Anda di halaman 1dari 95

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA


ANAK BALITA USIA 1-5 TAHUN DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS TANJUNG KOTA
SUNGAI PENUH TAHUN 2022

SKRIPSI

ELFINA YUNARA

NIM. 201000414201087

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN PRIMA NUSANTARA BUKITTINGGI
TAHUN 2022
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA
ANAK BALITA USIA 1-5 TAHUN DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS TANJUNG KOTA
SUNGAI PENUH TAHUN 2022

SKRIPSI

Diajukan Ke Program Studi Profesi Ners Fakultas Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat
Institut Kesehatan Prima Nusantara Bukittinggi Sebagai Pemenuhan Syarat Untuk Mendapatkan
Gelar Sarjana Kepewatan

Oleh :

ELFINA YUNARA

NIM. 201000414201087

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN PRIMA NUSANTARA BUKITTINGGI
TAHUN 2022

i
PERNYATAAN PERSETUJUAN

Judul skripsi : Faktor –Faaktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) Pada Anak Balita Usia
1-5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota
Sungai Penuh Tahun 2022

Nama : ELFINA YUNARA


NIM : 201000414201087

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji sebagai

bahan persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan

pada Program Studi Sarjana Keperawatan Fakultas Keperawatan Institut

Kesehatan Prima Nusantara Bukittinggi.

Bukit Tinggi, 2022

Menyetujui,
Koordinator Skripsi, Pembimbing

(Ns.Dwi Apriadi,M.Kep) (Yuhendri Putra, M. Biomed)

Mengetahui,
Ketua Prodi Sarjana Keperawatan

(Ns.Vera Kurnia,M.Kep)

ii
Program Studi Sarjana Keperawatan Fakultas Keperawatan dan Kesmas
Institut Kesehatan Prima Nusantara

Skripsi Oktober 2022

ELFINA YUNARA

Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan


Akut (ISPA) Pada Anak Balita Usia 1 -5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas
Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun 2022

ix + 64 Halaman, 9 Tabel, 1 Gambar, 13 Lampiran

ABSTRAK
Ispa pada anak balita saat ini sangat banyak sekalai terjadi dimana ISPA pada anak balita
selalu berkembang dimana banyak diantara mereka yang memiliki stats gizi yang kurang
dan juga adanya keluarga yang banyak terpapar dengan asap rokok serta status imunisasi
yang saat ini banyak yang kurang lengkap. Tujuan Penelitian ini adalah melihat Faktor-
Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA Pada Anak Balita Usia 1 -5 Tahun Di
Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun 2022. Jenis penelitian ini
deskriptif korelasi dengan pendekatan croscektional pengambilan data independen dan
data dependen secara bersamaan atau kebetulan.dengan jumlah responden 49
balita.Analisa univariat untuk melihat gambaran masing-masing variable dan analisis
bivariat dilakukan dengan uji chi-square. Terdapat hubungan antara status gizi dengan
kejadian ispa di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh, tahun 2022
dengan p value 0.046< 0.05.Terdapat hubungan antara riwayat imunisasi dasar dan
frekuensi ISPA pada balita yang datang ke Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh. tahun
2022 dengan p value 0.031< 0.05. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan
ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh. Diharapkan
pada Balita agar dapat orang tuannya meliahat gejala gejala ISPA sehingga dapat
ditangani dan orang tua dihindari merokok serta perlunya imunisasi yang lengkap dan
juga status gizi yang baik.

Kata Kunci : Satatus Gizi, Paparan Rokok, Imunisasi ,ISPA


Bahan bacaan : 18 ( 2000 - 2012 )

iii
Nursing Undergraduate Study Program, Faculty of Nursing and Public Health
Nusantara Prima Health Institute

Thesis October 2022

ELFINA YUNARA

Factors Associated with the Incidence of Acute Respiratory Infections (ARI) in


Toddlers Age 1 -5 Years in the Working Area of Tanjung City Health Center,
Sungai Penuh in 2022

ix + 64 Pages, 9 Tables, 1 Figure, 13 Appendices

ABSTRACT
Acute respiratory infections in children under five is currently very common, where ARI
in children under five is always growing, where many of them have poor nutritional
status and there are also families who are exposed to cigarette smoke and immunization
status which is currently incomplete. The purpose of this study was to look at the factors
related to the incidence of ARI in children under five years old in the working area of the
Tanjung City Health Center in Sungai Penuh in 2022. This type of research is descriptive
correlation with a cross-sectional approach of taking independent data and dependent data
simultaneously or coincidentally. With a total of 49 respondents under five. Univariate
analysis to see the description of each variable and bivariate analysis was carried out with
the chi-square test. There is a relationship between nutritional status and the incidence of
ARI in the working area of the Tanjung City Health Center, Sungai Penuh, in 2022 with a
p value of 0.046 < 0.05. There is a relationship between the history of basic immunization
and the frequency of ARI in children under five who come to the Tanjung City Health
Center, Sungai Penuh. year 2022 with p value 0.031< 0.05. There is a relationship
between smoking habit and ARI in children under five in the Tanjung City Health Center,
Sungai Penuh. It is hoped that toddlers can see the symptoms of ARI symptoms so that
they can be treated and parents are avoided from smoking and the need for complete
immunization and good nutritional status.

Keywords: Nutritional Status. Exposure to ARI, Immunization, Cigarettes


Reading materials: 18 ( 2000 - 2012 )

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-

Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi penelitian yang berjudul “Faktor-

Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut

(ISPA) Pada Anak Balita Usia 1 -5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung

Kota Sungai Penuh Tahun 2022” yang dibuat sebagai salah satu syarat pemenuhan

untuk mendapat gelar Sarjana Keperawatan pada Program Studi Ilmu Keperawatan

Institut Kesehatan Prima Nusantara Bukittinggi. Dalam penyusunan skripsi penelitian ini

peneliti banyak mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak terutama kepada

Ibu Ns.Vera Kurnia,M.Kep selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan

pengarahan kepada peneliti dalam pembuatan skripsi ini. Selanjutnya perkenankanlah

peneliti menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat :

1. Ibu Dr.Hj. Evi Susanti,S.ST, M.Biomed selaku Rektor IKes Prima Nusantara

Bukittinggi.

2. Ibu Ayu Nurdian, S.ST, M.Keb selaku Wakil Rektor I IKes Prima Nusantara

Bukittinggi.

3. Bapak Yuhendri Putra,S.Si, M.Biomed selaku Wakil Rektor II IKes Prima

Nusantara Bukittinggi.

4. Ibu Ayu Nurdian,M.Kep dan Bapak Asrul Fahmi,SKM,M.Kep selaku tim penguji.

5. Bapak/ Ibu Staf dan Dosen pengajar yang telah banyak memberikan ilmu kepada

peneliti selama perkuliahan.

6. Keluarga Besar IKes Prima Nusantara Bukittinggi.

7. Ayah dan Ibu yang telah memberikan semangat dan dorongan baik moril maupun

materil serta do’a yang telah mengiringi langkah peneliti hingga saat ini.

v
8. Seluruh teman-teman yang telah membantu, memberikan informasi, masukan dan

saran hingga saat ini.

Selaku hamba Allah, Peneliti sadar bahwa terdapat keterbatasan yang dimiliki,

sehingga menjadikan Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti

menerima kritikan dan saran yang dapat menyempurnakan skripsi penelitian ini.

Bukittinggi, September 2022

Elfina Yunara

iv
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

LEMBARAN PERSETUJUAN ............................................................................. ii

KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ v

DAFTAR TABEL .................................................................................................... vii


DAFTAR BAGAN ................................................................................................... viii

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1


A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 9


A. Balita ........................................................................................................... 9
B. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita ................................ 10
C. Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita ............... 10
D. Etiologi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita ................... 10
E. Jenis-Jenis Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita ............... 11
F. Tanda dan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita .... 12
G. Patofisiologi ISPA pada Balita .................................................................... 14
H. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyakit ISPA pada Balita ................ 15
I. Pencegahan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita ............. 20
J. Faktor resiko Status Gizi Dengan Kejadian ISPA Pada Balita ................... 22
K. Faktor Resiko Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian ISPA Pada Balit 25

v
L. Faktor Resiko Kebiasaan Merokok dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) pada Balita ...................................................................................... 29

BAB III. KERANGKA KONSEPTUAL ................................................................ 32


A. Kerangka Konsep ........................................................................................ 32
B. Hipotesis...................................................................................................... 33
C. Definisi Operasional.................................................................................... 34

BAB IV. METODE PENELITIAN ........................................................................ 37


A. Desain Penelitian ......................................................................................... 37
B. Populasi dan Sampel ................................................................................... 37
C. Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................... 37
D. Etika penelitian............................................................................................ 39
E. Alat Pengumpulan data ............................................................................... 40
F. Pengolahan dan Analisa Data...................................................................... 42

BAB V. HASIL PENELITIAN ............................................................................... 45


A. Analisa Univariat ........................................................................................ 45
B. Analisa Bivariat........................................................................................... 48

BAB VI. PEMBAHASAN ....................................................................................... 52

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 59


A. Kesimpulan ................................................................................................. 59
B. Saran............................................................................................................ 59

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 61


LAMPIRAN.............................................................................................................. 63

vii
DAFTAR TABEL

NO. TABEL Halaman

3.1 Tabel A .........................................................................................................36

5.1 Tabel B ........................................................................................................45

5.2 Tabel C ..........................................................................................................45

5.3 Tabel D ..........................................................................................................46

5.4 Tabel E...........................................................................................................46

5.5 Tabel F ...........................................................................................................47

5.6 Tabel G. .........................................................................................................48

5.7 Tabel H ..........................................................................................................49

viii
DAFTAR SKEMA
No. Skema Halaman

2.1 Skema A ......................................................................................................33


3.1 Skema B .........................................................................................................34

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Perawtujuan Menjadi Responden

Lampiran 2 Informed Consent

Lampiran 3 Kuesioner Penelitian

Lampiran 4 Master Tabel

Lampiran 5 SPSS

Lampiran 6 Dokumentasi

x
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu kehidupan.

ISPA merupakan masalah kesehatan yang harus menjadi fokus perhatian kita

sebagai tenaga kesehatan, karena ISPA masih sering menjadi penyebab kematian

bayi dan balita. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan singkatan

dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam

bahasa inggris Acute Respiratory Infection (ARI). Penyakit infeksi akut yang

menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung

(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya

seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Penyakit ISPA merupakan

penyakit yang sering terjadi pada anak dibawah lima tahun (balita), karena

sistem pertahanan tubuh anak masih rendah. Kejadian penyakit batuk pilek

pada balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali pertahun, yang berarti

seorang balita rata- ratamendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6

kali setahun (Aini, Nur, D., Arifianto, & Sapitri. 2019).

ISPA masih merupakan penyakit utama penyebab kematian terutama

pada balita di Indonesia. Dari beberapa hasil survey kesehatan rumah tangga

(SKRT) diketahui bahwa 80 sampai 90% dari seluruh kasus kematian ISPA.

Penyakit ISPA di Indonesia cukup tinggi diatas (40%) kematian balita. ISPA

merupakan salah satu penyebab kunjungan pasien pada sarana kesehatan.

Sebanyak 40%- 60% kunjungan berobat dipuskesmas dan 15%-30%

kunjungan berobat di rawat jalan dan rawat inap dibuktikan dengan tingginya

1
angka kunjungan pasien ke puskesmas di seluruh Indonesia untuk penyakit

ISPAterutama pada usia anak balita (Kemenkes RI, 2014). Lima provinsi

dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%),

Aceh(30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%) dan Jawa Timur (28,3%)

(Riskesdas, 2018). Sementara itu, kejadian ISPA pada Provinsi Jambi yaitu

3,15% dan menduduki peringkat 18 penyakit terbanyak di Provinsi Jambi.

Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian ISPA pada anak

bayi dan balita yakni faktor intrinsik (umur, status gizi, status imunisasi, jenis

kelamin) dan faktor ekstrinsik (perumahan, sosial ekonomi, pendidikan).

Risiko akan berlipat pada anak usia dibawah dua tahun yang daya tahan

tubuhnya belum sempurna. ISPA pada anak dibawah dua tahun harus

diwaspadai oleh orang tua, karena dapat menyebabkan kematian.

Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat

kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi adalah suatu proses organisme

menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses

digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran

zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan

dan fungsi normal dari organ-organ, serta energi. Kecukupan gizi balita dapat

dilihat dari status gizinya (Dean Hess, Neil R. MacIntyre, William F. Galvin ·

2020).

Untuk mengatasi tingginya kejadian ISPA, pemerintah Indonesia yang

dalam hal ini adalah Departemen Kesehatan Indonesia telah melakukan

program imunisasi yang bertujuan sebagai pencegahan primer terhadap

penyakit penyebab ISPA. Secara teori, dengan pemberian imunisasi dasar

2
dengan lengkap dan teratur, maka tubuh bayi atau anak-anak akan memiliki

kekebalan sehingga mampu melawan penyakit-penyakit berbahaya. Adanya

daya tahan tubuh yang meningkat tidak hanya terhadap penyakit-penyakit

yang diimunisasi, kekebalan pun muncul terhadap penyebab penyakit ISPA.

