Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Amperometri atau voltametri merupakan metoda analisis yang berkembang
pesat dibanding metode analisis yang lain. Hal ini dikarenakan kelebihannya
dalam sensitivitas, selektifitas, juga sederhana alatnya dan mudah
penganalisisannya. Amperometri atau voltametri cara kerjanya didasarkan pada
pengukuran arus sebagai fungsi dari potensial yang aplikasi (applied potential)
pada saat terjadi polarisasi pada indicator elektroda atau elektroda kerja (working
electrode). Berbeda dengan potensiometri yang analisisnya berdasarkan
pengukuran potensial dilakukan pada saat arus nol dan tidak terjadi polarisasi.
Amperometri atau voltametri berkembang pesat setelah adanya penemuan
polarografi oleh Jaroslav Heyrovsky pada tahun 1920-an. Dimana Jaroslav
Heyrovsky mendapat hadiah nobel atas penemuannya tersebut ditahun 1957.

1.2. Rumusan Masalah


a. Apakah yang dimaksud dengan amperometri?
b. Bagaimana penggunaan elektroda dalam amperometri?
c. Apa saja teknik yang digunakan dalam amperometri?
d. Apa kelebihan dengan menggunakan amperometri?

1.3. Tujuan Penulisan


Penulisan makalah amperometri ini diharapkan dapat membantu pembaca
lebih mendalami mengenai amperometri, penggunaan elektroda dalam
amperometri, teknik yang digunakan dalam amperometri, bahkan kelebihan-
kelebihan yang mungkin didapatkan dengan menggunakan amperometri. Selain
itu, dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu merintis dan
mengembangkan sistem aplikasi amperometri dengan kreatifitas yang lebih baik
lagi.

1
BAB II
ISI

2.1. Amperometri
Amperometri atau biasa disebut voltametri merupakan elektrolisis dalam
ukuran mikroskala dengan menggunakan mikro elektroda kerja, disebut juga
teknik arus voltase. Potensial dari mikro elektroda kerja divariasikan dan arus
yang dihasilkan dicetak sebagai fungsi dari potensial. Hasil cetakan ini disebut
voltamograf.
Voltametri mempelajari hubungan voltase arus-waktu selama elektrolisis
dilakukan dalam suatu sel, di mana suatu elektroda mempunyai luas permukaan
yang relative besar, dan elektroda yang lain (elektroda kerja) mempunyai luas
permukaan yang sangat kecil dan seringkali dirujuk sebagai mikroelektroda.
Lazimnya teknik ini mencakup pengkajian pengaruh perubahan voltase pada arus
yang mengalir di dalam sel. Mikroelektroda ini biasanya dibuat dari bahan tak
reaktif yang menghantar listrik seperti : emas, platinum atau karbon, dan dalam
beberapa keadaan dapat digunakan suatu elektroda merkurium tetes (D.M.E).
Untuk kasus istimewa ini, teknik itu dirujuk sebagai polarografi (Bassett, 1994).
Voltametri merupakan metoda elektrokimia yang mengamati perubahan arus
dan potensial. Potensial divariasikan secara sistematis sehingga zat kimia tersebut,
mengalami oksidasi dan reduksi dipermukaan elektroda. Dalam voltametri, salah
satu elektroda pada sel elektrolitnya terpolarisasi. Penelahan pada sistem tersebut
diikuti dengan kurva arus tegangan. Metode ini umum digunakan untuk
menentukan komposisi dan analisis kuantitatif larutan.
Dalam sistem voltametri ada yang disebut dengan siklik voltametri.
Voltametri ini merupakan tehnik voltametri dimana arus diukur selama penyapuan
potensial dari potensial awal ke potensial akhir dan kembali lagi potensial awal
atau disebut juga penyapuan (scanning) dapat dibalik kembali setelah reduksi
berlangsung. Dengan demikian arus katodik maupun anodik dapat terukur. Arus
katodik adalah arus yang digunakan pada saat penyapuan dari arus yang paling

