Anda di halaman 1dari 14

MODUL

PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI 1
Semester VI / 1 SKS

Pengampu:
apt. Ambar Yunita Nugraheni, M.Sc
apt. Tri Yulianti, M.Si
apt. Hidayah Karuniawati, M.Sc
apt. Tista Ayu Fortuna, M.Clin Pharm
apt. Lilla Prapdhani A.H, M.Clin Pharm
apt. Siti Nurjanah, S.Farm

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2022
Pharmacotherapy I
Farmakoterapi Gangguan Sistem Endokrin dan Reumatologi

PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI I

MODUL 5
FARMAKOTERAPI GANGGUAN SISTEM
PENCERNAAN DAN GINJAL

Semester VI / 1 SKS

Pharmacotherapy I
Farmakoterapi Gangguan Sistem Pernafasan

MODUL V
FARMAKOTERAPI GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN (DIARE,
GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD), PEPTIC ULCER
DISEASE (PUD) DAN GINJAL)

A. TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa mampu melakukan seleksi terapi obat rasional berdasarkan
kondisi pasien pada penyakit diare, GERD, Peptic Ulcer Disease (PUD), serta
monitoring terapi dan konselingnya sesuai perkembangan bidang kesehatan dan
kefarmasian terkini.

B. PENDAHULUAN
Infeksi gastrointestinal merupakan sindrom yang luas dari gastroenteritis
hingga infeksi yang bisa mengakibatkan terjadinya kematian. Beberapa macam
infeksi yang terjadi pada gastrointestinal (sistem pencernaan), antara lain : diare,
GERD dan Peptic Ulcer Disease (PUD).
1. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
Gastroesophageal reflux disease terjadi pada semua orang dengan segala
usia, tetapi pada umumnya terjadi pada orang dengan usia lebih dari 40 tahun.
Walaupun mortalitas yang berkaitan dengan GERD jarang, tetapi gejala GERD
mempengaruhi kualitas hidup pasien secara signifikan. Faktor terjadinya GERD
disebabkan karena ketidaknormalan reflux isi lambung menuju esophagus. Pada
beberapa kasus, GERD disebabkan karena gangguan pada lower esophageal
sphincter (LES).
Terapi farmakologi terdiri dari patient-directed therapy dengan obat-obat
non resep seperti antacid, H2 bloker, atau proton pump inhibitor dan prescription-
strength acid suppression therapy atau promotility medication.

2. Peptic Ulcer Diseases (PUD)


Penyakit ulkus peptikus merupakan pembentukan ulkus pada saluran
pencernaan bagian atas yang diakibatkan oleh pembentukan asam dan pepsin. Tiga
bentuk umum dari tukak adalah ulcer yang disebabkan oleh Helicobacter pylori,
obat anti inflamasi non steroid (NSAID) dan kerusakan mukosa yang berhubungan
dengan stress (stress ulcer).
Pemeriksaan fisik menunjukkan rasa sakit epigastrik meliputi daerah dari
bawah tulang dada hingga daerah sekitar pusar, jarang melebar ke bagian belakang
tubuh. Untuk menegakkan diagnosis dari H. pylori dapat digunakan tes invasif dan
non invasif. Tes invasif dengan melakukan endoskopi dan biopsi mukosa atas
lambung untuk histology, kultur bakteri dan mendeteksi aktivitas
Pharmacotherapy I
Farmakoterapi Gangguan Sistem Pernafasan

