Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KETENTUAN WALI DAN INDEPEDENSI PEREMPUAN DI MAROKO

Tugas Mata Kuliah Studi Kawasan Hukum Perdata Islam

Dosen Pengampu:
Dr. Miftahul Huda, M. Ag.

Disusun Oleh:
Muhammad Ogest Eka Saputra 101200214
Muhammad Rizal Prayoga 101200216

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2022

i
DAFTAR ISI

SAMPUL .................................................................................................................i

DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1

A. Latar Belakang ............................................................................................1


B. Rumusan Masalah .......................................................................................2
C. Tujuan .........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................3

A. Sejarah Perkembangan Hukum Keluarga Negara Maroko .........................3

B. Ketentuan Wali Nikah Dan Indepedensi Perempuan Dalam Fiqih .............6

C. Ketentuan Wali Nikah Dan Indepedensi Perempuan Dalam Tilikan


Undang-Undang Negara Maroko ................................................................9

D. Analisis Perbandingan ...............................................................................10

BAB III PENUTUP .............................................................................................13

A. Kesimpulan ...............................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada saat ini kehidupan manusia berkembang dengan berbagai
teknologi diiringi juga berkembangnya hukum yang berlaku didalamnya.
Hukum yang mengatur manusia dirasa perlu terus berkembang atau modern
sejalan dengan kemajuan kehidupan manusia. Hukum yang berkembang
dalam kehidupan manusia sesuai kebiasaan maupun tempat tinggal manusia.
Di setiap negara mempunyai kebiasaan tidak sama dan hal itu mempengaruhi
hukum yang berlaku serta perkembangannya. Dalam ruang lingkup hukum
keluarga islam, negara-negara islam juga memiliki ketentuan hukum yang
berbeda yang antara satu dengan yang lainnya.
Manusia ialah makhluk ciptaan Allah dan juga diciptakan berpasang-
pasangan. Dalam menjalani kehidupan manusia apabila sudah baligh atau
cukup umur untuk nikah maka dianjurkan melakukan pernikahan dengan
lawan jenis. Melakukan pernikahan merupakan perintah Allah bagi seluruh
manusia yang berawal dari Rasulullah Nabi Muhammad yang juga sebagai
Nabi terakhir. Apabila melakukannya merupakan bentuk pengabdian kepada
Allah. Akan tetapi pernikahan mempunyai berbagai syarat yang berkembang
dan dilakukan oleh masyarakat saat ini dan juga dalam negara-negara islam
mempunyai ciri sendiri.
Hukum keluarga islam mengenai tentang wali nikah bagi perempuan
juga memiliki ketetapan yang berbeda di berbagai negara-negara islam di
dunia. Di Indonesia wali nikah harus ada dalam pernikahan karena menganut
sebagian besar mazhab Syafi’i. Sedangkan di Maroko wali nikah tidak harus
ada dalam pernikahan karena perubahan yang dilakukan dari mazhab klasik
ke pelayanan kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Dari latar belakang diatas, kami akan belajar menjelaskan mengenai
perbedaan antar negara Indonesia dengan Maroko khususnya mengenai wali
nikah dan indepedensi perempuan dalam hukum keluarga islam.

1
2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan hukum keluarga negara Maroko?
2. Bagaimana ketentuan wali dan indepedensi perempuan di Maroko dalam
tilikan fiqih?
3. Bagaimana ketentuan wali dan indepedensi perempuan di Maroko dalam
tilikan undang-undang negara?
4. Bagaimana analisis perbandingan dengan negara Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hukum keluarga negara
Maroko.
2. Untuk mengetahui ketentuan wali dan indepedensi perempuan di Maroko
dalam tilikan fiqih.
3. Untuk mengetahui ketentuan wali dan indepedensi perempuan di Maroko
dalam tilikan undang-undang negara.
4. Untuk mengetahui analisis perbandingan dengan negara Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hukum Keluarga Negara Maroko


