Anda di halaman 1dari 8

Komunitas 4 (1) (2012) : 1-8

KOMUNITAS
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas

KEARIFAN LOKAL ADAT MASYARAKAT SUNDA DALAM HUBUNGAN


DENGAN LINGKUNGAN ALAM

Ira Indrawardana 

Jurusan Antropologi, Universitas Padjajaran, Bandung, Indonesia

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskusikan kearifan lokal adat masyarakat
Diterima Desember 2011 Sunda dalam hubungan dengan lingkungan alam. Penelitian dilakukan secara
Disetujui Januari 2012 kualitatif terhadap masyarakat Sunda Kanekes. Penelitian ini menghasilkan temuan
Dipublikasikan Maret 2012
bahwa pada dasarnya kearifan lokal masyarakat Sunda Kanekes disarikan dari
Keywords: pengalaman masyarakat Sunda lama yang sangat akrab dengan lingkungannya dan
Environment; sudah lama hidup dalam budaya masyarakat peladang. Kearifan lokal adat, suatu
Local wisdom; kondisi sosial dan budaya yang didalamnya terkandung khasanah nilai-nilai budaya
Sunda Kanekes. yang menghargai dan adaptif dengan alam sekitar, dan tertata secara ajeg dalam
suatu tatanan adat istiadat suatu masyarakat. Walau sering dianggap kuno, nilai-
nilai yang mereka ajarkan dan praktek yang mereka jalankan masih merupakan
cara yang terbaik untuk memelihara lingkungan di zaman post-modern.

Abstract
The objective of this study is to discuss the wisdom of indigenous traditional Sundanese
community in relation to natural environment. The research is done qualitatively in Kanekes
Sundanese traditional community. The research found that the distinguished Kanekes local
knowledge regarding to the environment is creatively developed by the community from their
everyday exepriences of living with natures, being friends with nature and their experience
as farming communities. The local wisdom of Kanekes community, which contains cultural
values of respect and adaptive to the environment, and life based upon traditional norms.
Though often stereotyped as primitive, their living values and practices of life are still the best
instrument to conserve environment in post-modern age.

© 2012 Universitas Negeri Semarang



Alamat korespondensi: ISSN 2086-5465
Jl. Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154 Indonesia
E-mail: ira.indrawardana@gmail.com
Ira Indrawardana / Komunitas 4 (1) (2012) : 1-8