urease. Tes non invasif meliputi uji pernafasan urea dan tes deteksi antibodi. Uji
pernafasan urea, berdasarkan produksi urease oleh H. pylori. Deteksi antibodi
berguna untuk mendeteksi IgG yang mengatasi H. pylori, tetapi test tidak biasa
dilakukan untuk mengetahui teratasi H. pylori, karena titer antibodi memerlukan
waktu 0,5 – 1 tahun untuk kembali ke kisaran tidak terinfeksi. Untuk diagnosis
ulkus tergantung visualisasi dari lubang tukak melalui radiografi saluran cerna atas.
Jika penyakit tukak ditemukan pada radiografi, maka keganasan harus dipastikan
dengan visualisasi endoskopik langsung dan histologi.
Sasaran terapi adalah menghilangkan nyeri tukak, mengobati ulkus,
mencegah kekambuhan dan mengurangi komplikasi yang berkaitan dengan tukak.
Pada penderita dengan H. pylori positif , tujuan terapi adalah mengatasi mikroba
dan menyembuhkan penyakit dengan obat yang efektif secara ekonomi. Pengobatan
pada pasien dengan H. pylori positif harus diawali dengan regimen 3 obat-PPI. Obat
ini lebih efektif, memiliki toleransi yang lebih baik, lebih simple dan akan membuat
pasien lebih patuh dalam menjalani pengobatan. 14 hari lebih dipilih daripada 10
hari karena durasi yang lama menyebabkan pengobatan berhasil. Pengobatan 7 hari
secara teratur tidak dianjurkan.

3. Gagal Ginjal Akut


Gagal ginjal mengindikasikan adanya kemunduran fungsi ginjal. Secara
umum gagal ginjal tersebut dibagi dua yaitu gagal ginjal akut dan kronis. Gagal
ginjal akut (GGA/ARF (acute renal failure)) merupakan sindrom klinis akibat
gangguan metabolik atau patologik yang ditandai dengan penurunan fungsi yang
nyata dari fungsi ginjal secara akut serta diikuti terjadinya azotemia. Penyebab
gagal ginjal akut tersebut antara lain infeksi, obat-obatan (drug induces renal
disease), komplikasi kehamilan, pembedahan, trauma, dehidrasi dll. PenyebabGGA
dapat diklasifikasikan sbb : Pra renal, Renal dan Post Renal.
Kelainan akibat dari pra renal biasanya menyebabkan gagal ginjal intrinsik
dan jika ditangani segera bisa sembuh kembali. Pada kelainan renal kerusakan
parenkim ginjal biasanya cukup berat. Penanganan gagal ginjal biasanya ditujukan
untuk meningkatkan aliran darah ginjal, meningkatkan urin, menjagakeseimbangan
cairan dan elektrolit, menghilangkan sampah metabolik dan memperlambat
progresivitas kelianan ginjal tersebut.
Diagnosis awal dari drug induces kidney disease adalah terdeteksinya
kenaikan serum kreatinin dan BUN (blood urea nitrogen) ketika menggunakan
obat-obat yang berpotensial nefrotoksik. Kondisi ini dapat dicegah dengan
menghindari penggunaan obat-obat yang bersifat nefrotoksik. Jika tidak bisa
dihindari penggunaannya, kenali factor rsiko yang menjadi penginduksi dari

Pharmacotherapy I
Farmakoterapi Gangguan Sistem Pernafasan

penggunaan obat-obat ini dan teknik-teknik khusus yang digunakan untuk


mereduksi potensial nefrotoksisitas. Manifestasi yang sering terjadi dari drug
induces kidney disease adalah acute tubular nekrosis. Penatalaksanaan dari
pengobatan kondisi ini tergantung dari obat yang menyebabkan kondisi ini
misalnya aminoglycosides, radiocontrast media, cisplatin dan amphotericin B.

4. Gagal Ginjal Kronis


Gagal ginjal kronis (GGK/CRF(cronic renal failure)) terjadi karena
berbagai penyakit yang merusak nefron ginjal. Biasanya karena penyakit pada
parenkim ginjal atau bisa juga karena obstruksi saluran ginjal. Pada gagal ginjal
kronis terjadi peningkatan kadar kreatinin serum dan BUN (blood urea nitrogen).
Gejala GGK tersebut bisa berupa sesak nafas, lemah, lesu akibat anemia, produksi
urin berkurang dll. Tahap dari kerusakan ginjal secara kronis meliputi:
a. Penurunan cadangan ginjal. Kreatinin dan BUN masih normal dan kadang
tanpa gejala yang menonjol.
b. Insufisiensi ginjal: 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. BUN dan
kreatinin mulai meningkat di atas normal. Muncul gejala nokturia dan poliuria.
c. Gagal ginjal terminal (dengan uremia). Sekitar 90% nefron telah rusak. GFR
hanya 10% dari normal, kreatinin klirens 5-10ml/menit. BUN dan kreatinin
meningkat tajam, produk urin sangat berkurang.
Kriteria dari penyakit ginjal kronik adalah sebagai berikut :
Kerusakan ginjal selama ≥ 3 bulan yang ditandai dengan abnormalitas fungsional
dan struktural ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR, manifestasinya antaralain
adalah:
a. Abnormalitas patologi, atau
b. Tanda-tanda kerusakan ginjal, termasuk abnormalitas dalam komposisi darah
atau urin atau abnormalitas dalam test penggambaran ginjal
c. GFR < 60 ml/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan
ginjal.
Tanda-tanda kerusakan ginjal termasuk proteinuria, abnormalitas pada
sedimen urin, abnormalitas pada komposisi darah atau urin atau abnormalitas pada
penggambaran ginjal yang biasanya dilakukan dengan ultrasound (Anonim, 2004).

