Anda di halaman 1dari 21

PEMBAHARUAN HUKUM KELUARGA DI

NEGARA IRAK

DOSEN PENGAMPU :
Dr.Arne Huzaimah, S.Ag.,M.Hum.

Kelompok 7
Disusun oleh :
Fadhila Eka putri 2210101019
Ana Eva masliha 2210101030
Kurniawan sananda 22

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas petunjuk dan hidayah-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul "pembaharuan hukum keluarga dinegara
irak" dengan baik dan tepat waktu. Shalawat serta salam. senantiasa tercurah limpahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita ke jalan yang di
ridhai-Nya.

Adapun makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah hukum keluarga didunia islam
. Selain itu, makalah ini dimaksudkan agar para siswa dapat memahami materi tentang
bagaimana konsep hukum keluarga islam didunia islam. Makalah ini telah penulis usahakan
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan dari banyak pihak. Oleh sebab itu, penulis
menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang terlibat sehingga terealisasikan
makalah ini.

Sebelumnya, penulis memohon maaf karena makalah ini masih memiliki banyak kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan
makalah ini. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini bisa di ambil
manfaatnya dan membantu pembaca dalam memahami materi mata kuliah hukum keluarga
didunia islam.

Palembang, 28 february 2024

Kelompok 7

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................1

Latar belakang ................................................................................................................. 1


Rumusan masalah...........................................................................................................1

Tujuan.............................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................2

Negara Irak Dan Peradaban Islam Dalam Menggiring Lahirnya Ahl Al-Ra’yu…….. 2

Sejarah Lahirnya Undang-Undang Hukum Keluarga Serta Amandemennya………..4

Tipologi pembaruan hukum keluarga di negara irak………………………………...14

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………………………………………………17

KESIMPULAN…………………………………………………………………………………………………………………………...17

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………………………… 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu hal yang muncul di dunia Islam pada abad 20 ini adalah adanya upaya
pembaharuan hukum keluarga yang dilakukan oleh negara- negara yang berpenduduk
mayoritas muslim. Hal ini merupakan respon atas dinamika hukum yang terjadi di tengah
masyarakat. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution mengungkapkan bahwa ada tiga faktor
mengapa pembaharuan hukum keluarga Islam itu dilakukan. Pertama, sebagai unifikasi
hukum, kedua, mengangkat status perempuan, dan ketiga, merespon perkembangan dan
tuntutan zaman, karena konsep fiqh tradisional dianggap kurang mampu dalam menjawab
semua permasalahan fiqh yang semakin komplek.Ada tiga cakupan besar hukum keluarga
Islam yang mengalami pembaharuan, hal ini seputar pernikahan, perceraian dan warisan,salah
satunya pembaharuan hukum keluarga dinegara iraq,Iraq merupakan tempat kelahiran Imam
Abu Hanifah dan di kota itu pulalah madrasah ra’yu yang merupakan corak pemikiran Abu
Hanifah berkembang. Oleh karena itu tidaklah heran apabila pada awalnya hukum Islam
yang berkembang dan dominan di Iraq adalah hukum fiqih bercorak madzhab Hanafi.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana Negara Irak Dan Peradaban Islam Dalam Menggiring Lahirnya Ahl Al-Ra’yu?
2.bagaimana Sejarah Lahirnya Undang-Undang Hukum Keluarga Serta Amandemennya?
3.bagaimana Tipologi pembaruan hukum keluarga di negara irak ?
1.3 tujuan
1.mengetahui Bagaimana Negara Irak Dan Peradaban Islam Dalam Menggiring Lahirnya Ahl
Al-Ra’yu
2.bagaimana Sejarah Lahirnya Undang-Undang Hukum Keluarga Serta Amandemennya
3. mengetahui Tipologi pembaharuan hukum keluarga dinegara irak

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Negara Irak Dan Peradaban Islam Dalam Menggiring Lahirnya Ahl Al-Ra’yu

Salah satu hal yang muncul di dunia Islam pada abad 20 ini adalah adanya upaya
pembaharuan hukum keluarga yang dilakukan oleh negara- negara yang berpenduduk
mayoritas muslim. Hal ini merupakan respon atas dinamika hukum yang terjadi di tengah
masyarakat. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution mengungkapkan bahwa ada tiga faktor
mengapa pembaharuan hukum keluarga Islam itu dilakukan. Pertama, sebagai unifikasi
hukum, kedua, mengangkat status perempua,dan ketiga, merespon perkembangan dan
tuntutan zaman, karena konsep fiqh tradisional dianggap kurang mampu dalam menjawab
semua permasalahan fiqh yang semakin komplek.1 Ada tiga cakupan besar hukum keluarga
Islam yang mengalami pembaharuan, hal ini seputar pernikahan, perceraian dan warisan.
Sebagai salah satu contoh adanya pencatatan perkawinan yang mulai diterapkan dibeberapa
negara belahan dengan mayoritas penduduk muslim. Pencatatn perkawinan tidak pernah ada
dalam kitab klasik manapun dan dalam bentuk nash secara eksplisit.

