabdoviridae
Patogenesis
o Virus menginvasi membran sel -> bereplikasi di sel -> sel ruptur -> virus yang
aktif menginfeksi sel sehat lainnya
o Ensephalitis diffusa
Menginvasi tubuh secara langsung ke otak secara hematogen ->
biasanya lebih berat
o Infeksi fokal
Menginvasi jaringan lain dulu sebelum ke otak -> lebih kecil
kerusakan otaknya
Gejala klinis
o Trias klasik ensefalitis -> penurunan kesadaran, kejang, demam
o Kalau ada trias klasik meningitis juga -> meningoensefalitis. Kalau ada kaku
kuduk -> meningitis.
Diagnosis
o Tetap LCS menjadi pemeriksaan utama
o CT scan, EEG, dan biopsi otak (pemeriksaan gold standard rabies)
Panduan diagnosa pada Encephalitis HSV
o Pada EEG, CT scan dan MRI ada lesi asimetris di frontal dan temporal
o Pemeriksaan HSV positif
Terapi
o Tidak butuh Ab kalau HSV
o Acyclovir intravena, anti kejang dan simptomatuis
Prognosis
o Episode akut -> 1-3 minggu
o Tergantung jenis virusnya dan mortalitas meningkat seiring pertambahan usia
4. Malaria Serebral
Malaria serebral adalah komplikasi terberat dari malaria parcifarum. Ditandai dengan
perubahan status mental dan bisa koma. Prognosis malaria serebral berat, sebagian
kasus berakhir dengan kematian.
Paling banyak di daerah endemik tropik dan subtropik. Di Indonesia khususnya di
daerah bagian timur seperti Sulawesi Utara,
Predisposisi -> usia tua, kehamilan, immunocompromised (HIV +)
Klasifikasi
o Sedang -> delirium
o Berat -> stupor
o Sangat berat -> koma, termasuk juga dinilai dengan respon pengobatan (tidak
respon terapi)
Fase
o Prodormal -> demam, sakit pinggang, mialgia, menggigil
o Akut -> nyeri kepala hebat, mual muntah, gangguan kesadaran
Patofisiologi
o Hipotesis mekanik
Akibat iskemik pada sel otak yang terjadi akibat gangguan aliran darah
mikrovaskular karena eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum
-> ligan sel -> menurunkan aliran darah mikrovaskular ->
pembentukan rosette di RBC -> deformiabilitas sel darah merah
o Hipotesis humoral
Akibat difusi nitrit oxide yang masuk blood brain barrier karena
stimulasi terhadap toksin yang dikeluarkan malaria -> makrofag
bekerja -> TNF alpha rilis -> pelepasan NO -> masuk blood brain
barrier -> gangguan sinaps
Gambaran klinis
o Inkubasi 12 hari rata-rata
o Manifestasi -> penuruann kesadaran, demam, gejala sisa neurologis, koma
o Pada anak sering terjadi komplikasi -> anemia
o Malaria serebral -> ensefalopati simetrik karena tanda UMN simetrik
Diagnosis penunjang
o Tidak terlalu efektif
o Lumbal pungsi dan analisis LCS -> kalau kasusnya meragukan saja. Kalau
sudah tegak malaria serebral dan ada penurunan kesadaran biasanya langsung
diagnosis malaria serebral.
o EEG tidak spesifik, CT scan hasilnya normal.
Tatalaksana
o Umum -> stabilisasi jalan nafas, observasi kejang, monitor vital sign,
memelihara intake dan output
o Pakai antimalaria. Doksisiklin dan klorokuin dipakai untuk profilaksis
(konsumsi saat masuk ke endemik malaria)
o Jangan diberikan -> kortikosteroid (bisa harmful)
Prognosis
o Buruk -> pasien kebanyakan meninggal
o
1-2 beri istirahat dan neurotropik
5 harus tangani di RS dengan ventilator dan beri plasmaparesis
o Progonosis
75-90% sembuh sempurna
25-36% timbul gejala sisa
Angka kematian 3%
Prognosis buruk -> usia tua, gejala berat, onset gejala cepat. Dari
terpapar faktor pencetus ke timbul gejala waktunya cepat ->
progonosis buruk (1 minggu onsetnya misalnya).
4. Lesi Pleksus
o Saraf spinal membentuk pleksus -> terurai kembali menjasi beberapa saraf
perifer ekstremitas atas (pleksus brakhialis) dan bawah (pleksus
lumbosakralis).
o Pleksus brakhialis
Penyebab bisa trauma pada clavicula dan radiasi
Trauma lahir -> ERB paralysis (lesi di trunkus superior -> lengan atas
lemah, biceps dan deltoid) dan klumke paralysis (lesi di trunkus
inferior -> lemah di jari tangan). Tapi sekarang trauma lahir sudah
jarang -> diantisipasi dengan sectio kalau ada kesulitan lahir.
Tidak bisa bergerak sama sekali -> lesi di keseluruhan.
Sekarang banyak terjadi akibat kecelakaan -> humerus patah -> sulit
digerakkan (kemudian ada lesi pleksus)
o Pleksus lumbosakralis
Penyebab utama trauma lahir, trauma sendi panggul dan radiasi
Gejala tergantung pleksus yang terkena
Pemeriksaan dengan EMNG dan foto clavicula/pelvis
5. Neuropati Diabetik
o Neuropati simetris. Salah satu komplikasi jangka panjang DM paling umum,
mempengaruhi hampir 50% pasien DM.
o Ditandai dengan kehilangan progresif serabut saraf, menyebabkan berbagai
gejala tergantung saraf yang terkena.
o Kriteria diagnosis
Perika HbA1c -> melihat apakah kena penyakit DM yang berobat tidak
teratur. Kalau >- 6,5% -> DM tak terkontrol dalam 3 bulan terakhir.