2
besar menuju arus yang paling kecil dan arus anodik adalah sebaliknya (Khopkar,
1985).
Sel voltametri, terdiri dari 3 elektroda yaitu elektroda pembanding, elektroda
kerja, dan elektroda pembantu. Elektroda kerja pada voltametri tidak bereaksi,
akan tetapi merespon elektroda aktif apa saja yang ada dalam sampel. Pemilihan
elektroda bergantung pada besarnya range potensial yang diinginkan untuk
menguji sampel (Ewing, 1975).
Voltametri sama halnya dengan potensiometer, yaitu mempunyai elektroda
kerja dan elektroda pembanding, bedanya pada voltametri ditambah dengan
sebuah elektroda yaitu elektroda pembantu (auxillary electrode) sehingga
voltameter mempunyai 3 buah elektroda pada amperometer elektroda pembanding
yang mempunyai potensial yang sudah tetap sehingga kelebihan arus ditangkap
oleh elektroda pembantu. Salah satu elektrodanya adalah elektroda
merkuri/dropping mercury elektroda (DME) yang bertindak sebagai elektroda
kerja. Elektroda pasangannya adalah elektroda kalomel jenuh (SCE) yang
bertindak sebagai elektroda pembanding. SCE ini dapat juga digantikan oleh
reservoir merkuri (Pungor, 1995).

2.2. Metoda Elektrokimia


Reaksi elektrokimia merupakan suatu reaksi kimia yang diakibatkan oleh
adanya perbedaan potensial atau ketika suatu beda potensial dihasilkan akibat
adanya reaksi kimia. Proses elektrokimia pada dasarnya adalah suatu reaksi
redoks dimana energi dihasilkan oleh reaksi yang spontan untuk menghasilkan
arus listrik atau ketika adanya arus listrik dapat menstimulasi terjadinya reaksi
kimia. Dalam reaksi redoks terjadi suatu perubahan bilangan oksidasi dari atom
atau ion akibat terjadinya transfer elektron.
Metoda amperometri yang digunakan merupakan suatu metoda
analitik yang memanfaatkan potensial reduksi dari suatu reaksi oksidasi-reduksi
yang terjadi pada spesi analit. Reaksi oksidasi-reduksi ini akan menghasilkan atau
menangkap elektron. Proses penangkapan atau pelepasan elektron ini akan
menghasilkan arus dengan besar tertentu yang dapat diukur. Besarnya arus yang

3
dihasilkan ini akan sebanding dengan konsentrasi analit yang diukur.Setiap
senyawa akan memiliki potensial reduksi tertentu. Metoda amperometri
menggunakan potensial tetap yang merupakan potensial reduksi dari senyawa
analit. Analisis dilakukan terhadap respon arus yang dihasilkan terhadap
konsentrasi analit yang ada dalam sampel. Hal ini dilakukan terhadap konsentrasi
analit yang diketahui dengan pasti dengan tujuan untuk mengkarakterisasi respon
dari sensor yang dibuat.
Konfigurasi tiga elektroda digunakan untuk meminimalkan
kesalahan yang diakibatkan oleh adanya lapisan produk reaksi yang ada pada
elektroda. Lapisan ini akan mengakibatkan adanya hambatan tambahan pada sel
elektrokimia. Idealnya, elektroda referensi dan elektroda kerja dibuat sedekat
mungkin agar diperoleh hasil pengukuran dengan hambatan sel yang minimal.
Jarak terdekat dari kedua elektroda ini akan dibatasi oleh lapisan produk yang
terjadi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Jika jarak kedua elektroda ini
menjadi terlalu dekat, maka akan terjadi suatu gangguan yang diakibatkan spesi
produk yang menempel pada elektroda.
Elektroda ketiga digunakan untuk mengatasi permasalahan jarak
elektroda tersebut. Elektroda ketiga ini akan berfungsi sebagai counter electrode
yang akan memberikan suatu jalur alternatif untuk mengalirkan elektron yang
dihasilkan dari sel elektrokimia. Dengan demikian, pada reference electrode tidak
akan terbentuk lapisan produk reaksi. Hal ini dapat mengeliminasi batasan jarak
working electrode dan reference electrode sehingga pengukuran dapat dilakukan
dengan hambatan sel yang minimal.
Permasalahan lain dalam metoda amperometri adalah overpotential yang
dibutuhkan relatif besar untuk mengatasi besarnya energi aktivasi yang perlu
diatasi. Hal ini tidak menguntungkan secara elektrokimia karena dapat
berinterferensi dengan potensial reduksi dari senyawa pengganggu. Senyawa
pengganggu ini dapat berupa asam askorbat dan asam urea dalam aplikasi untuk
deteksi analit dalam sampel darah. Senyawa-senyawa ini merupakan senyawa
yang secara umum ada dalam darah.

