Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN

KIMIA KOMPUTASI

Oleh :
Suyanti
1213023069

PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015
BAB I

DASAR TEORI

1. Teori Pertubasi dan Teori Variasi

Dalam kimia komputasi terdapat 2 teori yaitu teori partubasi dan teori variasi.

A. Teori pertubasi

Metode pertubasi atau metode gangguan merupakan metode yang terdiri


dari tahap pengabaian bentuk atau suku dari persamaan yang dianggap
“gangguan kecil” terhadap persamaan yang dapat diselesaikan secara
eksaka dan menentukan apakah persamaan tanpa gangguan itu atau disebut
juga orde ganggua dihitung.

Ide dasar dari teori pertubasi adalah perbedaan antara Hamiltonian


referensi dan hamiltonian eksak dapat dipandang sebagai pertubasi.

Dari persamaan ini adalah bagian yang tidak diganggu dan merupakan
bagian yang telah diketahu dari penyelesaian persamaan Schrodinger
secara eksak. Sedangkan adalah bagian yang diganggu. Metode
pertubasi umumnyamemperhitungkan korelasi elektron

Fungsi gelombang terganggu

Energi terganggu

1
B. Teori variasi

Persamaa Schrodinger tidak dapat diaplikasikan pada atom berelektron


banyak. Sehingga digunakanlah fungsi trial, φ, dan mengganti persamaa
Schrodinger menjadi:

Selanjutnya :

Teori variasi menyatakan bahwa "menghitung energi menggunakan fungsi

trial akan lebih besar daripada energi keadaan dasar E0 . maka energi
sistem yang dihitung dengan fungsi trial memiliki nilai eigen lebih besar
daripada energi pada keadaan dasar E0. Sehingga untuk memperoleh nilai
yang mendekati energi keadaan dasar atau energi ground-state dapat
dilakukan dengan cara memvariasikan fungsi trial supaya hasilnya
mendekati nilai keadaan transisi

lalu

2. Basis Fungsi

Terdapat dua tipe fungsi basis yang umum digunakan dalam perhitungan
struktur elektronik yaitu: orbital tipe slater(STO) dan orbital tipe Gaussian
(GTO).
Basis fungsi :
1. fungsi matematika yang dirancang untuk memberikan fleksibilitas
maksimum untuk orbital molekul
2. harus memiliki makna fisik
3. koefisiennya bervariasi
Atom selain atom berelektron tunggal tidak memiliki orbital eksak, sehingga
kita butuh “trial” orbital yang dikenal dengan STO dan GTO atau fungsi basis.
STO dan GTO diperoleh dari proses Fitting atau pencocokan dengan orbital
atom hydrogen agar berbentuk serupa dengan orbital atom hydrogen.

2
A. STO (Slater Type Orbital)
Orbital tipe Slater ditemukan oleh John Slater. STO utamanya digunakan
untuk system atom dan diatom yang membutuhkan akurasi yang tinggi dan
metode semiempirik yang integral tiga Orbital tipe Slater berbentuk :

i ( , n, l , m; r , ,  )  Nr n 1e rYlm ( ,  )

N adalah konstanta normalisasi dan ζ adalah eksponen orbital, Y l,m adalah


fungsi harmonik seris, l dan m adalah bilangan kuantum momentum
anguler. STO ini mirip dengan orbital atom Hidrogen karena pada Y
terdapat fungsi sudut sehingga dapat dihasilkan bilangan kuantum
magnetik ( arah orbital) dan bilangan kuantim azimut (bentuk orbital).
Orbitalnya merupakan fungsi eksponensial (𝑒 −ζ )

Kelebihan STO Kelemahan STO


dapat menggambarkan bentuk eksak  Walaupun bentuknya mirip
suatu orbital dan karena mirip dengan atom hydrogen, fungsi
dengan atom Hidrogen akan STO sulit diselesaikan secara
memberikan kemungkinan yang matematis
lebih tinggi untuk nilai  Fungsinya kaku atau tidak dapat
sesungguhnya. divariasi

Karena kelemahannya sangat dominan, maka dibuatlah orbital lain selain


STO yaitu GTO

B. GTO (Gaussian type orbital)


Orbital tipe Gaussian dibuat oleh boys tahun 1950. Fungsi eksponensial
𝑒 −𝑎r2 (walaupun hanya beda pangkat tetapi menyebabkan perubahan yang
signifikan). a merupkan parameter variasi. Orbital tipe Gaussian
menggunakan fungsi variasi, sehingga fungsinya dapat di variasikan.
Kelebihan GTO Kekurangan GTO
 Fungsi dapat di  Grafik GTO terlalu curam
improve/divariasi/diperbaiki, (perubahannya terlalu cepat)
sehingga dapat mendekati bentuk  Bentuk grafiknya tidak mirip
eksak orbital hydrogen dengan hydrogen/tidak cocok

3
 Karena fungsinya dapat divariasi,
maka menutupi kelemahan STO

C. Perbedaan STO dan GTO


Adapun perbedaan antara STO dan GTO adalah sebagai berikut :

 Kurva STO lebih landai dari pada kurva GTO (GTO lebih curam)
 Terhadap jarak STO tidak signifikan,sedangkan GTO signifikan
 Jika GTO divariasi maka hasilnya dapat mendekati GTO
 STO=∑GTO (STO=∑GTO dikenal dengan basis set)

3. Basis Set

Basis set :

1. Satu set fungsi matematika yang digunakan untuk memperluas orbital


molekul untuk membantu memecahkan persamaan Schrödinger .
2. Masing-masing fungsi yang berpusat ( berawal ) di beberapa titik dalam
molekul ( biasanya pada inti ) .
3. Setiap fungsi adalah fungsi dari x , y , z koordinat dari sebuah elektron .

contoh

STO - 3G basis set untuk molekul H2

Atom hidrogen memiliki orbital 1s, jika dihitung dengan basis set STO-3G
berarti satu fungsi STO digantikan oleh 3 fungsi Gaussian (GTO).

4
Untuk perhitungan molekul , maka : OM ( H2 ) = LCAO

1STO 3G
 N1c1e1 r  N2c 2e2 r  N3c3e3 r
2 2 2

3  i r 2 exponent βi coefficient ci Ni
(r )  N  ci Ni e
i 1
3.425250 0.276934

0.623913 0.267839

N = 1,0000002 0.168856 0.083474

Ekplisit :


1s (r )  1 0.276934e 3.425250r  0.267839e 0.623913r  0.083474e 0.168856r
2 2 2

Ini adalah produk dari satu elektron orbital dari atom hidrogen. Kemudian,
untuk menghitung molekul H2 , orbital molekul diperoleh dari LCAO.

