Anda di halaman 1dari 29

TUGAS KELOMPOK

MAKALAH KIMIA ANORGANIK FISIK

KIMIA KOORDINASI IV: REAKSI-REAKSI DAN MEKANISMENYA

OLEH:

KELOMPOK I

NAMA NIM
ABDUL HALIM A1L1 15 001
ANDRIA NINGSIH A1L1 15 007
ARMAN A1L1 15 009
AYU LESTARI A1L1 15 011
DIAN SELFI A1L1 15 013
FITRIYANTI A1L1 15 015
HERIANTO HARBI A1L1 15 017
LA ODE MUHAMAD JAFAR A1L1 15 019
MASNI ISABELA A1L1 15 021
MELYNDA A1L1 15 023

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat limpahan rahmat dan karunia-Nyalah sehingga makalah yang berjudul

“Kimia Koordinasi IV: Reaksi-Reaksi dan Mekanismenya” ini dapat selesai

tepat pada waktunya. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi

Muhammad Sallallahu’alaihiwasallam yang telah membuka gerbang dunia

sehingga kita masih dapat menikmati ilmu pengetahuan hingga saat ini.

Penulisan makalah ini dimaksudkan sebagai salah satu pemenuhan tugas

yang diberikan oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan dan semoga makalah

ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menambah wawasan pembaca.

Makalah ini terdiri atas tiga bab, bab pertama menjelaskan mengenai latar

belakang yang mendasari penulisan makalah, rumusan masalah dan tujuan

penulisan makalah; bab dua menjelaskan tentang cakupan materi kimia koordinasi

IV yakni sejarah kimia koordinasi, reaksi-reaksi dan mekanismenya serta kinetika

reaksinya; dan bab tiga menjelaskan kesimpulan dari penulisan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Kimia Anorganik Fisik

yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah wawasan penulis

serta seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif

dari pembaca demi kesempurnaan pembuatan makalah berikutnya.

2
Kendari, Mei 2018

Penyusun

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... 1


KATA PENGANTAR .................................................................................. 2
DAFTAR ISI .................................................................................................. 4

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 6
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 7
C. Tujuan Penulisan ........................................................................... 7

BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Kimia Koordinasi ............................................................. 8
B. Reaksi Subtitusi............................................................................. 13
C. Mekanisme Reaksi Subtitusi ......................................................... 15
D. Konsekuensi Kinetik dari Jalur Reaksi ........................................ 22

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ................................................................................... 28
B. Saran ............................................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA

4
Kompetensi Dasar:

Menganalisis reaksi-reaksi dan mekanisme reaksi kimia koordinasi IV

Tujuan Pembelajaran:

Setelah mengikuti perkuliahan ini, diharapakan:

1. Mahasiswa dapat menjelaskan sejarah kimia koordinasi secara sistematis;

2. Mahasiswa dapat menjelaskan reaksi-reaksi substitusi dengan benar;

3. Mahasiswa dapat menjelaskan mekanisme reaksi substitusi dengan benar;

4. Mahasiswa dapat menganalisis konsekuensi kinetik pada suatu jalur reaksi

dengan benar;

5
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kimia koordinasi merupakan salah satu ilmu kimia yang mempelajari

tentang teori, sintesis, struktur, sifat dan reaktifitas senyawa kompleks. Senyawa

kompleks atau senyawa koordinasi merupakan senyawa yang pembentukannya

melibatkan ikatan kovalen koordinasi antara logam atau ion logam sebagai atom

pusat dan ligan. Umumnya, senyawa koordinasi terjadi pada logam transisi. Hal

ini karena logam transisi merupakan unsur logam dalam tabel periodik yang

memiliki subkulit d yang tidak terisi penuh. Sehingga logam transisi mampu

membentuk kompleks atau senyawa koordinasi, dimana atom atau ion logam

pusatnya mempunyai dua atau lebih ligan terikat padanya oleh ikatan kovalen

koordinasi.

Teori koordinasi telah berkembang sejak tahun 1805. Teori ini pertama

kali ditemukan oleh Thomas Graham yang sekarang dikenal dengan teori

Amonium Graham. Beberapa teori selanjutnya yakni teori senyawa molekuler

kekule, teori rantai Blomstart-Orgensen dan teori Werner. Perkembangan teori

koordinasi ini saling berkaitan dan memberikan manfaat yang sangat penting

dalam kehidupan. Hal in karena perkembangan ini memberikan ilmu pengetahuan

tentang pendeteksian struktur dari senyawa koordinasi atau senyawa kompleks

tersebut.

6
Senyawa koordinasi mengalami reaksi subtitusi. Reaksi subtitusi dalam

senyawa koordinasi merupakan reaksi di mana komposisi bola koordinasi pertama

di sekeliling logam pusat mengalami perubahan yang diakibatkan oleh masuknya

suatu ligan pengganti. Reaksi subtitusi dalam kimia koordinasi terdiri atas dua

yaitu reaksi disosiasi (penguraian) dan reaksi asosiasi (penggabungan).