Maroko adalah sebuah negara kerajaan yang terletak di bagian Barat
Laut Afrika, bagian Utaranya berbatasan dengan Mediterania, bagian Timur
berbatasan dengan Aljazair, bagian Tenggara dan Selatan berbatasan dengan
Sahara Prancis dan Spanyol, sedangkan bagian Barat berbatasan dengan
Samudera Atlantik.1 Penduduk asli negara ini adalah Barber, yaitu
masyarakat kulit putih dari Afrika Utara yang konon masih mempunyai garis
keturunan dengan Rasulullah dan merupakan penganut agama Islam
bermadzab Maliki. Penaklukan Maroko oleh bangsa Arab baru terjadi pada
abad ke 7-8. Dari situlah segera terjadi arabisasi di negara ini, termasuk
dalam masalah bahasa, di mana bahasa Arab merupakan bahasa administrasi
dan kebudayaan, serta bahan pengantar dalam dunia pendidikan.
Antara tahun 1912-1916 Maroko berada di bawah dominasi politik
Perancis dan Spanyol, tentu saja sistem kedua negara ini banyak mewarnai
hukum lokal yang berlaku di negeri tersebut terutama dalam hukum Sipil.
Adapun hukum keluarga Islam, masih mengacu kepada madzab Maliki.
Namun demikian karena besarnya pengaruh hukum Spanyol dan Perancis
maka hukum Keluarga Islam juga sedikit diwarnai kedua sistem hukum
tersebut disamping hukum lokal yang ada. Melihat kondisi hukum Keluarga
Islam semacam ini, maka negara terpanggil untuk melakukan kodifikasi
hukum sekaligus untuk melakukan reformasi hukum keluarga yang hal ini
sangat intens ketika maroko dapat melepaskan dari belenggu penjajah.2
Maroko berhasil merdeka dari jajahan Perancis tahun 1956, satu tahun
berikutnya yakni tahun 1957, Maroko berupaya untuk mengkodifikasi
perundang-undangan hukum keluarga. UU yang semula dipengaruhi oleh
negara yang secara politik telah lama mendominasi yaitu Prancis dan

1
Willaim P (Ed), Enciclopedi Britanica, Marocco, 15.
2
http://repository.iainponorogo.ac.id/349/2/isi%20HUKUM%20KELUARGA%20-%20edit
%201.pdf, (diakses pada tanggal 17 September 2022, jam 12.58).

3
4

Spanyol, kemudian diganti dengan UU yang bersumber dari hukum Islam dan
diberi nama Mudawwanah Ahwal asy-Syakhsiyyah atau Code of Personal
Status.3
Mudawwanah disusun pada tahun 1957-1978 oleh sekelompok ulama
di bawah naungan kerajaan yang substansinya banyak menggambarkan
mazhab hukum Maliki klasik.4 Upaya reformasi hukum keluarga di Maroko
terus berkelanjutan. Maroko telah mencatat sejarah lagi pada awal tahun
2004, karena berhasil merevisi Mudawwanah Ahwal asy-Syakhsiyyah
yang sudah berjalan hampir setengah abad. Undang-undang perkawinan hasil
revisi ini berganti nama menjadi Mudawwanah al-Usrah dan berlaku sampai
sekarang.
Pembaruan hukum yang dilakukan oleh Maroko merupakan sebuah
langkah besar dalam penyatuan politik dan hukum di negaranya. Bahkan,
dapat dikatakan cukup spektakuler dalam melakukan reformasi hukum
keluarga Islam. Karena, reformasi ini sudah beranjak dari fikih mazhab klasik
dan telah mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dengan
demikian, lahirnya Mudawwanah al-Usrah ini cukup mengejutkan bagi
negara-negara yang berseberangan arah reformasinya.5
Proses pembaruan hukum keluarga yang terjadi di negara-negara
berpenduduk mayoritas Muslim, termasuk Maroko pun tidak lahir dari ruang
kosong. Tentu terdapat alasan mendasar yang melatarbelakang upaya
reformasi hukum. Ini tidak lain karena tuntutan perkembangan zaman seiring
dengan perubahan sosial. Pembaruan hukum keluarga di negara-negara
Muslim yang berbentuk undang-undang ini bertujuan untuk melindungi hak-
hak dan meningkatkan derajat wanita, serta didasarkan pada cara pandang