PENDAHULUAN manusia untuk tetap “lestarinya keberadaan


manusia sebagai salah satu makluk yang
Manusia merupakan bagian yang tidak ada di muka bumi. Menurut Malinowski,
terpisahkan dari alam sekitarnya. Menurut sebagaimana dikutip dalam Koentjaraningrat
berbagai cerita dan sistem kepercayaan (1987), bahwa segala kegiatan atau aktifitas
(religi) bahwa manusia tercipta oleh Tuhan manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu
dan hidup berdampingan dengan makhluk sebenarnya bermaksud memuaskan suatu
lain di muka bumi. Dalam pandangan rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri
teori Evolusi menurut Darwin (meski pada mahluk manusia yang berhubungan dengan
perkembangannya kemudian banyak yang seluruh kehidupannya. Dengan demikian
menentang), dikatakan bahwa kehidupan berarti setiap masyarakat manusia yang
manusia berevolusi dalam menjaga ekistensi berada di berbagai lingkungan alam berbeda,
generasi mereka dengan cara “berjuang” akan melakukan segala aktifitas dengan
atau “survive”, berkompetisi dengan cara menyesuaikan dengan alam sekitarnya,
makhluk lain sehingga pada akhirnya membentuk berbagai upaya aktifitas guna
manusia berhasil “eksis” sampai sekarang memenuhi kebutuhan kehidupannya,
mengalahkan makhluk lain yang lebih besar, sehingga terciptalah kebudayaan –
kuat, berbahaya dan banyak. kebudayaan manusia yang sesungguhnya
Secara Antropologis, keberadaan terbentuk menyesuaikan dengan kondisi
manusia sejak awal keberadaannya, alam dan lingkungan alam sekitar (geoculture).
berkembang dan mampu beradaptasi dengan Kondisi di atas menyebabkan
lingkungan alam sekitarnya, dikarenakan tumbuhnya kebudayaan – kebudayaan
manusia memiliki sistem akal dan sistem yang bersifat geografis, atau dipengaruhi
naluri atau insting yang mampu menangkap oleh alam sekitar seperti dikenal adanya
fenomena alam dan menyikapinya secara budaya tropis (budaya yang berkembang di
adaptif sehingga menciptakan “kebudayaan” masyarakat yang hidup di wilayah tropis),
sebagai “sistem adaptasi” yang mereka budaya sub tropis (budaya yang berkembang
ciptakan dalam kaitannya menjaga di masyarakat yang hidup di wilayah sub
eksistensi hubungan dengan alam sekitarnya tropis), maupun budaya kutub. Demikan pula
(Daeng, 2008). Oleh sebab itu, kemudian halnya berdasarkan kondisi geologis yang
dikenal suatu konsep bahwa terdapat melingkupi kehidupan suatu masyarakat,
kaitan erat antara manusia, alam dan maka dikenal adanya budaya pegunungan
kebudayaan sebagai suatu relasi triangulasi (budaya masyarakat yang tinggal di kawasan
kebudayaan. Dalam hal mana bahwa pegunungan), budaya pantai (budaya
manusia menciptakan kebudayaannya untuk yang berkembang di masyarakat pesisir
menanggulangi keadaan yang terjadi dalam pantai), budaya kontinental (budaya yang
lingkungan alamnya atau sebaliknya bahwa berkembang pada masyarakat yang tinggal
alam membentuk kebudayaan dari manusia di lempengan benua), dan sebagainya. Selain
yang hidup dalam lingkungan alam tersebut itu dari kondisi alam yang melatarbelakangi
(Brue, 2007). atau melingkupi kehidupan manusia, maka
Kebudayaan yang terbentuk oleh memunculkan budaya yang disesuaikan
karena keberadaan dan kebutuhan dengan aktivitas mata pencaharian dalam
manusia dalam mengatasi alam dan kaitannya dengan lingkungan alam,
lingkungannya, berkembang mulai dari masa diantaranya terdapat budaya agraris, budaya
prasejarah (purba) sampai masa sejarah nelayan, budaya berburu, dan sebagainya.
(peradaban manusia dengan titi mangsa Masyarakat Sunda, atau dalam hal
sejak ditemukannya bukti kemampuan ini masyarakat etnis atau suku bangsa
manusia membuat dan mengenal tulisan). Sunda, merupakan bagian dari masyarakat
Kebudayaan yang terbentuk oleh karena sukubangsa – sukubangsa lainnya yang hidup
keberadaan manusia, memiliki fungsi dalam di bumi nusantara (nusa-antara). Harsojo
mengatasi alam dan lingkungan kehidupan sebagaimana dikutip Koentjaraningrat (2004)