Irak merupakan negara dengan peradaban Islam dapat dikata pesat, selain hal tersebut
negara Irak dalam buku-buku sejarah peradaban Islam serta sejarah pemikiran Islam memiliki
kontribusi yang sangat banyak utamanya dalam hal perkembangan hukum Islam. Berdasar
letak geografisnya, irak terletak di daerah selatan lembah Dajlah dari Furat (Eufrat). Yakni
merupakan sebuah daerah yang sangat subur dengan air yang bersih, dengan suhu udara tidak
terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Tergolong pada kategori yang maju dalam hal budaya
dan bangunan fisik. Selama 30 abad sebelum masehi, terdapat beberapa bangsa yang
mendirikan mamalik (kerajaan) di negara tersebut. Diantaranya, Babilonia, Asyur, Kaldani,
Persi, Arab dan Yunani. Kemajuan peradaban Irak merupakan mercusuar yang menyinari
negara-negara sekitar.2

Negara Irak sendiri, resmi masuk kewilyah pemerintahan Islam sejak abad pertama
Hijriyah, yaitu sekitar tahun 19 Hijriyahatau 641 Masehi, ketika khalifah Umar melakukan

1
M. Atho’ Mudzhar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta: Ciputat
Press, 2003), 10-11.
2
Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo: al-Haiah al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1996), 284-28
2
ekspedisi militer ke Irak3 yang dipimpin Syurahbil Ibnu Hasanah dan Sa’ad bin Abi Waqash
pada tahun 14 H atau tahun 635 M. Setelah fath Irak yang dilakukan Umar, orang Arab yang
mengetahui kekayaan Irak berlimpah ruah, mereka berbondong- bondong pindah ke Irak4.
Sebelum migrasi itu dilakukan, sebenarnya berpuluh-puluh tahun sebelumnya sudah ada
orang Arab dari suku Bakr dan Rubai’ah yang membangun kepemerintahan atau ‘imarah
munadzarah. Suku Bakr inilah yang membangun kota Basrah dan Kufah pada masa Umar bin
al-Khattab.5 hingga akhirnya sifat fanaitik mereka semakin kuat terlebih mereka bangga
dengan kota mereka masing-masing (Kufah dan basrah). Hingga akhirnya, orang-orang yang
berdiam di Kufah mengejek atas kekurangan dan kelemahan kota lain dan begitupun
sebaliknya. Hal ini juga berdampak pada khazanah keilmuan di masing-masing kota, dimana
mereka sama-sama meningkatkan kelemahan di bidang keilmuan masing- masing.6

Dengan hal ini Irak merupakan negara majemuk yang beragam latar belakang
masyarakatnya. Pada saat itu, Irak menjadi pusat peradaban keilmuan dan kebudayaan. Tidak
hanya itu, Irak juga menyumbang sejarah besar dalam Islam. Dimana terjadinya perang Jamal
dan perang Shiffin terjadi di negeri ini, selain itu terbunuhnya cucu Nabi Saw, Husein bin Ali
juga terjadi di negara Irak.7 Pergulatan di irak makin menjadi saat persoalan teologi mulai
menjadi perbincangan serius, dimana banyak pemalsu hadis demi melancarkan politiknya,
klaim untuk memajukan kelompoknya dengan jargon keagamaan pun dilakukan serta meng-
klaim bahwa kelompoknya adalah kelompok yang paling benar ketimbang yang lainnya. Dari
hal ini, sebutan dar al-dlarb (tempat produksi hadis palsu) yang diucapkan oleh imam Malik
untuk menjuluki kota Kufah.8 Dari sekian banyaknya hadis palsu yang beredar, limitasi
fuqaha dalam meriwayatkan hadis serta memperketat syarat dalam menerima hadis, hal ini
demi membendung merebabnya hadis palsu. Dengan hal ini dalam sejarah tercatat bahwa di

3
Pada kenyataannya, Islam masuk ke wilayah Irak pada 12H, saat Abu bakar menjadi khalifah. Pada
saat itu Abu Bakar mengangkat Khalidbin Walid dan Mutsanna bin Haritsah sebagai panglima perang untuk
menguasaiHirah dan beberapa kota lain di Irak seperti Anbar, Daumah al-Jandal dan Faradl Lihat: Chairul Rafiq,
Sejarah Peradaban Islam dari Klasik hingga Modern (Ponorogo: STAINPonorogo Press, 2009), 87-93.
4
Beberapa diantara sahabat yang pindak ke Irak pasca fath Irak: Sa’ad bin Abi Waqash, Ibn Mas’ud,
Ammar bin Yaser, Abu Musa al-Asy’ari, Mughirah bin Syu’bah, Anas bin Malik, Khuzaifah, Imran bi Husain dan
lainnya. Lihat: Muhammad bin Hasan al-Hajawi al-Tsa’labi al- Fasi, al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami
(Beirut: Daral Kutb al-Ilmiyah, 1995), 378.
5
Amin, Fajr al-Islam, 285.
6
Ibid 286-287
7
al-Fasi, al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh al-Islami, 381.
8
Ibid 180
3
Irak para fuqaha jarang berfatwa bertendensi atas hadis yang lebih mereka gunakan adalah
ra’yu (rasio), oleh karenanya di kenal dengan sebutan ahl al-ra’yu.9

Madzhab al-ra’yu dipelopori oleh Ibrahim bin Yazid al-Nakh’i, seorang ahli fiqh di
Irak yang merupakan guru dari Hammad bin Abi Sulaiman yang kemudian banyak
mewariskan ilmu fiqh rasionalis kepada imam Abu Hanifah atau yang pengikutnya kita kenal
dengan madzhab Hanafi.10

Konstribusi Irak dalam peradaban Islam semakin berkembang pesat tepatnya pada saat
berdirinyadua dinasti besar di Irak. yaitu pertama, dinasti Umayyah yang dipimpin oleh 14
generasi ke- khalifahan, yang kemudian kekuasaanya tumbang oleh kekuatan dinasti
Abbasiyah. Kedua, Ke-khalifahan dinasti Abbasiyah bertahan hingga 37 generasi,
kepemimpinan Abbasiyah ini sangat berpengaruh baik di negara Irak itu sendiri dan di luar
Irak. Perkembangan ini bisa dilihat dari beberapa hal, seperti administrasi negara, lembaga-
lembaga pendidikan, seni ukir dan tulisan, militer, perekonomian, pertanian, kebebasan
berfikir, sosial serta perkembangan lainnya.11