Periksa gula darah puasa -> >126 mg/dL
Glukosa post prandial -> >= 200 mg/dL
Gula darah sewaktu -> >= 200 mg/dL
o Mempengaruhi 2-8% populasi
o Lamanya menderita DM sangat berhubungan dengan timbulnya penyakit
neuropati diabetik. Makin lama menderita DM dan tidak terkontrol -> 50%
kemungkinan terjadi polineuropati setelah 25 tahun.
o Jarang terjadi pada usia <30 tahun. Komplikasi meningkat sejalan dengan
lamanya penyakit dan tingginya hiperglikemia -> lama tidak terkontrol.
o Tanda dan gejala
Bervariasi tergantung berat-ringan
Gangguan serabut saraf besar -> sentuhan ringan
Gangguan serabut saraf kecil -> nyeri neuropatik, persepsi suhu,
parastesia
Nyeri neuropatik -> seperti berjalan di atas paku
o Sindrom neuropati diabetik
Polineuropati distal -> ujung kaki. Simetris, terutama sensorik
mempengaruhi kaki dan tungkai secara kronis
Optalmoplegia akut
Mononeuropati akut
Nyeri akut/subakut
Kelemahan motorik proksimal
Sangat bervariasi -> sensorik/motorik/otonom
Diduga penyebabnya iskemik/infark pada saraf karena
mikrovaskularisasi akibat DM. Cedera di kepala biasanya cepat
mengeluarkan darah, di kaki aliran darah kurang -> sistem saraf di kaki
cepat terganggu terutama pasien dengan polineuropati diabetik.
o Secara keseluruhan
o Polineuropati diabetik sensorik distal
Simetris, mengenai sensorik, berkembang dalam 10 tahun, keluhan
persisten -> kesemutan di malam hari saja (karena iskemik bisa hilang
di pagi hari -> otot kontraksi -> aliran darah lancar atau siang hari
tidak terasa karena melakukan kegiatan lain).
Pada dasarnya bisa mengganggu -> awalnya selalu sensorik
(kesemutan, rasa tak nyaman) dan lama-lama tidak terasa lagi (saraf
mati). Sehingga kalau tingkatnya lama -> sampai gangrene dan
berulkus -> tidak nyeri lagi -> berbahaya karena sarafnya sudah mati.
Gangguan di telapak tangan dan kaki hingga tungkai.
Kalau berat bisa ada Charcot’s foot dengan ulserasi -> sulit sembuh ->
perbaikan sel tidak ada -> bisa nyeri.
Lebih berat -> bisa terjadi gangguan motorik.
Neurobehavioral Disorder
Autis adalah kelainan saraf yang memang berhubungan dengan tingkah laku.
Sistem yang dibangun adalah hambatan sensorik yang masuk ke otak, tidak
diproses dan tidak ada keluarannya. Seseorang bisa bicara karena mendengar,
orang bisa paham karena diberi tahu, bisa mengenal lingkungan karena ada
sensori taktil.
Dari tumbuh kembang lebih banyaj eksplor terkait skrining. Dari neurologi
dilihat aspek neuroanatomi dan neurofisologi sehingga runut untuk memberi
terapi baik secara intervensi obat atau tanpa intervensi obat.
Dilihat dari gangguan neurobehavior -> gangguan perilaku. Cedera terkait
perilaku
o Tourette syndrome -> latah biasanya ngomong kotor karena fokus
yang terdengar adalah omongan kotor terkait lingkungan sekitar ->
minim rekaman otaknya karena selalu monoton input sensorisnya ->
tidak berkembang otaknya
o Autisme -> gangguan sensorik, kontak mata, bicara, interaksi sosial.
Keempat itu terlihat autisnya seperti apa -> ASD (austistic spectrum
disorder) -> berbagai macam, banyak penyebab -> konvus collosum,
sistem limbik, amygdala, interpretasi yang tidak bagus dari jaras
asosiasinya. Sering diawali dengan global developmental delay ->
ternyata bukan autis -> intelectual disability. Anak autis terdeteksi
sebelum 5 tahun biasanya. Bisa bicara baik dengan intervensi cepat ->
latih area prefrontal. Bisa tidak berkembang jika anak diberikan
gadget.
Banyak pasien neurobehaviour -> penggunaan gadget
meningkat saat Covid -> gangguan perkembangan otak karena
minimal eksplor
o Demensia -> lupa, ada memori yang hilang.
o Gangguan obsesif konvulsif hampir sama dengan gejala ADHD.
Melakukan ritual secara terus-menerus tapi mudah mengamuk. Emosi -
> lalu sadar bahwa itu salah. Banyak pada anak-anak terkait kelainan
neurologi dan kejang.
o ADHD -> defisit hiperaktif disorder. Tidak ada perhatian sama sekali
dan anak hiperaktif. Bisa berbicara dengan baik (dibanding autis).
o Multiple sclerosis -> ada tahap awalnya -> myelitis
Penyebab Gangguan Neurobehaviour
o Pengaruh lingkungan, genetik, biologis dapat menjadi faktor peningkat
risiko gangguan neurobehavior.
o Pengaruh lingkungan lain
Obat
Paparan kimia
Status sosial ekonomi rendah -> berhubungan dengan
kemampuan komunikasi kurang baik dan pemberian makan
kurang baik
Bayi lahir prematur
Gejala Gangguan
o Adanya perubahan perilaku, kemampuan motorik terbatas -> anak
dengan gangguan behaviour sering kurang terarah dalam bergerak
(minim -> motorik tidak terarah). Motorik harusnya makin bertambah
usia makin terarah. Dari awal bisa dideteksi bayi bermasalah/tidak
dengan melihat perkembangan berdasarkan milestone. Lihat usia
3/6/9/12/15/18/2 tahun/3 tahun/5 tahun -> perkembangan motorik,
interaksi sosial, bahasa dan emosional.
o Kebutuhan esensial tidak terpenuhi merupakan salah satu faktor
gangguan behaviour.