Berdasarkan uraian tersebut, maka disusunlah makalah ini untuk mengetahui

sejarah, reaksi dan kinetika dari kimia koordinasi khususnya pembentukan

senyawa koordinasi.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masala dalam penyusunan makalah ini yaitu:

1. Bagaimana sejarah perkembangan kimia koordinasi?

2. Bagaimana reaksi subtitusi pada senyawa koordinasi?

3. Bagaimana konsekuensi kinetik dari proses reaksi dalam pembentukan

senyawa koordinasi?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penuisan makalah ini yaitu:

1. Untuk megetahui sejarah perkembangan perkembangan kimia koordinasi

2. Untuk mengetahui reaksi-reaksi subtitusi dan mekanismenya pada kimia

koordinasi

3. Untuk mengetahui konsekuensi kinetik dari proses reaksi dalam pembentukan

senyawa koordinasi.

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kimia Koordinasi

Kimia koordinasi mempelajari tentang teori, sintesis, struktur, sifat dan

reaktifitas senyawa kompleks. Senyawa kompleks atau senyawa koordinasi

merupakan senyawa yang pembentukannya melibatkan ikatan kovalen koordinasi

antara logam atau ion logam sebagai atom pusat dengan ligan. Sintesis senyawa

koordinasi telah menjadi bagian utama dalam ilmu kimia. Meskipun pada awalnya

struktur dari senyawa koordinasi tersebut tidak diketahui. Sejarah perkembangan

senyawa koordinasi didukung oleh 4 teori, yaitu:

1. Teori Ammonium Graham

Teori ini ditemukan oleh Thomas Graham (1805-1896). Teori ini

mengungkapkan bahwa amina-amina logam dianggap sebagai senyawa-senyawa

amonium yang tersubstitusi. Menurut Graham, dua atom hidrogen, disbstitusi oleh

sebuah atom tembaga, karena tembaga mempunyai valensi dua, sedangkan

hidrogen satu. Gambaran susunan atom-atom didasarkan pada:

a. NH3 terikat kuat pada atom tembaga sehingga penambahan asam seperti HCl

atau H2SO4 tidak terbentuk garam

b. Atom-atom klorin dapat diendapkan dengan menambah AgCl, sehingga

terbentuk endapan berwarna putih.

Kelemahannya teori Graham hanya dapat diterapkan bila jumlah NH3 yang

terikat pada atom logam jumlahnya sama dengan valensi logam. Tetapi pada

8
faktanya, banyak ditemukan jumlah NH3 yang terikat dengan logam yang

bervalensi lebih dari tiga. Contoh: CoCl3.6NH3,CoCl3.5NH3 dan CoCl3.5NH3.H2O

yang menyebabkan ditinggalkan teori tersebut.

2. Teori Senyawa Molekuler Kekule

Kekule membagi senyawa menjadi dua golongan berdasarkan valensi

konstan, yaitu senyawa atomik dan senyawa molekuler. Senyawa atomik

merupakan senyawa yang perbandingan jumalah atom-atomnya bersesuaian

dengan valensi tetapnya, misalnya: H2O, NH3, HCl, PCl3, NaCl, dan CoCl2.

Senyawa molekuler tersusun dari beberapa senyawa atomik NH3.HCl.PCl3. Gaya

yang bekerja antara senyawa atomik dalam senyawa molekuler lebih lemah

dibandingkan gaya antara senyawa atomik dalam senyawa atomik. Gaya Cl dalam

Cl2 lebih kuat dibanding dengan gaya antara PCl3 dengan Cl2 dalam PCl3.Cl2.

3. Teori Rantai Blomstrand-Jorgensen

Akhir abad ke-19, terdapat perkembangan luar biasa pada kimia organik

yang mengemukakan mengenai rantai –CH2–. Kenyataan ini mengilhami

Bloomstard bahwa molekul-molekul NH3 dapat membentuk rantai –NH3– analog

dengan rantai –CH2– pada senyawa organik.