STO-3G untuk Metana

Molekul metana terdiri dari 4 orbital '1s' - satu per atom hidrogen, dan set '1s',
'2s' dan '2p' untuk karbon. Total basis set terdiri dari 9 basis fungsi.

H = 1s orbital (4 x 1s) = 4 fungsi STO

C = 1s, 2s, 2px, 2py, orbital 2pz = 5 fungsi STO

9 STO fungsi x 3GTO = 27 fungsi Gaussian (GTO)


A. Split valensi basis set (pembelahan valensi basis set)

Orbital valensi diwakili oleh lebih dari satu basis fungsi, (masing-masing
yang pada gilirannya dapat terdiri dari kombinasi linear tetap fungsi
Gaussian primitif). Split hanya digunakan untuk orbital valensi, sedangkan

5
orbital core atau orbital inti tidak, karena orbital valensi yang berpengaruh
terhadap reaksi kimia.

Pada basis set 3-21G angka 3 melambangkan core orbital (orbital 1s


kecuali pada hydrogen dan hydrogen like), dan menyatakan bahwa core
orbital di gantikan dengan 3 fungsi Gaussian. 21G melambangkan orbital
valensi displit atau dipecah menjadi 2 fungsi Gaussian dan 1 fungsi
Gaussian. Pada hydrogen dan hydrogen like orbital 1s bukanlah orbital
core melainkan orbital valensi, karena orbital 1s pada hydrogen dan
hydrogen like berperan dalam pembentukan ikatan. Contohnnya:

6C = 1s 2s 2px 2py 2pz

Core orbital orbital valensi (orbital selain orbital 1s, yang berperan
dalam pembentukan ikatan).

6C = 1s 2s 2px 2py 2pz

3GTO 2GTO 1GTO 2GTO 1GTO 2GTO 1GTO 2GTO 1GTO

Ψ3-21G = 3GTO + ∑2GTO + ∑1GTO

Jika menggunakan basis set 6-31G maka :

Ψ6-31G = 6GTO + ∑3GTO + ∑1GTO

Jika menggunakan basis set 6-311G maka :

Ψ6-311G = 6GTO + ∑3GTO + ∑1GTO + ∑1GTO

B. Basis fungsi polarisasi

Pengaruh inti tetangga akan mendistorsi (polarisasi) kerapatan elektron


dekat inti yang diberikan. Dalam rangka untuk memperhitungkan, orbital
yang memiliki bentuk yang lebih fleksibel dalam molekul daripada s, p, d,
dll, bentuk dalam atom bebas digunakan.

Sebuah orbital s terpolarisasi dengan menggunakan


tipe orbital p

6
Orbital p terpolarisasi dengan mencampur dalam
tipe orbital d

Terbentuk akibat polarisasi sehingga


perlu ditambahkan dalam basis set, oleh
karena itu perlu fungsi baru

6-31G (d) → satu set dari 6 fungsi Gaussian untuk orbital d digunakan
sebagai fungsi polarisasi pada atom berat.
6-31G (d, p) → satu set dari 6 fungsi Gaussian untuk orbital d digunakan
sebagai fungsi polarisasi pada atom berat dan satu dari
set 3 fungsi Gaussian untuk orbital d orbital p digunakan
sebagai fungsi polarisasi pada atom hidrogen.

C. Difusi Basis fungsi


Untuk keadaan tereksitasi dan anion di mana densitas elektronik lebih
tersebar di molekul, beberapa basis fungsi yang sendiri lebih diperlukan
tersebar (yaitu GTOs dengan eksponen kecil). Fungsi-fungsi ini secara
tambahan disebut fungsi menyebar. Mereka biasanya ditambahkan sebagai
GTOs tunggal.
6-31 + G → menambahkan satu set orbital sp menyebar ke atom di baris
pertama dan kedua ( Li - Cl ) .
6-31 ++ G → menambahkan satu set orbital sp menyebar ke atom di baris
pertama dan kedua ( Li- Cl ) dan satu set fungsi menyebar
ke hidrogen s.

7
.

Jumlah primitif dan basis fungsi untuk 1,2 - Benzosemiquinone radikal bebas
dengan 6-31 + G ( d ) basis set
primitif :
atom C : nr.primitives = 32 x nr . atom = 6 → 192
atom H : nr.primitives = 4 x nr . atom = 4 → 16
atom O : nr.primitives = 32 x nr . atom = 2 → 64
TOTAL : 272 primitif GTO
Fungsi dasar :

8
atom C : nr . BF = 19 x nr.atoms = 6 → 114
atom H : nr . BF = 2 x = 4 nr.atoms → 8
atom O : nr . BF = 19 x nr.atoms = 2 → 38
TOTAL : 160BF

4. Metode dalam kimia komputasi

Metode kimia komputasi dibedakan menjadi 2 bagian besar yaitu metode


mekanika molekul dan metode struktur elektronik. Adapun metode struktur
elektronik terdiri atas 3 metode, yaitu ab initio, semiempiris dan Density
Functional Theory (DFT). Dalam kimia kuantum terdapat beberapa konsep
untuk menjelaskan metode struktur elektronik, yaitu basis set, korelasi elektron
dan kesalahan superposisi basis set.

A. Metode ab initio
Metode ab initio merupakan metode yang perhitungannya murni
menggunakan persamaan Schrodinger, tidak menggunakan data eksperimen,
kecuali data eksperimen umum misalnya e-, konstanta-konstanta. Metode ab
initio digunakan pendekatan untuk menyelesaikan perhitungannya.
Persamaan Schrodinger untuk perhitungan energi suatu fungsi gelombang :

Hel ѱel (r,R) = Eeff (R) ѱel (r,R)

Keterangan :
Hel : Hamiltonian elektronik
ѱel : Fungsi gelombang elektronik yang bergantung pada koordinat
elektron (r) dan koordinat inti (R)
Eeff : Energi elektronik efektif yang hanya bergantung pada koordinat
inti (R)

Metode ab initio terbagi atas beberapa metode dengan pendekatan yang


berbeda diantaranya adalah metode Hartree-Fock Self-Consistent Field
(metode sentral/paling sederhana), Configuration Interaction,

9
Multiconfigurational SCF (MCSCF), Multi-reference Configuration
Interaction (MRCI), Møller-Plesset perturbation theory, dan Coupled
Cluster methods.

