Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Swt atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas berjudul “SINDROM NEFROTIK “ dengan baik dan tepat pada waktunya. Adapun
tujuan penyusunan tugas ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Perkemihan.

Dengan segala kerendahan hati Penulis selaku penyusun tugas ini menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca demi kesempurnaan tugas yang serupa dimasa yang akan datang.

Demikian, Semoga segala yang tertulis di dalam tugas ini bermanfaat, selebihnya mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Jambi, Maret 2022

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................... 5

B. Tujuan ......................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Medis

1. Definisi ................................................................................. 6

2. Anatomi Fisiologi ................................................................. 6

3. Aspek Epidemiologi ........................................................... 12

4. Etiologi ............................................................................... 13

5. Patofisiologi ........................................................................ 14

6. Pathway .............................................................................. 16

7. Manifestasi klinis ................................................................ 17

8. Klasifikasi ........................................................................... 18

9. Pemeriksaan Penunjang ...................................................... 29

10. Penatalaksanaan .................................................................. 21

11. Komplikasi .......................................................................... 24

B. Proses Keperawatan

1. Pengkajian .......................................................................... 24

2. Diagnosa Keperawatan ....................................................... 26

3. Intervensi & Rasional ......................................................... 27

C. Diascharge Planning.................................................................. 27

D. Evidence Based – Practice Terkait............................................ 28


BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ....................................................................... 35

B. SARAN .................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ginjal merupakan salah satu organ penting dalam tubuh manusia sebagai organ pengatur keseimbangan
tubuh dan organ pembuangan zat-zat yang tidak berguna serta bersifat toksis. Fungsi ginjal yang
terpenting adalah untuk mempertahankan homeostasis bio kimiawi yang normal di dalam tubuh, hal ini
dilakukan dengan cara mengekskresikan zat-zat yang tidak diperlukan lagi melalui proses filtrasi
glomerulus, reabsorbsi dan sekresi tubulus. Sindrom Nefrotik merupakan salah satu penyakit ginjal yang
sering dijumpai pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria
masif, hipoalbuminemia, hiperkolesteronemia serta edema. Sekitar 90 % kasus anak merupakan
Sindrom Nefrotik primer. Sindrom Nefrotik yang paling banyak ditemukan adalah jenis kelainan minimal
yaitu sekitar 76 %. Pasien yang menderita Sindrom Nefrotik untuk pertama kalinya sebagian besar
datang ke rumah sakit dengan gejala edema. Pada pasien anak dengan Sindrom Nefrotik biasanya akan
didapatkan kenaikan berat badan yang dapat mencapai hingga 50 % dari berat badan sebelum
menderita Sindrom Nefrotik. Hal tersebut terjadi karena timbulnya proses edema yang merupakan salah
satu gambaran klinis dari Sindrom Nefrotik.

B. Tujuan

1. Untuk menjelaskan konsep sindrom nefrotik

2. Untuk menjelaskan asuhan keperawatan pada sindrom nefrotik

3. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa/i keperawatan mengenai sindrom


nefrotik

BAB II

TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Medis

1. Definisi

Sindrom nefrotik merupakan manifestasi klinik dari glomerulomefritis ditandai dengan gejala
edema, proteinuria masif >3,5 g/hari, hipoalbuminemia <3,5 g/dl, lipiduria dan hiperkolestrolemia.
Kadang-kadan terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. (Sudoyo Aru).

Sindroma nefrotik adalah suatu keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukkan penyakit yang
mendasari, dimana menunjukkan kelainan inflamasi glomerulus. Secara fungsional sindrom nefrotik
diakibatkan oleh keabnormalan pada proses filtrasi dalam glomerulus yang biasanya menimbulkan
berbagai macam masalah yang membutuhkan perawatan yang tepat, cepat, dan akurat. (Alatas, 2002).

2. Anatomi Fisiologi

a. Pengertian Sistem Perkemihan

Sistem perkemihan atau sistem urinaria, adalah suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan
darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang
masih di pergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan
dikeluarkan berupa urin (air kemih).

b. Susunan Sistem Perkemihan

1) Ginjal (Renal)

Kedudukan ginjal terletak dibagian belakang dari kavum abdominalis di belakang peritoneum pada
kedua sisi vertebra lumbalis III, dan melekat langsung pada dinding abdomen. Bentuknya seperti biji
buah kacang merah (kara/ercis), jumlahnaya ada 2 buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari pada
ginjal kanan.

