Anda di halaman 1dari 10

ZONASI DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN PEMODELAN

RUN-UP TSUNAMI DI KECAMATAN PANJANG KOTA BANDARLAMPUNG.


Latar Belakang
Indonesia merupakan kota pesisir yang berpotensi terhadap bencana tsunami. Selain itu
Indonesia juga negara yang memiliki luas wilayah pesisir terpanjang kedua setelah Kanada
(Kunci et al., n.d.). Sebagian besar wilayahnya adalah laut dengan panjang garis pantai
95.161 km, terdiri atas 3,2 juta km2 perairan territorial dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi
Eksklusif. Hal ini diperkuat melalui konvensi hukum laut PBB ke tiga yaitu United Nation
Convention on the Law of the Sea 1982, kemudian di lakukannya pengesahan oleh Negara
Indonesia dengan Undang Undang No. 17 Tahun 1985. (Mukhamad Fredy Arianto, 2020; Novia
Sari & Prastowo, n.d.)

INDONESIA
Tahun
Banjir Tanah Longsor Gempa Bumi Tsunami
2014 16 830 7 861 8 827 16
2018 19 675 10 246 10 115 12
2021 15 366 6 664 8 726 11
Tabel 1.1 Bencana Alam di Indonesia Dalam 3 Tahun Terakhir
Sumber: Badan Pusat Statistik

Dari tabel yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik dapat disimpulkan bahwa tren
bencana di Indonesia pada ketiga tahun itu mengalami banyak terjadi bencana alam yang
diakibatkan oleh aktivitas manusia maupun dari alam itu sendiri. Bencana yang sering terjadi
banjir pada tahun 2018, tanah longsor tahun 2018, gempa bumi tahun 2018, sedangkan
bencana tsunami pada tahun 2014. (Badan Pusat Statistik)
Wilayah pesisir di Indonesia merupakan wilayah yang berpotensi tinggi terhadap bencana
tsunami. Hal ini dibuktikan melalui BMKG tentang Katalog Tsunami Indonesia dari tahun
416 – 2018 bahwa sebesar 46% dari total wilayah pesisir Indonesia adalah wilayah rawan
tsunami. Data statistic mencatat bahwa 90% kejadian bencana tsunami diawali dengan gempa
tektonik dan sisanya dipicu oleh kegiatan aktivitas non tektonik (Sadly & Indonesia. Kedeputian
Bidang Geofisika, n.d.). Wilayah pesisir merupakan wilayah yang berpotensi tinggi mengalami
bencana alam seperti tanah longsor, gempa bumi, dan tsunami. Pemerintah telah membuat
kebijakan tentang bagaimana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau - pulau kecil yang
tercantum pada Undang – Undang no. 24 Tahun 2007 sebagai pedoman dalam proses
perencanaan, pemanffaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau –
pulau kecil antarsektor, pemerintah dengan pemerintah daerah, ekosistem darat dan laut, dan
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan
masyarakat wilayah pesisir terhadap bencana pesisir (UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 2007, n.d.)

Aktivitas penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan (deforestasi)
merupakan rangkaian aktivitas yang dapat memicu perubahan iklim yang disebabkan oleh
meningkatnya gas seperti carbon dioxide (CO2), methane (CH4), nitrous dioxide (N2O),
chloro-fluorocarbons (CFCs), dan volatile organic compunds (VOCs). Aktivitas tersebut
dapat memenguhi wilayah pesisir berupa kenaikan permukaan air laut, perubahan suhu
permukaan air laut, peningkatan frekuensi dan intensitas terjadinya iklim ekstrim serta
perubahan keasaman air laut.(Studi et al., n.d.)
Kota Bandarlampung merupakan salah satu kawasan pesisir yang berpotensi terdampak
bencana tsunami. Salah satunya peristiwa letusan gunung anak Krakatau pada tahun 2018
sebagai ancaman wilayah pesisir di Kota Bandar Lampung (Fauzi et al., 2014). Zona
subduksi lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, Sesar Semangko, dan gunung Anak
Krakatau menjadi alasan kuat bahwa secara geologi Kota Bandarlampung ada kota yang
rawan terhadap bencana tsunami (Dewi et al., 2014). Berdasarkan Data dan Bencana
Indonesia atau yang dikenal dengan DIBI terdapat delapan jenis potensi bahaya yang terjadi
di Kota Bandarlampung salah satunya bencana tsunami. (Bidang Pencegahan Dan
Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2016). Kota Bandarlampung
mempunyai empat kecamatan yang berpotensi tinggi dalam bencana tsunami melalui
penghitungan indeks bahaya tsunami dengan parameter ketinggian maksimum tsunami,
kemiringan lereng, dan kekasaran permukaan. Empat kecamatan tersebut dapat dilihat dari
tabel sebagai berikut.
Tabel 1.2 Potensi Luas Bahaya Tsunami di Kota Bandar Lampung Tahun 2015
Bahaya
No Kecamatan
Luas (Ha Kelas
1 Teluk Betung Timur 34 Tinggi
2 Teluk Betung Selatan 27 Tinggi
3 Bumi Waras 33 Tinggi
4 Panjang 79 Tinggi
Kota Bandarlampung 171 Tinggi
Sumber : Kajian Resiko Bencana (KRB) Kota Bandar Lampung 2016 - 2020