Pada awal abad ke 2 hijriyah bertepatan dengan tahun 114 H, seni tulis di Irak mulai
bermunculan bahkan mulai berkemajuan. Seni tulis yang berhasil ditorehkan pada masa-masa
ini adalah kesejarahan berdirinya pemerintahan Islam di Irak, sejarah peperangan orang Islam
ke Irak, sejarah dan klan raja-raja Islam di Irak maupun di Arab, sejarah raja- raja Islam dan
sejarah perjalanan Islam dari Makkah ke Irak. Hal ini terbukti bahwa di masa ini pula banyak
sejarawan-sejarawan bermunculan. Seperti, Abu Amr Ibn A’la (w.154 H/770 M), Hammad al-
Rawiyah (w. 156 H/774 M), Awanah Ibn al-Hakim (w. 147 H/764 M), Syaifibn Umar al-
Asadi al-Tamimi (w. 180 H/796 M), al-Asma’i (w. antara 213-217), Muhammad Ibn Sa’ib al-
Kalibi (w. 146 H/763 M) dan masih banyak lainnya.12

2.2 Sejarah Lahirnya Undang-Undang Hukum Keluarga Serta Amandemennya

9
Berbeda dengan Hijaz (Mekah dan Madinah) yang merupakan pusat tumbuhnya Islam,
dimana Nabi Saw lahir dan di utus dari kota ini, selain itu banyaknya sahabat yang berdomisili di Hijaz mebuat
daerah ini selalu menggunakan al-Qur’an dan al-Hadis dalam membuat produk hukum atau yang dikenal
dengan ahl al-hadist.
10
Manna’ al-Qhattan, Tarikh Tasyri’ al-Islami (Kairo: Muassasah al-Risalah, 1992), 225.
11
Rafiq, Sejarah Peradaban Islam dari Klasik hingga Modern, 113-11
12
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), 73-74.
4
Ada tiga tahapan dalam melakukan unifikasi hukum keluarga, dimana ada pengaruh aliran
hukum dalam terbentuknya legislasi undang- undang di negara Irak, berikut historis serta
sosial cultur masyarakat Irak dalam sejarah lahirnya undang-undang hukum keluarga beserta
amandemennya:

1. Hukum Islam Irak Sebelum 1958

Tidak dapat pungkiri lagi, bahwa Irak dalam perkembangan hukum Islam memiliki
perkembangan yang sangat signifikan. Negara ini merupakan tempat kelahiran salah seorang
pendiri madzhab fiqh yaitu Imam Abu Hanifah, yang kemudian oleh pengikutnya dikenal
dengan madzhab Hanafi. Mayoritas pendudukIrak adalah muslim (95%). Pada awalnya
madzhab Hanafi mendominasi seluruh Negara, namun pada perkembangan berikutnya
madzhab Ja’fari mulai menyebar. Kedua madzhab tersebut telah memiliki jumlah pengikut
yang seimbang diseluruh Negara Irak.13

Negara Irak berada dalam bagian kekuasaan kerajaan Turki Utsmani sejak abad ke
enam belas Masehi, berjalan hingga dua ratus tahun lamanya rezim Turki Utsmani ini
berkuasa. Pada tahun 1850 undang-undang perdata, pidana serta hukum dagang di buat oleh
kerajaan Turki Utsmani, termasuk pula kode sipil tahun 1876 yang juga diberlakukan secara
paksa di Irak. Namun kode sipil Turki Utsmani ini tidak terealisasi hingga kekuasaan Turki
Utsmani lengser oleh penjajah Inggris. Kode sipil tersebut banyak diadopsi dari kode sipil
Eropa terutama Perancis.14

Pada tahun 1917 kesultanan Turki Utsmani membuat hukum keluarga dengan tujuan
bisa diterapkan untuk negara-negara bagian kekuasaan kesultanan Turki Utsmani, akan tetapi
hukum keluarga tersebut tidak dapat berkembang luas hingga ke Irak.15Apalagi di tahun 1959
Irak sudah sepenuhnya dikuasai Inggris. Penduduk Irak yang ber- madzhab hanafi dan Ja’fari
lebih condong kepada hukum perdata yang diatur oleh ketentuan madzhabnya masing-masing
yang belum terkodifikasi. Meski demikian, ada beberapa ketentuan mengenai hukum keluarga
13
Mahsun Fuad, “Perkembangan Hukum Waris Islam di Irak” al-Mabsūṭ Jurnal Studi Islam danSosial,
No. 2, Vol. 12 (September 2018), 42
14
5Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries; History, text and Comparative Analisys (New
Delhi: Academi of Law an Religion), 136.
15
Kondisi sosial antara Irak dan Mesir jauh berbeda. Mesir tidak mengalami kendala untuk mencampur
dan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum keluarga madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanafi, karena tidak ada
perbedaan signifikan dalam madzhab-madzhab tersebut. Beda halnya dengan Irak lebih dari separuh (56%)
penduduk muslim negara tersebut adalah penganut madzhab Hanafi dan Ja’fari terutama dalam ketentuan
waris tanpa wasiat (intestato). Lihat: Fuad, “Perkembangan Hukum Waris Islam di Irak”..., 42.
5
yang secara terpaksa oleh pemerintah Irak di jadikan panutan. Yaitu, dua keputusan yang
diterbitkan oleh sultan Turki pada tahun 1915.16