Pada orang dewasa berat ginjal ± 200 gram. Dan pada umumnya ginjal laki – laki lebih panjang dari pada
ginjal wanita. Satuan struktural dan fungsional ginjal yang terkecil di sebut nefron. Tiap – tiap nefron
terdiri atas komponen vaskuler dan tubuler.

Komponen vaskuler terdiri atas pembuluh – pembuluh darah yaitu glomerolus dan kapiler peritubuler
yang mengitari tubuli. Dalam komponen tubuler terdapat kapsul Bowman, serta tubulus – tubulus, yaitu
tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distal, tubulus pengumpul dan lengkung Henle yang
terdapat pada medula.

Bowman terdiri atas lapisan parietal (luar) berbentuk gepeng dan lapis viseral (langsung membungkus
kapiler golmerlus) yang bentuknya besar dengan banyak juluran mirip jari disebut podosit (sel berkaki)
atau pedikel yang memeluk kapiler secara teratur sehingga celah – celah antara pedikel itu sangat
teratur. Kapsula bowman bersama glomerolus disebut korpuskel renal, bagian tubulus yang keluar dari
korpuskel renal disabut dengan tubulus kontortus proksimal karena jalannya yang berbelok – belok,
kemudian menjadi saluran yang lurus yang semula tebal kemudian menjadi tipis disebut ansa Henle atau
loop of Henle, karena membuat lengkungan tajam berbalik kembali ke korpuskel renal asal, kemudian
berlanjut sebagai tubulus kontortus distal.

Bila sebuh ginjal kita iris memanjang, maka akan tampak bahwa ginjal terdiri dari tiga bagian, yaitu
bagian kulit (korteks), sumsum ginjal (medula), dan bagian rongga ginjal (pelvis renalis).

a) Kulit ginjal (korteks)

Pada kulit ginjal terdapat bagian yang bertugas melaksanakan penyaringan darah yang disebut nefron.
Pada tempat penyarinagn darah ini banyak mengandung kapiler – kapiler darah yang tersusun
bergumpal gumpal disebut glomerolus.

b) Sumsum ginjal (medula)

Sumsum ginjal terdiri beberapa badan berbentuk kerucut yang disebut piramid renal. Dengan dasarnya
menghadap korteks dan puncaknya disebut apeks atau papila renis, mengarah ke bagian dalam ginjal.
Satu piramid dengan jaringan korteks di dalamnya disebut lobus ginjal.

c) Rongga ginjal (pelvis renalis)

Pelvis Renalis adalah ujung ureter yang berpangkal di ginjal, berbentuk corong lebar. Sabelum
berbatasan dengan jaringan ginjal, pelvis renalis bercabang dua atau tiga disebut kaliks mayor, yang
masing – masing bercabang membentuk beberapa kaliks minor yang langsung menutupi papila renis
dari piramid.

Fungsi ginjal :

I. Mengekskresikan zat – zat sisa metabolisme


yang mengandung nitrogennitrogen, misalnya amonia.

II. Mengekskresikan zat – zat yang jumlahnya


berlebihan (misalnya gula dan vitamin) dan berbahaya (misalnya obat – obatan, bakteri dan zat warna).

III. Mengatur keseimbangan air dan garam dengan


cara osmoregulasi.

IV. Mengatur tekanan darah dalam arteri dengan


mengeluarkan kelebihan asam atau basa.
2) Ureter

Terdiri dari 2 saluran pipa masing – masing bersambung dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria)
panjangnya ± 25 – 30 cm dengan penampang ± 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen
dan sebagian terletak dalam rongga pelvis.

Lapisan dinding ureter terdiri dari :

a) Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)

b) Lapisan tengah otot polos

c) Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa

Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan – gerakan peristaltik tiap 5 menit sekali yang akan
mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih (vesika urinaria).

Gerakan peristaltik mendorong urin melalui ureter yang dieskresikan oleh ginjal dan disemprotkan
dalam bentuk pancaran, melalui osteum uretralis masuk ke dalam kandung kemih.

Ureter berjalan hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia muskulus psoas dan dilapisi oleh pedtodinium.
Penyempitan ureter terjadi pada tempat ureter terjadi pada tempatmeninggalkan pelvis renalis,
pembuluh darah, saraf dan pembuluh sekitarnya mempunyai saraf sensorik.

