0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
23 tayangan9 halaman
Reta merasa sedih karena teman-temannya memusuhinya. Sahabatnya Tita memberi semangat untuk tidak menyerah. Reta ikut lomba baca puisi dan berhasil menjadi juara. Mona yang dulu menghina Reta kini meminta maaf dan mereka berteman. Reta bersyukur karena kini diterima oleh teman-temannya.
Reta merasa sedih karena teman-temannya memusuhinya. Sahabatnya Tita memberi semangat untuk tidak menyerah. Reta ikut lomba baca puisi dan berhasil menjadi juara. Mona yang dulu menghina Reta kini meminta maaf dan mereka berteman. Reta bersyukur karena kini diterima oleh teman-temannya.
Reta merasa sedih karena teman-temannya memusuhinya. Sahabatnya Tita memberi semangat untuk tidak menyerah. Reta ikut lomba baca puisi dan berhasil menjadi juara. Mona yang dulu menghina Reta kini meminta maaf dan mereka berteman. Reta bersyukur karena kini diterima oleh teman-temannya.
Gadis itu terlihat murung. Ia duduk menyendiri di sudut kelas diselimuti perasaan sedih dan gelisah. Sesekali matanya menatap halaman demi halaman buku buku Fisika yang membentang di hadapannya. Tak satupun dari tulisan yang ada pada buku itu melekat di kepalanya. Huruf yang tetulis rapi itu seakan meloncat-loncat entah kemana, melayang, menerawang ke angkasa menemani kegelisahan yang ia rasakan. “Hei....lagi ngapain? membaca atau menghayal?” Sebuah suara tiba-tiba datang menyentakkan Reta. Sebuah suara yang sangat dikenalnya. Reta menoleh sekilas ke arah suara itu sambil tersenyum getir. Oh, kamu Ta. Nggak kok, aku nggak menghayal,” elak Reta sambil menunduk. “Ta, aku ini sahabatmu.” ujar Tita seraya memegang pundak Reta. “Tak biasanya kamu begini. Jika kamu punya masalah, ceritakan padaku,” ujar Tita tulus. Reta menarik napas panjang. Ucapan Tita seakan memberi ruang baginya untuk bisa bernapas. Gadis itu menatap Tita yang masih tersenyum menanti dirinya untuk mengutarakan kegalauannya. “Kamu punya masalah?” tanya Tita tak sabar. Reta menggeleng lemah. “ Kalau tak ada masalah, kenapa murung?” desak Tita. “Ayolah Ta, jangan sembunyi dariku. Aku tahu, kamu gadis periang. Jika ada sesuatu yang mengganjal dalam hatimu, aku siap mendengarnya. Yaaa... siapa tahu aku bisa membantumu”, bujuk Tita. Ia menatap Reta dengan lembut, masih dengan senyum yang menghiasi bibir mungilnya. “Aku hanya sedih dan heran. Mengapa teman-teman di kelas ini tak mau berteman denganku seakan mereka memusuhiku. Apa salahku Ta?” Kali ini Reta tak dapat menahan telaga bening yang mulai mebasahi pipi merahnya. Ia menunduk sambi terisak. “Ta, kamu tak usah hiraukan mereka,” bujuk Tita seraya menyeka air mata Reta. “Masih ada aku, Tita sahabatmu dalam suka dan duka. Mungkin karena mereka belum kenal dekat denganmu sehinggga terkesan memusuhimu.” jelas Tita bijaksana. “Tapi Ta...” “Sssssst.... ngak ada tapi-tapian,” potong Tita cepat. “Yang penting, kamu jangan berpikir terlalu jauh tentang mereka. Aku hanya ingin melihatmu tersenyum seperti hari-hari kemarin,” kata Tita tegas. “Terimakasih, Ta. Kamu memang sahabatku yang paling baik,” ujar Reta sambil sambil tersenyum dan dibalas dengan anggukan lembut Tita. “Terimakasih Tuhan, Engkau telah mengirimkan sahabat yang terbaik untukku,” batin Reta seraya menengadah. “Heii... ngapain komat-kamit segala. Baca mantra ya?” ledek Tita dan dibalas dengan cubitan halus khas Reta. Terdengar tawa memecah berderai diantara mereka. Kedua sahabat itu pun terlibat dalam perdebatan serius seputar pelajaran yang akan segera dimulai. Selang beberapa waktu berlalu, jam istirahat pun tiba. Namun, sebelum siswa di kelas X.3 berlari memburu kantin, tiba-tiba Bu Mimi, guru Bahasa Indonesia, masuk ke kelas mereka. “Maaf, Ibu minta waktu sebentar,” Bu Mimi memulai. “Dalam rangka menyambut Bulan Bahasa pada bulan Oktober ini, sekolah kita akan mengadakan lomba baca puisi antarkelas. Pemenangnya akan mewakili sekolah ditingkat kota. Bagi siswa yang berminat, silakan daftar sekarang.” ujar Bu Mimi