4
2.3. Teknik Voltametri
2.3.1. Polarografi
Polarografi adalah suatu bentuk elektrolisis dalam mana elektroda kerja
berupa suatu elektroda yang istimewa, sutau elektroda merkuri tetes, dan dimana
direkam suatu kurva arus voltase (voltammogram). Seperti yang digunakan oleh
kebanyakan pengarang, istilah polarografi adalah suatu kasus istimewa daripada
voltametri dimana mikroelektrodanya adalah merkurium tetes. Karena sifat-sifat
istimewa elektroda ini, polarografi jauh lebih meluas penggunaanya dibandingkan
voltametri yang menggunakan mikroelektroda lain (Underwood, 1996).
Polarogarfi digunakan secara luas untuk analisis ion-ion logam dan anion-
anion anorganik, seperti IO dan NO. Gugus fungsi senyawa organik yang mudah
teroksidasi atau tereduksi juga dipelajari dalam polarogarfi. Gugus fungsi yang
digunakan meliputi karbonil, asam karboksilat, dan senyawa karbon yang
memiliki ikatan rangkap (David, 2000).
2.3.2. Hydrodynamic Voltametri
Arus pada hydrodynamic voltametri diukur sebagai fungsi dari aplikasi
potensial pada elektroda kerja. Profil potensial yang sama digunakan untuk
polarografi, seperti sebuah atau pulsa diferensial, digunakan dalam hydrodynamic
voltametri. Hasil voltamogram yang identik untuk polarografi, kecuali untuk
kekurangan arus pengamatan linear menghasilkan osilasi dari penambahan tetes
merkuri. Karena hydrodynamic voltametri tidak dibatasi untuk elektroda Hg,
hydrodynamic voltametri bermanfaat untuk analisis reduksi atau oksidasi pada
potensial yang lebih positif.
2.3.3. Stripping Voltametri
Salah satu dari teknik voltametri kuantitatif yang lebih penting adalah
stripping voltametri, yang mana terdiri atas tiga teknik yang terkait : anoda,
katoda, dan adsorpsi stripping voltametri. Sejak anodic stripping voltametri
ditemukan aplikasi paling luas, kita mempertimbangkannya secara detail. Anodic
stripping voltametri terdiri dari dua tahap. Pertama pengontrolan potensial
elektrolisis yang mana elektroda kerja, biasanya tetes merkuri atau lapis tipis
merkuri, pada potensial katoda yang cukup untuk melapisi ion logam pada

5
elektroda. Tahap kedua, potensial anoda di scan kearah potensial yang lebih
positif. Ketika potensial pada elektroda kerja cukup positif analit dilepaskan dari
elektroda, larutan dikembalikan dalam bentuk oksidasi. Arus selama tahap
stripping dimonitor sebagai fungsi dari potensial, memberikan bentuk kenaikan
pada puncak voltammogram yang sama. Puncak arus yang proporsional pada
konsentrasi analit dalam larutan. Anodic stripping voltametri sangat sensitif pada
percobaan, yang mana harus dikontrol dengan hati-hati jika hasilnya ingin akurat
dan tepat.
2.3.4. Amperometri
Teknik voltametri terakhir yang dipertimbangkan adalah amperometri, yang
mana potensial konstan diaplikasikan pada elektroda kerja, dan arus diukur
sebagai fungsi waktu Karena potensial tidak discan, amperometri tidak
mendorong kearah voltammogram.
Aplikasi yang penting dari amperometri adalah dalam kontruksi sensor kimia.
Sensor amperometri yang pertama dikembangkan untuk melarutkan O dalam
darah, yang mana dikembangkan pada 1956 oleh L.C. Clark.

