Anda di halaman 1dari 9

“AKU PASTI BISA”

Pagi ini tampak cerah. Namun tidak bagi Reta.


Gadis itu terlihat murung. Ia duduk menyendiri
di sudut kelas diselimuti perasaan sedih dan
gelisah. Sesekali matanya menatap halaman
demi halaman buku buku Fisika yang
membentang di hadapannya. Tak satupun dari
tulisan yang ada pada buku itu melekat di
kepalanya. Huruf yang tetulis rapi itu seakan
meloncat-loncat entah kemana, melayang,
menerawang ke angkasa menemani kegelisahan
yang ia rasakan.
“Hei....lagi ngapain? membaca atau
menghayal?” Sebuah suara tiba-tiba datang
menyentakkan Reta.
Sebuah suara yang sangat dikenalnya. Reta
menoleh sekilas ke arah suara itu sambil
tersenyum getir.
Oh, kamu Ta. Nggak kok, aku nggak
menghayal,” elak Reta sambil menunduk.
“Ta, aku ini sahabatmu.” ujar Tita seraya
memegang pundak Reta. “Tak biasanya kamu
begini. Jika kamu punya masalah, ceritakan
padaku,” ujar Tita tulus.
Reta menarik napas panjang. Ucapan Tita
seakan memberi ruang baginya untuk bisa
bernapas. Gadis itu menatap Tita yang masih
tersenyum menanti dirinya untuk mengutarakan
kegalauannya. “Kamu punya masalah?” tanya
Tita tak sabar. Reta menggeleng lemah. “ Kalau
tak ada masalah, kenapa murung?” desak Tita.
“Ayolah Ta, jangan sembunyi dariku. Aku tahu,
kamu gadis periang. Jika ada sesuatu yang
mengganjal dalam hatimu, aku siap
mendengarnya. Yaaa... siapa tahu aku bisa
membantumu”, bujuk Tita. Ia menatap Reta
dengan lembut, masih dengan senyum yang
menghiasi bibir mungilnya.
“Aku hanya sedih dan heran. Mengapa
teman-teman di kelas ini tak mau berteman
denganku seakan mereka memusuhiku. Apa
salahku Ta?”
Kali ini Reta tak dapat menahan telaga
bening yang mulai mebasahi pipi merahnya. Ia
menunduk sambi terisak.
“Ta, kamu tak usah hiraukan mereka,” bujuk
Tita seraya menyeka air mata Reta. “Masih ada
aku, Tita sahabatmu dalam suka dan duka.
Mungkin karena mereka belum kenal dekat
denganmu sehinggga terkesan memusuhimu.”
jelas Tita bijaksana.
“Tapi Ta...”
“Sssssst.... ngak ada tapi-tapian,” potong
Tita cepat. “Yang penting, kamu jangan berpikir
terlalu jauh tentang mereka. Aku hanya ingin
melihatmu tersenyum seperti hari-hari
kemarin,” kata Tita tegas.
“Terimakasih, Ta. Kamu memang sahabatku
yang paling baik,” ujar Reta sambil sambil
tersenyum dan dibalas dengan anggukan lembut
Tita.
“Terimakasih Tuhan, Engkau telah
mengirimkan sahabat yang terbaik untukku,”
batin Reta seraya menengadah. “Heii... ngapain
komat-kamit segala. Baca mantra ya?” ledek
Tita dan dibalas dengan cubitan halus khas
Reta. Terdengar tawa memecah berderai
diantara mereka. Kedua sahabat itu pun terlibat
dalam perdebatan serius seputar pelajaran yang
akan segera dimulai.
Selang beberapa waktu berlalu, jam istirahat
pun tiba. Namun, sebelum siswa di kelas X.3
berlari memburu kantin, tiba-tiba Bu Mimi,
guru Bahasa Indonesia, masuk ke kelas mereka.
“Maaf, Ibu minta waktu sebentar,” Bu Mimi
memulai. “Dalam rangka menyambut Bulan
Bahasa pada bulan Oktober ini, sekolah kita
akan mengadakan lomba baca puisi antarkelas.
Pemenangnya akan mewakili sekolah ditingkat
kota. Bagi siswa yang berminat, silakan daftar
sekarang.” ujar Bu Mimi tegas sambil
melemparkan pandangan pada seisi kelas. “Ada
yang berminat?” tanya Bu Mimi lagi.
“Saya Bu,” dengan semangat Reta maju
menghampiri Bu Mimi diiringi tatapan aneh dan
sinis dari teman-temanya. Namun Reta tak
mempedulikan semua itu. “Baik. Siapa lagi?”
ulang Bu Mimi . Semua diam membisu.
“Baiklah, nanti sepulang sekolah kamu
berkumpul di aula sekolah untuk menerima
arahan.” jelas Bu Mimi. “Baiklah, Bu” jawab
Reta.
Setelah Bu Mimi berlalu, tiba-tiba Mona
menghampiri Reta seraya berdecak pinggang.
“Reta, apa mungkin kamu mau ikut lomba ini?
Bicara aja nggak beres apalagi baca puisi. Ngak
salah tuh? Hahahaha...” ejek Mona sambil
tertawa terbahak-bahak , diikuti oleh geng-nya.
Reta hanya hanya trdiam. Hatinya merasa
sedih dihina Mona dan kawan-kawannya. Ia
menatap mereka satu per satu. Bibirnya seakan
terekunci rapat. Ia ingi berontak. Ia ingin teriak
sekuat tenaga. Ia ingin berlari menjauh dari
mereka. Namun, langkahnya seolah tertahan
oleh sebuah kekuatan yang Maha Dahsyat.
Tangannya dikepal erat-erat dengan kepala
tegak. Tak ada ketakutan di wajahnya. Tak ada
gentar di jiwamya. Tak ada senyum di bibirnya.
Kondisi seperti ini membuat seisi kelas hening.
Melihat sahabatnya dihina sedemikian rupa,
Tita pun angkat suara. “Hei...! Kalian jangan
hanya bisa menghina dan meremehkan orang
dong. Kalau kalian memang bisa, buktikan..!”
ujar Tita geram. Selesai berujar demikian Tita
mengajak Reta berlalu meninggalkan kelas.
“Kamu lihat, kan Ta? Begitu hinanya aku
dimata mereka,” ucap Reta putus asa. “Jangan
Ta, itu artinya kamu kalah sebelum bertarung.
Bukankah prinsip hidupmumu, sekali
melangkah, pantang mundur.” jelas Tita
mengingatkan Reta.
“Baiklah, Ta. Aku akan mencoba
kemampuanku dalam membaca puisi,” ujar
Reta. “Nah, gitu dong,” ucap Tita senang.
Hari perlombaan yang dinantikan pun tiba.
Reta telah berlatih maksimal. Suasana hening.
Satu per satu peserta tampil membacakan puisi
yang telah ditentukan. Dan kini, saatnya giliran
Reta untuk membacakan puisi dengan judul
“Aku” karya Chairil Anwar yang merupakan
penyair idolanya. Tampak Reta tampil anggun
dan percaya diri. Bait demi bait diucapkan
dengan semangat yang menggelora dan penuh
penjiwaan. Itu semua terpancar lewat sorot mata
dan intonasi penuh ekspresi. Gema suara Reta
meemecah kesunyian, mengundang decak
kagum bagi siapa saja yang mendengarnya.
Tepuk tangan yang riuh bergemuruh
mengakhiri pembacaan puisi Reta. Tita, seolah
tak percaya bahwwa yang baru saja tampil itu
adalah sahabatnya. Tita benar-benar terpana dan
takjub! Satu jam setelah peserta terakhir tampil,
akhirnya panitia mengumuman pemenang
lomba baca puisi tersebut. Pemenang Harapan
III hingga Juara II telah diumumkan.

