SKRIPSI
Oleh :
Yusron Abdullah
NIM 175100100111023
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.......................................................................................................................2
DAFTAR TABEL ...............................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................5
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 5
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 7
1.4 Manfaat ......................................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................................9
2.1 Tanaman Kopi .............................................................................................. 9
2.2 Spesies Kopi ............................................................................................... 10
2.3 Pengolahan Pascapanen Kopi .................................................................... 12
2.3.1 Pemanenan Kopi .................................................................................. 12
2.3.2 Pegolahan Kopi .................................................................................... 14
2.3.3 Pengeringan ......................................................................................... 17
2.4 Fermentasi Kopi Arabika............................................................................ 20
2.5 Dampak Fermentasi Terhadap Kualitas Mutu Sensori Kopi ....................... 23
2.6 Hipotesis ..................................................................................................... 25
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................................26
3.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ................................................................. 26
3.2 Alat Dan Bahan Penelitian ...................................................................... 26
3.2.1 Alat Penelitian ................................................................................... 26
3.2.2 Bahan Penelitian............................................................................... 27
3.3 Metode Penelitian ....................................................................................... 27
3.4 Analisis Data ............................................................................................... 28
3.5 Tahapan Penelitian ..................................................................................... 28
3.5.1 Pengolahan Pascapanen Kopi ............................................................. 28
3.5.2 Penyangraian Biji Kopi Kering (Green Beans)...................................... 29
3.5.3 Persiapan untuk Uji Citarasa Kopi ........................................................ 30
3.5.4 Metode Analisis Uji Citarasa Kopi ........................................................ 30
3.6 Diagram Alir ................................................................................................ 32
3.6.1 Proses Pengolahan Pascapanen Kopi ................................................. 32
3.6.2 Proses Roasting Biji Kopi ..................................................................... 33
3.6.3 Proses Uji Citarasa Kopi ...................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................35
2
DAFTAR TABEL
3
DAFTAR GAMBAR
4
BAB I PENDAHULUAN
Kualitas kopi secara keseluruhan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terlibat
dalam perubahan sifat fisikokimia dan atribut sensorik, dimana kegiatan pasca panen
memberikan kontribusi sekitar 60% dari kopi yang dihasilkan (Castanheira, 2020). Tahapan
pengolahan dan pengeringan merupakan faktor yang dapat menentukan pembentukan
rasa dan aroma. Pembentukan rasa dan aroma dikaitkan dengan proses fermentasi pada
tahapan pengolahan dan pengeringan kopi dikarena keterlibatan mikroorganisme yang
terjadi selama tahap pengolahan berlangsung (Henrique et al., 2015).
5
Pengeringan merupakan salah satu tahapan penting dalam proses pengolahan
kopi, dimana tahap ini dapat menumbuhkan jamur dan bakteri yang dapat menurunkan
kualitas jika tidak ditangani dengan teknik pengelolahan yang baik. Secara tradisional tahap
pengeringan yang dilakukan oleh sebagian petani menghasilkan kopi dengan kualitas
rendah dikarenakan kurangnya penangangan pengolahan yang berakibat menurunnya
minat konsumen terhadap kopi hasil dari petani (Ali Mohammed, 2014).
Meningkatkan dan menjaga kualitas kopi bagi petani merupakan hal yang cukup
sulit jika dilakukan tanpa adanya penelitian sebelumnya. Beberapa upaya penelitian
dilakukan untuk mengoptimalkan potensi kopi dengan mengkaitkan proses fermentasi,
tahap pengeringan dan waktu penyimpanan ceri kopi (Behailu et al., 2008). Pengoptimalan
pascapanen kopi dapat dilakukan dengan penggunaan fermentasi serta penggunaan
Raised Bed Patio. Raised Bed Patio merupakan istilah nama dari alas pengering, dimana
penggunaan alas pengering yang dibuat dapat mengoptimalkan kualitas kopi karena
meminimalisir kontaminan pada tahap pengeringan seperti jamur atau bakteri pada
pengeringan tanpa alas (permukaan datar) (Hameed et al., 2018; Selmar et al., 2006).
Penilaian pada mutu kopi sangat kompleks dan terdapat banyak faktor yang mempengaruhi
hasil akhir, seperti varietas tanaman, kondisi lingkungan (Ketinggian dan Iklim),
penanganan pascapanen, dan teknik pengolahan yang sesuai (Seninde, 2020). Penilaian
biji kopi tidak hanya ditentukan dari penampakan secara fisik, namun ditentukan dari
citarasanya. Dimana kopi dikonsumsi karena memiliki rasa dan aroma yang khas, maka
produk akhir kopi mengandalkan kualitas dari aspek citarasa dengan penentuannya melalui
uji citarasa (Itsar, 2021). Metode uji citarasa digunakan untuk mengetahui karakteristik mutu
kopi dengan metode SCA yaitu cupping test. Dimana cupping test ini dilakukan oleh panelis
terlatih atau ahli yang biasa disebut Q-Grader. Proses cupping dilakukan sesuai standar
yang telah di sepakati oleh SCA (Specialty Coffee Association) agar memperoleh hasil yang
akurat (Firdaus, 2018; SCA, 2015).
Desa Tamansari merupakan desa yang memiliki iklim dan wilayah yang sesuai
untuk pertumbuhan kopi arabika, dikarenakan terletak di wilayah yang cukup tinggi di lereng
gunung semeru Jawa Timur. Namun potensi tersebut kurang dimanfaatkan oleh penduduk
sekitar dikarenakan kurangnya minat petani dalam menangani pengelolahan kopi. Hingga
saat ini belum ada yang menggunakan penelitian terkait perbaikan mutu sensori kopi
menggunakan fermentasi secara anaerob dan penggunaan Raised Bed Patio Sederhan
yang di aplikasikan di petani Desa Tamansari, dengan hal tersebut harapannya dapat
membantu mengoptimalkan potensi kopi arabika yang ada di Desa Tamansari sehingga
menjadi kopi yang menghasilkan kualitas terbaik.
