PENDAHULUAN
Survei terbaru dari National Institute of Drug Abuse (NIDA) 40% dan populasi
yang melaporkan telah menggunakan satu atau lebih zat terlarang dalam kehidupan
mereka, 15% telah menggunakan zat terlarang pada tahun sebelumnya. Prevalensi
seumur hidup dan penyalahgunaan zat sekitar 20%.1
Disamping persentasi populasi yang melaporkan menggunakan satu atau lebih zat
teriarang dalam kehidupan mereka (hampir 40%) dan biaya yang mengejutkan pada
masyarakat (Iebih 200 juta doler pertahun). Fenomena penyalahgunaan zat memiliki
banyak implikasi pada penelitian otak dan psikiatri khnis. Beberapa zat dapat dapat
mempengaruhi keadaan mental yang dirasakan dan dalam; seperti mood dan aktifltas
yang dapat diamati dan luar; yaitu perilaku. Zat dapat menyebabkan gangguan
neuropsikiatri yang tidak dapat diberlakan dengan gangguan psikiatn dengan penyebab
tidak diketahui (contohnya skizofrenia dan gangguan mood) dan sehingga gangguan
psikiatnk primer dan gangguan yang melibatkan penggunaan zat mungkin berhubungan1
Kanabis adalah salah satu obat yang belum pemah disetujui dan masih populer di
awal abad 21 Kanabis adalah obat terlarang yang digunakan secara luas di negara-negara
seperti : Kanada, Mexico, Costa Rica, Elsalvador, Australia dan Afrika Selatan. (NIDA
199B).2
Pada tahun 1999 penelitian kanabis di komisi White House of National Drug Control
Policy, peneliti-peneliti pada National Academy of Science menyimpulkan diantaranya
termasuk bahwa kanabinoid memiliki peran alami dalam pengaturan sakit: mengatur
sekitar 4 hari. Sehingga THC bertahan ditubuh untuk beberapa hari bahkan berminggumingu.
Efek farmakologis secara oral, pencernaan kanabis dimulai setelah 30 menit, puncaknya
mencapai 2-3 jam dan bertahan 3-6 jam Dosis oral sekitar 30 mg kanabis atau menghisap
rokok mengandung sekitar 0,5-2% THC biasanya menghasilkan intoksikasi. Kanabis
dicerna secara oral akan memerlukan sekitar 3 kah sama jundahnya dengan THC kanabis
yang dihisap untuk menghasilkan efek yang setara karena hanya 3-6% THC yang disera,4
Pada tahun 1990 Universitas John Hopkins, telah menemukan reseptor di otak yang
bereaksi dengan spesifik terhadap THC kanabis. Pada tahun 1992 penemu dari NIDA
mengumumkan penemuan anandamide, neurotransmiter alami pada reseptor. Reseptor
anandamide ditemukan di beberapa area sstem limbik termasuk pusat reward- pleasure.
Bagian otak lainnya dengan reseptor anandamide mengatur hubungan dan pengalaman
sensasi dengan emosi sama baiknya mengontrol fungsi pembelajaran koordinasi motor
dan beberape fungsi tubuh yang otomatis. Adanya reseptor Anandamide menunjukkan
bahwa ada daerah-daerah otak yang paling dipenganhi kanabis.5
.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengguna berat kanabis dapat menekan sistem
imun mengakibatkan pengguna tebiuh mudah mendenta demam, flu dan infeksi
virus lainnya.2,3
Kesehatan Mental dan Zat
lnterkoneksi antara kesehatan mental/emosi dan penggunaan zat adalah begitu
pervasif bahwa pemahaman ikatan ini memberi kita wawasan berharga kedalam
fungsi dan pikiran manusia pada setiap tingkatan. Alasan untuk ikatan ini adalah
neurotransmitter dipengaruhi oleh zat psikoaktif sama halnya keterlibatan pada
penyakit mental. Banyak orang dengan masalah mental tertarik pada zat psikoaktif
dalam usaha untuk mengembalikan kesetimbangan kimia otak mereka dan
mengkontrol agitasi, depresi, dan gangguan mental lainnya. Begitu juga sebaliknya
Untuk beberapa orang dengan penyalahgunaan zat, kimiawi otak mereka menjadi cukup
tidak setimbang untuk mengaktifkan a preexisting mental lilnes, menimbulkan satu
keadaan sakit mental, atau menyerupai gejala dan salah satunya.