1. Hartree-Fock Self-Consistent Field


Metode ini diawali dengan pendekatan Hartree yang memisalkan tolakan
antar elektron sebagai efek rata-rata atau mengabaikan korelasi antar
elektron atau elektron tidak berinteraksi secara eksplisit dengan elektron
lainnya tapi berinteraksi dengan medium potensial dari elektron lainnya.
Hartree juga menguraikan fungsi gelombang atom/molekul merupakan
produk atau kombinasi pada orbital molekul tanpa memprdulikan prinsip
larangan pauli. Sebagai contoh fungsi gelombang H2 yang memiliki 2
elektron dapat dituliskan
ѱH2 = ϕ1(1) ϕ2(2)
Seharusnya menurut larangan pauli
ѱH2 = ϕ1(1) ϕ2(2) - ϕ2(2) ϕ1(1)
ѱH22 = ϕ12(1) ϕ22(2)
Fungsi gelombang kurang tepat karena fungsi gelombang harusnya
asimetris dimana kedua elektron tidak dapat di bedakan satu dengan yang
lainnya. Electron tidak berinteraksi secara eksplisit dengan yang lainnya,
tetapi electron berinteraksi di local medium potensial dengan electron lain
(bukan potensial aslinya). Karena pendekatan hartree memiliki
kelemahan, maka Fock memperbaikinya. Pendekatan Fock fungsi
gelombangnya mempertimbangkan prinsip larangan pauli, sudah
menggunakan determinan slater, menggunakan operator Fock untuk
menggantikan operator Hamilton, tetapi masih belum mempertimbangkan
korelasi antar elektron. Operator Fock :

ƒi = Hi + ∑𝑁/2
𝐽−1(2𝐽 − 𝐾)

Keterangan :
Hi : operator kinetik + operator potensial inti
J : operator potensial elektron
K : operator exchange

10
Fock memperbaiki fungsi gelombang orbital molekul berdasarkan teori
orbital molekul, fungsi gelombang orbital molekul merupakan kombinasi
linear orbital atom (LCAO). Dengan dasar ini maka
ѱH2 = ϕ1(1) ϕ2(2) ± ϕ1(2) ϕ2(1)
Selanjutnya untuk memenuhi prinsip larangan pauli, maka
ѱH2 = ϕ1(1) ϕ2(2) - ϕ1(2) ϕ2(1)

Fungsi gelombang yang antisimetris dapat dicapai dengan


mengkonstruksi fungsi gelombang sebagai Determinan Slater, sehingga
fungsi gelombang untuk N elektron adalah
ϕ1 (1) ϕ2 (1) … ϕN (1)
1
ѱ = | ϕ1…(2) ϕ2…(2) …

ϕN (2) |

√𝑁
ϕ1 (N) ϕ2 (N) … ϕN (N)

Hal ini dapat dituliskan dengan persamaan Hartree-Fock (menggunakan


single Slater Determinant)
ϕ i = ∑𝑁
µ=1 𝑐µ𝑖 𝜒µ

Keterangan :
ϕ : Fungsi gelombang orbital molekul
c : Koefisien ekspansi
χ : Fungsi gelombang orbital atom

Koefisien ekspansi (c) inilah yang kemudian divariasikan atau diimprove


sedemikian sehingga energi yang didapatkan pada perhitungan mendekati
energi pada fungsi gelombang eksak.

Untuk memvariasikan koefisien ekspansi (c) hingga energi yang


dihasilkan mendekati energi eksak maka diselesaikan dengan metode
medan konsistensi diri/ Self-Consistent Field (SCF). Persamaan Hartree-
Fock dapat diselesaikan dengan suatu rangkaian, perhitungan awal
dilakukan dengan pemilihan orbital, diikuti pembentukan operator Fock

11
dan penyelesaian persamaan yang digunakan untuk memperoleh orbital
baru; kemudian orbital yang terhitung digunakan untuk menentukan
operator Fock baru; Prosedur ini diulang sampai suatu kriteria
konvergensi dicapai yang mana kriteria konvergensi didasarkan pada
perubahan energi dari suatu orbital. Prosedur ini dikenal dengan metode
medan konsistensi-diri (SCF) karena prosedur berulang terus-menerus
dilakukan sampai medan elektrostatik efektif tidak mengalami perubahan.
Diagram perhitungan SCF ditunjukkan sebagai berikut.

Mulai

Orbital awal

Perhitungan
potensial efektif

Pembentukan
operator Fock

Penyelesaian
persamaan orbital

tidak
Konvergen?

ya
Hasil

Selesai

2. Configuration Interaction (CI)


Karena Hartree-Fock memiliki kelemahan, yaitu tidak mepertimbangkan
korelasi elektron, maka untuk mengatasi kelemahan tersebut diciptakan

12
metode interaksi konfigurasi ini dengan prinsip variasi. Dalam metode ini
Determinan Slater diperoleh dengan eksitasi single, double, triple, dan
lain-lain dari optimasi Determinan Slater HF. Konsep dari CI adalah
penyusunan kembali determinan Slater yang melibatkan “virtual” tidak
terisi dari perhitungan Hartree-Fock.

Funsi gelombang total untuk CI dapat dituliskan


ѱCI = 𝑎0 𝜙𝐻𝐹 + ∑𝑆 𝑎𝑆 𝜙𝑆 + ∑𝐷 𝑎𝐷 𝜙𝐷 + ∑𝑇 𝑎 𝑇 𝜙𝑇 = ∑𝑖 𝑎𝑖 𝜙𝑖
Keterangan :
𝜙𝐻𝐹 : determinan HF
𝜙𝑆 : determinan tereksitasi tunggal
𝜙𝐷 : determinan tereksitasi ganda
𝜙𝑇 : determinan tereksitasi triplet
𝑎0 , 𝑎1 , 𝑎2 , 𝑎3 : koefisien masing-masing determinan

Metode CI menggunakan prisip variasi dimana koefisien dari masing-


masing determinan dapat di variasi sehingga menghasilkan fungsi
gelombang dengan energi terendah (energi fungsi gelombang eksak).
Energi korelasi eksak dapat diperoleh dari perhitungan CI penuh (full CI)
dengan mengeksitasi semua orbital “virtual” dalam perhitungan energi.
Namun, ini tidak memungkinkan pada sistem yang besar, mungkin hanya
dapat dilakukan pada sistem kecil yang hanya terdiri dari beberapa atom.
Walaupun untuk sistem yang kecil, jumlah konfigurasi tereksitasi cukup

13
besar sehingga perlu pemangkasan ekspansi CI. Terdapat beberapa
pemangkasan ekspansi CI, yang hanya melibatkan satu kali konfigurasi
tereksitasi atau Configuration Interaction, single (CIS), atau dua kali
konfigurasi tereksitasi atau Configuration Interaction, double (CID), atau
gabungan keduanya atau Configuration Interaction, single and double
(CISD).