6
1.2 Perumusan Masalah
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Sebagai sumber informasi terhadap petani kopi sekitar Desa Tamansari untuk
menjaga mutu hasil akhir kopi dari pra panen dan pascapanen sehingga dapat
meningkatkan produksi serta menjaga kualitas mutu kopi.
7
diharapkan memiliki kualitas mutu sensori yang baik dibandingkan proses
pengolahan sebelumnya yang diharapkan dapat memperluas segmentasi pasar.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang diproduksi dan
hasilnya menjadi salah satu minuman yang popular di dunia (Farah and Dos Santos, 2015).
Tanaman kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang memberikan peningkatan
secara devisa untuk negara dan kesejahteraan petani kopi (Jenggawah et al., 2010)
sehingga tidak menutup kemungkinan kopi menjadi komoditas yang di sukai dan dicari di
dunia.
Tanaman kopi merupakan tanaman tahunan dimana secara umum tanaman ini
akan menghasilkan buah kopi ketika berusia + 2,5 – 3 tahun, yang kemudian dilakukan
pemanenan yang berbeda beda disetiap negara bergantung dari iklim, kondisi tanah, dan
daerah wilayah tanaman kopi yang ditempati dan kemudian di proses hingga menjadi biji
mentah. (Prastowo, Bambang ; Karmawati, 2010). Tanaman kopi biasanya hidup berkisar
antara 10 hingga 15 tahun di alam hingga tidak produksi kembali atau mati, dengan hal
tersebut petani diharuskan untuk melakukan perbaruan tanaman secara teratur agar tetap
berproduksi setiap tahunnya. Bentuk pohon dari kopi sendiri bervariasi yang bergantung
pada jenis spesies dan varietas. Secara umum bentuk pohon kopi terdiri dari 2 bagian yang
pertama tunas utama (batang) dan cabang leteral tersier (batang penghasil buah) (Farah
and Dos Santos, 2015).
9
zat lilin yang bertujuan untuk melindungi ceri kopi, biasanya berwarna merah muda, merah
tua, atau kuning. Mesocarp merupakan bagian ceri kopi yang terdiri dari daging buah,
lapisan lendir pectinaceous atau mucilage. Endocarp merupakan lapisan kulit tanduk tipis,
lapisan ini merupakan lapisan polisakarida yang mudah rapuh ketika kering dan keras
ketika basah (Edowai, 2018).
Gambar 2.2. Bagian Ceri Kopi (Farah and Dos Santos, 2015)
Tanaman kopi asal muasal ditanam di Kaffa wilayah Ethiopia, kemudian disebar
luas kan oleh Belanda ke penjuru Eropa. Pada tahun 1753 kopi arabika pertama kali
dideskripsikan oleh Linnaeus dengan kondisi buah bulat, halus, sedikit pahit, dan berwarna
coklat dengan kerak halus serta aroma yang kuat sedangkan kopi robusta memiliki ciri buah
yang cenderung kuat untuk rasa dan lebih tinggi tingkat produktifitas dari kopi arabika, hal
tersebut yang menjadikan kopi robusta kurang diminati oleh konsumen (Schwan et al.,
2012).
Kingdom Vegetable
Subkingdom Angiospermae
Class Dicotyledoneae
Subclass Sympetalae or Metachlamdeæ
Order Rubiales
Family Rubiaceæ
Genus Coffea
Subgenus Eucoffea
Species Coffea arabica; Coffea canephora; Coffea liberica;
Coffea eugeniodes; Coffea salvatrix; Coffea racemose;
Coffea zanguebariae; Coffea pseudozanguebariae;
Coffea mongensis; Coffea humilis; Coffea kapakat;
Coffea betrandi; Coffea perrieri; Coffea pervilleana
Tabel 2.1. Klasifikasi Tanaman Kopi (Farah and Dos Santos, 2015)
10
Tabel diatas merupakan bagian tanaman kopi dari subkingdom tumbuhan yang
dikenal secara ilmiah sebagai Angiospermae. Dengan artian tanaman kopi berkembang
biak dengan biji tertutup dalam bunga. Tanaman kopi masuk dalam Genus Coffea serta
Subgenus Eucoffea serta memiliki 125 Spesies dan 15 diantaranya yang di kenal dunia dari
Coffea arabica ; Coffea canephora; Coffea liberica; Coffea eugeniodes; Coffea congensis;
Coffea salvatrix; Coffea racemose; Coffea zanguebariae; Coffea pseudozanguebariae;
Coffea mongensis; Coffea humilis; Coffea kapakata; Coffea betrandi; Coffea perrieri; Coffea
pervilleana (Farah and Dos Santos, 2015).
Banyaknya spesies dari tanaman kopi yang ada di dunia, hanya 2 yang di konsumsi
secara komersial yaitu Coffea arabica (kopi arabika) dan Coffea canephora (kopi robusta).
Kopi robusta merupakan spesies kopi yang banyak ditemukan di berbagai wilayah seperti
Brazil, Vietnam, Pantai Gading, Uganda, dan Indonesia (Schwan et al., 2012). Indonesia
merupakan salah satu negara dengan penghasil tertinggi untuk kopi jenis robusta (ICO,
2021). Hal tersebut dikarenakan tanaman kopi robusta memiliki ketahanan terhadap hama
seperti Hamelia vastatrik (HV) yang menyerang daun kopi sehingga berwarna kuning atau
yang biasa dikenal dengan karat daun serta dapat tumbuh baik di wilayah dataran rendah
sekitar 500 – 800 m diatas permukaan laut (Jenggawah et al., 2010).
Tidak seperti kopi robusta, kopi arabika merupakan salah satu spesies kopi yang
mudah terkena penyakit HV dan pertumbuhannya minimal di ketinggian 700 m diatas
permukaan laut akan tetapi permintaan dan minat pasar terbanyak di dunia sebesar 80 %
kemudian kopi robusta sebesar 15% dan 5 % untuk kopi liberika dan kopi excelsa (ICO,
2021). Selain kopi arabika dan robusta yang dikenal didunia spesies kopi lain juga cukup
dikenal tetapi masih jarang ditemui serta dibudidayakan secara komersil, tetapi di Indonesia
dapat ditemukan dibeberapa wilayahnya yaitu kopi liberika (Coffea liberica W.Bull ex Hiern)
dan kopi Excelsa (Coffea liberica Var.dewevrei).