2
Ira Indrawardana / Komunitas 4 (1) (2012) : 1-8

mengatakan bahwa secara antropologi- khasanah nilai-nilai budaya yang menghargai


budaya, yang disebut sebagai Orang Sunda dan adaptif dengan dengan alam sekitar,
atau Suku Sunda adalah orang-orang dan tertata secara ajeg dalam suatu tatanan
yang secara turun temurun menggunakan adat istiadat suatu masyarakat (masyarakat
bahasa dan dialek Sunda sebagai bahasa ibu adat Sunda). Meskipun berbicara “adat”
serta dialek dalam percakapan sehari-hari. tidak harus selalu terkait dengan masyarakat
Orang Sunda dimaksud, tinggal di daerah adat, karena “adat” sendiri secara definitive
Jawa Barat dan Banten yang dulu dikenal adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah
sebagai Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. membaku dalam kehidupan masyarakat
Secara kultural ekologis, pada umumnya sehingga menjadi “budaya sosial” yang
masyarakat Sunda hidup pada daerah berlaku di suatu lingkungan masyarakat
pegunungan tersebut, sehingga tidak jarang tertentu (contoh kita mengenal adat budaya
pada masa lalu banyak yang menyebut pedesaan, adat budaya perkotaan dan
bahwa orang Sunda dikenal sebagai “orang sebagainya). Seperti masyarakat tradisional
gunung”. Menurut Koesoemadinata (dalam lainnya (Hidayat 2000), kearifan tradisional
Rosidi,dkk,2006) masyarakat Sunda adalah adalah instrument pemelihara lingkungan
masyarakat yang cinta pegunungan. Hal yang paling baik.
itu dibuktikan dengan kehidupannya yang
lebih banyak di daerah pegunungan dan METODE PENELITIAN
pengelolaan wilayah pegunungan sebagai
lahan pertanian dan peternakan. Selain Penelitian ini dilakukan dengan
itu bukti kedekatan masyarakat Sunda metode penelitian kualitatif deskriptif.
pada gunung atau pegunungan banyak Data penelitian diambil dari pengamatan
diekspresikan melalui tembang - tembang penulis yang dirasakan dan dialami dalam
Sunda yang bertemakan gunung atau kehidupan sehari – hari. Selain itu juga
kehidupan di pegunungan. Berdasarkan dilakukan wawancara terhadap orang tua
kontur alam gunung atau pegunungan, yang dirasakan cukup memahami makna
maka dalam kehidupan mata pencaharian dan kearifan tradisional Sunda. Penelitian
masyarakat Sunda pada masa lalu dikenal dilakukan pada masyarakat Kanekes sebagai
sebagai masyarakat “peladang”, baik yang kelompok suku Sunda yang masih terjaga.
berladang secara menetap maupun peladang Orang Kanekes atau orang Baduy adalah
berpindah. Keberadaan masyarakat peladang suatu komunitas masyarakat adat Sunda
tersebut sampai sekarang masih banyak yang tinggal di wilayah Kabupaten Lebak,
dijumpai di beberapa “komunitas adat” yang Provinsi Banten. Populasi masyarakat adat
hidup di berbagai wilayah pegunungan di Kanekes saat ini diperkirakan sekitar 5000
Jawa Barat dan Banten, seperti masyarakat hingga 8000 jiwa. Mereka merupakan salah
adat Baduy di Kanekes atau masyarakat adat satu komunitas adat Sunda yang menerapkan
Kampung Naga di Tasikmalaya. kehidupan terisolasi dari dunia luar dimana
Pada tulisan ini, berbicara mengenai mereka membatasi dirinya bersentuhan
kearifan lokal adat masyarakat Sunda dengan modernisasi dan budaya yang
dalam hubungan dengan lingkungan alam, mereka anggap sebagai budaya luar.
pada dasarnya diambil dari pemahaman
atau perspektif kehidupan masyarakat
Sunda lama yang sejatinya mereka hidup HASIL DAN PEMBAHASAN
dalam budaya masyarakat peladang atau
masyarakat agraris (budaya pertanian). Masyarakat Kanekes, seperti
Penekanan pada kontek “kearifan lokal adat” masyarakat Sunda lainnya memandang
pada tulisan ini sesungguhnya secara jelas bahwa lingkungan alam bukanlah sesuatu
ingin memfokuskan bahwa kearifan lokal yang harus ditundukkan, melainkan harus
adat yang diaksud adalah suatu kondisi sosial dihormati, dipelihara, dan dirawat. Pada
dan budaya yang didalamnya terkandung hakekatnya sikap masyarakat Sunda dalam