Metode ini akan menjadi semakin rumit dengan semakin besarnya


himpunan basis yang digunakan. CI bukanlah metode praktis dalam
perhitugan energi korelasi karena CI penuh tidaklah mungkin,
konvergensinya sangat lambat dan transformasi integral memakan waktu.
Selin itu, CI bersifat tidak taat-ukuran, perhitungan dua spesies yang
terpisah dalam jarak yang besar tidak memberikan energi yang sama
sebagai jumlah dari perhitungan energi spesies yang terpisah.

3. Multiconfigurational SCF (MCSCF)


Metode ini adalah metode yang perhitungan orbital HF teroptimasi
dilakukan secara simultan dengan prosedur CI. Prinsip variasi tidak hanya
pada koefisien ekspansi CI, tetapi juga pada koefisien ekspansi orbital
molekul HF (𝑐µ𝑖 ). Metode MCSCF sering digunakan untuk kasus-kasus
di mana HF tidak memberikan penjelasan kualitatif yang benar.

MCSCF memperbaiki beberapa korelasi elektron, tapi kebanyakan "Statis


elektron korelasi" yang dihasilkan dari tambahan fleksibilitas yang
diperlukan secara kualitatif untuk menggambarkan sistem, dan tidak
begitu banyak "dinamis korelasi elektron" sehingga energi menurun
disebabkan dengan adanya gerakan elektron.

4. Multi-reference Configuration Interaction (MRCI)


Metode ini menggunakan fungsi gelombang MCSCF sebagai referensi.
Metode ini sangat menuntut kekomputasian atau sistem komputasi yang
handal untuk menyelesaikan perhitungan pada metode ini.

14
5. Møller-Plesset perturbation theory
Ide dasar dari metode ini adalah perbedaan dari Hamiltonian eksak dan
Hamiltonian referensi pada HF.
H = H0 + λH’
Keterangan :
H : Hamiltonian eksak
H0 : Hamiltonian referensi (operator Fock)
H’ : Hamiltonian pertubasi.
λ : besarnya pertubasi

Berdasarkan persamaan di atas maka didapatkan


Ѱi = Ѱi(0) + λѰi(1) + λ2Ѱi(2) + … = ∑𝑛=0 λn Ѱi (n)

Ei = Ei(0) + λEi(1) + λ2Ei(2) + … = ∑𝑛=0 λn Ei (n)

Dimana Ei(1) adalah koreksi energi order pertama, Ei(1) adalah koreksi
energi order kedua dan seterusnya. Metode ini konvergensinya cepat
(secepat SCF) dan bersifat taat-ukuran. Kelemahannya adalah tidak
bersifat variasional sehingga estimasi energi korelasi bisa terlalu besar.
Oleh karena itu, harus diterapkan menggunakan himpunan basis yang
cukup memadai/besar.

Terdapat pemangkasan juga pada metode MP ini yaitu MP2 (second-


order Møller-Plesset perturbation theory), MP3 (Three-order Møller-
Plesset perturbation theory) dan MP4 (Four-order Møller-Plesset
perturbation theory). Waktu perhitungan semakin besar dari MP2 > MP3
> MP4.

6. Coupled Cluster methods


Metode ini menambahkan semua koreksi dari tipe tertentu untuk perintah
tak hingga. Fungsi gelombang pada metode ini adalah sebagai berikut:
Ѱcc = eTϕ0

15
1 1
eT = 1 + T + 2 T2 + 6 T3 + …

Keterangan :
ϕ0 : fungsi gelombang HF
T : ekspansi Taylor

Pada metode ini juga terdapat pemangkasan seperti halnya pada metode
MP namun . Adapun pemangkasan dari teori ini yaitu CCD (Coupled
Cluster, double), CCSD (Coupled Cluster, single and double), CCSDT
(Coupled Cluster, single, double and triple).
T = T2  CCD
T = T1 + T2  CCSD
T = T1 + T2 + T3  CCSDT atau CCSD(T)

B. Metode semiempiris

Perhitungan semiempiris disusun dengan cara yang secara umum sama


dengan perhitungan HF. Beberapa perhitungan, seperti integral elektron
ganda diselesaikan dengan cara pendekatan atau sama sekali dihilangkan.
Dalam rangka mengoreksi kesalahan perhitungan akibat penghilangan
sebagian dari perhitungan HF, metoda ini diparameterisasi dengan cara
fitting kurva untuk menghasikan beberapa parameter atau angka agar dapat
memberikan kesesuaian dengan data eksperimen. Sisi baik dari
perhitungan semiempiris adalah mereka lebih cepat daripada perhitungan
ab initio. Sisi buruk dari perhitungan semiempiris adalah hasilnya sangat
bergantung pada tersedianya parameter yang sesuai dengan molekul yang
dianalisis. Jika molekul yang dikaji mirip dengan molekul yang ada dalam
data base yang digunakan dalam metoda parameterisasi, hasilnya akan
baik. Jika molekul yang dikaji berbeda secara signifikan dengan molekul
yang digunakan dalam metoda parameterisasi, jawabannya mungkin akan
sangat berbeda dengan data eksperimen. Perhitungan semiempiris telah
sangat sukses dalam menjelaskan masalah di bidang kimia organik yang
hanya mengandung beberapa unsure secara ekstensif dan molekul dengan
ukuran yang sedang. Namun demikian, metoda semiempiris akan

16
memberikan beberapa kesalahan, khususnya jika harus menjelaskan
permasalahan pada kimia anorganik, terutama jika kita bekerja dengan
melibatkan unsur-unsur transisi.

