Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PROFESI NERS


DIABETES MELLITUS SELULITIS

Disusun oleh :
Tuti Alawiyah Oktaviana
5022031118

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS FALETEHAN
TAHUN 2022-2023
A. Definisi
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang kompleks yang mengakibatkan
gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan berkembang menjadi
komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neurologis. (Barbara C. Long).
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis yang menimbulkan gangguan
multi sistem dan mempunyai karakteristik hyperglikemia yang disebabkan
defisiensi insulin atau kerja insulin yang tidak adekuat. (Brunner dan Sudart).
Atau pula yang dikemukakan oleh (Suryono, 2002) bahwa diabetes mellitus
adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat peningkatan kadar
glukosa darah yang disebabkan oleh kekurangan insulin baik absolut maupun
relative.

B. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit DM berdasarkan modifikasi PERKENI 2006, yaitu :
1. Insulin Dependent Diabetes Melitus(IDDM)
Yaitu defisiensi insulin karena kerusakan sel-sel langerhans yang
berhubungan dengan tipe HLA (Human Leucocyte Antigen) spesifik,
predisposisi pada insulitis fenomena autoimun (cenderung ketosis dan
terjadi pada semua usia muda). Kelainan ini terjadi karena kelainan
kerusakan sistem imunitas (kekebalan tubuh) yang kemudian merusak sel-
sel pulau langerhans dipangkreas. Kelainan ini berdampak pada
penurunan produksi insulin. Dengan ciri-ciri klinik:
a. Awitan terjadi pada segala usia, tetapi biasanya usia muda (<30tahun)
b. Biasanya bertubuh kurus pada saat didiagnosis; dengan penurunan
berat yang baru sajaterjadi
c. Etiologi mencakup faktor genetik, imunologi atau lingkungan (misal :virus)
d. Sering memiliki antibodi sel pulau Langerhans
e. Sering memiliki antibodi terhadap insulin sekalipun belum pernah
mendapatkan terapi insulin.
f. Sedikit atau tidak mempunyai insulin endogen
g. Memerlukan insulin untuk mempertahankan kelangsungan hidup
h. Cenderung mengalami ketosis jika tidak memiliki insulin
i. Komplikasi akut hiperglikemia; ketoasidosis diabetic.
2. Non Insulin Dependent Diabetes Melitus(NIDDM)
Yaitu diabetes resisten, lebih sering pada dewasa, tapi dapat terjadi pada
semua umur. Kebanyakan penderita kelebihan berat badan, ada
kecendrungan familiar, mungkin perlu insulin pada saat hiperglikemik
selama stres. Dengan ciri-ciri klinik sebagai berikut :
a. Awitan terjadi di segala usia; biasanya diatas 30 tahun
b. Biasanya bertubuh gemuk (obese) pada saat di diagnosis
c. Etiologi mencakup faktor obesitas, herediter atau lingkungan
d. Tidak ada antibodi sel pulau Langerhans
e. Penurunan produksi insulin endogen atau peningkatan resistensi insulin
f. Mayoritas penderita obesitas dapat mengendalikan kadar
glukosa darahnya melalui penurunan beratbadan
g. Agens hipoglikemia oral dapat memperbaiki kadar glukosa darah bila
modifikasi diet dan latihan tidak berhasil
h. Mungkin memerlukan insulin dalam waktu yang pendek atau
panjang untuk mencegah hiperglikemia
i. Ketosis jarang terjadi, kecuali bila dalam keadaan stres atau menderita infeksi
j. Komplikasi akut : sindrom hiperosmolernonketotik.

C. Etiologi
Penyebab diabetes mellitus adalah kurangnya produksi dan ketersediaan
insulin dalam tubuh atau terjadinya gangguan fungsi insulin, yang sebenarnya
jumlahnya cukup. Kekurangan insulin disebabkan terjadinya kerusakan
sebagian kecil atau sebagian besar sel – sel beta pulau langerhans dalam
kelenjar pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin (Prapti Utami, 2008).
1. Diabetes Melitus Tipe 2 (diabetes yang tidak tergantung kepada
insulin/NIDDM) Jika dirunut lebih mendalam, ada beberapa faktor yang
menyebabkan diabetes mellitus, yaitu sebgai berikut:
a. Genetik atau Faktor Keturunan
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya diabetes tipe I.

Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki


tipe antigen HLA (human leucocyte antigen) tertentu. HLA merupakan
kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan
proses imun lainnya. Sembilan puluh lima persen pasien berkulit putih
(caucasian) dengan diabetes tipe I memperlihatkan tipe HLA yang
spesifik (DR3 atau DR4).
b. Virus danBakteri
Virus yang diduga menyebabkan diabetes mellitus adalah rubela,
mumps, dan human coxsackievirus B4. Hasil penelitian menyebutkan
bahwa virus dapat menyebabkan diabetes mellitus melalui mekanisme
infeksi sitolitik pada sel beta yang mengakibatkan destruksi atau
perusakan sel. Selain itu, melalui reaksi otoimunitas yang
menyebabkan hilangnya otoimun pada sel beta.
c. Bahan toksik atauberacun
Ada beberapa bahan toksik yang mampu merusak sel beta secara
langsung, yakni alloxan, pyrinuron (rodentisida), dan streptozotocin
(produksi jenis jamur). Bahan toksik lain berasal dari cassava atau
singkong. Singkong merupakan tanaman yang banyak tumbuh
didaerah tropik, merupakan sumber kalori utama penduduk kawasan
tertentu. Singkong mengandung glikosida sianogenik yang dapat
melepaskan sianida sehingga memberi efek toksik terhadap jaringan
tubuh.
d. Nutrisi
Diabetes mellitus dikenal sebagai penyakit yang berhubungan dengan
nutrisi, baik sebagai faktor penyebab maupun pengobatan. Nutrisi
yang berlebihan (overnutrition) merupakan faktor resiko pertama yang
diketahui menyebabkan diabetes mellitus. Semakin lama dan berat
obesitas akibat nutrisi yang berlebihan, semakin besar kemungkinan
terjangitnya diabetes mellitus.
e. Otoimun
Disebabkan kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel
beta pankreas. Respon ini merupakan proses abnormal dimana antibodi
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap
jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
Otoantibodi terhadap sel-sel pulau langerhans dan insulin endogen
(internal) terdeteksi pada saat diagnosis dan bahkan beberapa tahun
sebelum timbulnya tanda-tanda klinis diabetes tipe I yang baru
terdiagnosis

atau pada pasien pradiabetes (pasien dengan antibodi yang terdeteksi


tetapi tidak memperlihatkan gejala klinis diabetes). Reaksi
autoimunitas tersebut dapat dipicu pula oleh adanya infeksi pada
tubuh. Ditemukan beberapa petanda imun (immune markers) yang
menunjukkan pengrusakan sel beta pankreas untuk mendeteksi
kerusakan sel beta, seperti "islet cell autoantibodies (ICAs),
autoantibodies to insulin (IAAs), autoantibodies to glutamic acid
decarboxylase (GAD).
f. Faktor lingkungan
Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor-
faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta. Sebagai contoh
hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu
dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan detruksi sel beta.
Interaksi antara faktor-faktor genetik, imunologi dan lingkungan dalam
etiologi diabetes tipe I merupakan pokok perhatian riset yang terus
berlanjut. Meskipun kejadian yang menimbulkan destruksi sel beta
tidak dimengerti sepenuhnya, namun pernyataan bahwa kerentanan
genetik merupakan faktor dasar yang melandasi proses terjadinya
diabetes tipe I merupakan halsecara umum dapatditerima.

D. Patofisiologi
Pancreas yang disebut kelenjar ludah perut, adalah kelenjar penghasil insulin
yang terletak di belakang lambung. Di dalamnya terdapat kumpulan sel yang
berbentuk seperti pulau pada peta, karena itu disebut pulau-pulau Langerhans
yang berisi sel beta yang mengeluarkan hormone insulin yang sangt berperan
dalam mengatur kadar glukosa darah. Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta
tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu
masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa tersebut
dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila isulin tidak ada, maka glukosa dalam
darah tidak dapat masuk ke dalam sel dengan akibat kadar glukosa dalam
darah tidak dapat masuk ke dalam sel dengan akibat kadar glukosa dalam
darah meningkat. Keadaan inilah yang terjadi pada diabetes mellitus tipe 1.
Pada diabetes melitus tipe 1 terjadi fenomena autoimun yang ditentukan secara
genetik dengan gejala yang akhirnya menuju proses bertahap perusakan
imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Tipe diabetes ini berkaitan
dengan tipe histokompabilitas (Human Leucocyt Antigen/HLA) spesifik. Tipe

gen histokompabilitas ini adalah yang memberi kode pada protein yang
berperan penting dalam interaksi monosit-limfosit. Protein ini mengatur
respon sel T yang merupakan bagian normal dari sistem imun. Jika terjadi
kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan penting dalam
patogenesis perusakan pulau langerhans. Sedangkan pada diabetes melitus tipe
2 berkaitan dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya
tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Pada
tipe ini terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor yang
disebabkan oleh berkurangnya tempat reseptor pada membran sel yang selnya
responsif terhadap insulin atau akibat ketidakabnormalan reseptor intrinsic
insulin. Akibatnya, terjadi penggabungan abnornmal antara komplek reseptor
insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidakabnormalan posreseptor ini
dapat menggangu kerja insulin. (Sylvia A Price,2006)