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa Kota Bandar Lampung mempunyai
empat kecamatan yang berpotensi tinggi dalam bencana tsunami, salah satunya Kecamatan
Panjang.
Kecamatan Panjang merupakan kecamatan di Kota Bandar Lampung yang
mempunyai salah satu pelabuhan Indonesia yang bertaraf internasional yaitu Pelabuhan
Panjang (Adam et al., 2301; Rachmadi, 2016). Pelabuhan ini memiliki peran sebagai
pelabuhan dan memiliki fungsi untuk menunjang kegiatan ekspor – impor didalam maupun
luar negeri (RTRW 2009 - 2029, n.d.). Dalam pengoperasiannya, Pelabuhan Panjang mempunyai
Jalur KA Pidada yang telah dibuka kembali guna mendukung transportasi yang tepat dalam
kegiatan ekspor – impor (Aldino et al., 2014).
Berdasarkan uraian tersebut Kecamatan Panjang merupakan wilayah pesisir dan memiliki
tingkat kerawanan tinggi terhadap tsunami. Dengan wilayah yang mempunyai pelabuhan dan
stasiun Pidada yang dimana sebagai kegiatan ekspor – impor, diperlukannya penelitian
mengenai tingkat kerawanan zonasi melalui pemodelan run up di Kecamatan Panjang,
sehingga penelitian ini penting sebagai masukan dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah
daerah serta upaya mitigasi bencana untuk meminimalisir potensi kerugian fisik maupun jiwa
akibat banjir tsunami di Kota Bandalampung.
A. Rumusan Masalah
Dari latarbelakang tersebut dapat temukan bahwa wilayah pesisir di Indonesia
mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana alam seperti banjir, tanah longsor,
gempa bumi dan tsunami. Kota Bandarlampung adalah wilayah pesisir di Indonesia yang
berpotensi tinggi dalam bencana tsunami yang dapat mengakibatkan kerugian fisik maupun
jiwa masyarakat Kota Bandarlampung, sehingga diperlukannya upaya mitigasi bencana
tsunami untuk meminimalisir kehilangan asset atau nyawa.
Berdasarkan RTRW Kota Bandarlampung tahun 2011 – 2030, Kecamatan Panjang
diperuntukan sebagai wilayah pengembangan kawasan perumahan dan permukiman tinggi.
Sedangkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3k) Provinsi
Lampung tahun 2018 – 2038 Kecamatan Panjang merupakan kecamatan yang mempunyai
pelabuhan panjang sebagai pelabuhan utama dalam penunjang kegiatan ekspor – impor dan
dalam pengoperasiannya dibantu dengan Jalur KA Pidada.
Pemodelan run up tsunami dapat mengilustrasikan tingkat pada zonasi suatu wilayah
yang terdampak pada bencana tsunami. Dengan adanya pemodelan dapat membantu untuk
memahami, mendeskripsikan, atau memprediksi bagaimana suatu peristiwa berjalan di dunia
nyata
Berdasarkan rumusan masalah tersebut peneliti merumuskan pertanyaan “Bagaimana
bentuk zonasi daerah rawan bencana tsunami di Kecamatan Panjang menggunakan
pemodelan run up tsunami?”
Dengan pertanyaan tersebut, dibutuhkan kajian analisis lebih lanjut untuk mengetahui
zonasi daerah rawan bencana tsunami di Kecamatan Panjang sebagai upaya mitigasi bencana
tsunami dan acuan dalam pemerintah untuk membuat kebijakan penataan ruang pesisir di
Kota Bandarlampung.