3
Oriana Wuerth, "The Reform of the Moudawana: The Role of Women's Civil Society
Organizations in Changing the Personal Status Code of Morocco" dalam Journal of Women of the
Middle East and the Islamic World: Hawwa Vol. 3, Maret 2005, hlm. 309–310.
4
Fatima Harrak, "The History and Significance of the New Moroccan Family Code," dalam
Jurnal Buffet Center, (Institute for the Study of Islamic Thought in Africa, Northwestern
University: Working Paper Series No. 09-002 March 2009), hlm. 2.
5
Fahrodin, Pembaruan Hukum Keluarga di Maroko (Studi atas Perempuan tidak Membutuhkan
Izin Wali untuk Menikah dalam Kajian Sosio-Historis), (Pekalongan: Pascasarjana STAIN
Pekalongan, 2014), hlm. 2.
5

kesetaraan pada laki-laki dan perempuan baik dalam kedudukan mereka


sebagai suami dan istri, maupun orang tua dan anak.6
Salah satu hasil pembaruan hukum dalam Mudawwanah al-Usrah
adalah kedudukan wali dalam perkawinan. Pasal 13 menyebutkan bahwa wali
menjadi syarat wajib dalam perkawinan jika diperlukan. Pembahasan wali
juga terdapat pada Pasal 17 yang mengharuskan adanya surat kuasa bagi
pernikahan yang mempergunakan wali, sedangkan Pasal 18 menyebutkan
bahwa seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan yang
menjadi walinya.
Pasal berikutnya, yaitu Pasal 24 yang menyatakan bahwa perwalian
dalam pernikahan menjadi hak perempuan, berlaku bagi perempuan dewasa
sesuai pilihannya dan maslahahnya. Dilanjutkan dengan Pasal 25 yang
menyatakan bahwa perempuan dewasa dapat melaksanakan pernikahannya
dengan dirinya sendiri atau memberikan haknya pada walinya atau kepada
kerabat nasabnya.7
Ketentuan ini telah menghapus kedudukan wali dalam pernikahan,
karena akad nikah berada pada kekuasaan mempelai wanita. Meskipun yang
menikahkan adalah walinya, secara hukum harus ditegaskan dengan bukti
penyerahan perwalian tersebut kepada orang tuanya (walinya). Ketentuan ini
juga menghapuskan kedudukan wali adlol, karena pada dasarnya wali adlol
muncul karena hak wali bagi orang tua terhadap anak perempuannya.8
Maroko cenderung lebih jauh memberikan kewenangan perempuan
dalam pernikahan. Mudawwanah al-Usrah menyatakan bahwa perwalian
bukanlah hak dari orang tuanya, tetapi hak anak perempuan itu sendiri.
Seorang perempuan tidak membutuhkan izin wali untuk menikah, sehingga
seorang perempuan secara hukum dilindungi UU untuk menentukan sendiri

6
Sabdo, “Perkembangan Hukum keluarga di Negeri Maroko,” hlm. 100.
7
Pasal 13-25 Mudawwanah al-Usrah.
8
Nelli Fauziah, “Pembaruan Hukum Keluarga Di Indonesia Dan Maroko (Studi Komparasi atas
Kedudukan Wali Nikah),” dalam
https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/32804/1/1520311071_BAB-I_V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf,
(diakses pada tanggal 17 September 2022, jam 12.51).
6

calon suaminya dan menolak untuk dipaksa menikah dengan laki-laki yang
bukan pilihannya dan menjadi indepedensi atau tidak terikat pihak manapun.
Ulama fikih termasuk mazhab Maliki yang dianut negara Maroko
berpendapat bahwa seorang perempuan tidak dapat menikah tanpa wali. Jika
perempuan tersebut melakukan pernikahannya tanpa wali, maka batal atau
tidak sah.9 Kedudukan dan peran wali di sini sangat penting untuk
menentukan sah tidaknya pernikahan yang dilakukan, sehingga keberadaan
wali nikah merupakan syarat rukun pernikahan.
Berbeda halnya dengan mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa wali
tidak termasuk syarat rukun pernikahan. Menurut mereka, seorang wanita
yang baligh dan berakal boleh menikahkan dirinya sendiri dan anak
perempuannya, ataupun menjadi wakil dalam pernikahan. Akan tetapi,
apabila laki-laki yang akan dinikahi wanita itu tidak sekufu dengannya, maka
wali berhak menghalangi pernikahan tersebut. Hal ini disebabkan karena
keberadaan wali dalam pernikahan hanya bersifat penyempurna dan anjuran,
bukan menjadi syarat sah suatu pernikahan.10
Ketentuan wali nikah menjadi syarat pernikahan dalam mazhab Maliki.
Padahal secara historis, Maroko pada perkembangannya dipengaruhi oleh
mazhab Maliki. Mazhab Maliki di Maroko hanya diberlakukan dalam
bidang-bidang tertentu, seperti pernikahan, kewarisan dan perwakafan.
Namun, ketentuan wali nikah dalam Mudawwanah al-Usrah, tidak lagi
berpegang teguh pada ketentuan mazhab Maliki yang notabene telah menjadi
pedoman dalam praktik ibadah sehari-hari masyarakat setempat, melainkan
mengambil pendapat mazhab Hanafi.
B. Ketentuan Wali Nikah Dan Indepedensi Perempuan Dalam Fiqih
Wali adalah orang yang bertanggung jawab atas sah tidaknya suatu
akad pernikahan. Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-walaya alam
nafis yaitu perwalian yang bertalian dengan pengawasan terhadap urusan
yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan,
9
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm.
1337.
10
Ibid., 1336.
7