E. Manifestasi Klinis
Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah
yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka
glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal
akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa
yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang
berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak
(poliuri). Akibat poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan
sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam
air kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk
mengkompensasikan hal ini penderita sering kali merasakan lapar yang luar
biasa sehingga banyak makan (polifagi). Gejala lainnya adalah pandangan
kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama melakukan olah
raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi.
Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan
penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan.
Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan
beratbadan.
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa
berkembang dengan cepat kedalam suatu keadaan yang disebut dengan
ketoasidosis diabetikum. Kadar gula didalam darah adalah tinggi tetapi
karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka
sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan
menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa
menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari
ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan,
mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan
menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman
darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan,
ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu
hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita
diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali
penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakan atau
penyakit yang serius.
Penderita diabetes tipe II, bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama
beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah
gejala yang berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi
ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000
mg/dL, biasanya terjadi akibat stres, misalnya infeksi atau obat-obatan),
makapenderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan
kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebutkoma,
hiperglikemik - hiperosmolar non-ketotik.

F. PemeriksaanDiagnostik
a. PemeriksaanPenyaring
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk
umumnya (mass-screening = pemeriksaan penyaring) tidak dianjurkan
karena disamping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka
yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk
pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check up) , adanya
pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut
sangat dianjurkan.
b. Pemeriksaan Kadar Glukosa
c. ReduksiUrine
Pemeriksaan ini merupakan bagian dari pemeriksaan urine rutin yang
selaludilakukan di klinik. Pemeriksaan dilakukan dengan cara Benedict
( reduksi ). Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya
glukosuria dimana didapatkan adanya glukosa dalam urine.

d. Pemeriksaan urinalisis
Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton. Pada respons terhadap
defisiensi intraseluller, protein dan lemak diubah menjadi glukosa
(glikoneogenesis) untuk energi. Selama proses pengubahan ini, asam
lemak bebas dipecah menjadi badan keton dan hepar. Ketosis terjadi
ditunjukkan oleh ketonuria. Glukosuria menunjukkan bahwa ambang
ginjal terhadap reabsorpsi glukosa dicapai. Ketonuria menandakan
ketoasidosis.

G. Diagnosa
1. Ketidakstabilan kadar glukosa darah b.d hiperglikemia
2. Nyeri Akut b.d agen pencedera fisik
3. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d factor mekanis
4. Gangguan rasa nyaman b.d gejala penyakit
A. Pengertian Selulitis
Selulitis berasal dari kata ”cellule” yaitu susunan tingkat sel, dan kata “itis” yaitu
peradangan, yang berarti adanya peradangan yang ternyata pada suatu tingkatan sel.
Pengertian lain dari selulitis adalah suatu kelainan kulit berupa infiltrat yang difus di daerah
subkutan dengan tanda – tanda radang akut. Selulitis merupakan inflamasi jaringan subkutan
dimana proses inflamasi yang umumnya dianggap sebagai penyebab adalah bakteri S.aureus
dan atau Streptococcus (Muttaqin,2011). Selulitis adalah infeksi bakteri yang menyebar
kedalam bidang jaringan (Brunner dan Suddarth, 2000).
Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan jaringan
subkutan biasanya disebabkan oleh invasi bakteri melalui suatu area yang robek pada kulit,
meskipun demikian hal ini dapat terjadi tanpa bukti sisi entri dan ini biasanya terjadi pada
ekstremitas bawah (Tucker, 2008).
Istilah selulitis digunakan suatu penyebaran oedematus dari inflamasi akut pada
permukaan jaringan lunak dan bersifat difus (Neville, 2004). Selulitis dapat terjadi pada
semua tempat dimana terdapat jaringan lunak dan jaringan ikat longgar, terutama pada muka
dan leher, karena biasanya pertahanan terhadap infeksi pada daerah tersebut kurang sempurna
Jadi selulitis adalah infeksi pada lapisan kulit yang lebih dalam yang disebabkan oleh
bakteri Stapilokokus aureus, Strepkokus grup A dan Streptokokus piogenes. Dengan
karakteristik sebagai berikut :
a. Peradangan supuratif sampai di jaringan subkutis
b. Mengenai pembuluh limfe permukaan
c. Plak eritematus, batas tidak jelas dan cepat meluas
Perbedaan abses dan selulitis

