Anda di halaman 1dari 37

PROPOSAL TUGAS AKHIR

PENGARUH PENERAPAN FERMENTASI ANAEROB DAN PENGGUNAAN


RAISED BED PATIO SEDERHANATERHADAP KUALITAS MUTU SENSORIS
KOPI ARABIKA SEBAGAI ALTERNATIF PENGOLAHAN PASCAPANEN DI
DESA TAMANSARI AMPELGADING KABUPATEN MALANG

SKRIPSI

Oleh :

Yusron Abdullah
NIM 175100100111023

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................2
DAFTAR TABEL ...............................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................5
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 5
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 7
1.4 Manfaat ......................................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................................9
2.1 Tanaman Kopi .............................................................................................. 9
2.2 Spesies Kopi ............................................................................................... 10
2.3 Pengolahan Pascapanen Kopi .................................................................... 12
2.3.1 Pemanenan Kopi .................................................................................. 12
2.3.2 Pegolahan Kopi .................................................................................... 14
2.3.3 Pengeringan ......................................................................................... 17
2.4 Fermentasi Kopi Arabika............................................................................ 20
2.5 Dampak Fermentasi Terhadap Kualitas Mutu Sensori Kopi ....................... 23
2.6 Hipotesis ..................................................................................................... 25
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................................26
3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ................................................................. 26
3.2 Alat Dan Bahan Penelitian ...................................................................... 26
3.2.1 Alat Penelitian ................................................................................... 26
3.2.2 Bahan Penelitian............................................................................... 27
3.3 Metode Penelitian ....................................................................................... 27
3.4 Analisis Data ............................................................................................... 28
3.5 Tahapan Penelitian ..................................................................................... 28
3.5.1 Pengolahan Pascapanen Kopi ............................................................. 28
3.5.2 Penyangraian Biji Kopi Kering (Green Beans)...................................... 29
3.5.3 Persiapan untuk Uji Citarasa Kopi ........................................................ 30
3.5.4 Metode Analisis Uji Citarasa Kopi ........................................................ 30
3.6 Diagram Alir ................................................................................................ 32
3.6.1 Proses Pengolahan Pascapanen Kopi ................................................. 32
3.6.2 Proses Roasting Biji Kopi ..................................................................... 33
3.6.3 Proses Uji Citarasa Kopi ...................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................35

2
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi Tanaman Kopi ................................................................................10


Tabel 3.1. Rancangan Penelitian .....................................................................................28

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Tanaman Kopi ..............................................................................................9


Gambar 2.2. Bagian Ceri Kopi .........................................................................................10
Gambar 3.1 Diagram alir proses pengolahan pascapanen kopi.......................................32
Gambar 3.2 Diagaram alir proses roasting biji kopi .........................................................33
Gambar 3.3 Diagram alir uji citarasa ...............................................................................34

4
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan hasil perkebunana di Kabupaten


Malang Jawa Timur. Menurut Dinas Komunikasi dan Informatika (2020) luas area
perkebunan kopi di Kabupaten Malang pada tahun 2018 – 2019 seluas 1.270 hektar untuk
kopi arabika dan 15.086 hektar untuk kopi jenis robusta. Penyumbang produksi kopi berasal
dari wilayah Ampelgading, Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo, dan Dampit pada periode
2018 – 2019 dengan total hasil produksi sebesar 11.313 ton (BPSKabMalang, 2021). Pada
tahun 2019 - 2020 terjadi penurunan produksi kopi sebesar 4.750 ton, dimana penurunan
tersebut terjadi diwilayah Ampelgading, Sumbermanjing Wetan dan Dampit yang
disebabkan pandemi Covid-19 ditambah penurunan mutu yang terjadi pada kopi jenis
arabika. Ampelgading salah satu wilayah yang mengalami penurunan cukup tinggi untuk
produksi kopi berjenis arabika. Faktor penyebab menurunnya produksi kopi arabika
diwilayah Ampelgading yakni kebanyakan dari petani belum menerapkan pengolahan
dengan baik dan tepat sehingga mutu hasil akhir kopi menurun.

Kualitas kopi secara keseluruhan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terlibat
dalam perubahan sifat fisikokimia dan atribut sensorik, dimana kegiatan pasca panen
memberikan kontribusi sekitar 60% dari kopi yang dihasilkan (Castanheira, 2020). Tahapan
pengolahan dan pengeringan merupakan faktor yang dapat menentukan pembentukan
rasa dan aroma. Pembentukan rasa dan aroma dikaitkan dengan proses fermentasi pada
tahapan pengolahan dan pengeringan kopi dikarena keterlibatan mikroorganisme yang
terjadi selama tahap pengolahan berlangsung (Henrique et al., 2015).

Fermentasi merupakan proses pemecahan komponen senyawa polisakarida


menjadi gula sederhana dikarenakan aktivitas mikroorganisme. Pada proses fermentasi
senyawa asam amino bebas dapat dilepaskan dalam biji kopi setelah degradasi protein
yang akibatnya berpengaruh terhadap perubahan dalam kualitas organoleptik minuman
(Wamuyu et al., 2017). Fermentasi dibagi dua berdasarkan kebutuhan oksigen yaitu aerob
(membutuhkan oksigen) dan anaerob (tidak membutuhkan udara). Berdasarkan studi yang
telah dilakukan, fermentasi secara anaerob dan aerob dapat mempengaruhi kualitas yang
berbeda pada kopi (Itsar, 2021). Menurut Lee et al (2015) proses fermentasi dapat
berdapak terhadap kualitas aroma kopi yang bergantung dari mikroflora alami yang ada
pada ceri kopi, sehingga menghasilkan aroma biji kopi hijau yang berbeda. Beberapa faktor
dapat mempengaruhi optimal proses fermentasi seperti suhu, kelembapan, waktu
fermentasi, jumlah kultur (konsentrasi), kadar udara, nutrisi (substrat), sanitasi tempat
fermentasi dan tahap pengeringan (Itsar, 2021; Poerwanty, 2018).

5
Pengeringan merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pengolahan
kopi, dimana tahap ini dapat menumbuhkan jamur dan bakteri yang dapat menurunkan
kualitas jika tidak ditangani dengan teknik pengelolahan yang baik. Secara tradisional tahap
pengeringan yang dilakukan oleh sebagian petani menghasilkan kopi dengan kualitas
rendah dikarenakan kurangnya penangangan pengolahan yang berakibat menurunnya
minat konsumen terhadap kopi hasil dari petani (Ali Mohammed, 2014).

Meningkatkan dan menjaga kualitas kopi bagi petani merupakan hal yang cukup
sulit jika dilakukan tanpa adanya penelitian sebelumnya. Beberapa upaya penelitian
dilakukan untuk mengoptimalkan potensi kopi dengan mengkaitkan proses fermentasi,
tahap pengeringan dan waktu penyimpanan ceri kopi (Behailu et al., 2008). Pengoptimalan
pascapanen kopi dapat dilakukan dengan penggunaan fermentasi serta penggunaan
Raised Bed Patio. Raised Bed Patio merupakan istilah nama dari alas pengering, dimana
penggunaan alas pengering yang dibuat dapat mengoptimalkan kualitas kopi karena
meminimalisir kontaminan pada tahap pengeringan seperti jamur atau bakteri pada
pengeringan tanpa alas (permukaan datar) (Hameed et al., 2018; Selmar et al., 2006).
Penilaian pada mutu kopi sangat kompleks dan terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
hasil akhir, seperti varietas tanaman, kondisi lingkungan (Ketinggian dan Iklim),
penanganan pascapanen, dan teknik pengolahan yang sesuai (Seninde, 2020). Penilaian
biji kopi tidak hanya ditentukan dari penampakan secara fisik, namun ditentukan dari
citarasanya. Dimana kopi dikonsumsi karena memiliki rasa dan aroma yang khas, maka
produk akhir kopi mengandalkan kualitas dari aspek citarasa dengan penentuannya melalui
uji citarasa (Itsar, 2021). Metode uji citarasa digunakan untuk mengetahui karakteristik mutu
kopi dengan metode SCA yaitu cupping test. Dimana cupping test ini dilakukan oleh panelis
terlatih atau ahli yang biasa disebut Q-Grader. Proses cupping dilakukan sesuai standar
yang telah di sepakati oleh SCA (Specialty Coffee Association) agar memperoleh hasil yang
akurat (Firdaus, 2018; SCA, 2015).

Desa Tamansari merupakan desa yang memiliki iklim dan wilayah yang sesuai
untuk pertumbuhan kopi arabika, dikarenakan terletak di wilayah yang cukup tinggi di lereng
gunung semeru Jawa Timur. Namun potensi tersebut kurang dimanfaatkan oleh penduduk
sekitar dikarenakan kurangnya minat petani dalam menangani pengelolahan kopi. Hingga
saat ini belum ada yang menggunakan penelitian terkait perbaikan mutu sensori kopi
menggunakan fermentasi secara anaerob dan penggunaan Raised Bed Patio Sederhan
yang di aplikasikan di petani Desa Tamansari, dengan hal tersebut harapannya dapat
membantu mengoptimalkan potensi kopi arabika yang ada di Desa Tamansari sehingga
menjadi kopi yang menghasilkan kualitas terbaik.

6
1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh penerapan metode fermentasi secara anaerobic dengan


jenis wadah kantong plastik dan drum plastik terhadap mutu sensori kopi arabika
Desa Tamansari Ampelgading, Jawa Timur ?

2. Bagaimana pengaruh penggunaan Raised Bed Patio Sederhana pada tahap


pengeringan terhadap mutu sensori kopi arabika Desa Tamansari Ampelgading,
Jawa Timur ?