Selama kedaulatan di Irak, Inggris pernah memberi warga Irak sebuah undang-undang
perdata Bagdad 1918 dan undang-undang formil kriminal Bagdad, keduanya dibuat setelah
Inggris dapat membuat dewan legislatif Irak yang juga terikat dengan dewan legislatif Inggris.
Pemerintah Inggris tidak mengadopsi undang-undang yang ada sebagaimana tidak pula
mengadopsi hukum lokal disebabkan fakta bahwa penduduk Irak hampir berimbang antara
Sunni dengan Syi’i. Demikian pula dengan adanya ketetapan hukum di atas, yaitu tidak
mengadopsi hukum perdata warisan kerajaan Utsmani bagi warga Irak dikarenakan adanya
dua alasan. Pertama, dalam semua posisi kolonialnya, Inggris senantiasa mengeluarkan
kebijakan untuk mengintervensi agama berdasarkan hukum. Kedua, populasi Sunni dan Syi’i
di Irak hampir seimbang, padahal undang-undang buatan

Ustmani secara eksklusif didasarkan atas doktrin Sunni. Oleh karenanya, selama masa
penjajahan Inggris hanya hukum-hukum yang berdasarkan Syari’ah yang belum dikodifikasi
yang diberlakukan bagi warga Irak.17

Pada tahun 1921 pergerakan pan Arabisme memberikan Angin segar bagi Iraq. Sebuah
kerajaan didirikan di Irak di bawah raja Faisal pada tahun 1921 yang pada muaranya
menghantarkan Irak memperoleh kemerdekaan penuh pada tahun 1932. Sekitar tahun 1940-an
pemerintah Irak memutuskan untuk mengkodifikasi hukum keluarga yang materinya dapat
mereduksi kedua madzhab fiqh secaraseimbang seperti halnya hukum keluarga yang ada di
Mesir. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataanya kondisi sosial serta
politik di Irak dan di Mesir tidaklah sama. Irak mayoritas penduduknya bermadzhab Sunni
dan Syi’i, sedangkan keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar serta prinsip
hukum yg signifikan. Karena perbedaan kedua aliran madzhab tersebut membuat kodifikasi
hukum yang ingin di tuju sulit disepakati oleh bersama utamanya kedua aliran madzhab
tersebut.18

Melalui proses panjang akhirnya pada tahun 1947 terkodifikasilah suatu peraturan
perundang-undangan tentang hukum keluarga yang komprehensif, yang dibuat oleh suatu
16
Mahmood, Personal Law in Islamic Countries; History, text and Comparative Analisys. 136.
17
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Musli World (Bombay: N.M. Tripathy PVT. LTD, 1972),
138-139.
18
Mahmood, Family Law Reform..., 49.
6
badan yang ditugaskan oleh komisi Judisial di Irak. Peraturan perundang-undangan tersebut
merupakan draf yang disetujui secara keseluruhan, yang di dalamnya mencakup peraturan
pernikahan, waris dan wasiat. Pada bab pertam dan kedua peraturan tersebut terdapat sedikit
perbedaan antara fiqh Sunni (Hanafi) dengan fiqh Syi’i (Ja’fari). Hanya saja perbedaan secara
signifikan terdapat dalam hukum waris. Pada tahun 1951, Abdul al-Razzaq Sanhuri (ahli
hukum Arab) membuat Rancangan undang-undang sipil yang baru untuk Irak. Undang-
undang tersebut berdasar atas tradisi arab bukan hukum perdata, akibatnya undang-undang
hukum keluarga 1951 berjalan dalam kehampaan.19

2. Revolusi Hukum Islam Irak 1958

Pada tahun 1958 terjadilah revolusi di Irak hal ini diakibatkan draf undang-undang
yang diterbitkan oleh lembaga legislative di Irak pada tahun 1947 dinilai tidak memiliki
sanksi yang konkrit. Pada tuhun itu pula terjadi sebuah kudeta militer hingga akhirnya Irak
menjadi negara Republik. Pada tahun berikutnya, tepatnya bulan Februari 1959 M sebuah
komisi judisial kembali dibentuk untuk membuat hukum perdata yang pada prinsipnya
diambil dari seluruh aturan syari’at yang secara umum disetujui, diakui serta dapat diterapkan
pada semua warga muslim Irak, yaitu UU No. 188 tahun 1959. Dalam undang-undang
tersebut terdapat ketentuan-ketentuan tentang perkawinan, perceraiandan dan akibat
hukumnya serta pemeliharaan anak dalam undang-undang ini, diderivikasikan dari aturan-
aturan syariah yang biasa disetujui secara umum. Sedangkan ketentuan waris sebagaimana
diatur dalam pasal 74 undang-undang tersebut yang diadopsi dari pasal 1187-1199 perdata
(civil code) Irak tahun 1951.20

Pada akhirnya draf undang-undang tersebut disetujui oleh dewan legislatif Irak dengan
nama qanun al-ahwal al-syakhshiyyah, yang kemudian diterapkan pada bulan Desember
1959. Peraturan ini secara salektif lebih seimbang dari perundang-undangan sebelumnya,
serta dapat diberlakukan secara paksa bagi warga Irak. Selain berdasarkan keberagaman
madzhab fiqh di Irak-Hanafi/Sunni dan Ja’fari/Syi’i- prinsip undang-undang tersebut juga
berdasarkan hukum keluarga dari Mesir, Jordan dan hukum legal Siria. Berdasakan pasal 2,
bahwa hukum perdata berlaku bagi seluruh warga Irak terkecuali yang diatur secara
khususnya oleh undang-undang seperti umat Kristen dan Yahudi. Dalamperaturan tersebut

19
Ibid 49
20
Fuad, “Perkembangan Hukum Waris Islam di Irak” al-Mabsūṭ Jurnal Studi Islam dan Sosial, 42.
7
menyebutkan bahwa ketentuan yang tidak terdapat dalam undang-undang, maka hakim harus
dapat memutuskan suatu kemaslahatan berdasarkan hukum syari’at Islam. Bahkan pasal 1
dari kode sipil jugamenyebutkan bahwa hukum Islam merupakan sumber hukum resmi bagi
undang- undang.

