Anda di halaman 1dari 5

Nama : Neofan Nabilah Yusuf

No 17
Kelas : XII MIPA 2
BAB : Teks Cerita Sejarah

ROMANSA KOMPENI DAN GUNDIKNYA


Theodorus Poland adalah anak seorang saudagar makanan yang hidup sangat
sederhana. Ayahnya bernama Jan Poland yang menikah dengan seorang wanita yang
bernama Johanna van den Berg. Keduanya murni berkebangsaan Belanda. Theodorus
Poland, seorang bayi mungil yang lahir di Alkamaar, Belanda pada 20 Januari 1795.
Ia adalah seorang anak tunggal dari pasangan suami istri tersebut. Theodurus kecil
tumbuh besar di sebuah desa kecil di pinggir Kota Alkamaar tempat dia lahir. Tak
lama setelah Theodorus lahir, sang ayah pun meninggal, namun sang ibu tidak
menikah lagi. Ibunya pun tidak terlalu memeperhatikan dirinya. Ia pun harus
mencukupi dirinya sendiri dengan berdagang. Namun Theodorus tidak memiliki minat
ataupun bakat dalam hal berdagang, hingga akhirnya Theodorus lebih memilih untuk
terjun di dunia militer sekalipun itu akan membahayakan nyawanya.

Theodorus hidup pada masa kekaisaran Perancis masih menguasai benua biru
yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte. Theodorus tumbuh menjadi remaja yang
mandiri, dan harus menempuh jalan hidupnya sendiri, Ia didewasakan oleh keadaan.
Karir militer seorang Theodorus diawali dengan menjadi bagian dari Angkatan Laut
Perancis pada tahun 1810-1814, karir militer Theodorus berjalan singkat di Perancis
karena mulai melemahnya dominasi Prancis di Eropa hingga pada akhirnya Theodorus
memilih untuk bergabung ke Belanda. 3 Juli 1814 Theodorus harus merintis karir
militernya dari bawah tanpa pangkat apapun, Ia berdinas sebagai sukarelawan di
Batalyon XV. Sejak saat itu Theodorus lebih akrab dengan pangilan Toontje.

Tahun 1815, Dorus melanjutkan karir milternya dan masuk ke satuan milier
yang akan ditugaskan ke Hindia Belanda dan tiba pada tanggal 12 Mei 1817. Pada
tahun 1818, Poland ikut serta dalam ekspedisi ke Cirebon (1818) dan kemudian ke
Banten dan Riau di bawah pimpinan Kapten Ferdinand P. Vermeulen Krieger, pada
akhirnya Theodorus berpangkat Letnan karena kegigihannya, setelah ekspedisi selesai
ia cukup lama menetap di Jawa. Karena hobinya menyanyi ia kerap disapa Toontje

Karena Toontje merasa kesepian Ia memutuskan untuk mencari cinta


sejatinya. Sebagai laki-laki Belanda yang jauh dari tanah kelahirannya, sulit bagi
Toontje untuk menemukan perempuan Eropa sebagai pendamping hidupnya. Tapi
Toontje pada akhirnya menemukan seorang perempuan Jawa yang setia
menemaninya kemanapun ia berada, bahkan sampai ke medan pertempuran,
perempuan itu ikut menemani Tuannya. Sebut saja perempuan itu „Gundik atau
Nyai‟, Toontje menyebut Nyai itu dengan nama Fien atau Tien.

Makna kata gundik adalah istri tidak resmi; selir atau perempuan piaraan (bini
gelap). Bahkan, gundik memiliki makna yang merujuk pada perempuan yang menjadi
objek pelampiasan seksual sebagai egoisme laki-laki. Sosok gundik ditempatkan
sebagai perempuan simpanan atau kekasih gelap. Bagi laki-laki yang memiliki gundik,
seorang gundik hanya menjadi objek pemuas nafsu yang bisa dikawini tanpa harus
dinikahi.

Pertemuan antara Toontje dan Fien terjadi ditengah keramaian pasar pada saat
malam minggu, Toontje melihat Fien sedang merapikan dagangannya ditengah
pancaran obor yang mulai redup ditiup dinginnya malam. Disinilah awal mula
romansa ini terjadi, mungkin saja semesta sengaja mempertemukan mereka agar
menjadi bukti bahwa seorang kompeni bisa saja jatuh hati terhadap pribumi. Toontje
terpana dengan kecantikan seorang pribumi yang menurut bangsa eropa adalah ras
budak atau ras paling rendah diantara lainnya, Toontje tanpa sebab berkeringat dan
jantungnya mulai berdebar kencang Ia memberanikan diri untuk menghampiri Fien

“Gadis Pribumi apa yang sedang engkau jual?”