Menurut Bloomstard, atom logam yang mengikat tiga valensi, seperti

kobalt, dapat mengikat tiga buah NH3 yang terdapat dalam rantai –NH3–. Untuk

senyawa kompleks yang mengandung halogen, atom halogen dibagi menjadi dua

macam, yaitu atom halogn lebih dekat (nearer halogen) dan halogen yang lebih

jauh (further halogen). Atom hidrogen further dapat diendapkan sebagai perak

halida. Atom hidrogen nearer tidak dapat diendapkan. Atom halogen further tidak

9
terikat langsung pada atom logam, sedangkan atom halogen nearer terikat

langsung pada atom logam. Pada waktu itu berhasil disintesis senyawa yang

namanya berdasarkan warnanya. Senyawa tersebut adalah CoCl2.6NH3 kompleks

luteo (kuning), CoCl2.5NH3 kompleks purpureo (ungu) dan CoCl2.4NH3

kompleks purseo (hijau). Kompleks luteo menghasilkan 3 ekivalen AgCl,

kompleks purpuseo menghasilkan 2 ekivalen AgCl, kompleks praseo

menghasilkan 1 ekivalen AgCl. Fakta lain tentang konduktivitas larutan,

menunjukkan bahwa larutan kompleks luteo terionisasi menjadi empat buah ion,

yaitu satu ion CoCl2.6NH3+ dan tiga ion Cl, kompleks purpureo terionisasi

menjadi tiga buah, kompleks purseo terionisasi dua buah ion. Fakta-fakta tersebut

disimpulkan bahwa kompleks luteo memiliki tiga atom klorin further, kompleks

pupureo memiliki satu atom klorin nearer dan dua atom klorin further memiliki

dan kompleks praseo, memiliki 2 atom klorin further dan dua atom klorin nearer.

Tahun 1889 dan 1890 Jorgensen berhasil mensintesis dua senyawa

kompleks yang memiliki rumus yang sama, yaitu CoCl2.(en)2. Dua senyawa

tersebut merupakan pasangan isomer dengan warna yang berbeda, satu berwarna

hijau dan satu berwarna violet, dan diberinama violeo. Menurut Jorgensen,

senyawa praseo dan violeo merupakan pasangan isomer struktural. Seharusnya

CoCl3.3NH3 terionisasi menjadi CoCl2.3NH3 dan satu ion Cl- sehingga larutan

kompleks tersebut merupakan larutan elektrolit. Selain itu, jika senyawa tersebut

dilarutkan dalam larutan AgCl akan membentuk endapan berwarna putih. Struktur

yang diajukan oleh Jorgensen tidak cocok dengan fakta-fakta eksperimen yang

ada.

10
4. Teori Werner

Terdapat sejumlah besar senyawa-senyawa kimia anorganik seperti

CoCI3.6.NH3, K3[Fe(CN)6], K2(SiF6) dan lain-lain di alam. Namun senyawa-

senyawa seperti ini mempunyai suatu sifat tertentu yang tidak digambarkan secara

struktural yang berdasarkan atas dasar teori valensi. Cara yang paling sukses

untuk menerangkan struktur senyawa ini adalah teori koordinasi Werner. Teori

mempostulasikan dua jenis valensi yaitu valensi primer (dapat terionisasi) dan

valensi sekunder atau valensi tambahan (tidak terionisasi).

Valensi primer adalah merupakan valensi yang mengikat atom satu dengan

atom lain membentuk senyawa-senyawa sederhana seperti senyawa ionik dan

senyawa kovalen NaCI, CCl4, CO2, NH3 dan sebagainya. Valensi sekunder adalah

valensi yang mempersatukan senyawa-senyawa ionik atau kovalen atau senyawa

molekul-molekul kompleks membentuk senyawa order kedua atau order yang

lebih tinggi. Empat molekul KCN bergabung dengan satu molekul Fe (CN)2

membentuk senyawa K4Fe(CN)6.

Menurut Wener, beberapa atom mempunyai tenaga yang dapat

mempersatukan atom-atom gugusan mereka atau molekul-molekul dengan

penggunaan valensi sekunder. Atom-atom atau gugusan yang terikat dengan

valensi sekunder dinamakan terkoordinasi pada atom pusat dan dihasilkan

senyawa kompleks yang dikenal sebagai kompleks terionisasi sedangkan gugus

yang terikat dengan valensi sekunder tidak dapat maksimum sedangkan gugus

yang terikat dengan valensi primer dapat terionisasi. Jumlah maksimum ion atau

molekul yang dapat terikat pada atom pusat dengan valensi sekunder disebut

11
sebagai bilangan koordinasi ion atau molekul yang terikat pada atom pusat

melalui ikatan koordinasi dinamakan ligan. Terdapat bermacam-macam ligan

seperti unidentat, bidentat, tridentat dan sebagaiya. Setiap jenis ligan ditentukan

oleh sejumlah titik-titik koordinasi yang dimiliki ligan. Apabila ikatan antara atom

pusat dengan ligan hanya menggunakan satu tangan ikatan, maka ligan tersebut

dinamakan ligan unidentat, contoh F-, CI-, H2O,NH3 tetapi etilena diamin (NH2-

CH2 – CH2-NH2) adalah ligan bidentat karena ikatan antara atom pusat dengan

ligan menggunakan dua tangan ikatan.