tegas sambil melemparkan pandangan pada seisi kelas. “Ada yang berminat?” tanya Bu Mimi lagi. “Saya Bu,” dengan semangat Reta maju menghampiri Bu Mimi diiringi tatapan aneh dan sinis dari teman-temanya. Namun Reta tak mempedulikan semua itu. “Baik. Siapa lagi?” ulang Bu Mimi . Semua diam membisu. “Baiklah, nanti sepulang sekolah kamu berkumpul di aula sekolah untuk menerima arahan.” jelas Bu Mimi. “Baiklah, Bu” jawab Reta. Setelah Bu Mimi berlalu, tiba-tiba Mona menghampiri Reta seraya berdecak pinggang. “Reta, apa mungkin kamu mau ikut lomba ini? Bicara aja nggak beres apalagi baca puisi. Ngak salah tuh? Hahahaha...” ejek Mona sambil tertawa terbahak-bahak , diikuti oleh geng-nya. Reta hanya hanya trdiam. Hatinya merasa sedih dihina Mona dan kawan-kawannya. Ia menatap mereka satu per satu. Bibirnya seakan terekunci rapat. Ia ingi berontak. Ia ingin teriak sekuat tenaga. Ia ingin berlari menjauh dari mereka. Namun, langkahnya seolah tertahan oleh sebuah kekuatan yang Maha Dahsyat. Tangannya dikepal erat-erat dengan kepala tegak. Tak ada ketakutan di wajahnya. Tak ada gentar di jiwamya. Tak ada senyum di bibirnya. Kondisi seperti ini membuat seisi kelas hening. Melihat sahabatnya dihina sedemikian rupa, Tita pun angkat suara. “Hei...! Kalian jangan hanya bisa menghina dan meremehkan orang dong. Kalau kalian memang bisa, buktikan..!” ujar Tita geram. Selesai berujar demikian Tita mengajak Reta berlalu meninggalkan kelas. “Kamu lihat, kan Ta? Begitu hinanya aku dimata mereka,” ucap Reta putus asa. “Jangan Ta, itu artinya kamu kalah sebelum bertarung. Bukankah prinsip hidupmumu, sekali melangkah, pantang mundur.” jelas Tita mengingatkan Reta. “Baiklah, Ta. Aku akan mencoba kemampuanku dalam membaca puisi,” ujar Reta. “Nah, gitu dong,” ucap Tita senang. Hari perlombaan yang dinantikan pun tiba. Reta telah berlatih maksimal. Suasana hening. Satu per satu peserta tampil membacakan puisi yang telah ditentukan. Dan kini, saatnya giliran Reta untuk membacakan puisi dengan judul “Aku” karya Chairil Anwar yang merupakan penyair idolanya. Tampak Reta tampil anggun dan percaya diri. Bait demi bait diucapkan dengan semangat yang menggelora dan penuh penjiwaan. Itu semua terpancar lewat sorot mata dan intonasi penuh ekspresi. Gema suara Reta meemecah kesunyian, mengundang decak kagum bagi siapa saja yang mendengarnya. Tepuk tangan yang riuh bergemuruh mengakhiri pembacaan puisi Reta. Tita, seolah tak percaya bahwwa yang baru saja tampil itu adalah sahabatnya. Tita benar-benar terpana dan takjub! Satu jam setelah peserta terakhir tampil, akhirnya panitia mengumuman pemenang lomba baca puisi tersebut. Pemenang Harapan III hingga Juara II telah diumumkan.
Namun nama Reta tak juga muncul. Tiba......
‘”Juara I diraih oleh Reta dari kelas X.3...! suara tersebut menghentakkan lamunan Reta. Tak terkatakan betapa sengang dan harunya Reta mendengar pengumuman itu. Semua guru, Tita dan teman-teman sekelasnya berdatangan memberikan ucapan selamat padanya. Reta terharu. Dan yang lebih membuatnya terharu adalah ketika Mona, gadis yang telah menghinanya beberapa hari lalu dengan berjiwa besar datang mengakui kesalahannya atas penghinaan yang ditujukannya terhadap Reta. “Selamat ya Ta, maafkan aku. Ternyata aku salah menilaimu dan menganggap remeh kamu selama ini. Kamu mau kan memamaafkan aku?” tanya Mona tulus. Reta tersenyum sambil mengangguk pelan, “Tak ada yang perlu dimamaafkan. Kita semua sama. Aku juga minta maaf. ungkap Reta meraih pundak Mona . Mereka berpelukan layaknya dua sahabat yang lama tak bertemu. Akhirnya mereka sadar atas kesalahan yang pernah mereka lakukan terhadap Reta. Suasana haru pun berubah menjadi ceria. Teman yang dahulu menjauhi Risa kini berbalik menjadi teman yang ramah. “Terimakasih Tuhan . Akhirnya mereka mau menerima ku sebagai teman mereka, desis Reta pelan seraya melirik Tita, sahabat sejati yang selalu mengerti dirinya. Tita pun tersenyum bahagia. Kedua sahabat itu merayakan kemenangan Reta di kantin sekolah.