Undang-undang hukum sipil Irak 1951 yang diubah menjadi undang- undang hukum
perdata tahun 1959 di dalamnya terdiri dari, Pasal 1108-1112 mengatur tentang interpretasi
persamaan dan pasal 1189-1199 terdiri dari aturan bagi penguasa daerah. Qanun al-ahwal al-
syakhshiyyah 1959 memang tidak semuanya selaras dengan seluruh hukum keluarga yang
ada. Hal ini menunjukkan sebuah fakta bahwa amandemen yang ada telah dipaksakan kepada
seluruh warga Irak. Tidak ada ketentuan dalam undang-undang tersebut yang diakomodir
secara proportif dari Sunni dan Syi’i. Hampir semua ketentuan berdasarkan pilihan selektif
antara dua prinsip fiqh Hanafi dan Ja’fari. Berikut beberapa pasal tentang hukum perceraian
yang terdapat dalam undang- undang 1959 yang telah di amandemen beberapa kali:21

Pasal 40: Masing-masing pasangan boleh mengajukan perceraian dengan alasan


sebagai berikut:

1) Jika salah satu pasangan merugikan kepada yang lain atau kepada anak-anakmereka yang
membuatnya mustahil untuk melanjutkan pernikahan. Kecanduan narkoba atau alkohol dapat
dipertimbangkan sebagai kejahatan, hanya saja hal itu harus dibuktikan oleh laporan dari
pejabat khusus komisi pengawas medis hal yang sama pula berlaku pada hal kecanduan
terhadap judi;

2) Jika pasangan yang lain berzina, delik aduannya didasarkan pada perzinahantersebut;

3)Jika akad perkawinan dilaksanakan tanpa persetujuan dari pengadilan bagi salah satu
pasangan yang belum mencapai umur 18 tahun;

4) Jika perkawinan dilaksanakan bertentangan dengan hukum, atau dipaksa;

5) Jika suami mengambil berpoligami tanpa izin pengadilan.

PASAL 41

21
Mahmood, Family Law Reform..., 53-55
8
1) Kedua pasangan dapat mengajukan perceraian dengan alasan- alasan perselisihan dan
pertengkaran yang terus menerus setelah berupaya untuk mempertahankan keutuhan rumah
tangga;

2) Pengadilan harus memeriksa penyebab dan alasan perceraian karena pertengkaran dan
perselisihan tersebut. Apabila memungkinkan, pengadilan dapat menunjuk dua wakil
(hakamain) dari pihak keluarga laki-laki dan perempuan, dan apabila ternyata setelah
bermusyawarah tidak terjadi perdamaian dan kedua belah pihak masih tetap ingin bercerai,
maka hakim dapat mempertimbangkan alasan perceraian tersebut;

3) Kedua hakamian tersebut harus berupaya untuk mencapai suatu kesepakatanatau


perdamaian. Jika mereka gagal, mereka harus memberitahukan kepada pengadilan dengan
tanggung jawab bersama, dan apabila mereka tidaksetuju maka pengadilan akan menunjuk
hakamain ketiga;

4) Pada ayat 4 ini ada poin yang dapat diambil keputusan oleh majelis yudicial yakni:

a) Jika upaya perdamaian gagal sedangkan suami menolak untuk bercerai, maka pengadilan
dapat memisahkan antara suami dan isteri

b) Dalam hal perceraian ba’da dukhul, pengembalian mas kawin

didasarkan kemampuan dari isteri, baik apakah ia penggugat maupun tergugat. Jika dia telah
menerima keseluruhan mas kawin, dia mempunyai kewajiban untuk mengembalikan paling
banyak separuhnya. Akan tetapi bila ada permusyawarahan diantara suami dan isteri maka
didasarkan dari hasil kesepaka keduanya.

5)Jika perceraian terjadi qabla dukhul maka isteri wajib mengembalikan seluruh mas kawin
yang diterima.

Setelah berlakunya undang-undang tersebut, kurang lebih empat tahun setelahnya, yaitu tahun
1963 terjadilah pergantian pemerintah, sehingga undang- undang 1959 diamandemen.
Undang-undang 1963 tersebut mencabut pasal 74 qanun al-ahwal al-syakhshiyyah 1959 yang
diadopsi dari kode sipil diganti dengan hukum waris Islam. Dalam amandemennya hukum
waris diatur dalam 9 pasal yang diambil dari madzhab Syi’ah (Ja’fari) dua belas imam.
Berikut salah satu perubahan undang-undang hukum keluarga hingga amandemen tahun 1963
yang berhubungan dengan poligami. Dalam pasal 3 hukum perdata tahun 1959 (sebelum
9
amandemen) diterangkan bahwa “menikah dengan isteri lebih dari satu tanpa seizin Qadli,
merupakan penghalang pernikahan yang bersifat sementara. Sehingga pernikahan kedua tanpa
izin pengadilan dinyatakan fasid. Sedangkan setelah amandemin (tahun 1963) pasal 3 diubah
menjadi pasal 13 dimana laki-laki yang hendak berpoligami harus meminta izin kepada
pengadilan. Pengadilan akanmemberikan izin bila memenuhi tiga syarat. Pertama, pemohon
mampu menafkahi kedua isterinya secara baik secara bersamaan. Kedua, pemohon mampu
memenuhi berbagai ketentuan dalam perkawinan kedua. Ketiga, tidak ada kekhawatiran dari
isteri kedua bahwa suaminya akan berlaku tidak adil. Berdasarkan tiga syarat tersebut,
pengadilan tidak akan memberi izin apabiladalam suatu kondisi tertentu terdapat
kemungkinan suami tidak akan adil, meski dua persyaratan lainnya terpenuhi.22

Hukum Islam di Irak terus mengalami perkembangan yang pada akhirnya terjadilah
amandemen hukum Islam pada tahun 1978. Dalam amandemen ini ada beberapa perubahan
dari undang-undang sebelumnya.