Respon primer yang pertama kali muncul setelah vaksin di berikan adalah

terbentuknya imunoglobulin M (IgM).

Rokok, sebagai salah satu resiko timbulnya ISPA merupakan pembunuh

nomor tiga setelah jantung koroner dan kanker, satu batang rokok membuat

umur memendek 12 menit, 10.000 perhari orang di dunia mati karena

merokok, 57.000 orang pertahun mati di Indonesia karena merokok, kenaikan

konsumsi rokok Indonesia tertinggi di dunia yaitu 44%. Di Indonesia

prevalensi merokok dari tahun 1995 sampai 2001 di kalangan orang dewasa

meningkat menjadi 31,5% dari 26,9% (Depkes, 2018).

Sementara itu orang yang berada di sekitar seorang perokok atau

perokok pasif justru mempunyai resiko kesehatan yang lebih tinggi

dibandingkan perokok aktif. Mereka menjadi mudah menderita kanker,

penyakit jantung, paru dan penyakit lainnya yang mematikan. Mereka yang

dikelilingi oleh asap rokok akan lebih cepat meninggal dibanding mereka

yang hidup dengan udara bersih. Dan angka kematiannya meningkat 15%

lebih tinggi.

Berdasarkan penelitian Almira, Fahdi, & Budiharto (2017) terdapat

hubungan antara status gizi terhadap ISPA. Status gizi mempengaruhi daya

tahan tubuh, dimana semakin rendah status gizi seorang balita maka semakin

rendah pula daya tahan tubuh balita tersebut, maka balita semakin rentan

3
untuk terinfeksi.

Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan kekebalan

seseorang secara aktif terhadap penyakit menular,. Imunisasi ini merupakan

sistem imun yang spesifik. Imunisasi terdiri dari beberapa jenis, yakni:

imunisasi BCG, imunisasi DPT/HB, imunisasi polio, imunisasi campak, dan

imunisasi Hb-0.Hasil penelitian yang berhubungan dengan status imunisasi

menunjukkan bahwa ada kaitan antara penderita Pneumonia yang

mendapatkan Imunisasi tidak lengkap dan lengkap, dan bermakna secara

statistis.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Sungai Penuh (2022), pada

tahun 2019 angka kejadian ISPA pada Balita dari beberapa Puskesmas di Kota

Sungai Penuh yaitu Desa Gedang (2.567 orang), Rawang (575 Orang), Sungai

Penuh (486 Orang) dan Tanjung (61 orang). Pada tahun 2021 jumlah kejadian

ISPA dari 3 teratas yaitu Desa Gedang (525 Orang), Rawang (277 Orang),

Kumun (159 orang) dan Tanjung (70 Orang). Pada tahun 2022 sampai dengan

bulan Juli jumlah angka kejadian ISPA yaitu Desa Gedang (113 Orang),

Rawang (40 Orang) dan Tanjung (55 Orang). Jumlah kejadian ISPA di

Kotobaru pada tahun 2022 meningkat ke urutan 3 dimana 55 orang dari

jumlah balita 336 orang.

Ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan peningkatan penderita

ISPA. Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan

mendapat kekebalan alami terhadap pnemonia sebagai komplikasi campak.

Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari

4
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusi, campak,

maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya

pemberatasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas

ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status

imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan

penyakitnya tidak akan menjadi berat . Dari studi pendahuluan yang dilakukan

oleh peneliti pada bulan 17 Juli 2022 di Puskesmas Tanjung pada 10 orang

balita terjadi sebanyak 8 orang balita mengalami ISPA dan 2 tidak mengalami

ISPA. Sebanyak 7 orang dengan masalah gizi kurang dan 3 orang status gizi

baik. Sebanyak 4 orang imunisasi tidak lengkap dan 6 orang imunisasi

lengkap. Sebanyak 8 orang balita dengan lingkungan tidak baik dan 2 orang

balita dengan lingkungan sekitar baik. Berdasarkan fenomena di atas, maka

peneliti tertarik untuk meneliti faktor- faktor yang berhubungan dengan

kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada anak balita di wilayah

kerja puskesmas Tanjung Tahun 2022.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, rumusan masalah pada

penelitian ini adalah apakah faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) balita di wilayah kerja puskesmas

Tanjung Tahun 2022.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah

5
sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui analisa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada anak balita 1-5 Tahun di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun 2022.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi status gizi anak balita 1-5 Tahun di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun 2022..

b. Mengetahui distribusi frekuensi kelengkapan imunisai anak balita 1-5

Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun

2022..

c. Mengetahui distribusi frekuensi kebiasaan merokok anggota keluarga

anak balita 1-5 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota

Sungai Penuh Tahun 2022.

d. Mengetahui distribusi frekuensi Kejadian ISPA anak balita 1-5

Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun

2022.

e. Mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) pada anak balita 1-5 Tahun di Wilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun 2022.

f. Mengetahui hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian

infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada anak balita 1-5 Tahun di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun 2022.

6
g. Mengetahui hubungan kebiasaan merokok anggota keluarga dengan

kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada anak balita 1-5

Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh

Tahun 2022.

1.4 Manfaat Penelitian

A. Peneliti

Melalui penelitian ini, peneliti dapat menambah pengalaman,

pengetahuan dan wawasan ilmu serat mengaplikasikan ilmu metodologi

penelitian serta menambah wawasan tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

balita di wilayah kerja puskesmas Tanjung Tahun 2022.

B. Intitut Kesehatan Prima Nusantara Bukittinggi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber ataupun bahan

bacaan dan bahan informasi untuk penelitian selanjutnya terutama

mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) balita di wilayah kerja puskesmas

Tanjung Tahun 2022.

C. Puskesmas Tanjung

Sebagai informasi dan bahan masukan kepada pihak Puskesmas Tanjung

Kota Sungai Penuh dalam pengendalian dan pencegahan ISPA pada

balita di wilayah kerja, serta meningkatkan mutu pelayanan kesehatan

7
masyarakat terhadap penyakit ISPA dan penyakit lainnya yang

menyebabkan angka kesakitanpada balita.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Balita

Balita adalah anak berusia dibawah umur lima tahun yang sedang

mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Balita adalah anak

yang berumur 0-59 bulan, pada masa ini ditandai dengan proses pertumbuhan dan

perkembangan yang sangat pesat dan disertai dengan perubahan yang

memerlukan zat-zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas yang tinggi

(Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2020).

Pertumbuhan perkembangan balita dipengaruhi kesehatan yang baik,

status gizi yang baik, lingkungan yang sehat, serta keluarga (termasuk pengasuh)

yang baik merawat balita (Depkes RI, 2021). Anak usia di bawah lima tahun

(balita) merupakan kelompok usia yang rentan terhadap gizi dan kesehatan. Pada

masa ini daya tahan tubuh anak masih belum kuat, sehingga risiko anak menderita

penyakit infeksi lebih tinggi. Penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak balita

diantaranya adalah penyakit infeksi saluran pernafasan akut atau ISPA.

Selain itu, anak juga sering mempunyai kebiasaan makan yang buruk yaitu

anak sering tidak mau makan atau nafsu makan menurun, sehingga menyebabkan

status gizinya menurun dan pada akhirnya anak rentan terhadap suatu penyakit

infeksi

9
B. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita

1. Pengertian ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan istilah yang

diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections

(ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni, infeksi, saluran pernapasan dan

akut, dengan pengertian sebagai berikut:

a. Infeksi adalah masuknya, tumbuh dan berkembangbiaknya kuman atau

mikroorganisme ke dalam tubuh manusia

b. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta

organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.

ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran

pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru). Dengan batasan

ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernapasan (respiratory tract).

c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.

Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk

beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat

berlangsung lebih dari 14 hari

2. Etiologi ISPA pada Balita

Infeksi saluran pernapasan akut merupakan kelompok penyakit yang

komplek dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA

terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteridan rickettsia serta jamur. Virus

penyebab ISPA antara lain golongan Miksovirus (termasuk didalamnya virus

influenza, virus para-influensa), Adenovirus, Koronavirus, Pikonavirus,

10
Mikoplasma, Herpesvirus. Bakteri penyebab ISPA antara lain Streptokokus

hemolitikus, stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus influenza, Bordetella

pertusis, Korinebakterium diffteria. Ricketsia penyebab ISPA adalah Koksiela

burnetti. Jamur penyebab ISPA adalah Kokiodoides imitis, Histoplasma

kapsulatum, Blastomises dermatitidis, Aspergilus, Fikomesetes. angka kejadian

ISPA pada balita semakin bertambah, seperti karakteristik individu yang

meliputi usia balita, jenis kelamin, pemberian asi eksklusif, berat badan lahir,

status gizi dan imunisasi balita serta keadaan lingkungan rumah yang buruk

seperti ventilasi, kepadatan hunian rumah, pemakaian obat nyamuk bakar,

penggunaan kayu bakar,dan keberadaan perokok dalam rumah (GINA, Global

Initiative for Asthma 2020).

3. Jenis - Jenis ISPA

Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas 2 kelompok yaitu

kelompok untuk umur 2 bulan - < 5 tahun dan kelompok umur < 2 bulan.

Untuk kelompok umur 2 bulan - < 5 tahun klasifikasi dibagi atas:

a. Pneumonia berat

1). Umur 2 bulan - < 5 tahun

Didasarkan adanya batuk atau kesukaran bernapas disertai nafas sesak

atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing)

2). Umur < 2 bulan

Didasarkan adanya nafas cepat (fast breathing) yaitu frekuensi

pernapasan 60 kali per menit atau lebih, adanya tarikan yang kuat pada

dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing).

11
b. Pneumonia

Untuk klasifikasi pneumonia adalah sebagai berikut:

1). Umur 2 bulan - < 1 tahun

Didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernapas disertai adanya

frekuensi napas dengan napas cepat (fast breathing 50 kali per menit).

2). Umur 1 - < 5 tahun

Didasarkan pada adanya batuk atau kesulitan bernapas disertai frekuensi

napas dengan batas napas cepat (fast breathing 40 kali per menit).

c. Bukan pneumonia

Klasifikasi bukan pneumonia mencakup kelompok penderita bayi dan

balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi

napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah

kedalam. Dengan demikian klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit-

penyakit ISPA lain diluar Pneumonia seperti batuk pilek bukan pneumonia

(common cold, pharyngitis, tonsillitis, otitis). Pola tatalaksana ISPA hanya

dimaksudkan untuk tatalaksana penderita Pneumonia berat, Pneumonia dan

batuk bukan Pneumonia. Sedangkan penyakit ISPA lain seperti

nasopharyngitis, sinusitis, dan otitis sesuai standar operasional program

yang berlaku disarana kesehatan ( Nasution, dkk 2019)

4. Tanda dan gejala ISPA pada Balita

Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernafasan dapat berupa batuk,

kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit kepala. Sebagian

besar dari gejala saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk,

12
kesulitan bernapas, sakit tenggorokan, pilek, demam dan sakit kepala tidak

memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Namun sebagian anak yang

menderita radang paru (pneumonia), bila infeksi paru ini tidak diobati dengan

anti biotik akan menyebabkan kematian ( Nasution, dkk 2019).

Seorang anak yang menderita ISPA biasa menunjukkan bermacam- macam tanda

dan gejala seperti batuk, bersin, serak, sakit tenggorokan, sakit telinga, keluar cairan

dari telinga, sesak nafas, pernapasan yang cepat, nafasyang berbunyi, penarikan dada ke

dalam, bias mual, muntah, tak mau makan,badan lemah dan sebagainya. Berikut adalah

tanda gejala ISPA berdasarkanderajat penyakit :

1) Tanda dan gejala ISPA ringan

ISPA ringan dapat ditandai dengan gejala seperti batuk,

serak yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara

(misalnya pada waktu berbicara atau menangis), pilek yaitu

mengeluarkan lender/ingus dari hidung, panas atau demam, suhu

badan lebih dari 37˚ C jika dahi anak diraba dengan punggung

tangan terasa panas

2) Tanda dan gejala ISPA sedang

ISPA sedang ditandai dengan gejala pernapasan lebih dari

50 kali permenit pada anak yang ber umur kurang dari 1 tahun

atau lebih dari 40 kali permenit pada anak yang berumur 1 tahun

atau lebih, Suhu lebih dari 39˚ C (diukur dengan thermometer),

tenggorokan berwarna merah, timbul bercak-bercak pada kulit

menyerupai bercak campak, telingga sakit atau mengeluarkan

nanah dari lubang telinga, pernapasan berbunyi seperti

mengorok (mendengkur), dan pernapasan berbunyi menciut-ciut.

13
Dari gejala-gejala ISPA sedang perlu hati-hati karena jika

menderita ISPA ringan sedangkan ia mengami Panas badanya

lebih dari 39˚ C, mengalami Gizi kurang, umurnya 4 bulan atau

kurang. Maka anaktersebut tergolong dalam ISPA sedang.

3) Tanda dan gejala ISPA berat

Jika dijumpai gejala –gejala ISPA ringan atau sedang

disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut ini seperti bibir atau

kulit membiru, lubang hidung kembang kempis (dengan cukup

lebar) pada waktu bernafas, anak tidak sadar atau kesadaran

menurun, nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak

teraba , sela iga tertarik kedalam pada waktu benafasdan

tenggorokan berwarna merah berarti balita mengalami gejala

ISPA berat.