B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian terkait maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
penelitian ini adalah “Mengidentifikasi zonasi daerah rawan bencana yang terdampak
tsunami dengan menggunakan pemodelan Run Up di Pesisir Kota Bandar Lampung,
khususnya di Kecamatan Panjang”

C. Sasaran
1. Membuat pemodelan run up tsunami berdasarkan aspek Morfologi, Tata Guna
Lahan dan Kelerengan
2. Mengidentifikasi luasan inundasi akibat dari terjangan tsunami yang didapatkan
dari hasil pemodelan run up
3. Membuat peta zonasi kerawanan tsunami di Kecamatan Panjang

D. Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk memberikan manfaat secara akademis dan
praktis sebagai berikut:
a. Manfaat Akademis
Manfaat akademis penelitian ini yaitu dapat memperkaya pengetahuan secara
teori terkait pengembangan ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota pada mata
kuliah aspek kebencanaan dalam perencanaan, perencanaan kawasan pesisir,
dan mata kuliah lainnya.

b. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis dari penelitian ini adalah dapat memberikan masukan dan
rujukan dalam perencanaan pembangunan yang akan datang dengan
mempertimbangkan mitigasi bencana melalui pemodelan run up untuk
meminimalisir dampak yang diakibatkan bencana tsunami di Kecamatan
Panjang, Kota Bandarlampung.

E. Keaslian Penelitian
Skripsi yang dikerjakan ini merupakan hasil karya dari peneliti sendiri bukan plagiat
dari penelitian – penlitian terdahulu. Adapun judul yang mirip dengan skripsi ini
seperti beberapa peneliti terdahulu sebagai tolak ukur peneliti untuk menganalisis
penelitian zonasi wilayah rawan tsunami di Kecamatan Panjang Kota Bandar
Lampung.