3. Amandemen Hukum Islam Irak 1978-1987

Pada tahun 1977 ditetapkanlah hukum yang berdasarkan kebijakan politik baru dari partai
sosialis kebangkitan Arab. Dengen adanya kebijakan tersebut undang-undang hukum perdata
1959 mengalami amandemen kembali sejak tahun 1978 hingga tahun 1983. Adapun undang-
undang yang diubah dalam amandemen ini adalah:23

1.Peraturan perizinan pengadilan bagi suami yang hendak berpoligami (kecualidengan janda);

2. Aturan hukum bagi kawin paksa;

3. Hukum bagi perkawinan di bawah tangan;

4. Peraturan kembali talak;

5. Pengaturan kembali formulasi pengucapan talak berdasarkan

syari’ah sertapengaturan registrasi ke pengadilannya;

6. Keputusan perceraian bagi pasangan suami isteri;

7. Penambahan hak asuh anak bagi ibu yang dicerai hingga anak 15

22
Mahmood, Family Law Reform..., 138-139.
23
Ibid 143-144
10
tahun;

8. Pengenalan persamaan posisi cucu dalam hal bagi waris dalam

kasus wasiatwajibah;

9. Persamaan laki-laki dan perempuan dalam bagian warisan;

10. Penerapan bagi semua muslim prinsip dasar waris syari’ah Imam

dua belas;

11. Pengaturan waris bagianan perempuan.

Bahkan setelah tahun 1983 masih terjadi perubahan tidak hanya itu terjadi pula penambahan
undang-undang, yaitu tepatnya tahun 1986 terdapat perubahan law No. 5/1986 yang berisi
tentang alasan perceraian tentang mabuk-mabukan. Serta pada tahun 1987 terdapat
penambahan law No. 106/1987 tentang hak-hak pengasuhan.24Proses perubahan hukum di
Irak melalui suatu komisi yang ditunjuk oleh dewan legislatif sebgai kepanjangan tangan.
Semua perubahan hukum di Irak kalau dilihat berdasarkan sejarahnya tidak terlepas dari
kebijakan politik serta kondisi sosial. Apalagi terjadinya pro-kontra antara kaum Sunni dan
Syi’i yang kerap kali mewarnai legislasi hukum di Irak.

Materi the Iraqi Law of Personal Status 1959

Isi dari undang-undang ini the Iraqi Law of Personal Status 1959, Sebanyak delapan bab.
Yaitu perkawinan, larangan perkawinan, hak-hak suami istri, perceraian, iddah, biaya hidup
keluarga dan wasiat. Dari beberapa bab yang ada penulis mencoba menghadirkan dengan
menampilkan beberapa butir undang-undang yang ada diambil dari baba- bab yang ada25

1. Perkawinan

Sebagian dari butiran pasal dalam masalah perkawinan adalah:

Pasal 3

(1)Kawin dengan lebih dari satu istri tidak diperbolehkan kecuali ada izin dari pengadilan;

24
Khairuddin Nasution, dkk, Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim Modern (Yogyakarta:
Academia, 2012), 8-10.
25
Beberapa butir undang-undang ini diambil dari karya Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic
Countries; History, text and Comparative Analisys, 55-72.
11
(2)Barang siapa yang mengadakan perjanjian perkawinan lebih dari satu istri dan
bertentangan dengan aturan yang ada, maka yang bersangkutan akan dipenjara selama tidak
lebih dari satu tahun, atau denda tidak lebih dari100 dinar atau kedua-duanya.

Pasal 7

(9) Sanak saudara atau orang lain tidak dapat memaksa seseorang, baik lelaki maupun
perempuan untuk kawin. Pasal 17

Perkawinan seorang laki-laki muslim dengan seorang perempuan ahli kitab adalah sah,
sebaliknya wanita muslim

dengan seorang laki-laki bukan muslim tidak diperbolehkan.

2. Perceraian

Bab perceraian memuat beberapa pasal, diantaranya:

Pasal 34

(1) Perceraian mengakhiri ikatan perkawinan jika diucapkan oleh suami atau oleh istri yang
telah ditunjuk atau dipasrahkan kuasa untuk hal itu, atau oleh pengadilan. Tiada perceraian
yang diakui jika diucapkan kemudian ditulis secara resmi.

Pasal 41

(1)Suami atau istri dapat menuntut perceraian menurut hukum jika ada perselesaian antara
mereka, baik sudah dukhul atau belum

3. Hak Perolehan Tempat bagi Wanita Setelah Perceraian

Berkenaan dengan hak tempat tinggal diatur dalam UU No. 77 tahun 1983:

Pasal 1

Pengadilan yang memutuskan permohonan untuk bercerai akan memerintahkan bahwa


sesudah perceraian istri akan melanjutkan tinggal tanpa suaminya di rumah atau petak yang
ditempati mereka berdua, jika rumah atau petak tersebut dimiliki oleh suami.

Pasal 2

12
(1) Istri yang diceraikan dapat mempertahankan tempat tinggal sesuai dengan pasal 1 selama
masa tiga tahun dengan syarat:

(a) Bahwa dia tidak menyewakan rumahnya; seluruhnya atau sebagiannya;

(b) Bahwa tidak ada orang yang akan tinggal di dalamnya dengan dia kecuali anak di bawah
penjagaan dia yang sah;

(c) Bahwa dia tidak akan menyebabkan kerusakan pada

rumah atau petak tersebut kecuali dengan tidak disengaja.

4. Wasiat

Ada beberapa pasal yang penulis cantumkan perihal wasiat:

Pasal 70

Wasiat lebih dari sepertiga dari hak milik tidak diperbolehkan kecuali dengan ijin para ahli
waris.