3
Ira Indrawardana / Komunitas 4 (1) (2012) : 1-8

hubungannya dengan alam, lebih bersifat atau ‘perelmuan untuk kesaktian masa
menyesuakan diri dengan alam. Hal ini lalu” seperti : Bayu Bajra, Guntur Bumi,
tampak dalam hal bertani yang harus Kidang Kancana, Pa Macan, Pa Monyet dan
melaksanakan tradisi kepercayaan adat sebagainya. Beberapa ungkapan, biasanya
berupa sesajen, tumbal-tumbal hewan, berupa nasihat atau piwuruk yang harus
atau benda-benda yang digunakan untuk menjadi tuntunan perilaku atau sebagai
menanggulangi permasalahan kehidupan pengandaian untuk tidak dilakukan demi
yang dianggap atau dipercaya karena adanya kebaikan yang memiliki nama-nama unsur
aspek hubungan dengan alam (Suryaatmana, alam dalam masyarakat Sunda diantaranya :
dkk, 1993). Keterikatan manusia atau
masyarakat Sunda dengan alam sekitar Muncang labuh ka puhu (kemiri jatuh
terkadang memposisikan manusia “seolah lagi ke pangkal) artinya mengisah-
tunduk” terhadap alam, padahal tidaklah kan orang yang pulang kembali ke
demikian,alih-alih masyarakat Sunda yang kampung halamannya setelah lama
nota bene pada umumnya petani harus mengembara dari tempat lain
menyesuaikan dengan alam sehingga Cecendet mande kiara, atawa cileuncang
secara tidaklangsung alam pun membentuk mande sagara (pohon cecendet yang
mentalitas manusia Sunda (para petani masa bentuknya kecil dan rapuh ingin me-
lalu). Hal ini sesuai dengan pernyataan nyamai pohon kiara yang besar dan
Koentjaraningrat (1981) bahwa masyarakat kokoh, atau air genangan ingin menya-
petani Indonesia hidup selaras dengan alam mai lautan) artinya ungkapan ketidak-
sebagai suatu konsepsi yang lazim dalam sepadanan dalam suatu kehidupan.
mentalitas petani Indonesia. Mihape hayam ka heulang (menitipkan
Keselarasan manusia Sunda atau ayam pada burung elang) artinya me-
masyarakat Sunda dengan alam sekitarnya, nitipkan sesuatu barang berharga pada
sehingga secara langsung atau tidak langsung orang yang jahat dan jusutru akan
membentuk mentalitet atau karakter yang memanfaatkan atau mengambil ba-
“sesuai” dengan alam dan lingkungan rang berharga tersebut, menunjukkan
kehidupan di sekitarnya, terungkap perilaku yang salah.
dalam cerita-cerita rakyat, peribahasa Kawas awi sumaer di pasiri ( seperti po-
atau perumpamaan yang sarat dengan hon bambu) yang bergerak-gerak tidak
tuntunan hidup dan penamaan-penamaan pernah diam mana kala tertipu angin
orang yang banyak mengambil nama dan di bukit) artinya mengungkapkan atau
istilah alam. Artinya pula bahwa alam bagi menunjuk pada karakter orang yang
masyarakat Sunda tidak sekedar dipandang tidak jelas pendirian, selalu berubah-
dari sisi “ekonomis” untuk memenuhi ubah.
kebutuhan hidup dan kehidupannya, dari Ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak
segi sastra alam sering dijadikan lambang ( ke air menjadi satu danau, ke darat
bagi kehidupan manusia, etik dan estetik. menjadi satu kawasan ) artinya hidup
Alam dijadikan tempat pengandaian, hatus seiring sejalan atau harmonis.
perumapamaan bagi tabiat dan perilaku Gunung talingakeun, leuweung kanya-
manusia, melalui ungkapan dalam bentuk hokeun, kebon garaaeun, gawir awieun,
bahasa perbandingan, kias ataupun lebak balongan, sampalan sawahan,
metafora. Melalui bentuk bahasa demikian walungan rempekan (Gunung harus di-
kita dapat mengetahui kekayaan flora dan jaga, hutan harus dipelajari/diperhati-
fauna lingkungan alam masyarakat Sunda. kan, kebun harus diolah, tebing harus
Beberapa nama tokoh Sunda masa ditanami bambu, cekungan lembah
lalu banyak menggunakan nama unsur alam dibuatkan kolam, dataran harus dija-
seperti : Prabu Lingga Buana, Ciung Wanara, dikan sawah, sungai ditanami pepo-
Gelap Nyawang, Gajah Lumantung, dan honan pada pinggirannya).
sebagainya. Begitupun nama-nama “ajian”