Postulat teori werner ini dapat diringkas sebagai berikut :

1. Logam mempunyai dua jenis valensi yaitu :

a. Valensi primer (dapat terionisasi)

b. Valensi sekunder (tidak dapat terionisasi)

2. Setiap logam mempunyai sejumlah tertentu valensi sekunder atau bilangan

koordinasi (BK). BK menyatakan jumlah gugusan yang terikat pada atom pusat

dengan menggunakan ikatan pasangan elektron dalam suatu senyawa

koordinasi. Tembaga (II) mempunyai BK = 4 kobal (II) dan platina (IV)

mempunyai BK = 6.

3. Valensi primer dimiliki oleh logam diisi oleh ion negatif. Valensi sekunder

yang dijumpai logam dapat diisi oleh gugus negatif, molekul netral (seperti H2,

NH3 dan sebagainya) atau kadang-kadang gugus positif. Dalam setiap kejadian

bilangan koordinasi (BK) logam harus terisi penuh.

4. Valensi sekunder diarahkan pada ruang-ruang sekitar ion logam pusat. Untuk

12
logam dengan bilangan koordinasi 6 berarti ada 6 valensi yang dipandang berada

ke masing-masing sudut oktahedral disekitar ion logam. Disamping itu untuk

logam dengan bilangan koordnasi 4 berarti ada 4 valensi yang dipandang berada

pada suatu planar atau tettrahedral disekitar ion logam.

B. Reaksi Substitusi

Reaksi substitusi dalam kimia anorganik adalah reaksi kimia di mana

komposisi bola koordinasi pertama di sekeliling suatu logam mengalami

perubahan. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat masuknya suatu ligan pengganti.

Oleh sebab itu reaksi ini disebut juga reaksi substitusi atau penyulihan ligan. Laju

reaksi dalam reaksi substitusi sangat bervariasi tergantung waktu yang diperlukan

untuk proses pencampuran pereaksi yang sempurna.

Kemampuan ion kompleks melakukan reaksi-reaksi yang menghasilkan

penggantian satu atau lebih ligan dalam lingkungan koordinasinya pada ligan lain

disebut kelabilan. Kecepatan reaksi substitusi ini sangat bergantung pada waktu.

Kompleks yang reaksinya sangat cepat disebut labil, sedangkan reaksi yang dapat

berlangsung secara lambat atau sama sekali tidak berlangsung disebut inert atau

lembam.

Henry Taube mengatakan bahwa kompleks yang mempunyai waktu paruh

(t) reaksi substitusi ligan lebih kecil dari 30 detik disebut sebagai kompleks stabil

dan kompleks yang memiliki waktu paruh reaksi substitusinya lebih besar dari 30

detik disebut kompleks lembam atau inert. Perlu ditekankan di sini istilah labil

dan inert ada kaitannya dengan laju reaksi dibaurkan dengan istilah stabil dan

tidak stabil, yang lebih mengacu kepada kecenderungan termodinamik dari

13
spesies untuk berada dalam kondisi kesetimbangan. Kajian tentang reaksi

kompleks labil biasanya memerlukan teknik percobaan yang canggih hal ini

karena waktu paruh reaksi substitusinya adalah sangat pendek sementara kelajuan

reaksinya sangat tinggi sehingga hanya teknik canggih yang dapat mendeteksi

jalannya reaksi. Dasar teknik percobaannya adalah dengan dilakukan gangguan

pada sistem kesetimbangannya misalnya dengan perubahan tekanan atau

temperatur yang dilakukan secara mendadak dan waktu relaksasi menuju

kesetimbangan semula yang akan diamati.

Reaksi dengan kelajuan yang lebih lambat dapat diamati dengan teknik

konvensional dan termasuk dalam kelompok ini adalah spektroskopi NMR, UV

Vis, dan Polarimeter, pemilihan alat yang akan digunakan disesuaikan dengan

periode waktu paruh dari reaksinya. Oleh karena teknik konvensional lebih mudah

dan lebih banyak digunakan, maka informasi yang tersedia tentang reaksi spesies

lembam atau inert adalah lebih banyak jumlahnya daripada reaksi spesies labil.

Telah dikatakan bahwa labilitas dan kelembaman adalah istilah kinetik

yang mengacu pada kelajuan suatu sistem reaksi untuk mencapai kesetimbangan.

Kedua istilah di atas tidak berkaitan dengan kestabilan termodinamika kompleks.

Tabel berikut memberikan laju pertukaran dan tetapan pembentukan untuk

beberapa kompleks siano.

