Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENYALAHGUNAAN GANJA

OLEH :

NADILA SEPTY REFALDA

20142011126

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS YPIB KAMPUS II CIREBON

TAHUN 2022
DAFTAR SINGKATAN

BNN : Badan Narkotika Nasional


CAM : Complementary Alternative Medicine
CB1 : Cannabinoid 1 reseptor
CB2 : Cannabinoid 2 reseptor
CBD : Cannabidiol
COMT : Catechol-O-methyltransferase
DA : Dopamin
GABA : Gamma-Aminobutyric Acid
GSK-3 : Glikogen Sintase Kinase
NAPZA : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
PFC : Prefrontal Cortex
SSP : Sistem Saraf Pusat
THC : Tetrahidrokanabinol
VTA : Ventral Tegmental Area
WHO : World Health Organization
Δ9-THC : Delta-9-tetrahydrocannabinol
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketergantungan dan penyalahgunaan zat bukan merupakan masalah baru

di Indonesia. Dewasa ini, diperkirakan di Indonesia terdapat peningkatan jumlah

penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) dari

tahun ke tahun (Husin & Siste, 2013).

NAPZA yaitu singkatan dari narkotik, psikotropik dan zat adiktif lain.

Sebutan yang mirip di masyarakat adalah “narkoba”. NAPZA ada yang semata-

mata berasal dari tumbuh-tumbuhan (natural, alami) seperti : ganja, ada yang

sintetis (shabu) dan ada pula yang semi sintetis (putau). NAPZA didefinisikan

sebagai setiap bahan kimia/zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan

mempengaruhi fungsi tubuh secara fisik dan psikologis (Husin & Siste, 2013).

Ganja (kanabis, marijuana) termasuk golongan zat adiktif. Pemanfaatanya

sebagai obat telah dikenal sejak kurang lebih 5000 tahun yang lalu di negeri Cina

(Depkes, 2000).

Di Indonesia terdapat antara 2-3juta orang yang pernah menghisap ganja

(di Amerika Serikat 5 juta orang pernah menggunakan ganja sepekan sekali).

Pengguna pemula ganja terutama dikalangan anak usia muda, meningkat tajam

selama 4-5 tahun terakhir karena ganja mudah diperoleh dimana-mana (produk

lokal) (Husin & Siste, 2013).


Berdasarkan hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN)

bekerjasama dengan Puslitkes UI Tahun 2011 tentang Survei Nasional

Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia, diketahui bahwa angka

prevalensi penyalahgunaan Narkoba di Indonesia telah mencapai 2% atau sekitar

4,2 juta orang dari total populasi penduduk (berusia 10 - 59 tahun). Tahun 2015

jumlah penyahguna Narkoba diproyeksikan ± 2,8% atau setara dengan ± 5,1 - 5,6

juta jiwa dari populasi penduduk Indonesia (BNN, 2015).

Penggunaan ganja dapat memicu timbulnya gejala psikotik. Biasanya

timbul bila takaran pemakaian sangat berlebihan dengan akibat timbulnya

paranoid dan halusinasi visual yang bersifat sementara. Kajian retrospektif pada

pemakai ganja berat di India ditemukan tingkah laku aneh, kekerasan dan panik

yang berlangsung sementara.

1.2 Batasan Masalah

Tinjauan Pustaka ini akan membahas tentang profil ganja, epidemiologi,

dampak penggunaan ganja, neurofarmakologi ganja dan gangguan psikotik yang

ditimbulkan ganja beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas bagaimana terjadinya

gangguan psikotik yang ditimbulkan dari penggunaan ganja (Cannabis) dan

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga dapat menjadi acuan


untuk mencegah bahaya penggunaan ganja. Dengan mengetahui efek yang

ditimbulkannya diharapkan dapat menjadi kajian pustaka untuk mengatasi

masalah yang terjadi pada pasien di dalam praktek sehari-hari.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Profil Ganja (Cannabis)

Ganja (Cannabis) adalah nama singkatan untuk tanaman Cannabis sativa.

Istilah ganja umumnya mengacu kepada pucuk daun, bunga dan batang dari tanaman

yang dipotong, dikeringkan dan dicacah dan biasanya dibentuk menjadi rokok. Nama

lain untuk tanaman ganja adalah marijuana, grass, weed, pot, tea, Mary jane dan

produknya hemp, hashish, charas, bhang, ganja, dagga dan sinsemilla (Camellia,

2010).

Tanaman semusim ini tingginya dapat mencapai dua meter. Berdaun menjari

dengan bunga jantan dan betina ada di tanaman berbeda. Ganja hanya tumbuh di

pegunungan tropis dengan elevasi di atas 1.000 meter di atas permukaan air laut

(BNN, 2015).