5. Patofisiologi ISPA pada Balita

Terjadinya infeksi antara bakteri dan flora normal di saluran nafas.

Infeksi oleh bakteri, virus dan jamur dapat merubah pola kolonisasi bakteri.

Timbul mekanisme pertahanan pada jalan nafas seperti filtrasi udara

inspirasi di rongga hidung, refleksi batuk, refleksi epiglotis, pembersihan

mukosilier dan fagositosis. Karena menurunnya daya tahan tubuh penderita

maka bakteri pathogen dapat melewati mekanisme sistem pertahanan

tersebut akibatnya terjadi invasi di daerahdaerah saluran pernafasan atas

maupun bawah ( Nasution, dkk 2019).

14
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyakit ISPA pada Balita

Untuk dapat memahami masalah penyakit yang sedang dihadapi, termasuk

riwayat kejadian penyakit, maka hasil interaksi antar individu, penyebab

penyakit dan lingkungan perlu mendapatkan perhatian, mengingat dengan

menelusuri ketiga unsur tersebut secara seksama, akan diperoleh informasi

penyakit yang secara sistematis dapat menunjukkan gambaran penyakit yang

bersangkutan sehingga penanggulangan dan pembrantasan penyakit dapat

diupayakan secara sistematis (WHO , 2020).

a. Faktor Individu Anak (Host)

Faktor individu sangat bereran aktif didalam perkembangbiakan penyakit

infeksi terrutama pada anak umur dibawah lima tahun, faktor ini sangat

menentukan daya tahan/imunitas anak, faktor host yang berkaitan dengan

terjadinya penyakit ISPA berupa umur anak, jenis kelamin, berat badan

lahir, status gizi dan kelengkapan imunisasi.

1) . Umur anak

Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA

terutama pada bayi dan anak-anak. Sejumlah studi yang besar

menunjukkan bahwa insiden penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada

bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Oleh sebab

itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika

dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita

akan memberikan gambaran klinik yang lebih besar , hal ini disebabkan

karena ISPA pada bayi dan balita umumnya merupakan kejadian infeksi

pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara

15
alamiah. Hasil analisis faktor resiko membuktikan faktor usia merupakan

salah satu faktor resiko untuk terjadinya kematian karena pneumonia pada

balita yang sedang menderita pneumonia. Semakin tua usia balita yang

sedang menderita pneumonia, semakin kecil resiko meninggal akibat

pneumonia dibandingkan balita berusia muda.

2) Jenis Kelamin

Berdasarkan Pedoman Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional

Penanggulangan Pneumonia Balita \menunjukkan bahwa anak laki-laki

memiliki risiko lebih tinggi daripada anak perempuan untuk terkena ISPA,

3) Berat Badan Lahir

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang

kurang dari 2.500 gram. Berat bayi lahir menentukan pertumbuhan dan

perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat lahir

rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar

dibandingkan dengan bayi berat lahir normal serta memiliki resiko lebih

besar untuk terjadinya resiko terkena penyakit infeksi , terutama

pneumonia dan infeksi pernapasan lainnya, terutama pada bulan-bulan

pertama kel ahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang

sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi.

Berdasarkan pada pedoman rencana kerja jangka menengah Nasional

(RPJMN) Penanggulangan Pneumonia balita tahun 2020-2024 , bayi yang

memiliki berat badan lahir rendah lebih beresiko terkena penyakit ISPA,

tidak ada atau tidak memberikan ASI dan imunisasi yang tidak adekwat

memperburuk derajat kesehatan.

16
4) Status Gizi

Balita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA

dibandingkan dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan

tubuh yang kurang. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai

cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap infeksi. Jika

keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun

yang berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan

infeksi menjadi menurun. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan

balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi.

Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA lebih berat

bahkan serangannya lebih lama.

5) Status Imunisasi

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan atau

memasukan kekebalan (imunisasi) pada bayi atau anak sehingga terhindar

dari penyakit. Anak yang diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap

suatu penyakit tertentu. Dalam imunologi, kuman atau racun kuman

(toksin) disebut antigen. ISPA dapat di cegah dengan melakukan imunisasi

seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi

akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk

menghindari faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan

imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi

lengkap bila menderita ISPA dapat di harapkan perkembangan

penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling

efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis

17
(DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian

pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi DPT 6% kematian

pneumonia dapat di cegah.

b. Faktor Agent (Bibit Penyakit )

Timbulnya infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh beberapa

mikroorganisme yang merupakan penyebab utama kejadian ISPA terdiri

lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Menurut Sariana Kelompok

virus umumnya menyerang saluran pernapasan bagian atas dengan kata

lain, ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA

bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan mycoplasma. ISPA

bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai

manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah

dalam penanganannya

c. Faktor Lingkungan

Hubungan kondisi faktor lingkungan dengan kejadian ISPA pada balita

sangat berkaita terutama lingkungan fisik didalam rumah, faktor

lingkungan rumah yang dapat memicu kejadian ISPA pada balita antara

lain adalah pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah yang tidak

memadahi dan kepadatan rumah hunian.

1) Pencemaran Udara Dalam Rumah

Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak

dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru

sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada

rumah yang keadaan ventilasinya kurang. Hasil penelitian diperoleh

18
adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada

peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anakanak yang tinggal

didaerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9

bulan dan 6 – 10 tahun.

a) .Ventilasi Rumah

Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau

dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. fungsi dari

ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut :

1) Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang

optimum bagi pernapasan.

2) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-

zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.

3) Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.

4) Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.

5) Mengeluakan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh,

kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal.

6) Mendisfungsikan suhu udara secara merata. Sirkulasi udara dalam rumah

akan baik dan mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai

ventilasi minimal 10% dari luas lantai. Faktor lingkungan rumah seperti

ventilasi juga berperan dalam penularan ISPA, dimana ventilasi dapat

memelihara kondisi udara yang sehat bagi manusia.

b) Kepadatan Hunian Rumah

Kepadatan di dalam kamar terutama dikamar Balita yang tidak sesuai


2
dengan standart akan menimbulkan ruangan penuh sesak sehinga O

19
berkurang dan CO2 meningkat,kepadatan hunian dapat mempengarui

kualitas udara di dalam rumah, dimana semakin banyak jumlah penghuni

maka maka akan semakin cepat udara didalam rumah mengalami

pencemaran, menurut peraturan rumah sehat luas rumah yang sehat

minimal 9 m2 untuk perorang,sementara untuk anak usia<5 tahun ukuran

ruang tidur 4,5m3 dan luas lantai minimal 3,5 m2.

Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktorpolusi

dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan

bermakna antara kepadatan dan kematian daribronkopneumonia pada bayi,

tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan

memberi korelasi yang tinggi pada faktor ini.

7. Pencegahan ISPA

ISPA merupakan penyakit yang mudah menular. Penularan ISPA

terutama melalui udara saat penderita batuk atau bersin. Penularan ISPA juga

dapat terjadi melalui kontak langsung (menyentuh penderita secara langsung)

dengan penderita maupun kontak tidak langsung yaitu menyentuh benda yang

terkontaminasi droplet infeksius.

Pencegahan ISPA sangat erat kaitannya dengan sistem kekebalan tubuh

yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang dengan sistem kekebalan tubuh yang

lemah akan sangat rentan terhadap serangan , sehingga pengobatan ISPA

biasanya difokuskan kepada mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh

yang rendah.

Tindakan pencegahan dan pengendalian penularan ISPA, dapat melakukan

20
hal berikut ini :

a) Menjaga keadaan gizi keluarga agar tetap baik. Memberikan

ASIeksklusif pada bayi sampai batas usia 2 tahun.

b) Menjaga pola hidup bersih, sehat, istirahat yang cukup dan olah

ragateratur

c) Gunakan fasilitas kebersihan tangan seperti sabun dan air bersih

yangmengalir, antiseptik berbasis alkohol dan handuk sekali pakai

d) Ajarkan pada anak untuk rajin cuci tangan untuk mencegah ISPA dan

e) penyakit infeksi lainnya.

f) Melakukan imunisasi pada anak. Imunisasi yang dapat mencegah

ISPAdiantaranya imunisasi influenza dan imunisasi DPT-HB .

g) Hindari kontak yang terlalu dekat dengan penderita ISPA.

h) Hindari menyentuh mulut atau hidung setelah kontak dengan flu. Segera

cuci tangan dengan air dan sabun atau hand sanitizer setelah kontak

denganpenderita ISPA.

i) Apabila sakit, gunakanlah masker dan rajin cuci tangan agar tidak

menulari anak anda atau anggota keluarga lainnya.

j) Mencegah anak berhubungan terlalu dekat dengan anggota keluarga

lainnya yang sedang sakit ISPA. Tindakan semi isolasi mungkin dapat

dilakukan seperti anak yang sehat tidur terpisah dengan anggota

keluarga lain yang sedang sakit ISPA.

k) Upayakan ventilasi yang cukup dalam ruangan / rumah.

l) Susun rencana untuk pemeriksaan dan penanganan pasien yang

diketahui atau suspek terinfeksi ISPA yang dapat menimbulkan

21
kekhawatiran, seperti penyaringan cepat (pembuatan sistemtriase

pasien) dan pelaksanaan segera tindakan pencegahan dan pengendalian

infeksi.

8. Faktor resiko Status Gizi Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan

manusia. Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang

dikonsumsi secara normal untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan,

pemeliharaan dan perbaikan jaringan tubuh dan fungsi normaldari organ serta

menghasilkan energi.

Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang paling sering

menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita adalah pneumonia. Dimana

pneumonia merupakan bagian atau tahap lanjut dari penyakit infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) yang disebabkan oleh kekurangan zat gizi yang

membuat tubuh menjadi rentan terhadap infeksi. Anak dibawah lima tahun adalah

kelompok umur yang sangat rentan terhadap berbagai penyakit infeksi dan

membutuhkan zat gizi yang relatif lebih tinggi dibandingkan kelompok umur yang

la.ini yang menyebabkan balita mudah terkena penyakit infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA).

1. Penilaian Status Gizi Pada Balita

Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan

menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu

yang beresiko atau dengan status gizi buruk, dan Status gizi merupakan

keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.

22
Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebi. Standar acuan

status gizi balita adalah berat badan menurut umur (BB/U), berat badan

menurut tinggi badan (BB/TB), dan tinggi badan menurut umur (TB/U).

Sementara klasifikasinya adalah normal, underweight (kurus), dan gemuk.

Untuk acuan yang menggunakan tinggi badan, jika kondisinya kurang baik

disebut stunted (pendek). Pedoman yang digunakan adalah standart

berdasarkan tabel WHO-NCHS, bila berat badannya kurang, maka status

gizinya kurang.

2. Metode Penilaian Status Gizi

Pada dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi menjadi dua yaitu secara

langsung dan tidak langsung. Pada penilaian status gizi balita penilaian yang

digunakan adalah penilaian secara langsung berdasarkan penilaian

Antropometri.

3. Antropometri

Antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Apabila ditinjau dari sudut

pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam

pengukuran dimensi tubuh dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan

protein danenergi.

Indikator antropometri atau indeks antropometri yang umum di

pergunakan untuk menilai status gizi balita adalah BB/U, TB/U, BB/TB ,

cukup dengan nilai tunggal saja karna antara anak berumur 1 – 5 tahun

perbedaannya relatif kecil.

23
4. Indikator BB/U

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran

massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahanperubahan yang

mendadak, misalnya karena terserang infeksi, penurunan nafsu makan, atau

menurunkan jumlah makanan yang dikonsumsi. Kelebihan indikator ini

adalah sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka waktu

pendek, juga dapat digunakan untuk mendeteksi kegemukan

Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral

pada tulang. Dalam keadaan normal dan keadaan kesehatan baik,

keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin maka berat

badan berkembang mengikuti bertambahnya umur. Dalam keadaan abnormal

ada dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu berkembang cepat

atau lebih lambat dari keadaan normal.

5. Indikator TB/U

Indikator TB/U dapat memberikan gambaran riwayat keadaan gizi masa

lampau dan dapat dijadikan indicator keadaan social ekonomi penduduk.

Indikator TB/U ini tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini dan sering

mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang pada kelompok

usia balita di negara berkembang.

6. Indikator BB/TB

Pada tahun 1978, WHO lebih menganjurkan penggunaan BB/TB karena

dapat menghilangkan faktor umur yang menurut pengalaman sulit didapatkan

24
secara benar, dan lebih menggambarkan keadaan kurang gizi akut pada waktu

sekarang, walaupun tidak dapat menggambarkan keadaan gizi pada waktu

lampau. Namun Indikator BB/TB ini dapat menggambarkan status gizi saat ini

dengan lebih sensitif dan spesifik, terutama apabila data umur yang akurat

sulit diperoleh.

9. Faktor Resiko Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Pemberian imunisasi dasar dengan lengkap dan teratur menyebabkan tubuh

bayi atau anak-anak akan memiliki kekebalan sehingga mampu melawan penyakit-

penyakit berbahaya. Adanya daya tahan tubuh yang meningkat tidak hanya terhadap

penyakit-penyakit yang diimunisasi, kekebalan pun muncul terhadap penyebab

penyakit ISPA. Respon primer yang pertama kali muncul setelah vaksin di berikan

adalah terbentuknya imunoglobulin M (IgM) dan imunoglobulin G (IgG).