Retardasi Mental dan Global Development Delay
o Retardasi mental -> diawali dengan anak dengan GDD (global
developmental delay) -> ada 2 ranah yang terjadi kelainan.
o Biasanya karena motorik dan bicara terganggu. GDD -> kelainan
anatomikal/fisiologi otak. Kalau hanya motoric delay -> stimulasi
kurang -> intervensi stimulasi -> membaik. Kalau 2 ranah terganggu ->
area di otak (Brodman, Wernicke, Broca) terganggu -> di berbagai
tempat sudah terjadi kelainan patologis.
o Setelah usia 5 tahun -> intelectual disability. Sulit dirubah. Intervensi
harus di bawah 5 tahun. Skrining cepat jauh lebih baik untuk
menentukan apakah ada delay/perkembangan neurologi.
o Kalau anak sudah dewasa -> risiko tinggi mengalami kesulitan belajar
dan penurunan kinerja.
Evaluasi Intelektual
o Developmental test -> bayley scales untuk spesifiknya, kalau
internasional pakai denver developmental screening test
o Intellegence test -> wechsler intelligence biasanya dipakai psikolog
o Neurophsychological -> NEPSY
o Qualitative Description of IQ -> nilai di bawah 90 -> anak sulit belajar
-> instruksi tidak nyambung -> susah connect -> epilepsi juga bisa
menyebabkan gangguan kognitif pada anak.
Etiologi GGD
o Prenatal -> genetic
o Perinatal
o Postnatal -> stunting paling banyak akibat nutirsi tak bagus
o Undetermined
Evaluasi pasien
o Dapatkan riwayat dan pemeriksaan secara detail dan terperinci
o Rujuk untuk pemeriksaan pendengaran dan oftalmologis
Tanya kebiasaan anak terkait kegiatan saat mendengar sesuatu
kira-kira menari atau tidak. Kalau menari berarti mendengar.
Sensorik yang membuat anak berbicara adalah pendengaran.
o Pertimbangkan studi metabolik/T4 (berhubungan dengan intelektual)
jika skrining bayi baru lahir tidakdilakukan
o Jika riwayat ada dugaan kejang atau sindrom epilepsi, lakukan
pemeriksaan EEG.
o Pertimbangkan skrining untuk autisme atau gangguan bahasa
Neurobehavioral Disorder
o Gangguan tingkah laku -> gangguan emosional.
o Anak dengan gangguan tingkah laku saat bayi sering tidak bagus
tidurnya -> sering terbangun. High-pithced cry, kejang tak terdeteksi -
> anak mengalami gangguan tingkah laku karena tak bisa
memfokuskan informasi yang diterima.
o Gangguan behavioural paling umum
Mood disorders
Anxiety disorders
Learning disabilities
ODD (Oppotional Defiant Disorders)
Depression -> aturan kebiasaan dari orang tua terlalu ketat
Conduct disorders ->
ASD (Autism Spectrum Disorders)
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorders)
Tidak semua gangguan tingkah laku itu autis -> intervensi dulu.
ASD on therapy -> gejala ASD tapi membaik setelah
intervensi.
Autism Spectrum Disorder
o Autis bukan penyakit tapi gangguan perkembangan. Jadi bukan
penderita tapi penyandang. Gangguan dalam masa perkembangan.
o <5 tahun masih bisa diintervensi, <5 tahun wajib mengusahakan agar
anak bisa berbicara, paling tidak bisa memformulasikan kata-kata. <5
tahun -> selesai masa perkembangan bicara maksimum.
o Bicara sengau biasanya karena bicaranya tidak terlatih. Gangguan
autisme mempengaruhi gangguan perkembangan otak. Harus
diintervensi -> ada fasenya.
o Gangguan perkembangan otak akibat kelainan jaras prefrontal, jaras
limbik, jaras sensorik -> berpengaruh pada jaras asosiasi. Pola perilaku
stereotipik, repetitif, restriktif, minat terbatas karena memori otak
terbatas.
o Etiologi
Genetik -> paling banyak diturunkan orang tua (bapaknya).
Lingkungan -> paparan lingkungan berupa polusi (merkuri,
masih diteliti)
o Anak dengan gangguan behavior cenderung punya fokus yang limit
karena selalu mengingat pada 1 hal (mainannya hanya satu itu saja
terus-menerus). Emosional -> intervensi dengan bicara dengan
halus/pelan agar lebih tenang. Saat anak marah/mengamuk -> menjauh
-> nanti akan mendekat. Bisa impulsif kalau pada anak. Pada dewasa
semakin lama semakin terpengaruhi lingkungan
o Faktor risiko
Anak yang lahir dari orang tua lebih tua berisiko tinggi ASD
10% ditemukan mengalami sindrom down, sindrom x rapuh,
tuberous sklerosis, kelainan genetik lain.