3) Vesikula Urinaria (kandung kemih)

Kandung kemih dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet, terletak di belakang simfisis
pubis di dalam ronga panggul. Bentuk kandung kemih seperti kerucut yang dikelilingi oleh otot yang
kuat, berhubungan ligamentum vesika umbikalis medius. Bagian vesika urinaria terdiri dari :

a) Fundus, yaitu bagian yang mengahadap kearah belakang dan bawah, bagian ini terpisah dari
rektum oleh spatium rectosivikale yang terisi oleh jaringan ikat duktus deferent, vesika seminalis dan
prostate.

b) Korpus, yaitu bagian antara verteks dan fundus.

c) Verteks, bagian yang maju kearah muka dan berhubungan dengan ligamentum vesika umbilikalis.

Dinding kandung kemih terdiri dari beberapa lapisan yaitu, peritonium (lapisan sebelah luar), tunika
muskularis, tunika submukosa, dan lapisan mukosa (lapisan bagian dalam).
o Proses Miksi (Rangsangan Berkemih).

Distensi kandung kemih, oleh air kemih akan merangsang stres reseptor yang terdapat pada dinding
kandung kemih dengan jumlah ± 250 cc sudah cukup untuk merangsang berkemih (proses miksi).
Akibatnya akan terjadi reflek kontraksi dinding kandung kemih, dan pada saat yang sama terjadi
relaksasi spinser internus, diikuti oleh relaksasi spinter eksternus, dan akhirnya terjadi pengosongan
kandung kemih.

Rangsangan yang menyebabkan kontraksi kandung kemih dan relaksasi spinter interus dihantarkan
melalui serabut – serabut para simpatis.

Kontraksi sfinger eksternus secara volunter bertujuan untuk mencegah atau menghentikan miksi.
kontrol volunter ini hanya dapat terjadi bila saraf – saraf yang menangani kandung kemih uretra medula
spinalis dan otak masih utuh. Bila terjadi kerusakan pada saraf – saraf tersebut maka akan terjadi
inkontinensia urin (kencing keluar terus – menerus tanpa disadari) dan retensi urine (kencing tertahan).

Persarafan dan peredaran darah vesika urinaria, diatur oleh torako lumbar dan kranial dari sistem
persarafan otonom. Torako lumbar berfungsi untuk relaksasi lapisan otot dan kontraksi spinter interna.

Peritonium melapis kandung kemih sampai kira – kira perbatasan ureter masuk kandung kemih.
Peritoneum dapat digerakkan membentuk lapisan dan menjadi lurus apabila kandung kemih terisi
penuh. Pembuluh darah Arteri vesikalis superior berpangkal dari umbilikalis bagian distal, vena
membentuk anyaman dibawah kandung kemih. Pembuluh limfe berjalan menuju duktus limfatilis
sepanjang arteri umbilikalis.

4) Uretra

Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih yang berfungsi menyalurkan air
kemih keluar.

5) Urine (air kemih)

a) Jumlah eksresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari masuknya (intake) cairan serta faktor
lainnya.

b) Komposisi air kemih

§ Air kemih terdiri dari kira – kira 95 % air

§ Zat – zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein asam urea, amoniak dan kreatinin

§ Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fosfat dan sulfat


§ Pigmen (bilirubin, urobilin)

§ Toksin

§ Hormon

Mekanisme Pembentukan Urine Dari sekitar 1200ml darah yang melalui glomerolus setiap menit
terbentuk 120 – 125ml filtrat (cairan yang telah melewati celah filtrasi). Setiap harinyadapat terbentuk
150 – 180L filtart. Namun dari jumlah ini hanya sekitar 1% (1,5 L) yang akhirnya keluar sebagai kemih,
dan sebagian diserap kembali.

3. Aspek Epidemiologi

Angka kejadian di Indonesia pada Sindrom Nefrotik mencapai 6 kasus pertahun dari 100.000 anak
berusia kurang dari 14 tahun (Alatas, 2002). Mortalitas dan prognosis anak dengan sindroma nefrotik
bervariasi berdasarkan etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari dan
responnya terhadap pengobatan (Betz & Sowden, 2002).

Jumlah anak penderita Sindrom Nefrotik setiap tahunnya bertambah di beberapa negara. Angka
kejadian Sindrom Nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia di bawah
18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 anak per 100.000 dan diketahui terjadi paling
banyak pada anak antara umur 3 – 4 tahun dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2 : 1.
Berdasarkan hasil pencatatan data keluar dan masuk pasien di ruang perawatan Lantai 3 Selatan RSUP
Fatmawati dalam 3 bulan terakhir yaitu Maret hingga Juni 2013 berjumlah 16 orang anak dimana 13
anak berjenis kelamin laki – laki dan 3 orang anak ber jenis kelamin perempuan.