4
Ira Indrawardana / Komunitas 4 (1) (2012) : 1-8

Kehidupan masyarakat Sunda yang Nyungcung dengan Buana Panca Tengah


masih terikat pada tradisi adat biasanya terdapat 18 lapisan (mandala/buana/alam/
cenderung masih sangat terikat dengan alam dunia) (Sasmita,dkk,1986). Masyarakat
dilingkungan tempat tinggalnya. Masyarakat Kenekes mempercayai bahwa “ruh atau
adat secara khusus memiliki sistem roh atau sukma manusia itu turun dari dari
kepercayaan yang terikat dan secara struktural Mandala Hiyang atau Kahiyangan atau
tersusun dalam hubungan antara dunia nyata Bumi Suci Alam Padang (Padang=terang)
dan tidak nyata dalam kaitan eksistensi tempat tinggal Nyi Pohaci Sang Hiyang Asri
mereka dalam hubungannya dengan dan Sunan Ambu. Masyarakat Kanekes
lingkungan alam sekitarnya. Secara empiric memepercayai bahwa mereka merupakan
biasnya lingkungan tempat tempat tinggal keturunan dari Batara Cikal dari tujuh
mereka dibagi dalam batasan lingkungan Batara yang diciptakan oleh Nu Ngersakeun
alam yang (1) disucikan berupa kabuyutan, atau Tuhan dalam pemahaman mereka.
(2) boleh digarap atau dimanfaatkan untuk Batara Cikal ini turun dari Mandala Hiyang
kehidupan tetapi tidak boleh mendirikan ke suatu tempat yang sekarang dipercayai
tempat tinggal , (3) boleh mendirikan tempat dan dikeramatkan sebagai Sasaka Domas.
tinggal. Dalam kaitan dengan wilayah hutan, Dalam kaitan ini masyarakat Kanekes
pada masyarakat warga adat kasepuhan mempunyai sebuah ungkapan : “hirup turun
di pegunungan Halimun, dikenal adanya ti Nu Rahayu, hurip lalaran Pohaci (hidup
sistem pengetahuan berupa (Adimihardja, berasal dari Tuhan, kesegaran hidup berasal
sebagaimana dikutip Rosidi dkk, 2006): dari Pohaci). Karena itulah Pohaci atau
Pohaci Sang Hiyang Asri termasuk dalam
Leuweung Kolot atau leuweung geledegan lingkaran pemujaan atau unsur sistem
yaitu hutan yang lebat yang masih di- kepercayaan Masyarakat Kanekes dan Sunda
tumbuhi oleh pohon-pohon besar dan (masyarakat agraris yang terikat dalam
kecil yang tua. Tedapat di kawasan ketentuan adat Sunda). Perwujudan atau
cagar alam Gunung Halimun. ekspresi penghormatan terhadap Pohaci dan
Leuweung Sempalan adalah jenis hutan batara-batara leleuhur yang diyakini oleh
yang dapat dieksploitasi manusia se- masyarakat Kenekes selalu mendampingi
cara luas. Di hutan jenis ini manusia kehidupan mereka dalam mewujudkan
boleh membuka huma atau perladan- kemakmuran dan kesejahteraan hidup
gan, menggembalakan ternak, men- diwujudkan dalam tradisi-tradisiadat
gambil kayu bakar dan lain-lain. pertanian. Tradisi-tradisi upacara dalam
Leuweung Titipanadalah jenis hutan menjaga hubungan manusia Sunda dengan
yang diakui oleh semua warga adat alam tidak hanya dilakukan oleh masyarakat
kasepuhan sebagai hutan kramat. Je- Kenekes tetapi masyarakat Adat Sunda
nis hutan ini tidak boleh dieksploitasi lainnya yang masih merasa terikat dengan
oleh manusia, kecuali atas izin sesepuh meneguhkan atau mengukuhi tatali paranti
girang (ketua adat) pun berdasarkan karuhun yang terus ditumbuhkembangkan
wangsit atau ilapat dari nenek moyang dalam ritus lokal dalam siklus kehidupan
mereka melalui sesepuh girang. di masing-masing wewengkon (wilayah
budaya) mereka. Tradisi-tradisi itu dilakukan
Berkaitan dengan sistem kepercayaan dengan menggunakan dan unsur-unsur
dalam kosmologi masyarakat Kanekes alam yang ada dilingkungan sekitarnya dan
(sebagai salah satu sub kultur masyarakat selalu dikaitkan dalam menjaga hubungan
Sunda), terdapat tiga buana yaitu ; (1) Buana harmonis “kosmis spiritual” antara Jagat
Nyungcung (persemayaman Nu Ngersakeun), Alit dengan Jagat Ageung (mikro kormos
(2)Buana Panca Tengah (tempat manusia dengan makro kosmos).
dan makhluk lainnya) dan (3) Buana Larang Posisi dan kesadaran diri manusia
(“neraka”). Ketiga Buana itu tesusun Sunda dalam memaknai Alam, berawal dari
dari “atas” ke “bawah”. Antara Buana adanya kesadaran bahwa dalam diri manusia