Imunisasi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mencegah

penularan penyakit dan upaya menurunkan angka kesakitan dan kematian pada

bayi dan balita (Mardianti & Farida, 2020). Imunisasi merupakan upaya kesehatan

masyarakat paling efektif dan efisien dalam mencegah beberapa penyakit

berbahaya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).

Perbedaan persepsi yang ada di masyarakat menyebabkan hambatan

terlaksananya imunisasi. Masalah lain dalam pelaksanakan imunisasi dasar lengkap

yaitu karena takut anaknya demam, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat

imunisasi jauh, tidak tahu tempat imunisasi, serta sibuk/ repot. Petugas kesehatan

juga memiliki peran penting terhadap pemberian imunisasi pada balita. Peran petugas

sangat penting dalam meningkatkan cakupan imunisasi juga memberikan informasi

dan sosialisasi tentang manfaat imunisasi dan penyakit dapat dicegah dengan

25
imunisasi. Untuk mencegah kesakitan dan kematian, petugas imunisasi dapat

berperan aktif dalam pemberian imunisasi (Falawati, 2020).

Imunisasi merupakan investasi kesehatan untuk masa depan karena dapat

memberikan perlindungan terhadap penyakit infeksi, dengan adanya imunisasi dapat

memberikan perlindunga kepada indivudu dan mencegah seseorang jatuh sakit dan

membutuhkan biaya yang lebih mahal.

1. Imunisasi Dasar

Imunisasi merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah

terjadinya suatu penyakit dengan cara memberikan mikroorganisme bibit

penyakit berbahaya yang telah dilemahkan dalam bentuk vaksin kedalam

tubuh sehingga merangsang sistem kekebalan tubuh terhadap jenis antigen.

Imunisasi dasar lengkap memberikan upaya imunitas pada bayi berusia 0-12

bulan agar terhindar dari berbagai penyakit , imunisasi ini meliputi Polio, HB,

DPT, BCG, dan Campak (Depkes RI 2020).

2. Imunisasi Hepatitis B

Hepatitis B memberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan

oleh virus Hepatitis B. Imunisasi dapat diberikan Apabila status HbsAg-B

ibupositif, dalam waktu 12 jam setelah lahir dengan syarat kondisi bayi stabil,

tidak ada gangguan paru-paru dan jantung dapat diberikan HBlg 0,5 ml. Atau

apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam

perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat

diberikan HBlg 0,5 ml sebelum bayi berumur <7 hari. Cara pemberian :

Vaksin di suntikan dengan dosis 0,5 ml atau 1 buah HB. Pemberian suntikan

secara intra muskuler ,sebaiknya pada canterolateral paha.Tanda keberhasilan

26
berupa nyeri pada tempat penyuntikan atau demam ringan namun akan

menghilang dalam 2 hari.

3. Imunisasi BCG ( Bacillus Calmette – Guerin )

Imunisasi BCG adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan

kekebalan aktif terhadap penyakit TBC. Pemberian imunisasi BCG dan usia

pemberian, frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah 1 kali dan tidak perlu

di ulang (boster). Cara pemberian imunisasi BCG adalah melalui intradermal

dengan lokasi penyuntikan pada lengan kanan atas (sesuai anjuran WHO) atau

penyuntikan pada paha.Tanda keberhasilan, adalah timbulnya indurasi

(benjolan) kecil dan eritema (merah) di daerah bekas suntikan , setelah 1 atau

2 minggu kemudian yang berubah menjadi pustula, kemudian pecah menjadi

ulkus (luka). Tidak menimbulkan nyeri dan panas. Luka ini akan sembuh

sendiri dan meninggalkan tanda parut.

4. Imunisasi DPT/HB

ImunisasiDPT/HB adalah imunisasi yang diberikan untuk mencegah

terjadinya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Serta penyakit hepatitis,

Pemberian imunisasi dan usia pemberian, imunisasi DPT/HB diberikan

sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2 bulan untuk dosis pertama ,dosis selanjutnya

dengan interval minimal 4 minggu. Sehingga pada bulan ke 3 dan bulan ke 4,

cara pemberian: disuntikan melalui intamuskuler (IM). Efek samping

Imunisasi ini: biasanya hanya demam dan rewel selama 1-2 hari, kemerahan,

pembengkakan, agak nyeri atau pegal-pegal pada daerah penyuntikan yang

akan hilang sendiri dalam beberapa hari. Bila demam dapat diberikan penurun

panas.Kontraindikasi imunisasi DPT/HB tidak dapat diberikan pada bayi yang

27
sedang demam, mudah kejang, dan menderita infeksi otak.

5. Imunisasi Polio

Imunisasi polio adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan

kekebalan terhadap penyakit poliomielitis, yaitu penyakit radang yang

menyerang saraf dan dapat mengakibatkan kelumpuhan. Waktu pemberian

adalah pada bayi usia 0-11 bulan, namun biasanya pemberian vaksin di

berikan pada bulan 1-4 bulan bersama dengan imunisasi BCG di bulan

pertama dan imunisasi DPT/HB di bulan selanjutnya (2,3,4). Cara pemberian

imunisasi polio melalui oral/mulut 1 dosis adalah sebanyak 2 tetes sebanyak 4

kali (dosis) dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu.

6. Imunisasi Campak

Imunisasi Campak adalah imunisasi yang diberikan untuk mencegah

penyakit campak pada anak karena penyakit ini sangat menular pemberian

imunisasi dan usia pemberian, frekuensi pemberian imunisasi campak adalah 1

kali dan diberikan pada usia bayi 9 bulan. Dan di berikan ulangan (booster)

pada usia 6-7 tahun, Cara pemberian, adalah melalui suntikan subkutan, efek

samping imunisasi, jarang terjadi reaksi akibat imunisasi, namun kadang

terjadi demam ringan dan efek kemerahan/ bercak merah pada pipi dibawah

telinga pada hari ke 7-8 setelah penyuntikan. Kontraindikasi imunisasi

campak, adalah infeksi akut yang disertai demam dan kekurangan gizi berat.

7. Jadwal Imunisasi Balita

Imunisasi merupakan suatu tindakan dasar untuk memberikan

perlindungan atau kekebalan di dalam tubuh bayi dan balita, serta untuk

mencegah terpaparnya anak dari berbagai penyakit yang berpotensi

28
mengganggu tumbuh kembang anak bahkan juga dari penyakit yang bisa

menyebabkan kematian. Berikut adalah jadwal imunisasi Nasional :

1. Hepatitis B-0 diberikan 1 kali (di berikan 0-7 hari setelah kelahiran)

2. BCG diberikan 1 kali (pada usia 1 bulan)

3. DPT/HB diberikan 3 kali (pada usia 2,3,4 bulan)

4. Polio diberikan 4 kali (pada usia 1,2,3,4 bulan)

5. Campak diberikan 1 kali (pada usia 9 bulan)

Bayi dikatakan telah mendapatkan imunisasi lengkap jika bayi telah

mendapatkan imunisasi yang meliputi imunisasi BCG (Bacillus

ClameteGuerin), imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus), imunisasi polio,

imunisasi campak, dan imunisasi Hepatitis B.

10 Faktor Resiko Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian ISPA Pada Balita

Salah satu faktor resiko terjadinya ISPA dilihat dari faktor lingkungan adalah

perilaku merokok. Perilaku merokok anggota keluarga akan berdampak kepada

anggota keluarga lain khususnya balita, dimana balita menyerap nikotin dua kali

lebih banyak dibandingkan orang dewasa. dan balita juga memiliki sistem

kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit (Darmawan et al,

2016). Balita yang tinggal dalam rumah yang terdapat anggota keluarga yang

merokok, maka balita tersebut termasuk perokok pasif yang akan menerima

semua akibat buruk dari asap rokok.

Rokok merupakan gulungan tembakau yang dibungkus dengan kertas atau

daun yang mengeluarkan lebih 4.000 bahan kimia beracun yang membahayakan.

Bahan berbahaya dalam rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan

29
pada orang yang merokok, namun juga mengakibatkan gangguan kesehatan pada

orang disekitar perokok. Asap rokok yg keluar langsung dari pembakaran rokok

(sidestream) akan lebih berbahaya daripada yang keluar dari mulut perokok

(mainstream), karena sidestream belum mengalami penyaringan, sedangkan

mainstream sudah mengalami penyaringan melalui pernapasan perokok dan rokok

itu sendiri.Dalam jumlah tertentu asap rokok sangat mengganggu kesehatan

seperti gangguan pada saluran pernapasan.

Asap rokok merupakan bahan pencemar udara, berupa campuran kompleks

yang dihasilkan oleh pembakaran tembakau dan adiktif. Asap mengandung zat-zat

berbahaya yang menyebabkan penyakit paru-paru, jantung, emphysema serta

penyakit-penyakit berbahaya lain. Salah satu zat berbahaya dalam rokok adalah

tar yang mengandung senyawa polinuklir hidrokarbon aromatik yang bersifat

karsinogenik menyebabkan paralise silia yang ada disaluran PERNAPASAN dan

menyebabkan penyakit paru lainnya seperti emphysema, bronkhitis kronik dan

kanker paru. Tar akan melekat pada rambut-rambut kecil di paru-paru. Rambut-

rambut kecil ini melindungi paru-paru dari kotoran dan infeksi, tapi ketika

tertutup tar organ ini tidak dapat melakukan fungsinya.

Keberadaan perokok aktif di dalam rumah akan menyebabkan pencemaran

udara di dalam ruangan. Manusia bernapas kira-kira 20 kali dalam satu menit,

sekali tarikan napas maka ±500 ml udara terhirup, udara yang masuk kedalam

tubuh sudah terkena kontaminasi asap rokok akan merusak mekanisme

pertahanan paru sehingga memudahkan terjadinya ISPA.

30
Kerangka Teori

Faktor resiko ISPA

Individu Lingkungan Perilaku


Anak
-pencemaran -perilaku
- Umur anak udara dan pencegahan
- BBL perilaku dan
-Status Gizi merokok pengendalian
-Vitamin A -Ventilasi ISPA
Rumah (Mayunani,
-Status
-Kepadatan 2010)
Imunisasi
hunian rumah
(Maryunani,
2010)

Kejadian ISPA

Bagan 3.1 Kerangka Teori

31
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini adalah ingin melihat pengaruh dua

intervensi terhadap suatu variabel. Variabel Independen yaitu faktor-faktor

yang berhubungan kejadian ISPA, sedangkan variabel dependen adalah

variabel terikat yang dapat dipengaruhi oleh variabel independen. Variabel

dependen adalah Kejadian ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota

Sungai Penuh tahun 2021 dengan kerangka konsep sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel

Dependen

Status Gizi

Kelengkapan Imunisasi Kejadian ISPA

Kebiasaan Merokok

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

32
B. Hipotesa

Berdasarkan rumusan masalah, landasan teoritis dan kerangka konseptual,

maka hipotesa pada skripsi ini adalah :

Ha : Ada hubungan antar Status Gizi, kelengkapan Imunisasi dan Kebiasaan

Merokok dengan kejadian ISPA pada balita diWilayah Kerja

Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun 2022.

33
C. Definisi Operasional

Tabel 3.1
Definisi Operasional

NO Variabel Defenisi Operasioal Cara Hasil ukur Skala


Ukur Ukur
Dependen
1. Infeksi Keadaan dimana terjadinya Mengis 1. Tidak ISPA, Apabila Nominal
Saluran infeksi saluran pernapasan akut i lembar terdiagnosa selain ISPA.
Pernap atas atau infeksi saluran ceklist 2. ISPA, Apabila
asan pernapasan akut bawah pada terdiagnosa ISPA pada
Akut anak balita (12-59 bulan) laporan Posyandu
(ISPA) dengan tanda klinis (batuk,
pilek, demam, sakit saat
menelan, sakit tenggokan, serta
kesulitan bernapas) dalam
kurun waktu 14 hari serta
terdapat hasil diagnosa kejadian
ISPA dari tenaga kesehatan.
Independen
2 Status Status gizi padabalita adalah Penguku 1. Gizi Kurang jika -3 Ordinal
. gizi penampilan fisik dari tubuh ran SD sampai dengan <
yang dapat diketahui dengan langsung -2 SD
mengukur beratbadan dan pada 2. Gizi Normal jika -2
tinggi badananak. anak SD sampai dengan
+2 SD

3 Kele Kelengkapan Imunisasi anak Meng 1. Tidak lengkap Nominal


. ngka balita diperoleh dari KMS isi :apabila balita tidak
pan (Kartu Menuju Sehat) Kuesi mendapatkan
Imun 1. Hepatitis B diberikan 1 oner imunisasi yang
isasi kali ( di berikan 0-7 hari ) seharusnya
2. BCG di berikan 1 kali diperolehnya sesuai
(pada usia 1 bulan) umur dan tepat waktu.
3. DPT/HB di berikan 3 kali ( 2. Lengkap : apabila
pada usia 2,3,4 bulan ) balita sudah
4. Polio di berikan 4 kali mendapatkan
(pada usia 1,2,3,4 bulan ) imunisasi yang harus
5. Campak di berikan 1 kali diperolehnya sesuai
(pada usia 9 bulan) dengan batas usianya
(meliputi imunisasi
hepatititis B-0, BCG,
DPT/HB,Polio, campak)(Sumber: Keputusan
1059/Menkes/SK/IX/200
4)
4 Kebiasaan Mengkonsumsi rokok pada Mengisi Tidak merokok, apabila Nominal
Merokok ayah, ibu atau keluarga lain kuesione tidak Mengkonsumsi rokok
r pada ayah, ibu rokok
Merokok, apabila
mengkonsumsi rokok
(Kemenkes,2013)

34
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Survei analitik dengan

rancangan Cross Sectional. Penelitian cross-sectional hanya mengobservasi

sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap variabel subjek pada saat

penelitian. (Notoatmojo, 2010). Penelitian ini untuk mengetahui faktor yang

berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) balita

usia 1-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh tahun

2022.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota

Sungai Penuh.. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni – Agustus 2022.

C. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah subjek (misalnya manusia; klien)

yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2011).

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh sebanyak 232

orang ibu yang memiliki anak balita sampai bulan Mei 2022.

37
b. Sampel

Sampel adalah terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat

dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sedangkan

sampling adalah proses penyeleksi porsi dari populasi yang dapat

mewakili populasi yang ada (Nursalam, 2011). Sampel penelitian

diambil dengan metode teknik accidental sampling dan rumus

pengambilan sampel yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel

minimal dalam penelitian ini adalah (Gazpert, 1991) :

n = 232 x (1,96)2 x 0,5 (1-0,5)/ 930 x (0,1)2 + (1,96)2 x 0,5 (1-0,5)

n = 232 x 3,8 x 0,25 / 232 x (0,01)

+2,21n = 220,4/ 4,53

n = 48,6  49 orang

Dengan keterangan :

n= jumlah sampel

N= jumlah populasi

G= galat pendugaan (0,1)

P=proporsi dari populasi yang di tetapkan =

0,5Z=tingkat keandalan pendugaan =95%

(1,96)

38
Berdasarkan penggunaan rumus diatas maka diperoleh besar sampel

48,6 sample dan dibulatkan menjadi 49 ibu yang memiliki anak balita yang

akan dijadikan sample penelitian yang dilakukan pada dua kali kegiatan

posyandu di wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh. Sampel

penelitian diambil dengan menggunakan dan mempertimbangkan kriteria

inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek

penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai

sampel .

Kriteria inklusi dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:

1. Ibu yang memilki anak balita (12-59 bulan) yang datang berkunjung dan

terdaftar (memiliki Faskes) di Puskesmas Tanjung

2. Memiliki KMS (Kartu Menuju Sehat)

3. Yang bertempat tinggal di wilayah kerja Tanjung

4. Bersedia menjadi responden penelitian

5. Memahami bahasa Indonesia

Sedangkan kriteria eksklusi adalah dimana subjek penelitian tidak dapat

diambil sebagai sampel , Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :

1. Tidak bersedia menjadi responden

D. Etika Penelitian

Prinsip etik berdasarkan pedoman etik penelitian kesehatan yang

dikeluarkan oleh Komisi Nasional Etik Kesehatan. Etika penelitian keperawatan

yang sangat penting karena penelitian ini berhubungan langsung dengan manusia

sehingga perlu diperhatikan hal-hal berikut:

1. Benefit (Berbuat baik)

39
Peneliti melindungi responden agar terhindar dari bahaya atau

ketidaknyamanan fisik dan mental dengan menjelaskan hal ini sebelum

responden menandatangani kesediaan sebagai responden. Resiko penelitian

harus wajar ( reasonable). Dibanding manfaat yang diharapkan, menjaga

kesejahteraan responden dan tidak merugikan responden.

2. Justice (keadilan)

Responden / subjek untuk mendapatkan perlakuan adil, jadi tidak setiap

perawat pelaksana di tempat penelitian mempunyai hak yang sama untuk

mengikutsertakan dalam hal penelitian ini dan mereka mendapatkan

keleluasaan pribadi sebelum, selama dan sesudah berpartisipasi dalam

penelitian.

3. Self determination (Prinsip menghargai martabat manusia)

Responden/ subjek mempunyai hak untuk memutuskan secara sukarela

apakah dia ingin berpartisipasi dalam penelitian ini atau tidak, tanpa resiko

untuk dihukum, dipaksa atau diperlakukan dengan tidak adil.

4. Confidentiality (Kerahasiaan)

Confidentiality merupakan masalah-masalah responden yang harus

dirahasiakan dalam penelitian. Kerahasian informasi yang telah

dikumpulkan akan dijamin kerahasian oleh peneliti, hanya kelompok data

tertentu yang akan dilaporkan dalam hasil penelitian.

5. Informed Consent (Format persetujuan)

Informent consent akan diberikan sebelum melakukan penelitian.

Informent consent ini berupa lembar persetujuan untuk menjadi responden.

Lembar persetujuan ini akan diberikan agar responden mengetahui maksud

dan tujuan penelitian. Jika responden bersedia diteliti, responden harus

40
menandatangani persetujuan tersebut, jika responden tidak bersedia maka

peneliti harus menghormati hak responden.

E. Alat Pengumpulan Data

Cara yang digunakan untuk pengumpulan dataterdiri dari dua yaitu:

1. Data Primer

Data primer yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data

yang diperoleh dari pengisian kuesioner yang diberikan oleh peneliti

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah keterangan yang akan diperoleh dari pihak

kedua, baik berupa orang maupun catatan, seperti buku catatan petugas

danjuga buku KMS milik anak balita.

3. Prosedur Pengumpulan Data

Adapun langkah-langkah pengumpulan data yang akan dilakukan yaitu:

a. Peneliti melakukan koordinasi dengan petugas posyandu dalam

menentukan sampel yang akan digunakan

b. Setelah mendapatkan sampel penelitian, peneliti meminta izin kepada

orang tua atau wali dari anak untuk dijadikan sampel, dan menjelaskan

tentang penelitian, apabila disetujui dapat menandatangani informed

consent.

c. Setelah mendapatkan persetuan peneliti dapat melakukan penelitian

dengan mengisi lembar ceklist hasil pemeriksaan

d. Dalam melakukan penelitian dilakukan pada dua kali kegiatan posyandu

di wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh. peneliti

mengikuti proses program posyandu yang dalam sehari posyandu sesuai

41
jadwal bisa mencapai 25 anak, hal inisesuai dengan daerah tujuan

posyandu dilakukan dan paling sedikit jumlah sampel hanya 7 orang

balita.

e. Peneliti juga ikut dalam posyandu di puskesmas yang diadakan sebulan

sekali pada tanggal 27.

F. Pengolahan dan Analisis Data

Menurut Notoatmodjo (2012), pengolahan data dilakukan setelah

pengumpulan data selesai dilakukan. Terdapat beberapa langkah yang akan

digunakan dalam pengolahan dengan menggunakan komputer yaitu :

1. Editing

Hasil wawancara dan observasi di lapangan lalu dilakukan

penyuntingan (editing) terlebih dahulu.

2. Coding

Setelah semua kuesioner diedit atau disunting. Selanjutnya peneliti

melakukan pengkodean atau coding, yakni mengubah bentuk kalimat atau

huruf menjadi data atau angka bilangan.

3. Entry Data

Data, yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang

masuk dalam bentuk kode (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam

program atau software komputer ini bermacam-macam, masing-masing

mempunyai kelebihan dan kekurangan. Salah satu paket yang paling sering

di gunakan untuk entry data penelitian adalah paket program SPSS for

Windows

4. Cleaning

42
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai

dimasukkan, perlu di cek kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode. Ketidaklengkapan dan

sebagainya, kemudian akan dilakukan pembetulan atau koreksi. Proses ini

disebut pembersihan data.

5. Tabulating

Tabulasi merupakan penyajian data dalam bentuk tabel yang terdiri dari

beberapa baris dan beberapa kolom. Tabel ini digunakan untuk

memaparkan sekaligus beberapa variabel hasil observasi, survei atau

penelitian sehingga data mudah dibaca dan dimengerti (Chandra, 2008).

Menurut Notoatmodjo (2012), data yang telah diolah baik pengolahan

maupun menggunakan komputer, tidak ada maknanya tanpa dianalisa.

Menganalisa data tidak sekedar mendeskripsikan dan menginterprestasikan

data yang telah diolah.

1. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan dengan cara mencari ditribusi

frekuensi setiap variabel penelitian untuk mengetahui proporsi atau

gambaran dari variabel independen maupun variabel dependen. Pada

umumnya analisis ini hanya menghasilkan distribusi dari persentase dari

tiap variabel, sehingga di ketahui variasi dari masing-masing tabel.

2. Analisa Bivariat

Analisis Bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen, sehingga dapat

diketahui hubungan antara status gizi, kelengkapan imunisasi dan faktor

43
lingkungan dengan kejadian ISPA.

Analisa yang digunakan adalah hasil tabulasi silang. Untuk

menguji hipotesa dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji data

kategori Chi- Square Test pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05),

sehingga apabila ditemukan hasil analisis statistik p < 0,05 maka

variabel tersebut dinyatakan berhubungan secara signifikan dan data

yang diperoleh dengan menggunakan SPSS (Statistical Product and

Service Solution).

44
BAB V

HASIL PENELITIAN

A. ANALISA UNIVARIAT

Tabel 5.1 Distribusi Frekunsi Kejadian Infeksi Saluran Nafas

Akut (ISPA) Pada Balita Di Puskesmas Tanung Kota Sungai

Penuh Tahun 2022

No Kejadian ISPA Frekuensi Presentasi (%)

1. ISPA 31 63,3

2. Tidak ISPA 18 36,7

Jumlah 49 100

Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa balita di puskesmas

Tanjung Kota Sungai Penuh tahun 2022, menunjukkan kejadian balita

dengan infeksi saluran pernafasan (ISPA) 31 balita (63,3%) dan balita

yang tidak ISPA 18 balita (36,7%) balita..

45
5.2 Distribusi Frekunsi Status Gizi Pada Balita Di Puskesmas

Tanung Kota Sungai Penuh Tahun 2022

No Status Gizi Frekuensi Presentasi (%)

1. Gizi Kurang 18 36,7

2. Gizi Normal 31 63,3

Jumlah 49 100

Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa terdapat dua

kriteria status gizi yaitu balita yang memiliki status gizi kurang

berjumlah 18 balita (36,7%) balita, dan balita dengan status gizi

normal berjumlah 31 balita (63,3%) balita.

5.3. Distribusi Frekunsi Kelengkapan Status Imunisasi Pada

Balita Di Puskesmas Tanung Kota Sungai Penuh Tahun 2022

No Kelengkapan Status Imunisasi Frekuensi Presentasi (%)

1. Imunisasi Lengkap 32 65,3

2. Imunisasi Tidak Lengkap 17 34,7

Jumlah 49 100

Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa terdapat responden

yang telah mendapatkan imunisasi lengkap sebanyak 32 orang

46
(65,3%) dan responden yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap

sebanyak 17 orang (34,7%)..

Tabel 5.4 Distribusi Frekunsi Paparan Asap Rokok terhadap

Balita Di Puskesmas Tanung Kota Sungai Penuh Tahun 2022

No Faktor Lingkungan (Asap Rokok) Frekuensi Presentasi (%)

1. Terpapar Asap Rokok (Merokok) 19 38,8

2. Tidak Terpapar Asap Rokok 30 61,2


(Tidak Merokok)
Jumlah 49 100

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan bahwa dari 49 balita yang

terpapar asap rokok, sebanyak 19 balita (38,8%). Sedangkan dari 49

balita yang tidak terpapar asap rokok, sebanyak 30 balita (61,2%).

47
B. ANALISA BIVARIAT

Tabel 5.5. Hubungan status gizi dengan kejadian infeksi saluran

pernafsan akut (ISPA) Pada Balita di Puskesmas Tanjung Kota

Sungai Penuh Tahun 2022.

Kejadian ISPA
P-Value
No Status Gizi ISPA Tidak ISPA Total
F % F % F
1. Gizi Kurang 9 50 9 50 18 0,046
2. Gizi 22 71.0 9 29,0 31
Normal
Total 49

Berdasarkan tabel 5.5 dari 31 Balita yang mengalami Gizi normal

terdapat sebanyak 22 (71.0%) mengalami ISPA, sedangkan dari 18 yang

mengalami Gizi Kurang terdapat sebanyak 9 balita ( 50%) yang

menagalami dan tidak mengalami ISPA. Ini menunjukkan bahwa balita

dengan status gizi kurang sebagian mengalami kejadian ispa, sejumlah 9

balita (50,0 %) , sedangkan balita dengan status gizi normal yang tidak

mengalami ispa hanya 9 Balita (29,0%) .

Berdasarkan uji chi square diperoleh nilai dengan p-value =0.046

(p<0,05), ini menunjukan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan

kejadian ispa di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh.

48
Tabel 5.6. Hubungan Kelengkapan Status Imunisasi dengan

kejadian infeksi saluran pernafsan akut (ISPA) Pada Balita di

Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun 2022.