Metode semiempiris merupakan metode yang perhitungannya menggunakan


data eksperimen dan persamaan Schrodinger. Metode ini berdasar pada
pendekatan HF. Pendekatan dilakukan terhadap penyusunan martik Fock
atau dalam penyederhanaan pernyataan energi sistem. Pendekatan ini
merupakan integral dua elektron yang diperlukan untuk membentuk matrik
Fock. Pendekatan dengan pengabaian menyeluruh tumpang tindih
diferensial adalah CNDO (Complete Neglect Of Differential Overlap),
pendekatan dengan pengabaian termodifikasi tumpang tindih diatomik
adalah MNDO (Modified Neglect Of Diatomic Overlap), pendekatan yang
hamper sama dengan MNDO hanya saja ada penggunaan suku baru dalam
menggambarkan interaksi antar inti disebut AM1 (Austin Model 1), dan ada
juga pendekatan dengan parameterisasi disebut PM yang terbagi atas PM3,
PM5 dan PM6, angka setelah PM menunjukkan banyaknya metode
semiempiris yang diparamerisasikan.

Metode semiempiris dapat dioptimasikan untuk keperluan yang berbeda.


Metode MNDO, AM1 dan PM3 dirancang untuk memproduksi panas
pembentukan dan struktur dari sejumlah besar molekul organic. Metode
semiempiris yang lain dioptimasikan khusus untuk spektroskopi misalnya
INDO, ZINDO atau CNDO yang melibatkan perhitungan CI dan cukup baik
untuk memprediksi keadaan transisi elektronik dalam daerah spectra
UV/VIS.

5. Kurva energy potensial Lennard-jones


Sewaktu sepasang molekul mendekat, gaya diantanya menimbulkan energy
potensial, yang harus dipertimbangkan selain energy kinetic yang berkaitan
dengan kelajuannya. Kasus yang paling sederhana digambarkan oleh atom gas
mulia. Jika dua atom didekatkan. Jika kedua atom itu didorong lebih dekat lagi,

17
mereka saling tolak menolak, tolakanya semakin tinggi jika jaraknya semakin
dekat. Ini dapat dijelaskan oleh kurva energi potensial V(R) seperti yang
ditunjukkan oleh argon pada gambar dibawah ini.

Kurva energi potensial V(R) untuk sepasang atom helium (kurva kiri) dan
sepasang atom argon (kurva kanan). Jika V menurun dengan naiknya R,
maka atom semakin menolak; jika V meningkat dengan meningkatnya R
kedua atom saling menarik.
Rumus sederhana yang sering digunakan untuk model interaksi diantara
atom-atom ini adalah potensial Lennard-Jones:

Dengan ɛ adalah kedalaman dan s jarak V(R) melewati nol. Potensial ini
mempunyai bagian tarikan, yang berbanding lurus terhadap R-6, dan
bagian tolakan, yang berbanding lurus terhadap R-12.

18
BAB II

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

1. Perbandingan Metode Perhitungan Terhadap Data Eksperimen

Pada pertemuan pertama kita melakukan percobaan mengenai perhitungan


energi ikatan dan panjang ikatan dengan menggunakan beberapa metode, lalu
membandingkan data hasil percobaan dengan data eksperimen. Berikut ini
tabel hasil pengamatan untuk membandingkan metode perhitungan terhadap
data eksperimen :

Energi Ikatan (Kj/mol) Panjang Ikatan


Energi Molekul Energi Atom (Å)
Metode
No F2 F Teoritik Eksperi Teoritik Eksperi
men men
semiempirik
1 -0.035877870 0.03010313 -252.2688468 -158,8 1.42693 1,4119
AM1
semiempirik
2 -0.034599120 0.03010313 -248.9114892 1.35019
PM3
semiempirik
3 -55.635417540 -27.54913029 -1410.305394 1.11906
CNDO
4 HF 6-31G -198.646097070 -99.36085954 198.5455585 1.41243
HF 6-
5 -198.677756680 -99.36495687 136.9383412 1.34488
31G(d,p)
DFT
6 B3LYP 6- -199.498294000 -99.71553650 -176.4887100 1.40334
31G(d,p)
DFT
7 B3LYP cc- -199.513379300 -99.72660171 -157.9917501 1.40986
pVDZ
DFT
8 B3LYP -199.544567110 -99.74999504 -117.0369753 1.46039
LanL2DZ
MP2 6-
9 -199.034891340 -99.48727110 -158.4466441 1.42060
31G(d,p)
CCSD 6-
10 -199.041613900 -99.49768044 -121.4372864 1.42523
31G(d,p)
CASSCF 6-
11 -198.679880460 -99.36179212 114.7442578 1.34550
31G(d,p)

19
Pada percobaan ini untuk menghitung energi ikatan dan panjang ikatan
digunakan program Gauss View dengan 11 metode, yaitu semiempirik AM1;
semiempirik PM3; semiempirik CNDO; HF 6-31G; HF 6-31G(d,p); DFT
B3LYP 6-31G(d,p); DFT B3LYP cc-pVDZ; DFT B3LYP LanL2DZ; MP2 6-
31G(d,p); CCSD 6-31G(d,p); dan CASSCF 6-31G(d,p). dengan panduan
LKM yang telah diberikan dosen.

Berdasarkan data hasil pengamatan di atas, metode perhitungan yang paling


akurat terhadap data eksperimen adalah metode MP2 6-31G(d,p). Hal ini
dikarenakan hasil perhitungan energi ikatan dan panjang ikatan yang
diperoleh dengan metode MP2 6-31G(d,p) memiliki perbedaan yang paling
kecil terhadap data eksperimen daripada metode lainnya. Energi ikatan dan
panjang ikatan yang diperoleh dengan metode MP2 6-31G(d,p) yaitu -
158.4466441 Kj/mol dan 1.42060 Å sedangkan data eksperimennya yaitu -
158,8 Kj/mol dan 1,4119 Å. Perbedaan atau selisih data teoritik
menggunakan metode MP2 6-31G(d,p) dengan data eksperimen untuk energi
ikatan adalah 0,3533559 Kj/mol, dan untuk panjang ikatan adalah 0,0087 Å.

Metode MP2 6-31G(d,p) merupakan metode ab initio yang


mempertimbangakan korelasi electron. Ide dasar metode ini yaitu teori
partubasi Moller-Plesset yaitu perbedaan antara Hamilton referensi dan
Hamilton eksak yang dapat dipandang sebagai parturbasi..

H = H0 + λH/

Dimana H adalah operator Hamilton eksak, H0 adalah operator Hamilton orde


nol, H/ adalah operator Hamilton pertubasi, dan λ adalah parameter yang
menunjukkan besarnya pertubasi.

