Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

APLIKASI HPLC PADA ANALISIS SENYAWA BAHAN


“Isolasi, Validasi Metode dan Optimasi Awal Proses Ekstraksi Senyawa
Penanda Eurycomanon dari Akar Tanaman Pasak Bumi (Eurycoma
longifolia)”

Mata Kuliah : Analisis Bahan Alam


Dosen Pengampu : apt. Tutik Sri Wahyuni, S.Si., M.Si., Ph.D.

Disusun oleh :
Farida Istiqamah (251221017)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayahnya sehingga saya sebagai penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
dengan judul “Aplikasi HPLC Pada Analisis Senyawa Bahan Alam” tepat pada
waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Analisis
Bahan Alam.
Terimakasih kepada apt. Tutik Sri Wahyuni, S.Si., M.Si., Ph.D. selaku
dosen mata kuliah Analisis Bahan Alam, saya sebagai penulis menyadari
bahwasannya masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini oleh
karena itu penulis akan sangat menghargai kritikan dan saran untuk membangun
makalah ini lebih baik lagi, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat serta
menambah pengetahuan terkait Analisis Bahan Alam.

Surabaya, 04 Oktober 2022

Farida Istiqamah
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pasak bumi merupakan salah satu tumbuhan yang telah lama dimanfaatkan
sebagai obat tradisional khususnya bagi masyarakat yang bermukim di Asia
tenggara dan Asia Selatan termasuk Indonesia (Silalahi, 2019). Penyebaran
pasak bumi di Indonesia antara lain di hutan Pulau Sumatera dan Kalimantan
dengan ketinggian 250-300 meter dari permukaan laut yang ditemukan di
lokasi penelitian bergelombang dengan kelerengan berkisar antara 15-45%
(Heriyanto et al., 2006; Suryo, 2010). Hampir semua bagian tumbuhan pasak
bumi digunakan sebagai obat tradisional. Kandungan senyawa dalam akar,
batang dan daun pasak bumi menunjukkan efek farmakologi sebagai anti
malaria, anti tumor, anti kanker, sitotoksik dan anti HIV (Widiyantoro, 2014).
Selain itu, khasiat tumbuhan pasak bumi yang paling dikenal yaitu sebagai
afrodisiaka (Fadillah, 2018).
Menurut Low et al. (2013), eurycomanon dan 13α (21)-
dihidroeurycomanon merupakan senyawa yang dapat meningkatkan kadar
testosteron, oleh karena itu kedua senyawa tersebut dapat digunakan sebagai
marker dengan khasiat sebagai afrodisiak. Sedangkan Hajjouli et al. (2014),
melaporkan bahwa senyawa eurycomanon mampunyai aktivitas sebagai anti
kanker yang selektif. Agar eurycomanon yang bersifat toksik pada kadar
tertentu tidak membahayakan konsumen, Malaysia telah membuat standar
bahwa kadar eurycomanon dalam ekstrak pasak bumi kisaran 0,8 - 1,5%
(Khari et al. 2014).
Dari permasalahan kadar senyawa marker dari pasak bumi berupa senyawa
eurycomanon, maka standardisasi memegang peranan sangat penting terutama
untuk produksi ekstrak pasak bumi. Departemen Kesehatan pada tahun 2008
telah mengeluarkan Farmakope Herbal Indonesia (FHI) sebagai standardisasi
kadar kandungan dari simplisia dan ekstrak, namun untuk standardisasi pasak
bumi belum ada karena senyawa eurycomanon sebagai senyawa penanda dari
pasak bumi yang masih jarang dan harganya sekitar 110 USD/mg. Oleh
karena itu, sangat diperlukan suatu metode untuk memeroleh senyawa
eurycomanon sebagai penanda dari tanaman pasak bumi serta metode
analisanya. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan
rekomendasi untuk proses ekstraksi akar pasak bumi dalam Buku Pedoman
Teknologi Formulasi Sediaan berbasis Ekstrak dari BPOM tahun 2013
Volume 2, yaitu menggunakan sistem maserasi dengan pelarut etanol 96%
dengan perbandingan 1:10. Proses ini jika digunakan di industri akan mahal,
karena menggunakan etanol 96%. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan
dikaji proses yang efisien untuk memeroleh kadar eurycomanon dan rendamen
yang besar dalam proses ekstraksi pasak bumi
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana isolasi eurycomanon dari akar pasak bumi?
2. Bagaimana validasi metode analisis eurycomanon dari akar pasak bumi ?
3. Bagaimana ekstraksi eurycomanon dari akar pasak bumi?
1.3 Tujuan
1. Mengisolasi eurycomanon dari akar pasak bumi.
2. Memvalidasi metode analisis eurycomanon dari akar pasak bumi.
3. Melakukan eurycomanon dari akar pasak bumi.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Pasak Bumi (Eurycoma longifolia)


2.1.1 Klasifikasi tumbuhan E. longifolia
Klasifikasi dari tumbuhan E. longifolia menurut Zulfahmi (2015) adalah
sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Sapindales
Suku : Simaroubaceae
Marga : Eurycoma
Spesies : Eurycoma longifolia Jack.

2.1.2 Morfologi tumbuhan E. longifolia


E. longifolia pada umumnya berbentuk semak atau pohon, tingginya dapat
mencapai 10 m, berdaun majemuk menyirip ganjil, batangnya berwarna kuning,
kulit batang keras, dan rasanya sangat pahit (Heriyanto et al., 2006). E. longifolia
merupakan tumbuhan yang musim pembahasan ungaannya tidak dapat ditentukan
sehingga berbeda dari tumbuhan lainnya yang sudah pasti pembungannya. Hal ini
membuat tumbuhan E. longifolia sulit dijumpai. Bunga tumbuhan E. longifolia
yaitu tipe tandan majemuk yang mana keluar dari ketiak daun. E. longifolia
memiliki sistem perakaran tunggang dengan akarnya tumbuh menjadi akar pokok
yang bercabang menjadi akar-akar yang lebih kecil. Akar tumbuhan E. longifolia
lebih panjang dua kali lipat dari panjang batangnya (Setyaningrum et al., 2017).
Ketika muda, buah tumbuhan E. longifolia berwarna hijau dan ketika matang akan
berwarna kuning serta ketika sudah tua berwarna hitam (Hadad & Taryono,
1998). Tumbuhan E. longifolia dapat dilihat pada Gambar 1.
(a) (a) (a) (a)
Gambar 1. (a) Pohon E. longifolia (b) Akar E. longifolia (c) Batang E. longifolia
(d) Daun E. longifolia (Dokumentasi Pribadi, 2019; Setyaningrum et
al., 2017).