3. Bagaimana perlakuan terbaik dari penerapan metode fermentasi secara


anaerobic dengan jenis wadah kantong plastik dan drum plastik serta
penggunaan Raised Bed Patio Sederhana pada tahap pengeringan terhadap
mutu sensori kopi arabika Desa Tamansari Ampelgading, JawaTimur ??

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh penerapan metode fermentasi secara anaerobic dengan


jenis wadah kantong plastik dan drum plastik terhadap mutu sensori kopi arabika
Desa Tamansari Ampelgading, Jawa Timur.
2. Mengetahui pengaruh penggunaan Raised Bed Patio Sederhana pada tahap
pengeringan terhadap mutu sensori kopi arabika Desa Tamansari Ampelgading,
Jawa Timur.
3. Mengetahui perlakuan terbaik dari penerapan metode fermentasi secara
anaerobic dengan jenis wadah kantong plastik dan drum plastik serta
penggunaan Raised Bed Patio Sederhana pada tahap pengeringan terhadap
mutu sensori kopi arabika Desa Tamansari Ampelgading, Jawa Timur.

1.4 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Sebagai sumber informasi terhadap petani kopi sekitar Desa Tamansari untuk
menjaga mutu hasil akhir kopi dari pra panen dan pascapanen sehingga dapat
meningkatkan produksi serta menjaga kualitas mutu kopi.

2. Pengaruh penerapan metode fermentasi anaerobic dengan perbedaan wadah


kantong plastik dan drum plastik serta pemanfaatan Raised Bed Patio
Sederhana dalam tahap proses pengeringan kopi arabika Desa Tamansari

7
diharapkan memiliki kualitas mutu sensori yang baik dibandingkan proses
pengolahan sebelumnya yang diharapkan dapat memperluas segmentasi pasar.

3. Dapat berkontribusi dalam pengembangan ilmu dan teknologi pengolahan dalam


bidang pertanian khususnya pengolahan pascapanen kopi yang berada di Desa
Tamansari Ampelgading, Jawa Timur.

8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kopi

Tanaman kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang diproduksi dan
hasilnya menjadi salah satu minuman yang popular di dunia (Farah and Dos Santos, 2015).
Tanaman kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang memberikan peningkatan
secara devisa untuk negara dan kesejahteraan petani kopi (Jenggawah et al., 2010)
sehingga tidak menutup kemungkinan kopi menjadi komoditas yang di sukai dan dicari di
dunia.

Tanaman kopi merupakan tanaman tahunan dimana secara umum tanaman ini
akan menghasilkan buah kopi ketika berusia + 2,5 – 3 tahun, yang kemudian dilakukan
pemanenan yang berbeda beda disetiap negara bergantung dari iklim, kondisi tanah, dan
daerah wilayah tanaman kopi yang ditempati dan kemudian di proses hingga menjadi biji
mentah. (Prastowo, Bambang ; Karmawati, 2010). Tanaman kopi biasanya hidup berkisar
antara 10 hingga 15 tahun di alam hingga tidak produksi kembali atau mati, dengan hal
tersebut petani diharuskan untuk melakukan perbaruan tanaman secara teratur agar tetap
berproduksi setiap tahunnya. Bentuk pohon dari kopi sendiri bervariasi yang bergantung
pada jenis spesies dan varietas. Secara umum bentuk pohon kopi terdiri dari 2 bagian yang
pertama tunas utama (batang) dan cabang leteral tersier (batang penghasil buah) (Farah
and Dos Santos, 2015).

Gambar 2.1. Tanaman Kopi (Dok.penulis, 2020)

Tanaman kopi akan berbuah setelah berbunga dengan melakukan proses


pembuahan melalui penyerbukan di bunga itu sendiri. Proses pembuahan berlangsung
selama 24 – 48 jam setelah proses penyerbukan, kemudian berkembang menjadi ceri
dengan ukuran diameter 10 – 15 mm yang mengandung dua biji kopi. Ceri kopi terdiri dari
3 bagian epicarp atau exocarp, mesocarp, endocarp (Farah and Dos Santos, 2015).
Exocarp merupakan lapisan terluar dari ceri kopi dengan lapisan monoseluler yang berlapis

9
zat lilin yang bertujuan untuk melindungi ceri kopi, biasanya berwarna merah muda, merah
tua, atau kuning. Mesocarp merupakan bagian ceri kopi yang terdiri dari daging buah,
lapisan lendir pectinaceous atau mucilage. Endocarp merupakan lapisan kulit tanduk tipis,
lapisan ini merupakan lapisan polisakarida yang mudah rapuh ketika kering dan keras
ketika basah (Edowai, 2018).

Gambar 2.2. Bagian Ceri Kopi (Farah and Dos Santos, 2015)

2.2 Spesies Kopi

Tanaman kopi asal muasal ditanam di Kaffa wilayah Ethiopia, kemudian disebar
luas kan oleh Belanda ke penjuru Eropa. Pada tahun 1753 kopi arabika pertama kali
dideskripsikan oleh Linnaeus dengan kondisi buah bulat, halus, sedikit pahit, dan berwarna
coklat dengan kerak halus serta aroma yang kuat sedangkan kopi robusta memiliki ciri buah
yang cenderung kuat untuk rasa dan lebih tinggi tingkat produktifitas dari kopi arabika, hal
tersebut yang menjadikan kopi robusta kurang diminati oleh konsumen (Schwan et al.,
2012).

Kingdom Vegetable

Subkingdom Angiospermae
Class Dicotyledoneae
Subclass Sympetalae or Metachlamdeæ
Order Rubiales
Family Rubiaceæ
Genus Coffea
Subgenus Eucoffea
Species Coffea arabica; Coffea canephora; Coffea liberica;
Coffea eugeniodes; Coffea salvatrix; Coffea racemose;
Coffea zanguebariae; Coffea pseudozanguebariae;
Coffea mongensis; Coffea humilis; Coffea kapakat;
Coffea betrandi; Coffea perrieri; Coffea pervilleana
Tabel 2.1. Klasifikasi Tanaman Kopi (Farah and Dos Santos, 2015)

10
Tabel diatas merupakan bagian tanaman kopi dari subkingdom tumbuhan yang
dikenal secara ilmiah sebagai Angiospermae. Dengan artian tanaman kopi berkembang
biak dengan biji tertutup dalam bunga. Tanaman kopi masuk dalam Genus Coffea serta
Subgenus Eucoffea serta memiliki 125 Spesies dan 15 diantaranya yang di kenal dunia dari
Coffea arabica ; Coffea canephora; Coffea liberica; Coffea eugeniodes; Coffea congensis;
Coffea salvatrix; Coffea racemose; Coffea zanguebariae; Coffea pseudozanguebariae;
Coffea mongensis; Coffea humilis; Coffea kapakata; Coffea betrandi; Coffea perrieri; Coffea
pervilleana (Farah and Dos Santos, 2015).

Banyaknya spesies dari tanaman kopi yang ada di dunia, hanya 2 yang di konsumsi
secara komersial yaitu Coffea arabica (kopi arabika) dan Coffea canephora (kopi robusta).
Kopi robusta merupakan spesies kopi yang banyak ditemukan di berbagai wilayah seperti
Brazil, Vietnam, Pantai Gading, Uganda, dan Indonesia (Schwan et al., 2012). Indonesia
merupakan salah satu negara dengan penghasil tertinggi untuk kopi jenis robusta (ICO,
2021). Hal tersebut dikarenakan tanaman kopi robusta memiliki ketahanan terhadap hama
seperti Hamelia vastatrik (HV) yang menyerang daun kopi sehingga berwarna kuning atau
yang biasa dikenal dengan karat daun serta dapat tumbuh baik di wilayah dataran rendah
sekitar 500 – 800 m diatas permukaan laut (Jenggawah et al., 2010).

Tidak seperti kopi robusta, kopi arabika merupakan salah satu spesies kopi yang
mudah terkena penyakit HV dan pertumbuhannya minimal di ketinggian 700 m diatas
permukaan laut akan tetapi permintaan dan minat pasar terbanyak di dunia sebesar 80 %
kemudian kopi robusta sebesar 15% dan 5 % untuk kopi liberika dan kopi excelsa (ICO,
2021). Selain kopi arabika dan robusta yang dikenal didunia spesies kopi lain juga cukup
dikenal tetapi masih jarang ditemui serta dibudidayakan secara komersil, tetapi di Indonesia
dapat ditemukan dibeberapa wilayahnya yaitu kopi liberika (Coffea liberica W.Bull ex Hiern)
dan kopi Excelsa (Coffea liberica Var.dewevrei).

a.) Kopi Arabika

Kopi arabika (Coffea arabica L.) merupakan spesies kopi dengan minat
konsumsi tertinggi untuk spesies kopi yang ada di dunia. Kopi arabika sendiri memiliki
keunggulan dari citarasa yang dihasilkan serta memiliki kandungan kadar kafein yang
relative rendah dibanding dengan kopi robusta. Kekurangan dari kopi arabika sendiri
yaitu dari segi penanaman karena tidak semua wilayah kebun dapat ditumbuhi oleh
kopi arabika. Kopi arabika akan tumbuh subur dan berbuah ketika tanaman ditanam
diketinggian minimal 700 m diatas permukaan laut, jika dibawah itu jenis kopi arabika
bisa tumbuh akan tetapi rawan mati dan rawan terkena penyakit karat daun (Hamelia
vastartik).