Ditemui tiga faktor utame yang mempengaruhi kesetimbangan sistem sara! pusat dan
untuk itu kerentanan pada manusia terhadap penyakit mental sama baikmya dengan
kecanduan (addiction) adalah faktor herediter, hngkungan dan penggunaan zat
psikoaktir.2
Sebagai contoh, hampir setiap sistem neurokimia terlbat pada onset dan penatalaksanaan
depresi juga ditemui tidak normal pada penggunaan zat dan angguan yang
diakibatkannya.2
Ditemui tiga faktor utama yang mempengawhi kesetimbangan sistem sara! pusat dan
untuk itu kerenitanan pada manusia terhadap penyakit mental sama baiknya dengan
kecanduan (addiction) adalah faktor herediter, lingkungan dan penggunaan zat
psikoaktif 2
Sebagai contoh, hampir etiap sistem neurokimiawi terlbat pada onset dan
penatalaksanaan depresi juga ditemui tidak normal pada penggunaan zat dan gangguan
yang diakibatkannya2
GAMBARAN KLINIS
lntoksikasi Kanabis
Pengaruh subjektit dar intoksikasi kanabis bervanasi dar suatu individu ke individu
yang lain, menetapkan pada tingginya vanabel farmakooinetik dosis cara pebenan
latar belakang perigalaman dan harapan dan kerentanan individual terhadap efek
psikotis tertentu. Secara khas intoksikasi dicinkan oleh periode awal High yang
digambarkan sebagai perasaan kesejahteraan dan kebahagiaan. Tanda dan gejala
dar intosikasi ini berupe euforia dikuti periode mengantuk atau sedasi yang sering.
Persepsi waktu berubah, pendengaran dan penglihatan terganggu. Efek subjektif
dan intoksikasi senng berupa reaksi disosasi5
Fungsi yang terganggu teradi bermacam-macam bahkan pade dosis rendah pada
Kanabis dan metabolitnya dapat dideteksi di unn pada nilai cut off 100 nglml pada 42-72
jam setelah efek psikologis menurun4 Karena metabolit kanabinoid adalah larut lemak,
menetap di cairan tubuh dalam periode yang agak lama dan diekskresikan secara
perlahan. Uji saring untuk kanabinoid pada individu yang menggunakan secara iseng
dapat memberikan hasil positif untuk 7-10 har7 dan pada pengguna kanabis berat dapat
memberikan nilai positif 2-4 minggu.1
Diagnosis
Diagnosis gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan
kanabis dapat ditegakkan berdasarkan PPDGJ-IlI (Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, Edisi l11)8 dan
DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth
Edition).1
Diagnosis Banding7
1 Gangguan mental primer
2. Gangguan distimik
PROGNOSIS
Ketergantuingan kanabis terjadi perlahan, yang mana mereka akan
mengembangkan pola peningkatan dosis dan frekuensi penggunaan. Efek yang
menyenangkan den kanabs sering berkurang pada penggunaan berat secara teratur.
Sejarab gangguan tingkah laku pada masa anak, remaja dan gangguan kepnbadian
antisosial adalah faktor resiko untuk berlcembangnya gangguan terkait zat,
termasuk gangguan terkait kanabis. Sedikit data yang tersedia pada perjalanan efek
jangka panjang dan ketergantungan dan penyalahgunaan kanabis.7
Lebih dari 20 opioid dengan susunan kimia yang berbeda telah digunakan secara luas di seluruh dunia.
Pada negara berkembang, opioid yang sering disalahgunakan dan menyebabkan ketergantungan adalah
heroin. Obat ini merupakan prototipe dari Au-opioid receptor agonist dan menyebabkan gejala subjektif
yang serupa. Toksisitas dan penggunaan opioid secara kuat dipengaruhi oleh rute pemakaian opioid dan
metabolisme dari opioid spesifik dan juga dipengaruhi oleh kemurnian dari opioid itu sendiri.
Opioid telah digunakan sejak 3500 tahun yang lalu, kebanyakan dalam bentuk opium mentah atau
dalam bentuk alkohol. Morphin pertama diisolasi pada tahun 1806 dan kodein pada tahun 1832. Pada
abad selanjutnya, morphin murni dan kodein perlahan mulai digunakan untuk tujuan medis, namun
pemakaian selain untuk tujuan medis masih banyak pada beberapa bagian di dunia.