2.1.3 Habitat dan sebaran tumbuhan E. longifolia


Habitat E. longifolia merupakan hutan tropis dengan curah hujan yang
cukup tinggi tetapi dengan tanah yang tidak tergenang air dan E. longifolia lebih
menyukai kondisi tanah miring, aerasi baik atau banyak mengandung pasir. E.
longifolia menyukai tanah yang memiliki pH agak asam dan berpasir. E.
longifolia juga menyukasi tempat tumbuh dengan suhu dan kelembaban yang
tinggi (Sinambela et al., 2017). E. longifolia adalah tumbuhan liar yang banyak
terdapat di Sumatera dan Kalimantan di dataran rendah sampai ketinggian 500 m
dari permukaan laut. Penyebaran E. longifolia meliputi Kalimantan, Sumatera,
Semenanjung, Malaya, Burma Selatan, Laos, Kamboja, dan Vietnam (Heriyanto
et al., 2006).

2.1.4 Kandungan kimia tumbuhan E. longifolia


Akar E. longifolia banyak mengandung senyawa golongan kuasinoid dan
beberapa senyawa lain seperti fenol, alkaloid, terpenoid, flavonoid dan protein
(Khanam et al., 2015; Osman et al., 2016; Suryo, 2010; Widiyantoro, 2014).
Hasil isolasi yang dilakukan Yusuf et al (2013), menerangkan bahwa akar E.
longifolia mengandung senyawa β-carbolin propionic acid, eurikomanon,
eurikomalakton, eurikomanol, dan klorokuin dipospat. Kandungan yang terdapat
pada batang E. longifolia antara lain tirucallanetype triterpenes yang memiliki
aktivitas anti kanker leukemia dan ginjal (Itokawa et al., 1993). Daunnya
mengandung senyawa anti tumor dan anti bakteri yang sensitive terhadap bakteri
Escherichia coli, salmonella typhi, S. aures, dan S. marscescens (Farouk &
Benafri, 2007). E. longifolia juga mengandung beberapa jenis sterol, yaitu
sitosterol dan stigmasterol yang merupakan golongan steroid dan beberapa jenis
mineral seperti Fe, Co, Mn (Gunawan, 1999).

2.1.5 Khasiat tumbuhan E. longifolia


Tumbuhan E. longifolia biasanya dimanfaatkan untuk untuk melindungi
tubuh dari radikal bebas (Siagian, 2012). Kandungan senyawa bioaktif
“eurikomanon” dalam akar, batang dan daun menunjukkan efek farmakologi sebagai
antimalaria (Permana, 2009). Tumbuhan E. longifolia memiliki banyak manfaat,
kulit atau kayu akar E. longifolia dimanfaatkan untuk mengobati cacing perut,
demam, sariawan, dan sakit tulang. Daunnya dimanfaatkan untuk penyakit gatal.
Buah dan bunganya dimanfaatkan untuk obat disentri, sedangkan akarnya
dimanfaatkan sebagai antimikroba, antimalaria, antiinflamasi, dan disentri
(Fadillah, 2018). Akar E. longifolia juga dapat digunakan untuk meningkatkan
stamina, dan menambah vitalitas pria karena memiliki sifat afrodisiak (Sukiada,
2015; Zulfahmi & Solfan, 2010).

2.2 Ekstraksi dan Ekstrak


Ekstraksi adalah proses penyarian zat aktif dari bagian tanaman dengan
pelarut yang sesuai. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen
kimia yang terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan
massa komponen zat padat ke dalam pelarut, kemudian berdifusi masuk ke dalam
pelarut (Depkes RI, 1979). Prinsip ekstraksi yaitu melarutkan senyawa non polar
dalam pelarut non polar dan senyawa polar dalam pelarut polar (Susanti &
Bachmid, 2016). Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara
konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman
(Mukhriani, 2014). Metode ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan terbagi
menjadi dua menurut prinsipnya, yaitu ekstrasksi cara dingin dan ekstraksi cara
panas. Jenis ekstraksi cara dingin yaitu maserasi dan perkolasi sedangkan jenis
ekstraksi cara panas yaitu refluks, sokhlet, dekokta, dan infusa (Depkes RI, 1986).
Proses ekstraksi dipengaruhi oleh suhu, ukuran partikel, jenis pelarut, waktu
ekstraksi, dan metode ekstraksi (Irianty et al., 2012). Ekstrak adalah sediaan
kering, kental, atau cair yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai
(Depkes RI, 1995). Ekstrak memiliki beberapa jenis, diantaranya ekstrak kering,
ekstrak kental, dan ekstrak cair (Sudewo, 2009).

2.3 Maserasi
Maserasi merupakan proses ekstraksi serbuk simplisia pada temperatur
ruangan mengunakan pelarut organik dengan proses pengadukan pada waktu
tertentu. Maserasi bertujuan untuk mendapatkan zat-zat terkandung didalam bahan
(Julyantika et al., 2016). Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk
simplisia dalam cairan penyari. Prinsip maserasi adalah cairan penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel mengandung zat aktif yang
akan larut, karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam
sel dan di luar sel maka larutan di desak keluar. Proses ini berulang sehingga
terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel
(Depkes RI, 2000).

Metode maserasi ini sangat menguntungkan karena dapat menghindari


rusaknya senyawa yang bersifat termolabil, akan tetapi kerugian dari maserasi
yaitu membutuhkan waktu yang cukup lama dan pelarut yang banyak (Mukhriani,
2014). Pengaruh suhu pada proses ekstraksi akan mengakibatkan rusaknya
senyawa-senyawa metabolit sekunder. Pemilihan pelarut yang digunakan untuk
maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan
kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut akibat kontak langsung dan waktu
yang cukup lama dengan sampel (Julianto, 2016). Penelitian Arifah dan
Nurkhasanah (2014), melaporkan bahwa dalam penelitiannya diperoleh ekstrak
etanol akar E. longifolia 16,0570 gram dengan rendemen yang didapat sebesar
3,21% dari serbuk awal 500,2 gram menggunakan pelarut etanol 96% dengan
metode maserasi, sedangkan penelitian Irawati (2019), dalam penelitiannya
diperoleh ekstrak etanol akar E. longifolia 8,114 gram dengan rendemen yang
didapat sebesar 5,41% dari serbuk awal sebanyak 150 gram menggunakan pelarut
etanol 70% dengan metode maserasi.