11
b.) Kopi Robusta

Kopi robusta (Coffea canephora Pierre) merupakan jenis kopi yang banyak
dibudidayakan dari kopi jenis arabika. Populasi kopi robusta yang dihasilkan pada
tahun 2020 di dunia sebesar 70 rb / 60 kg-bags (ICO, 2021). Di Indonesia sendiri kopi
jenis robusta merupakan jenis kopi yang mendominasi dengan jumlah lahan dengan
persebaran 81,27 % dari total lahan kopi (USDA, 2015). Kekurangan dari kopi robusta
yang kurang digemari oleh penimat kopi yaitu dari segi mutu citarasa kopi, karena
kopi robusta tergolong kopi dengan rendah mutu citarasa ketimbang kopi arabika.
Akan tetapi kopi robusta memiliki keunggulan tersendiri yang terdapat pada
penanganan tanaman yang mudah serta tidak perlu medapatkan perlakuan khusus,
seperti dapat ditanam diketinggian rata-rata 500 – 800 m diatas permukaan laut
(Prastowo, Bambang ; Karmawati, 2010).

c.) Kopi Liberika dan Kopi Excelsa

Kopi liberika (Coffea liberica W.Bull ex Heirn) merupakan salah satu jenis
kopi yang ada didunia. Kopi liberika sendiri merupakan kopi yang memiliki morfologi
mirip dengan robusta. Di Indonesia sendiri kopi liberika cukup tersedia di alam liar
maupun dibudidayakan, Riau dan Jambi merupakan salah dua dari wilayah Indonesia
yang membudidayakan kopi jenis liberika yang ditangani oleh BPTP Jambi sehigga
kopi jenis liberika dapat berkembang pesat (Meilin et al., 2019).

Kopi Excelsa (Coffea liberica Var.dewevrei) merupakan salah satu jenis kopi
yang untuk saat ini dibudidayakan khususnya di Indonesia. Kopi excelsa sendiri
merupakan tanaman kopi yang secara morfologi tanaman mirip dengan kopi liberika.
secara taksonomi tergolong dalam sub-seksi Pachycoffea yang merupakan kelompok
yang sama dengan kopi liberika dan tergolong Liberoid serta berbeda dengan kopi
arabika (Arabikoid) dan robusta (Robustoid) (Setiyono, 2015).

2.3 Pengolahan Pascapanen Kopi

2.3.1 Pemanenan Kopi

Pemanenan merupakan tahap yang penting pada pasca panen kopi, dimana panen
dapat berpengaruh terhadap kualitas kopi yang nantinya akan dihasilkan oleh kopi.
Pemilihan ceri kopi yang matang cenderung menghasilkan mutu kopi dengan kualitas lebih
baik dari pada buah yang dipanen belum matang atau terlalu matang karena dapat
menghasilkan mutu kopi berkualitas rendah (Farah and Dos Santos, 2015).

12
Pemanenan buah kopi pada umumnya di lakukan dengan cara memetik buah yang
telah masak pada tanaman kopi yang berumur 2,5 – 3 tahun. Buah matang akan ditandai
dengan warna merah pada kulit buah. Dengan perubahan warna semula berwarna hijau
tua yang merupakan buah muda, kemudian berwarna kuning kemerahan adalah buah
setengah matang, dan berwarna merah adalah buah yang masak (matang). Jika buah kopi
tidak segera dipanen akan berwarna kehitam-hitaman yang merupakan tanda bahwa kopi
masuk fase masak terlapaui (over ripe) (Prastowo, Bambang ; Karmawati, 2010).

a.) Selective Manual Harvesting (Pemanenan Manual Selektif)


Panen manual selektif merupakan metode dalam memetik kopi yang matang.
Pemanenan secara manual selektif ini merupakan metode lama yang hingga saat ini
masih dipraktikkan di berbagai negara yang terletak di wilayah khatulistiwa.
Pemanenan manual selektif ini dilakukan dengan cara meletakkan hasil panen dalam
keranjang yang diikatkan di pinggang pemetik kopi. Panen manual selektif
merupakan metode yang direkomendasikan untuk produksi specialty coffee. Namun
dikarenakan proses dilakukan secara manual, panen ini memiliki tingkat efisiensi
yang rendah serta memakan biaya yang cukup tinggi untuk membayar tenaga
pemetik kopi (Ching Lik Hii, 2019).

b.) Mechanical Harvest (Pemanenan Mekanis)


Panen secara manual membutuhkan biaya produksi yang cukup tinggi untuk
membayar tenaga kerja yang dibutuhkan ketika proses produksi kopi berlangsung.
Panen secara mekanisme dapat mengurangi biaya produksi namun hanya dapat
dilakukan pada lahan yang memiliki tingkat kemiringan kurang dari 20% yang
menjadikan panen secara mekanik tidak dapat dilakukan di beberapa daerah
penghasil kopi. Penggunaan mesin untuk pemanenan kopi ini memiliki beberapa
keunggulan dari pemanenan secara manual seperti biaya produksi untuk membayar
tenaga kerja berkurang karena penggunaan mesin, namun pembelian dan perawatan
mesin dibutuhkan biaya yang cukup tinggi, selain itu tidak semua wilayah kopi dapat
menggunakan mesin untuk memanen kopi (Ching Lik Hii, 2019). Menurut Santinato
et al., (2016) penggunaan mesin dapat mengurangi ketenaga kerjaan serta pada
produksi, hasil kopi memiliki peningkatan. Kekurangan dari penggunaan mesin
terdapat kerusakan dibeberapa pohon karena alat pemisah ceri kopi dari ranting
pohon yang menimbulkan kerusakan bahkan patah pada cabang primer dan
sekunder pohon kopi. Selain itu tata letak kebun kopi merupakan perhatian selain
pemanenan karena terdapat beberapa standar peletakan pohon kopi agar mesin
panen ceri kopi dapat bekerja.

13
2.3.2 Pegolahan Kopi

Setelah pemanenan kopi tidak bisa langsung dikonsumsi, perlu melalui tahapan
pengolahan kopi yang tujuan untuk mendapatkan kopi kering berupa biji kopi atau yang
biasa disebut greenbeans. Produk hasil pertanian atau perkebunan yang dipanen masih
melakukan aktivitas metabolisme yang dapat menyebabkan kerusakan secara fisik dan
kimia jika tidak segera ditangani dengan segera. Sifat mudah rusak (perishable) dari produk
pertanian atau perkebunan mengakibatkan tingginya susut pascapanen serta terbatasnya
masa simpan setelah pemanenan, sehingga serangan hama dan penyakit akan
menurunkan mutu produk jika tidak segera di olah (Yokowati, Yunna E.A; Wachjar, 2019).

Buah kopi sendiri memiliki sifat perishable sehingga perlu menjalani pengolahan
secara primer dimana pengolahan secara primer ini mengkoversi bahan mentah menjadi
komoditas pangan, dengan contoh lain seperti gandum menjadi tepung. Kemudian
dilanjutkan proses skunder yaitu produk utama atau hasil dari proses primer diubah menjadi
produk lain seperti tepung menjadi roti. Dengan kasus tersebut buah kopi akan diolah
secara primer dari buah matang menjadi biji kering dan kemudian dilanjut proses sekunder
dari biji kering di roasting menjadi roasted beans yang kemudian di seduh dan di konsumsi
sebagai minuman kopi (Farah and Dos Santos, 2015).

Pada proses pengolahan kopi metode yang paling umum untuk tujuan pengolahan
ada 2 metode yaitu basah dan kering. Dimana kedua metode ini diaplikasikan di berbagai
negara didunia yang memproduksi dan menghasilkan kopi seperti Brazil, Vietnam,
Colombia, dan Indonesia.

a.) Metode Kering (Dry Processing)

Secara sejarah metode kering merupakan metode pertama kali yang pernah
dipergunakan untuk proses pengolahan kopi dimana buah kopi setelah pemanenan
akan langsung dikeringkan dibawah sinar matahari secara langsung dilahan terbuka
dengan waktu pengeringan memakan waktu +2 minggu yang bergantung pada
kondisi wilayah proses pengolahan karena tiap negara memiliki perbedaan iklim.
Pengeringan dilakukan hingga kadar air 10-12% yang bertujuan untuk menghindari
tumbuhnya jamur serta munculnya bakteri (Farah and Dos Santos, 2015).

b.) Metode Basah (Wet Processing)

Metode basah merupakan metode dimana pada proses bertujuan untuk


menghilangkan mucilage atau lendir pada kopi. Pada proses basah perbedaan
dengan metode kering pada tahap pengeringan dimana buah kopi yang akan
dikeringkan tanpa kulit. Sedangkan metode kering proses pengeringan berlangsung

14
bersama kulit buah. Tujuan penghilangan mucilage pada metode kering ini untuk
menghasilkan kualitas minuman kopi lebih baik dan lebih lembut serta memiliki body
ringan dengan keasaman lebih tinggi (Pereira et al., 2020). Secara proses dalam
pengolahan basah, pemanena dilakukan untuk buah matang, penghilangan kulit dan
lendir (Mucilage), kontrol terhadap fermentasi dan pengeringan. Umumnya kopi yang
diproses dengan metode basah menghasilkan klasifikasi “Specialty Coffee”.
Berkembangnya industri kopi pengolahan basah dapat dilakukan dengan cara yang
berbeda-beda seperti :

c.) Semi-Washed

Pada metode pengolahan Semi-Wash merupakan perpaduan dan modifikasi dari


proses pengolahan kering dan basah yang dimana processor atau petani
menginginkan hal yang berbeda pada kopi yang diproduksinya, sehingga dengan
majunya perkembangan zaman proses pengolahan kopi menjadi lebih banyak
(Prastowo, Bambang ; Karmawati, 2010). Metode Semi-Wash merupakan
pengolahan kopi dengan menghilangkan kulit luar (exocarp) menggunakan mesin
pulper yang dialiri air sehingga biji kopi yang di giling akan menjadi lebih basah
kemudian di tampung di wadah. Setelah proses penggilingan, biji kopi akan dicuci
menggunakan air bersih dan mengalir dengan tujuan untuk sedikit menghilangkan
lendir (mucilage) serta menghilangkan lapisan daging (mesocarp), biji kopi kemudian
di jemur dalam keadaan masih terselimuti sebagian lendir dan kulit tanduk (endocarp)
(Huch and Franz, 2014).