“ Saya berjualan sayuran tuan, apakah tuan ingin membelinya.?” Fien dengan
wajah yang ramah dan senyum yang lebar menawarkan sayuran nya.

“Aku tak ingin membeli sayurmu pribumi, kedatanganku kesini untuk


menawarmu menjadi gundik ku.”

“Tuan yang terhormat saya tidak ingin menjadi gundik yang hanya dijadikan
boneka seks Bangsa Eropa.” Fien dengan wajah yang tak senang.

Tak sengaja Ibu dari Fien mendengarnya, Ibu Fien adalah orang yang gila uang
jadi Ia rela menjual apa saja demi mendapatkan uang karena kehidupan pada masa
penjajahan amat sangat susah untuk mencukupi kebutuhan makan.

“Silahkan tuan ambil saja putri saya, dia dihargai sebesar 100 golden saja.”

“IBUUU!, aku tidak mau menjadi gundik bangsa penjajah.”

“Diam FIEN!, kau tidak boleh berteriak kepada calon Tuanmu.”

“Baik pribumi aku akan membeli anakmu dengan harga 120 golden.”
Akhirnya kesepakatanpun terjadi antara Toontje dan Ibu Fien. Kini Fien sudah
menjadi gundik kompeni Toontje, akhirnya Toontje mendapat apa yang Ia mau.

Setelah 1 minggu berjalan Fien terkejut karena sikap Toontje yang sangat
lemah lembut dan penyabar, Fien terheran heran karena biasanya Kompeni bersikap
sangat kasar. Akhirnya benih benih cinta pun mulai tumbuh di hati Fien, Fien selalu
melayani Toontje dengan penuh senyuman hangat, Ia rela bangun pagi saat sang
surya belum memancarkan sinarnya hanya untuk membuatkan sarapan Tuannya.
Tidak seperti prajurit lainnya, yang sesuka hati berganti wanita yang mereka
kehendaki, Toontje hanya setia pada satu wanita. Fien selalu menemani Toontje,
bahkan sewaktu ia masih berpangkat letnan dan ditugaskan di Sumatra Barat. Betapa
beruntungnya Toontje menemukan sosok wanita yang seperti itu. Bahkan Fien siap
bertaruh nyawa dengan Toontje dengan ikut masuk ke dalam medan perang, untuk
menemani Tuannya. Sebagai perempuan pribumi yang berpihak pada Belanda, Fien
menanggung resiko sebagai santapan pemberontak pribumi.

Fien adalah wanita yang cukup sabar dan pemberani Ia sanggup menunggu
berbulan bulan saat Toontje menjalankan tugasnya sebagai penjajah dan saat bertugas
di Jawa Fien seringkali ikut terjun ke medan perang untuk menemani Toontje. Fien
tidak ingin Toontje terluka, oleh karena itu Ia rela turun langsung ke medan perang
untuk Toontje. Rasa cinta telah membutakan Fien hingga Ia tidak sadar bahwa
sekarang dirinya sudah dilabeli pemberontak pribumi.

Pada tahun 1824, huru-hara di Celebes yang kini dinamakan Sulawesi,


membawanya ikut dalam ekspedisi ke Bone dipimpin oleh Jenderal Josephus Jacobus
van Geen. Poland ikut dalam sejumlah pertempuran sengit. Setelah itu, ia dikirim ke
Borneo di bawah pimpinan Mayor Sollewijn untuk mengendalikan permasalahan
dengan orang Tionghoa, tetapi sebelum hal tersebut teratasi, pecahlah Perang
Diponegoro di Jawa, sehingga pasukan yang baru tiba itu terpaksa ditarik kembali.

Selama Perang Diponegoro 1833 Theodorus mengambil andil yang besar. Saat
Perang Diponegoro ia berperang bersama sahabat seperjuangannya yang beranama.
Frans David Cochius. Meraka selalu bersama sejak mereka ditugaskan di Hindia
Belanda. Namun saat Perang Diponegoro mereka berdua harus menjalankan tugas
masing masing. Saat itu Pasukan Toontje sudah menjadi bulan bulanan keganasan
pribumi Mereka kewalahan, begitu pun dengan Toontje. Toontje terluka parah saat itu.
Melihat kondisi tuannya yang seperti itu, Fien bisa saja meninggalkan tuannya begitu
saja. Namun Sang Nyai memilih untuk menolongnya dan menemaninya.

“Fien, kenapa tidak kamu selamatkan dirimu sendiri, dibanding


menyelamatkan aku yang hanya akan mengancam nyawamu sendiri.”