Pharmacotherapy I
Farmakoterapi Gangguan Sistem Pernafasan

Tabel 1. Stadium penyakit ginjal kronik


Stadium Deskripsi GFR (mL/menit/1,73m2
Luas Permukaan Tubuh)
1 Kerusakan ginjal dengan ≥ 90*
normal atau ↑GFR
2 Kerusakan ginjal dengan 60-89
sedikit ↓ GFR
3 Moderat ↓ GFR 30-59
4 Severe ↓ GFR 15-29
5 Gagal ginjal < 15 (termasuk pasien
dengan dialisis)

Pengobatan GGK meliputi: tindakan konservatif untuk memperlambat


progresivitas penyakit dan jika tindakan tersebut tidak lagi efektif maka harus
dilakukan dialisis intermiten atau transplantasi ginjal.

Dialisis
Pada pasien dengan gagal ginjal kronik jika fungsi faal ginjal sudah sangat
minimal sehingga usaha konservatif seperti diet, pembatasan asupan minum, obat-
obatan dan pertolongan lain sudah tidak bisa tertolong lagi maka diberikan terapi
lain untuk menggantikan fungsi ginjal. Terapi pengganti fungsi ginjal yang dapat
digunakan adalah dialisis dan transplantasi ginjal.
Dialisis pada pasien terbagi menjadi dua yaitu peritonial dialisis dan
hemodialisis. Pada hemodialisis dilakukan dengan cara mengalirkan darah kedalam
suatu ginjar buatan (dialiser). Darah pasien dialirkan ke kompartemen darah yang
dibatasi oleh selaput semipermiabel buatan.
Indikasi dilakukannya dialisis pada kondisi End stage renal disease (ESRD)
jika laju filtrasi glumerolus kurang dari 30 ml/menit. Menurut The National Kidney
Foundation’s Kidney Disease Outcomes Qualitative Initiative (NKF-K/DOQI)
pasien non diabetes bisa memulai dialisis jika klirens kreatininnya diantara 9 – 14
ml/menit. Sedangkan untuk pasien yang diabetes bisa lebih tinggi nilainya untuk
memulai dialisis.
Komplikasi hemodialisis yang sering terjadi adalah hipotensi, kram otot,
mual muntah, dan trombosis sehingga perlu penanganan lebih lanjut dengan terapi
nonfarmakologi dan farmakologi. Sedangkan pada peritonial dialisis yang sering
terjadi adalah komplikasi peritonitis.

Penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan ginjal


Pharmacotherapy I
Farmakoterapi Gangguan Sistem Pernafasan

Mengetahui jumlah obat yang meningkat dalam tubuh pada pasien dengan
gangguan ginjal adalah hal yang penting untuk dapat menyusun terapi yang spesifik
untuk pasien dengan gangguan ginjal ini. Kebanyakan pasien dalam kondisi ini
diterapi dengan obat-obatan yang banyak sehingga diperlukan penyesuaian dosis
karena eliminasi utama tubuh adalah di ginjal. Tanpa penyesuaian dosis dan
monitoring terapi yang dilakukan secara hati-hati pada pasien kondisi ini dapat
menyebabkan berkembangnya adverse drug event.
Gangguan ginjal dapat menyebabkan perubahan farmakokinetik begitu juga
dengan farmakodinamik obat. Sebagai contoh, jika pasien uremia akan terjadi
perubahan pada absorpsi obat, ikatan protein, distribusi atau eliminasi yang tidak
bisa diprediksikan.. Perubahan fisiologik ini nantinya akan mempengaruhi
konsentrasi obat di dalam plasma dan aktivitas pada reseptor di jaringan dan
akhirnya akan mempengaruhi efikasi obat dan toksisitasnya.
Eliminasi obat dari ginjal biasanya dengan cara filtrasi atau sekresi aktif.
Obat-obat dengan berat molekul yang rendah biasanya lebih mudah di filtrasi
dibandingkan dengan obat yang memiliki berat molekul yang tinggi. Proses filtrasi
ini dipengaruhi oleh kemampuan glumerolus dalam melakukan filtrasi. Maka,
kemampuan ginjal dalam memfiltrasi obat pada pasien dengan gangguan ginjal
dapat diukur dengan menilai hasil creatinine atau klirens kreatinin.
Untuk menghitung klirens kreatinin dapat digunakan rumus Cockroft
Gault, yaitu :
Clcr ( ml/menit) = (140-umur) x BB(kg) xF
72 x serum kreatinin (mg/dl)

Pada wanita:
Clcr ( ml/menit) = (140-umur) x BB(kg) xF
72 x serum kreatinin (mg/dl)

Keterangan:
BB = berat badan
F = faktor perkalian yang besarnya untuk laki-laki = 1; untuk wanita = 0,85
Clcr = Clearence creatine

Dalam menentukan dosis pada pasien dengan penyakit ginjal dapat


digunakan dengan rumus tertentu. Tetapi untuk memudahkan dalam perhitungan
dosis bisa digunakan dengan cara merubah frekuensi atau merubah dosis.
a. Merubah frekuensi
Digunakan obat dengan dosis yang sama, tetapi intervalnya diperpanjang.
Keuntungan : Kadar obat di dalam darah akan sama.
Pharmacotherapy I
Farmakoterapi Gangguan Sistem Pernafasan

Kerugiannya : Jika digunakan dalam jangka waktu > 24 jam obat bisa
menjadi subterapeutik.
b. Merubah dosis
Dosis obat diturunkan, interval obat sama.
Keuntungan : Interval dosis akan sama
Kerugian : Konsentrasi obat puncak akan turun, bisa menyebabkan sub
teraputik. Jika konsentrasi minimum turun dapat menyebabkan ketoksikan.

5. Diare
Diare merupakan buang air besar dengan feses yang tidak berbentuk (unformed
stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Diare dapat
disebabkan oleh infeksi, malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensidan
lainnya. Diare dibagi menjadi 2, diare akut dan diare kronik. Diare akut adalah
diare yang berlangsung kurang dari 14 hari, sementara diare persisten atau diare
kronis adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.
Dehidrasi pada diare dibagi menjadi 3, diare tanpa dehidrasi, diare dehidrasi
ringan/sedang, diare dehidrasi berat.

Penatalaksanaan diare secara farmakologi dapat menggunaan obat antidiare seperti


antimotilitas (Loperamide,difenoksin, codein fosfat, Morfin), Adsorben (Kaolin-
pectin, Attapulgit, Carbo Adsorben), Antisekresi (Bismuth subsalisilat).

Pharmacotherapy I
Farmakoterapi Gangguan Sistem Pernafasan

KASUS KELOMPOK 1. Peptic Ulcer Diseases (PUD)


Ny. TU seorang penjahit 58 tahun (150 cm, 50 kg) dibawa ke rumah sakit oleh
keluarganya karena mengeluhkan sakit perut sejak 3 hari yang lalu. Sakit perut yang
dirasakan seperti terasa terbakar dan kembung sehingga pasien sering bersendawa,
rasa sakit juga semakin parah setiap selesai makan. Pasien sering terbangun
dimalam hari sekitar jam 12-3 malam karena tidak kuat menahan sakit. Sejak
sebelum dibawa ke rumah sakit, pasien muntah sebanyak 3x dan sempat buang air
besar dengan tinja berwarna kehitaman. Pasien sempat meminum antasida yang
dibelikan anaknya karena disangka mengalami maag akibat terlambat makan.
Keluarga Ny TU menyatakan bahwa seminggu yang lalu suami Ny TU juga
mengalami gejala serupa, kemudian dokter menyarankan untuk dilakukan
endoskopi.