d.) Wet-Hulled

Metode pengolahan Wet-Hulled merupakan pengembangan dari pengolahan secara


Semi-Washed, dimana pengolahan ini menghilangkan kulit dan bagian lendir dengan
mekanis menggunakan mesin pulper, setelah itu di lakukan pengeringan hingga
menjadi biji kering. Wet-Hulled ini digunakan di negara Indonesia dengan istilah
bahasa Indonesia “Giling Basah”.

e.) Fully-Washed

Metode pengolahan Fully-Washed merupakan pengolahan secara basah, dimana


kulit dihilangkan secara mekanis menggunakan mesin dan lendir (mucilage)
dihilangkan melalui fermentasi biologis. Penghilangan lendir ini menggunakan air
untuk merendam ceri kopi yang sudah di pisahkan kulit luarnya. Perendaman ini
dilakukan selama 12 sampai 36 jam (Ching Lik Hii, 2019). Setelah proses
perendaman dilakukan proses pencucian pada kopi secara manual atau

15
menggunakan mesin, dimana proses pencucian ini untuk menghilangkan lendir
sepenuhnya.

f.) Pulped-Natural

Metode pengolahan Pulped-Natural merupakan istilah proses pengolahan dari


metode Honey Process. Dimana proses pengolahan ini seperti metode Semi-Wash
yang dimana kulit luar dihilangkan menggunakan mesin pulper tanpa adanya
pencucian, sehingga kopi yang telah digiling dilakukan penjemuran bersama lendir
(mucilage), sehingga ketika proses penjemuran berlangsung lendir menempel dan
lengket, keadan tersebut dianggap proses pengolahan seperti madu (Honey).
Pengolahan ini digunakan di Brazil dari tahun 1990 dan kemudian diikuti oleh
Colombia, Costa Rica, dan negara lain yang berada di Amerika bagian tengah.
Menurut Ching Lik Hii (2019) kandungan kadar air dan gula yang tinggi dapat
menyebabkan fermentasi yang tidak diinginkan terjadi sehingga pada tahap
pengeringan kopi dilakukan kontrol pengeringan. Kontrol pengeringan yang dilakukan
seperti membolak balikkan posisi kopi sehingga kering secara merata. Pada tahap
pengeringan warna lendir pada kopi terdehidrasi menjadi warna kuning yang disebut
“Yellow-Honey”. Pada metode ini terdapat beberapa indikasi kopi itu kering yang
dilihat dari warna lendir yang mengering dimana indikasi warna lendir tersebut
“Yellow-Honey”, “Red-Honey”,”Black-Honey”.

g.) Animal Processing

Metode Animal Processing atau Bioprocessed Coffee merupakan metode


pengolahan kopi yang dihasilkan dari proses pencernaan hewan. Ceri kopi matang
akan dimakan oleh hewan dan di proses dalam pencernaan hewan dan keluar
bersama feses. Pada feses hewan tersebut terdapat biji kopi yang tidak bisa tercerna
oleh pencernaan hewan sehingga dikeluarkan. Biji kopi yang dikeluarkan bersama
feses hewan tersebut dilakukan pengambilan secara manual kemudian dilakukan
pencucian,dan dikeringkan. Saat ini Bioprocessed Coffee dihasilkan dari hewan
luwak yang berasal dari Indonesia yang dikenal dengan “Kopi Luwak”. Selain dari
hewan luwak, “Coffee Jacu” merupakan kopi dari hasil feses burung yang berasal dari
Brazil. “Kopi Gajah” merupakan olahan kopi yang dihasilkan dari feses gajah yang
berasal dari Thailand, serta “Kopi Monyet Rhesus” yang berasal dari feses monyet
yang berasal dari India (Ching Lik Hii, 2019).

16
2.3.3 Pengeringan

Pengolahan pascapanen yang buruk berdampak terhadap penurunan kualitas kopi.


Penanganan pascapanen yang buruk dapat terjadi pada metode pemilihan pascapanen
kopi dan tahap pengeringan. Pada tahap pengeringan kopi dapat menumbuhkan jamur dan
bakteri yang menyebabkan penurunan kualitas, dimana pengeringan dilakukan dengan
menumpuk tanpa adanya pemerataan pada kopi yang dikeringkan. Proses tersebut
dilakukan pada produser kopi tradisional, tahap pengeringan ini terjadi tanpa adanya kontrol
terhadap penjemuran sehingga menumbuhkan jamur dan bakteri dan tidak kering secara
merata. Pengeringan kopi yang kurang diperhatikan akan menumbuhkan okratoksin A
(OTA), okratoksin merupakan jenis jamur toksikogenik yang dapat berkembang pada kopi
yang masih berbentuk ceri matang, selama proses fermentasi, penyimpanan,pengemasan
dan pemanggangan (roasting) (Poltronieri and Rossi, 2016). Tahapan pengeringan
merupakan tahapan dalam pengolahan pascapanen kopi yang sulit dilakukan karena faktor
seperti kadar air pada kopi yang tinggi serta kandungan gula pada lendir (mucilage) kopi
yang dapat mempercepat kerusakan ketika dipanen. Pada tahap pengeringan terdapat dua
metode pengeringan Natural-drying dan Artificial-drying.

a.) Natural-drying

Pengeringan secara alami merupakan metode dalam pengeringan proses


pascapanen kopi, dimana kopi yang di petik kemudian di proses akan dikeringkan
guna menghilangkan kadar air atau mencapai kadar air yang diinginkan. Pengeringan
secara alami ini memanfaatkan cahaya matahari secara langsung, namun jika kondisi
tidak cerah atau hujan maka untuk penjemuran secara alami akan ditunda atau
diteduhkan. Untuk ceri kopi utuh yang akan dikeringkan memakan waktu yang cukup
lama sekitar +1 bulan (Ching Lik Hii, 2019).

b.) Artificial-drying

Berkembangnya ide dan inovasi dalam pengolahan kopi termasuk dalam tahap
pengeringan yang ditandai dengan penggunaan proses secara alami atau mekanis/
mesin. Pengeringan buatan merupakan inovasi dalam perkembangan proses
pengolahan kopi, terdapat beberapa jenis berdasarkan pemanfaatan aliran udara.
Pengeringan dengan aliran udara alami dengan teras pengering, pengeringan
dengan aliran udara secara paksa/mesin, pengeringan menggunakan suhu rendah
dan pengeringan menggunakan suhu tinggi serta pengeringan system gabungan
(Ching Lik Hii, 2019).

17
Pengeringan menggunakan panas matahari merupakan keputusan dari petani atau
produsen pengolahan kopi dimana merupakan metode pengeringan dengan biaya
murah namun bergantung pada cuaca, selain menggunakan panas matahari
produsen kopi akan menginovasi cara pengeringan dimana dapat membantu
mempersingkat waktu pengeringan. Pengeringan dapat menurunkan kualitas kopi
dengan mudah karena pengeringan yang terlalu lambat, terlalu cepat bahkan tidak
sesuai, serta bergantung pada metode pengolahan yang digunakan serta metode
pengeringan ceri kopi yang digunakan secara buah utuh, buah yang dihancurkan,
parchment (biji kopi yang tertutup bagian kulit dalam), atau biji telanjang yang akan
dikeringkan (FAO, 2006).

Beberapa inovasi dalam tahap pengeringan diterapkan oleh beberapa pengelolah


kopi seperti pengeringan mekanis, namun penggunaan pengeringan mekanis hanya
digunakan dalam sekala besar. Penggunaan pengering mekanis hanya dapat
digunakan untuk produsen yang memiliki modal lebih untuk pengelolahannya,
sebaliknya untuk pengelolah kecil masih memanfaatkan panas matahari secara
alami, namun kendalanya pada kualitas kopi yang dikeringkan seperti tempat
pengeringan yang beralaskan semen atau terpal (kain mota) dapat menurunkan
kualitas dan dapat terkontaminasi dikarenakan wilayah yang digunakan untuk
pengeringan merupakan lahan lalu lalang (bukan tempat khusus pengeringan).

Permasalahan tersebut menyebabkan berkembangnya teknologi terhadap


pengolahan kopi pada tahap pengeringan sehingga menciptakan meja pengering
yang khusus dibuat untuk skala kecil tanpa memakan tempat yang luas. Meja
pengering tersebut terbuat dari bambu atau kayu dan dilapisi oleh jaring atau tikar.
Penggunaan meja pengering tersebut berimbas pada kualitas kopi dan penanganan
lebih higienis serta membantu mempercepat pengeringan kopi. penggunaan meja
pengering sudah di praktek kan di negara penghasil kopi seperti Brazil, Kenya, dan
Pantai Gading (FAO, 2006). Di Indonesia sendiri pengaplikasian teknologi terhadap
tahap pengeringan kopi terdapat beberapa metode seperti Plastic Tarpaulin, Patio
Drying, Paved Patios, Raised Bed Patio, dan Greenhouse (Ching Lik Hii, 2019).

1.) Patio Drying

Penggunaan Patio Drying pada tahap pengeringan merupakan pengeringan


menggunakan teras namun butuh area yang luas dengan tenaga manual dan waktu
pengeringan lebih lama. Namun penggunaan Patio Drying ini dapat menyebabkan
rentan risiko kontaminasi yang tinggi karena kopi terpapar variasi iklim yang berbeda
di tiap daerah selama masa periode panen. Pada saat pengeringan berlangsung ceri

18
kopi yang dikeringkan akan terkena sinar matahari panas secara langsung namun
membutuhkan waktu pengeringan yang cukup lama, sehingga kopi terpapat oleh
risiko kontaminasi yang tinggi yang bergantung pada daerah pengolahan kopi (Ching
Lik Hii, 2019).