Kopi arabika (Coffea arabica L.) merupakan spesies kopi dengan minat
konsumsi tertinggi untuk spesies kopi yang ada di dunia. Kopi arabika sendiri memiliki
keunggulan dari citarasa yang dihasilkan serta memiliki kandungan kadar kafein yang
relative rendah dibanding dengan kopi robusta. Kekurangan dari kopi arabika sendiri
yaitu dari segi penanaman karena tidak semua wilayah kebun dapat ditumbuhi oleh
kopi arabika. Kopi arabika akan tumbuh subur dan berbuah ketika tanaman ditanam
diketinggian minimal 700 m diatas permukaan laut, jika dibawah itu jenis kopi arabika
bisa tumbuh akan tetapi rawan mati dan rawan terkena penyakit karat daun (Hamelia
vastartik).
11
b.) Kopi Robusta
Kopi robusta (Coffea canephora Pierre) merupakan jenis kopi yang banyak
dibudidayakan dari kopi jenis arabika. Populasi kopi robusta yang dihasilkan pada
tahun 2020 di dunia sebesar 70 rb / 60 kg-bags (ICO, 2021). Di Indonesia sendiri kopi
jenis robusta merupakan jenis kopi yang mendominasi dengan jumlah lahan dengan
persebaran 81,27 % dari total lahan kopi (USDA, 2015). Kekurangan dari kopi robusta
yang kurang digemari oleh penimat kopi yaitu dari segi mutu citarasa kopi, karena
kopi robusta tergolong kopi dengan rendah mutu citarasa ketimbang kopi arabika.
Akan tetapi kopi robusta memiliki keunggulan tersendiri yang terdapat pada
penanganan tanaman yang mudah serta tidak perlu medapatkan perlakuan khusus,
seperti dapat ditanam diketinggian rata-rata 500 – 800 m diatas permukaan laut
(Prastowo, Bambang ; Karmawati, 2010).
Kopi liberika (Coffea liberica W.Bull ex Heirn) merupakan salah satu jenis
kopi yang ada didunia. Kopi liberika sendiri merupakan kopi yang memiliki morfologi
mirip dengan robusta. Di Indonesia sendiri kopi liberika cukup tersedia di alam liar
maupun dibudidayakan, Riau dan Jambi merupakan salah dua dari wilayah Indonesia
yang membudidayakan kopi jenis liberika yang ditangani oleh BPTP Jambi sehigga
kopi jenis liberika dapat berkembang pesat (Meilin et al., 2019).
Kopi Excelsa (Coffea liberica Var.dewevrei) merupakan salah satu jenis kopi
yang untuk saat ini dibudidayakan khususnya di Indonesia. Kopi excelsa sendiri
merupakan tanaman kopi yang secara morfologi tanaman mirip dengan kopi liberika.
secara taksonomi tergolong dalam sub-seksi Pachycoffea yang merupakan kelompok
yang sama dengan kopi liberika dan tergolong Liberoid serta berbeda dengan kopi
arabika (Arabikoid) dan robusta (Robustoid) (Setiyono, 2015).
Pemanenan merupakan tahap yang penting pada pasca panen kopi, dimana panen
dapat berpengaruh terhadap kualitas kopi yang nantinya akan dihasilkan oleh kopi.
Pemilihan ceri kopi yang matang cenderung menghasilkan mutu kopi dengan kualitas lebih
baik dari pada buah yang dipanen belum matang atau terlalu matang karena dapat
menghasilkan mutu kopi berkualitas rendah (Farah and Dos Santos, 2015).
12
Pemanenan buah kopi pada umumnya di lakukan dengan cara memetik buah yang
telah masak pada tanaman kopi yang berumur 2,5 – 3 tahun. Buah matang akan ditandai
dengan warna merah pada kulit buah. Dengan perubahan warna semula berwarna hijau
tua yang merupakan buah muda, kemudian berwarna kuning kemerahan adalah buah
setengah matang, dan berwarna merah adalah buah yang masak (matang). Jika buah kopi
tidak segera dipanen akan berwarna kehitam-hitaman yang merupakan tanda bahwa kopi
masuk fase masak terlapaui (over ripe) (Prastowo, Bambang ; Karmawati, 2010).
13
2.3.2 Pegolahan Kopi
Setelah pemanenan kopi tidak bisa langsung dikonsumsi, perlu melalui tahapan
pengolahan kopi yang tujuan untuk mendapatkan kopi kering berupa biji kopi atau yang
biasa disebut greenbeans. Produk hasil pertanian atau perkebunan yang dipanen masih
melakukan aktivitas metabolisme yang dapat menyebabkan kerusakan secara fisik dan
kimia jika tidak segera ditangani dengan segera. Sifat mudah rusak (perishable) dari produk
pertanian atau perkebunan mengakibatkan tingginya susut pascapanen serta terbatasnya
masa simpan setelah pemanenan, sehingga serangan hama dan penyakit akan
menurunkan mutu produk jika tidak segera di olah (Yokowati, Yunna E.A; Wachjar, 2019).
Buah kopi sendiri memiliki sifat perishable sehingga perlu menjalani pengolahan
secara primer dimana pengolahan secara primer ini mengkoversi bahan mentah menjadi
komoditas pangan, dengan contoh lain seperti gandum menjadi tepung. Kemudian
dilanjutkan proses skunder yaitu produk utama atau hasil dari proses primer diubah menjadi
produk lain seperti tepung menjadi roti. Dengan kasus tersebut buah kopi akan diolah
secara primer dari buah matang menjadi biji kering dan kemudian dilanjut proses sekunder
dari biji kering di roasting menjadi roasted beans yang kemudian di seduh dan di konsumsi
sebagai minuman kopi (Farah and Dos Santos, 2015).