Ada tiga jenis ganja yaitu Cannabis sativa, Cannabis indica, dan Cannabis

ruderalis. Ketiga jenis ganja ini memiliki kandungan tetrahidrokanabinol (THC)

berbeda-beda (BNN, 2015). Kandungan THC didalam Charas dan hashish sekitar 7-

8% dalam rentang sampai 14%. Ganja dan Sinsemilla berasal dari bahan kering dan

ditemukan pada pucuk tanaman betina, dimana kandungan THC rata-rata sekitar 4-

5% (jarang diatas 7%). Bhang sediaan tingkat rendah diambil dari tanaman sisa

kering, kandungan THC sekitar 1%. Minyak hashish, suatu cairan pekat dari

penyulingan hashish, mengandung THC sekitar 15-70% (Camellia, 2010).


Gambar 1. Ganja (Cannabis) (Wikipedia, 2015).

Ganja (Cannabis) digunakan untuk tujuan pengobatan, ritual atau

rekreasional. Senyawa ini juga menghasilkan konsekuensi merugikan yang tidak

diinginkan yaitu Cannabinoids. Konsentrasi tertinggi dari kanabinoid psikoaktif

ditemukan pada puncak bunga dari kedua jenis tanaman jantan (male) dan betina

(female). Kannabinoid pada dasarnya berasal dari tiga sumber: (a) Fitokannabinoid

adalah senyawa kannabinoid yang diproduksi oleh tanaman Cannabis sativa atau

Cannabis indica; (B) Endocannabinoids adalah neurotransmiter yang diproduksi di

otak atau di jaringan perifer, dan bekerja pada reseptor kannabinoid; (C) Kannabinoid

sintetis, yang disintesis di laboratorium, secara struktural analog dengan

fitokannabinoid atau endokannabinoid dan bekerja dengan mekanisme biologis yang

serupa (Madras, 2015).


2.2 Epidemiologi Ganja

Dari jenis narkotika, secara global, narkoba jenis ganja yang paling banyak

digunakan. Prevalensi penyalahgunaan ganja berkisar 2,9%-4,3% per tahun dari

populasi penduduk dunia yang berumur 15-64 tahun. Tren legalisasi ganja telah

diberlakukan Amerika Serikat di New York dan Colorado, Belanda, Jerman

(kepemilikan 6 gram), Argentina, Siprus (15 gram), Ekuador, Meksiko (5 gram), Peru

(8 gram), Swiss (4 Batang), Belgia (3 gram), Brazil, Uruguay, Paraguay (10 gram),

Kolombia (20 gram), dan Australia (BNN, 2015).

Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 25% (147 juta)

populasi orang dewasa di seluruh dunia menggunakan ganja untuk alasan rekreasi

atau lainnya. Bila digunakan untuk tujuan pengobatan, ganja dianggap sebagai

pengobatan alternatif dan komplementer (CAM) karena ini bukan terapi

konvensional. Sekitar 40% orang dewasa dengan epilepsi menggunakan CAM

membaik karena kurangnya kemanjuran terapi standar, karena efek sampingnya, atau

karena alasan lain. Meskipun mayoritas CAM adalah nonfarmakologis (misalnya,

meditasi, teknik relaksasi, atau manajemen stres), penggunaan tumbuhan menjadi

perhatian khusus. Salah satu tumbuhan yang digunakan oleh pasien epilepsi adalah

ganja atau preparat lainnya termasuk minyak hashis (Szaflarski & Bebin, 2014).
2.3 Dampak Penggunaan Ganja (Cannabis)

Penggunaan ganja memilki pengaruh yang buruk terhadap kesehatan fisik

maupun psikis (mental). Dari segi fisik ganja dapat menyebabkan kanker paru karena

asap ganja mengandung banyak karsinogen sama dengan asap tembakau (Halla &

Degenhardt, 2014). Perokok ganja juga terkait dengan radang pada saluran nafas yang

besar, peningkatan hambatan jalan nafas, hiperinflasi paru, perokok ganja lebih

cenderung mengalami gejala bronkitis kronis daripada bukan perokok, peningkatan

tingkat infeksi pernafasan dan pneumonia (Volkow, et al., 2014).

Penggunaan ganja juga dikaitkan dengan kondisi vaskular yang meningkatkan

risiko infark miokard, stroke, dan serangan iskemik transien selama intoksikasi ganja.

Mekanisme yang mendasari efek ganja pada sistem kardiovaskular dan serebrovaskular

rumit dan tidak sepenuhnya dipahami. Namun, dampak langsung kannabinoid pada

berbagai target reseptor (yaitu reseptor CB1 di pembuluh darah arteri) dan efek tidak

langsung pada senyawa vasoaktif dapat membantu menjelaskan efek merugikan ganja

pada resistensi vaskular dan mikrosirkulasi koroner (Volkow, et al., 2014).