4. Etiologi

Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai
suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi
etiologinya menjadi:

a. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema pada
masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang
bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk
dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
b. Sindrom nefrotik sekunder

1) Disebabkan oleh :

Malaria kuartana atau parasit lain.

2) Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.

3) Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.

4) Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, racun oak, air raksa.

5) Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif


hipokomplementemik.

c. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui sebabnya)

Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan
mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu: kelainan minimal, nefropati
membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan glomerulosklerosis fokal segmental.

5. Patofisiologi

Menurut Betz & Sowden (2009), sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang disebabkan oleh
kerusakan glomerulus. Peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma menimbulkan
proteinuria, hipoalbumin, hiperlipidemia dan edema. Hilangnya protein dari rongga vaskuler
menyebabkan penurunan tekanan osmotik plasma dan peningkatan tekanan hidrostatik, yang
menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dalam rongga interstisial dan rongga abdomen. Penurunan
volume cairan vaskuler menstimulasi sistem renin-angiotensin yang mengakibatkan diskresikannya
hormon antidiuretik dan aldosteron. Reabsorsi tubular terhadap natrium (Na) dan air mengalami
peningkatan dan akhirnya menambah volume intravaskuler. Retensi cairan ini mengarah pada
peningkatan edema. Koagulasi dan trombosis vena dapat terjadi karena penurunan volume vaskuler
yang mengakibatkan hemokonsentrasi dan hilangnya urin dari koagulasi protein. Kehilangan
immunoglobulin pada urin dapat mengarah pada peningkatan kerentanan terhadap infeksi.
6. Pathway

7. Manifestasi klinik

a. Proteinuria

Disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapilerterhadap protein akibat kerusakan glomerulus.


Dalam keadaaan normal membran basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk
mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size
barrier) dan yang kedua berdasarkan muatann listrik (charge barrier). Pada sindrom nefrotik mekanisme
barier tersebut akan terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya
protein melalui membran basal glomerulus. (Prodjosudjadi, 2006).

b. Hipoalbuminemia

Kosentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein
melalui urin. Pada sindrom nefrotik hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat
penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati
berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi
timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati akan tetapi
dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. (Prodjosudjadi, 2006).

c. Edema

Edema pada sindrom nefrotik dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill
menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada sindrom nefrotik.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma dan ginjal melakukan kompensasi
dengan meningkatkan retensi air dan natrium. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume
intravaskular tetapi juga mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut. (Prodjosudjadi, 2006).

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal
menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi golerulus
akibat kerusakan ginjal akan menambah terjadinya retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme
tersebut ditemukan pada pasien sindrom nefrotik. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau
terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit
jantung dan hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan. (Prodjosudjadi, 2006).

d. Penurunan jumlah urin, urin gelap dan berbusa

e. Hematuria

f. Anoreksia

g. Diare

8. Klasifikasi

Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:

a. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).

Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak dengan sindrom
nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.

b. Sindrom Nefrotik Sekunder

Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik, purpura anafilaktik,
glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.

c. Sindrom Nefrotik Kongenital

Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang terkena sindrom
nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten
terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan bayi jika
tidak dilakukan dialysis.

9. Pemeriksaan penunjang

Penegakan diagnosis sindrom nefrotik tidak ditentukan dengan hanya penampilan klinis.
Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang berikut yaitu :

a. Urinalisis

Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri ) yang terjadi dalam 24-48 jam setelah ginjal
rusak, warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, Monoglobin, Porfirin. Berat
jenis kurang dari 1,020 menunjukkan penyakit ginjal. Contoh glomerulonefritis, pielonefritis dengan
kehilangan kemampuan untuk meningkatkan, menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat.
pH lebih besar dari 7 ditemukan pada infeksi saluran kencing, nekrosis tubular ginjal dan gagal ginjal
kronis (GGK). Protein urin meningkat (nilai normal negatif). Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk
nefrotik. Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif
dengan asam sulfosalisilat, 3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang
artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.

b. Pemeriksaan sedimen urin

Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-
butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.

c. Pengukuran protein urin

Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot collection. Timed collection
dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan
harinya. Pada individu sehat, total protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria
diagnosis. Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini
mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.

d. Albumin serum

Kualitatif : ++ sampai ++++

Kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)

e. Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis

f. USG Renal

Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.