Pada proses pengolahan kopi metode yang paling umum untuk tujuan pengolahan
ada 2 metode yaitu basah dan kering. Dimana kedua metode ini diaplikasikan di berbagai
negara didunia yang memproduksi dan menghasilkan kopi seperti Brazil, Vietnam,
Colombia, dan Indonesia.
Secara sejarah metode kering merupakan metode pertama kali yang pernah
dipergunakan untuk proses pengolahan kopi dimana buah kopi setelah pemanenan
akan langsung dikeringkan dibawah sinar matahari secara langsung dilahan terbuka
dengan waktu pengeringan memakan waktu +2 minggu yang bergantung pada
kondisi wilayah proses pengolahan karena tiap negara memiliki perbedaan iklim.
Pengeringan dilakukan hingga kadar air 10-12% yang bertujuan untuk menghindari
tumbuhnya jamur serta munculnya bakteri (Farah and Dos Santos, 2015).
14
bersama kulit buah. Tujuan penghilangan mucilage pada metode kering ini untuk
menghasilkan kualitas minuman kopi lebih baik dan lebih lembut serta memiliki body
ringan dengan keasaman lebih tinggi (Pereira et al., 2020). Secara proses dalam
pengolahan basah, pemanena dilakukan untuk buah matang, penghilangan kulit dan
lendir (Mucilage), kontrol terhadap fermentasi dan pengeringan. Umumnya kopi yang
diproses dengan metode basah menghasilkan klasifikasi “Specialty Coffee”.
Berkembangnya industri kopi pengolahan basah dapat dilakukan dengan cara yang
berbeda-beda seperti :
c.) Semi-Washed
d.) Wet-Hulled
e.) Fully-Washed
15
menggunakan mesin, dimana proses pencucian ini untuk menghilangkan lendir
sepenuhnya.
f.) Pulped-Natural
16
2.3.3 Pengeringan
a.) Natural-drying
b.) Artificial-drying
Berkembangnya ide dan inovasi dalam pengolahan kopi termasuk dalam tahap
pengeringan yang ditandai dengan penggunaan proses secara alami atau mekanis/
mesin. Pengeringan buatan merupakan inovasi dalam perkembangan proses
pengolahan kopi, terdapat beberapa jenis berdasarkan pemanfaatan aliran udara.
Pengeringan dengan aliran udara alami dengan teras pengering, pengeringan
dengan aliran udara secara paksa/mesin, pengeringan menggunakan suhu rendah
dan pengeringan menggunakan suhu tinggi serta pengeringan system gabungan
(Ching Lik Hii, 2019).
17
Pengeringan menggunakan panas matahari merupakan keputusan dari petani atau
produsen pengolahan kopi dimana merupakan metode pengeringan dengan biaya
murah namun bergantung pada cuaca, selain menggunakan panas matahari
produsen kopi akan menginovasi cara pengeringan dimana dapat membantu
mempersingkat waktu pengeringan. Pengeringan dapat menurunkan kualitas kopi
dengan mudah karena pengeringan yang terlalu lambat, terlalu cepat bahkan tidak
sesuai, serta bergantung pada metode pengolahan yang digunakan serta metode
pengeringan ceri kopi yang digunakan secara buah utuh, buah yang dihancurkan,
parchment (biji kopi yang tertutup bagian kulit dalam), atau biji telanjang yang akan
dikeringkan (FAO, 2006).
18
kopi yang dikeringkan akan terkena sinar matahari panas secara langsung namun
membutuhkan waktu pengeringan yang cukup lama, sehingga kopi terpapat oleh
risiko kontaminasi yang tinggi yang bergantung pada daerah pengolahan kopi (Ching
Lik Hii, 2019).
Penggunaan Paved Patios merupakan aplikasi dalah tahap pengeringan yang dalam
taha tersebut kopi di letakkan pada teras berbahan beton yang dibentuk seperti
paving. Penggunaan Paved Patios ini dapat membantu mempercepat pengeringan
dan menghasilkan kopi lebih baik di banding dengan kopi yang dikeringkan di teras
tanah yang dipadatkan (Ching Lik Hii, 2019). Berbahan dasar beton mengakibatkan
kopi yang di proses dengan cara memfermentasi terlebih dahulu menyebabkan kopi
tersebut menurun pada hasil akhirnya, selain hal tersebut biaya penggunaan paving
beton ini mahal serta tidak cocok untuk wilayah pengolahan yang memiliki kondisi
tanah yang mudah gerak atau ber-terasiring.
19
cukup lama serta di haruskan menggunakan cover plastik penutup untuk menutupi
ketika hujan turun serta dimalam hari. Penggunaan Raised Bed Patios ini dapat
menjadi alternatif dari berbagai jenis penggunaan metode dalam tahap pengeringan
(Ching Lik Hii, 2019).
5.) Greenhouse
Permasalahan panen dan proses pengolahan yang dihadapi oleh petani kopi
berbeda beda sehingga proses pengolahan kopi mengikuti kebiasaan secara turun
temurun, kondisi lingkungan, serta biaya yang diperlukan. Salah satu tahapan yang
berpengaruh menentukan mutu kopi melalui proses pascapanen yaitu fermentasi.
Proses fermentasi merupakan proses yang akan terjadi pada proses pengolahan
kopi setelah dipanen (fermentasi alami), dimana proses fermentasi ini merupakan tahap
ceri kopi merah (matang) menjadi biji kopi kering serta dalam proses fermentasi membentuk
rasa pada kopi ketika nantinya akan diseduh dan dikonsumsi. Fermentasi terjadi pada
pengolahan kopi dimana mikroba alami seperti yeast dan bakteri yang ada pada ceri kopi
akan mengkonsumsi dan memetabolis komponen seperti gula dan asam pada ceri kopi
sehingga menjadi komponen asam dan alkohol, secara tidak langsung proses fermentasi
alami akan terjadi pada proses pengolahan kopi yang menjadikan kopi itu memiliki berbagai
rasa (Schwan et al., 2012).