2.4. Biosensor dan Aplikasinya


Di abad milenium ini, segala sesuatu yang serba praktis dan mudah serta
ditunjang oleh manfaatnya yang besar, pastilah di cari oleh setiap orang. Salah
satunya adalah sensor. Aplikasi sensor yang paling sering kita jumpai adalah pintu
otomatis yang terdapat di pusat-pusat perbelanjaan. Pintu akan terbuka dan
tertutup secara otomatis apabila ada orang yang lewat.
Secara umum, sensor sebenarnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu sensor
fisika dan sensor kimia. Sensor fisika lebih kepada kemampuannya untuk
mendeteksi kondisi besaran fisika seperti tekanan, gaya, tinggi permukaan air laut,
kecepatan angin, dan sebagainya. Sedangkan sensor kimia merupakan alat yang
mampu mendeteksi fenomena kimia seperti komposisi gas, kadar keasaman,
susunan zat suatu bahan makanan, dan sebagainya. Termasuk ke dalam sensor
kimia ini adalah biosensor. Dewasa ini, biosensor telah banyak diteliti dan
dikembangkan oleh para peneliti dan industri, dan dalam dunia biosensor

6
research, topik yang sedang berkembang sekarang ini adalah biosensor yang
berbasis DNA (genosensor).
2.4.1. Biosensor
Biosensor sendiri didefinisikan sebagai suatu perangkat sensor yang
menggabungkan senyawa biologi dengan suatu tranduser. Dalam proses kerjanya
senyawa aktif biologi akan berinteraksi dengan molekul yang akan dideteksi yang
disebut molekul sasaran. Hasil interaksi yang berupa besaran fisik seperti panas,
arus listrik, potensial listrik atau lainnya akan dimonitor oleh transduser. Besaran
tersebut kemudian diproses sebagai sinyal sehingga diperoleh hasil yang dapat
dimengerti.
Biosensor yang pertama kali dibuat adalah sensor yang menggunakan
transduser elektrokimia yaitu elektroda enzim untuk menentukan kadar glukosa
dengan metode amperometri. Sejauh ini, biosensor dalam perkembangannya
mempunyai tiga generasi yaitu generasi pertama; dimana biosensor berbasis
oksigen, generasi kedua; biosensor menjadi lebih spesifik yang melibatkan
“mediator” diantara reaksi dan transduser, dan terakhir generasi ketiga; dimana
biosensor berbasis enzyme coupling.
Untuk produk-produk komersial dari teknologi biosensor, sekarang ini telah
banyak diperjualbelikan. Biosensor eksternal/internal dalam bentuk chip bahkan
telah diproduksi oleh perusahaan Amerika i-Stat, MicroChips, Digital Angel,
VeriChip yang dapat ditanam dalam tubuh manusia. Beberapa Perusahaan Jepang
pun turut berpartisipasi, seperti Matsushita Electric Industrial Co. dengan
teknologi biosensornya yang mampu menetapkan secara cepat dan mudah
pengukuran kolesterol darah. Tokyo Medical and Dental University dengan
biosensor nafasnya yang memanfaatkan enzim monoamine oksidase A (MAO A)
dan lain sebagainya. Tetapi secara umum untuk penguna biosensor, hampir 60%
pengunanya berasal dari health-care industri.
2.4.2. Prinsip Kerja Biosensor
Pada dasarnya biosensor terdiri dari tiga unsur yaitu unsur biologi (reseptor
biologi), transduser, dan sistem elektronik pemroses sinyal. Unsur biologi yang
umumnya digunakan dalam mendesain suatu biosensor dapat berupa enzim,

7
organel, jaringan, antibodi, bakteri, jasad renik, dan DNA. Unsur biologi ini
biasanya berada dalam bentuk terimmobilisasi pada suatu transduser.
Immobilisasi sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara baik dengan (1)
adsorpsi fisik, (2) dengan menggunakan membran atau perangkap matriks atau (3)
dengan membuat ikatan kovalen antara biomolekul dengan transduser.
Untuk transduser, yang banyak digunakan dalam suatu biosensor adalah
transduser elektrokimia, optoelektronik, kristal piezoelektronik, field effect
transistor dan temistor. Proses yang terjadi dalam transduser dapat berupa
calorimetric biosensor, potentiometric biosensor, amperometric biosensor, optical
biosensor maupun piezo-electric biosensor. Sinyal yang keluar dari transduser ini
kemudian di proses dalam suatu sistem elektronik misalnya recorder atau
komputer.
Berikut adalah contoh skema umum dari biosensor :