g. Biopsi Ginjal

Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia> 8 tahun, resisten steroid,
dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa
yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan diagnosis patologi
penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting
untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal, karena
minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid.

h. Pemeriksaan Darah

Hb menurun adanya anemia, Ht menurun pada gagal ginjal, natrium meningkat tapi biasanya bervariasi,
kalium meningkat sehubungan dengan retensi dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran
jaringan (hemolisis sel darah nerah). Penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan
protein dan albumin melalui urin, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan penurunan sintesis
karena kekurangan asam amino essensial. Kolesterol serum meningkat (umur 5-14 tahun : kurang dari
atau sama dengan 220 mg/dl). Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai Protein total menurun (N: 6,2-
8,1 gm/100ml), Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml), α1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml), α2
globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml), β globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml), γ globulin normal (N:
0,3-1 gm/100ml), rasio albumin/globulin <1 (N:3/2), komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120
mg/100ml), ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.

10. Penatalaksanaan

a. Primer

Tidak ada yang dapat mencegah sindrom nefrotik karena sindrom nefrotik merupakan salah satu
penyakit autoimun.

b. Sekunder

1) Penatalaksanaan Medis menurut Mansjoer Arif, 2000 :

a) Istirahatkan sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari
secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan menghindari makanan yang diasinkan. Diet
protein 2-3 gram/kgBB/hari.

b) Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam dapat digunakan diuretik, biasanya
furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema
refrakter, dapat digunakan hididroklortiaid (25-50 mg/hari), selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.

c) Pengobatan kortikosteroid yang diajukan International Cooperative Study of Kidney Disease in


Children (ISKDC), sebagai berikut :

Ø Selama 28 hari prednison diberikan peroral dengan dosis 60 mg/hari luas permukaan badan (ibp)
dengan maksimum 80 mg/hari.

Ø Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40 mg/hari/1bp, setiap
3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respon selama pengobatan,
maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.

d) Cegah infeksi dengan memberikan antibiotik

e) Pungsi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital


2) Penatalaksanaan keperawatan

Pasien dengan sindrom nefrotik dengan edema perlu istirahat di tempat tidur karena keadaan edema
yang berat menyebabkan pasien kehilangan kemampuannya untuk bergerak. Selama edema masih
berat semua keperluan harus ditolong di atas tempat tidur.

a) Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan didalam rongga toraks akan menyababkan
sesak napas.

b) Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal di letakkan memanjang, karena
jika melintang maka ujung kaki akan lebih rendah dan akan menyebabkan edema hebat).

c) Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum untuk mencegah pembengkakan
skrotum karena tergantung.

d) Timbang BB pasien setiap hari dan ukur lingkar perut pasien untuk mengetahui berkurang atau
tidak edema.

e) Catat intake dan output cairan selama 24 jam

f) Berikan diet rendah protein yaitu 1,2-2,0 g/kgBB/hari dan cukup kalori yaitu 35 kal/kgBB/hari serta
rendah garam (1g/hari)

g) Berikan makanan sesuai keadaan pasien, dapat makanan biasa atau lunak.

c. Tersier

Hemodialisis jika sudah terjadi gagal ginjal atau transplantasi ginjal

11. Komplikasi

Komplikasi sindrom nefrotik mencakup infeksi akibat defisiensi respon imun, tromboembolisme
(terutama vena renal), embnoli pulmoner, dan peningkatan terjadinya aterosklerosis.(Smeltzer, SC, Bare
BG, 2002: 1442). Adapun komplikasi secara umum dari sindrom nefrotik adalah :

a. Penurunan volume intravaskuler (syok hipovolemik)

b. Kemampuan koagulasi yang berlebihan (trombosit vena)

c. Perburukan nafas (berhubungan dengan retensi cairan)

d. Kerusakan kulit

e. Infeksi sekunder karena imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia

f. Peritonitis
B. Proses keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan langkah awal dari tahap proses keperawatan. Dalam mengkaji, harus
memperhatikan data dasar pasien. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada
kecermatan dan ketelitian dalam tahap pengkajian. Pengkajian yang perlu dilakukan pada pasien anak
dengan sindrom nefrotik (Donna L. Wong, 2004 : 550) sebagai berikut :

a. Lakukan pengkajian fisik termasuk pengkajianluasnya edema.

b. Dapatkan riwayatkesehatan dengan cermat, terutama yang berhubungan dengan penambahan


berat badan saat ini, disfungsi ginjal.