Berdasarkan waktu perhitungannya urutan metode yang yang paling cepat ke


paling lambat adalah semiemperik PM3, semiemperik CNDO, semiemperik
AM1, HF 6-31G, HF 6-31G (d,p), DFT B3LYP 6-31G (d,p), DFT B3LYP cc-
pVDZ, DFT B3LYP LanL2DZ, CASSF 6-31G (d,p), CCSD 6-31G (d,p) dan
yang paling cepat adalah MP2 6-31G (d,p).

20
Perhitungan dengan metode semiempirik (MNDO, AM1, PM3) dapat
dijalankan lebih cepat karena tidak semua persamaan diselesaikan secara
eksak dan elektron yang diperhitungkan hanyalah elektron valensi saja,
sedangkan Ab initio menyelesaikan semua persamaan secara eksak dan semua
elektron yang ada diperhitungkan, sehingga memerluka waktu perhitungan
yang lama. Hasil perhitunga Ab initio lebih akurat dibandingkan dengan
perhitungan semiempirik, walaupun dalam pengerjaannya Ab initio
memerlukan waktu yang lebih lama.

Perhitungan energy ikat dihitung menggunakan rumus :

EI = energy molekul F2- energy 2 atom

Adapun reaksi pembentukan molekul F2 dari dua atom F yaitu :

F + F → F2

Berdasarkan reaksi diatas maka dapat dihitung perubahan energi yang terjadi
dengan cara :

ΔE = E produk – E reaktan

= EF−F − EF − EF

= EF−F − 2EF

Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa energi molekul F2 lebih


kecil jika dibandingkan dengan energi 2 atom F. Hal ini karena molekul F2
lebih stabil jika dibandingkan atom F yang belum berikatan. Pada
pembentukan molekul F2 dari 2 atom F terjadi pelepasan energi dari masing-
masing atom F untuk membentuk molekul yang stabil yang dinamakan energi
ikatan Kerana energi ikatan merupakan energi yang dilepaskan makan
nilainya negatif (-) sehingga perhitungannya dapat dilakukan sesuai dengan
rumus diatas.

Metode semiempirik adalah metode yang dalam perhitungannya


menggunakan data eksperimen serta menggunakan persamaan schrondinger

21
untuk menyelesaikan persamaannnya. Keuntungan utama dari metode semi-
empiris adalah perhitungannya dapat dilakukan lebih cepat karena tidak
semua persamaan diselesaikan secara eksak dan elektron yang diperhitungkan
hanyalah elektron valensi saja, electron dalam (core) dihitung sebagai fungsi
tolakan core-core dan mampu melakukan perhitungan pada molekul yang
lebih besar atau dapat diterapkan pada sistem yang besar dan menghasilkan
fungsi gelombang elektronik yang baik sehingga sifat-sifat elektronnya dapat
diprediksi.

Hatree-Fock merupakan suatu metode ab initio yang tidak


mempertimbangkan korelasi elektron, namun merupakan metode perhitungan
yang sentral dan utama serta sederhana dalam kimia komputasi. Metode
Hatree-Fock merupakan suatu prosedur pengulangan self-consistent untuk
menghitung “kemungkinan terbaik” solusi determinan tunggal terhadap
persamaan ScrӦdinger tidak bergantung waktu dari sistem berlektron banyak
dalam potensial coulumb inti tetap. Metode Hartree-Fock memperhitungkan
seluruh jumlah elektron dalam molekul.

Metode DFT (Density Functional Theory) merupakan metode perhitungan


kimia komputasi yang mempertimbangkan fungsi electron tunggal seperti
seperti pada metode HF, namun pada DFT hanya menghitung energy
elektronik total dan distribusi kerapatan electron.

Metode MP2 (Meller-Messet Orde 2 ) adalah metode perhitungan kimia


komputasi yang didasarkan pada teori partubasi yaitu memandang perbedaan
antara Hamilten referensi dan hamilten eksak sebagai pertubasi. Metode MP2
merupakan metode yang dalam perhitungan energi total suatu atom atau
molekul dalam senyawa akan sebanding dengan pangkat lima dari jumlah
fungsi basis dan hanya menggunakan metode gangguan.

Basis set merupakan kumpulan fungsi basis atau deskripsi matematis dari
orbital dalam sistem yang digunakan untuk melakukan perhitungan mekanika
kuantum. Semakin besar basis set maka akan lebih akurat dalam

22
mendeskripsikan orbital karena elektron lebih leluasa bergerak atau tidak
terbatas pada suatu ruang tertentu.

6-31G merupakan himpunan basis set. Dimana 6 menyatakan orbital core


atau orbital inti yang diperlakukan dengan 6 fungsi gaussian, dan 31G yaitu
suatu angka yang menyatakan orbital valensi yang berarti bahwa orbital
valensi tersebut displit menjadi 3 fungsi Gaussian dan 1 fungsi gaussian

6-31G (d,p) merupakan himpunan basis set ganda yang ditambah dengan
fungsi polarisasi dan disporsi. Dimana 6 menyatakan orbital core atau orbital
inti yang diperlakukan dengan 6 fungsi gaussian, 31G yaitu suatu angka yang
menyatakan orbital valensi yang berarti bahwa orbital valensi tersebut displit
menjadi 3 fungsi gaussian dan 1 fungsi Gaussian, dan (d,p) merupakan orbital
d yang digunakan sebagai fungsi polarisasi pada atom berat dan seperangkat
orbital p yang digunakan sebagai fungsi polarisasi pada atom hidrogen

2. Analisis Kurva Energi Potensial Lennard-Jones

Pada percobaan ini kami menganalisis kurva energi potensial Lennard-Jones


dengan menggunakan program GaussView dengan panduan LKM yang telah
diberikan dosen. Perhitungan energi potensial Lennard-Jones dilakukan
dengan menggunakan metode DFT B3LYP dan basis set cc-pVTZ.
Perhitungan energi potensial Lennard-Jones dilakukan pada molekul Cl2
dengan jarak-jarak tertentu. Berikut ini adalah hasil percobaan yang kami
peroleh :
Tabel energi interaksi molekul Cl2 pada jarak-jarak tertentu

Molekul Jarak (Å) Energi interaksi (kJ/mol)