2.4 Fraksinasi
Fraksinasi pada prinsipnya adalah proses penarikan senyawa pada suatu
ekstrak dengan menggunakan dua macam pelarut yang tidak saling bercampur.
Pelarut yang umumnya dipakai untuk fraksinasi adalah n-heksan, etil asetat, dan
metanol. Untuk menarik lemak dan senyawa non polar digunakan nheksan, etil
asetat untuk menarik senyawa semi polar, sedangkan methanol untuk menarik
senyawa-senyawa polar. Dari proses ini dapat diduga sifat kepolaran dari senyawa
yang akan dipisahkan. Sebagaimana diketahui bahwa senyawa-senyawa yang
bersifat non polar akan larut dalam pelarut yang non polar sedangkan senyawa-
senyawa yang bersifat polar akan larut dalam pelarut yang bersifat polar juga
(Mutiasari, 2012).
Metode pemisahan yang digunakan umumnya adalah fraksinasi cair-cair,
yaitu metode pemisahan dengan menggunakan dua cairan pelarut yang tidak
saling bercampur, sehingga senyawa yang diinginkan dapat terpisah. Metode
fraksinasi lainnya yaitu fraksinasi yang dilakukan dengan menggunakan kolom
kromatografi, yakni berupa gelas pipa yang dilengkapi dengan kran dan penyaring
didalamnya ukuran kolom yang digunakan dapat disesuaikan dengan banyaknya
sampel yang akan dipisahkan. Glass wool atau kapas biasanya digunakan untuk
menahan penyerap yang diletakkan di dalam kolom pengisian kolom dilakukan
dengan homogen (Harborne, 1996).

2.5 Isolasi
Isolasi adalah teknik pemisahan senyawa dari bentuk kasarnya menjadi
senyawa tunggal. Isolasi dapat dilakukan pada senyawa yang sudah diketahui
maupun yang belum diketahui. Pengembangan dari teknik isolasi dan analisis
telah memungkinkan identifikasi berbagai senyawa asing (Heinrich et al., 2012).
Faktor paling penting yang harus diperhatikan sebelum memulai isolasi adalah
sifat dari senyawa target dalam ekstrak/fraksi kasar. Sifat umum yang
mempengaruhi proses isolasi adalah kelarutan (hidrofilik/hidrofobik), sifat asam-
basa, muatan, stabilitas, dan ukuran molekul (Sarker et al., 2006).
Langkah yang dilakukan setelah diperoleh ekstrak dalam isolasi senyawa
organik bahan alam adalah pemisahan komponen-komponen yang terdapat dalam
ekstrak tersebut. Teknik yang banyak digunakan adalah kromatografi.
Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran berdasarkan perbedaan
kecepatan perambatan komponen dalam medium tertentu. Pada kromatografi,
komponen-komponennya akan dipisahkan antara dua buah fase yaitu fase diam
dan fase gerak. Fase diam akan menahan komponen campuran sedangkan fase
gerak akan melarutkan zat komponen campuran. Komponen yang mudah tertahan
pada fase diam akan tertinggal. Sedangkan komponen yang mudah larut dalam
fase gerak akan bergerak lebih cepat (Atun, 2014). Setiap komponen memiliki
karakteristik waktu saat melewati sistem, disebut waktu retensi. Retensi adalah
pengukuran kecepatan suatu senyawa saat bergerak dalam sistem kromatografi.
Pemisahan kromatografi dapat dicapai saat waktu retensi analit berbeda dengan
komponen lainnya. Perbedaan waktu retensi ini menyebabkan pemisahan
komponen individual. Semakin kecil afinitas suatu molekul terhadap fase diam,
semakin pendek waktu yang diperlukan untuk melewati kolom. Pada sistem
kontinu seperti kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) atau kromatografi gas,
dimana senyawa dicampurkan dengan eluen, retensi umumnya diukur dalam
satuan “waktu retensi”, yaitu waktu antara injeksi dan deteksi. Sedangkan, pada
sistem konvensional seperti kromatografi lapis tipis (KLT) atau kromatografi
kertas, retensi diukur sebagai “faktor retensi” (atau yang biasa dikenal nilai Rf),
yaitu jarak noda senyawa dibagi dengan jarak tempuh eluen (Shah & Seth, 2010).

2.6 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Kromatografi merupakan salah satu cara yang sering digunakan untuk
memisahkan dan memurnikan komponen-komponen dari campuran lainnya.
Pemisahan komponen-komponen itu terjadi atas dasar distribusi dua fase, yaitu
fase diam yang sering disebut adsorben dan fase gerak atau cairan pengelusi.
Kromatografi yang biasa digunakan adalah kromatografi lapis tipis, kromatografi
kertas, kromatografi kolom dan kromatografi gas (Sastroamidjojo, 2001).
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode kromatografi paling sederhana
yang banyak digunakan (Wulandari, 2011).
KLT sering digunakan karena memiliki beberapa kelebihan, yaitu
pemisahan senyawa yang amat berbeda, seperti senyawa organik alam dan
senyawa organik sintetik, kompleks anorganik-organik, dan bahan ion anorganik,
dapat dilakukan dalam beberapa menit dengan alat yang harga tidak terlalu mahal.
Selain itu, pelarut dan cuplikan yang digunakan jumlahnya sedikit
(Sastroamidjojo, 2001).
Peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemisahan dan analisis
sampel dengan metode KLT cukup sederhana yaitu sebuah bejana tertutup
(chamber) yang berisi pelarut dan lempeng KLT. Dengan optimasi metode dan
menggunakan instrumen komersial yang tersedia, pemisahan yang efisien dan
kuantifikasi yang akurat dapat dicapai (Wulandari, 2011).
Fase diam yang digunakan dalam KLT adalah bahan penyerap. Penyerap
yang umum adalah silica gel, alumunium oksida, selulosa, kiselgur, selulosa dan
turunannya. Dua sifat yang penting dari penyerap adalah besar partikel dan
homognitasnya, karena adhesi terhadap penyokong sangat tergantung pada hal
tersebut. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit
kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya
dan resolusinya (Nurdia, 2017).