5
Ira Indrawardana / Komunitas 4 (1) (2012) : 1-8

terdapat unsur-unsur alam berupa air, angin, gan, dina keur nyieun jalan tengah di Gu-
api, tanah dan cahaya yang sesungguhnya nung Kendeng, maung negmbang dadap
sama dengan unsur-unsur alam yang ada di di cai buhaya ngembang kaso. Dina keru
alam. Adanya kepercayaan dan kesadaran peperangan kade kudu bareng jeung ko-
dalam menyelaraskan dengan alam lot urang ulah hareup teuing bisi kaleyek,
setidaknya adalah suatu wujud sikap dan ulah tukang teuing bisi katinggaleun”.
karakter dimana manusia Sunda tidak akan
menjadikan alam sebagai bahan eksploitasi. Beberapa uangkapan “uga” diatas
Upaya menjaga keseimbangan antara “jagat menyebut beberapa nama daerah (contoh;
alit” (diri manusia) dengan “jagat ageung” Bandung) dan nama bentang alam (contoh;
(alam beserta isinya) disatu sisi juga sebagai Gunung Galungung). Hal ini menandakan
wujud religiusitas manusia Sunda sebagai bahwa masyarakat Sunda memaknai
“makhluk Suci” atau makhluk yang berasal daerah, tanah atau wilayah suatu bentang
dari alam kesucian “kahiyangan”. Sebagai alam bukan sebagai sarana produksi atau
Manusia Sunda (Sunda=bersih, suci, indah, tempat tinggal, tetapi merupakan sesuatu
baik), maka manusia Sunda memiliki tugas hal atau tempat yang dikeramatkan atau
“mengelola dan menyempurnakan” alam disucikan. Hal ini pula menunjukkan adanya
beserta isinya tentunya dalam kaitan pula keterikatan antara manusia dengan alam
dengan berhubungan dengan manusia sehingga pada gilirannya sering dilakukan
lainnya yang berbeda budaya. penghormatan terhadap alam beserta isinya
Kemudian, apa makna kepercayaan dalam bentuk tradisi-tradisi upacara, sebagai
terhadap uga dalam hubungan eksistensi wujud ekspresi manusia berbudaya ( baca;
manusia dengan lingkungan alam. Sebagai manusia yang berakhlak budi pekerti yang
masyarakat agraris yang sangat akrab luhur).
dengan alam atau lingkungan hidupnya, Tentunya masih banyak “uga” lainnya
khususnya masyarakat agraris Sunda yang yang berkembang dalam masyarakat
cenderung terikat dengan adat budaya Sunda, yang pada intinya disesuaikan
Sunda, mereka mengenal adanya “Uga” dengan sistem pengetahuan dan kosmologi
sebagai hubungan simbolik antara manusia pada masyarakat bersangkutan. Secara
dengan alamnya. Uga bagi masyarakat antropologi “uga” sebagai bagian dari
Sunda, merupakan salah satu bentuk sistem pengeetahuan sekaligus kepercayaan
pengungkapan prediksi antisipatif dari masyarakat Sunda, terbentuk dalam upaya
generasi karuhun untuk dipedomani manusia Sunda menanggapi fenomena alam
mengenai kejadian-kejadian pada masa yang dan dalam upaya menyelaraskan kehidupan
akan datang (Rusnandar,2011). Uga-uga dengan alam hari ini dan masa yang akan
tersebut terungkap dalam kata-kata yang datang.
menunjukkan kaitan dengan lingkungan
alam sekitar baik dengan air, tanah, pohon, SIMPULAN
hutan, gunung dan berbagai nama tempat
atau bentang alam lain di sekitarnya. Masyarakat Sunda, khususnya
Beberapa contoh “uga” dalam masyarakat adat Kanekes secara
masyarakat Sunda yang terkait dengan umum merasa terikat dengan alam dan
prediksi keberadaan manusia dala kaitan lingkungannya. Alam Pasundan menjadikan
dengan alam sekitarnya : manusia dan masyarakat Sunda memiliki
budaya yang arif dalam mengelola
Uga Bandung : “Sunda nanjung, lamun lingkungannya. Sebaliknya masyarakat
nu pundng ti Bandung ka Cikapundung Sunda yang secara kepercayaan yang
geus balik deui”. dikembangkan dalam folklore Sunda (bagian
Uga Galunggung : “Sunda nanjung la- dari kebudayaan Sunda) sebagai “manusia
mun pulung turun ti Galunggung” yang diturunkan’ dari “Mandala Hiyang”
Uga Kawasen : “Urang kudu peperan- oleh Tuhan (Nu Ngersakeun) memiliki tugas