14
Bila diperhatikan tabel tersebut menunjukkan bahwa tidak tergambar

adanya hubungan antara besarnya tetapan kesetimbangan pembentukan kompleks

dan laju pertukaran dengan ion sianida bertanda dalam larutan berair. Misalnya

[Hg(CN)4]2- secara termodinamika merupakan kompleks yang stabil dan secara

kinetika merupakan kompleks yang labil. Sehingga dalam larutan reaksi

pertukaran ligannya terjadi beberapa kali setiap detiknya. Tetapi ligan yang masuk

selalu sianida disamping air yang kelimpahannya berlebihan. Istilah kelembaban

atau inert digunakan untuk menggambarkan kestabilan kinetik sebagai pembeda

dengan istilah kestabilan termodinamika yang biasanya ditunjukkan dengan harga

tetapan pembentukan kompleks.

C. Mekanisme Reaksi Substitusi

Mekanisme reaksi substitusi ada 2 (dua) yaitu:

1. Proses dissosiative atau disosiasi (SN1)

2. Proses displacement atau asosiasi (SN2)

15
Kedua proses di atas dapat ditunjukkan dalam gambar berikut:

a. Proses Dissociattive (disosiasi)

Proses ini disebut juga proses SN1 yang dapat diartikan sebagai reaksi

substitusi Nucleofilik unimolekuler. Nucleofilik artinya reaksi ligan yang mencari

muatan positif atau ion pusat. Unimolekuler karena spesies yang menentukan

kecepatan reaksi hanya satu molekul.

b. Proses Displacement (asosiasi)

Proses ini disebut juga proses SN2 yang dapat diartikan sebagai substitusi

nukleofilik bimolekuler. Artinya spesies yang menentukan reaksi di sini ada dua

buah yaitu kompleksnya dan subtituen. Di sini dapat dibedakan bahwa pada

proses SN1 yang penting adalah pemutusan ikatan, sedangkan SN2 yang penting

adalah pembentukan ikatan.

Beberapa jenis reaksi substitusi yaitu:

1. Reaksi substitusi ligan kompleks tetrahedral

a. Kinetika pertukaran air

16
Reaksi substitusi yang paling sederhana adalah reaksi pertukaran air

terkoordinasi di sekeliling ion logam dalam larutan berair di mana air sekaligus

sebagai pelarut (tanpa adanya ion ligan lain).

Langfortd dan Gray membagi ion-ion pusat dengan reaksi pertukaran air

menjadi 4 kelas berdasarkan pada laju reaksi pertukaran :

Kelas I: Pertukaran air terjadi sangat cepat (difusi terkontrol); K > 10-8 detik-1.

Ion-ion yang termasuk dalam kelas ini adalah ion logam alkali dan

alkali tanah (kecuali Be2+ dan Mg2+), golongan 12 misalnya Cr2+ dan

Cu2+ kecuali Zn2+.

Kelas II: Tetapan laju pertukaran antara 104 dan 108 detik-1. Ion-ion yang

termasuk dalam kelas ini adalah logam-logam transisi periode pertama

yang bervalensi dua (kecuali V2+, Cr2+ dan Cu2+), juga termasuk ion-ion

Mg2+ dan lantanida yang bervalensi tiga.

Kelas III: Besar tetapan laju pertukaran antara 1 dan 104 detik-1. Yang termasuk

dalam kelas ini adalah ion-ion Be2+, V2+, Al3+, Ga3+ dan beberapa ion

logam transisi periode pertama yang bervalensi tiga.

Kelas IV: Ion-ion dalam kelas ini menurut pengertian taube adalah lembam

(inert). Besar tetapan laju pertukarannya antara 10-6 dan 10-3 detik-1.

Yang termasuk dalam kelas ini adalah Cr3+, Co3+, Rh3+, Ir3+ dan Pt2+.

Reaksi substitusi dalam oktahedral dapat dirumuskan secara umum:

[ M(H2O)x]2+ + L → [M(H2O)x-1L](n-2) + H2O

Menurut penyelidikan para ahli bahwa reaksi penggantian dari kompleks

kompleks hidrat dengan ligan-ligan seperti SO42-, S2O3, EDTA dan sebagainya,

17
kecepatan reaksinya ternyata hanya ditentukan oleh konsentrasi hidrat, jadi

reaksinya hanya ditentukan oleh konsentrasi hidrat, jadi reaksinya adalah reaksi

tingkat satu dengan:

Laju = k[M(H2O)xn+]-

Ini berarti bahwa reaksi yang lambat ialah pemutusan ikatan logam –H2O

dan prosesnya termasuk SN1. Senyawa kobalt (III) amin atau kompleks amin

reaksinya dengan air sangat lambat, tetapi untuk ligan-ligan lain cukup cepat.

[Co(NH3)5X]2+ + H2O → [Co(NH3)5H2O]3+ + X-

Reaksi ini ternyata adalah reaksi tingkat satu dan persamaan kecepatan reaksinya

dituliskan sebagai berikut:

Laju = k[Co(NH3)52+]

Jadi proses dissosiative atau proses SN1 penggantian gugus asam x- dalam

kompleks kobal oleh gugus lain selain H2O, mula-mula terjadi tersubstitusi oleh

H2O kemudian oleh ligan yang lain tersebut.