Cl2 4,0 144,9047371774


3,7 120,7850073084
3,5 98,6975979300
3,0 13,6952098828
2,8 -34,7360951125

23
2,6 -90,8935891146
2,4 -150,9399468989
2,2 -204,1076532086
2,0 -225,0408141889
1,9 -208,7918858457
1,6 110,1447500182
1,3 1928,8965210176
1,0 7827,2494493230

Berdasarkan data hasil perhitungan di atas, didapatkan kurva energi potensial


Lennard-Jones sebagai berikut :

Kurva Energi Potensial Lennard-Jones


950

750
Energi interaksi (kJ/mol)

550

350

150

-50
1.0 1.3 1.6 1.9 2.0 2.2 2.4 2.6 2.8 3.0 3.5 3.7
-250

-450
Jarak (Å)

Kurva diatas merupakan kurva yang menggambarkan hubungan antara jarak


antar dua atom dengan energi potensialnya. Berdasarkan kurva diatas dapat
kita lihat bahwa semakin kecil jarak antar kedua atom energi potensial
cenderung besar, dan semakin besar jarak antar kedua atom energi
potensialnya cenderung kecil. Namun energi terkecil tidak dimiliki pada saat
kedua atom saling berjauhan (jarak antar kedua atom besar) melainkan pada
jarak tertentu, yaitu pada jarak sekitar 2Å. Pada jarak ≤1,6 Å energi
potensialnya tinggi dan bernilai positif (kurva curam), hal tersebut

24
dikarenakan adanya interaksi tolak-menolak yang kuat antara dua atom Cl
sehingga energi potensialnya sangat besar. sedangkan pada jarak ≥3 Å energi
potensial bernilai positif tetapi perubahannya tidak besar (kurva landai), hal
tersebut dikarenakan pada jarak ≥3 Å interaksi antara dua atom Cl lemah,
sehingga energi potensialnya kecil.
Pada kurva tersebut dapat dijelaskan jika kedua atom semakin menjauh maka
seharusnya antara kedua atom tersebut tidak ada interaksi dan umumnya,
menghasilkan energi potensial mendekati nol. Namun faktanya pada jarak 4Å
masih memiliki energi interaksi sebesar 144,9047371774 kJ/mol yang berarti
bahwa pada jarak 4Å masih terdapat interaksi walaupun interaksinya sangat
lemah.

Apabila dua atom yang terisolasi saling mendekat maka pada jarak tertentu
akan terbentuk ikatan, dimana pada percobaan ini ikatan Cl-Cl yang paling
stabil terbentuk pada jarak 2Å dengan energi potensial yang paling kecil,
yaitu -225,0408142 kJ/mol. Semakin kecil jarak antara kedua atom maka
gaya tolakannya semakin besar dan energinya semakin tinggi, sehingga ikatan
yang terbentuk tidak stabil, namun bila jarak antar kedua atom sangat jauh
maka interaksi antar atom sangat lemah sehingga ikatan yang terbentuk
kurang stabil dengan energi yang cukup tinggi. Ikatan Cl-Cl yang stabil akan
terbentuk dengan jarak tertentu dimana interaksi antar atom kuat namun gaya
tolakannya tidak besar dan memiliki energi terendah. Namun ketika jarak
antar kedua atom sudah sangat berjauhan maka tidak aka nada interaksi.

Kurva yang digambarkan pada percobaan ini yaitu kurva yang


menggambarkan hubungan energi potensial dengan jarak antara kedua atom.
Suatu kurva yang menggambarkan perubahan energi potensial yang
ditimbulkan oleh interaksi antara 2 atom yang terisolasi, biasa disebut kurva
potensial Lennard-Jones. Semua interaksi antar 2 partikel, seperti H2O-H2O
juga akan dapat menghasilkan kurva potensial Lennard-Jones seperti pada
molekul Cl2. Kurva potensial Lennard-jones potensial juga diartikan sebagai
salah satu bentukan fungsional standar yang biasanya dikembangkan dengan

25
suku coloumb untuk menggambarkan interaksi antar molekul pada jarak
panjang dan interaksi muatan-muatan.

3. Analisis Profil Energi Molekul Sikloheksana Pada Berbagai Konformasi

Pada percobaan ini kami menganalisis profil energi molekul sikloheksana


pada berbagai konformasi { konformasi sikloheksana kursi (Chair) ,
Sikloheksana Perahu (Boat), Sikloheksana Perahu Terpilih (Twist-Boast),
Sikloheksana Setengah Kursi (Half-Chair) } dengan menggunakan program
hyperchem dengan metode semiempirik AM1 dengan batas konvergensi
hingga 0,001 kkal/mol dan 10000 maximum cycles. Metode semiempirik AM1
digunakan untuk perhitungan energi pembentukan dan struktur molekul
organik sehingga tepat untuk mengetahui energi molekul sikloheksana pada
berbagai konformasi. Adapun batas konvergensi hingga 0,001 kkal/mol
dengan 10.000 maximum cycles menyatakan bahwa perbedaan energi fungsi
gelombang yang dihitung hanya berbeda 0,001 kkal/mol dengan energi fungsi
gelombang eksak dengan siklus maksimal 10.000 kali

Berikut ini data hasil perhitungan jarak antar 2 atom Haksial atas dan Haksial atas
serta energi molekul sikloheksana pada berbagai konformasi :

jarak antar jarak antar


Energi
No Sikloheksana atom atom
(kkal/mol)
Haksial atas Haksial bawah
1 Kursi

2.62921 Å 2.62922 Å -21559.81250

2 Setengah kursi

2.73915 Å 2.33576 Å -21553.31055

26
3 Perahu terpilin

2.58359 Å 2.58534 Å -21556.63086

4 Perahu

2.31263 Å 3.52782 Å -21556.28320

Berdasarkan data hasil perhitungan di atas, diperoleh kurva energi molekul


sikloheksana pada berbagai konformasi sebagai berikut :

Energi Molekul Sikloheksana pada


berbagai Konformasi
-21552.00000
1 2 3 4 5 6 7
setengah kursi setengah kursi
-21554.00000
Energi (kkal/mol)

-21556.00000
perahu
perahu terpilin perahu terpilin

-21558.00000

-21560.00000 kursi kursi


konformasi sikloheksana

Berdasarakan hasil perhitungan didapatkan energi molekul sikloheksana pada


setiap konformasi, diurutkan dari yang paling stabil adalah kursi  perahu
terpilin  perahu  setegah kursi.