Riwayat penyakit dahulu : tidak ada


Riwayat alergi: Ampisilin

Pemeriksaan fisik :
TD : 100/70 mmHg
HR : 95 x/menit
RR : 18 x/menit
Suhu : 37.9°C.

Pemeriksaan laboratorium :
Hb 10.2 g/dL
Hct 27.2%
WBC 9.4 × 103/mm3
Pemeriksaan penunjang:
Hasil endoskopi terlihat adanya ulcer
Tes terhadap H. Pylori : positif
Urea breath test : positif

Diagnosa : PUD

Terapi pasien :
Omeprazole 20 mg 2x sehari,
Klaritromisin 500 mg 1x sehari
Amoxicillin 1 g 2x sehari
Domperidon 10mg 3x sehari

TUGAS MAHASISWA :
1. Lakukan assesmen terhadap terapi obat yang diterima oleh pasien dengan
menggunakan metode SOAP!

Pharmacotherapy I
Farmakoterapi Gangguan Sistem Pernafasan

KASUS KELOMPOK 2. DIARE


An. AK (2 tahun, 10 kg, 75 cm) dibawa ke RS dengan keluhan BAB terus menerus.
5 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami buang air besar cair >3 kali
sehari. Feses cair disertai lendir, feses berbau busuk dan berwarna kuning. Setiap
buang air besar banyaknya sekitar setengah gelas. Selain itu, orang tua pasien
mengeluhkan bahwa anaknya lemas, rewel dan matanya cenderung cekung. Selama
diare pasien sulit minum dan makan. 1 bulan yang lalu kakak pasien mengalami
BAB cair dan sembuh setelah pergi ke bidan. Orang tua pasien mengatakan tinggal
di pondok pesantren yang dihuni 300 santri. Makanan didapatkan dari dapur
pesantren yang dimasak bersama-sama dan minuman berasal dari galon isi ulang.
Riwayat penyakit terdahulu : 1,5 bulan yang lalu pasien BAB cair selama 1 bulan,
dirawat di RSUD 1 minggu dan dirujuk ke ICU RSAM, dirawat selama 1 minggu
karena dehidrasi berat.
Pemeriksaan tanda vital (7 Juni 2022) :
RR : 25 kali/ menit
HR : 112 kali/ menit
T: 36,8 C
0

Pemeriksaan Laboratorium :
Albumin 4,5 gr/dL
Natrium 141 mmol/L
Kalium 4,6 mmol/L
Kalsium 6,8 mg/dL
Klorida 110 mmol/L

Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan feses makroskopis : Didapatkan warna abu-abu, konsistensi cair, bau
khas, lendir (+), darah (-)
Hasil kultur feses : Ditemukan bakteri batang gram negatif (Enterobacter sp)

Diagnosis : Diare Persisten dengan dehidrasi ringan

Terapi yang diberikan :


Inf Kaen 3B
Injeksi Amikasin 100 mg/24 jam
Oralit 50-100 ml/BAB
Probiotik 1 sachet/8 jam

TUGAS MAHASISWA :
1. Lakukan assesmen terhadap terapi obat yang diterima oleh pasien dengan
menggunakan metode SOAP!

Pharmacotherapy I
Farmakoterapi Gangguan Sistem Pernafasan

KASUS KELOMPOK 3. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)


Ny. AT (66 tahun, 55 kg, 155cm) datang ke poli penyakit dalam Rumah Sakit
karena sejak 2 minggu yang lalu merasakan tidak nyaman pada perut. Keluhan
tersebut terjadi sekitar 2-3 kali per minggu.Keluhan yang biasanya dirasakan Ny.
AT yaitu nyeri epigastrik seperti rasa terbakar di dada bagian tengah (ulu hati),
mual, perut terasa panas dan merasakan cairan berasa asam yang berasal dari
saluran cerna saat bersendawa. Gejala tersebut memburuk ketika setelah makan.
Sebelumnya Ny. AT telah mengatasi keluhan tersebut menggunakan Polysilane®
syrup 3x sehari 5 mL, namun keluhan tersebut masih sering kambuh. Ny. AT
diketahui suka makan makanan pedas dan sering minum kopi pada pagi hari. Pasien
akhir-akhir ini juga rutin mengkonsumsi multivitamin Caviplex® 1x sehari 1 tablet.