2.7 Liquid Chromathography – Tendem Mass Spectrometry (LC-MS/MS)


Kromatografi cair merupakan dasar teknik pemisahan di bidang sains dan
terkait dengan kimia. Menurut Alfian kromatografi cair dapat dengan aman
memisahkan senyawa organik dengan rentang yang sangat luas yaitu mulai dari
metabolit obat hingga molekul kecil sampai peptida dan protein (Alfian, 2012).
Detektor umum yang dimiliki kromatografi cair antara lain indeks refraksin
elektrokimia, flouresensi, dan ultraviolet-visible (UV-Vis). Beberapa dari detektor
tersebut memberikan data dua dimensi yaitu data yang 1 menunjukan kekuatan
signal sebagai fungsi atas waktu. Detektor flouresensi dan UV-Vismenghasilkan
data tiga dimensi yaitu tidak hanya kekuatan signal namun data spektrum dari
masing-masing poin waktu. Spektrometer massa juga menghasilkan data tiga
dimensi. Selain kekuatan sinyal juga menghasilkan data massa spektral yang dapat
memberikan informasi berharga tentang struktur, berat molekul, identifikasi,
jumlah, dan kemurnian sampel. Selain itu data spektral massa menambahkan
spesifisitas yang meningkatkan kepercayaan dalam hasil dari analisis baik
kualitatif maupun kuantitatif. Untuk sebagian besar senyawa yang dianalisis
dengan spektrometer massa jauh lebih sensitif dan lebih spesifik daripada semua
detektor kromatografi cair lainnya, sehingga dapat menganalisis senyawa yang
tidak memiliki gugus kromofor yang cocok. Hal ini juga dapat mengidentifikasi
komponen dalam kromatografi dengan puncak yang belum terselesaikan,
mengurangi kebutuhan untuk kromatografi yang sempurna (Alfian, 2012).
Data spektral massa berfungsi melengkapi data dari detektor kromatografi
cair lainnya. Beberapa spektrometer massa memiliki kemampuan untuk
melakukan beberapa langkah spektrometri massa pada sampel tunggal. Hal
tersebut dapat menghasilkan spektrum massa, memilih secara selektif ion tertentu
dari spektrum, fragmen ion, dan menghasilkan spektrum massa lainnya serta
mengulang seluruh siklus beberapa kali. Spektrometer massa seperti secara
langsung dapat mendekonstruksi molekul kompleks sepotong demi sepotong
sampai struktur dapat ditentukan (Alfian, 2012).
Selama sepuluh tahun terakhir banyak kemajuan pada LC-MS/MS dalam
pengembangan sumber ion molekul analit dari fase geraknya. Sebelum
LC-MS/MS menggunakan sistem antarmuka yang kurang baik dalam
memisahkan molekul fase gerak dari molekul analit. Molekul analit yang
terionisasi dalam spektrometer massa berada pada kondisi vakum, peristiwa
semacam ini sering terjadi pada ionisasi elektron konvensional. Teknik ini
berhasil hanya untuk jumlah senyawa yang sangat terbatas (Vogeser, et.al., 2008).
Spektroskopi massa adalah suatu teknik analisis yang mendasarkan
pemisahan bekas ion-ion yang sesuai dengan perbandingan massa dengan muatan
dan pengukuran intensitas dari berkas ion-ion tersebut. Dalam spektroskopi
massa, molekul–molekul senyawa organik ditembak dengan berkas elektron dan
diubah menjadi ion-ion positif yang bertenaga tinggi (ionion molekuler atau ion-
ion induk), yang dapat dipecah-pecah menjadi ion-ion yang lebih kecil (ion-ion
pecahan). Lepasnya elektron dari molekul akan menghasilkan radikal kation.
Pelepasan Elektron dari Molekul Ion-ion molekuler, ion-ion pecahan dan ion-ion
radikal pecahan selanjutnya dipisahkan oleh pembelokan medan magnet yang
dapat berubah sesuai dengan massa dan muatannya, dan akan menimbulkan arus
pada kolektor yang sebanding dengan limpahan relatif mereka (Sitorus, 2009).
Spektrum massa akan menghasilkan puncak-puncak yang tercatat dalam rekorder,
yang dipaparkan sebagai grafik batangan. Fragmen-fragmen disusun sedemikian
sehingga puncak ditata menurut kenaikan muatan (m/z) dari kiri ke kanan dalam
spektrum. Intensitas puncak sebanding dengan kelimpahan relatif fragmen-
fragmen yang bergantung pada stabilitas relatif mereka. Puncak yang paling tinggi
dinamakan base peak (puncak dasar) diberi nilai intensitas sebesar 100%; peak-
peak yang lebih kecil dilaporkan misalnya 20%, 30%, menurut nilainya relatif
terhadap peak dasar (Sitorus, 2009).