Pria 4-5x lebih mungkin mengalami ASD
20-40% memiliki defisit bahasa/sosial
Pasien <2 tahun -> progresnya bagus dan bisa dilepas. Kalau 5
tahun ke atas harus diintervensi sekeluarga agar berhasil.
o Vaksin tidak berasosiasi langung dengan autisme -> tidak terbukti
menyebabkan autisme -> tergantung lingkungan.
o Karakteristik anak
Perkembangan terlambat
Memiliki kelainan sensoris
Menolak dipeluk
Memiliki rasa ketertarikan pada benda yang berlebihan
Memiliki kecenderungan perilaku yang berulang-ulang
Trias -> gejala utama
Perilaku repetitif
Interaksi sosial
Gangguan komunikasi
o Mengalami keterlambatan dalam bicara
o Gangguan verbal dan non verbal
o Bicara dengan Bahasa aneh yang sulit
dimengerti
o Echolalia/membeo/meniru
o Gangguan interaksi sosial
Tidak kontak mata -> tatapan kosong
Lebih suka sendiri daripada bermain bersama -> suka
menyendiri
Tidak suka berbagi
Tidak memahami orang lain
o Gangguan komunikasi
Keterlambatan bicara
Gerakan/ritual tidak biasa
o Gangguan perilaku
Perilaku stereotipis
Perilaku diulang-ulang
Flapping -> memukul pipi
Berjalan jinjit -> tidak melampau milestone
Sangat senang pada aktifitas/benda tertentu
Paling senang dengan air
Sering mengurutkan benda -> menjajarkan benda
o Gejala lain
Tantrum
Agresif, mencelakai diri -> self-biting, menjedotkan kepala ke
pintu
Hipersensitif/hiposensitif
Hiperaktif, impulsif, inatesi
Paling banyak berhubungan dengan kejang -> 40% ada riwayat
kejang -> kelainan ke arah kelainan saraf
o Red flag
Tidak ada babbling, tidak menunjuk, atau tidak menunjukkan
mimik wajah yang wajar pada usia 12 bulan
Tidak ada kata berarti pada usia 16 bulan
Tidak ada kalimat terdiri dari 2 kata yang bukan ekolalia pada
usia 24 bulan
Hilangnya kemampuan berbahasa atau kemampuan sosial pada
usia berapapun
Ditambah -> Anak tidak menoleh atau sulit menoleh bila
dipanggil namanya pada umur 6 bulan-1 tahun
Sensorik bisa terlihat utuh di usia 3 bulan -> ibu harus sering
kontak
Usia 9 bulan -> wernicke berkembang dengan baik -> 6 bulan
berikutnya broca berkembang dengan baik -> 15 bulan
biasanya sudah berinteraksi dengan baik karena otak
berkembang baik
o Diagnosis Sering Terlambat
Terlalu lama ditunggu/ditahan orang tua sampai 1 tahun.
Harus cepat dibawa untuk diberi bantuan profesional
Asupan dari keluarga dan teman dekat yang salah juga bisa
memperlambat diagnosis
Harus dilatih dulu/diintervensi dulu sebelum anak
sekolah
Keluarga juga sering menyembunyikan anaknya.
o Penyakit Penyerta Autis
Disabilitas intelektual -> 50-60%
Kejang -> epilepsi -> 1/3 penderita ASD
Masalah pencernaan -> zat aktif tidak terserap dengan baik
Gangguan tidur, cemas, depresi
Disfungsi integrasi sensori -> hiper/hiposensitive
PICA -> memasukkan barang ke mulut
Gangguan hiperaktifitas
Sindrom Tourette
o Tatalaksana Komprehensif
Kolaborasi/multiprofesi
Dokter -> beri obat, turunkan dosis perlahan. Jarang
dilakukan,
Psikologi
Rehab medik, terapis (sensori integrasi, okupasi, wicara,
fisioterapi)
Guru
o Tujuan terapi
Sembuh/tidak tergantung intervensi
Tujuan terpenting -> memperbaiki/menghilangkan
penyakit/kondisi penyerta
Butuh deteksi dini
o Tatalaksana
Medikamentosa
Indikasi kuat -> tantrum, self injury, repetitive,
hiperaktifitas, sulit tidur, epilepsi
Non obat -> sesuai kondisi anak
Terapi wicara -> lakukan setelah anak mulai bisa fokus
Okupasi integrasi sensorik (SI-OT)
o terapi ini bila dilakukan dalam 60 menit
sebanyak 2 kali dalam satu minggu selama 12
minggu dapat meningkatkan perilaku positif,
khususnya dalam domain komunikasi (termasuk
ekspresif dan subdomain reseptif) domain
sosialisasi. Terapi ini menjadi referensi utk anak
ASD agar dapat meningkatkan komunikasi,
interaksi dan keseharian.
o Keluarga harus melakukan intervensi dengan
baik, bukan terapisnya.
o Dilatih multitasking juga. Pasien juga butuh
keseimbangan. Dilatih fokus terhadap suatu hal.
Harus enjoy -> bisa depresi -> muncul Tick.
o Harus ke dokter jika ada gejala:
Tetanus Neonatorum
Penyakit tetanus itu endemik, kalau pandemik itu menyebar ke seluruh dunia,
endemik itu lokal sifatnya. Akibat hygiene yang kurang dan perawatan luka yang
kurang baik.
Disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani, bakteri gram positif, basilus anaerob
(membentuk batang dan hidup tak butuh oksigen, kalau ada oksigen malah mati ->
titik lemah ini digunakan untuk pengobatan), kumannya membentuk spora ->
membungkus diri -> beri obat untuk menghancurkan spora, bakteri akan
mengeluarkan eksotoksin -> harus dilawan toksin yang dikeluarkan, kuman hidup di
tanah -> kalau di hewan dan manusia hidupnya di saluran pencernaan.
o Bakteri gram positif -> terkait obat-obatan, ada untuk yang gram negatif dan
positif, kalau obatnya tidak sesuai maka tidak akan mempan.