Pemeriksaan fisik:
TD : 120/80 mmHg
HR : 85x/menit
RR : 22x/menit
T : 37 Co

Hasil Pemeriksaan: Esofagitis

Diagnosis: GERD

Terapi yang diberikan oleh dokter:


Famotidin 20mg 2x sehari
Antasida 3x sehari 1 tablet
Vometa 10 mg, 3 kali sehari

TUGAS MAHASISWA :
1. Lakukan assesmen terhadap terapi obat yang diterima oleh pasien dengan
menggunakan metode SOAP!

Pharmacotherapy I
Farmakoterapi Gangguan Sistem Pernafasan

KASUS KEL 4. AKI


Tn. D (66 tahun) dengan berat badan 48 kg dan tinggi badan 158 cm dibawa IGD
rumah sakit karena merasakan sesak nafas sejak dua hari yang lalu. Saat diperiksa,
pasien juga mengeluhkan kakinya bengkak dan BAKnya semakin sedikit mulai 1
minggu terakhir. Pasien diketahui satu bulan yang lalu mengalami kekambuhan
Tuberkulosis paru dan mulai rutin mengkonsumsi antituberkulosis (OAT) kategori
2. Regimen OAT yang digunakan adalah ProTB 4, 3 tablet/ hari dan injeksi
streptomisin 750 mg/hari. Pasien tidak memiliki riwayat alergi. Karena kondisi
pasien yang lemah, terdapat nyeri pada pinggang, muntah sebanyak 3 kali, dan oleh
keluarganya dikatakan nafsu makannya menurun, Tim IGD segera melakukan
pertolongan pertama berupa O NRM 6 liter per menit, Infus natrium bikarbonat 25
2

mEq dalam 500 cc Nacl 0,9% dihabiskan dalam 6 jam dan menggunakan D40 50
cc ditambah 10 IU insulin. Urin output 100 cc/24 jam. Saat ini kondisi umum masih
lemah.

Pemeriksaan fisik (28/5/2022) :


TD : 110/70 mmHg
HR : 90x/menit
RR : 38 x /menit, cepat dan dalam
Suhu : 37,5 C
o

Keadaan umum lemah, compos mentis.


Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik. Jantung dan Paru dalam batas normal.
Pada pemeriksaan abdomen : dalam batas normal. Ekstremitas terdapat edema.

Hasil pemeriksaan laboratorium


Laboratorium Rutin / Tanggal 28/5
HB 13, 7 mg/dL
HCT 46%
Trombosit 105000
Leukosit 9500/uL
Creatinin 5,62 mg/dL
Ureum 109,45
Natrium 140 mEq/L
Cl 100 mEq/L
Kalium 6,0 mEq/L
GDP 98 mg/dL

Pharmacotherapy I
Farmakoterapi Gangguan Sistem Pernafasan

Pemeriksaan urin lengkap


BJ > 1,030
Proteinuria : ++
Leukosit : (-)
Eritrosit : (-)
Osmolaritas urin : 300 mmol/kg
Sodium urin : 44 mEq/L
FENa :3
Sedimentasi urin : pigmented muddy brown granular cast, cast mengandung epitel
tubulus

Analisis Gas Darah :


pH: 7,32
HCO3: 20 mmol/l
pCO2: 32 mmHg
SO2: 92
BE: -8

Diagnosis: Acute Kidney Injury (AKI).

Tugas Mahasiswa :
1. Lakukan evaluasi drug related problem (DRP) kasus diatas dengan metode
SOAP!

Pharmacotherapy I
Farmakoterapi Gangguan Sistem Pernafasan

Pharmacotherapy I

Anda mungkin juga menyukai