6
Ira Indrawardana / Komunitas 4 (1) (2012) : 1-8

suci dan mulia untuk mengelola alam bukan hutan, bertanyalah kepada gajah; serta
mengekspolitasi alam. Adanya kesadaran bilamana ingin mengetahui harumnya
posisi manusia Sunda yang diharuskan dan manisnya bunga bertanyalah kepada
selaras dan mengelola dan menjaga alam kumbang—bertanyalah sesuatu pada yang
diungkapkan dalam beberapa bentuk ahlinya). Hasil penelitian juga membawa
tradisi upacara, ungkapan tuntunan hidup pada kesimpulan bahwa saat ini banyak
dalam peribahasa, nasihat, uga dan bahkan kearifan tradisional yang hanya diketahui
penggunaan peristilahan nama-nama alam oleh generasi tua, sementara generasi muda
dengan memahamai “karakter” dari masing- sudah kurang mengenalnya. Fenomena
masing unsur alam. degradasi kearifan tradisional seperti ini
Secara langsung atau tidak langsung juga terjadi di banyak masyarakat, sehingga
sesungguhnya alam merupakan “bumi sudah sepatutnya dilakukan reorientasi,
tempat tinggal sekaligus kitab hayat” bagi revitalisasi dan reaktualisasi agar nilai-nilai
masyarakat Sunda.Kearifan lokal tersbut luhur kearifan tersebut tidak hilang ditelan
pada perkembangannya menjadi ‘adat dan zaman.
budaya pada masyarakat Sunda. Tentunya
pada akhirnya bahwa budaya Sunda yang DAFTAR PUSTAKA
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
masyarakat Sunda (termasuk didalamnya Agrawal, A. “Indegeneous and Scientific Knowledge:
Some Critical Comments. Indigeneous
tatanan adat Sunda yang berkembang di
Knowledge and Development Monitor. 3 (3) : 3-6.
kalangan masyarakat adat Sunda atau 1995.
komunitas masyarakat Sunda yang masih Daeng, H.J. 2008. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan
terikat dengan tatali paranti karuhun) memiliki Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka
peranan dalam menjaga kelestarian dan Pelajar.
Bruce, M. 2007. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
keseimbangan alam dalam hubungannya .Penerjemah: Setiawan B, Dwita Hadi Rami.
dengan kehidupan masyarakat Sunda. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Masyarakat Sunda dalam kebudayaannya Danasasmita, S. dkk. 1986. Kehidupan Masyarakat
tidak hanya mengenal nama atau perisitilahan Kanekes. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Bandung:
alam tetapi juga memeiliki kemampuan
Direktorat jenderal Kebudayaan, Departemen
‘menghayati karakter setiap unsur alam’ Pendidikan dan Kebudayaan.
sebagai pelajaran yang kemudian dijadikan Danasasmita, M. 2001. Wacana Bahasa dan Sastra
sebagai pengandaian dalam memandang diri Sunda Lama. Bandung: STSI Press.
dan manusia lain. Dagun, S. 2006. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan.