F. peneliti terdahulu
1. Febrina dkk (2021) melakukan penelitian untuk mengkaji kawasan yang
tergenang tsunami di pesisir barat Provinsi Lampung menggunakan simulasi run-
up tsunami berbasi analisis geospasial. Parameter yang digunakan dalam penilaian
adalah penerapan elevasi dan kemiringan yang dihitung dari Aster GDEM, jarak
garis pantai yang ditentukan dari peta vector dan genangan tsunami untuk
memperoleh persamaan Hiils and Mader dan kerapatan vegetasi yang dihitung
dari citra ALOS ANVIR-2. Overlay melalui analisis spasial di GIS digunakan
untuk menggambarkan peta akhir kerentanan tsunami.
2. Subardjo dkk (2016) melakukan penelitian berupa uji kerawanan tsunami di
Pesisir Kecamatan Kretek dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis
(SIG). Dalam penelitian ini menggunakan metode ekstraksi data spasial dari citra
satelit, peta rupabumi, DEM. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kerawanan tsunami adalah ketinggian daratan, jarak dari garis pantai,
keterlindungan daratan, jarak pantai dari sumber gempa, morfologi garis pantai,
kelerengan topografi, jarak dari sungai dan keberadaan pulau penghalang.
3. Fadhil (2018) melakukan penelitian pemodelan run-up tsunami di Kota Cilacap.
Penelitian ini menganalisa model run-up dan genangan untuk memprediksi
wilayah Kota Cilacap yang terdampak akibat bencana tsunami. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah batimetri, topografi Kota Cilacap, dan data
tinggi serta kecepatan gelombang tsunami. Data diolah dengan menggunakan data
surface model (DSM) dan data terrain model (DTM). Hasil yang didapatkan dari
DSM adalah genangan mencapai jarak 1,92 Km dengan tinggi maksimal
genangan 3,3 m. Sedangkan hasil dari DTM adalah genangan mencapai jarak 3,52
Km dengan tinggi maksimal genangan 5,3 m. Waktu gelombang hingga
menghasilkan genangan dari pusat patahan menuju pantai adalah 45 menit 40
detik.
4. Hamidillah (2013) melakukan penelitian untuk pembuatan peta zona rawan
bencana tsunami pada daerah pesisir. Penelitian ini mengkaji Langkah mitigasi
bencana dalam bentuk peta yang menginformasikan area yang terkena tsunami
berdasarkan zona-zona ketinggian gelombang tsunami (dalam hal ini ketinggian
gelombang tsunami adalah 5m, 15m, 25m, dan 40m). Parameter yang digunakan
dalam pembuatan peta adalah run up tsunami dan elevasi daratan. Pembuatan peta
resiko tsunami melalui tiga pendekata, yaitu pertama menggunakan data historis
genangan dan run up tsunami yang pernah ada, kedua menggunakan simulasi
pemodelan matematik untuk pembangkitan, penjalaran, run up, dan inundasi
tsunami, dan ketiga menggunakan asumsi gelombang tsunami yang mencapai
pantai mempunyai ketinggian yang sama diukur dari permukaan laut.
5. Dewi dkk (2014) penelitian ini dilakukan analisis pembuatan peta zona rawan
tsunami pada daerah pesisir Kota Bandar Lampung sebagai arahan
penanggulangan terjadinya bencana tsunami. Penelitian ini menggunakan data
dasar peta citra yang kemudian menghasilkan daerah mana saja yang termasuk
dalam zona rawan tsunami serta jalur evakuasi sehingga dapat digunakan sebagai
bentuk peringatan dini. Peta zonasi rawan bencana tsunami dapat dilihat pada
tinggi gelombang tsunami mencapai 5m daerah yang terkena dampaknya terletak
sekitar 154m dari garis pantai, pada tinggi gelombang tsunami mencapai 15m
daerah yang terkena dampaknya sekitar 488m dari garis pantai, pada tinggi
gelombang tsunami mencapai 25m daerah yang terkena dampaknya sekitar 843m
dari garis pantai, dan pada tinggi gelombang tsunami mencapai 40m daerah yang
terkena dampaknya sekitar 955m dari garis pantai. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pengadaan data citra, data digital, dan peta analog. Parameter
dari penelitian ini adalah data run up tsunami di Kota Bandar Lampung dan
elevasi daratan
TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara laut dan darat yang bagian lautnya
dipengaruhi oleh aktivitas daratan dan bagian daratannya dipengaruhi oleh aktivitas lautan.
Beberapa contoh aktivitas daratan adalah sedimentasi dan aliran air tawar sedangkan aktivitas
lautan adalah perembesan air asin, pasang surut, dan angin laut (Ketchum, 1972). GESAMP
(2001) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai wilayah daratan dan perairan yang
dipengaruhi oleh proses biologis dan fisik dari perairan laut maupun dari daratan, dan
didefinisikan secara luas untuk kepentingan pengelolaan sumber daya alam. Sehingga
deliniasi wilayah pesisir ini dapat berbeda tergantung dari aspek administratif, ekologis, dan
perencanaan.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 2014, pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah 30 dan
Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan
dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Setiap pengelolaan wilayah pesisir
diperlukan perencanaan yang matang dalam mengalokasikan sumberdaya alam, serta pada
tahap perencanaan diperlukan koordinasi dan kerjasama yang baik dari sektor- sektor terkait
baik pemerintah maupun masyarakat lokal (Supriharyono, 2000). Menurut Abelshausen et al.,
(2015), menyebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan telah mengalami
pergeseran dari pendekatan yang bersifat top-down menjadi bottom-up. Dalam masyarakat
tradisional kombinasi pendekatan keduanya dianggap lebih diinginkan karena merupakan
gambaran pendekatan partisipatif yang memungkinkan untuk berbagi pengetahuan secara
langsung. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 14/MEN/2009 tentang Mitra
Bahari mengatur bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan suatu
proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil dengan beberapa sektor. Sektor yang dimaksud adalah pemerintah pusat,
pemerintah daerah, ekosistem darat, ekosistem laut, serta ilmu pengetahuan dan manajemen
dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pengelolaan wilayah pesisir
dilakukan dengan konsep keterpaduan (Intregrated Coastal Managemet Zone-ICMZ) dan
berkesinambungan. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dimaksud untuk dapat
mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai perencanaan pembangunan yang dilakukan di
wilayah pesisir(Yuwono, 1998). Menurut Abelshausen et al. (2015), menyebutkan bahwa
ICZM didefinisikan sebagai proses yang dinamis untuk pengelolaan dan pemanfaatan
wilayah pesisir yang memiliki karakteristik khas dengan sumberdaya untuk generasi sekarang
dan masa depan. SelanjutnyaBengen (2010), menyebutkan bahwa wilayah pesisir merupakan
tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dimasa mendatang, oleh
sebab itu maka pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir dan laut hendaknya
merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam
perencanaan pembangunan pada suatu system ekologi pesisir yang berimplikasi pada
pemanfaatan sumberdaya alam perlu diperhatikan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk
mengurangi akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan secara
menyeluruh.
Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Zonasi RZWP3K atau Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil merupakan suatu perencanaan yang digunakan urah
penggunaan sumberdaya yang disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang di suatu
kawasan perencanaan. RZWP3K memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh
dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Sedangkan
alokasi ruang berarti distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah dan rencana alokasi
ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi rencana pembentukan ruang untuk
fungsi konservasi, fungsi kawasan strategis nasional, fungsi pemanfaatan umum dan fungsi
air laut. Berdasarkan UU No 27/2007 Jo UU No 1 tahun 2014, serta PP No 32/2019,
pemerintah daerah (provinsi) diwajibkan menyusun rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil (RZWP3K). Menurut PP No 32 Tahun 2019 tentang Tata Ruang Laur, alokasi
rang dalam RZWP3K adalah sebagai berikut: 1) Sebagai instrumen penataan ruang di
perairan laut wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil; 2) Acuan dalam pemanfaatan ruang di
perairan laut wilayah pesisir, dan pulau-pulau keciluntukberbagaikegiatansosial, budaya
danekonomimasyarakat serta kegiatanpelestarianlingkungan di WP-3-K; 3)
Alokasiruanguntukberbagaikegiatanterkaitdengank edaulatan negara,
pengendalianlingkunganhidup, dan/atausituswarisandunia yang
pengembangannyadiprioritaskanbagikepentinganna sional; 4) Acuan untuk mewujudkan
keseimbangan dan keserasian pembangunan di WP3K; 5) Sebagai dasar atau acuan dalam
pemberian perizinanlokasi kegiatandi perairan laut wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 6)
Acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan
RPWP-3-K; 7) Menjamin kekuatan hukum ruang perairan laut wilayah pesisir, dan pulau-
pulau kecil; 8) Acuan dalam rujukan konflik di perairan laut wilayah pesisir, dan pulau-pulau
kecil; 9) Acuan lokasi investasi di perairan laut wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil; 10)
Acuan dalam administrasi pemanfaatan di perairan laut wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil
Bentang Lahan
Bencana alam adalah peristiwa fenomena alam yang dapat mengancam siapapun,
kapanpun, dan dimanapun berada yang disebabkan oleh faktor alam, non alam, atau manusia
sehingga menyebabkan beberapa kerusakan lingkungan, kerugian asset berharga, adanya
korban jiwa, dan dampak psikis trauma pada momen tersebut. Adanya perubahan iklim yang
terjadi saat ini membuat bencana terjadi lebih kompleks dibandingkan pada masa lalu. Kota
Bandar Lampung yang dilewati oleh ring of fire memiliki potensi besar dalam bencana alam
gempa bumi dan tsunami. (ARDHANSYAH, 2020; Geografi et al., 2020; RIZKY
ARDIANSYAH, 2020)