c. Observasi adanya manifestasi sindrom nefrotik :

1) Penambahan berat badan

2) Edema

3) Wajah sembab khususnya di sekitar mata timbul pada saat bangun pagi dan berkurang di siang hari

4) Pembengkakan abdomen (asites)

5) Kesulitan pernapasan (efusi pleura)

6) Pembengkakan labial (scrotal)

7) Edema mukosa usus yang menyebabkan :

a) Diare

b) Anoreksia

c) Absorbsi usus buruk

8) Peka rangsangan

9) Mudah lelah

10) Letargi

11) Tekanan darah normal atau sedikit menurun

12) Kerentanan terhadap infeksi

13) Perubahan urin :


a) Penurunan volume

b) Gelap

c) Berbau buah

d. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian, misalnya analisa urin akan adanya protein,
silinder dan sel darah merah; analisa darah untuk protein serum (total, perbandingan albumin/globulin,
kolestrol), jumlah darah merah, natrium serum.

1) Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan diagnostik pada sindrom nefrotik menurut Betz, Cecily L, 2002 :

a) Uji urin

v Protein urin → > 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari

v Urinalisa → cast hialin dan granula, hematuria

v Dipstick urin → positif untuk protein darah

v Berat jenis urin → meningkat (normal : 285 mOsmol)

b) Uji darah

v Albumin serum → <3 g/dl

v Kolestrol serum → meningkat

v Hemoglobin dan hematokrit → meningkat (hemokosentrasi)

v Laju Endapan darah (LED) → meningkat

v Elektrolit serum → bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan

c) Uji diagnostik

v Rontgen dada bisa menunjukan adanya cairan yang berlebihan

v USG ginjal, dan CT scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutan ginjal

v Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk glomerulonefritis kronis atau pembentukan jaringan
parut yang tidak spesifik pada glomeruli

2. Diagnosa Keperawatan

a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi natrium dan air


b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan tekanan osmotik kapiler

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual dan
muntah

d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan ureum nitrogen dalam darah

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke jaringan

f. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan edema dan asites

g. Resiko kekurangan volume cairan (intravaskuler) berhubungan dengan kehilangan protein dan
cairan, edema

h. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun

3. Intervensi & Rasional

a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi natrium dan air

Tujuan : pasien tidak mengalami kelebihan cairan

Kriteria hasil :

v Edema berkurang

v Balance cairan antara input dan output seimbang

INTERVENSI

RASIONAL

1. Kaji masukan yang relatif terhadap keluaran secara akurat

2. Timbang berat badan setiap hari

3. Kaji perubahan edema : ukur lingkar abdomen pada umbilicus serta pantau edema sekitar mata

4. Atur masukan cairan dengan cermat

5. Pantau infus intra vena


6. Berikan kortikosteroid sesuai dengan ketentuan

7. Berikan diuretik bila diinstruksikan

v Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan dan penurunan resiko kelebihan
cairan

v Mengkaji retensi cairan

v Untuk mengkaji asites dan edema

v Agar tidak mendapatkan lebih dari jumlah yang dibutuhkan

v Untuk mempertahankan masukan yang diresepkan

v Untuk menurunkan ekskresi proteinuria

v Untuk memberikan penghilangan sementara edema.

b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan tekanan osmotik kapiler

Tujuan : pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal dan paru jelas/bersih

Kriteria hasil :

v Mempertahankan frekuensi dan kedalaman nafas paten dengan bunyi nafas bersih/jelas

v Pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman nafas tidak mengalami gangguan

INTERVENSI

RASIONAL

1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi dada


2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi catat adanya bunyi nafas tidak normal

3. Tingkatkan kepala dan bantu mengubah posisi

4. Observasi pola batuk dan karakter sekret

5. Bantu pasien untuk nafas dalam dan latihan batuk efektif

6. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan

7. Berikan humidifikasi tambahan

8. Bantu fisioterapi dada, postural drainage

v Kecepatan biasanya meningkat, dispnea, dan terjadi peningkatan kerja nafas, kedalaman bervariasi,
ekspansi dada terbatas

v Bunyi nafas menurun / tidak ada bila jalan nafas terdapat obstruksi kecil

v Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan

v Batuk biasanya mengeluarkan sputum dan mengindikasikan adanya kelainan

v Dapat meningkatkan pengeluaran sputum

v Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas

v Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret untuk
memudahkan pembersihan

v Memudahkan upaya pernapasan dan meningkatkan drainage sekret dari segmen paru ke dalam
bronkus