Hal tersebut dikarenakan konformasi molekul sikloheksana dalam bentuk


kursi mempunyai energy terendah (-21559.81250), sementara bentuk

27
setengah kursi mempunyai energy tertinggi (-21553.31055), semakin kecil
energy maka molekul tersebut semakin stabil. Jika ditinjau dari jarak antar
atom Haksial atas , konformasi kursi memiliki jarak antar atom Haksial atas yang
jauh/besar, serta struktur hydrogennya berbentuk goyang (anti) dimana atom-
atom hydrogen atau gugus-gugus terpisah sejauh mungkin satu dari yang lain,
hal tersebut mengakibatkan tolak menolak antara atom-atom hydrogen, tolak
menolak antar elektron, dan interaksi antar ikatannya semakin kecil sehingga
energinya rendah. Sedangkan pada konformasi setengah kursi jarak antar
atom Haksial atas dekat/kecil, serta struktur hydrogennya berbentuk eklips
dimana atom-atom hydrogen atau gugus-gugusnya saling berdekatan,
menyebabkan tolak menolak antara atom-atom hydrogen, tolak menolak antar
elektron, dan interaksi antar ikatannya semakin besar sehingga energinya
tinggi.

Adapun perbedaan antara basis fungsi dan basis set adalah sebagai berikut :

No Basis fungsi Basis set


1 fungsi matematika yang Satu set fungsi matematika yang
dirancang untuk memberikan digunakan untuk memperluas orbital
fleksibilitas maksimum untuk molekul untuk membantu memecahkan
orbital molekul persamaan Schrödinger
2 harus memiliki makna fisik Masing-masing fungsi yang berpusat
(berawal) di beberapa titik dalam
molekul (biasanya pada inti)
3 koefisiennya bervariasi Setiap fungsi adalah fungsi dari x , y , z
koordinat dari sebuah elektron

STO-3G merupakan suatu basis set yang berarti 1 fungsi STO akan diganti
dengan 3 fungsi GTO. Jumlah fungsi Gaussian yang digunakan untuk
perhitungan molekul air H2O jika menggunakan basis set STO-3G adalah

H = 1s1 → terdapat 1 orbital 1s, karena H2 maka terdapat 2 orbital 1s


O = 1s2 2s2 2p4

28
= 1s 2s 2px 2py 2pz → terdapat 5 orbital
Total H2O memiliki 7 orbital, kemudian 7 fungsi STO x 3GTO = 21 fungsi
Gaussian (GTO)

4. Penentuan Geometri Yang Stabil Untuk Setiap Energi Minimum Dari


Konformer 1,3-Butadiena

Pada percobaan ini kami menghitung menghitungan energi minimum berbagai


konformasi 1,3-Butadiena pada sudut dihedral 180o, 150o, 120o, 90o , 60o, 45o,
30o, 15o dan 0o , perhitungan ini juga menggunakan program Hyperchem
dengan metode semiempirik AM1 dengan batas konvergensi hingga 0,001
kkal/mol dan 10000 maximum cycles seperti pada percobaan sebelumnya,
karena pada percobaan ini akan dilakukan perhitungan energi untuk molekul
organic yang cocok dihitung dengan metode semiempirik AM1.
Berikut ini data hasil perhitungan energi minimum molekul 1,3-butadiena
pada berbagai sudut dihedral :

No Sudut dihedral Gambar molekul Energi (kkal/mol)


1 180 o -13687.75488

2 150 o -13687.30469

3 120 o -13686.29688

29
4 90 o -13685.79297

5 60 o -13686.27441

6 45 o -13686.66504

7 30 o -13686.92090

8 15 o -13686.98828

9 0o -13686.98145

Berdasarkan data hasil perhitungan di atas, diperoleh kurva energi minimum


molekul 1,3-butadiena pada berbagai sudut dihedral sebagai berikut

30
Energi Minimum Berbagai Konformer
1,3-Butadiena
-13685
180 150 120 90 60 45 30 15 0
-13685.5

-13686
Energi (kkal/mol)

-13686.5

-13687 Ea

-13687.5 ∆HReaksi

-13688
Sudut dihedral (◦)

Berdasarkan kurva diatas dapat teramati bahwa agar konformasi trans dengan
sudut dihedral 180o dan energi terendah dapat berubah menjadi konformasi cis
dengan sudut dihedral 0o harus melewati konformasi intermediet (zat antara)
dengan sudut dihedral 90o yang memiliki energi tertinggi.

s-trans zat antara s-cis

(-13687.75488 kkal/mol) (-13685.79297 kkal/mol) (-13686.98145 kkal/mol)

Jadi, agar konformasi s-trans dapat berubah menjadi konformasi s-cis maka
konformasi s-trans harus memiliki energi minimal senilai dengan energi yang
dimiliki oleh konformasi intermediet yaitu -13685.79297 kkal/mol. Energi
minimum yang diperlukan Untuk mengubah s-trans menjadi s-cis itulah yang
disebut dengan energi aktivasi (Ea). Energi aktivasi (Ea) dapat ditunjukkan
seperti pada gambar kurva di atas. Adapun pengertian dari energi aktivasi

31
adalah energi minimum yang diperlukan partikel-partikel agar suatu reaksi
dapat terjadi membentuk produk baru. Jika dihitung berdasarkan perhitungan
energi yang telah dilakukan, maka energi aktivasinya adalah (-13685.79297 -
(-13687.75488 )) kkal/mol = 1.96191 kkal/mol.

Entalpi merupakan fungsi keadaan yang hanya bisa dihitung berdasarkan


keadaan awal dan keadaan akhir. Sehingga perubaha entalpi s-trans menjadi
s-cis dapat adalah selisih energi pada sudut dihedral 180o dan 0o. Tanda
positif dan negatif pada ∆HReaksi hanya melambangkan melepaskan atau
menangkap energi. Jika dihitung berdasarkan perhitungan energi yang telah
dilakukan, maka ∆HReaksi untuk s-trans menjadi s-cis adalah (-13686.98145-
(-13687.75488)) kkal/mol = 0.77343 kkal/mol.

32
DAFTAR PUSTAKA

Oxtoby, D.W. 2001. Kimia Modern. Erlangga. Jakarta.

Pranowo, Harno Dwi dan Abdul Kadir R.H. 2011. Pengantar Kimia Komputasi.
Bandung : Lubuk Agung

Saputra, Andrian. 2015. Computational Chemistry (.ppt). Lampung : Universitas


Lampung.

33

Anda mungkin juga menyukai