20
Proses fermentasi sendiri bertujuan untuk melepaskan lendir yang melekat pada
kulit tanduk kopi dengan peruraian senyawa-senyawa yang terkandung di dalam lapisan
lendir (mucilage) oleh mikroba alami dan dibantu dengan oksigen dari udara (Firdaus,
2018). Pada proses fermentasi secara alami memiliki dampak pada aroma yang sering
diabaikan karena tahap fermentasi pada kopi memiliki peran utama yaitu memfasilitasi
penghilangan lapisan lendir (mucilage) untuk pembetukan aroma pada kopi. Kandungan
mucilage pada kopi yang dipecah terdiri dari 84,2% air, 8,9% protein, 4,1% gula, 0,91% zat
pektik, serta 0,7% abu (Belitz,H.D, Grosch.W, 2009). Menurut Paiva, (2020) mucilage atau
lendir kopi sendiri mengandung 33% protopectin, 30% gula pereduksi (Glukose dan
Fruktose), 20% gula non-pereduksi (Sukrose), 17% Cellulose serta abu (Ash). Analisis lebih
lanjut mengenai komposisi polysakarida pada kopi didapat komponen yang tidak terlarut
dalam alkohol yang terdiri dari 30% pektin, 8% selulosa, dan 18% non-selulosa. Dengan
analisis tersebut dapat diketahui kandungan lendir pada ceri kopi, analisis tersebut
merupakan acuan terhadap kandungan dalam lendir ceri kopi dikarenakan setiap daerah
penghasil kopi memiliki perbedaan kandungan lendir bergantung pada kondisi lingkungan
dan varietas kopi itu sendiri (Avallone et al., 2006). Ceri kopi mengandung berbagai jenis
senyawa gula dengan kadar bergantung pada tingkat kematangan ceri kopi. Senyawa gula
dalam daging buah berkolerasi positif dengan jenis dan jumlah senyawa pembentuk
citarasa dalam biji kopi, ceri kopi dengan kondisi merah memiliki komposisi kimia senyawa
pembentuk citarasa yang lengkap dan maksimal.
21
Kontrol terhadap fermentasi dapat memberikan atribut yang diinginkan serta dapat
mencegah yang tidak diinginkan ketika proses fermentasi berlangsung yaitu off-flavours.
Atribut yang diinginkan tersebut dapat dihasilkan jika faktor seperti tingkat kelembaban tidak
terlalu tinggi dan suhu diperhatikan. Apabila tidak diperhatikan dapat menyebabkan
beberapa kerusakan seperti cacat rasa yang terlalu lama pada proses fermentasi,
bertumbuhnya spesies mikroba yang tidak diinginkan dan memproduksi asam asetat terlalu
banyak sehingga menyebabkan rasa terlalu asam (Poltronieri and Rossi, 2016).
Kontrol terhadap fermentasi merupakan salah satu terapan dari tahapan proses
pascapanen kopi dimana mengaplikasikan proses fermentasi alami dengan memanfaatkan
mikroba alami atau MOL (mikro organisme lokal) dengan tujuan seperti proses fermentasi
alami dengan kondisi yang diinginkan. Kondisi yang diinginkan ini, kondisi dimana proses
fermentasi tidak menumbuhkan mikroba alami selain mikroba baik yang diinginkan untuk
pembentukan aroma. Pembentukan aroma akan terjadi bila proses pertumbuhan mikroba
yang dikontrol mengkonsumsi polisakarida sehingga membentuk senyawa volatile aromatic
seperti fenolat, aldehida, serta keton. Kopi gajah dan kopi luwak merupakan salah satu
pengaplikasian pengontrolan fermentasi dimana hanya mikroba dalam feses hewan
tersebut yang dibutuhkan sehingga membentuk citarasa yang berbeda (Poltronieri and
Rossi, 2016). Dengan berkembangnya proses pengolahan serta penelitian didalamnya
kontrol terhadap fermentasi memiliki berbagai kontrol terhadap jenis mikroba yang
dikembangkan, dengan contoh proses fermentasi wine dimana proses tersebut diambil dari
proses pembuatan minuman anggur yang di fermentasi +30 hari, namun proses fermentasi
secara wine membutuhkan waktu yang cukup lama dan memerlukan kontrol yang cukup
tinggi agar berhasil. Selain proses wine pengolahan kopi dengan pengaplikasian kontrol
fermentasi yaitu aerob dan anaerob.
22
salah satu faktor keberhasilan dalam proses fermentasi karena dapat mengkontrol tahapan
fermentasi dan menumbuhkan mikroba yang diinginkan. Untuk fermentasi aerob cukup sulit
mengendalikan pertumbuhan mikroba yang diinginkan karena kontaminan dapat
mencemarkan ketika proses fermentasi berjalan, kontaminan terjadi pada proses
fermentasi dikarenakan tidak tertutupnya wadah tempat fermentasi sehingga cemaran dari
lingkungan sekitar wadah fermentasi dapat mempengaruhi proses fermentasi aerob
(Velmourougane, 2013).
Pengolahan pascapanen kopi yang tepat dapat meningkatkan nilai tambah dari kopi yang
diproses, meningkatnya nilai tambah dapat membantu untuk mampu bersaing di pasar
domestic atau pasar luar negeri. Nilai tambah (value added) sendiri merupakan pengertian
dari perubahan nilai dari suatu komoditas sehingga menjadi bertambah yang disebabkan
dari beberapa proses seperti proses pengolahan, pengangkutan, atau penyimpanan dalam
suatu proses produksi (Indrianthi, 2018).
Berjalannya dengan upaya untuk meningkatkan nilai tambah, kopi yang diolah dengan baik
dan tepat akan memiliki nilai produk yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum diolah
serta keinginan dari konsumen menjadi terpenuhi karena salah satu tujuan dari hasil
pertanian yaitu meningkatnya kualitas. Kualitas yang kurang baik atau memiliki perbedaan
menyebabkan adanya perbedaan dari segmentasi pasar dan yang utama yaitu
mempengaruhi harga kopi itu sendiri. Sehingga jika kurang diminati oleh konsumen akan
menyebabkan kerugian yang di alami oleh produsen atau petani itu sendiri (Indrianthi,
2018).