Pasal 74

Jika seorang anak laki-laki atau perempuan meninggal sebelum ayahnya atau ibunya maka dia
dianggap masih hidup pada saat kematian ayahnya atau ibunya, dan pemberian haknya atau
hak milik orang yang meninggal akan diteruskan kepada anak-anaknya baik laki-laki maupun
perempuan menurut prinsip-prinsip hukum untuk dipandang sebagai

wasiah wajibah tanpa melebihi sepertiga dari hak milik.

Adapun sebagian pasal yang penulis ambil dari bab waris adalah:

Pasal 89

(2) Saudara-saudara perempuan akan diberi hak yang sama seperti saudara-saudara laki-laki
dalam pembagian waris.

Pasal 91

(1) Suami berhak memperoleh seperempat bagian jika

13
ada anak dari istrinya atau setengah bagian jika tidak ada anak. Jika istri hidup lebih lama dari
pada suaminya maka dia berhak seperdelapan dari harta suaminya kalau ada anak dan
seperempat jika tidak ada anak

2.3 Tipologi Pembaharuan Hukum Keluarga Irak

Telah diketahui bersama bahwa Irak 95% dari jumlah penduduk yang ada beragama Islam.
Penganut keyakinan dalam beragama atau aliran madzhab di Irak juga mempengaruhi adanya
sistem hukum yang ada, dimana dari sekian persen jumlah penduduk muslim yang ada
dimonitori oleh madzhab Hanafi (fiqh Sunni) dan madzhab Ja’fari (fiqh Syi’i). Ada empat
tipologi pembaharuan hukum keluarga Islam.26

1. Progresif, Pluralistik dan Extradoctrinal Reform

Kata progresif dalam hal ini menunjukkan makna hukum keluarga yang dinamis dan sensitif
gender seperti larangan berpoligami, pernikahan perempuan tanpa wali dan kesetaraan
pembagain waris antara laki-laki dan perempuan. Sedang kata plural menunjukkan adanya
indikasi pemberlakuan hukum untuk semua warga negara dengan tanpa melihat latar belakang
agama dan madzhabnya. Sedangkan maksud dari extradoctrinal reform ialah adanya
interpretasi al-Qur’an dan sunnah dalam memberlakukan hukum. Tipologi ini bisa dilihat
dalam bentuk hukum keluarga yang diterapkan oleh negara Tunisia dan Turki.27 Sebagai salah
satu contoh hukum keluarga negara Turki, poligami merupakan hal yang lumrah bahkan hal
yang legal dalam Islam baik dalam ketentuan fiqh madzhab atau pun berdasar tendensi
Qur’an dan hadis.

urki merupakan negara yang melarang keras adanya poligami, berdasarkan the Turkish Civil
Code 1926 poligami sama sekali dilarang dan jika hal itu terjadi maka perkawinan yang
berlangsung (menikahi isteri yang kedua/poligami) dinyatakan tidak sah. Hal ini sebagaimana
pasal 93 yang menegaskan bahwa seseorang tidak dapat menikah sebelum dapat mebuktikan
adanya perkawinan pertama bubar akibat kematian, perceraian atau pernyataan pembatalan.
Dalam pasal lain, yakni pasal 112 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan yang kedua

26
Miftahul Huda, “Ragam Bangunan Perundang-Undangan Hukum Keluarga di Negara- Negara Muslim
Modern (Kajian Tipologis)”, al-Manahij; Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. XI No. 1 (Juni 2017), 53-58

27
Huda, “Ragam Bangunan Perundang-Undangan..., 53
14
dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atas dasar orang tersebut berumah tangga saat
menikah.28

2. Adaptif, Unifikasi Madzhab dan Intradoctrinal Reform

Maksud kata adaptif ialah adanya hukum yang berlaku selalu responsif atas perkembangan
zaman dengan tetap mempertimbangkan materi hukum fiqh oriented dalam artian tidak
menutup atas adanya isu gender. Salah satu bentuk adaptifitas hukum ialah adanya izin
berpoligami, pencatatan perkawinan sebagai administrasi perkawinan, talak di pengadilan dan
lain sebagainya. Adapun maksud dari unifikasi madzhab ialah pemberlakuan hukum yang
dilakukan dengan cara menyatukan perbedaan pendapat para madzhab khususnya empat
madzhab yang ada (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) atau lebih simpelnya
diberlakukannya kompilasi hukum dari beberapa madzhab. Sedang penjelasan dari
intradoctrinal reform ialah adanya metode talfiq, tahyir dan siyasah syariyyah dengan tujuan
demi kemaslahatan masyarakat atau umat. Tipologi seperti ini dipakai oleh negara Indonesia,
Malaysia, Maroko dan Pakistan.29

Sebagai salah satu contoh di Indonesia masalah poligami terbilang mudah jika ditimbang
dengan negara Turki.30 Adanya regulasi umur nikah yang awalnya bagi mempelai wanita batas
minimal umur 16 tahun dengan adanya UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas UUP No. 1/1974, dalam perubahannya umur batas minimal menikah bagi
mempelai wanita harus berumur 19 tahun setara dengan batas minimal mempelai laki-laki.
Hal ini merupakan bentuk dari intradoctrinal reform, diamana adanya batas minimal menikah
memang tidak pernah ditentukan dalam nash atau fiqh oriented munakahat manapun.