pemeliharaan, pendidikan, kesehatan, dan aktivitas anak dan keluarga yang


hak pengawasan pada dasarnya berda ditangan ayah atau kakek dan para wali
yang lain. Perwalian yang berkenaan dengan manusia dalam hal ini masalah
perkawinan disebut wali nikah. Maksud dari wali nikah yaitu seseorang yang
secara hukum mempunyai otoritas terhadap seseorang lantaran mempunyai
kompetensi untuk menjadi pelindung serta mampu berbuat itu. Sedangkan
seseorang membutuhkan wali untuk melindungi kepentingan serta haknya
lantaran ia merasa tidak mempu berbuat tanpa tergantung pada pengaruh
orang lain. Siapa yang membutuhkan perwalian ini dalam perkawinan belum
disepakati secara bulat oleh para ulama ahli hukum. Ada perbedaan pendapat
antar madzhab. Tapi secara umum, seseorang itu membutuhkan adanya wali
pada kondisi: belum dewasa, kurang ingatan, kurang berpengalaman untuk
memikul tanggung jawab.11

Dasar utama yang dijadikan argumentasi oleh jumhur ulama’ tentang


keharusan adanya wali dalam pernikahan, yaitu: Q.S. Albaqarah [2]: 232:12

ِ
َ ‫اج ُه َّن ِإ َذا َتَر‬
‫اض ْوا‬ َ ‫وه َّن َأن يَنك ْح َن َْأز َو‬
ُ ُ‫ض ل‬
ُ ‫َأجلَ ُه َّن فَاَل َت ْع‬
َ ‫ِّس اءَ َفَبلَ ْغ َن‬ َّ ‫ِإ‬
َ ‫َو َذا طَل ْقتُ ُم الن‬
‫بِه َمن َك ا َن ِمن ُك ْم يُ ْؤ ِم ُن بِاللَّ ِه َوالَْي ْوِم اآْل ِخ ۗ ِر َٰذلِ ُك ْم‬
ِ ‫ظ‬ ُ ‫وع‬ َ ‫ف َٰذ‬
َ ُ‫لِك ي‬ ِ ۗ ‫َبْيَن ُهم بِالْ َم ْعُرو‬

‫َْأز َك ٰى لَ ُك ْم َوَأطْ َه ۗ ُر َواللَّهُ َي ْعلَ ُم َوَأنتُ ْم اَل َت ْعلَ ُمو َن‬


Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin
lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari
kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui.”
Sebab turunya ayat ini adalah dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa
Mu’aqal bin Yasar mengawinkan adik perempuannya dengan seorang laki-
laki. Kemudian laki-laki itu menceraikannya. Setlah masa iddah-nya habis,
11
Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 134.
12
Al-Qur’an, 2: 232.
8

laki-laki tersebut melamarnya kembali dan adik perempunya setuju dengan


lamarannya itu. Mu’aqal berkata kepada laki-laki itu, “aku telah menikahkan
kamu dengannya, lalu kamu ceraiakan dan sekarang kamu ingin kembali
dengannya. Tidak, demi Allah kamu jangan kembali dengannya.13