23
Selain mengupayakan memperbaiki kualitas mutu kopi melalui proses pascapanen
kopi dengan baik dan tepat, penambahan proses ketika kegiatan pengolahan pascapanen
dengan cara pengkontrolan tahapan fermentasi pada pengolahan pascapanen kopi.
Menurut penelitian dari Itsar (2021) yang berjudul “Pengaruh Tingkat Pencahayaan dan
Lama Waktu Fermentasi Anaerob Terhadap Karakteristik Mutu Rasa Kopi Arabika (Coffea
arabica L.) Cibeber Mekarwangi, Jawa Barat” menyebutkan bahwa fermentasi merupakan
proses pemecahan substrat dengan susunan besar menjadi senyawa yang lebih
sederhana, serta didukung dengan kondisi lingkungan yang tepat serta nutrisi yang
tercukupi akan menyebabkan terdukungnya pertumbuhan mikrooganisme, Sehingga
pertumbuhan mikroba terkendali dan mengisolasi strain mikroba yang berperan dalam
proses biokimia menyebabkan perlindungan pada pembusukan, penyakit bawaan
makanan, serta memperbaiki kualitas suatu produk makanan.
Sehingga proses pengolahan pascapanen yang baik dan tepat, serta penambahan
proses pengontrolan terhadap fermentasi kopi arabika dapat diterapkan, namun dari
beberapa literatur sedikit yang membahas tentang perbaikan mutu dari proses pascapanen
dengan membandingkan proses pascapanen tradisional yang dilakukan oleh petani.
Sehingga tidak dapat mengetahui kualitas mutu sensori kopi yang diolah oleh petani, selain
perbandingan mutu sensori yang dihasilkan dari pengolahan pascapanen kopi terdapat
faktor yang diperlukan pengkajian lebih lanjut mengenai faktor pengeringan pada
pengolahan kopi. Tahapan pengeringan pada pengolahan pascapanen kopi merupakan
proses yang penting dimana proses tersebut dapat mempengaruhi kualitas mutu kopi itu
sendiri (Ali Mohammed, 2014; Poltronieri and Rossi, 2016).
24
pada tahap pengeringan. Penggunaan Raised Bed Patio Sederhana pada penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui perbandingan hasil mutu sensori kopi jika menggunakan
pengeringan Raised Bed Patio Sederhana dengan pengeringan tradisional yang
menggunakan alas semen.
2.6 Hipotesis
Hipotesis yang diduga dalam penelitian ini adalah pengaruh penerapan fermentasi
anerobic dengan wadah berbeda, kantong plastik dan drum plastik serta penggunaan
Raised Bed Patio Sederhana pada tahap pengeringan terhadap mutu sensori kopi arabika
25
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di perkebunan kopi rakyat serta rumah petani yang terletak
di Desa Tamansari, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang Jawa Timur, serta Uji
mutu sensori kopi yang dilakukan di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia
(PUSLITKOKA) di Jember Jawa Timur.
Penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian utama, bagian pertama proses pascapanen
kopi dan bagian kedua uji mutu sensori dengan metode cupping test pada kopi setelah
bagian pertama dilakukan. Pada bagian pertama terdapat 4 tahapan yaitu pemetikan,
perambangan, pengolahan, dan pengeringan. Berikut penggunaan alat pada bagian
pertama, yaitu:
a. Tahap Pemetikan
Alat yang digunakan yaitu keranjang sebagai wadah ceri kopi yang dipetik. Brix
Refractometer dengan accuracy 0.2% dengan range 0-32% alat Brix ini untuk pengukuran
kandar gula yang berada pada lendir ceri kopi.
b. Tahap Perambangan
Alat yang digunakan yaitu bak dengan total 2 bak dimana bak pertama untuk perambangan
dimana pemisahan ceri kopi dengan mutu bagus dan mutu kurang baik, kemudian bak
kedua digunakan untuk pembilasan ceri kopi dengan kualitas baik untuk menghilangkan
kotoran yang menempel.
c. Tahap Pengolahan
Alat yang digunakan pada pengolahan tahap fermentasi yaitu kantong plastik dan drum
plastik dengan volume + 120 liter dengan penutup dan pengunci serta air lock digunakan
untuk melihat indikator sirkulasi CO2 selama fermentasi anaerobic berlangsung.
d. Tahap Pengeringan
Alat yang digunakan yaitu Raised Bed Patio sederhana, pembuatan tersebut meliputi bahan
baku seperti kayu dan jaring yang kemudian dirakit dengan ukuran 2,5 x 1,5 m serta bambu
26
untuk penyangga. Digital Grain Moisture sebagai alat pendeteksi kadar air secara instant
dengan moisture accuracy +(1% RH+0.5). Mesin pemecah kulit luar kopi (Huller). Karung
plastik untuk penyimpanan untuk biji hijau.
Pada bagian kedua yaitu uji citarasa (cupping test) yang dilakukan di Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur dengan alat yang digunakan
meliputi mesin raosting, cupping bowl, cupping spoon, air mineral, kettle untuk air panas,
Grinder.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ceri kopi yang dipetik merah
dengan jenis arabika yang berasal dari kebun kopi rakyat yang terletak di Desa Tamansari
dengan ketinggian kebun +1250 Mdpl. Pemetikan dilakukan pada musim panen tahun
2022, kemudian diproses pascapanen secara Semi-kering (tradisional) dan fermentasi
secara anaerobic untuk mendapatkan biji kering (Green Bean). Ceri kopi yang digunakan
secara keseluruhan berjumlah + 100 kg dan menjadi hasil biji kering +20 kg secara
keseluruhan.
Pada penelitian ini, pemilihan metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok
Faktorial (RAK-F) yang melibatkan variable penelitian dengan 2 faktor perlakuan yaitu
metode proses pengolahan pascapanen kopi arabika dan proses pengeringan
menggunakan atau tanpa menggunakan Raised Bed Patio untuk tahap pengeringan dan
dilakukan 3 kali pengulangan. Terdapat 3 variasi metode pengolahan kopi arabika dan 2
variasi metode pengeringan dengan total 6 kombinasi perlakuan untuk mengetahui
penerapan metode fermentasi anaerobic dan penggunaan Raised Bed Patio sederhana
terhadap mutu sensori sebagai alternatif pengelolahan
27
Faktor II
Faktor I
B1 B2
A1 A1B1 A1B2
A2 A2B1 A2B2
A3 A3B1 A3B2
Tabel 3.1. Rancangan Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan analisis dari panelis ahli, dimana panelis ahli berasal
dari Pusat Penelitian Kakao dan Kopi (PUSLITKOKA) yang berada di Jember, Jawa Timur.