Kejadian ISPA
Kelengkapan P-Value
No Status ISPA Tidak ISPA Total
Imunisasi F % F % F
1. Imunisasi 11 64,7 6 35,3 17
Tidak ,0031
Lengkap
2. Imunisasi 20 62.5 12 37,5 32
Lengkap
Total 49

Berdasarkan tabel 5.6 Dari 17 Balita yang mengalami Imunisasi

Tidak lengkap terdapat sebanyak 11 (64,7%) mengalami ISPA .

Sedangkan dari 32 Balita yang Imunisasi lengkap terdapat sebanyak 12

(37,5%) yang tidak mengalami ISPA Balita . Hal ini menunjukkan bahwa

balita dengan status imunisasi tidak lengkap sebagian besar mengalami

kejadian ispa sejumlah 11 balita lebih besar dibandingkan dengan balita

dengan status imunisasi lengkap yang tidak mengalami ispa sama sekali.

Dari hasil uji Chi Square, diperoleh nilai p value sebesar 0,031 lebih kecil

daripada 0,05. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara

riwayat imunisasi dasar dan frekuensi ISPA pada balita yang datang ke

Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh.

49
Tabel 5.7 Hubungan Paparan Asap Rokok dengan kejadian

infeksi saluran pernafsan akut (ISPA) Pada Balita di Puskesmas

Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun 2022.

Kejadian ISPA
Paparan Asap P-Value
No Rokok ISPA Tidak ISPA Total
F % F % F 0,041
1. Terpapar 12 63,2 7 36,8 19
(Merokok)
2. Tidak Terpapar 19 63,3 11 36,7 30
(TidakMerokok)
Total 49

Berdasarkan tabel 5.7 dari 30 Balita yang tidak terpapar merokok

terdapat sebanyak 19 balita (63,3%) yang mengalami ISPA sedangkan dari

19 balita yang Terpapar merokok terdapat sebanyak 12 Balita (63,2%)

yang terjadi ISPA .. Dari hasil uji Chi Square, diperoleh nilai p value

sebesar 0,041 lebih kecil daripada 0,05. Hal ini mengindikasikan bahwa

terdapat hubungan antara kebiasaan merokok dengan frekuensi ISPA pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh.

50
BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Infeksi Saluran Nafas Akut (ISPA)

Pada Balita Di Puskesmas Tanung Kota Sungai Penuh Tahun

2022

Berdasarkan data diketahui bahwa balita di puskesmas Tanjung

Kota Sungai Penuh tahun 2022, menunjukkan kejadian balita dengan

infeksi saluran pernafasan (ISPA) 31 balita (63,3%) dan balita yang tidak

ISPA 18 balita (36,7%) balita. Ispa adalah infeksi saluran nafas (ISPA)

yang melibatkan organ saluran pernapasan bagian atas dan bagian bawah.

Infeksi ini di sebabkan oleh virus, jamur dan bakteri. Infeksi saluran

pernafasan akut ini terjadi pada balita karena daya tahan tubuhnya masih

rentan.

Ispa adalah infeksi saluran nafas (ISPA) yang melibatkan organ

saluran pernapasan bagian atas dan bagian bawah. Infeksi ini di sebabkan

oleh virus, jamur dan bakteri. Infeksi saluran pernafasan akut ini terjadi

pada balita karena daya tahan tubuhnya masih rentan. Infeksi saluran

pernafasan akut di awali dengan gejala yang ringan seperti demam, batuk,

hidung tersumbat, dan sakit tenggorokan. Seorang anak yang menderita

ISPA biasa menunjukkan bermacam- macam tanda dan gejala seperti

batuk, bersin, serak, sakit tenggorokan, sakit telinga, keluar cairan dari

51
telinga, sesak nafas, pernapasan yang cepat, nafas yang berbunyi,

penarikan dada ke dalam, bias mual, muntah, tak mau makan, badan lemah

dan sebagainya.

Saluran pernafasan merupakan organ yang mudah terpapar dengan

dunia luar. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem pertahanan yang efektif dan

efisien untuk mengatasinya. Kuman penyakit ISPA ditularkan dari

penderita ke orang lain melalui udara pernapasan atau percikan ludah

penderita. Pada prinsipnya kuman ISPA yang ada di udara terhisap oleh

pejamu baru dan masuk ke seluruh saluran pernafasan. Dari saluran

pernafasan kuman menyebar ke seluruh tubuh apabila orang yang

terinfeksi ini rentan maka akan terkena ISPA.

Di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh kejadian

ispa dapat terjadi mungkin karena beberapa faktor berat badan lahir yaitu

berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik pada

masa balita, bayi dengan berat badan lahir rendah mempunyai resiko

kematian lebih besar, karena pembentukan zat anti kekebalan yang kurang

sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi. Ada beberapa

hambatan yang peneliti alami saat melakukan penelitian di wilayah kerja

puskesmas tanjung dimana ada beberapa orang tua yang sibuk bekerja

sehingga susahnya mencari waktu untuk bertemu dengan orang tua balita.

Faktor status nutrisi atau gizi pada balita juga sangat berpengaruhi

terhadap terjadinya ISPA karena balita dengan gizi kurang system imunitas

dan antibody menurun sehingga anak mudah terserang infeksi. Faktor

52
status imunisasi yaitu sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis

ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat di cegah dengan

imunisasi, faktor lingkungan yaitu asap rokok dan hasil pembakaran bahan

bakar untuk memasak dengan kosentrasi tinggi dapat merusak mekanisme

pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA.

Risiko akan berlipat ganda pada anak usia dibawah dua tahun yang

daya tahan tubuhnya masih belum sempurna. ISPA pada anak dibawah dua

tahun harus diwaspadai oleh orang tua, karena dapat menyebabkan

kematian.

6.2 Distribusi Frekunsi Status Gizi Pada Balita Di Puskesmas Tanung

Kota Sungai Penuh Tahun 2022

Berdasarkan data status gizi balita bahwa terdapat dua kriteria

status gizi yaitu balita yang memiliki status gizi kurang berjumlah 18

balita (36,7%) balita, dan balita dengan status gizi normal berjumlah

31 balita (63,3%) balita.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agrina tentang

Analisa Aspek Balita Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan

Akut (Ispa) Di Rumah pada tahun 2020 di wilayah kerja Puskesmas

Sidomulyo, diperoleh hasil bahwa status gizi responden baik sebanyak

229 orang (87,4%), status gizi kurang sebanyak 20 orang (7,6%),

status gizi buruk sebanyak 5 orang (1,9%) , dan status gizi lebih

sebanyak 8 orang (3,1%). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas status

53
gizi responden anak adalah baik namun masih ditemukan status gizi

kurang dan buruk dengan hasil uji statistik diperoleh nilai p value =

0,017 dengan OR= 0,332 yang menunjukan bahwa ada pengaruh

secara bermakna antara status gizi anak dengan kejadian ISPA.

Keadaan status gizi dipengaruhi oleh penyebab langsung dan

tidak langsung. Penyebab langsung adalah faktor makanan anak dan

penyakit infeksi yang diderita anak. Sedangkan penyebab tidak

langsung adalah ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak,

serta pelayanan kesehatan lingkungan.Status gizi adalah keadaan

keseimbangan tubuh sebagai akibat pemasukan konsumsi makanan

dan penggunaan zat-zat gizi yang di gunakan oleh tubuh untuk

kelengkapan hidup dalam mempertahankan fungsi-fungsi organ tubuh.

Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui

oleh setiap orang tua karena pada usia balita sangat rentan terhadap

penyakit dan mempermudah terjadinya penurunan status gizi.

Penentuan status gizi dilakukan berdasarkan berat badan (BB)

menurut panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau

BB/TB).

Gizi kurang adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan

kekurangan nutrisi atau nutrisi di bawah rata-rata, salah satu faktor

penyebab terjadinya gizi kurang pada balita adalah faktor sosial yaitu

rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan bergizi

bagi pertumbuhan anaknya dan juga sering disebkan karena faktor

54
penyakit infeksi yang di derita anak. ketika balita mengalami masalah

gizi secara fisiologis tubuhnya melakukan mekanisme koping

regulator. Akan tetapi tubuhnya tidak mendapatkan nutrisi yang lebih

untuk menopang daya tahan tubuhnya terhadap serangan agent

penyebab infeksi akibatnya terjadi proses inadaptive pada sistem

respirasi sehingga terjadilah ISPA.

Dampak yang di sebabkan oleh gizi kurang ialah pertumbuhan

anak menjadi terganggu, terganggunya fungsi otak secara permanen

seperti perkembangan IQ, system imunitas dan antibody menurun

sehingga anak mudah terserang infeksi. Oleh sebab itu dibutuhkan

penanganan khusus untuk mengobati balita yang mengalami gizi

buruk, pada stadium ringan dengan perbaikan gizi dan balita dengan

gisi buruk stadium berat cenderung lebih komplek.

Ada beberapa hambatan yang peneliti alami saat melakukan

penelitian di wilayah kerja Puskesmas Tanjung dimana ada beberapa

orang tua yang mempunyai balita gizi kurang yang tidak koperatif

karena malu dan tidak mau anaknya dilihat oleh orang bnyak.

6.3 Distribusi Frekunsi Kelengkapan Status Imunisasi Pada Balita Di

Puskesmas Tanung Kota Sungai Penuh Tahun 2022

Berdasarkan data dapat diketahui bahwa terdapat responden

yang telah mendapatkan imunisasi lengkap sebanyak 32 orang

55
(65,3%) dan responden yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap

sebanyak 17 orang (34,7%).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ibnu Malik

(2019) tentang Cakupan Imunisasi Dasar dengan Kejadian ISPA pada

Balita Usia 1-3 Tahun di Wilayah Puskesmas Wonosari 1 Kabupaten

Gunungkidul, menunjukan bahwa sebanyak 14 balita (28%) imunisasi

dasar tidak lengkap dan ISPA, selanjutnya responden dengan cakupan

imunisasi dasar tidak lengkap dan tidak ISPA sebanyak 3 balita (6%).

Imunisasi merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk

mencegah terjadinya suatu penyakit dengan cara memberikan

mikroorganisme bibit penyakit berbahaya yang telah dilemahkan

dalam bentuk vaksin kedalam tubuh sehingga merangsang sistem

kekebalan tubuh terhadap jenis antigen. Imunisasi dasar lengkap

memberikan upaya imunitas pada bayi berusia 0-12 bulan agar

terhindar dari berbagai penyakit Pemberian imunisasi yang secara

rutin sesuai umur anak sangat berperan untuk masa pertumbuhan dan

perkembangan karena imunisasi dapat memelihara sel, meningkatkan

respon antibodi terhadap toksoid dan dapat meningkatkan jumlah

limfosit total, sehinga pertumbuhan dan perkembangan dapat

berlangsung dengan maksimal.

Status imunisasi dasar lengkap yang diteliti pada anak balita di

Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh dilakukan dengan cara

56
mengobservasi dengan melihat KMS/KIA balita. Anak balita

dikatakan status imunisasinya lengkap apabila telah mendapatkan

keseluruhan imunisasi dasar. imunisasi dasar lengkap yang diberikan

bukan untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap ISPA secara

langsung, melainkan hanya untuk mencegah faktor yang dapat

memacu terjadinya ISPA.

Dalam kerangka konsep yang digunakan peneliti bedasarkan

teori Calissta Roy dijelaskan bahwa status imunisasi digambarkan

sebagai stimulus dalam tubuh balita yang membantu melindungi tubuh

terhadap serangan agent penyebab penyakit. Secara normal apabila

daya tahan tubuh kuat maka tubuh akan memberikan reaksi

perlawanan terhadap masuknya agent (virus/bakteri) kedalam sistem

respiras. Akan tetapi ketika seorang balita dengan daya tahan

tubuhnya lemah terpajan virus/bakteri penyebab ISPA, meskipun telah

mendapatkan imunisasi lengkap balita akan dapat mengalami penyakit

ISPA.. Jadi status imunisasi yang lengkap pada balita tidak dapat

menjamin bahwa balita dapat terhindar dari ISPA

Imunisasi merupakan peranan penting dalam menciptakan daya

tahan tubuh Balita. Balita yang memiliki status imunisasi tidak

lengkap seperti masih banyaknya Balita yang tidak mendapatkan

imunisasi campak dikarenakan ibu Balita yang berpikir jika

diimunisasi anaknya akan mengalami campak dan demam setelah

diimunisasi sehingga ibu tidak membawa anaknya ke Posyandu.

57
Ada beberapa hambatan yang peneliti alami saat melakukan

penelitian di wilayah kerja puskesmas tanjung dimana ada beberapa

orang tua yang sibuk bekerja sehingga susahnya mencari waktu untuk

bertemu dengan orang tua balita dan menganggap bahwa imunisasi

pada balita tidak terlalu penting karena balita zaman dulu tidak pakai

imunisasi.