2.) Plastic Tarpaulin

Plastic Tarpaulin merupakan pengaplikasian dari Patio Drying dimana perbedaan


hanya pada pemakaian terpal plastik. Penggunaan terpal plastik ini
dipergunaakan untuk melindungi kopi dari kontaminasi tempat pengeringan
serta mempermudah pengumpulan kopi ketika hujan akan turun. Namun
penggunaan Plastic Tarpaulin ini tidak memberikan dampak yang signifikan
pada kualitas hasil akhir kopi, dimana kondisi pengeringan berjalan baik tidak
memberikan rasa kopi yang baik juga karena masih dapat terkontaminasi
okratoksin A (OTA) yang diakibatkan dari air pada bawah lapisan kopi karena
penguapan dari atas lapisan kopi yang panas dan mengembun ketika
penutupan di malam hari (Ching Lik Hii, 2019; FAO, 2006).

3.) Paved Patios

Penggunaan Paved Patios merupakan aplikasi dalah tahap pengeringan yang dalam
taha tersebut kopi di letakkan pada teras berbahan beton yang dibentuk seperti
paving. Penggunaan Paved Patios ini dapat membantu mempercepat pengeringan
dan menghasilkan kopi lebih baik di banding dengan kopi yang dikeringkan di teras
tanah yang dipadatkan (Ching Lik Hii, 2019). Berbahan dasar beton mengakibatkan
kopi yang di proses dengan cara memfermentasi terlebih dahulu menyebabkan kopi
tersebut menurun pada hasil akhirnya, selain hal tersebut biaya penggunaan paving
beton ini mahal serta tidak cocok untuk wilayah pengolahan yang memiliki kondisi
tanah yang mudah gerak atau ber-terasiring.

4.) Raised Bed Patios

Penggunaan Raised Bed Patios merupakan pengaplikasian dari tahap pengeringan.


Penggunaan pengering ini biasa disebut “African Bed Drying” yang terbuat dari kayu
atau bambu yang di bentuk seperti tempat tidur dengan ketinggian 1 m dengan
panjang yang menyesuaikan kebutuhan serta penggunaan jaring atau anyaman
sebagai tempat menampung serta tahapan pengeringan di lakukan. Kualitas yang
dihasilkan dari penggunaan Raised Bed Patios ini lebih baik dengan metode
pengolahan secara kering. Namun penggunaan ini memakan waktu pengeringan

19
cukup lama serta di haruskan menggunakan cover plastik penutup untuk menutupi
ketika hujan turun serta dimalam hari. Penggunaan Raised Bed Patios ini dapat
menjadi alternatif dari berbagai jenis penggunaan metode dalam tahap pengeringan
(Ching Lik Hii, 2019).

5.) Greenhouse

Penggunaan Greenhouse merupakan alternatif pada metode tahap pengeringan


dimana penggunaaan ini dapat menampung kopi cukup banyak dan tidak terlalu
memperhatikan kondisi luar seperti hujan karena Greenhouse di bentuk menyerupai
rumah yang terbuat dari bambu atau besi ringan (plat) dan di lapisi dengan cover
plastik yang mengitari Greenhouse. Namun penggunaan Greenhouse cukup tinggi
dalam biaya pembuatan serta pembuatan harus diperhatikan kekuatan dari bambu
atau besi serta cover plastik agar tidak jatuh atau rusak ketika terkena angin atau
hujan(Ching Lik Hii, 2019; FAO, 2006)

Kopi dengan kualitas specialty merupakan pencapaian tertinggi bagi pengelolah


kopi dengan hasil kopi dari pengelolahan pascapanen yang dilakukan. Kopi dengan grade
“Specialty Coffee” merupakan salah satu seni dalam indsutri kopi, dimana kopi yang di
rawat dengan baik, dipanen dan diolah dengan baik, kemudian dipanggang dan diseduh
dengan benar sehingga konsumen kopi merasa lebih menyukai kopi dikarenakan rasa yang
muncul dari kopi yang di kelola dengan baik.

Permasalahan panen dan proses pengolahan yang dihadapi oleh petani kopi
berbeda beda sehingga proses pengolahan kopi mengikuti kebiasaan secara turun
temurun, kondisi lingkungan, serta biaya yang diperlukan. Salah satu tahapan yang
berpengaruh menentukan mutu kopi melalui proses pascapanen yaitu fermentasi.

2.4 Fermentasi Kopi Arabika

Proses fermentasi merupakan proses yang akan terjadi pada proses pengolahan
kopi setelah dipanen (fermentasi alami), dimana proses fermentasi ini merupakan tahap
ceri kopi merah (matang) menjadi biji kopi kering serta dalam proses fermentasi membentuk
rasa pada kopi ketika nantinya akan diseduh dan dikonsumsi. Fermentasi terjadi pada
pengolahan kopi dimana mikroba alami seperti yeast dan bakteri yang ada pada ceri kopi
akan mengkonsumsi dan memetabolis komponen seperti gula dan asam pada ceri kopi
sehingga menjadi komponen asam dan alkohol, secara tidak langsung proses fermentasi
alami akan terjadi pada proses pengolahan kopi yang menjadikan kopi itu memiliki berbagai
rasa (Schwan et al., 2012).

20
Proses fermentasi sendiri bertujuan untuk melepaskan lendir yang melekat pada
kulit tanduk kopi dengan peruraian senyawa-senyawa yang terkandung di dalam lapisan
lendir (mucilage) oleh mikroba alami dan dibantu dengan oksigen dari udara (Firdaus,
2018). Pada proses fermentasi secara alami memiliki dampak pada aroma yang sering
diabaikan karena tahap fermentasi pada kopi memiliki peran utama yaitu memfasilitasi
penghilangan lapisan lendir (mucilage) untuk pembetukan aroma pada kopi. Kandungan
mucilage pada kopi yang dipecah terdiri dari 84,2% air, 8,9% protein, 4,1% gula, 0,91% zat
pektik, serta 0,7% abu (Belitz,H.D, Grosch.W, 2009). Menurut Paiva, (2020) mucilage atau
lendir kopi sendiri mengandung 33% protopectin, 30% gula pereduksi (Glukose dan
Fruktose), 20% gula non-pereduksi (Sukrose), 17% Cellulose serta abu (Ash). Analisis lebih
lanjut mengenai komposisi polysakarida pada kopi didapat komponen yang tidak terlarut
dalam alkohol yang terdiri dari 30% pektin, 8% selulosa, dan 18% non-selulosa. Dengan
analisis tersebut dapat diketahui kandungan lendir pada ceri kopi, analisis tersebut
merupakan acuan terhadap kandungan dalam lendir ceri kopi dikarenakan setiap daerah
penghasil kopi memiliki perbedaan kandungan lendir bergantung pada kondisi lingkungan
dan varietas kopi itu sendiri (Avallone et al., 2006). Ceri kopi mengandung berbagai jenis
senyawa gula dengan kadar bergantung pada tingkat kematangan ceri kopi. Senyawa gula
dalam daging buah berkolerasi positif dengan jenis dan jumlah senyawa pembentuk
citarasa dalam biji kopi, ceri kopi dengan kondisi merah memiliki komposisi kimia senyawa
pembentuk citarasa yang lengkap dan maksimal.

Pemanfaatan fermentasi dibutuhkan dikarenakan dapat menimbulkan mutu biji


dengan citarasa bervariasi, unik dan konsisten. Namun fermentasi alami merupakan
tahapan proses yang susah terprediksi dan cenderung menuju ke arah yang kurang baik
dikarenakan populasi mikroba khususnya kapang berkembang lebih dominan yang dapat
menyebabkan off-flavor pada biji kopi serta dapat menimbulkan potensi memproduksi
metabolit yang bersifat toksik dan karsinogenik (Lee et al., 2015). Faktor penentu
fermentasi berjalan dengan baik dipengaruhi dari kualitas ceri kopi yang dipetik, jenis
mikroba yang tumbuh, ketersediaan oksigen, air, suhu, waktu fermentasi, dan pH substrat.
Jika ketersediaan oksigen dan air yang cukup fermentasi berjalan akan didominasi oleh
mikroba jenis yeast dan bakteri asam laktat (BAL). Jenis mikroba yeast beragam yang
secara spesifik dapat memberikan sensasi rasa buah yang lebih bervariasi, seperti rasa
apricot, markisa, plum, apel, dan sitrus. Mikroba yeast akan berkembang biak lebih cepat
pada subsrat ceri kopi jika kondisi matang dikarena kandungan senyawa gula maksimal
serta kondisi minim oksigen yang membantu mempercepat berkembang biaknya mikroba
yeast. Pada proses pascapanen kopi secara fermentasi dapat dilakukan dengan
mengontrol proses fermentasi (Lee et al., 2015).

21
Kontrol terhadap fermentasi dapat memberikan atribut yang diinginkan serta dapat
mencegah yang tidak diinginkan ketika proses fermentasi berlangsung yaitu off-flavours.
Atribut yang diinginkan tersebut dapat dihasilkan jika faktor seperti tingkat kelembaban tidak
terlalu tinggi dan suhu diperhatikan. Apabila tidak diperhatikan dapat menyebabkan
beberapa kerusakan seperti cacat rasa yang terlalu lama pada proses fermentasi,
bertumbuhnya spesies mikroba yang tidak diinginkan dan memproduksi asam asetat terlalu
banyak sehingga menyebabkan rasa terlalu asam (Poltronieri and Rossi, 2016).