“Apa yang kamu inginkan dariku?” tanya Toontje sambil merintih kesakitan.
“Beri aku pedang, dan aku akan tetap di sini,” jawab Fien dengan penuh
keyakinan. Kemudian pedang pun diberikan, dan ia genggam dengan kuat. Di lain
bahunya ia menggendong Tuannya yang terluka parah. Fien tidak ingin pergi jauh dari
tuannya, Toontje Poland. Mereka terus dikejar-kejar musuh, mereka membawanya
menembus garis musuh, sampai ke tempat yang aman. Ia membawanya menuju hutan
yang cukup jauh dari medan pertempuran, di sebuah gubuk kecil.

Padahal saat itu, Fien sedang dalam keadaan hamil. Usaha Fien yang
menyelamatkan tuannya bukan tidak mungkin membahayakan calon bayi keduanya
yang berda dalam kandungannya. Fien yang setia terlihat senantiasa berada disebelah
tuannya. Atas aksi dari Fien, tak heran bahwa kebanyakan perempuan perempuan
seperti Nyai atau Gundik merupakan sosok permepuan yang kuat, dan tidak jarang
dari meraka yang berahati lembut. Namun oleh tuan Belandanya, mereka gunakan
semena mena tanpa memikirkan hak para perempuan seperti Nyai.

Ketika, Theodorus masih belum kembali ke markas tempat mereka berlindung.


Tentu saja, sahabatnya Frans merasa khawatir, satu satunya orang yang ia miliki
belum juga kembali dari ganasnya medan perang. Kabarnya Dorus, masih tertinggal
di medan perang. Karena kekhawatirannya, Frans berniat untuk menjemput
sahabatnya. Namun hal tersebut dilarang keras oleh atasaannya. Mengingat bahwa
Frans sendiri adalah aset penting bagi pasukan. Lebih baik mengorbankan satu orang
dari pada mengorbankan lagi orang lain yang tidak bisa dipastikan keselamatannya.

Hari menjelang malam, namun tak ada satu pun tanda tanda kembalinya
Toontje. Perasaan dalam dirinya sudah mulai gelisah. Ia pun tidak bisa tinggal diam.
Di saat semuanya sedang beristirahat, diam diam ia keluar dari markas tempat ia
beristirahat. Dengan membawa senapannya, ia memberanikan diri keluar untuk
menyusul sahabatnya yang tertinggal. Di tengah terangnya rembulan, di bawah
bayangan rimbunnya dedaunan, ia menyusuri hutan seorang diri. Sedikit demi sedikit
ia berjalan, bersembunyi dari pribumi untuk menjemput sahabatnya. Sudah beberapa
jam hutan ia jajahi, namun belum ada tanda tanda keberadaan sabahatnya.

Setelah sekian lama ia menyusuri hutan, dari kejauhan ia melihat sebuah gubuk
kecil tempat menyimpan padi. Terlihat sebuah helm tempur yang tergantung
tergerletak dibawah gubuk. Sedikit diemi sedikit ia mendekati gubuk tersebut. Ia
menggenggam senapannya dengan sangat kuat. Setelah semakin dekat, ia
menodongkan senapannya kearah gubuk. Betapa terkejutnya dia melihat seorang pria
yang dibalut perban di perut dan pahanya yang telah diselimuti warna merah.
Didampingi seorang wanita yang memegang sebilah pedang di tangannya. Toontje
dalam keadaan yang mengenaskan dalam gubuk kecil itu.
“Toontje!!!” Frans berteriak sembari berbisik dalam sunyinya hutan.

“Bantuu..tolong bantu tuan,” dengan memelas wanita itu memohon


pertolongan.

“Tunggu sebentar, bertahanlah,”

Dengan sigap ia memotong dua batang bambu, dan dibuatnya sebuah tandu
sederhana dari tali dan bambu. Kemudian Frans dan wanita itu menggotong Toontje
menuju markas. Frans bersyukur sahabatnya masih selamat, meskipun ditemukan
dalam keadaan terluka parah.

Sebagai tuan dari Nyai Fien, Toontje bisa saja berlaku semaunya. Termasuk
mengusirnya jauh-jauh jika Toontje bosan padanya. Tapi, setelah kejadian di tahun
1833 itu, Toontje tak melupakan Fien. Dari rahim Nyai Fien, anak-anak Toonje
kemudian lahir. Tahun 1839 lahir Fifina Francina Poland dan pada 1846 lahir
Theodora Wilhelmina Poland.

Setelah perang selesai, mereka menetap di Bagelen, daerah Kota Purworejo


bersama Sang Nyai yang setia beserta kedua anaknya. Di usia Toontje yang semakin
bertambah, ia tidak lagi turun langsung ke medan pertempuran. Seperti pejabat militer
Belanda lainnya, Toontje hanya mengawasi pasukan pasukannya yang turun langsung
ke medan pertempuran. Dan juga karena pangkatnya yang sudah cukup tinggi pada
saat itu.

Anda mungkin juga menyukai