‫اج ُه ّن‬ ِ
Akhirnya turun ayat
َ ‫وه َّن َأن يَنك ْح َن َْأز َو‬
ُ ُ‫ض ل‬
ُ ‫ فَاَل َت ْع‬yang melarang
Mu’aqal menghalangi laki-laki tersebut menikah dengan adiknya itu.14
Namun pendapat di atas ditolak oleh kelompok Hanafiyah. Menurut
mereka, khittab (sasaran) ayat di atas yaitu:

‫اج ُه َّن‬ ِ َّ ‫ِإ‬


َ ‫وه َّن َأن يَنك ْح َن َْأز َو‬
ُ ُ‫ض ل‬
ُ ‫َأجلَ ُه َّن فَاَل َت ْع‬
َ ‫ِّس اءَ َفَبلَ ْغ َن‬
َ ‫ َو َذا طَل ْقتُ ُم الن‬ditujukan
kepada mantan suami perempuan yang bersangkutan. Jadi ayat yang telah
tersebut di atas tadi, menurut pandangan mereka (Hanafiyah), justru sejatinya
memberikan isyarah bahwasanya wanita tidak perlu wali dalam menikah
sebab secara tersurat ayat tersebut menyandarkan pernikahan kepada

perempuan dengan batasan: (‫َأزواج ُهن‬ ِ


ْ ّ َ َ ‫ )َأن يَنك ْح َن‬atau untuk menikahi para
suami mereka.15
Dan ayat yang telah dikutip oleh jumhur ulama’ di atas tadi, menurut
ulama Hanafiyah sebetulnya sejalan dengan Q.S. Al-baqarah [2]: 230 yang
menyandarkan nikah kepada perempuan juga:16

ِ َ‫فَِإن طَلَّ َقها فَاَل حَتِ ُّل لَه ِمن بع ُد حىَّت ت‬


... ُ‫نك َح َز ْو ًجا َغْيَر ۗه‬ ٰ َ َْ ُ َ
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain...”
Dan pendapat Hanafiyah didukung oleh Hamka. Menurutnya, tafsir
versi kedua inilah yang paling ‘tepat dan mudah masuk di akal fikiran kita’,
karena selaras dengan susunan kalimat sebelumya yang berisi: “Apabila kamu
talak perempuan-perempuan itu”. Jika kalimat ini semisal ditujukan kepada
13
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam (Jakarta: Amzah, 2013), 221.
14
Ibid., 222.
15
Ibid.
16
Al-Qur’an, 2:230.
9

para suami, kalimat logika lanjutannya yang juga sesuai untuk ditujukan pada
suami yaitu ‘maka janganlah kamu hambat mereka akan kawin dengan
suami-suami meraka’.17
C. Ketentuan Wali Nikah Dan Indepedensi Perempuan Dalam Tilikan
Undang-Undang Negara Maroko
Wali nikah dalam Undang-Undang Hukum Keluarga di Maroko
terdapat pada pasal 13, 17, 18, 24, 25 Al Mudawwanah al-Usrah No. 70.03
Tahun 2004.
Pasal 13
Dalam Perkawinan harus terpenuhi: kebolehannya seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk menikah, tidak ada kesepakatan untuk
menggugurkan mahar, adanya wali ketika ditetapkan, adanya saksi yang
adil serta tidak adanya halangan untuk menikah.
Pasal 17
Harus adanya surat kuasa bagi pernikahan yang mempergunakan wali.
Pasal 18
Seorang wali tidak dapat menikah terhadap seorang perempuan yang
menjadi walinya.
Namun dalam pasal 24 dan 25 mengenai perwalian nikah.
Pasal 24
Perwalian adalah hak setiap wanita yang sudah pandai atau mengerti
dengan kehendak untuk kebaikannya.18
Perwalian itu hak milik peremuan secara mutlak, berbarti para wali
tidak berhak untuk menjadi walinya perempuan yang akan menikah jika
perempuan tersebut tidak memberikan kuasanya. Jadi perempuan yang akan
menikah tidak ada paksaan dari walinya yang menikahkannya. Namun harus
ada sisi baik yang di pandang oleh wanita tersebutyaitu harus ada tujuan
kebaikan dalam pernikahannya.