2.8 High Performance Liquid Chromatography (HPLC)


High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan salah satu
metode kromatografi cair yang fase geraknya dialirkan dengan cepat
menggunakan bantuan tekanan dan hasilnya dideteksi oleh detektor. Secara umum
HPLC digunakan untuk mencari besar konsentrasi suatu zat di dalam sampel.
Disebut sebagai High Performance Liquid Chromatography karena pada HPLC
digunakan tekanan tinggi untuk memaksimalkan pemisahan antar molekul
(Putriyani, 2011). Prinsip kerja KCKT adalah dengan bantuan pompa fase gerak
cair dialirkan melalui kolom ke detektor. Cuplikan dimasukkan ke dalam aliran
fase gerak dengan cara penyuntikan. Pemisahan terjadi di dalam kolom yaitu
pemisahan senyawa-senyawa dalam kolom akan keluar atas dasar kepolaran yang
berbeda, sehingga akan mempengaruhi kekuatan interaksi antara senyawa
terhadap fase diam. Senyawa-senyawa yang kurang kuat interaksinya dengan fase
diam akan keluar terlebih dahulu, dan sebaliknya senyawa yang berinteraksi kuat
dengan fase diam akan keluar lebih lama (Fithriyah, 2013).
Setiap senyawa yang keluar dari kolom akan terdeteksi oleh detektor
kemudian direkam dalam bentuk kromatogram. Kromatogram yang didapat
tersebut akan dapat diidentifikasikan waktu retensi dan luas area/tinggi puncak.
Informasi waktu retensi digunakan untuk analisis kualitatif, sedangkan informasi
luas area atau tinggi puncak untuk analisis kuantitatif. Komputer dapat digunakan
untuk mengontrol kerja sistem KCKT dan mengumpulkan serta mengolah data
hasil pengukuran KCKT (Kusuma, 2017).
Metode kromatografi pada HPLC dilakukan dalam kondisi yang
mendekati kondisi ideal sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh pemisahan
yang sangat baik. Hasil yang didapatkan dengan menggunakan metode HPLC
hanya memerlukan waktu beberapa menit dan dapat ditafsirkan secara kualitatif
dan kuantitatif dengan ketepatan yang baik (Gandjar & Rohman, 2012). Instrumen
dari HPLC terdiri atas fase gerak yang berfungsi sebagai wadah menampung fase
gerak. Filter yang digunakan untuk memisahkan fase gerak dari partikel-partikel
kecil yang dapat mengganggu pembacaan. Pompa untuk memberi tekanan
sehingga fase gerak dapat mengalir dengan terus menerus (konstan). Injektor
berfungsi sebagai sebagai tempat masuknya sampel, kolom sebagai tempat
interaksi antara fase diam dan fase gerak, dan yang terakhir detektor yang
berfungsi untuk menganalisis hasil (Ardianingsih, 2009).
Pelarut yang dianjurkan untuk fase gerak yaitu buffer dan reagen yang
mempunyai kemurniaan tinggi, dan dipilih lagi jika pelarut-pelarut yang
digunakan berderajat HPLC (HPLC grade). Pengotor dapat menyebabkan
gangguan pada sistem HPLC karena partikel kecil dapat terkumpul dalam kolom
yang sempit, oleh karena itu sebelum digunakan fase gerak harus disaring terlebih
dahulu untuk menghindari partikel kecil yang dapat menyebabkan penyumbatan.
Oktadesilsilan (C18) merupakan fase diam yang paling sering digunakan dan
kebanyakan pemisahan yang paling sering digunakan adalah fase terbalik serta
sebagai fase geraknya berupa campuran metanol atau asetonitril dengan air atau
larutan buffer (Kazakevich & Lobrutto, 2007).
Detektor merupakan bagian dari rangkaian HPLC yang berfungsi
mendeteksi atau mengidentifikasi komponen yang ada dalam eluen dan mengukur
jumlahnya. Detektor harus memiliki beberapa sifat yaitu memiliki sensitivitas
yang cukup baik (tinggi), mampu berinteraksi dengan semua zat terlarut,
mempunyai respon cepat, bersifat tidak merusak analit, tidak terpengaruh oleh
perubahan suhu dan kecepatan aliran fase gerak. Detektor UV-Vis memiliki
selektivitas yang baik terhadap gugus kromofor dan lebih mudah dalam
melakukan pemilihan panjang gelombang agar dapat memberikan sensitivitas
paling tinggi serta lebih sederhana dalam penggunaannya (Synder et al., 2010).
Skema alat HPLC Dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Skema alat HPLC (Sudjadi & Rohman, 2018).


BAB III
BAHAN DAN METODE

3.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas, hot
plate Heidolp MR 3001 K, HPLC Knauer dengan detektor Photo Diode Array
(PDA), HPLC semipreparative detektor UV (Waters), oven memmert, rotavapor
Heidolph, timbangan analitik, corong pisah, ultrasonic bath (Elma Transonic
700/H), UV cabinet Camag, vacuum pump, dan mikropipet.
Penentuan berat molekul UPLC Alliance 2695 (Waters) dilakukan di Balai
Bioteknologi-BPPT, PUSPITEK , Tangerang Selatan. Sedangkan elusidasi
struktur dengan NMR Jeol 500 Mhz dilakukan di Pusat Kimia LIPI PUSPITEK,
Tangerang Selatan.

3.2 Bahan
Bahan penelitian berupa akar pasak bumi diperoleh dari persediaan PT
Djago, Semarang (asal Kalimantan Timur) dan telah dideterminasi di Herbarium
Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor

3.3 Ekstraksi
Simplisia pasak bumi untuk keperluan ekstraksi diserut sebelum dilakukan
proses ekstraksi. Proses ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi dengan pelarut
metanol pada perbandingan 1:9 selama 1 malam dan dilakukan proses
penyaringan. Hasil penyaringan dilakukan pemekatan dengan rotary evaporator
sedangkan proses maserasi dilakukan tiga kali.

3.4 Fraksinasi
Ekstrak kental metanol pasak bumi yang diperoleh, dilakukan fraksinasi
pada kolom resin stiren-divinilbenzen. Proses fraksinasi dilakukan dengan cara
elusi gradien dengan fasa gerak dari air 100% sampai metanol 100%. Masing-
masing fraksi dipekatkan dan dicek dengan TLC serta profil kromatogramnya
dengan HPLC analitik.

3.5 Isolasi Eurycomanon


Fraksi hasil kolom isolasi dengan resin stirendivinilbenzen pada fasa gerak
25% metanol dilakukan isolasi lebih lanjut dengan HPLC semi preparatif untuk
memperoleh senyawa target eurycoamanon. Isolasi senyawa secara HPLC
preparatif dilakukan dengan fasa gerak 8% asetonitril (A) dan 92% asam asetat
0,5% (B) dari menit ke 0 sampai menit ke 16. Kolom yang digunakan RP-18, 150
× 100 mm, 5 µm merek Inertsil ODS 3 GL Science.

3.6 Elusidasi Struktur Eurycomanon


Isolat senyawa hasil pemisahan dicek kemurniannya dan serapan
maksimum UV-nya dengan HPLC analitik PDA (photo diode array). Selain itu,
dilakukan analisa berat molekul mengunakan UPLC-MS/MS untuk menentukan
isolat yang diduga eurycomanon dan dibandingkan dengan literatur. Konfirmasi
lebih lanjut terhadap isolat eurycomanon dilakukan elusidasi struktur dengan
NMR.

3.7 Validasi Metode Eurycomanon (HPLC)


Pada proses validasi metode eurycomanon, langkah pertama adalah
mencari fasa gerak yang paling baik, selanjutnya untuk melakukan validasi
metode analisa digunakan fasa gerak yang baik. Pada percobaan ini dilakukan
variasi gerak isokratik asetoniril:air dan metanol:air serta asetontril:air dengan
berbagai variasi perbandingan pelarut. Kolom yang digunakan sama ODS-3,
150×46 mm, 5 μm, dengan detektor UV pada panjang gelombang 254 nm.
Parameter yang digunakan dalam validasi metode analisa eurycomanon dalam
percobaan ini berupa: linearitas dan rentang, keberulangan, perolehan kembali
(recovery), batas deteksi dan batas kuantitasi.