Tempat masuk kuman ke tubuh -> luka terbuka, laserasi, luka bakar, luka tusuk,
infeksi telinga tengah (otitis media akut -> bisa kena tetanus) dan pada tali pusar (tali
pusar harus didesinfeksi, kalau diberi kunyit dll -> anaerob -> kuman tumbuh)
Masa inkubasi (masuknya kuman sampai menimbulkan gejala) -> rata-rata 3-21 hari,
bisa juga 1 hari-beberapa bulan. Belum timbul gejala karena toksin belum
dikeluarkan, toksin bisa dikeluarkan jika kuman sudah membuat spora.
Patogenesis
o Kuman membentuk spora dengan lingkungan baik -> kuman menjadi vegetatif
-> mengeluarkan toksin yaitu tetanospasmin (neurotoksin) -> toksin akan
ditangkap oleh reseptor -> reseptor mengirimkan impuls ke saraf
sensoroik/motorik/autonom -> aksonal -> medula spinalis + batang otak ->
timbul gejala klinis
Gejala klinis
o Motorik
Kekakuan otot rahang/mulut (risus sardonicus),
Kena tulang belakang -> perut papan,
Kaku kuduk (kepala ditekuk dan dada dikontrol dengan digoyang ->
ada tahanan -> kaku kuduk positif),
Opistotonus -> otot tulang belakang mengeras sehingga penderita akan
melengkung dan tangan bisa dimasukkan di bawah badannya,
Sukar menelan,
Spasme glotis dan laring -> sianosis dan sesak napas,
Spasme otot pernapasan -> kegagalan bernapas -> pasien bisa
meninggal.
o Autonom
Gelisah, hiperiritabel (mudah terangsang), banyak keringat, suhu
meningkat, palpitasi (denyut jantung meningkat)
Bentuk klinis
o Berdasarkan lokasi bisa lokal dan umum
o Berdasarkan umur
<= 1 bulan -> tetanus neonatorum (kurang dari beberapa hari -> 28
hari)
> 1 bulan -> tetanus anak
Penentuan derajat tetanus neonatorum
o Umur <6 hari skor 4, 6-10 hari skor 2, >10 hari skor 1
o Kejang spontan (tidak diapa-apakan kejang sendiri) skornya 2, kejang
rangsang -> distimulasi (cubit/kejutkan) skornya 1
o Sianosis (kebiruan di tubuh) skornya 2
o Suhu >38 skornya 1
o Trismus skornya 1
Skor 2-4 derajat 1
Skor 5-7 derajat 2
Skor 8-10 derajat 3
Penentuan derajat tetanus anak
o Ada 6 indikator
o Ada salah satu saja gejalanya di gejala 3 -> sebut derajat 4
Misal, inkubasi 14 hari, onset 3-6 hari, tetapi terjadi trismus berat,
disfagi dan kejang hanya sebentar -> ada 1 saja gejala derajat tertinggi
-> masuk derajat tertinggi
Penatalaksanaan
o Netralisasi toksin -> kuman mengeluarkan toksin jadi harus dinetralisasi pakai
ATS (antitetanus serum -> dari binatang), bisa pakai tetagam -> dari manusia.
o Beri antikonvulsan -> diazepam
Pada anak -> 4-8 mg
Pada neonatus -> 8-10 mg
Guna range adalah menyesuaikan dosis, dosis diazepam 1 ampulnya
adalah 10 mg -> boleh dinaikkan sedikit (masih dalam range) agar
mudah penggunaan ampulnya
o Beri juga gabungan fenobarbital dan largactil (untuk maintenance)
Pada anak -> 6 kali fenobarbital 30 mg + largactil 2-5 mg/kgBB dibagi
6. Kalau gejala menurun -> turunkan jadi 3-4 kali -> kalau gejala
menurun bisa kurangkan lagi dosisnya (maintenance)
o Antibiotik -> perlu karena infeksi bakteri (membunuh kuman agar toksinnya
juga tidak dihasilkan terus)
Beri Ab broad spectrum -> ampisilin spectrum + dan gentamisin
spectrum -, walau penyebab gram positif masih ada kemungkinan
adanya kuman lain jadi diberi broad spectrum.
Pada anak -> PP (Penicilin prokain) 50.000 iu/kgBB -> maksimal 2
juta, biasanya dibagi 2-3
o Antiseptik
H2O2 -> mengeluarkan O2 -> terkait bakteri yang anaerob, biasanya
disemprot agar merata
Ditambah debridement luka -> lukanya dibuat terbuka sehingga tidak
terjadi tempat anaerob
o Suportif dan simptomatik
Suportif -> membantu keadaan pasien (beri vitamin)
Simptomatik -> mengatasi gejala (demam diberi antipiretik, muntah
diberi antiemesis)
Kausatif -> obati penyebab penyakit
Cegah pasien agar tidak mengalami kegagalan pernapasan
(spasme/paralisis pernapasan) -> kalau sudah terjadi beri pernapasan
buatan.
Gangguan Penghidu
Salah satu penyebab gangguan penghidu adalah trauma kepala terkait letak saraf
olfaktori
Proses penggantian dimulai dari sel basal (stratum germinativum) selama 3-6 bulan,
akibat penuaan, proses neurogenesis. Baik anosmia maupun hiposmia ada yang
bersifat reversibel dan ireversibel.
Amigdala adalah salah satu pusat penghidu. Diterima epitel -> masuk ke reseptor sel
Proses penghidung (jalur molekul bau sampai ke celah olfaktoria)
o Aliran orthonasal langsung
o Aliran retrograde nasofaring -> masuk lewat rongga mulut, di belakang hidung
ada nasofaring -> naik ke atas. Jadi kalau makan aroma masih tercium dari
retrograde ini. Makanya saat flu ada makanan yang enak dan tidak enak.
Sekali mencium bau -> terbentuk memori sistem penghidu.