[Co(NH3)5X]2+ + Y- → [Co(NH3)5X]2+ + X-

Mekanisme dapat dituliskan sebagai berikut:

Ini berarti bahwa:

Laju reaksi = k[Co(NH3)5]2+

Jadi persamaan kecepatan reaksinya seperti hidrolisa tadi.

Ion OH bereaksi lain dari gugus asido di atas, reaksinya sangat cepat dan

merupakan reaksi tingkat dua.

18
[Co(NH3)5Cl]2+ + [OH]- → [Co(NH3)5OH]2+ + Cl-

Laju = k[Co(NH3)5Cl2+][OH-]

Ini menunjukkan bahwa ion OH- merupakan gugus nucleofilik yang baik.

b. Penyerangan elektrofilik pada ligan

Dikenal sejumlah reaksi dimana pertukaran ligan tidak melibatkan

pemutusan ikatan, tetapi ikatan dalam ligan itu sendiri diputuskan dan dibentuk

kembali. Suatu kasus yang terkenal adalah akuasi kompleks karbonat, bila

digunakan air bertanda isotop, maka ditemukan bahwa tidak ada *o yang masuk

ke dalam lingkungan koordinasi ion selama proses akuasi:

[Co(NH3)5OCO2]+ + 3H3*O→ [Co(NH3)5(H2O)]3+ + H2*O + CO2

Jalur yang paling mungkin ini menyangkut penyerangan proton pada atom

oksigen yang terikat pada CO diikuti oleh pengusiran CO2, kemudian protonisasi

kompleks hidrokso.

c.

Begitupula dalam reaksi NO2- dengan ion pentaaminakuobalt(III), penyelidikan

mengenai isotop bertanda memperlihatkan bahwa oksigen yang semula terikat

pada H2O berubah menjadi terikat pada NO2-. Hasilnya dapat menarik perhatian

dan jalurnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

19
2. Reaksi Substitusi Ligan Kompleks Persegi Planar

Kompleks-kompleks dengan bilangan koordinasi kurang dari 6, umumnya

bereaksi menurut proses displacement atau SN2, jadi reaksinya merupakan reaksi

tingkat dua. Ion-ion logam dengan konfigurasi d8 seperti Au(III), Ni(II), Pd(II),

Rh(I), Ir(I), Pt(II) semua ini biasanya membentuk kompleks persegi planar dengan

bilangan koordinasi 4, terutama dengan ligan-ligan kuat.

[Pt(NH3)2Cl] + H2O → [Pt(NH3)ClH2O]+ + Cl

[Pt(NH3)2Cl]+ + H2O → [Pt(NH3)H2O]+ + Cl-

Mungkin diperkirakan bahwa kekurangan jejal sterik dan ketersediaan orbital p

kosong yang tegak lurus pada bidang molekular akan memperbesar pentingnya

mekanisme asosiasi dalam reaksi substitusi logamnya. Dua karakter umum

ditemukan setelah mempelajari sejumlah reaksi, mekanismenya adalah assosiasi

dan hukum kelanjutannya mempunyai dua makna untuk reaksi,

ML2AX + Y → ML2AY + X

Kelajuan : [k1 +k2 [Y] [ML2AX]]

Tambahan pula bahwa reaksi substitusinya adalah stereospesifik: reaktan trans

memberikan hasil trans ML2AY dan reaktan cis memberikan hasil cis.

20
Pada substitusi senyawa-senyawa kompleks Pt(II) dalam pelarut-pelarut

bukan ligan seperti CCl4 dan C6H6. Jelas di sini terlihat reaksi tingkat dua. Pada

substitusi dalam pelarut yang bersifat ligan seperti H2O dan alkohol reaksinya

berlangsung lain, sebab pelarut ini juga ikut mengambil bagian.

Misalnya:
H2O
+ -
[Pt(NH3)3Cl] + Br H2O [Pt(NH3)3Br]+ + Cl-

Kecepatan reaksinya dinyatakan oleh:

Kelajuan: k1[Pt(NH3)3Cl]+ k2[Pt(NH3)3Cl]+ [Br-]

Mekanismenya diberikan pada persamaan berikut:

Dari penyelidikan diperoleh ligan-ligan yang mempunyai trans efek yang

besar bereaksi cepat dengan kompleks-kompleks Pt(II). Gugus fosfin, SCN-, I-

bereaksi cepat sedang dan H2, [OH]- bereaksi lambat dengan kompleks Pt(II).

Kecepatan dan mekanisme reaksi untuk kompleks tetrahedral beru sedikit

yang diketahui. Substitusi untuk senyawa-senyawa ini biasanya sangat cepat.