Gambar 1. Skema Umum Biosensor


2.4.3. Aplikasi Biosensor
Aplikasi biosensor pada dasarnya meningkat seiring dengan berkembangnya
keperluan manusia dan kemajuan iptek. Tetapi secara umum tetap didominasi
untuk aplikasi dibidang medis dan lingkungan hidup. Beberapa bidang aplikasi
lainnya dapat dilihat pada tabel berikut :
No Bidang Aplikasi Kegunaan Biosensor
1 Medis dan Mengontrol penyakit : diabetes, kolesterol, jantung dll
Farmasi Diagnosis untuk : obat, metabolit, enzim, vitamin
Penyakit infeksi, alergi.
Studi efisiensi obat
2 Lingkungan Kontrol polusi

8
Hidup Monitoring senyawa-senyawa toksik di udara, air, dan
tanah.
Penentuan BOD (biological oxygen demand)
3 Kimia Mengontrol kualitas makanan (mendeteksi
kontaminasi mikroba, menentukan kesegaran, analisis
lemak, protein dan karbohidrat dalam makanan.
Mendeteksi kebocoran, menentukan lokasi deposit
minyak.
Mengecek kualitas udara di ruangan.
Penentuan parameter kualitas pada susu
4 Pertanian Mengontrol kualitas tanah.
Penentuan degradasi seperti biodegradable pada kayu
dan makanan.
Mendeteksi keberadaan pestisida
5 Militer Mendeteksi zat-zat kimia dan biologi yang digunakan
sebagai senjata perang (senjata kimia/biologi) seperti
virus, bakteri patogen, dan gas urat syaraf.

2.4.4. Deteksi Hibridisasi dalam Biosensor DNA Elektrokimia


a. Disain Biosensor Hibridisasi Elektrokimia
Pemilihan asam nukleat untuk preparasi suatu biosensor berdasarkan
DNA terutama bergantung pada apa yang akan di-sense. Misalnya jika tujuan
biosensor untuk mendeteksi urutan DNA, suatu ssDNA, biasanya
oligonukleotida pendek digunakan sebagai elemen biosensing. Dendrimer dan
analog DNA dapat digunakan juga untuk tujuan ini. Dua aspek yang penting
dalam pengembangan biosensor hibridisasi: sensitivitas untuk mendeteksi
konsentrasi DNA yang serendah mungkin, dan selektivitas untuk dapat
mendeteksi titik mutasi. Metode tradisional untuk mendeteksi terjadinya
hibridisasi adalah sangat lambat dan memerlukan preparasi khusus. Ini yang
menjadi alasan mengapa akhir-akhir ini pengembangan biosensor hibridisasi
secara elektrokimia menjadi sangat menarik.

9
Suatu biosensor hibridisasi DNA elektrokimia pada dasarnya terdiri dari
suatu elektrode yang dimodifikasi dengan ssDNA yang disebut probe. Karena
elektrode dimodifikasi dengan probe, maka akan menyebabkan interaksi
dengan sampel melalui pengenalan urutan komplementernya, di antara yang
lainnya, di bawah kondisi pH, kekuatan ion, dan temperatur tertentu. Tahap
selanjutnya adalah deteksi pembentukan double helix
Tahap-tahap pembuatan biosensor hibridisasi elektrokimia meliputi:
amobilisasi probe, hibridisasi dan deteksi terjadinya hibridisasi. Dalam
makalah ini akan dikemukakan mengenai deteksi terjadinya hibridisasi dna
antara probe dengan target.
DNA diamobilisasi agar basa-basa dapat mengalami biopengenalan
selanjutnya dengan urutan komplementernya. Dalam hal ini, sifat elektrode
memainkan peranan yang sangat penting. Bagaimana kompromi basa-basa
untuk berinteraksi dengan permukaan elektrode dan selanjutnya mereka dapat
membentuk double helix.