Gangguan disebabkan opioid seperti didefinisikan oleh DSM-IV mencakup intoksikasi opioid, opioid
withdrawal, gangguan tidur akibat opioid, dan disfungsi seksual akibat opioid. Penyalahgunaan opioid
diartikan sebagai penggunaan opioid maladaptif yang menyebabkan terjadinya gangguan atau distres
dan muncul dalam periode 12 bulan.
Neurofarmakologi
Efek utama opioid dimediasi melalui reseptor opioid, yang ditemukan pada tahun 1970an. Reseptor Auopioid terlibat dalam regulasi dan mediasi dari analgesia, depresi pernapasan, konstipasi dan
ketergantungan. -opioid receptors dengan analgesia,diuresis dan sedasi, dan -opioid receptors
melalui aktivasi dari ventral tegmental area dopaminergik neuron yang berproyeksi pada korteks
serebri dan sistem limbik.
Heroin merupakan opioid yang sering disalahgunakan, lebih poten dan lipofilik dibandingkan morphin.
Karena sifatnya ini, heroin dapat melewati sawar darah otak lebih cepat dan mempunyai onset lebih
cepat daripada morphin. Heroin pertama kali digunakan sebagai penanganan pada adiksi morphin,
tetapi pada kenyataannya, lebih menyebabkan ketergantungan pada morphin. Kodein yang terdapat
sebanyak 0,5 persen pada alkaloid opiat pada opium, diabsorpsi secara cepat oleh traktus
gastrointestinal dan diubah menjadi morphin dalam tubuh. Hasil dari suatu studi yang menggunakan
PET (positron emission tomography) menunjukkan bahwa salah satu efek dari penggunaan opioid
adalah berkurang aliran darah pada daerah tertentu di otak pada orang dengan ketergantungan
opioid.
Etiologi
Faktor psikososial
Ketergantungan opioid tidak terbatas pada kelompok sosialekonomi bawah, meskipun insiden dari
ketergantungan opioid lebih tinggi pada kelompok ini dibandinkan dengan kelompok sosialekonomi
atas. Sekitar 50 persen pengguna heroin di daerah kumuh adalah anak dari orang tua tunggal atau orang
tua yang bercerai dan berasal dari keluarga yang salah satu anggota keluarganya mengalami gangguan
akibat zat psikoaktif. Anak anak dari latar tersebut, mempunyai resiko lebih tinggi pada
ketergantungan opioid, terutama jika mereka juga mempunyai masalah pada sikap di sekolah.
Diagnosis
The DSM-IV-TR lists several opioid-related disorders (Table 12.10-3) but contains specific
diagnostic criteria only for opioid intoxication (Table 12.10-4) and opioid withdrawal (Table
12.10-5) within the section on opioid-related disorders. The diagnostic criteria for the other
opioid-related disorders are contained within the DSM-IV-TR sections that deal specifically with
the predominant symptomfor example, opioid-induced mood disorder (see Table 15.3-10).
Diagnosis
DSM-IV menggolongkan beberapa gangguan akibat opioid tetapi sedikit mengandung kriteria diagnosis
spesifik untuk intoksikasi opioid dan opioid withdrawal dalam bagian gangguan akibat yang
berhubungan dengan opioid.
Manifestasi klinis
Opioid dapat digunakan secara oral, intranasal, dan intravena atau subkutan. Opioid bersifat adiktif
secara subjektif dikarenakan euforia ( the rush) yang dirasakan penggunam terutama apabila digunakan
secara IV. Gejala yang berkaitan adalah badan terasa hangat, ekstrimitas terasa berat, mulut kering,
hidung gatal, dan flushing pada wajah. Euforia inisial diikuti oleh periode sedasi. Penggunaan opioid
dapat menyebabkan disforia, mual, dan muntah.
Efek secara fisik opioid adalah depresi pernapasan, konstriksi pupil, kontraksi otot polos ( termasuk
ureter dan duktus biliaris ), konstipasi, dan perubahan tekanan darah, nadi, dan suhu tubuh. Efek
depresi pernapasan di mediasi pada tingkat batang otak.
Efek samping
Efek samping tersering yang berhubungan dengan gangguan yang berhubungan dengan penggunaan
opioid adalah transmisi hepatitis dan HIV melalui jarum suntik yang berpindah-pindah pengguna.