Ganja juga mempengaruhi fungsi kognitif, defisit dalam pembelajaran verbal,

penurunan daya ingat (memori) dan perhatian hal ini dilaporkan pada pengguna ganja

berat dan dikaitkan dengan durasi penggunaan, frekuensi penggunaan, dan dosis

kumulatif THC. Perubahan struktur otak dilaporkan terjadi di hippocampus, prefrontal

cortex (PFC), dan serebellum pada pengguna ganja kronis. Yücel dkk. melaporkan

terjadinya pengurangan volume hippocampal dan amigdala dalam 15 pengguna jangka


panjang yang telah mengisap 5 atau lebih sehari selama 10 tahun atau lebih.

Pengurangan ini meningkat seiring dengan lamanya pemakaian. Selain menyebabkan

masalah fisik ganja juga mempengaruhi kesehatan mental, seperti gangguan bipolar,

bunuh diri, depresi, kecemasan dan psikotik (Halla & Degenhardt, 2014).

Dalam dosis intoksikasi yang biasa, ganja menghasilkan rasa nyaman,

relaksasi, rasa keramahan, kehilangan kesadaran sementara, termasuk sulit

membedakan masa lalu dengan saat ini, memperlambat proses berpikir, penurunan

ingatan jangka pendek. Pada dosis tinggi, ganja dapat menyebabkan panik, delirium

toksik, dan psikosis (Stahl, 2013).


Tabel 1. Efek samping penggunaan marijuana jangka pendek dan jangka panjang

atau pengguna berat (Volkow, et al., 2014).

2.4 Neurofarmakologi Ganja (Cannabis)

Komponen utama ganja adalah Delta-9-tetrahydrocannabinol (Δ9-THC).

Tanaman ganja mengandung lebih dari 400 bahan kimia, dimana sekitar 60 secara

kimia berhubungan dengan Δ9-THC. Pada manusia, Δ9-THC diubah dengan cepat

menjadi 11-hidroksi-Δ9-THC, metabolit yang aktif di sistem saraf pusat (SSP).


Reseptor kannabinoid, kelompok reseptor G-protein-linked, terkait dengan protein G

(Gi) inhibitor, yang terkait dengan Adenilat Siklase dengan cara penghambatan.

Reseptor kannabinoid ditemukan konsentrasi tertinggi pada ganglia basalis,

hippocampus, dan serebelum, dengan konsentrasi yang lebih rendah di korteks

serebral. Reseptor ini tidak ditemukan di batang otak, fakta yang konsisten dengan

efek minimal ganja pada fungsi pernapasan dan jantung (Sadock, et al., 2015).

Setidaknya ada dua reseptor kannabinoid yang diidentifikasi, CB1 (di otak,

digabungkan melalui protein G dan dimodulasi Adenylate Siklase dan saluran ion) dan

CB2 (terutama dalam sistem kekebalan tubuh), keduanya merupakan protein

metabotropik yang digabungkan dengan G protein. CB1 dan CB2 terlokalisasi terutama

masing-masing di otak dan di perifer. CB1 adalah reseptor protein G-G berpasangan

yang didistribusikan di SSP, di mana mereka terutama terletak secara presinaptik.

Aktivasi mereka menghambat pelepasan neurotransmitter lain seperti gamma-

aminobutyric acid (GABA) dan glutamat. Kedua reseptor tersebut diyakini mengatur

waktu dan pelepasan GABA. Relevan dengan psikosis, di korteks serebral dan

hipokampus, di mana jumlahnya melimpah, CB1 memodulasi pelepasan GABA di

dalam jaringan cholesistokinin yang mengandung interneuron GABAergic. Namun,

ganja mengandung lebih dari 70 kannabinoid selain THC, termasuk cannabidiol

(CBD), cannabigerol, cannabichromene, cannabidivarin, tetrahydrocannabivarin, dan

terpenoid. Banyak dari senyawa ini memiliki efek farmakologis yang berbeda dari

THC. THC menghasilkan efek psikoaktifnya melalui kerja di CB1, di mana ia


berfungsi sebagai agonis parsial dengan afinitas sederhana [inhibisi konstan (Ki) = 35-

80 nmol] dan aktivitas intrinsik rendah. CBD penyumbang utama ganja yang tidak

menghasilkan euforia, mungkin memiliki efek ansiolitik dan antipsikotik pada studi

praklinis dan manusia. Kandungan CBD dari ganja bervariasi dan tingkat CBD yang

lebih rendah pada ganja telah dikaitkan dengan tingkat psikosis yang lebih tinggi.

Misalnya, varian ganja Afrika Selatan yang hampir tanpa CBD dikaitkan dengan

tingkat psikosis yang lebih tinggi. Dari catatan, CBD telah terbukti dapat menghambat

efek psikotimimetik THC. Terakhir, ini menjamin bahwa jumlah kannabinoid sintetis

yang merupakan agonis CB1 umumnya lebih tinggi saat digunakan oleh sejumlah besar

individu (Wilkinson, et al., 2014).