Gambar 1. Skema umum tahapan operasi suatu biosensor hibridisasi DNA


secara elektrokimia (Rivas, 2005).
b. Deteksi Terjadinya Hibridisasi
Kebanyakan strategi untuk deteksi terjadinya hibridisasi adalah berdasarkan:
signal redoks asam nukleat yang diamobilisasi pada permukaan elektrode,
signal redoks senyawa yang bergabung secara selektif dengan dsDNA,
perubahan dalam sifat elektronik dari antarmuka, dan penggunaan skema
amplifikasi yang berbeda.
b.1. Berdasarkan Signal Redoks Asam Nukleat
Kelompok Wang (1998c) mengajukan suatu biosensor elektrokimia
untuk deteksi DNA Cryptosporydium parvum (29-mer oligonukleotida),

10
berdasarkan penggunaan suatu probe oligonukleotida yang mengandung inosin
sebagai pengganti guanin. Suatu inosin hipoksantin dapat berinteraksi dengan
sitosin meskipun interaksinya lebih lemah dibanding guanin-sitosin, karena
mereka dapat membentuk hanya dua ikatan hidrogen. Terjadinya hibridisasi
dievaluasi dari signal oksidasi guanin secara kronopotensiometri, signal berasal
dari target. Lucarelli et al. (2002) mengajukan skema untuk deteksi urutan
DNA hasil amplifikasi PCR yang berkaitan dengan apolipoprotein E (apoE).
Mereka menggunakan oligonukleotida 23-mer yang mengandung residu inosin
sebagai probe yang diadsorpsi pada SPE.
Pembentukan dupleks dideteksi dari signal oksidasi guanin menggunakan
SWV. Rasio terbaik antara signal untuk urutan komplementer dan
nonkomplementer diperoleh setelah adsorpsi 15 µg/mL urutan probe selama
2 menit pada potensial 0,50V dalam larutan dengan kekuatan ion yang rendah.
Untuk waktu yang kurang dari 10 menit mereka melaporkan selektivitas yang
sangat baik,dengan limit deteksi 2,6 x 1011 molekul target dalam larutan
sampel 10 µL. Hibridisasi dilakukan pada temperatur ruang selama 10 menit
menggunakan larutan hibridisasi 10 mL. Limit deteksi diperoleh 3,0 µg/mL
target. Biosensor yang diajukan dapat membedakan dengan jelas antara DNA
spesifik unruk apoE dan sampel kontrol negatif, dengan suatu reprodusibilitas
14% untuk oligonukleotida target sintesis dan 15-25% untuk sampel
sebenarnya. Suatu pengganggu 50% dapat teramati untuk urutan yang
mengandung satu basa mismatch.
Kelompok Thorp melaporkan beberapa penelitian yang berkaitan dengan efek
elektrokatalitik Ru(bpy)32+ terhadap oksidasi guanin menggunakan elektrode
ITO (Napier dan Thorp 1997a; Aper et al. 1997b; Ontko et al. 1999; Armistead
dan Thorp 2000, 2001; Johnston dan Thorp 1996). Napier et al. (1997b)
mengajukan suatu biosensor elektrokimia untuk deteksi terjadinya hibridisasi
berdasarkan transfer elektron guanin terhadap kompleks logam Ru(bpy)32+.
Suatu urutan probe yang mengandung inosin sebagai pengganti guanin telah
digunakan sebagai probe (Napier dan Thorp 1997a). Dalam penelitian ini,
efisiensi biosensor untuk penentuan produk PCR telah ditunjukkan untuk

11
pertama kalinya menggunakan DNA genomik dari virus Herpes simplex tipe II
(561 pb), Clostridium perfringens (247 bp), dan RNA genomik HIV (3.2 kb),
dengan perbedaan yang sangat baik terhadap urutan nonkomplementernya.
Napier dan Thorp (1997a) juga menggunakan ITO yang dimodifikasi dengan
1,12-dodecanedicarboxylic acid (DDCA) dan poli(C) untuk mendeteksi
hibridisasinya dengan poli(G). Monolayer DDCA mencegah oksidasi langsung
guanin sementara elektroaktivitas tinggi untuk Ru(bpy)32+. Penentuan
dilakukan dalam 50mM bufer fosfat pH 7.0 dari arus katalitik diperoleh setelah
penambahan 200mM Ru(bpy)32+.
b.2. Berdasarkan Penggunaan Indikator Redoks
Kompleks logam dan senyawa organik dapat berinteraksi dengan DNA pada
dasarnya berdasarkan dua mode pengikatan, kovalen dan nonkovalen. Dalam
mode pengikatan nonkovalen adalah mungkin untuk membedakan interaksi
elektrostatik, interkalasi, pengikatan groove, dan ikatan hidrogen (Neidle 1994;
Lippard dan Berg 1994).
Kriteria pemilihan indikator redoks adalah berdasarkan selektivitas
senyawa dengan dsDNA dibandingkan dengan ssDNA. Bahkan jika beberapa
senyawa yang hanya berinteraksi groove dapat digunakan juga untuk deteksi
terjadinya hibridisasi (Hashimoto et al. 1994a). Indikator redoks yang paling
efisien adalah senyawa-senyawa yang terinterkalasi ke dalam double helix.