6.4 Distribusi Frekunsi Paparan Asap Rokok terhadap Balita Di

Puskesmas Tanung Kota Sungai Penuh Tahun 2022

Berdasarkan data didapatkan bahwa dari 49 balita yang terpapar

asap rokok, sebanyak 19 balita (38,8%). Sedangkan dari 49 balita yang

tidak terpapar asap rokok, sebanyak 30 balita (61,2%).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rudianto pada

tahun 2018 tentang Faktor- faktor yang berhubungan dengan gejala

infeksi saluran nafas akut (ISPA) pada balita di 5 posyandu desa

tamnsari, diketahui bahwa dari 68 responden terdapat 54 anggota

keluarga (79,4%) yang terbiasa merokok didalam rumah dan 14

anggota keluarga (20,6%) tidak merokok. Berdasarkan hasil uji chi

square didapatkan nilai p value 0,049 (p value > 0,05) yang terdapat

hubungan antar kejadian ISPA dengan kebiasaan merokok anggota

kelurga.

Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan

memperbesar resiko anggota keluarga yang menderita sakit, seperti

58
gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit

angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat

serangan ISPA khususnya pada balita. Anak- anak yang orangtuanya

merokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu,

asma, pneumonia dan penyakit saluran pernapsan lainnya. Gas

berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu

dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat dikeluarkan, menyebabkan

bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di jaringan paru yang

mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-

paru dan mengakibatkan pecahnya kantong udara.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar kepala

keluarga merupakan perokok aktif, hal ini dapat menganggu perokok

pasif yaitu anggota keluarga yang tidak merokok namun terkena asap

rokok, terutama balita-balita yang sering terkena dampaknya. Karena

perokok pasif lebih sering berada didekat keluarga yang mempunyai

kebiasaan merokok sehingga udara yang di hirupnya sudah

terkontaminasi oleh asap rokok yang mengakibatkan radang

tenggorokan, penyakit asma dan penyakit pernafasan lainnya. Untuk

menghindari hal tersebut maka diperlukan kesadaran diri dan saling

mengerti bagi keluarga yang mempunyai kebiasaan merokok untuk

tidak merokok didalam rumah dan bahkan dilingkungan rumah hal ini

bertujuan untuk meminimalisir terjadinya penyakit pernafasan yang

disebabkan oleh asap rokok.

59
Terdapat hambatan yang dialami oleh peneliti saat melakukan

penelitian di wilayah Kerja Puskesma Tanjung Kota Sungan Penuh

dimana adanya anggota keluarga yang mengganggap kalau asap rokok

hanya berpengaruh pada perokok yang aktif saja, sehingga awalnya

menolak untuk peneliti jadikan responden, tetapi setelah peneliti

jeleskan sehingga mau untuk menjadi responden.

6.5 Hubungan status gizi dengan kejadian infeksi saluran pernafsan

akut (ISPA) Pada Balita di Puskesmas Tanjung Kota Sungai

Penuh Tahun 2022.

Berdasarkan tabel 2.1 dari 31 Balita yang mengalami Gizi

normal terdapat sebanyak 22 (71.0%) mengalami ISPA, sedangkan

dari 18 yang mengalami Gizi Kurang terdapat sebanyak 9 balita ( 50%)

yang menagalami dan tidak mengalami ISPA. Ini menunjukkan bahwa

balita dengan status gizi kurang sebagian mengalami kejadian ispa,

sejumlah 9 balita (50,0 %) , sedangkan balita dengan status gizi

normal yang tidak mengalami ispa hanya 9 Balita (29,0%) .

Berdasarkan uji chi square diperoleh nilai dengan p-value

=0.046 (p<0,05), ini menunjukan bahwa ada hubungan antara status

gizi dengan kejadian ispa di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Kota

Sungai Penuh.

Balita yang mengalami kekurangan energy-protein akan

mengalami gangguan pada fungsi otak secara permanen dan anak

60
menjadi tidak aktif, cengeng dan apatis. Kurang gizi akan menurunkan

kekebalan daya tahan tubuh sehingga balita akan lebih mudah

terserang virus-virus yang menyebabkan infeksi saluran pernafasan

akut (ISPA).

Status gizi yang baik pada balita sangat di perlukan karena dapat

terhindar dari penyakit-penyakit seperti ispa. Status gizi baik dapat

tercapai jika asupan gizi balita sesuai dengan kebutuhannya dan para

orang tua dapat mengontol status gizi balita melalui antropometri berat

badan menurut umur pada KMS. Hasil penelitian ini sesuai dengan

teori yang dikemukakan Calista Roy dalam kerangka konsep yang

digunakan. Bahwa status gizi merupakan salah satu stimulus dalam

tubuh balita yang secara normal membantu menjaga daya tahan tubuh

dari serangan agent penyebab penyakit termasuk infeksi.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Kartasasmita (2019),

diketahui bahwa prevalensi ISPA cendrung lebih tinggi pada anak

dengan status gizi buruk. Status gizi merupakan faktor risiko yang

paling berpengaruh dalam kejadian ISPA pada balita. Penelitian ini

juga sejalan dengan dengan penelitian dari Yuliastuti yang berjudul

Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA

pada Balita, hasil analisis bivariat dengan uji Chi-Square didapatkan

ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA.

Berbeda dengan penelitian Fransiska (2019) menurut hasil

penelitiannya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status

61
gizi dengan kejadian ISPA dimana dari hasil uji statistik nilai p = 0,22

> 005.

Hasil ini sejalan dengan teori yang mengatakan gizi merupakan

satu penentu kualitas sumber daya manusia. Gangguan gizi akan

menurunkan imunitas seluler, kelenjar timus dan tonsil menjadi atrofik

serta jumlah T-limfosit berkurang, sehingga tubuh akan menjadi lebih

rentan terhadap terjadinya penyakit atau infeksi. Penyakit infeksi

disebabkan oleh daya tahan tubuh yang lemah sehingga berdampak

terhadap masalah kesehatan yang diakibatkan kekebalan tubuh

terhadap invasi patogen menurun

Menurut Rodriguez menjelaskan bahwa zat gizi yang diperole h

dari asupan makanan memiliki efek kuat untuk reaksi kekebalan tubuh

dan resistensi terhadap infeksi. Pada kondisi kurang energi protein

(KEP), dapat menyebabkan ketahanan tubuh menurun dan virulensi

patogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang

terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu determinan

utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status

gizi.

Status gizi yang buruk akan lebih mudah terserang ISPA dan balita

yang menderita ISPA dapat menyebabkan balita mengalami gangguan

status gizi akibat gangguan metabolisme tubuh. Status gizi sangat

mempengaruhi kesehatan seseorang dimana dengan mendapatkan

status gizi yang baik maka kita tidak rentan terhadap penyakit yang

62
sering terjadi terutama pada balita yang sangat rentan dengan penyakit.

Dengan mendapat kan status gizi yang baik anak balita tidak akan

terserang penyakit ISPA. Status gizi yang buruk akan lebih mudah

terserang ISPA dan balita yang menderita ISPA dapat menyebabkan

balita mengalami gangguan status gizi akibat gangguan metabolisme

tubuh. Tingkat keparahan ISPA sangat mempengaruhi terjadinya

gangguan status gizi pada balita, semakin parah ISPA yang diderita

balita maka akan dapat mengakibatkan status gizi yang buruk pada

balita dan sebaliknya balita yang mengalami gizi buruk maka ISPA

yang diderita akan semakin parah.

6.6 Hubungan Kelengkapan Status Imunisasi dengan kejadian infeksi

saluran pernafsan akut (ISPA) Pada Balita di Puskesmas Tanjung

Kota Sungai Penuh Tahun 2022.

Berdasarkan tabel 2.2 Dari 17 Balita yang mengalami Imunisasi

Tidak lengkap terdapat sebanyak 11 (64,7%) mengalami ISPA .

Sedangkan dari 32 Balita yang Imunisasi lengkap terdapat sebanyak 12

(37,5%) yang tidak mengalami ISPA Balita . Hal ini menunjukkan

bahwa balita dengan status imunisasi tidak lengkap sebagian besar

mengalami kejadian ispa sejumlah 11 balita lebih besar dibandingkan

dengan balita dengan status imunisasi lengkap yang tidak mengalami

ispa sama sekali. Dari hasil uji Chi Square, diperoleh nilai p value

sebesar 0,031 lebih kecil daripada 0,05. Hal ini mengindikasikan

63
bahwa terdapat hubungan antara riwayat imunisasi dasar dan frekuensi

ISPA pada balita yang datang ke Puskesmas Tanjung Kota Sungai

Penuh

Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara

riwayat imunisasi dasar dan frekuensi ISPA pada balita yang datang ke

Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nasution (2019)

yang dilakukan dengan desain cross sectional dimana hasil penelitian

ini yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat imunisasi

dasar dengan terjadinya ISPA pada balita. g Tahun 2019. Penelitian ini

juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuliastuti (2018)

tentang Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian

ISPA pada Balita di Puskesmas Cempaka Banjar baru menggunakan

uji Chi-Square dengan tingkat signifikasi p-value 0,05 diperoleh hasil

p =0,000. Berbeda dengan hasil penelitian Indrawan (2017) yang

dilakukan dengan desain penelitian cross sectional di Puskesmas

Simpang Periuk kota Lubuk Linggau yang memperlihatkan hubungan

yang tidak bermakna antara status imunisasi dasar dengan terjadinya

ISPA pada balita.

Hubungan status imunisasi dengan ISPA pada balita tidak secara

langsung. Kebanyakan kasus ISPA terjadi disertai dengan komplikasi

campak yang merupakan faktor risiko ISPA yang dapat dicegah

dengan imunisasi. Jadi, imunisasi campak dan DPT yang diberikan

64
bukan untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap penyakit ISPA

secara langsung, melainkan hanya untuk mencegah faktor yang

memicu terjadinya ISPA. Dari paparan diatas peneliti beranggapan

bahwa kejadian penyakit ISPA pada anak balita tidak dipengaruhi oleh

Status imunisasi melainkan oleh faktor lain, dimana kasus ISPA pada

anak balita masih tinggi dikarena Daya tahan tubuh yang rendahlah

yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada anak balita.

Hal ini disebabkan karena Balita dengan status imunisasi

lengkap memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik untuk mencegah

terjadinya penyakit atau penularan penyakit seperti ISPA, sebaliknya

Balita dengan status imunisasi tidak lengkap akan cenderung memiliki

sistem kekebalan tubuh yang lemah sehingga memudahkan untuk

terjadinya penyakit seperti ISPA. Sebagian besar kematian ISPA

berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat

dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, dan campak, maka

cakupan peningkatan imunisasi akan berperan besar dalam upaya

pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan

mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap

65
6.7 Hubungan Paparan Asap Rokok dengan kejadian infeksi saluran

pernafsan akut (ISPA) Pada Balita di Puskesmas Tanjung Kota

Sungai Penuh Tahun 2022.

Berdasarkan tabel 2.3 dari 30 Balita yang tidak terpapar

merokok terdapat sebanyak 19 balita (63,3%) yang mengalami ISPA

sedangkan dari 19 balita yang Terpapar merokok terdapat sebanyak 12

Balita (63,2%) yang terjadi ISPA .. Dari hasil uji Chi Square,

diperoleh nilai p value sebesar 0,041 lebih kecil daripada 0,05. Hal ini

mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan merokok

dengan frekuensi ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Tanjung Kota Sungai Penuh

Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara

kebiasaan merokok dengan frekuensi ISPA pada balita di wilayah kerja

Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh.

Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Hidayat (2019)

bahwa keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai

kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari

keluarga yang tidak merokok. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh

Winarni (2020) tentang hubungan antara perilaku merokok orang tua

yang tinggal dalam satu rumah dengan kejadian ISPA pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Sempor II Kabupaten kebumen Tahun 2019

yang menyatakan bahwa adalah hubungan antara perilaku merokok

orang tua di dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita. selain itu

66
juga penelitian yang dilakukan oleh Susilo (2018) tentang faktor yang

berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

bagian atas pada balita di Desa Ngrundul Kecamatan Kebonarum

Kabupaten Klaten bahwa terdapat hubungan adanya anggota keluarga

yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita.

Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu

atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat

tinggal yang serius serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan

toksik pada anak-anak. Paparan yang terus menerus akan menimbulkan

gangguan pernafasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran

pernafasan akut dan gangguan paru-paru pada saat dewasa. Semakin

banyak rokok yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan

resiko terhadap kejadian ISPA, khususnya apabila merokok dilakukan

oleh ibu bayi. Anak yang orang tuanya merokok akan mudah

menderita penyakit gangguan pernafasan. merokok didalam rumah

sehingga penghuni rumah terutama balita terpapar asap rokok.

Keterpaparan asap rokok pada balita sangat tinggi pada saat berada

didalam rumah. Hal ini disebabkan karena anggota keluarga biasanya

merokok didalam rumah pada saat bersantai bersama anggota keluarga

lainnya misalnya pada saat menonton TV atau setelah selesai makan.

Dari penelitian ini dan berbagai teori menunjukkan bahwa

kejadian ISPA sebagian besar terjadi pada balita yang keluarganya

mempunyai kebiasaan merokok. hal ini disebabkan karena balita-balita

67
merupakan perokok pasif yang mudah terkena saluran pernapasan akut

atau seringkali kita sebut sebagai ISPA.