Bila ganja diisap, efek euforia muncul dalam hitungan menit, puncaknya sekitar

30 menit, dan 2 sampai 4 jam terakhir. Beberapa efek kognitif dan motorik berlangsung

5 sampai 12 jam. Ganja juga bisa dikonsumsi secara oral saat disiapkan dalam

makanan, seperti brownies dan kue. Sekitar dua sampai tiga kali lebih banyak ganja

harus dikonsumsi secara oral untuk menjadi sekuat ganja yang dikonsumsi dengan

menghirup asapnya. Banyak variabel mempengaruhi sifat psikoaktif ganja, termasuk

potensi ganja yang digunakan, rute pemberian, teknik merokok, efek pirolisa terhadap

kandungan kannabinoid, dosis, pengaturan, dan pengalaman masa lalu, harapan, dan

harapan pengguna serta kerentanan biologis yang unik terhadap efek kannabinoid

(Sadock, et al., 2015).

Kerja ganja dan bahan aktifnya Δ9-tetrahydrocannabinol (THC) pada

rangkaian reward ada pada reseptor kannabinoid, yang ditunjukkan pada gambar 2,
Yang merupakan tempat di mana kannabinoid endogen dimanfaatkan secara alami

sebagai neurotransmiter retrograde. Ganja dihisap untuk mengantarkan kannabinoid

yang berinteraksi dengan reseptor kannabinoid otak sendiri untuk memicu pelepasan

dopamin dari sistem reward mesolimbik (Gambar 2). Reseptor CB1 bisa menjadi

perantara tidak hanya sifat penguat ganja, tapi juga alkohol dan sampai batas tertentu

sifatnya zat psikoaktif yang lain (termasuk mungkin beberapa makanan). Anandamide

adalah salah satu endokannabinoid dan kelompok kimia neurotransmiter yang bukan

monoamina, bukan asam amino, dan bukan peptida. Anandamide adalah lipid,

khususnya kelompok asam lemak etanolamida. Anandamida memiliki sebagian besar

tapi tidak semua sifat farmakologis THC, karena kerjanya reseptor kannabinoid pada

otak tidak hanya oleh THC namun sebagian antagonis oleh kannabinoid otak selektif

antagonis reseptor CB1 (Stahl, 2013).


Gambar 2. Pengaturan neurotransmitter sistem reward mesolimbik (Stahl, 2013).

Jalur sistem reward akhir umum di otak dihipotesiskan melalui jalur dopamin

mesolimbik. Jalur ini dimodulasi oleh banyak zat alami di otak untuk memberi

penguatan normal pada perilaku adaptif (seperti makan, minum, seks) dan dengan

demikian menghasilkan "natural highs” seperti perasaan gembira atau prestasi.

Neurotransmiter ini masuk ke sistem reward meliputi morfin / heroin otak sendiri (yaitu

endorfin seperti enkephalin), ganja/ganja otak (yaitu anandamide), nikotin otak sendiri
(yaitu asetilkolin), dan kokain otak sendiri/amfetamin (yaitu, dopamin itu sendiri).

Banyak penyalahgunaan obat psikotropika yang terjadi di jalur bypass neurotransmiter

otak sendiri dan secara langsung merangsang reseptor otak dalam sistem reward, yang

menyebabkan pelepasan dopamin dan konsekuen "artificial high". Jadi alkohol, opioid,

stimulan, ganja, benzodiazepin, hipnotik sedatif, halusinogen, dan nikotin semuanya

mempengaruhi sistem dopaminergik mesolimbik ini (Stahl, 2013).

Gambar 3. Dopamin sebagai pusat sistem reward (Stahl, 2013).

Dopamin (DA) telah lama dikenal sebagai pemain utama dalam pengaturan

penguatan dan penghargaan (reward). Secara khusus, jalur mesolimbik dari daerah

tegmental ventral (VTA) ke nukleus accumbens nampaknya sangat penting untuk


sistem reward. Aktivitas yang menguntungkan secara alami, seperti mencapai prestasi

besar atau menikmati makanan enak, dapat menyebabkan peningkatan cepat dan kuat

di DA di jalur mesolimbik. Penyalahgunaan obat juga menyebabkan pelepasan DA di

jalur mesolimbik. Sebenarnya, obat-obatan dari penyalahgunaan seringkali dapat

meningkatkan dopamin dengan cara yang lebih eksplosif dan menyenangkan daripada

yang terjadi secara alami. Sayangnya, tidak seperti peningkatan alami, aktivasi yang

disebabkan oleh penyalahgunaan obat pada akhirnya dapat menyebabkan perubahan

pada sirkuit reward yang terkait dengan lingkaran setan preokupasi, kecanduan,

ketergantungan, dan withdrawl. Konsep ini memiliki kesamaan dengan banyak

gangguan kompulsif impulsif seperti judi patologis. Artinya, individu dengan

gangguan ini mengalami ketegangan dan gairah dalam mengantisipasi perilaku dan

mood disforik (tapi tidak ada penarikan fisiologis) bila dicegah melakukan perilaku

tersebut. Selain itu, kesenangan dan kepuasan yang pada awalnya dialami saat

melakukan perilaku tampaknya berkurang seiring berjalannya waktu, mungkin

memerlukan peningkatan "dosis" (misalnya, perjudian dengan jumlah dolar lebih

tinggi) untuk mencapai efek yang sama (mirip dengan toleransi) (Stahl, 2013).