Namun nama Reta tak juga muncul. Tiba......


‘”Juara I diraih oleh Reta dari kelas X.3...! suara
tersebut menghentakkan lamunan Reta. Tak
terkatakan betapa sengang dan harunya Reta
mendengar pengumuman itu. Semua guru, Tita
dan teman-teman sekelasnya berdatangan
memberikan ucapan selamat padanya. Reta
terharu. Dan yang lebih membuatnya terharu
adalah ketika Mona, gadis yang telah
menghinanya beberapa hari lalu dengan berjiwa
besar datang mengakui kesalahannya atas
penghinaan yang ditujukannya terhadap Reta.
“Selamat ya Ta, maafkan aku. Ternyata aku
salah menilaimu dan menganggap remeh kamu
selama ini. Kamu mau kan memamaafkan aku?”
tanya Mona tulus. Reta tersenyum sambil
mengangguk pelan, “Tak ada yang perlu
dimamaafkan. Kita semua sama. Aku juga
minta maaf. ungkap Reta meraih pundak
Mona . Mereka berpelukan layaknya dua
sahabat yang lama tak bertemu. Akhirnya
mereka sadar atas kesalahan yang pernah
mereka lakukan terhadap Reta. Suasana haru
pun berubah menjadi ceria. Teman yang dahulu
menjauhi Risa kini berbalik menjadi teman yang
ramah.
“Terimakasih Tuhan . Akhirnya mereka mau
menerima ku sebagai teman mereka, desis Reta
pelan seraya melirik Tita, sahabat sejati yang
selalu mengerti dirinya. Tita pun tersenyum
bahagia. Kedua sahabat itu merayakan
kemenangan Reta di kantin sekolah.

Anda mungkin juga menyukai