Adanya reaksi cepat ini menunjukkan bahwa di sini terjadi proses SN2. Energi

aktivasi akan turun bila ligan yang datang menyokong pemutusan ikatan logam

dengan ligan.

21
D. Konsekuensi Kinetik dari Jalurnya Reaksi

Hukum laju kinetik sangat membantu dalam menentukan mekanisme

reaksi, namun hal ini belum memberikan informasi yang cukup. Dalam kasus

ambiguitas, bukti lain harus digunakan untuk menemukan mekanisme reaksinya.

Hal ini untuk menentukan mekanisme reaksi dan menentukan pemilihan reaksi

khusus yang tampak dalam proses reaksi. Penentuan mekanisme reaksi sangat

penting karena memungkinkan seorang ahli kimia untuk memeriksa data untuk

reaksi lain secara kritis dan mengevaluasi mekanisme yang diusulkan.Sedangkan

pemilihan reaksi khusus yang tampak dalam proses reaksi sangat membantu

karena menyediakan bagian dari kumpulan pengetahuan yang diperlukan untuk

merancang sintesis baru. Sejumlah contoh tentang hukum laju dan bukti

eksperimental lainnya telah digunakan untuk menemukan mekanisme reaksi dapat

dilihat pada pembahasan berikut ini.

1. Disosiasi (D) / Penguraian

Dalam reaksi disosiatif, hilangnya ligan terjadi untuk membentuk zat

antara (intermediate) dengan nomor koordinasi yang lebih rendah diikuti dengan

penambahan ligan baru ke intermediate.

k1
ML5 X ML5 + X
k-1

k2
ML5 + Y ML5 Y

Dalam reaksi ini, X menunjukkan ligan yang meninggalkan kompleks. Y adalah

ligan yang masuk, dan L merupakan ligan yang tidak berubah selama reaksi.

Dalam kasus pertukaran pelarut, semua (X, Y, dan L) mungkin secara kimia

22
adalah spesies yang sama, tetapi dalam kasus yang lebih umum ligan-ligan ini

bisa saja berbeda. Secara umum, hal ini tidak diperhatikan, tetapi perlu diingat

bahwa salah satu spesies yang mungkin adalah ion. Contoh-contoh umum

biasanya berupa 6-koordinat, tetapi bilangan koordinasi lain dapat dipilih tanpa

perubahan dalam argumen.

Hipotesis keadaan stasioner (steady state) mengasumsikan bahwa

konsentrasi yang sangat kecil dari ML5 adalah antara dan mengharuskan bahwa

tingkat pembentukan dan reaksi intermediate harus sama. Hal ini pada gilirannya

mengharuskan tingkat perubahan [ML5] menjadi nol selama proses reaksi.

Dinyatakan sebagai persamaan laju sebagai berikut:

Pemecahan untuk

Secara keseluruhan persamaannya yaitu:

Salah satu kriteria untuk mekanisme ini adalah terdapat intermediat ML5, yang

dapat dideteksi selama reaksi. Deteksi langsung terkecuali pada konsentrasi

rendah merupakan tantangan eksperimen yang sangat sulit. Seringkali fakta-fakta

tak langsung tanpa intermediat ditemukan. Beberapa reaksi biasanya

diklasifikasikan dalam mengikuti mekanisme pertukaran.

23
2. Pertukaran (Interchange (I))

Dalam reaksi pertukaran (I), suatu keseimbangan yang cepat dalam

pertukaran ligan antara ligan yang masuk dan reaktan 6-koordinat membentuk

pasangan ion atau ikatan molekul berantai longgar. Spesies ini tidak digambarkan,

memiliki jumlah koordinasi yang meningkat dan tidak dapat dideteksi secara

langsung, kemudian bereaksi dari produk dan melepaskan ligan awal.

ML5X+ Y ML5X.Y
ML5X+ Y ML5Y + X

k1
ML5 X + Y ML5X.Y
k-1

k2
ML5X + Y ML5Y + X

Ketika k2 << k-1, reaksi kebalikan dari langkah satu cukup cepat sehingga

langkah pertama tidak bergantung pada langkah kedua, langkah pertama adalah

kesetimbangan dengan K1= k2/k-1.

Hipotesis keadaan stasioner menerapkan:

𝑑[ML5X.Y]
= k1 [ML5X] [Y] – K-1 [ML5X.Y] – k2 [ML5X.Y] = 0
𝑑𝑡
Jika [Y] besar dibandingkan dengan [ML5X] (kondisi experimen umum), maka

konsentrasi spesies transisi yang tidak stabil cukup besar untuk mengubah secara

signifikan konsentrasi dari ML5X tetapi bukan dari Y. sehingga, harus ada

pemecahan spesies ini dalam hal konsentrasi awal reaktan dari [M]0 yang disebut

dengan [Y]0.