3.8 Kajian Awal Proses Ekstraksi dari Pasak Bumi yang Terbaik
Proses produksi ekstrak pasak bumi dilakukan variasi perlakuan pelarut
yaitu membandingkan metode ekstraksi sesuai dengan kondisi dari Buku
Pedoman Teknologi Formulasi Sediaan Berbasi Ekstrak Volume 2, yaitu
menggunakan pelarut etanol 96% dengan suhu 50°C selama 5 jam dibandingkan
dengan proses ektsraksi variasi pelarut 30, 50, 70, dan 96% etanol dengan suhu
50°C selama 5 jam. Masing-masing perlakuan dengan berat dan perbandingan
pelarut yang sama dimasukkan ke dalam botol 250 mL. Jumlah botol masing-
masing variasi perlakuan sebanyak 3 sampel. Proses ekstraksi dilakukan
menggunakan shaker inkubator dengan suhu 50°C. Selama 5 jam, kecepatan
putaran shaker dibuat sama, yaitu 100 rpm.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ekstraksi dan Fraksinasi


Hasil yang diperoleh dari ekstraksi serbuk pasak bumi sebanyak 2 kg
dengan metode maserasi dan pelarut metanol (1:9) selama 18 jam dan diulang 3
kali diperoleh ekstrak kental metanol sebanyak 53,4 gram dengan rendemen
2,67%.
Hasil fraksinasi dengan kolom resin diperoleh 5 fraksi. Berdasarkan analisis
TLC dan HPLC menunjukkan bahwa pemisahan dengan kolom resin dapat
memisahkan fraksi polar dan non polar dengan baik (Gambar 1).

Gambar 1. Analisis TLC dan HPLC dari fraksi hasil kolom resin dengan ekstrak
awal
4.2 Isolasi Eurycomanon

Hasil yang diperoleh dari isolasi lanjut terhadap fraksi 2 dengan metode
HPLC semi preparatif diperoleh 5 isolat senyawa berdasarkan pemisahan dengan
puncak yang ada. Lima isolat senyawa hasil isolasi HPLC preparatif dilakukan
analisa HPLC dengan metode yang sama, untuk mengetahui kemurniannya. Analisa
terhadap 5 isolat tersebut juga dilakukan analisa UPLC-MS untuk mengetahui berat
molekul masing-masing senyawa hasil isolasi.

Gambar 2 menunjukkan bahwa pada isolat senyawa PB.M.D,F2,4 terdapat


1 puncak berdasarkan UPLC-MS, yaitu puncak pada waktu retensi 3,43 menit.
Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil analisa HPLC analitis, yaitu hanyak
terdapat 1 puncak pada waktu retensi 10,3 menit. Senyawa ini relatif stabil dan
merupakan senyawa mayor pada fraksi PB.M.D F2. Berdasarkan data UPLC-MS,
berat molekul senyawa pada menit ke 3,43 menit adalah 408,41 g/mol dengan
dibuktikan adanya intensitas 100% dari peak ion m/z = [(M++ H) - H20]+ = 391,47
dan sekitar 96% peak ion m/z = [M++ H]+ = 409,41). Hasil penelusuran literatur
senyawa ini diduga sebagai eurycomanon, sebagai target fraksi pada penelitian ini
yang perlu dikonfirmasi elusidasi strukturnya dengan data NMR.
Berdasarkan data perbandingan UPLC-MS dan literatur, maka senyawa
PB.M.D,F2,4 merupakan eurycomanon, namun perlu dikonfirmasi dengan analisa
NMR untuk mengelusidasi stukturnya. Hasil analisa NMR baik untuk 1H-NMR
dan 13C-NMR yang dibandingkan dengan data 1H-NMR dan 13C- NMR dari
Darise et al. (1982) seperti terlihat pada Tabel 1.
Gambar 2. Isolat senyawa PB.M.D,F2,4 terdapat 1 puncak yaitu waktu retensi
3,43 menit (UPLC-MS) atau menit ke 10,3 di HPLC analitis (b). Berat molekul
senyawa pada menit ke 3,43 adalah 408,41 g/mol (m/z = [(M+ +H)- H20]+ =
391,47 dan m/z = [M++ H]+ = 409,41) diduga sebagai senyawa eurycomanon

Tabel 1. Perbandingan antara 1H-NMR dari 13C-NMR isolat senyawa


PB.M.D,F2,4 dengan eurycomanon (Darise et al. 1982)

Konfirmasi bahwa senyawa PB.M.D,F2,4 adalah eurycomanon (Gambar 3), selain


data NMR juga berdasarkan data MS (berat molekul = 408,41 g/mol) dan data
serapan UV maksimum = 242 nm.
Gambar 3. Struktur isolat senyawa PB.M.D.F2-4 yang dikonfirmasi dengan data
UV, MS, 1H-NMR dan 13C-NMR serta dibandingkan dengan literatur sebagai
senyawa target eurycomanon.
4.3 Validasi Metode Eurycomanon dengan HPLC
Pada proses validasi metode eurycomanon, langkah pertama adalah
mencari fasa gerak yang paling baik, yang selanjutnya digunakan fasa gerak yang
baik tersebut untuk melakukan validasi metode analisa. Pada percobaan ini
dilakukan variasi gerak isokratik asetonitril:air dan metanol:air serta asetonitril:air
dengan berbagai variasi perbandingan pelarut. Kolom yang digunakan sama yaitu
ODS-3, 150×46 mm, 5 μm, dengan detektor UV pada panjang gelombang 254
nm. Hasil variasi fasa gerak asetonitril memberikan pemisahan yang baik dengan
metode fasa gerak tercantum pada Tabel 2. Kromatogram sampel dapat dilhat
pada Gambar 4, eurycomanon terdeteksi pada menit ke 12,7.

Gambar 4. Kromatogram sampel ekstrak pasak bumi dengan metode hasil


validasi pada panjang gelombang 254 nm (detektoir UV).
Tabel 2. Metode fasa gerak yang digunakan dalam analisa eurycomanon pada
sampel ekstrak pasak bumi dengan kolom RP-C18, 150×46 mm, 5 μm, dengan
detektor UV pada panjang gelombang 254 nm.