Pengguna juga dapat mengalami reaksi alergi terhadap opioid yang menyebabkan shok anafilaktik,
edema pulmo, dan kematian jika mereka tidak mendapatkan penanganan yang adekuat. Efek samping
serius lainnya adalah terjadinya interaksi obat antara meperidine dan monoamine oxidase inhibitors
(MAOI) yang dapat menyebabkan instabilitas otonom, agitasi, koma, kejang, dan kematian. Opioid dan
MAOI tidak boleh diberikan secara bersamaan.
Overdosis opioid
Kematian akibat overdosis opioid biasanya akibat henti pernapasan karena efek depresi pernapasan dari
obat tersebut. gejala overdosis adalah koma, laju napas melambat, hipotermi, hipotensi, dan
bradikardia. Ketika muncul trias koma, pinpoint pupil dan depresi pernapasan, klinisi harus
mempertimbangkan telah terjadinya overdosis opioid sebagai diagnosis utama. Klinisi juga dapat
inspeksi adanya needle track pada lengan, tungkai, pergelangan, selangkangan dan vena dorsal dari
penis.
Tatalaksana dan rehabilitasi
Penanganan overdosis
Yang harus dilakukan pertama pada penatalaksanaan overdosis adalah airway yang adekuat. Sekresi
trakeoesofageal harus diaspirasi. Pasien harus diventilasi secara mekanik sampai naloxone, spesifik
antagonis opioid, diberikan. Naloxone diberikan melalui IV dengan laju lambat ( dosis awal 0,8 mg/ 70
kg) . tanda perbaikan harus terlihat segera ( meningkatnya laju pernapasan dan pelebaran pupil). Pada
pasien ketergantungan opioid, terlalu banyak naloxone dapat menyebabkan tanda tanda withdrawal.
Jika tidak ada respon pada pemberian inisial naloxone, pemberian naloxone dapat diulang dalam
interval beberapa menit.
Opioid untuk menangani withdrawal opioid
Methadone
Methadone merupakan narkotik sintetik yang menggantikan heroin dan dapat digunakan secara oral.
Ketika diberikan kepada pecandu untuk menggantikan zat yang disalahgunakan, obat ini menekan gejala
withdrawal. Dosis harian 20 80 mg cukup adekuat untuk menstabilkan keadaan pasien, namun ada
juga yang menggunakan 120 mg. durasi kerja dari methadone melebihi 24 jam, sehingga penggunaan
sekali dalam sehari sudah cukup. Maintenance dari methadone dilanjutkan sampai pasien dapat lepas
dari methadone, dimana methadone sendiri menyebabkan withdrawal. Gejala abstinen muncul dengan
withdrawal methadone, tetapi pasien lebih mudah didetoksikasi dari methadone dibandingkan heroin.
Clonidine ( 0,1-0,3 mg 3-4x per hari) biasanya diberikan saat periode detoksifikasi.
Zat opioid lain
Buprenorphine
Sama seperti methadone dan Levomethadyl, buprenorphine merupakan agonis opioid yang diterima
untuk ketergantungan opioid pada tahun 2002. Buprenorphine dengan dosis harian 8 10 mg dapat
mengurangi penggunaan heroin. Buprenorphine juga efektif dengan dosis 3x seminggu karena lamanya
disosiasi obat ini dari reseptor opioid. Setelah pemberian berulang, obat ini akan menghambat efek
subjektif dari opioid atau morphin. Gejala withdrawal opioid ringan muncul apabila pemberian obat
dihentikan setelah pemberian kronik ( jangka panjang)
Antagonis opioid
Antagonis opioid menahan atau melawan efek opioid. Tidak seperti methadone, obat ini tidak
memberikan efek narkotik dan tidak menyebabkan ketergantungan. Antagonis opioid termasuk
naloxone, yang digunakan untuk penaganan overdosis opioid dikarenakan obat ini melawan efek
narkotik dan naltrexone, antagonis opioid long-acting ( 72 jam).
Psikoterapi
Modalitas psikoterapi tepat untuk menangani gangguan yang berkaitan dengan opioid. Psikoterapi
individual, terapi perilaku, Cognitive-behavioral therapy ( CBT), terapi keluarga, kelompok dukungan dan
pelatihan kemampuan sosial terbukti efektif untuk beberapa pasien. pelatihan kemampuan sosial harus
mencakup pasien dengan sedikit kemampuan sosial. Terapi keluarga ditujukkan pada pasien yang tinggal
bersama keluarganya.