Pasal 25
Seorang perempuan yang sudah mengerti dapat menikahkan dirinya
kepada lelaki lain atau ia menyerahkan kepada walinya.19

17
Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir al-Azhar juz 1, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1998), 78.
18
Undang-Undang No. 70.03 Tahun 2004 tentang Mudawwanah al-Usrah.
19
Ibid.
10

Diperbolehkan bagi wanita baligh dan mumayyiz untuk mengakadkan


pernikahan dirinya sendiri atau menyerahkan akadnya kepada bapaknya dari
salah satu kerabatnya. Ketentuan ini telah menghapus kedudukan wali dalam
pernikahan, karena akad nikah berada pada kekuasaan mempelai perempuan,
kalaupun yang menikahkan adalah walinya.
D. Analisis Perbandingan
Dalam hukum di Maroko memperbolehkan adanya wali dan tidak
dalam pernikahan yang dilakukan oleh perempuan. Hal ini dikarenakan
perubahan hukum yang dilakukan negara Maroko memberikan pilihan untuk
perempuan yang ingin melakukan pernikahan dengan ketentuan harus
mengerti mengenai kebaikan untuk dirinya dalam menikah tanpa harus
adanya wali. Hal tersebut dapat dilakukan oleh wanita dewasa. Hasil tersebut
dipengaruhi oleh faktor negara Maroko yang menganut mazhab berbeda
dengan Indonesia. Mazhab maliki yang dianut Maroko menjadi faktor penting
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan khusunya hukum
keluarga akan tetapi mengenai perwalian menggunakan mazhab Hanafi. Salah
satu contohnya terdapat pada pasal 25 al-Mudawwanah al-Usrah No. 70.03
Tahun 2004.20
Akan tetapi mayoritas mazhab yang dipakai di Indonesia adalah
mazhab Syafi’i yang memiliki pengaruh dalam pembentukan Undang-
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Inpres
No. 1 Tahun 1991 di Indonesia. Diantaranya pada pasal 20 ayat (1) Kompilasi
Hukum Islam yang menyebutkan bahwa yang bertindak sebagai awali nikah
ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim,
aqil dan baligh. Jadi yang berhak menjadi wali nikah adalah seorang laki-laki.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh mazhab Syafi’i yairu perwalian
terhadpa seorang perempuan merupakan syarat mutlak bagi sahnya slah satua
akad perkawinan. Berikut perbedaan wali nikah di Indonesia dan Maroko:

20
Miftahul Janna, “Kedudukan Wali Dalam Hukum Keluarga Di Dunia Islam (Studi Komparatif
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Dan Maroko),” dalam
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42600/1/MIFTAHUL%20JANNAH-
FSH.pdf, (diakses pada tanggal 17 September 2022, jam 15.34).
11

Hal Indonesia Maroko


Yang berhak untuk -Wali laki-laki. -Wali laki-laki (apabila
menjadi wali -Pasal 20 ayat (1) menyerahkan kepada
Kompilasi Hukum Islam wali yang akan
Inpres No. 1 Tahun 1991 menikahkannya, yaitu
yang bertindak sebagai seorang ayah)
wali nikah ialah seorang -Perempuan (dirinya
laki-laki yang memenuhi sendiri).
syarat hukum islam yakni -Pasal 24 al-
muslim, aqil dan baligh. Mudawwanah al-Usrah
No. 70.03 Tahun 2004,
perwalian adalah hak
setiap wanita yang sudah
mengerti dengan
kehendaknya untuk
kebaikan dirinya.
Wali adhal (wali -Pasal 23 Kompilasi -Pasal 25 al-
nasab yang enggan Hukum Islam ayat (1), Mudawwanah al-Usrah
menikahkan) wali hakim baru dapat No. 70.03 tahun 2004,
bartindak sebagai wali seorang perempuan yang
nikah apabila nasab tidak sudah mengerti dapat
awada atau tidak menikah-kan dirinya
mungkin menghadirkan- kepada lelaki lain atau
nya atau tidak diketahui menyerahkan kepada
tempat tinggalnya atau walinya. Ketentuan ini
adhal juga menghapuskan
-Ayat (2), dalam hal wali kedudukan wali adhal,
adhal atau enggan maka karena pada dasarnya
wali hakim baru dapat muncul karena adanya
12