Kontrol terhadap fermentasi merupakan salah satu terapan dari tahapan proses
pascapanen kopi dimana mengaplikasikan proses fermentasi alami dengan memanfaatkan
mikroba alami atau MOL (mikro organisme lokal) dengan tujuan seperti proses fermentasi
alami dengan kondisi yang diinginkan. Kondisi yang diinginkan ini, kondisi dimana proses
fermentasi tidak menumbuhkan mikroba alami selain mikroba baik yang diinginkan untuk
pembentukan aroma. Pembentukan aroma akan terjadi bila proses pertumbuhan mikroba
yang dikontrol mengkonsumsi polisakarida sehingga membentuk senyawa volatile aromatic
seperti fenolat, aldehida, serta keton. Kopi gajah dan kopi luwak merupakan salah satu
pengaplikasian pengontrolan fermentasi dimana hanya mikroba dalam feses hewan
tersebut yang dibutuhkan sehingga membentuk citarasa yang berbeda (Poltronieri and
Rossi, 2016). Dengan berkembangnya proses pengolahan serta penelitian didalamnya
kontrol terhadap fermentasi memiliki berbagai kontrol terhadap jenis mikroba yang
dikembangkan, dengan contoh proses fermentasi wine dimana proses tersebut diambil dari
proses pembuatan minuman anggur yang di fermentasi +30 hari, namun proses fermentasi
secara wine membutuhkan waktu yang cukup lama dan memerlukan kontrol yang cukup
tinggi agar berhasil. Selain proses wine pengolahan kopi dengan pengaplikasian kontrol
fermentasi yaitu aerob dan anaerob.

Kontrol fermentasi secara aerob dan anaerob merupakan fermentasi yang


sederhana, dimana fermentasi hanya dibedakan dari pemanfaatan kadar oksigen, aerob
memerlukan kadar oksigen cukup, untuk anaerob tidak memerlukan kadar oksigen. Secara
proses kimiawi fermentasi aerob dan anaerob memecah molekul kompleks menjadi molekul
sederhana dan memproduksi senyawa volatile, liquid, dan gas.

Mikroba yang ditumbuhkan pada kontrol fermentasi aerob cenderung berjenis


bakteri seperti Klebsiella, Enterobacter aerogenes, lactic acid bacteria. Kontrol fermentasi
anaerob menumbuhkan lebih banyak mikroba jenis yeast dan beberapa jenis bakteri seperti
BAL. Kontrol fermentasi aerob dan anaerob memiliki keunggulan masing-masing, kondisi
kontrol fermentasi anaerob yang merupakan proses kontrol fermentasi yang mudah
diterapkan untuk proses pengolahan kopi di petani. Faktor fermentasi tertutup merupakan

22
salah satu faktor keberhasilan dalam proses fermentasi karena dapat mengkontrol tahapan
fermentasi dan menumbuhkan mikroba yang diinginkan. Untuk fermentasi aerob cukup sulit
mengendalikan pertumbuhan mikroba yang diinginkan karena kontaminan dapat
mencemarkan ketika proses fermentasi berjalan, kontaminan terjadi pada proses
fermentasi dikarenakan tidak tertutupnya wadah tempat fermentasi sehingga cemaran dari
lingkungan sekitar wadah fermentasi dapat mempengaruhi proses fermentasi aerob
(Velmourougane, 2013).

2.5 Dampak Fermentasi Terhadap Kualitas Mutu Sensori Kopi

Kegiatan pengolahan pascapanen kopi merupakan kegiatan yang cukup penting


untuk menentukan kualitas hasil akhir kopi, namun masih banyak petani yang tidak
melakukan pengolahan pascapanen kopi. menurut Nabillah (2021) dalam penelitiannya
yang berjudul “Analisis Nilai Tambah Kopi Arabika Semi Wash, Full Wash, Natural Process,
dan Honey Process Di Desa Aek Sabaon, Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli
Selatan” menyebutkan bahwa pengolahan hasil pertanian merupakan komponen yang
penting dalam kegiatan agribisnis setelah produksi pertanian. Pengolahan hasil pertanian
menjadi komponen penting dikarenakan pertimbangan diantaranya.

a.) Meningkatkan Nilai Tambah

Pengolahan pascapanen kopi yang tepat dapat meningkatkan nilai tambah dari kopi yang
diproses, meningkatnya nilai tambah dapat membantu untuk mampu bersaing di pasar
domestic atau pasar luar negeri. Nilai tambah (value added) sendiri merupakan pengertian
dari perubahan nilai dari suatu komoditas sehingga menjadi bertambah yang disebabkan
dari beberapa proses seperti proses pengolahan, pengangkutan, atau penyimpanan dalam
suatu proses produksi (Indrianthi, 2018).

b.) Meningkatkan Kualitas Hasil

Berjalannya dengan upaya untuk meningkatkan nilai tambah, kopi yang diolah dengan baik
dan tepat akan memiliki nilai produk yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum diolah
serta keinginan dari konsumen menjadi terpenuhi karena salah satu tujuan dari hasil
pertanian yaitu meningkatnya kualitas. Kualitas yang kurang baik atau memiliki perbedaan
menyebabkan adanya perbedaan dari segmentasi pasar dan yang utama yaitu
mempengaruhi harga kopi itu sendiri. Sehingga jika kurang diminati oleh konsumen akan
menyebabkan kerugian yang di alami oleh produsen atau petani itu sendiri (Indrianthi,
2018).

23
Selain mengupayakan memperbaiki kualitas mutu kopi melalui proses pascapanen
kopi dengan baik dan tepat, penambahan proses ketika kegiatan pengolahan pascapanen
dengan cara pengkontrolan tahapan fermentasi pada pengolahan pascapanen kopi.
Menurut penelitian dari Itsar (2021) yang berjudul “Pengaruh Tingkat Pencahayaan dan
Lama Waktu Fermentasi Anaerob Terhadap Karakteristik Mutu Rasa Kopi Arabika (Coffea
arabica L.) Cibeber Mekarwangi, Jawa Barat” menyebutkan bahwa fermentasi merupakan
proses pemecahan substrat dengan susunan besar menjadi senyawa yang lebih
sederhana, serta didukung dengan kondisi lingkungan yang tepat serta nutrisi yang
tercukupi akan menyebabkan terdukungnya pertumbuhan mikrooganisme, Sehingga
pertumbuhan mikroba terkendali dan mengisolasi strain mikroba yang berperan dalam
proses biokimia menyebabkan perlindungan pada pembusukan, penyakit bawaan
makanan, serta memperbaiki kualitas suatu produk makanan.

Fermentasi pada pengolahan pascapanen kopi dapat berdampak kearah positif


terhadap aroma dan rasa kopi, dampak dari fermentasi dapat dirasa melalui panca indra
manusia. Selama fermentasi berlangsung kopi akan menghasilkan metabolit beragam yang
berasal akibat aktivitas mikroba seiring lama waktu fermentasi yang dipakai sehingga dapat
mempengaruhi konsentrasi gula bebas (seperti glukosa dan fruktosa) serta asam amino
bebas sehingga dapat menempel pada sekeliling biji kopi dan berkontribusi dalam produksi
senyawa maillard serta senyawa volatile pada proses pemanggangan (roasting)
berlangsung (Haile and Kang, 2019).

Sehingga proses pengolahan pascapanen yang baik dan tepat, serta penambahan
proses pengontrolan terhadap fermentasi kopi arabika dapat diterapkan, namun dari
beberapa literatur sedikit yang membahas tentang perbaikan mutu dari proses pascapanen
dengan membandingkan proses pascapanen tradisional yang dilakukan oleh petani.
Sehingga tidak dapat mengetahui kualitas mutu sensori kopi yang diolah oleh petani, selain
perbandingan mutu sensori yang dihasilkan dari pengolahan pascapanen kopi terdapat
faktor yang diperlukan pengkajian lebih lanjut mengenai faktor pengeringan pada
pengolahan kopi. Tahapan pengeringan pada pengolahan pascapanen kopi merupakan
proses yang penting dimana proses tersebut dapat mempengaruhi kualitas mutu kopi itu
sendiri (Ali Mohammed, 2014; Poltronieri and Rossi, 2016).

Penanganan yang tepat pada tahap pengeringan dapat mencegah pertumbuhan


okratoksin A (OTA) yang merupakan jenis jamur toksikogenik yang dapat berkembang
ketika tahap pengeringan yang menyebabkan penurunan kualitas mutu sensori kopi. Pada
tahap pengeringan penggunaan inovasi seperti Raised Bed Patio diperlukan untuk menjaga
dan menurunkan resiko pertumbuhan okratoksin A (OTA) dikarenakan menjaga sanitasi

24
pada tahap pengeringan. Penggunaan Raised Bed Patio Sederhana pada penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui perbandingan hasil mutu sensori kopi jika menggunakan
pengeringan Raised Bed Patio Sederhana dengan pengeringan tradisional yang
menggunakan alas semen.

2.6 Hipotesis

Hipotesis yang diduga dalam penelitian ini adalah pengaruh penerapan fermentasi
anerobic dengan wadah berbeda, kantong plastik dan drum plastik serta penggunaan
Raised Bed Patio Sederhana pada tahap pengeringan terhadap mutu sensori kopi arabika

H0 : Tidak terdapa pengaruh dalam penerapan fermentasi anaerobic serta penggunaan


Raised Bed Patio Sederhana pada tahap pengeringan terhadap mutu sensori kopi
arabika

H1 : Terdapa pengaruh dalam penerapan fermentasi anaerobic serta penggunaan Raised


Bed Patio Sederhana pada tahap pengeringan terhadap mutu kopi arabika

Ketentuan pengujian analisis yang digunakan, yaitu:

P-value > 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak

P-value < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima

25
BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di perkebunan kopi rakyat serta rumah petani yang terletak
di Desa Tamansari, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang Jawa Timur, serta Uji
mutu sensori kopi yang dilakukan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia
(PUSLITKOKA) di Jember Jawa Timur.