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,
hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan
masyarakat.

Manajemen bencana Menurut Warfield (tanpa tahun), manajemen bencana mempunyai


tujuan: (1) mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana, (2) menjamin
terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban bencana, dan (3) mencapai
pemulihan yang cepat dan efektif. Dengan demikian, siklus manajemen bencana memberikan
gambaran bagaimana rencana dibuat untuk mengurangi atau mencegah kerugian karena
bencana, bagaimana reaksi dilakukan selama dan segera setelah bencana berlangsung, dan
bagaimana langkahlangkah diambil untuk pemulihan setelah bencana terjadi. Secara garis
besar terdapat empat fase manajemen bencana, yaitu: 1) Fase Mitigasi: upaya memperkecil
dampak negatif bencana. Contoh: zonasi dan pengaturan bangunan (building codes), analisis
kerentanan; pembelajaran publik. 2) Fase Preparadness: merencanakan bagaimana
menanggapi bencana. Contoh: merencanakan kesiagaan; latihan keadaan darurat, sistem
peringatan. 3) Fase Respon: upaya memperkecil kerusakan yang disebabkan oleh bencana.
Contoh: pencarian dan pertolongan; tindakan darurat. 4) Fase Recovery: mengembalikan
masyarakat ke kondisi normal. Contoh: perumahan sementara, bantuan keuangan; perawatan
kesehatan. Ke-empat fase manajemen bencana tersebut tidak harus selalu ada, atau tidak
terjadi secara terpisah, atau tidak harus dilaksanakan dengan urutan seperti tersebut di atas.
Fase-fase sering saling overlap dan lama berlangsungnya setiap fase tergantung pada
kehebatan atau besarnya kerusakan yang disebabkan oleh bencana itu. Dengan demikian,
berkaitan dengan penentuan tindakan di dalam setiap fase itu, kita perlu memahami
karakteristik dari setiap bencana yang mungkin terjadi. Sebagai suatu proses alam, bahaya
atau bencana geologi tidak datang begitu saja tanpa sebab atau kondisi yang memungkinkan
bahaya atau bencana itu terjadi. Oleh karena itu, kahadiran bahaya atau bencana geologi tentu
berkaitan erat dengan keberadaan materi atau kehadiran kondisi yang memungkinkan bahaya
atau bencana itu terjadi. Dengan kata lain, potensi bahaya atau bencana geologi dapat dibaca
atau dapat diketahui dari kondisi lingkungan setempat, dan fase mitigasi bencana telah
dimulai sejak kehadiran ancaman bahaya geologi itu diketahui.