Edisi kedua. Jakarta: Lembaga Pengkajian
Sebagai penutup tulisan ini ada Kebudayaan Nusantara (LPKN).
peribahasa Sunda buhun yang tertuang Hidayat, T. 2000. Studi kearifan budaya petani Banjar
sebagai “pikukuh darma pitutur” yang tertulis dalam pengelolaan lahan rawa pasang surut.
dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kandang Jurnal Kalimantan Agrikultura 7(3): 105-111.
Kalsum. 2010. Kearifan Lokal dalam Wawacan
Karesian (kropak 632), sebagai ungkapan
Sulanjana: Tradisi Menghormati Padi pada
petuah yang berasal dari memaknai alam dan Masyarakat Sunda di Jawa Barat, Indonesia.
lingkungan sekitar agar kehidupan manusia Sosiohumanika. 3 (1): 79-94.
tidak salah dalam mencari ilmu untuk Koentjaraningrat.1987. Sejarah Teori Antropologi I.
kesejahateraan kehidupan, yaitu berbunyi Jakarta: UI Press.
Koentraningrat. 2004. Manusia dan Kebudayaan di
:“tadaga kang carita hangsa/ gajendra carita Indonesia. Jakarta: Djambatan.
banem/ matsyanem carita sagarem/ puspanem Nygren, A. 2009. “Local Knowledge in the
carita bangbarem.” Secara garis besar seloka Environment-Development Discourse: From
tersebut menghendaki agar manusia atau Dicotomies to Situated Knowledge”. Critique
of Anthropology. 19 (3): 267-288.
seseorang yang ingin tahu tentang telaga
Rosidi, A.,dkk. (Penyunting). 2006. Prosiding Konferensi
yang bening, hendaknya ia bertanya kepada Internasional Budaya Sunda. Bandung-Jakarta:
angsa. Dan apabila ingin mengetahui Yayasan Kebudayaan Rancage bekerjasama
tentang dalamnya laut, bertanyalah kepada dengan P.T Dunia Pustaka Jaya.
ikan (matsya). Ingin tahu tentang keadaan Rusyana, Y. dkk. 1989. Pandangan Hidup Orang Sunda

7
Ira Indrawardana / Komunitas 4 (1) (2012) : 1-8

: seperti Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Kebudayaan Nusantara.


Dewasa ini (Tahap II). Bandung: Departemen Wahyu. 2011. Adaptasi petani di Kalimantan Selatan.
Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jurnal Komunitas. 3 (1): 97-107.
Sejarah dan Nilai Tradisonal. Proyek Penelitian Warnaen, S.,dkk.1987. Pandangan Hidup Orang
dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara bagian SundaSeperti tercermin dalam Tradisi Lisan dan
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sastra Sunda. Penelitian Tahap II (Konsistensi
Sunda.. dan Dinamika). Bandung: Departemen
Suyaatmana, E.,dkk.1993. Paririmbon Sunda (Jawa Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat
Barat). Bandung: Departemen Pendidikan dan Jenderal Kebudayaan. Bagian Proyek
Kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda.
Tradisonal. Proyek Penelitian dan Pengkajian

Anda mungkin juga menyukai