3.2 Alat Dan Bahan Penelitian

3.2.1 Alat Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian utama, bagian pertama proses pascapanen
kopi dan bagian kedua uji mutu sensori dengan metode cupping test pada kopi setelah
bagian pertama dilakukan. Pada bagian pertama terdapat 4 tahapan yaitu pemetikan,
perambangan, pengolahan, dan pengeringan. Berikut penggunaan alat pada bagian
pertama, yaitu:

a. Tahap Pemetikan
Alat yang digunakan yaitu keranjang sebagai wadah ceri kopi yang dipetik. Brix
Refractometer dengan accuracy 0.2% dengan range 0-32% alat Brix ini untuk pengukuran
kandar gula yang berada pada lendir ceri kopi.

b. Tahap Perambangan
Alat yang digunakan yaitu bak dengan total 2 bak dimana bak pertama untuk perambangan
dimana pemisahan ceri kopi dengan mutu bagus dan mutu kurang baik, kemudian bak
kedua digunakan untuk pembilasan ceri kopi dengan kualitas baik untuk menghilangkan
kotoran yang menempel.

c. Tahap Pengolahan
Alat yang digunakan pada pengolahan tahap fermentasi yaitu kantong plastik dan drum
plastik dengan volume + 120 liter dengan penutup dan pengunci serta air lock digunakan
untuk melihat indikator sirkulasi CO2 selama fermentasi anaerobic berlangsung.

d. Tahap Pengeringan
Alat yang digunakan yaitu Raised Bed Patio sederhana, pembuatan tersebut meliputi bahan
baku seperti kayu dan jaring yang kemudian dirakit dengan ukuran 2,5 x 1,5 m serta bambu

26
untuk penyangga. Digital Grain Moisture sebagai alat pendeteksi kadar air secara instant
dengan moisture accuracy +(1% RH+0.5). Mesin pemecah kulit luar kopi (Huller). Karung
plastik untuk penyimpanan untuk biji hijau.

Pada bagian kedua yaitu uji citarasa (cupping test) yang dilakukan di Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur dengan alat yang digunakan
meliputi mesin raosting, cupping bowl, cupping spoon, air mineral, kettle untuk air panas,
Grinder.

3.2.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ceri kopi yang dipetik merah
dengan jenis arabika yang berasal dari kebun kopi rakyat yang terletak di Desa Tamansari
dengan ketinggian kebun +1250 Mdpl. Pemetikan dilakukan pada musim panen tahun
2022, kemudian diproses pascapanen secara Semi-kering (tradisional) dan fermentasi
secara anaerobic untuk mendapatkan biji kering (Green Bean). Ceri kopi yang digunakan
secara keseluruhan berjumlah + 100 kg dan menjadi hasil biji kering +20 kg secara
keseluruhan.

3.3 Metode Penelitian

Pada penelitian ini, pemilihan metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok
Faktorial (RAK-F) yang melibatkan variable penelitian dengan 2 faktor perlakuan yaitu
metode proses pengolahan pascapanen kopi arabika dan proses pengeringan
menggunakan atau tanpa menggunakan Raised Bed Patio untuk tahap pengeringan dan
dilakukan 3 kali pengulangan. Terdapat 3 variasi metode pengolahan kopi arabika dan 2
variasi metode pengeringan dengan total 6 kombinasi perlakuan untuk mengetahui
penerapan metode fermentasi anaerobic dan penggunaan Raised Bed Patio sederhana
terhadap mutu sensori sebagai alternatif pengelolahan

Faktor I : Proses pengolahan pascapanen kopi arabika

A1 = Ceri Kopi Arabika, Metode Kering (Tradisional)

A2 = Ceri Kopi Arabika, Metode Fermentasi Anaerobic dengan Karung Plastik

A3 = Ceri Kopi Arabika, Metode Fermentasi Anaerobic dengan Drum Plastik

Faktor II : Proses pengeringan

B1 = Pengeringan Tanpa Raised Bed Patio

B2 = Pengeringan Menggunakan Raised Bed Patio

27
Faktor II
Faktor I
B1 B2
A1 A1B1 A1B2
A2 A2B1 A2B2
A3 A3B1 A3B2
Tabel 3.1. Rancangan Penelitian

3.4 Analisis Data

Pada penelitian ini dilakukan analisis dari panelis ahli, dimana panelis ahli berasal
dari Pusat Penelitian Kakao dan Kopi (PUSLITKOKA) yang berada di Jember, Jawa Timur.
Panelis ahli akan meminum kopi hasil dari penelitian dengan masing-masing variable dan
kemudian memberikan skor dari setiap variable pada form penilaian sesuai standar SCA
dan kemudian mendiskusikan hasil dan menyepakati atribut sensori yang terdapat pada
kopi Arabika dari Desa Tamansari Ampelgading, Jawa Timur. Setelah skor data dari
masing-masing variable terkumpul dilakukan tabulasi dengan menggunakan Minitab 18 dan
diolah secara statistic menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dengan selang
kepercayaan 95%. Hasil pengujian kemudian dilanjutikan dengan uji lanjut metode BNT
atai Fisher 5% dilakukan jika terdapat pengaruh nyata anatara faktor terhadap faktor respon
dan uji lanjut BNJ atau Tukey 5% jika terdapat interaksi anatarfaktor. Mutu sensori kopi
arabika dari penerapan variable ditentukan berdasarkan metode total skor cupping test.

3.5 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan 2 tahap yaitu proses pascapanen pada kopi serta
proses setelah pascapanen yaitu proses roasting untuk cupping test

3.5.1 Pengolahan Pascapanen Kopi


1. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan pada proses pengolahan kopi.

2. Pemanenan ceri kopi yang dilakukan di kebun rakyat dengan memetik kopi berwarna
merah yang merupakan tanda matang pada ceri kopi. Berat secara keseluruhan yang
dibutuhkan pada penelitian ini + 120 kg buah kopi.

3. Setelah ceri kopi dipanen dilakukan pencucian setelah dari kebun untuk membersihkan
kotoran yang ada di ceri kopi.

4. Setelah pencucian, tahap selanjutnya yaitu perambangan atau perendaman. Tujuan


perambangan ini untuk memisahkan ceri kopi yang telah dipetik dengan kualitas yang
kurang baik dengan yang baik kualitasnya, yang ditandai dengan terapungnya buah kopi

28
diatas permukaan air tempat perambangan dan dipisah secara manual menggunakan
tangan agar tidak tercampur dengan ceri kopi yang berkualitas baik.

5. Setelah proses perambangan selesai dilakukan proses pengolahan ceri kopi sesuai
variable metode yang ditentukan yaitu metode Fermentasi Anaerobic menggunakan drum
plastik dan kantong plastik serta metode Semi-kering (Tradisional). Lama waktu yang
digunakan untuk fermentasi secara anaerobic selama 48 jam yang menyesuaikan saran
dari penelitian sebelumnya serta beberapa literatur yang dipakai. Untuk metode semi-kering
dilakukan sesuai kebiasaan petani dalam mengolah kopi.

6. Setelah proses pengolahan ceri kopi sesuai variable metode dilakukan proses
pengeringan. Pengeringan/ penjemuran dilakukan dilakukan dibawah sinar matahari
langsung. Pada tahap penjemuran ini dilakukan variable selanjutnya penggunaan Raised
Bed Patio. Dimana setiap metode dilakukan proses penjemuran tanpa menggunakan
Raised Bed Patio (Tanpa alas) dan penggunaan Raised Bed Patio selama penjemuran
berlangsung. Pengeringan ceri kopi ini berlangsung +14 hari. Variable metode fermentasi
anaerobic dilakukan penjemuran setelah proses fermentasi berlangsung selama 48 jam.
Untuk variable metode Semi-kering dilakukan penjemuran terlebih dahulu selama 4 – 5 hari
kemudian dilakukan proses pulper (pemecahan kulit luar) kemudian dilakukan penjemuran
kembali.

7. Setelah proses penjemuran selesai, dilakukan proses pemecahan kulit luar atau hulling.
Proses hulling dilakukan untuk memisahkan parkemen pada ceri kopi menjadi biji kopi
kering atau green bean (biji hijau).

8. Setelah ceri kopi menjadi biji hijau dilakukan penyimpanan pada hermetic seal atau
plastik kedap udara untuk proses resting selama + 1 bulan.

3.5.2 Penyangraian Biji Kopi Kering (Green Beans)

1. Biji kopi kering hasil proses pengolahan yang sudah di resting dilakukan pensortiran dari
cacat pada kopi atau defect. Tujuan pensortiran biji cacat ini untuk meminimalisir kopi
setelah di masak (roasting) mengalami gangguan aroma dan sensori. Pensortiran ini
dilakukan sesuai standar SCA serta SNI sehingga mentaati prosedur mutu yang ada.

2. Setelah proses pesortiran biji kopi, dilakukan tahap pemasakan menggunakan mesin
roasting. Persiapan pemasakan dilakukan pemanasan pada mesin roasting selama + 30
menit.

29
3. Setelah mesin roasting siap digunakan, dilakukan proses pemasakan dengan indikator
matang atau level roast pada biji kopi medium.

4. Dilakukan resting pada kopi matang.

5. Kopi matang siap dilakukan tahapan selanjutnya.

3.5.3 Persiapan untuk Uji Citarasa Kopi

1. Biji kopi matang ditimbang sebanyak 8,5 g menggunakan scale (timbangan digital).

2. Biji kopi digiling menggunakan electrical grinder dengan ukuran gilingan kasar.

3. Biji kopi yang sudah digiling di letakkan pada cup bowl atau wadah cupping dan dilakukan
analisa aroma atau dry fragrance.

4. Setelah dilakukan analisa aroma, kopi diseduh menggunakan air yang sudah disiapkan
dan dipanaskan hingga suhu 93oC, kemudian diseduh pada cup bowl sebanyak 150 ml dan
ditunggu selama 4 menit.