Disfungsi dopaminergik terkait dengan ketergantungan obat dan psikosis.

Peningkatan kapasitas sintesis dan pelepasan dopamin telah dilaporkan pada pasien

psikotik, obat-obatan yang meningkatkan pelepasan dopamin dapat menyebabkan atau

memperburuk psikosis, dan peningkatan kapasitas sintesis dopamin telah dilaporkan

secara yang jujur oleh orang-orang yang berkembang menjadi gangguan psikotik.
Pasien dengan psikosis akibat ganja memiliki metabolit dopamin perifer yang lebih

tinggi, dan sebuah laporan kasus menemukan terdapat pelepasan dopamin striatal dan

gejala eksaserbasi pada pasien skizofrenia setelah penggunaan ganja. Dengan

demikian, ganja telah diusulkan untuk meningkatkan risiko psikosis dengan

menyebabkan hiperdopaminergia striatal (Murray, et al., 2014). Pengguna ganja

reguler yang peka terhadap efek ganja akan menunjukkan peningkatan kapasitas

sintesis dopamin yang meningkat, dan ini akan terkait langsung dengan tingkat

keparahan gejala psikotik seperti ganja (Bloomfield, et al., 2014).

2.5 Gangguan Psikotik akibat Penggunaan Ganja (Cannabis)

Etiologi kelainan psikotik, seperti skizofrenia, tetap sulit dipahami. Meskipun

tidak mungkin ada satu penyebab skizofrenia, sejumlah faktor genetik dan lingkungan

telah diidentifikasi dapat menyebabkan risiko psikosis. Salah satu faktor lingkungan

yang mendapat perhatian karena berkontribusi terhadap risiko gangguan psikotik

adalah terpapar ganja. Perlu dicatat bahwa sebagian besar individu yang terpapar ganja

tidak berkembang menjadi psikosis dan kebanyakan individu dengan gangguan

psikotik mungkin tidak pernah terpapar ganja. Dengan demikian, ganja tidak perlu dan

tidak cukup untuk menyebabkan skizofrenia. Kemungkinan besar, ganja dapat

berkontribusi menyebabkan psikosis pada individu yang rentan (Wilkinson, et al.,

2014).
Gangguan psikotik akibat cannabis didiagnosis dengan adanya psikosis akibat

cannabis. Gangguan psikotik cannabis jarang terjadi; ide paranoid transien lebih

sering terjadi. Florid psychosis agak umum terjadi di negara-negara di mana beberapa

orang memiliki akses jangka panjang ke ganja dengan potensi tinggi. Episode psikotik

kadang-kadang disebut sebagai “hemp insanity" penggunaan ganja jarang

menyebabkan pengalaman "bad-trip", yang sering dikaitkan dengan intoksikasi

halusinogen. Bila gangguan psikotik ganja tidak terjadi, hal itu mungkin berkorelasi

dengan gangguan kepribadian yang sudah ada sebelumnya pada orang yang terkena

dampak (Sadock, et al., 2015).

Gejala Positif

Ekstrak ganja mengandung sejumlah THC yang dapat menghasilkan gejala positif

transien, yang secara kualitatif mirip dengan gejala positif skizofrenia. Gejala ini

termasuk kecurigaan, paranoid dan waham kebesaran, disorganisasi konseptual,

pemikiran yang terfragmentasi dan perubahan persepsi. Selain itu ganja dan THC juga

mengakibatkan depersonalisasi, derealisasi, perubahan dalam persepsi sensorik dan

perasaan tak nyata. Efek ini secara konsisten telah ditunjukkan oleh rokok ganja,

ekstrak ganja oral/THC (dosis 5-20mg), THC intravena (kisaran dosis 0,015-0,03

mg/kg) dan melalui saluran pernapasan dengan vaporizer (Radhakrishnan, et al., 2014).
Gejala Negatif

Delta-9-tetrahydrocannabinol juga menghasilkan berbagai efek yang sama dengan

gejala negatif skizofrenia, termasuk afek tumpul, penarikan emosional diri, retardasi

psikomotor, kurangnya spontanitas dan berkurangnya interaksi. Morrison et al

menunjukkan bahwa efek dari THC pada gejala negatif tidak bergantung pada efek

sedasi (Radhakrishnan, et al., 2014).

Salah satu komplikasi penggunaan jangka panjang adalah "sindrom amotivasional"

pada pengguna yang berat. Sindrom ini terlihat terutama pada pengguna sehari-hari

yang berat dan ditandai dengan munculnya dorongan dan ambisi yang menurun,

sehingga "amotivasional." Hal ini juga terkait dengan gejala gangguan sosial dan

pekerjaan lainnya, termasuk rentang perhatian yang singkat, penilaian yang buruk,

gangguan kemampuan komunikasi, introversi dan berkurangnya efektivitas dalam

situasi interpersonal. Kebiasaan pribadi bisa memburuk, dan mungkin ada kehilangan

wawasan, dan bahkan perasaan depersonalisasi (Stahl, 2013).