Bau gas yang bocor -> berbahaya bagi sistem penghidu, karena jika tidak ada memori
maka kita tidak tahu itu bau gas bocor.
Ammonia merangsang nervus 5 -> tidak bisa mencium ammonia berarti berpura-pura
karena ammonia tidak merangsang nervus olfaktorius.
Patofisiologi gangguan pemghidu
o Gangguan konduksi -> inflamasi, hipertrofi mukosa hdiung, polip nasi, alergi -
> pembengkakan -> gangguan akses pembau.
o Gangguan sensorineural -> sel inflamasi melepaskan mediator inflamasi
meningkatkan hipersekresi pada mukosa saluran napas dan kelenjar bowman
mengganggu konsentrasi ion pada mukosa olfaktori -> ganggu proses
transduksi. Eosinofil bersifat toksik terhadap olfaktori.
Insiden
o Insidennya semakin meningkat seiring tahun
Klasifikasi ganguan penghidu
o Anosmia -> tak ada fungsi penghidu sama sekali
o Hiposmia -> penurunan fungsi penghidu -> harus banyak kadar aroma baru
tercium
o Kakosmia/pantosmia -> persepsi tanpa ada stimulus
o Parosmia -> perubahan persepsi terhadap stimulus bau, semenjak positif covid
banyak dari anosmia yang tak kunjuk sembuh berkembang menjadi parosmia.
Biasa mencium sesuatu enak tapi lama-kelamaan jadi tidak enak.
Etiologi
o Hiposmia -> obstruksi hidung (pilek, polip), penyakit sistemik (DM,
parkinson disease), obat-obatan (anti tiroid, kemoterapi, antihistamin)
o Anosmia -> infeksi, trauma (kalau tidak melewati golden period dari trauma
akan membaik gangguannya, lewat dari 4 minggu akan sulit), tumor (Ca
nasofaring, angiofibroma), degenerasi
o Parosmia -> trauma
o Kakosmia -> epilepsi, kelainan psikologik, kelainan psikiatri
o Ganggaun konduksi -> rinitis, sinusitis, polip, papiloma inverted, keganasan,
kista dermoid -> partikel aroma bau terhambat ke area olfaktorius
o Gangguan sensorineural -> kerusakan epitel olfaktorius, reseptor
penghidu/struktur saraf pusat, trauma kepala, infeksi virus, defisiensi gizi,
proses degenratif. Kalau covid bisa menetap -> olfaktorius training.
Diagnosis
o Anamnesis
Identitas pasien terkait prevalensi jenis kelamin, usia juga spesifik
Tanya lamanya, hilang timbul/terus-menerus, unilateral/bilateral,
penyakit lain, trauma, obat-obatan, kelainan sensors lain
(pengecap/penglihatan, Ca nasofaring -> perluasan gangguan ke indra
penglihatan dan pengecap.
Anamnesis 70% bisa menegakkan diagnosis
o Pemeriksaan fisik
Rinoskopi anterior
Rinoskopi posterior
o Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penghidu sederhana
Foto SPN
Laboratorium
Pemeriksaan fungsi penghidu
o UPSIT (Univerisity of Pensylvania Smell Identification Test) -> mahal
o Tes ambang butanol
o Sniffin stick test
o CC-SIT
o Pemeriksaan penghidu retronasal
o Olfactory-evoked response
Interpretasi dan Terapi
o Kerusakan nervus. Olfaktorius, tumor n. olfaktorius, lansia, trauma kepala,
tumor intrakranial, epilepsi lobus tempora
Rinosinusitis Kronis dan Gangguan Olfaktorius
o Rinosinusitis kronis berperan 25% pada kasus gangguan penghidu
o Menurunkan aliran udara nasal dan inflamasi pada neurorepitelium
o Mediator inflamasi yang dilepaskan -> limfosit, makrofag, eosinofi. Sitokin
adalah zat toksik terhadap reseptor n. olfaktorius
o Aktivitas caspase-3 pada biopsi mukosa pasien RSK -> apoptosis sel
olfaktorius
o Derajat gangguan penciuman tergantung keparahan RSK
o Sifatnya ireversibel (perbaikan temporer dan parsial)
Olfactory training menggunakan zat penghidu yang sifatnya spesifik -> lemon, kopi,
cengkeh, tembakau, teh, sitrus. Tes derajat penghidu beri bau familiar -> tembakau,
cuka, lemon, cengkeh. Untuk bayi, belum ada pemeriksaan spesifik untuk penghidu.
Anatomi otak dan sawar darah otak/meningens, otak dilindungi selaput meningen dan
ada pembuluh darah disitu. Meningen ada 3 lapis -> duramater, arachnoid dan
piamater. Arachnoid yang kaya PD, piamater menempel ke sulcus gyrus otak.
Meningen juga membentuk blood brain barrier supaya kuman tidak mudah masuk ->
kuman bisa menempel disitu -> sering meningitis (infeksi selaput meningen),
piamater dan arachnoid (leptomeningen). Ensefalitis -> kuman melewati sawar darah
otak, biasanya virus. Penyebaran bakteri dari meningen biasanya fokal -> mengenai
parenkim tapi ada supresi fokal -> cerebritis (bisa viral bisa bakteri). Infeksi diffuse
itu ensefalitis.
Meningitis bisa bakterialis, viral atau tuberkulosis. Cerebritis -> akumulasi pus ->
abses. Pengumpulan pus di meningens di subdural -> empyema subdural. Ensefalitis
ada HSV dan japanese (viral), biasanya berat tapi ada obatnya jadi penting kalau
HSV, kalau japanese ensefalitis tidak ada obat tapi ada imunisasinya (belum
diwajibkan secara luas karena bahannya dari babi -> penyebaran lewat babi).