Tsunami adalah salah satu bencana alam yang terjadi karena adanya gelombang laut
yang besar disebabkan oleh pergeseran lempeng, tanah longsor, letusan gunung api di dasar
laut, dan jatuhnya meteor sehingga menimbulkan pergerakan air laut dengan kecepatan yang
sangat tinggi dan dapat mencapai daratan dengan ketinggian gelombang hingga 30 meter.
Tsunami berasal dari Bahasa Jepang yaitu Tsu dan Nami, Tsu yang berarti Pelabuhan dan
Nami yang berarti gelombang. Bencana ini dapat menimbulkan banyak korban jiwa dan
kerusakan pada infrastruktur yang signifikkan. Adapun syarat terjadinya bencana tsunami
adalah adanya gempa bumi dengan skala magnitudo lebih dari 6 Skala Ritcher (SR) yang
berada pada kedalaman kurang dari 60 km, dan jenis pada sesar gempa adalah sesar naik
maupun sesar turun. (Dwi Lusi Nurdiawati, 2022; Hidayatullah et al., 2015). Terdapat 3
penyebab utama terjadinya gelombang tsunami di Indonesia (Taro disini BNPB 2012) yaitu :
1. Aktifitas gempa tektonik
2. Aktifitas vulkanik
3. Longsor bawah laut

Pemodelan Run Up untuk menentukan zonasi wilayah bahaya tsunami sangat penting
karena dapat mengetahui informasi – informasi detail terkait zonasi wilayah yang rentan
terhadap dampak dari bencana tsunami. Pemodelan spasial adalah salah satu cara untuk
mempresentasikan dunia nyata yang di pindahkan ke dalam bentuk peta untuk memberikan
gambaran ilustrasi sebaran wilayah yang rusak akibat bencana sehingga dapat mempelajari
objek untuk menyelesaikan masalah dengan analisis – analisis yang dilakukan untuk
mengurangi dampak dari bencana tsunami. Dengan adanya pemodelan dapat membantu
untuk memahami, mendeskripsikan, atau memprediksi bagaimana suatu peristiwa berjalan di
dunia nyata. (Busrah et al., 2021; Febrina et al., 2021).
Inundasi pada tsunami adalah jarak gelombang yang dihasilkan tsunami dari bibir pantai
ke daratan. Sehingga dibutuhkan pemodelan spasial untuk menggambarkan jangkauan
inundasi atau luas daerah dari tsunami untuk mendelineasi daerah aman dari bahaya tsunami.
Dengan hal itu pemerintah dapat mempersiapkan infrastruktur mitigasi dan kapasitas
masyarakat agar dampak yang ditimbulkan tsunami dapat diminimalisir.
Tata guna lahan adalah

Digital Elevation Model (DEM). Model ini merupakan visualisasi topografi atau
menggambarkan ketinggian muka tanah yang dibangun berdasarkan hasil interpolasi
deterministik. Data ini berisi tentang informasi koordinat posisi dan elevasi pada setiap
pikselnya.
Metode Cost Distance
Ketchum, 1972. GESAMP 2001. Reports and Studies. A Sea of Trouble. Coordination Office ogthe
Global Programme of Action for The Protection of The Marine Environment from Land and Based
Activities (UNEP). The Hague Division of Environmental Convention (UNEP)- Nairobi

Ketchum, 1972 dalam Kay dan Alder, 1999. Coastal planning and management by R. Kay and J. Alder,
1999. Spon, xxi+375 pp.

https://www.bps.go.id/indicator/168/954/2/banyaknya-desa-kelurahan-menurut-jenis-
bencana-alam-dalam-tiga-tahun-terakhir.html
Warfield, C., tanpa tahun, The Disaster Management Cycle. [http://www.grdc.org/uem/disaster/1-
dm_cycle.html]. Akses: 22 Januari 2008.

Anda mungkin juga menyukai