Penurunan Kognitif

Kannabis, THC dan kannabinoid sintetis lainnya juga menyebabkan gangguan kognitif

sementara, yang berhubungan dengan dosis, terutama pada pembelajaran verbal,

memori jangka pendek, fungsi eksekutif, kemampuan abstrak, pengambilan keputusan,

perhatian dan konsentrasi (Radhakrishnan, et al., 2014). Penggunaan ganja akut

umumnya menyebabkan gangguan pada aspek perencanaan dan pengambilan


keputusan, misalnya kecepatan respons, akurasi, dan latency. Beberapa penelitian juga

menemukan peningkatan risiko dengan dosis ganja yang lebih tinggi. Efek akut

menunjukkan 0-6 jam setelah penggunaan ganja terakhir; Efek residu menunjukkan 7

jam sampai 20 hari setelah pemakaian ganja terakhir; Dan efek jangka panjang

menunjukkan 3 minggu atau lebih lama setelah penggunaan ganja terakhir (Crean, et

al., 2011).

Tabel 2. Pengaruh ganja terhadap fungsi eksekutif (Crean, et al., 2011)

Sollowij dan Battisti menyimpulkan bahwa penggunaan ganja berat dan kronis

dikaitkan dengan gangguan memori yang berlangsung diluar periode intoksikasi akut

dan terkait dengan frekuensi, durasi, dosis dan usia onset dari penggunaan ganja

(Radhakrishnan, et al., 2014).

Sebuah studi menunjukkan tidak adanya defisit persisten neuropsikologi pada

pengguna ganja jangka panjang setelah 28 hari abstinen, penelitian lain menunjukkan

durasi untuk pemulihan penuh mulai dari seminggu sampai 28 hari, untuk 3 bulan
abstinen dengan beberapa penelitian menunjukkan pemulihan setelah rata-rata 2 tahun

abstinen (Radhakrishnan, et al., 2014).

Terdapat beberapa faktor yang memperngaruhi hubungan antara ganja dengan

terjadinya psikotik, antara lain :

a. Lamanya paparan

Penggunaan ganja secara teratur telah dikaitkan dengan gejala psikotik

seperti pemikiran tidak teratur (disorganized), halusinasi, dan delusi. Bukti

epidemiologis menunjukkan bahwa semakin muda terpapar ganja, semakin besar

resiko terjadinya psikotik. Drag et al menunjukkan bahwa usia yang lebih muda

pada onset pengunaan ganja dikaitkan dengan gejala awal dari kecemasan,

penarikan diri, derealisasi, gangguan memori dan kesulitan konsentrasi. Ganja

dapat memperngaruhi proses perkembangan dan pematangan otak

(Radhakrishnan, et al., 2014).

Sebuah penelitian melakukan follow up selama 15 tahun dari 50.465 wajib

militer pria Swedia menemukan bahwa mereka yang telah mencoba ganja pada

usia 18 tahun memilki kemungkinan 2-4 kali didiagnosis skizofrenia daripada

mereka yang tidak. Mereka yang telah menggunakan ganja 10 kali atau lebih pada

usia 18 tahun 2-3 kali lebih mungkin didiagnosis skizofrenia daripada mereka yang

tidak melakukannya (Wilkinson, et al., 2014).

b. Riwayat keluarga dan genetik

Studi awal menunjukkan bahwa riwayat keluarga positif skizofrenia dapat

meningkatkan resiko gangguan psikotik yang diinduksi ganja. Faktor genetik


memaparkan tentang kerentanan psikotik oleh karena paparan ganja yaitu interakti

gen-lingkungan. Secara khusus Catechol-O-methyltransferase (COMT) dan

AKT1 telah terlibat dalam menyebabkan kerentanan psikosis (Radhakrishnan, et

al., 2014).

Catechol-O-methyltransferase (COMT)

Enzim COMT memainkan peran penting dalam pemecahan dopamine di prefrontal

cortex (PFC), berbeda dengan striatum dimana dopamine (DA) dibersihan dengan

transporter. Gen COMT mengkodekan enzim catechol-O-methyltransferase, yang

berperan penting dalam degradasi dopamin di otak, dan mengandung

polimorfisme fungsional (COMTVal158Met) yang menghasilkan dua varian

umum enzim (Val dan Met). Varian Val dikaitkan dengan aktivitas COMT yang

meningkat, yang menghasilkan kombinasi penurunan neurotransmfikasi dopamin

di korteks prefrontal dan peningkatan kadar dopamin di daerah mesolimbik.