Ensefalitis post infeksius/autoimun -> post infeksi berarti infeksi sudah lewat lalu
timbul kekebalan tubuh yang menyerang SSP (autoimun/mimicry).
Meningitis -> peradangan terutama pada meningen, penurunan kesdaran bukan gejala
utama. Gejala utamanya gejala rangsang meningeal.
Ensefalitis -> peradangan pada parenkim otak, gejala utama berupa penurunan
kesadaran.
Pada anak, gejawal awal meningitis tidak terdeteksi -> datang saat ensefalopati.
Gejala juga overlapping -> butuh analisis LCS.
Lesi di kortikal -> inflamasi kortikal luas (ensefalitis) -> penurunan kesadaran
Ada tempat di sekitar batang otak -> jaras kesadaran terkonsentrasi -> lesi kortikal
sedikit saja di pons/batang otak atau infark-> gangguan kesadaram
Meningitis/ensefalitis itu berat bisa datang sebagai kegawatdaruratan medis yang
harus di diagnosis dan ditatalaksana secepatnya -> bisa mati dan memberi gejala sisa
yang berat kalau tidak.
o Gawat darurat -> peningkatan TIK yang jika dibiarkan maka rusak otak ->
defisit dan kematian
o Kejang dan status epileptikus
o Gejala akibat infeksi berat -> syok (aliran darah ke otak turun) kedaruratan,
sepsis juga bisa menyebabkan BIC (perdarahan kemana-mana)
o Defisit neurologis -> bisa permanen
Meningitis terutama pada bayi akibat saluran napas berat -> pneumonia contohnya.
Tatalaksananya harus intensif. Harus dibawa ke ICU segera karena mortalitas tinggi.
Pasien datang kejang disertai demam -> bisa saja syok ada henti napas, jangan
konsentrasi kejang saja jadi langsung terapi suportif.
o
Lihat jalan napas, hemodinamik, hipotensi/hipertensi
Tatalaksan akejang -> konsensus IDAI
Tatalaksana TIK -> posisi, sedasi, hipotermi, cari kelainan bedah (abses harus
dioperasi)
Tatalaksana spesifik -> Ab untuk kasus meningitis bakterialis, antiviral untuk
ensefalitis.
Diagnosis dengan analisis LCS -> menentukan apakah itu infeksi SSP/bukan. Kejang
+ demam + tidak sadar + defisit neurologis -> analisis LCS -> menentukan infeksi
SSP atau bukan dan jenis apa infeksi SSPnya.
o Prosedur dengan ditusuk pada L4
o Pada sebagian besar kasus aman dilakukan, tapi ada precautionsnya sekarang
o Kalau ada anak dicurigai infeksi SSP -> kita tidak melakukan pungsi lumbal -
> kalau ada defisit neurologis -> bisa dituntut karena kita tidak berusaha
mencari penyebab dengan pungsi lumbal.
o Precautions -> kardiorespirasi tak stabil (kalau syok sudah diatasi dengan obat
vasoaktif -> adrenaline, dopamin, dll, gangguan napas dengan
intubasi/ventilator mekanik, kalau aman boleh dilakukan LCS), tanda
peningkatan TIK signifikan dan fokal (GCS <10, hemiparesis fokal,
hidrosefalus) harus CT scan otak dulu, infeksi kulit/jaringan lunak tempat
dilakukan lumbal pungsi (meski kita beri upaya pencegahan infeksi kita tidak
tahu subkutis dimana jadi merepotkan), perdarahan intrakranial, gangguan
pembekuan darah (trombosit <50.000 -> transfusi trombosit -> kalau sudah
bagus noleh di LP)
o Pasien datang dengan ubun menonjol dengan kejang dan penurunan
kesadaran, pucat dan demam, riwayat lahir di dukun -> APCD -> defisiensi
vitamin K bleeding, bisa gangguan otak dan disabilitas permanen -> di bawah
4 bulan.
o Normalnya LCS 0-5 sel/mm3 MN, PMN sangat jarang, 1 PMN pada klinis
meningitis bisa dikatakan signifikan. Leukosit 1 semua MN itu normal, hati-
hati jangan baca diff count. Nilai sel, hitung jenis, protein dan glukosa.
o Tujuannya mencari bukti mikrobiologis -> sangat spesifik -> pewarnaan gram,
BTA dan kultur.
PCR -> ketemu kuman -> perlu kultur karena ingin melihat resistensi
Ab juga. Untuk TB ada PCR GeneXpert -> resistensi rifampisin
o Lihat jumlah selnya dahulu, bakteri harusnya >500 mm3, kalau LCS sudah
ditusuk -> leukosit akan lisis jadi harus cepat diperiksa di mikroskop.
Pengambilan saat LP -> sel saat rentan, jadi harus dialirkan lewat tube dan
tidak boleh digoncang saat pengantaran ke laboratorium -> LP tidak selalu
ideal.
o
o Hitung jenisnya juga, PMN dengan jumlah sel meningkat -> meningitis
bakterialis. Protein jika ada inflamasi pasti naik (>40/50 mg/dL), glukosa jika
ada inflamasi pasti turun (<40/50 mg/dL)
Kultur jarang tumbuh karena pemakaian Ab. Kuman jika di dalam tubuh sulit diobati
-> bisa ventrikulitis, tapi jika ingin kita periksa biasanya kuman mudah mati bahkan
mati terus. Kultur jarang ketemu diagnosisnya. Akibat sudah diberi Ab sebelumnya.
Pakai PCR karena tidak dipengaruhi Ab. Kultur viral sulit karena sensitivitas rendah
jadi pakai PCR. Kalau TB pakai PCR juga karena kultur lama hasilnya.