3. Adaptif, Unifikasi Aliran dan Intradoctrinal Reform

Kata unifikasi aliran memiliki konotasi arti pemberdayaan atau pemberlakuan hukum
dengan berdasar pada aliran hukum.31 Sedang perngertian lain dari adaptif dan intradoctrinal
reform sudah tercantum dalam penjelasan sebelumnya. Tipologi ini merupakan ciri yang

28
The Turkish Civil Code 1926
29
Huda, ““Ragam Bangunan Perundang-Undangan Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern
(Kajian Tipologis)”, 54
30
Lebih jelasnya lihat UU Perkawinan No. 1/1974 tentang izin poligami, jugali lihat Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang merupakan buah dari Instruksi Presiden (Impres) No. 1/1991.
31
Miftahul Huda, “Ragam Bangunan Perundang-Undangan Hukum Keluarga di Negara- Negara Muslim
Modern (Kajian Tipologis)”,56

15
dipakai di negara Irak, dimana pertautan antar aliran hukum cukup memiliki peran penting
terhadap proses legislasi, dalam hal ini antara Sunni dan Syi’i. Sebagai contoh dalam
pemberlakuan poligami berdasarkan pasal 13 Amandement Law 1963 atas the Iraqi Law of
Personal Status 1959 bahwa seorang pria yang ingin menikah lagi (poligami) harus meminta
izin dari pengadilan. Pengadilan akan memberi izin berdasar tiga syarat; Pertama, pemohon
mampu menafkahi kedua isterinya secara baik secara bersamaan. Kedua, pemohon mampu
memenuhi berbagai ketentuan dalam perkawinan kedua. Ketiga, tidak ada kekhawatiran dari
isteri kedua bahwa suaminya akan berlaku tidak adil.32Sangsi atau denda yang akan didapat
oleh pemohon apabila tidak bisa terpenuhinya tiga syarat tersebut adalah hukuman penjara 1
tahun atau denda maksimal 100 dinar atau kedua duanya hal ini dijelaskan dalam pasal Pasal
3 Ayat (6) undang-undang amandemen tersebut.33

4. Progresif, Unifikasi Madzhab dan Extradoctrinal Reform

Pengertian makna dari beberapa kata sudah di jelaskan pada penjelasan sebelumnya.
Tipologi pembaharuan hukum ini degunakan oleh negara Somalia. Semisal dalam hal waris
adanya pembagian sama antara laki-laki dan perempuan. Dalam pasal 158 undang-undang
hukum keluarga No. 23 tahun 1975 dinyatakan bahwa laki-laki dan perempuan pasal 169
dinyatakan istri yang ditinggal mati suaminya sedang ia tidak punya anak atau cucu maka istri
tersebut mendaptkan separuh harta warisan dan mendapat seperempat dari harta waris bila
memiliki anak atau cucu.34

Dari hal ini bisa dilihat bahwa tipologi pembaharuan hukum keluarga berdasar historis
serta pergulatan aliran hukum antara Sunni dan Syi’i di negara Irak menyebabkan tergolong
pada tipologi yang ke-tiga yakni adaptif, unifikasi aliran dan intradoctrinal reform. Dimana
hukum selalu responsif dalam menjawabpersoalan masyarakat yang dihdapi sesuai dengan
keadaan zaman dengan mengakomodir hukum dari aliran hukum baik itu Sunni atau pun Syi’i
dengan mengedepankan tujuan maslahah lil ummah.

BAB III
32
Mahmood, Family Law Reform in The Musli World,, 138-139
33
Mahmood, Family Law Reform..., 56-59
34
M. Atho’ Mudzhar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam, 161
16
3.1 KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan tersebut dapat diketahuibahwa perkembangan hukum Islam


di Irak mengalami proses yang begitu panjang. Tidaklah mudah melakukan legislasi hukum di
Irak, mengingat Irak merupakan tempat kelahiran Imam Abu Hanifah sehingga sebagian besar
masyarakat Irak bermadzhab Hanafi. Namun disisi lain madzhab Ja’fari juga mendominasi di
negara tersebut. Karena sejatinya pergulatan aliran di Irak Cuma didominasi oleh aliran Sunni
dan Syi’i. Oleh karena hal tersebut semua perkembangan hukum di Irak selalu dibenturkan
dengan adanya perbedaan dari kedua aliran tersebut, apalagi dari keduanya terdapat
perbedaan yang mendasar seperti dalam hal waris dan poligamai. Dalam hal ini penulis
menggolongkan tipologi pembaharuan hukum keluarga di Irak dengan adaptif, unifikasi aliran
dan intradoctrinal reform.

DATAR PUSTAKA
17
al-Fasi, Muhammad bin Hasan al-Hajawi al-Tsa’labi. al-Fikr al-Sami fi Tarikh al-Fiqh
islami, Beirut:daril kutb al-ii,iyah, 1995
al-Qhattan, Manna’. Tarikh Tasyri’ al-Islami. Kairo: Muassasah al-Risalah,
1992.
Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. Kairo: al-Haiah al-Mishriyah al-‘Ammah li al-
Kitab, 1996
Fuad, Mahsun. “Perkembangan Hukum Waris Islam di Irak” al-Mabsut
Jurnal Studi Islam danSosial, No. 2, Vol. 12 (September 2018).
Huda, Miftahul. “Ragam Bangunan Perundang-Undangan Hukum Keluarga
di Negara-Negara Muslim Modern (Kajian Tipologis)”, al-Manahij;
Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. XI No. 1 (Juni 2017).
Khusen, Moh. Pembaharuan Hukum Keluarga di Negara Muslim. Salatiga:
STAIN Salatiga Press, 2012.
Mahmood, Tahir. Family Law Reform in The Musli World. Bombay: N.M.
Tripathy PVT. LTD, 1972.
Mahmood, Tahir. Personal Law in Islamic Countries; History, text and Comparative
Analisys. New Delhi: Academi of Law an Religion, t.t.
Mudzhar, M. Atho’ & Nasution, Khairuddin. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Nasution, Khairuddin. Dkk. Hukum Perkawinan dan Warisan di Dunia Muslim
Modern. Yogyakarta: Academia, 2012.
Rafiq, Chairul. Sejarah Peradaban Islam dari Klasik hingga Modern. Ponorogo
STAIN Ponorogo Press, 2009.
The Turkish Civil Code 1926.
Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997.

18

Anda mungkin juga menyukai