Individu yang membawa genotipe Met/Met homozigot memiliki aktivitas COMT

terendah Val/Val homozigot memiliki tingkat dopamine terrendah dan heterozigot

dianggap sebagai aktivitas intermediate, karena kedua alel tersebut bersifat

codominant (Alemany, et al., 2014).

COMT memiliki kesamaan polimorfisme pada manusia, yang menghasilkan

aktivitas enzim 40% lebih tinggi dan degradasi dopamine lebih cepat ketika Valin

diganti dengan Metionin (Met) di lokus 158/108.; Rendahnya kadar dopamin

kortikal pada individu homozigot untuk polimorfisme Val (158) terkait dengan

kinerja kognitif yang buruk dan prekortikal yang tidak berfungsi efisien. Terdapat
bukti bahwa individu dengan polimorfisme Val gen COMT (Val158Met) memiliki

kesempatan tinggi untuk menjadi psikotik akut dalam merespon paparan THC

(Radhakrishnan, et al., 2014).

AKT1

AKT1 adalah gen lain yang memainkan peran dalam hubungan antara ganja

dengan gangguan psikotik. Fungsi AKT1 untuk menonaktifkan glikogen sintase

kinase (GSK-3) dengan fosforilasi. Interaksi AKT1 dan GSK-3 berperan dalam

sejumlah proses seluler penting yaitu, proliferasi sel, apoptosis dan transkripsi.

Penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa kannabinoid mampu merangsang

jalur AKT1 melalui reseptor CB1 dan CB2. Pada studi postmortem menunjukkan

penurunan kadar AKT1 di PFC pasien skizofrenia (Radhakrishnan, et al., 2014).

c. Riwayat Child Abuse

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan antara penggunaan

ganja dengan child abuse yang berkembang menjadi gejala psikotik

(Radhakrishnan, et al., 2014). Dalam konteks ini, penggunaan ganja dan kesulitan

masa kanak-kanak telah dikaitkan dengan peningkatan risiko menjadi psikosis

pada sampel klinis dan non-klinis. Namun, tidak semua orang yang terpapar

kesulitan masa kecil berkembang menjadi gejala psikotik di kemudian hari.

Demikian pula, hanya sebagian kecil pengguna ganja yang menjadi psikotik yang

menunjukkan implikasi faktor lain dalam kaitan ini. Dalam hal ini, beberapa

penelitian telah menunjukkan bahwa keterpaparan bersama terhadap dua faktor

lingkungan, penggunaan ganja dan kesulitan masa kecil, dapat meningkatkan


kemungkinan gejala psikotik sampai tingkat yang lebih tinggi daripada risiko yang

diharapkan untuk setiap faktor yang bekerja secara independen (Alemany, et al.,

2014).

Secara neurobiologis hal ini masuk akal, karena pengalaman stres dan delta-9-

tetrahydrocannabinol (THC), mampu meningkatkan sinyal dopaminergik dalam

sistem mesolimbik, yang menghasilkan peningkatan risiko delusi dan halusinasi.

Sebuah bukti menunjukkan bahwa sensitivitas diferensial terhadap stres

lingkungan disebabkan oleh polimorfisme Val158Met gen gen katekol-O

metiltransferase (COMT), mungkin dalam interaksi dengan faktor-faktor lain,

mungkin merupakan risiko psikosis yang mendasarinya (Alemany, et al., 2014).


BAB III
RINGKASAN

Ketergantungan dan penyalahgunaan zat bukan merupakan masalah baru di

Indonesia. Dewasa ini, diperkirakan di Indonesia terdapat peningkatan jumlah

penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) dari tahun

ke tahun. Dari jenis narkotika, secara global, narkoba jenis ganja yang paling banyak

digunakan. Prevalensi penyalahgunaan ganja berkisar 2,9%-4,3% per tahun dari

populasi penduduk dunia yang berumur 15-64 tahun.

Ganja (Cannabis) adalah nama singkatan untuk tanaman Cannabis sativa.

Istilah ganja umumnya mengacu kepada pucuk daun, bunga dan batang dari tanaman

yang dipotong, dikeringkan dan dicacah dan biasanya dibentuk menjadi rokok. Nama

lain untuk tanaman ganja adalah marijuana, grass, weed, pot, tea, Mary jane dan

produknya hemp, hashish, charas, bhang, ganja, dagga dan sinsemilla

Penggunaan ganja memilki pengaruh yang buruk terhadap kesehatan fisik (pada

saluran pernafasan dan kardiovaskuler) maupun psikis (mental). Ganja juga

mempengaruhi fungsi kognitif, defisit dalam pembelajaran verbal, penurunan daya

ingat (memori), dan perhatian. Selain menyebabkan masalah fisik ganja juga

mempengaruhi kesehatan mental, seperti gangguan bipolar, bunuh diri, depresi,

kecemasan dan psikotik (Halla & Degenhardt, 2014).