bertindak sebagai wali hak wali bagi orang tua


nikah setelah ada putusan terhadap anaknya.
Pengadilan Agama
tentang wali tersebut.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Perkembangan hukum keluarga di Maroko dahulunya dipengaruhi oleh
penjajah seperti Prancis dan Spanyol. Kemudian setelah merdeka
melakukan perubahan hukum keluarga dengan bersumber dari hukum
islam yang dikodifikasi menjadi Undang-Undang yang diberi nama al-
Mudawwanah al-Akhwal al-Syakhsiyyah yang kemudian direvisi pada
tahun 2004 menjadi Mudawwanah al-Usrah dalam Undang-Undang No.
70.03 Tahun 2004.
2. Di negara Maroko perubahan hukum setelah merdeka bersumber dari
hukum islam, seperti Al-Quran dan Hadits. Dan juga menganut mazhab
Maliki dalam pembentukan hukum Mudawwanah al-Usrah, namun
mengenai perwalian negara Maroko menganut mazhab Hanafi yang
memberikan kelonggaran bagi perempuan untuk menikah tanpa harus
adanya wali dengan ketentuan mengerti kabaikan atas dirinya sendiri.
Namun dalam mazhab Hanafi wali juga boleh menghalangi pernikahan
perempuan dengan laki-laki tidak sekufu dengannya. Jadi keberadaan
wali untuk anjuran saja, bukan syarat sah nikah.
3. Dalam peraturan perundang-undangan negara Maroko dibukukan dalam
Undang-Undang No. 70.03 Tahun 2004 mengenai Mudawwanah al-
Usrah dalam pasal 13, 17, 18, 24 dan 25.
4. Perbandingan dengan Indonesia, negara Maroko lebih memberikan
pilihan kepada perempuan yang ingin melakukan pernikahan dengan
ketentuan mengerti kabaikan untuk dirinya sendiri tanpa harus adanya
wali sesuai mazhab Hanafi. Sedangkan di Indonesia yang sebagian besar
mazhab Syafi’i mengharuskan wali dalam pernikahan dan menjadi syarat
sah nikah untuk perempuan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an.
Azis Dahlan, Abdul. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996.
Fahrodin, Pembaruan Hukum Keluarga di Maroko (Studi atas Perempuan tidak
Membutuhkan Izin Wali untuk Menikah dalam Kajian Sosio-Historis),
Pekalongan: Pascasarjana STAIN Pekalongan, 2014.
Fauziah, Nelli. “Pembaruan Hukum Keluarga Di Indonesia Dan Maroko (Studi
Komparasi atas Kedudukan Wali Nikah),” dalam https://digilib.uin-
suka.ac.id/id/eprint/32804/1/1520311071_BAB-I_V_DAFTAR-
PUSTAKA.pdf, (diakses pada tanggal 17 September 2022, jam 12.51).
Harrak, Fatima. "The History and Significance of the New Moroccan Family
Code," dalam Jurnal Buffet Center, Institute for the Study of Islamic
Thought in Africa, Northwestern University: Working Paper Series No. 09-
002 March 2009.
http://repository.iainponorogo.ac.id/349/2/isi%20HUKUM%20KELUARGA
%20-%20edit%201.pdf, (diakses pada tanggal 17 September 2022, jam
12.58).
Janna, Miftahul. “Kedudukan Wali Dalam Hukum Keluarga Di Dunia Islam
(Studi Komparatif Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Dan
Maroko),” dalam
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42600/1/
MIFTAHUL%20JANNAH-FSH.pdf, (diakses pada tanggal 17 September
2022, jam 15.34).
M. Yusuf, Kadar. Tafsir Ayat Ahkam. Jakarta: Amzah, 2013.
Malik Karim Amrullah, Abdul. Tafsir al-Azhar juz 1. Jakarta: Pustaka Panjimas,
1998.
Undang-Udang No. 70.03 Tahun 2004 tentang Mudawwanah al-Usrah.
P, William. (Ed). Enciclopedi Britanica. Marocco.
Pasal 13-25 Mudawwanah al-Usrah.
Sabdo, “Perkembangan Hukum keluarga di Negeri Maroko,”
Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam.
Wuerth, Orianan. "The Reform of the Moudawana: The Role of Women's Civil
Society Organizations in Changing the Personal Status Code of Morocco"
dalam Journal of Women of the Middle East and the Islamic World: Hawwa
Vol. 3, Maret 2005.

14

Anda mungkin juga menyukai