Hasil validasi metode analisa eurycomanon dengan detektor UV pada panjang


gelombang 254 nm adalah sebagai berikut :

a. Linearitas dan rentang


Pengujian linearitas dan rentang dilakukan pada eurycomanon hasil isolat,
dengan variasi konsentrasi. Syarat kelinearan nilai koefisien korelasi (r) : r ≥
0.990. Dari hasil pengujian validasi terhadap standar eurycomanon didapatkan
persamaan regresi sebagai berikut y = 26,31x + 33,35, r² = 0,998 (r = 0,999).
Hasil pengujian validasi menunjukan bahwa metode pengujian telah memenuhi
persyaratan linearitas dengan rentang kadar standar 15,875 – 500 ppm.

b. Keberulangan
Pengujian repeatibiltas dilakukan pada sampel ekstrak yang diekstraksi
dengan pelarut 90% metanol dan dilakukan ekstraksi secara sonikasi selama 1 jam
pada suhu 30°C. Dari hasil pengujian validasi metode, didapatkan kadar
eurycomanon pada sampel sebagai berikut: kadar eurycomanon ekstrak hasil
ekstraksi pelarut 90% metanol adalah kadar rata-rata = 9,26 ± 0,53, RSD/KV =
0,0852%. Persyaratan suatu metode memenuhi persyaratan validasi repeatabilitas
adalah jika KV ≤ 2%.

c. Perolehan Kembali (recovery)


Pengujian validasi metoda analisis kadar eurycomanon untuk perolehan
kembali dilakukan dengan mencampur sampel hasil ekstraksi pelarut 90%
metanol (pengujian repatabilitas) dengan standar eurycomanon 12,5 ppm. Dari
hasil pengujian validasi didapatkan hasil eurycomanon sebagai berikut: recovery
(R) = 95,75 ± 6.34% RSD/KV = 0,066, Nilai R masih diterima karena terletak
pada 90% +/- 110%.

d. Batas deteksi dan batas kuantitasi


Batas deteksi atau LOD (limit of detection) adalah jumlah terkecil analit
dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan
dibandingkan dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas.
Batas kuantitasi atau LOQ (limit of quantification) merupakan parameter pada
analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang
masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. Untuk metode kromatografi
terutama HPLC, penentuan nilai LOD ditentukan oleh tinggi puncak sampel
dibandingkan dengan minimal 2 atau 3 kali tinggi level baseline dari noise,
sedangkan LOQ ditentukan oleh tinggi puncak sampel minimal 10 sampai 20 kali
level baseline noise. Dari hasil validasi metode ini untuk pengukuran
eurycomanon secara faktual mengunakan analisa kromatogram dengan berbagai
kosentrasi didapatkan data: LOD eurycomanon = 3,25 ppm, sedangkan LOQ =
6,25 ppm.

4.4 Kajian Awal Proses Produksi Ekstrak Dari Pasak Bumi yang Terbaik
Proses produksi ekstrak pasak bumi dilakukan dengan membandingkan
metode ekstraksi sesuai dengan kondisi dari Buku Pedoman Teknologi Formulasi
Sediaan Berbasis Ekstrak Volume 2 yaitu menggunankan pelarut etanol 96%
dengan suhu 50°C selama 5 jam dibandingkan dengan proses ekstraksi variasi
pelarut 30, 50, dan 70% etanol dengan suhu 50°C selama 5 jam. Hasil analisa
kadar eurycomanon beserta rendemennya terhadap masing-masing perlakuan
tersaji pada Gambar 5.
Gambar 5. Pengaruh variasi kadar etanol proses ekstraksi pasak bumi terhadap
kadar eurycomanon dan rendamen

Gambar 5 menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin rendah kadar


etanol, maka baik rendemen dan yield akan meningkat. Hal ini dimungkinkan
karena eurycomanon lebih bersifat polar, sehingga akan mudah larut dalam kadar
etanol rendah. Kajian ini sangat penting untuk menjawab masalah, bahwa
ekstraksi untuk memperoleh eurycomanon tertinggi tidak perlu berdasarkan buku
Pedoman Teknologi Formulasi Sediaan berbasis Ekstrak dari BPOM tahun 2013
Volume 2, yaitu menggunakan sistem maserasi dengan pelarut etanol 96% dengan
perbandingan 1:10.
BAB V
KESIMPULAN

Fraksi target diperoleh dari fraksi 25% metanol hasil isolasi dan telah
dikonfirmasi dengan elusidasi struktur NMR sebagai senyawa eurycomanon dari
akar pasak bumi dengan kemurnian 96%. Metode analisa diperoleh dengan
menggunakan HPLC dengan eluen bergradien (asetonitril : H2O) pada detektor
UV 254 nm dengan kolom RP C-18, 150 × 46 mm, 5 µm. Kajian awal proses
menunjukkan bahwa ekstraksi terbaik untuk akar pasak bumi dengan kadar etanol
30% pada suhu 50°C. Kajian ini dapat digunakan sebagai pembanding proses
ekstraksi akar pasak bumi yang berbeda dengan Buku Pedoman Teknologi
Formulasi Sediaan berbasis Ekstrak dari BPOM tahun 2013 Volume 2, yaitu
menggunakan sistem maserasi dengan pelarut etanol 96% dengan perbandingan
1:10.
DAFTAR PUSTAKA

Ardianingsih, R. 2009. Penggunaan High Performance Liquid Chromatography


(HPLC) dalam Proses Analisa Deteksi Ion. Berita Dirgantara. 10: 101-
104.
Arifah, A. N. & Nurkhasanah. 2014. Efek Fraksi Etil Asetat Ekstrak Etanol Akar
Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) terhadap Aktivitas Fagositosis
Makrofag Secara In Vitro. Pharmaciana. 4: 9-14.
Chrystomo, L. Y., A. K. Karim, & I. J. Suyono. 2013. Penetapan Kadar Beta-
Karoten pada Organ Akar, Batang, Daun dan Buah Pandanus conoideus
Lamk. Menggunakan KCKT. Jurnal Biologi FMIPA Universitas
Cenderawasih. 6: 39-44.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Depkes RI. 1986. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Fadillah, F. 2018. Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Kimia Akar Pasak Bumi
(Eurycoma longifolia J.). Skripsi Fakultas Farmasi, Universitas
Hasanuddin, Makasar.
Farouk, A. E. & A. Benafri. 2007. Antibacterial Activity of Eurycoma longifolia
Jack. A Malaysian Medicinal Plant. Saudi Medical Journal. 28: 1423-1424.
Fithriyah, N. 2013. Analisis Α-Tokoferol (Vitamin E) pada Minyak Biji Kelor
(Moringa Oleifera Lam.) Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
Skripsi Fakultas Farmasi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Gandjar, I. G, & A. Rohman. 2012. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Hadad, E. A. & M. Taryono. 1998. Tumbuhan Obat, Khasiat dan
Penggunaannya. Pustaka Indonesia, Jakarta.
Hajjouli, S., S. Chateauvieux., M. H. Teiten., B. Orlikova., M. Schumacher., M.
Dicato., C. Y. Choo, & M. Diederich. 2014. Eurycomanone and
Eurycomanol from Eurycoma longifolia Jack as Regulators of Signaling
Pathways Involved in Proliferation, Cell Death and
Inflammation.Molecules. 17: 1-7.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa


Tumbuhan Terbitan Kedua. ITB, Bandung.
Heriyanto, N. M., R. Sawitri, & E. Subiandono. 2006. Kajian Ekologi dan Potensi
Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack.) di Kelompok Hutan Sungai
Manna-Sungai Nasal, Bengkulu. Buletin Plasma Nutfah. 12: 69-75.