Komponen utama ganja adalah Delta-9-tetrahydrocannabinol (Δ9-THC),

setidaknya ada dua reseptor cannabinoid yang diidentifikasi, CB1 (di otak,

digabungkan melalui protein G dan dimodulasi Adenylate Siklase dan saluran ion) dan

CB2 (terutama dalam sistem kekebalan tubuh). Aktivasi mereka menghambat

pelepasan neurotransmitter lain seperti gamma-aminobutyric acid (GABA) dan

glutamat. Kedua reseptor tersebut diyakini mengatur waktu dan pelepasan GABA.

Relevan dengan psikosis, di korteks serebral dan hipokampus, di mana jumlahnya

melimpah, CB1 memodulasi pelepasan GABA di dalam jaringan cholesistokinin yang

mengandung interneuron GABAergic.

Sejumlah faktor genetik dan lingkungan dapat menyebabkan risiko psikotik

telah diidentifikasi misalnya terpapar ganja. Sebagian besar individu yang terpapar

ganja tidak berkembang menjadi psikosis dan kebanyakan individu dengan gangguan

psikotik mungkin tidak pernah terpapar ganja. Kemungkinan besar, seperti diulas di

bawah ini, ganja dapat berkontribusi menyebabkan psikosis pada individu yang rentan.

Faktor yang memperngaruhi hubungan antara ganja dengan terjadinya psikotik, antara

lain lamanya paparan (semakin muda terpapar ganja, semakin besar resiko terjadinya

psikotik), riwayat keluarga dan genetik (Catechol-O-methyltransferase (COMT) dan

AKT1 telah terlibat dalam menyebabkan kerentanan psikosis), riwayat Child Abuse

(pengalaman stres dan delta-9-tetrahydrocannabinol (THC), mampu meningkatkan

sinyal dopaminergik dalam sistem mesolimbik, yang menghasilkan peningkatan risiko

delusi dan halusinasi).


DAFTAR PUSTAKA

Alemany, S. et al., 2014. Psychosis-inducing effects of cannabis are related to both


childhood abuse and COMT genotypes. Acta Psychiatrica Scandinavica,
129(1).

Bloomfield, M. et al., 2014. Dopaminergic Function in Cannabis Users and Its


Relationship to Cannabis-Induced Psychotic Symptoms. Biological Psychitry,
75(6).

BNN, 2015. Badan Narkotika Nasional. [Online]


Available at:
http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2012/04/02/354/ulasan-
tentang-ganja
[Accessed 13 Juni 2017].

BNN, 2015. portal Badan Narkotika Nasional. [Online]


Available at:
http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/post/2014/08/19/Jurnal_Data_P4GN_20
13_Edisi_2014_Oke.pdf
[Accessed 13 Juni 2017].

Camellia, V., 2010. Gangguan Sehubungan Kanabis. Medan: Departemen Psikiatri FK


USU.

Crean, R. D., Crane, N. A. & Mason, B. J., 2011. An Evidence-Based Review of Acute
and Long-Term Effects of Cannabis Use on Executive Cognitive Functions.
Journal of Addiction Medicine, 5(1).

Depkes, 2000. Pedoman Terapi Pasien Ketergantungan Narkotika dan Zat Adiktif
Lainnya. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Halla, W. & Degenhardt, L., 2014. The adverse health effects of chronic cannabis use.
Drug Testing and Analysis, 6(1), pp. 1-2.

Husin, A. B. & Siste, K., 2013. Gangguan Penggunaan Zat. In: S. D. Elvira & G.
Hadisukanto, eds. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, p. 143.

Madras, B. K., 2015. Update of Cannabis and its medical use. World Health
Organization.

Murray, R. M., Mehta, M. & Forti, M. D., 2014. Different Dopaminergic Abnormalities
Underlie Cannabis Dependence and Cannabis-Induced Psychosis. Biological
Psychiatry, 75(6).

Radhakrishnan, R., Wilkinson, S. T. & D’Souza, D. C., 2014. Gone to pot – a review
of the association between cannabis and psychosis. Frontier in Psychiatry,
5(54).

Sadock, B. J., Sadock, V. A. & Ruiz, P., 2015. Substance Use and Addictive Disorders.
In: C. S. Pataki & N. Sussman, eds. Synopsis Of Psychiatry : Behavioral
Sciences / Clinical Psychiatry. New York: Wolters Kluwer, p. 644.

Stahl, S. M., 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology : Neuroscientific Basis and


Practical Application. 4 ed. New York: Cambridge University Press.

Szaflarski, J. P. & Bebin, E. M., 2014. Cannabis, cannabidiol, and epilepsy — From
receptors to clinical response. Epilepsy & Behavior, Volume 41.

Volkow, N. D., Baler, R. D., Compton, W. M. & Weiss, S. R., 2014. Adverse Health
Effects of Marijuana Use. The new england journal of medicine, 370(23).

Wikipedia, 2015. Wikipedia. [Online]


Available at: https://en.wikipedia.org/wiki/Cannabis_and_religion
[Accessed 13 Juni 2017].

Anda mungkin juga menyukai