Panelis ahli akan meminum kopi hasil dari penelitian dengan masing-masing variable dan
kemudian memberikan skor dari setiap variable pada form penilaian sesuai standar SCA
dan kemudian mendiskusikan hasil dan menyepakati atribut sensori yang terdapat pada
kopi Arabika dari Desa Tamansari Ampelgading, Jawa Timur. Setelah skor data dari
masing-masing variable terkumpul dilakukan tabulasi dengan menggunakan Minitab 18 dan
diolah secara statistic menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dengan selang
kepercayaan 95%. Hasil pengujian kemudian dilanjutikan dengan uji lanjut metode BNT
atai Fisher 5% dilakukan jika terdapat pengaruh nyata anatara faktor terhadap faktor respon
dan uji lanjut BNJ atau Tukey 5% jika terdapat interaksi anatarfaktor. Mutu sensori kopi
arabika dari penerapan variable ditentukan berdasarkan metode total skor cupping test.
Penelitian ini dilakukan dengan 2 tahap yaitu proses pascapanen pada kopi serta
proses setelah pascapanen yaitu proses roasting untuk cupping test
2. Pemanenan ceri kopi yang dilakukan di kebun rakyat dengan memetik kopi berwarna
merah yang merupakan tanda matang pada ceri kopi. Berat secara keseluruhan yang
dibutuhkan pada penelitian ini + 120 kg buah kopi.
3. Setelah ceri kopi dipanen dilakukan pencucian setelah dari kebun untuk membersihkan
kotoran yang ada di ceri kopi.
28
diatas permukaan air tempat perambangan dan dipisah secara manual menggunakan
tangan agar tidak tercampur dengan ceri kopi yang berkualitas baik.
5. Setelah proses perambangan selesai dilakukan proses pengolahan ceri kopi sesuai
variable metode yang ditentukan yaitu metode Fermentasi Anaerobic menggunakan drum
plastik dan kantong plastik serta metode Semi-kering (Tradisional). Lama waktu yang
digunakan untuk fermentasi secara anaerobic selama 48 jam yang menyesuaikan saran
dari penelitian sebelumnya serta beberapa literatur yang dipakai. Untuk metode semi-kering
dilakukan sesuai kebiasaan petani dalam mengolah kopi.
6. Setelah proses pengolahan ceri kopi sesuai variable metode dilakukan proses
pengeringan. Pengeringan/ penjemuran dilakukan dilakukan dibawah sinar matahari
langsung. Pada tahap penjemuran ini dilakukan variable selanjutnya penggunaan Raised
Bed Patio. Dimana setiap metode dilakukan proses penjemuran tanpa menggunakan
Raised Bed Patio (Tanpa alas) dan penggunaan Raised Bed Patio selama penjemuran
berlangsung. Pengeringan ceri kopi ini berlangsung +14 hari. Variable metode fermentasi
anaerobic dilakukan penjemuran setelah proses fermentasi berlangsung selama 48 jam.
Untuk variable metode Semi-kering dilakukan penjemuran terlebih dahulu selama 4 – 5 hari
kemudian dilakukan proses pulper (pemecahan kulit luar) kemudian dilakukan penjemuran
kembali.
7. Setelah proses penjemuran selesai, dilakukan proses pemecahan kulit luar atau hulling.
Proses hulling dilakukan untuk memisahkan parkemen pada ceri kopi menjadi biji kopi
kering atau green bean (biji hijau).
8. Setelah ceri kopi menjadi biji hijau dilakukan penyimpanan pada hermetic seal atau
plastik kedap udara untuk proses resting selama + 1 bulan.
1. Biji kopi kering hasil proses pengolahan yang sudah di resting dilakukan pensortiran dari
cacat pada kopi atau defect. Tujuan pensortiran biji cacat ini untuk meminimalisir kopi
setelah di masak (roasting) mengalami gangguan aroma dan sensori. Pensortiran ini
dilakukan sesuai standar SCA serta SNI sehingga mentaati prosedur mutu yang ada.
2. Setelah proses pesortiran biji kopi, dilakukan tahap pemasakan menggunakan mesin
roasting. Persiapan pemasakan dilakukan pemanasan pada mesin roasting selama + 30
menit.
29
3. Setelah mesin roasting siap digunakan, dilakukan proses pemasakan dengan indikator
matang atau level roast pada biji kopi medium.
1. Biji kopi matang ditimbang sebanyak 8,5 g menggunakan scale (timbangan digital).
2. Biji kopi digiling menggunakan electrical grinder dengan ukuran gilingan kasar.
3. Biji kopi yang sudah digiling di letakkan pada cup bowl atau wadah cupping dan dilakukan
analisa aroma atau dry fragrance.
4. Setelah dilakukan analisa aroma, kopi diseduh menggunakan air yang sudah disiapkan
dan dipanaskan hingga suhu 93oC, kemudian diseduh pada cup bowl sebanyak 150 ml dan
ditunggu selama 4 menit.
6. Setelah 4 menit, dilakukan pemisahan ampas kopi yang mengapung di permukaan cup
bowl menggunakan sendok.
Kopi yang telah melalui proses akan dilakukan penilaian guna mendapatkan
informasi terkait data yang meliputi karakteristik sensori yang penting pada kopi dengan
cara cupping test, sehingga dapat memberikan informasi mengenai karakteristik tersebut.
Cupping test merupakan cara pengujian untuk mengetahui karakteristik sensori kopi
menggunakan alat bantu panca indra manusia dengan tahap pelaksanaan dan tata cara
penilaian mengacu pada standard Cupping Protocol dari SCA (Specialty Coffee
Association) / SCAI (Specialty Coffee Association of Indonesia).