Irawati, N. A. 2019. Penetapan Kadar Fenol Total, Aktivitas Antioksidan , dan


Analisis Spektra FTIR Ekstrak Etanol Akar Pasak Bumi (Eurycoma
longifolia Jack.). Skripsi Program Studi Farmas, Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarbaru.

Itokawa, H., X. R. Oin, H. Morita, K. Takeya, & Y. Iitaka. 1993. Novel


Quassinoids from Eurycoma longifolia. Chem Pharm Bull. 41: 403–405.

Kazakevich, Y, & R. Lobrutto. 2007. KCKT for Pharmaceutical Scientist. USA.


Kemenkes RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Khanam, Z., C. S. Wen, & I. U. H. Bhat. 2015. Phytochemical Screening and
Antimicrobial Activity of Root and Stem Extracts of Wild Eurycoma
longifolia Jack (Tongkat Ali). Journal of King Saud University Science. 27:
23-30.

Khari, N., A. F. A. Aisha, & Z. Ismail. 2014. Reverse Phase High Performance
Liquid Chromatography for the Quantification of Eurycomanone in
Eurycoma longifolia Jack (Simaroubaceae) Extracts and their Commercial
Products. Tropical Journal of Pharmaceutical Researchj. 13: 801-807.
Kusuma, A. S. W, & R. M. H. Ismanto. 2017. Penggunaan Instrumen High
Performance Liquid Chromatography Sebagai Metode Penentuan Kadar
Kapsaisin pada Bumbu Masak Kemasan “Bumbu Marinade Ayam
Special” Merek Sasa. Farmaka. 14: 41-46.
Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa Aktif.
Jurnal Kesehatan. 7: 361-367.
Najmuldeen, G.F., Fatmanathan, G.G. Faisal, & Zulkafli. 2017. Characterization
of Eurycoma longifolia (Tongkat Ali) Essential Oils Extracted by
Microwave Assisted Extraction. Journal of Applied Pharmaceutical
Science. 7: 62-68.
Nurani, L.H., E. Kumalasari, Zainab, A. Mursyidi, S. Widyarini, & A. Rohman.
2017. Penetapan Kadar Logam, Cemaran Mikroba dan Uji Disolusi
Kapsul Ekstrak Etanol Akar Pasak Bumi. Pharmaciana. 7: 295-304.
Osman, R., N. Saim, M. Saim, & N. N. Zaini. 2016. An Experimental Design
Method for the Extraction of Eurycomanone from Tongkat Ali (Eurycoma
longifolia) Roots Using Pressurised Liquid Extraction (PLE). Malaysian
Journal of Analytical Sciences. 20: 342-350.
Permana, R. C. E. 2009. Masyarakat Baduy dan Pengobatan Tradisional Berbasis
Tumbuhan. Wacana. 11: 81-94.
Putriyani, M. F. 2011. Pengaruh Laju Alir dan Tekanan terhadap Waktu Retensi
pada HPLC. Skripsi Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.

Rahmi., N. Herawati,& I. Dini. 2016. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Metabolit


Sekunder Ekstrak Etil Asetat Kulit Batang Belimbing Wuluh (Averrhoa
bilimbi Linn). Jurnal Chemica. 17: 98-107.
Setyaningrum, D., S. M. Kartikawati, & Wahdina. 2017. Morfologi Pasak Bumi
(Eurycoma spp) di Dusun Benuah Kabupaten Kubu Raya Kalimantan
Barat. Jurnal Hutan Lestari. 5: 217-224.
Siagian, P. 2012. Keajaiban Antioksidan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sinambela, S. U., Burhanuddin, & S. Masitoh. 2017. Habitat dan Asosiasi Pasak
Bumi (Eurycoma longifolia Jack) di Bukit Benuah Kecamatan Sugai
Ambawang Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Hutan Lestari. 5: 789-798.
Sukiada, K. 2015. Sistem Medis Tradisional Suku Dayak dalam Kepercayaan
Hindu Kaharingan di Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah.
DHARMASMRTI. 13: 52-67.
Supriyatna, Moelyono, Y. Iskandar, & R. M. Febriyanti. 2014. Prinsip Obat
Herbal Sebuah Pengantar Untuk Fitoterapi. Deepublish, Yogyakarta.
Suryo, J. 2010. Herbal Penyembuh Impotensi dan Ejakulasi Dini. PT Bentang
Pustaka, Yogyakarta.
Susanti, & F. Bachmid. 2016. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan
Refluks terhadap Kadar Fenolik Dari Ekstrak Tongkol Jagung (Zea mays
L.). Konversi. 5: 87-93.
Synder, R. L., J. J. Kirkland, & J. W. Dolan. 2010. Introduction to Modern Liquid
Chromatography , USA.
Yunianto, P., Nurhadi, & A. Supriyono. 2017. Isolasi, Validasi Metode dan
Optimasi Awal Proses Ekstraksi Senyawa Penanda Eurycomanon dari
Akar Tanaman Pasak Bumi (Eurycoma longifolia). Chimica et Natura
Acta. 5: 70-76.
Yusuf, H., K. F. Jamil, & T. Rinanda. 2017. Semisintesis dan Karakterisasi
Antimalaria Baru Turunan Eurikumanon. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala.
17: 1-7.
Widjaja, M. 2011. Validasi Metode Penetapan Kadar Kurkumin dalam Sediaan
Cair Obat Herbal Terstandar Merk Kiranti Secara Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi Fase Terbalik. Skripsi Program Studi Farmasi, Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta.
Widiyantoro, A. 2014. Metabolit Sekunder Prospektif dari Famili Simaroubaceae.
Jurnal Penelitian Saintek. 19: 14-22.
Wijaya, H., Novitasari, & S. Jubaidah. 2018. Perbandingan Metode Ekstraksi
terhadap Rendemen Ekstrak Daun Rambai Laut (Sonneratia caseolaris L.
Engl). Jurnal Ilmiah Manuntung. 1: 79-83.

Zulfahmi & B. Solfan. 2010. Eksplorasi Tumbuhan Obat Potensila di Kabupaten


Kampar. Jurnal Agroteknologi. 1: 31-38.
Zulfahmi. 2015. Keragaman Pasak Bumi di Hutan Larangan Adat Rumbio. CV.
Mulia Indah Kemala, Pekanbaru.

Anda mungkin juga menyukai