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual dan
muntah

Tujuan : pasien mendapatkan nutrisi yang optimal


Kriteria hasil :

v Kebutuhan nutrisi tubuh tercukupi

v Tidak terjadi anoreksia, mual dan muntah

v Makan habis satu porsi

INTERVENSI

RASIONAL

1. Beri diet yang bergizi

2. Batasi natrium selama edema dan terapi kortikosteroid

3. Beri makan dalam porsi sedikit pada awalnya

4. Beri makanan yang mungkin disukai pasien

v Membantu pemenuhan nutrisi anak dan meningkatkan daya tahan tubuh

v Asupan natrium dapat memperberat edema usus yang menyebabkan hilangnya nafsu makan

v Untuk merangsang nafsu makan

v Untuk mendorong pasien agar mau makan

d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan ureum nitrogen dalam darah

Tujuan : diharapkan tidak terjadi kerusakan integritas kulit

Kriteria hasil :

v Kulit pasien tidak menunjukkan adanya kerusakan integritas kulit : kemerahan atau iritasi
v Pasien merasa nyaman (tidak merasa gatal)

INTERVENSI

RASIONAL

1. Berikan perawatan kulit

2. Hindari pakaian yang ketat

3. Bersihkan dan bedaki permukaan kulit beberapa kali sehari

4. Topang edema, seperti skrotum

5. Ubah posisi dengan sering, sejajarkan tubuh dengan baik

v Memberikan kenyamanan pada pasien dan mencegah kerusakan kulit

v Dapat mengakibatkan area yang menonjol tertekan

v Untuk mencegah terjadinya iritasi pada kulit karena gesekan dengan alat tenun

v Untuk menghilangkan area tertekan

v Karena pasien dengan edema massif selalu latergis mudah lelah dan diam saja

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke jaringan

Tujuan : diharapkan pasien dapat melakukan aktivitas sesuai kemampuan

Kriteria hasil :

v Pasien dapat melakukan aktivitas sesuai kemampuan

v Pasien tidak cepat lelah


v Pasien mendapatkan istirahat tidur yang adekuat

INTERVENSI

RASIONAL

1. Pertahankan tirah baring awal bila terjadi edema berat

2. Seimbangkan istirahat dan aktivitas dan ambulasi

3. Rencanakan dan berikan aktivitas tenang

4. Instruksikan istirahat bila pasien merasa lelah

5. Berikan periode istirahat tanpa gangguan

v Tirah baring yang sesuai gaya gravitasi dapat menurunkan edema

v Ambulasi dapat menyebabkan kelelahan

v Aktivitas yang tenang mengurangi penggunaan energi yang dapat menyebabkan kelelahan

v Mengadekuatkan fase istirahat pasien

v Pasien dapat menikmati masa istirahatnya

f. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan edema dan asites

Tujuan : pasien dapat mengekspresikan perasaan dan masalah dengan mengikuti aktivitas yang sesuai
dengan minat dan kemampuan pasien

Kriteria hasil :

v Pasien dapat mengungkapkan perasaan

v Pasien dapat merasa nyaman


INTERVENSI

RASIONAL

1. Gali masalah dan perasaan mengenai penampilan

2. Tunjukkan aspek positif dari penampilan dan bukti penurunan edema

3. Dorong sosialisasi dengan individu tanpa membuatnya tersinggung

4. Beri umpan balik positif

v Untuk memudahkan koping

v Meningkatkan harga diri pasien dan mendorong penerimaan terhadap kondisinya

v Agar pasien tidak merasa sendirian dan terisolasi

v Agar pasien merasa diterima

7. Resiko kekurangan volume cairan (intravaskuler) berhubungan dengan kehilangan protein dan
cairan, edema

Tujuan : pasien tidak menunjukkan kehilangan cairan intravaskuler atau syok hipovolemik yang
ditunjukkan pasien minimum atau tidak
Kriteria hasil :

v Tidak ada tanda syok hipovolemik

v Nilai ureum nitrogen normal

INTERVENSI

RASIONAL

1. Pantau tanda vital

2. Kaji kualitas dan frekuensi nadi

3. Ukur tekanan darah

4. Laporkan adanya penyimpangan dari normal

v Untuk mendeteksi bukti fisik penipisan cairan

v Untuk tanda syok hipovolemik

v Untuk mendeteksi syok hipovolemik

v Agar pengobatan segera dilakukan

8. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun

Tujuan : diharapkan pasien tidak menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi

Kriteria hasil :

v Tidak ada tanda-tanda infeksi

v Suhu tubuh normal (36,7 ºC – 37,2 ºC)

INTERVENSI

RASIONAL

1. Lindungi pasien dari kontak individu terinfeksi


2. Gunakan teknik cuci tangan yang baik

3. Jaga agar pasien tetap hangat dan kering

4. Pantau suhu

5. Ajari keluarga pasien tentang tanda dan gejala infeksi

v Untuk meminimalkan pajanan pada organisme infektif

v Untuk memutuskan mata rantai penyebaran infeksi

v Karena kerentanan terhadap infeksi pernapasan

v Indikasi awal adanya tanda infeksi

v Memberi pengetahuan dasar tentang tanda dan gejala infeksi

C. Diascharge Planning

Berikan pada pasien dan keluarga instruksi lisan dan tulisan yang sesuai dengan perkembangan
mengenai penatalaksanaan di rumah tentang hal-hal berikut ini :

1. Proses penyakit (termasuk perkiraan perkembangan dan gejala kekambuhan)

2. Pengobatan (dosis, rute, jadwal, efek samping dan komplikasi)

3. Perawatan kulit dan pemberian nutrisi

4. Pencegahan infeksi dan penatalaksanaan nyeri

5. Pembatasan aktivitas

6. Pemeriksaan lebih lanjut

7. Diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu dan mengontrol edema

8. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria

9. Kontrol hipertensi untuk mencegah kerusakan ginjal terutama pada penderita diabetes

D. Evidence Based-Practice Terkait


Jurnal terkait yang kami ambil adalah tentang “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Anak Kesehatan
Masyarakat pada Pasien

Sindrom Nefrotik di Lantai 3 Selatan RSUP Fatmawati ”

Sindrom nefrotik merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak dimana
merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia,
hiperkolesteronemia serta edema. Jumlah anak penderita Sindrom Nefrotik setiap tahunnya bertambah
di beberapa negara. Angka kejadian Sindrom Nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per
100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 anak per
100.000 dan diketahui terjadi paling banyak pada anak antara umur 3 – 4 tahun dengan perbandingan
anak laki-laki dan perempuan 2 : 1. Sindrom Nefrotik menyebabkan anak harus menjalani hospitalisasi di
rumah sakit. Lamanya masa hospitalisasi di rumah sakit dapat meningkatkan kecemasan pada anak dan
keluarga. Ketidaktahuan tentang penyakit serta riwayat keluarga yang sebelumnya belum pernah
menderita penyakit yang sama turut mempengaruhi kecepatan kesembuhan anak khususnya pada anak
pra sekolah. Pendekatan FCC (Family Center Care) menjadi salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mengurangi efek hospitalisasi dengan mengedepankan komunikasi teraupetik dalam setiap tindakan
keperawatan maupun medis kepada anak.

Keterlibatan keluarga dalam proses perawatan anak selama sakit akan membantu meningkatkan
kepuasan keluarga terhadap pelayanan asuhan keperawatan sekaligus memandirikan keluarga dalam
perawatan anak selanjutnya. Salah satu upaya meningkatkan kepuasan klien anak dan keluarga adalah
dengan penerapanmkomunikasi terapeutik perawat selama masa hospitalisasi klien anak di rumah sakit.
Hal ini sesuai dengan pendekatan perawatan anak yang berfokus pada keluarga (FCC).Keterlibatan
keluarga dalam masa perawatan akan mempercepat proses penyembuhan Sindrom Nefrotik pada anak.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan protein, penurunan albumin
dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas
rendah (hiperlipidemia). (Brunner & Suddarth, 2001).

Etiologi nefrotik sindrom dibagi menjadi 3, yaitu primer (Glomerulonefritis dan nefrotik sindrom
perubahan minimal), sekunder (Diabetes Mellitus, Sistema Lupus Erimatosis, dan Amyloidosis), dan
idiopatik (tidak diketahui penyebabnya). Tanda paling umum adalah peningkatan cairan di dalam tubuh.
Sehingga masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah kelebihan volume cairan berhubungan,
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan, resiko kehilangan volume cairan intravaskuler, dan
kecemasan.

B. Saran

Demikian makalah dan asuhan keperawatan yang kami sampaikan. Kami berharap agar makalah yang
kami buat ini dapat bermanfaat bagi para dosen, teman-teman dan pembaca sekalian.

Anda mungkin juga menyukai