12
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Voltametri atau amperometri adalah merupakan proses elektrolisis dalam
ukuran mikroskala dengan menggunakan mikro-elektroda kerja, disebut juga
teknik arus voltase. Potensial dari mikro elektroda kerja divariasikan dan arus
yang dihasilkan sebagai fungsi dari potensial. Pada voltametri terdapat 3 elektroda
yang digunakan yaitu : elektroda kerja, elektroda pembanding, dan elektroda
pembantu (auxillary electrode). Ada empat teknik analisis yang digunakan pada
voltametri antara lain : polarografi, stripping voltametri, siklik voltametri, titrasi
amperometri
Kelebihan titrasi amperometri yaitu : tidak diperlukan langkah untuk
mengkalibrasi galvanometer, tegangan yang dapat diberikan cukup teliti (sampai
1/10 volt), tidak ada efek karakteristik dari kapiler, tidak diperlukan unit
polarisasi, elektroda referens dapat dipilih yang nilai potensial elektrodanya
sedemikian rupa sehingga peristiwa reduksinya tidak memerlukan sumber
tegangan dari luar, untuk tujuan tersebut separuh sel yang sesuai dapat dipilih.

3.2. Saran
Di Indonesia penelitian di bidang biosensor telah berkembang pesat. Tetapi
kebanyakan penelitian di bidang ini berhenti pada tahap publikasi ilmiah di jurnal-
jurnal atau seminar-seminar. Dan tidak sampai menyentuh tahap paten/aplikasi
untuk di komersialisasikan. Hal ini sangat di sayangkan, padahal penelitian para
ilmuwan Indonesia sangat aplikatif semisal tentang penelitian pembuatan
biosensor untuk mendeteksi kadar alkohol atau daging hewan tertentu pada
produk makanan atau minuman, atau penelitian untuk membuat biosensor yang
mampu mendeteksi pestisida, serta berbagai penelitian lainnya. Semuanya ini
berpotensi untuk dikembangkan.
Secara kualitatif, kebutuhan akan biosensor di Indonesia sangat besar. Dan
diperkirakan permintaan biosensor di pasaran dunia akan selalu meningkat tiap

13
tahun. Sebagai perbandingan, data statistik menunjukkan untuk penjualan sensor
di bidang non milter saja pada tahun 2008 akan mencapai 50-51 miliar dolar AS.
Hal ini dari sisi ekonomis sangat mengiurkan. Sehingga sudah seyogyanya para
peneliti dan pemerintah Indonesia memanfaatkan momentum tersebut untuk dapat
merintis dan mengembangkan sistem sensor dengan kreatifitas, langkah dan
kebijakan yang lebih baik lagi.

14
DAFTAR PUSTAKA

Basset, J., dkk. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisa Kuantitatif Anorganik. EGC.
Jakarta
David, H. 2000. Modern Analytical Chemistry. McGrawHill Companies Inc., New
York
Ewing, G.W. 1975. Instrumental Methodes of Chemical Analysis 4thed.
McGrawHill Companies Inc. New York
Khopkar, S.M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Pres. Jakarta
Pungor, Erno. 1995. A partical a guide to Instrumental Analisis. CRC Press. New
York
Rivas, dkk. 2000. Characterization of The Total Free Radical Scavanger Capacity
of Vegetable Oils and Oil Fractions Using DPPH Radical. The American
Chemical Society’s Journal of Agricultural and Food Chemistry. USA.
Underwood, A.L., dkk. 1996. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Kelima. Erlangga.
Jakarta

15

Anda mungkin juga menyukai