68
BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan di Puskesmas Tanjung Kota

Sungai Penuh Tahun 2022 dapat di tarik kesimpulan :

1. Sebahagian besar responden sebanyak 31 Balita (66,3%) memiliki status

Gizi yang Normal di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh

Tahun 2022

2. Sebahagian besar responden sebanyak 32 Balita (65,3%) memiliki status

imunisasi yang lengkap di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai

Penuh Tahun 2022

3. Sebahagian besar responden sebanyak 30 Balita (61.2 %) memiliki tidak

terpapar dengan (tidak merokok) asap rokok di wilayah kerja Puskesmas

Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun 2022

4. Sebahagian besar responden sebanyak 31 Balita (63,3%) terjadi ISPA di

wilayah kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun 2022

5. Terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian ispa di wilayah

kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh, tahun 2022 dengan p value

0.046< 0.05.

6. Terrdapat hubungan antara riwayat imunisasi dasar dan frekuensi ISPA

pada balita yang datang ke Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh. tahun

2022 dengan p value 0.031< 0.05.

7. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan frekuensi ISPA pada

69
balita di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh, tahun

2022 dengan p value 0.041< 0.05.

7.2 Saran

1. Bagi Puskesmas

Diharapkan kepada Puskesmas untuk lebih memperhatikan masalah

gizi balita yang ada di wialayah kerja Puskesmas khususnya balita yang

melalukan imunisasi tidak rutin di Puskesmas agar kejadian penyakit

pada ISPA atau penyakit lainnya dapat diketahui dan dapat segera

diatasi. Kemudian balita dengan kelurga yang perokok aktif agar

diberikan penkes kepada anggota kelurga agar tidak merokok didalam

rumah. Kepada puskesmas juga diharapkan agar dapat memberikan

penyuluhan-penyuluhan dari rumah ke rumah mengenai penyebab ISPA ,

dampak ISPA dan cara menanganinya.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Harapan penulis kepada institusi pendidikan agar penelitian yang telah

dilakukan ini dapat menjadi rekomendasi untuk peneliti selanjutnya

tentang perawatan ISPA yang benar oleh keluarga dirumah , sehingga

mahasiswa dapat meningkatkan kualitas penelitiannya dengan melakukan

perbandingan teori-teori.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hendaknya dapat dijadikan masukan dan pertimbangan serta

sebagai bahan informasi yang bermanfaat bagi peneliti selanjutnya. Serta

70
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor lain yang

berhubungan dengan ISPA pada balita dengan variabel yang berbeda.

4. Bagi Tenaga Kesehatan

Sebagai acuan bagi tenaga kesehatan dalam promosi UBM ( Usaha

Berhenti Merokok), sebagai acuan dalam promosi kesehatan tentang

pentinnya kelengkapan imunisasi dan pentingnya dalam menjaga status

gizi balita normal.

71
DAFTAR PUSTAKA

Aini, Nur, D., Arifianto, & Sapitri. (2019). Pengaruh pemberian posisi terhadap
respiratory rate pasien TB Paru di ruang Flamboyan RSUD. Soewondo Kendal . 1,
1–9. Junal Ilmu Keperawatan.
Agrina (2020). Analisa Aspek Balita Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (Ispa) Di Rumah.
Andani, E. . (2018). Posisi High Fowler (90o) Dan Semi Fowler (45o) Dengan
Kombinasi Pursed Lips Breathing Terhadap Peningkatan Saturasi
Repository.Stikes-Bhm.Ac.
Anwar, 2019. Pentingnya Gizi bagi Manusia. Available at: www.digilib.
unila.ac.id/178/3/ [Accessed August 15, 2019]
Asrun, 2018. Kasus Kematian Pada Anak. Available at: http://depkes.go.id/ [Accessed
August 10, 2018]Black joyce. M & Jane Hokanse Hawks. 2014. Medical
Surgical Nursing vol 2. Jakarta: Salemba Medika.
BPS (Badan Pusat Statistik). 2018. Kabupaten Kerinci Dalam Rangka Regency in Figures
2018. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci. Dikutip dari
file:///C:/Users/SRKOMP~1/AppData/Local/Temp/68079076Kerinci%20Da
lam%20Angka%202018.pdf pada tanggal 20 April 2021.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS
2019). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2019.
Behreman Richard E, RE Kliegman, AM Arvin. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Nealson.
Terjemahan Oleh: A. Samrik Wahab, EGC, Jakarta, Indonesia.
Depkes. 2018. Tembakau dan Prevalensi Konsumsi di Indonesia. Jakarta : Depkes.

Depkes RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2020. Jakarta: Depkes RI. 2020
Dean Hess, Neil R. MacIntyre, William F. Galvin · 2020. Respiratory Care: Principles
and Practice. Fourth edition. Jones & barlet: America. Dikutip Dari https ://www
.google. co. id/ books /edition /Respiratory _Care/ pada tanggal 3 Mei 2020
GINA (Global Initiative for Asthma). 2020. Pocket Guide for Asthma Management And
Prevention (for Adults and Children Older than 5 Years). Dikutip dari
https://ginasthma.org.pdf pada tanggal 25 April 2020.

72
Hammond, BB & Zimmermann PG. 2017. Sheeshy’s Emergency and Disaster Nursing-
1st Indonesian Edition. Elsevier: Singapura.
Hassan R, Alatas H. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Jakarta,
Indonesia. 2018. halaman 550 - 556.
Marhamah. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Anak Balita di Desa
Bontongan Kabupaten Enrekang Makassar. Skripsi pada jurusan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar yang tidak
dipublikasikan. 2019.
Nasution, dkk. Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di Daerah Urban Jakarta. Sari
Pediatri, Vol. 11, No. 4, Desember 2019.
Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar). 2018. Hasil Utama Riskesdas 2018. Kemenkes: Badan
Penelitian dan Pengembangan. Dikutip dari
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil -
riskesdas-2018_1274.pdf pada tanggal 25 April 2020. Smeltzer, S.C & Bare. 2015.
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
WHO (World Health Organzation). 2020. Asthma. Dikutip dari
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/ asthma pada tanggal 20 April
2020.

73
Lampiran 1.

PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Setelah membaca dan memahami isi penjelasan pada lembaran pertama

(Lembaran Permohonan Responden), saya menyatakan bersedia turut

berpartisipasi sebagai responden pada penelitian tanpa ada unsur paksaan yang

dilakukan mahasiswa Institut Prima Nusantara Bukittinggi yang bernama Elfina

Yunara dengan judul “Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian

infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Anak Balita Usia 1-5 Tahun Di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh Tahun 2022”.

Saya memahami bahwa penelitian ini tidak akan berakibat negative pada

saya, oleh karena itu saya bersedia menjadi responden pada penelitian ini.

74
Lampiran 2.

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN


(INFORMED CONSENT)
Kepada Yth
Bapak/Ibu responden
Di tempat

Dengan hormat

Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah mahasiswi Stikes Syeadza Saintika
Padang.

Nama : ELFINA YUNARA


Nim : 201000414201087
Alamat : Desa Koto Baru,kecamatan Koto Baru , Kota Sungai Penuh

Akan Mengadakan penelitian dengan judul “Faktor –Faktor yang

Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada

Anak Balita Usia 1-5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Kota Sungai

Penuh Tahun 2022”.Penelitian ini tidak menimbulkan kerugian bagi Bapak/Ibu

sebagai responden, Kerahasiaan semua informasi yang diberikan akan dijaga dan

hanya digunakan untuk kepentingan peneliti.

Apabila Bapak/Ibu menyetujui, Maka saya mohon kesediaannya untuk

menandatangani surat persetujuan dan menjawab pernyataan saya bersama surat

ini. Atas perhatian Bapak/Ibu sebagai responden, saya ucapkan terima kasih.

Sungai Penuh, Juni 2022

Peneliti

75
ELFINA YUNARA

KUESIONER PENELITIAN

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian (Infeksi Saluran


Pernafasan Akut) ISPA pada balita 1-5 tahun diWilayah Kerja
Puskesmas Tanjung Kota Sungai Penuh 2022.

Inisial Nama : An.


Alamat :
Usia : bulan/ tahun
Diagnosa :

A. Status Gizi Anak

Berat Badan (BB) Tinggi Badan (TB)

INDIKATOR INTERPRETASI Skala


Berat badan menurut panjang Gizi Kurang -3 SD sampai dengan <
badan atau tinggi badan ( BB / TB -2 SD
) anak usia 0-60 bulan
(Peraturan Menteri Kesehatan
nomor 2 tahun 2020 Standar Gizi Normal -2 SD sampai dengan
+2 SD
Antropometri Anak)

76
Petunjuk pengisian:
Isilah tanda ceklist (√) yang sesuai jawaban atau pemeriksaan balita. No. Kode
: .................................
B. Kelengkapan imunisasi:

Vaksin Usia
Imunisasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Hepatitis
B
BCG
POLIO
DPT
HiB
CAMPAK

C. Faktor Lingkungan  Kosumsi Rokok :


Berapa jumlah angggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah anda ?

Anggota Keluarga Merokok Tidak Merokok


Ayah
Ibu
Anggota Keluarga Lain

Anggota Keluarga Lain

Anggota Keluarga Lain

Anggota Keluarga Lain

Anggota Keluarga Lain

Anggota Keluarga Lain

77
D. Kejadian ISPA Balita

Nama Anak :………………………………..

Umur Anak :……………………………….

No Indikator Keterangan
Ya Tidak
1 Batuk batuk
2 Ingusan
3 Pilek
4 Panas

ISPA = Bila Terdapat salah Satu Tanda


Tidak ISPA = Bila Tidak terdapat tanda
Hasil Olahan SPSS

Statistics

StGiziBalita KlkpImunisasi KebiasanMrk ISPA.Balita

N Valid 49 49 49 49

Missing 0 0 0 0

StGiziBalita

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid GiziKurang 18 36.7 36.7 36.7

GiziNormal 31 63.3 63.3 100.0

Total 49 100.0 100.0

KlkpImunisasi

78
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid TidakLengkap 17 34.7 34.7 34.7

Lengkap 32 65.3 65.3 100.0

Total 49 100.0 100.0

KebiasanMrk

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Merokok 19 38.8 38.8 38.8

TidakMerokok 30 61.2 61.2 100.0

Total 49 100.0 100.0

ISPA.Balita

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid ISPA 31 63.3 63.3 63.3

TidakISPA 18 36.7 36.7 100.0

Total 49 100.0 100.0

79
80
Crosstab

ISPA.Balita

ISPA TidakISPA Total

StGiziBalita GiziKurang Count 9 9 18

Expected Count 11.4 6.6 18.0

% within StGiziBalita 50.0% 50.0% 100.0%

GiziNormal Count 22 9 31

Expected Count 19.6 11.4 31.0

% within StGiziBalita 71.0% 29.0% 100.0%

81
Total Count 31 18 49

Expected Count 31.0 18.0 49.0

% within StGiziBalita 63.3% 36.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 2.154 1 .142
b
Continuity Correction 1.347 1 .046

Likelihood Ratio 2.133 1 .144

Fisher's Exact Test .219 .123

Linear-by-Linear Association 2.110 1 .146


b
N of Valid Cases 49

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.61.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for StGiziBalita


.409 .122 1.367
(GiziKurang / GiziNormal)

For cohort ISPA.Balita =


.705 .421 1.178
ISPA

For cohort ISPA.Balita =


1.722 .840 3.533
TidakISPA

N of Valid Cases 49

Crosstab

ISPA.Balita Total

82
ISPA TidakISPA

KlkpImunisasi TidakLengkap Count 11 6 17

Expected Count 10.8 6.2 17.0

% within KlkpImunisasi 64.7% 35.3% 100.0%

Lengkap Count 20 12 32

Expected Count 20.2 11.8 32.0

% within KlkpImunisasi 62.5% 37.5% 100.0%

Total Count 31 18 49

Expected Count 31.0 18.0 49.0

% within KlkpImunisasi 63.3% 36.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square .023 1 .879
b
Continuity Correction .000 1 .031

Likelihood Ratio .023 1 .879

Fisher's Exact Test 1.000 .566

Linear-by-Linear Association .023 1 .880


b
N of Valid Cases 49

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.24.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for KlkpImunisasi


1.100 .323 3.746
(TidakLengkap / Lengkap)

For cohort ISPA.Balita =


1.035 .665 1.611
ISPA

83
For cohort ISPA.Balita =
.941 .430 2.061
TidakISPA

N of Valid Cases 49

Crosstab

ISPA.Balita

ISPA TidakISPA Total

KebiasanMrk Merokok Count 12 7 19

Expected Count 12.0 7.0 19.0

% within KebiasanMrk 63.2% 36.8% 100.0%

TidakMerokok Count 19 11 30

Expected Count 19.0 11.0 30.0

% within KebiasanMrk 63.3% 36.7% 100.0%

Total Count 31 18 49

Expected Count 31.0 18.0 49.0

% within KebiasanMrk 63.3% 36.7% 100.0%

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square .000 1 .990
b
Continuity Correction .000 1 .041

Likelihood Ratio .000 1 .990

Fisher's Exact Test 1.000 .612

Linear-by-Linear Association .000 1 .990


b
N of Valid Cases 49

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.98.

b. Computed only for a 2x2 table

84
Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for KebiasanMrk


.992 .301 3.268
(Merokok / TidakMerokok)

For cohort ISPA.Balita =


.997 .643 1.546
ISPA

For cohort ISPA.Balita =


1.005 .473 2.135
TidakISPA

N of Valid Cases 49

85

Anda mungkin juga menyukai