Pencitraan/neuroimaging
o CT scan yang tersedia luas, kalau MRI itu sedikit.
o CT scan tidak spesifik -> meningitis/ensefalitis sulit dilihat. Kalau pada TB
ada penyangatan ganglia basalis
o CT scan bertujuan untuk melihat ada/tidaknya komplikasi -> kalau ada
pergeseran midline -> terapi dahulu. Kalau hidrosefalus -> VP shunt oleh tim
bedah sambil diambil LCS -> lebih bagus hasilnya.
Ensefalitis Virus -> inflamasi diffuse pada parenkim akibat virus
o Gejala utamanya -> trias -> penurunan kesadaran, demam dan kejang
o Virus terpenting adalah HSV -> berat kalau menginfeksi tapi ada obatnya.
o Saat ini untuk diagnosis ensefalits diperluas jadi kriteria ensefalitis consortium
Gangguan kesaran 24 jam atau lebih (mayor)
Demam, kejang, defisit neurologis, hasil LCS tak normal, di pencitraan
dan EEG ada kelainan (minor)
Tidak memenuhi meningitis (sel tidak ribuan, tidak dominan PMN)
o Penyebab terbanyak -> HSV, VZV dan enterovirus
o Diagnosis cepat harus pakai PCR HSV dari LCS
o Kasus dengan tanda dan gejala tertentu beri asiklovir (untuk HSV)
o Manifestasi klinis -> gejala prodormal demam, diare (tergantung penyebab),
defisit neurologis, peningkatan TIK.
o Tanda dan gejala bervariasi sesuai kemungkinan virus penyebab.
Herpes simpleks -> ada perubahan perilaku dan kejang fokal. Bisa beri
asiklovir kalau tidak ada perbaikan (dan hasil pemeriksaan lainnya)
o Pemeriksaan LCS -> jumlah sel 5-100 sel/mm3, dominan limfosit, glukosa
normal dan protein meningkat
Sulit dikultur jadi mengandalkan PCR. PCR itu polymer 1 virus jadi
butuh banyak kalau ingin DD dengan bakteri lain. PCR multiplex ->
14 mikroorganisme (bakteri virus campur).
o PCR itu sensitivitas dan spesifitifat >95%, IgM sensitif pada 10 hari pertama -
> tapi tidak ada biasanya -> bergantung pada gejala
o MRI -> ada penyengatan di lobus temporal, kalau EEG ada gambaran PLED
(periodic lateralized epileptic discharges -> gangguan kejang setengah tapi
hilang-timbul). Sulit dilakukan terkait kondisi pasien yang sudah berat.
o Tatalaksana -> sama dengan peningkata TIK -> beri obat antiedema obat
(manitol -> edema sitotoksik, atau NaCl hipertonik), oksigenasi, asiklovir
untuk obatnya.
Meningitis Bakterialis
o Peradangan leptomeningen (piamater dan arachnoid) karena infeksi di ruang
subarachnoid
o Bisa menyebabkan kematian dan kecacatan berat, angka kematian semakin
tinggi, sebagian besar kasus dapat dicegah dengan vaksinasi -> vaksin
hemofilus influenza tipe B/HEB (penyebab terbanyak meningitis bakterialis) -
> berdampak pada penurunan kasus. Pneumococcus (streptococcus meningeal)
juga akan masuk PPI, kalau vaksin meningitis neisseria belum boleh untuk
anak-anak.
o Patogenesis
Perhatikan pasien dengan gejala infeksi berat apakah ada infeksi SSP
juga
Hematogen -> pada bayi kecil, ada infeksi di tempat lain lalu
ada infeksis sistemik, biasanya pneumonia dan sepsis. Pasien
dengan gangguan kesadaran dan kejang -> LP. Lihat ubun-
ubun menonjol/tidak, GRM dan kesadaran dilihta.
Perkontinuitatum -> pada anak lebih besar, THT biasanya
(infeksi langsung) -> sinus, mastoiditis, sinus cavernosus,
OMSK, OMA -> abses otak kebanyakan
Implantasi langsung -> trauma kepala terbuka, implantasi
koklea -> kebanyakan VP shunt
Neonatus -> infeksi transplasental, infeksi amnion ->
bakterimia ->30% menjadi meningitis.
Meningitis bisa merusak otak.
Akibat inflamasi meningen -> penekanan mekanis -> edema
otak -> TIK akibat inflamasi meningen -> aliran darah otak
menurun -> edema sitotoksik -> oksigen berkurang. Bisa juga
menyerang otak menjadi cerebritis.
o Manifestasi klinis
Neonatus-3 bulan gejala tidak khas, sulit dibedakan dengan infeksi
berat lainnya
Demam, letargi, malas minum, muntah, hipotermia, kesadaran
menurun, UUB menonjol, apneu, kejang. Infeksi disertai kejang ->
lihat apakah ada infeksi SSP.
Usia 2 tahun juga masih tidak khas -> pikirkan setiap kondisi
menyerupai kejang demam kompleks.
Anak besar -> sakit kepala, tanda rangsang meningeal jelas.
Di bawah usia sekolah -> infeksi SSP bisa 40x lipat
o Gejala rangsang meningeal
Kaku kuduk -> kalau leher ditekuk ada tahanan
Burdzinski 1 -> kalau leher ditekuk ada fleksi ekstremitas bawah
Brudzinski 2 -> kaki di fleksi dan kontralateral ikut fleksi
Kernig -> fleksi panggul dan lutut, pelan-pelan diekstensikan, sebelum
135 derajat ada nyeri/tahanan -> tanda positif
o Penyebab dan tatalaksana meningitis bakterialis