30
citarasa dengan memberikan penilaian dan pendapat terhadap indikator rasa kopi meliputi
flavor, aftertaste, acidity, bitterness, sweetness, balance, clean up, uniform cup, overall dan
defect citarasa (jika ada), serta body (tebal rasa kopi), notes dan skor keseluruhan
(Sulistyowati , setyobudi 2011). Pada penelitian ini panelis ahli akan memberikan skor
keseluruhan terhadap karakteristik sensori kopi yang meliputi beberapa aspek yang sesuai
standart cupping test dari SCA. Keterangan skor dalam parameter metode pengujian
citarasa terbagi menjadi 4 kategori yaitu Good 6,00 –6,75, Very Good 7,00 – 7,75, Excellent
8,00 – 8, 75, Outstanding 9,00 – 9,75.
31
3.6 Diagram Alir
Ceri Kopi
Sortasi
Pencucian
Perambangan
Dalam Dalam
Pulping Hermetic Drum
Plastic Plastik
48 Jam
Pengeringan
Kadar Air
Hingga < 15%
Hulling
Green Beans
32
3.6.2 Proses Roasting Biji Kopi
Green Beans
500 Gr
Sortasi
Resting
Analisis citarasa:
Biji Kopi
Cupping Test
Sangrai
33
3.6.3 Proses Uji Citarasa Kopi
Biji Kopi
Sangrai
Ditimbang 10 gr
Digiling
Bubuk Kopi
Seduhan Kopi
Atribut Sensori
Didiamkan
selama 3 menit • Fragrance
• Aroma
• Aftertaste
Data Analisis • Acidity
Sensori • Body
• Balance
• Uniformity
• Clean Cup
• Sweetness
• Overall
34
DAFTAR PUSTAKA
Ali Mohammed, B.T., 2014. Impact of Sun Drying Methods and Layer Thickness on the
Quality of Highland Arabica Coffee Varieties at Limmu, Southwestern Ethiopia. J.
Hortic. 01. https://doi.org/10.4172/2376-0354.1000117
Behailu, W.S., Abrar, S., Nigusie, M., and Solomon, E., 2008. A Review of Coffee
Processing and Quality Reaserch in Ethiopia. In: Girma A., Bayeta B., And Tesfaye
S.(ed). Coffee Divers. Knowledge.Ethiopian. Inst. Agric. Reaserch. 307–316.
BPSKabMalang, 2021. Kecamatan Ampelgading Dalam Angka 2021, in: Badan Pusat
Statistik Kabupaten Malang.
Castanheira, D.T., 2020. Coffee: Production and Research, Coffee: Production and
Research.
Ching Lik Hii, F.B., 2019. Drying and Roasting of Cocoa and Coffee.
Diskominfo, 2020. Kabupaten Malang Satu Data, in: Dinas Komunikasi Dan Informatika
Kabupaten Malang.
FAO, 2006. Introduction to Coffee Drying. Good Hyg. Pract. along ocffee Chain 1–20.
Firdaus, M.A., 2018. Mutu dan citarasa kopi arabika (coffea arabica l.) Terfermentasi
secara metode basah dengan penambahan α-Amilase.
Hameed, A., Hussain, S.A., Ijaz, M.U., Ullah, S., Pasha, I., Suleria, H.A.R., 2018. Farm to
Consumer: Factors Affecting the Organoleptic Characteristics of Coffee. II:
Postharvest Processing Factors. Compr. Rev. Food Sci. Food Saf. 17, 1184–1237.
https://doi.org/10.1111/1541-4337.12365
Henrique, J., Taveira, D.S., Borém, F.M., Delyzette, S., Rosa, V.F. Da, Pedro, D., Giomo,
G.S., Isquierdo, E.P., Fortunato, V.A., 2015. Post-harvest effects on beverage quality
and physiological performance of coffee beans 10, 1457–1466.
https://doi.org/10.5897/AJAR2014.9263
Indrianthi, N., 2018. Analisis Pemasaran dan Nilai Tambah Kopi ( Coffea Arabica L ) (
Studi Kasus : Perkebunan Rakyat di Kecamatan Parbuluan , Kabupaten Dairi ).
Itsar, A.Z.., 2021. Pengaruh Tingkat Pencahayaan Dan Lama Waktu Fermentasi Anaerob
Terhadap Karakteristik Mutu Rasa Kopi Arabika (Coffea arabica L.) Cibeber
Mekarwangi, Jawa Barat.
Lee, L.W., Cheong, M.W., Curran, P., Yu, B., Liu, S.Q., 2015. Coffee fermentation and
flavor - An intricate and delicate relationship. Food Chem. 185, 182–191.
https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2015.03.124
Nabillah, R., 2021. Analisis Nilai Tambah Kopi Arabika Semi Wash, Full Wash, Natural
Process, dan Honey Process di Desa Aek Sabaon, Kecamatan Marancar,
Kabupaten Tapanuli Selatan (Studi Kasus: Usaha Tyyana Coffee). Angew. Chemie
Int. Ed. 6(11), 951–952. 2013–2015.
Poerwanty, H., 2018. Fermentasi Teknologi OHMIC Parchement Coffee Beans (Kopi HS
Basah) Terhadap Aroma. Univ. Hasanuddin.
35
Poltronieri, P., Rossi, F., 2016. Challenges in Specialty Coffee Processing and Quality
Assurance. Challenges. https://doi.org/10.3390/challe7020019
Selmar, D., Bytof, G., Knopp, S.E., Breitenstein, B., 2006. Germination of coffee seeds
and its significance for coffee quality. Plant Biol. 8, 260–264.
https://doi.org/10.1055/s-2006-923845
Wamuyu, K.A., Richard, K., Beatrice, M., Cecilia, K., 2017. Effect of Different
Fermentation Methods on Physicochemical Composition and Sensory Quality of
Coffee (Coffea arabica). IOSR J. Environ. Sci. Toxicol. Food Technol. 11, 31–36.
https://doi.org/10.9790/2402-1106023136
36
37