[M]0 = [ML5X] + [ML5X.Y]

24
Dan, dengan asumsi konsentrasi produk akhir, [ML5Y] terlalu kecil untuk

mengubah konsentrasi Y secara signifikan.

[Y]0 ≅ [Y]

Dari persamaan keadaan stasioner, persamaan laju akhir kemudian menjadi:

k1 ([M]0 ‒ [ML5X.Y] [Y]) [Y]0 – K-1 [ML5X.Y] – K2 [ML5X.Y] = 0

Persamaan laju akhir menjadi:

k1 dapat diukur secara eksperimental dalam beberapa kasus dan diperkirakan

secara teoritis dari perhitungan energi interaksi elektrostatis, dengan kesepakatan

dalam kasus ini, di mana kedua metode telah digunakan.

Dua variasi pada mekanisme pertukaran (interchange) adalah Id

(pertukaran disosiasi) dan Ia (pertukaran asosiatif). Perbedaan antara keduanya

adalah dalam tingkat pembentukan ikatan pada langkah pertama dari mekanisme

reaksi. Jika ikatan antara ligan masuk dan logam lebih pentingkan, maka itu

termasuk mekanisme Ia. Sedangkan jika melanggar ikatan antara ligan yang

tersisa dan logam lebih penting, maka mekanisme tersebut adalah mekanisme Id.

Perbedaan antara keduanyanya ini halus dan desain eksperimental yang cermat

sangat diperlukan untuk menentukan deskripsi yang sesuai dengan reaksi yang

diberikan.

Seperti dapat dilihat dari persamaan dibawah ini, baik mekanisme D dan I

memiliki bentuk matematika yang sama untuk hukum laju keduanya, (jika hukum

25
D tingkat dibagi oleh k-1/ k-1, persamaan memiliki bentuk yang sama ditunjukkan

di bawah):

Pada konsentrasi Y yang rendah, Persamaan dapat disederhanakan ke

[X] untuk disosiatif dan ke I untuk persamaan interchange. Diantara keduanya

adalah urutan kedua (urutan pertama dalam M dan Y, nilai = K [M]0[Y]0 / [X],

pada [Y] yang tinggi, istilah kedua dalam persamaan lebih besar, penyebut

menjadi k’[Y] dan [Y] dibatalkan, menyebabkan urutan pertama reaksi dalam

urutan kompleks dan nol dalam Y (nilai= (k/k ') [M]0. Perubahan dari pertama ke

yang lainnya bergantung pada nilai-nilai spesifik pada angka konstan. Kesamaan

hukum laju membatasi kegunaannya dalam menentukan mekanisme dan

membutuhkan cara lain membedakan antara mekanisme yang berbeda.

3. Asosiasi (A)

Dalam sebuah reaksi asosiatif, langkah pertama, membentuk sebuah zat

antara (intermediat) dengan suatu peningkatan bilangan koordinasi, merupakan

langkah penentu laju. Ini diikuti oleh reaksi yang lebih cepat dimana ligan yang

pergi menghilang.

26
Pendekatan kesetimbangan digunakan dalam hukum lain menghasilkan

persamaan:

Persamaan orde dua terlepas dari konsentrasi Y.

27
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Simpulan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Sejarah perkembangan senyawa koordinasi didukung oleh 4 teori, yaitu: teori

Ammonium Graham, teori Senyawa Molekuler Kekule, teori Rantai

Blomstrand-Jorgensen dan teori Werner.

2. Reaksi substitusi dalam kimia anorganik adalah reaksi kimia di mana

komposisi bola koordinasi pertama di sekeliling suatu logam mengalami

perubahan. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat masuknya suatu ligan

pengganti. Oleh sebab itu reaksi ini disebut juga reaksi substitusi atau

penyulihan ligan. Laju reaksi dalam reaksi substitusi sangat bervariasi

tergantung waktu yang diperlukan untuk proses pencampuran pereaksi yang

sempurna.

3. Mekanisme reaksi substitusi ada dua, yaitu proses dissosiative atau disosiasi

(SN1) dan proses displacement atau asosiasi (SN2).

4. Konsekuensi kinetik pada suatu jalur reaksi dapat ditinjau pada tiga aspek

yaitu: disosiasi (D), Interchange (I) dan Asosiasi (A).

B. Saran

Saran dalam penulisan makalah ini yaitu sebaiknya para pembaca mencari

referensi lain untuk menutupi kekurangan isi makalah ini.

28
DAFTAR PUSTAKA

Raya, Indah. 2014. Kimia Anorganik Fisik dan Material. F-MIPA UNHAS.
Makassar.

Raya, Indah dan M. Jahrul. 2014. Kimia Koordinasi dan Organologam. F-MIPA
UNHAS. Makassar.

29

Anda mungkin juga menyukai