5. Dilakukan analisa aroma basah atau wet aroma.

6. Setelah 4 menit, dilakukan pemisahan ampas kopi yang mengapung di permukaan cup
bowl menggunakan sendok.

7. Dilakukan cupping test.

3.5.4 Metode Analisis Uji Citarasa Kopi

Kopi yang telah melalui proses akan dilakukan penilaian guna mendapatkan
informasi terkait data yang meliputi karakteristik sensori yang penting pada kopi dengan
cara cupping test, sehingga dapat memberikan informasi mengenai karakteristik tersebut.
Cupping test merupakan cara pengujian untuk mengetahui karakteristik sensori kopi
menggunakan alat bantu panca indra manusia dengan tahap pelaksanaan dan tata cara
penilaian mengacu pada standard Cupping Protocol dari SCA (Specialty Coffee
Association) / SCAI (Specialty Coffee Association of Indonesia).

Pengujian citarasa dilakukan dengan memberikan sampel sejumlah variable yang


ditentukan yaitu sebanyak total 6 sampel kopi arabika ampelgading dengan kode yang
sudah ditentukan dan diberikan kepada panelis ahli. Panelis ahli ini berasal dari lembaga
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (PUSLITKOKA). Panelis tersebut dipilih dikarenakan
memiliki kemampuan dalam mengenali karakteristik pada kopi yang dapat membantu
dalam mendapatkan hasil yang lebih akurat. Panelis ahli akan melakukan pengujian sampel
dengan tahapan uji aroma kopi sebelum dan sesudah penyeduhan. Dilanjut pengujian

30
citarasa dengan memberikan penilaian dan pendapat terhadap indikator rasa kopi meliputi
flavor, aftertaste, acidity, bitterness, sweetness, balance, clean up, uniform cup, overall dan
defect citarasa (jika ada), serta body (tebal rasa kopi), notes dan skor keseluruhan
(Sulistyowati , setyobudi 2011). Pada penelitian ini panelis ahli akan memberikan skor
keseluruhan terhadap karakteristik sensori kopi yang meliputi beberapa aspek yang sesuai
standart cupping test dari SCA. Keterangan skor dalam parameter metode pengujian
citarasa terbagi menjadi 4 kategori yaitu Good 6,00 –6,75, Very Good 7,00 – 7,75, Excellent
8,00 – 8, 75, Outstanding 9,00 – 9,75.

Penelitian ini menggunakan kopi arabika yang diberikan 2 variable. Variable


pertama merupakan metode pengolahan pascapanen kopi dengan 2 metode yang terdiri
dari metode Tradisional, metode Fermentasi anaerobic dengan wadah fermentasi kantong
plastik dan drum plastik dengan lama waktu yang dipakai yaitu 48 jam. Variable kedua yaitu
tahap pengeringan dengan penggunaan atau tidak-Nya alat bantu pengeringan yaitu
Raised Bed Patio Sederhana. Sehingga total sampel yang diujikan sebanyak 6 percobaan.

31
3.6 Diagram Alir

3.6.1 Proses Pengolahan Pascapanen Kopi

Ceri Kopi

Sortasi

Pencucian

Perambangan

Tradisional Fermentasi Anaerob

Dalam Dalam
Pulping Hermetic Drum
Plastic Plastik

48 Jam

Pengeringan

Raised Bed Patio Tanpa Raised Bed Patio

Kadar Air
Hingga < 15%

Hulling

Green Beans

Gambar 3.1 Diagram alir proses pengolahan pascapanen kopi

32
3.6.2 Proses Roasting Biji Kopi

Green Beans

500 Gr

Di sangrai sesuai profil (suhu, waktu, dan tingkat


kematangan) yang telah ditentukan SCA

Didinginkan pada blower mesin roasting

Sortasi

Resting

Analisis citarasa:
Biji Kopi
Cupping Test
Sangrai

Gambar 3.2 Diagaram alir proses roasting biji kopi

33
3.6.3 Proses Uji Citarasa Kopi

Biji Kopi
Sangrai

Ditimbang 10 gr

Digiling

Bubuk Kopi

Dilakukan penilaian atribut aroma


kering atau fragrance

Dilakukan penyeduhan kopi dengan


Rasio kopi 8,25 gram dan 150 ml air

Seduhan Kopi

Dilakukkan breaking dan penilaian


atribut aroma basah

Atribut Sensori
Didiamkan
selama 3 menit • Fragrance
• Aroma
• Aftertaste
Data Analisis • Acidity
Sensori • Body
• Balance
• Uniformity
• Clean Cup
• Sweetness
• Overall

Gambar 3.3 Diagram alir uji citarasa

34
DAFTAR PUSTAKA

Ali Mohammed, B.T., 2014. Impact of Sun Drying Methods and Layer Thickness on the
Quality of Highland Arabica Coffee Varieties at Limmu, Southwestern Ethiopia. J.
Hortic. 01. https://doi.org/10.4172/2376-0354.1000117

Behailu, W.S., Abrar, S., Nigusie, M., and Solomon, E., 2008. A Review of Coffee
Processing and Quality Reaserch in Ethiopia. In: Girma A., Bayeta B., And Tesfaye
S.(ed). Coffee Divers. Knowledge.Ethiopian. Inst. Agric. Reaserch. 307–316.

BPSKabMalang, 2021. Kecamatan Ampelgading Dalam Angka 2021, in: Badan Pusat
Statistik Kabupaten Malang.

Castanheira, D.T., 2020. Coffee: Production and Research, Coffee: Production and
Research.

Ching Lik Hii, F.B., 2019. Drying and Roasting of Cocoa and Coffee.

Diskominfo, 2020. Kabupaten Malang Satu Data, in: Dinas Komunikasi Dan Informatika
Kabupaten Malang.

FAO, 2006. Introduction to Coffee Drying. Good Hyg. Pract. along ocffee Chain 1–20.

Firdaus, M.A., 2018. Mutu dan citarasa kopi arabika (coffea arabica l.) Terfermentasi
secara metode basah dengan penambahan α-Amilase.

Hameed, A., Hussain, S.A., Ijaz, M.U., Ullah, S., Pasha, I., Suleria, H.A.R., 2018. Farm to
Consumer: Factors Affecting the Organoleptic Characteristics of Coffee. II:
Postharvest Processing Factors. Compr. Rev. Food Sci. Food Saf. 17, 1184–1237.
https://doi.org/10.1111/1541-4337.12365

Henrique, J., Taveira, D.S., Borém, F.M., Delyzette, S., Rosa, V.F. Da, Pedro, D., Giomo,
G.S., Isquierdo, E.P., Fortunato, V.A., 2015. Post-harvest effects on beverage quality
and physiological performance of coffee beans 10, 1457–1466.
https://doi.org/10.5897/AJAR2014.9263

Indrianthi, N., 2018. Analisis Pemasaran dan Nilai Tambah Kopi ( Coffea Arabica L ) (
Studi Kasus : Perkebunan Rakyat di Kecamatan Parbuluan , Kabupaten Dairi ).

Itsar, A.Z.., 2021. Pengaruh Tingkat Pencahayaan Dan Lama Waktu Fermentasi Anaerob
Terhadap Karakteristik Mutu Rasa Kopi Arabika (Coffea arabica L.) Cibeber
Mekarwangi, Jawa Barat.

Lee, L.W., Cheong, M.W., Curran, P., Yu, B., Liu, S.Q., 2015. Coffee fermentation and
flavor - An intricate and delicate relationship. Food Chem. 185, 182–191.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2015.03.124

Nabillah, R., 2021. Analisis Nilai Tambah Kopi Arabika Semi Wash, Full Wash, Natural
Process, dan Honey Process di Desa Aek Sabaon, Kecamatan Marancar,
Kabupaten Tapanuli Selatan (Studi Kasus: Usaha Tyyana Coffee). Angew. Chemie
Int. Ed. 6(11), 951–952. 2013–2015.

Poerwanty, H., 2018. Fermentasi Teknologi OHMIC Parchement Coffee Beans (Kopi HS
Basah) Terhadap Aroma. Univ. Hasanuddin.

35
Poltronieri, P., Rossi, F., 2016. Challenges in Specialty Coffee Processing and Quality
Assurance. Challenges. https://doi.org/10.3390/challe7020019

Santinato, Felipe Silva, Rouverson Pereira Da Silva, Vantuir De Albuquerque Silva,


Calros Diego Da Tavares, T.D.O., 2016. Mechanical Harvesting of Coffee in High
Slope. Rev. Caatinga 29, 685–691. https://doi.org/10.1590/1983-21252016v29n319rc

SCA, 2015. Specialty Coffee Association 1–23.

Selmar, D., Bytof, G., Knopp, S.E., Breitenstein, B., 2006. Germination of coffee seeds
and its significance for coffee quality. Plant Biol. 8, 260–264.
https://doi.org/10.1055/s-2006-923845

Seninde, D.R., Iv, E.C., 2020. Co ff ee Flavor : A Review 28–33.

Velmourougane, K., 2013. Impact of natural fermentation on physicochemical,


microbiological and cup quality characteristics of Arabica and Robusta coffee. Proc.
Natl. Acad. Sci. India Sect. B - Biol. Sci. 83, 233–239.
https://doi.org/10.1007/s40011-012-0130-1

Wamuyu, K.A., Richard, K., Beatrice, M., Cecilia, K., 2017. Effect of Different
Fermentation Methods on Physicochemical Composition and Sensory Quality of
Coffee (Coffea arabica). IOSR J. Environ. Sci. Toxicol. Food Technol. 11, 31–36.
https://doi.org/10.9790/2402-1106023136

36
37

Anda mungkin juga menyukai