B. Klasifikasi Selulitis
Selulitis dapat digolongkan menjadi:
a. Selulitis Sirkumskripta Serous Akut
Selulitis yang terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau dua spasia fasial, yang tidak
jelas batasnya.Infeksi bakteri mengandung serous, konsistensinya sangat lunak dan
spongius.Penamaannya berdasarkan ruang anatomi atau spasia yang terlibat.
b. Selulitis Sirkumskripta Supurartif Akut
Prosesnya hampir sama dengan selulitis sirkumskripta serous akut, hanya infeksi
bakteri tersebut juga mengandung suppurasi yang purulen. Penamaan berdasarkan
spasia yang dikenainya.Jika terbentuk eksudat yang purulen, mengindikasikan tubuh
bertendensi membatasi penyebaran infeksi dan mekanisme resistensi lokal tubuh dalam
mengontrol infeksi.
c. Selulitis Difus Akut
Dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu:
 Ludwig’s Angina
 Selulitis yang berasal dari inframylohyoid,
 Selulitis Senator’s Difus Peripharingeal
 Selulitis Fasialis Difus
 Fascitis Necrotizing dan gambaran atypical lainnya
 Selulitis Kronis
Selulitis kronis adalah suatu proses infeksi yang berjalan lambat karena
terbatasnya virulensi bakteri yang berasal dari fokus gigi. Biasanya terjadi pada
pasien dengan selulitis sirkumskripta yang tidak mendapatkan perawatan yang
adekuat atau tanpa drainase.
 Selulitis Difus yang Sering Dijumpai
Selulitis difus yang paling sering dijumpai adalah Phlegmone / Angina
Ludwig’s. Angina Ludwig’s merupakan suatu selulitis difus yang mengenai
spasia sublingual, submental dan submandibular bilateral, kadang-kadang
sampai mengenai spasia pharingeal. Selulitis dimulai dari dasar mulut.
Seringkali bilateral, tetapi bila hanya mengenai satu sisi/ unilateral disebut
Pseudophlegmon.
C. Etiologi
Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah Staphylococcus aureus dan
Streptokokus beta hemolitikus grup A sedangkan penyebab selulitis pada anak adalah
Haemophilus influenza tipe b (Hib), Streptokokus beta hemolitikus grup A, dan
Staphylococcus aureus. Streptococcuss beta hemolitikus group B adalah penyebab yang
jarang pada selulitis.6 Selulitis pada orang dewasa imunokompeten banyak disebabkan oleh
Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus sedangkan pada ulkus diabetikum dan
ulkus dekubitus biasanya disebabkan oleh organisme campuran antara kokus gram positif dan
gram negatif aerob maupun anaerob. Bakteri mencapai dermis melalui jalur eksternal maupun
hematogen. Pada imunokompeten perlu ada kerusakan barrier kulit, sedangkan pada
imunokopromais lebih sering melalui aliran darah (buku kuning). Onset timbulnya penyakit
ini pada semua usia

D. Faktor Resiko Selulitis


Terdapat beberapa faktor yang memperparah resiko dari perkembangan selulitis, antara
lain :
a) Usia. Semakin tua usia, kefektifan sistem sirkulasi dalam menghantarkan darah
berkurang pada bagian tubuh tertentu. Sehingga abrasi kulit potensi mengalami
infeksi seperti selulitis pada bagian yang sirkulasi darahnya memprihatinkan.
b) Melemahnya sistem immun (Immunodeficiency). Dengan sistem immune yang
melemah maka semakin mempermudah terjadinya infeksi. Contoh pada penderita
leukemia lymphotik kronis dan infeksi HIV. Penggunaan obat pelemah immun (bagi
orang yang baru transplantasi organ) juga mempermudah infeksi.
c) Diabetes mellitus. Tidak hanya gula darah meningkat dalam darah namun juga
mengurangi sistem immun tubuh dan menambah resiko terinfeksi. Diabetes
mengurangi sirkulasi darah pada ekstremitas bawah dan potensial membuat luka pada
kaki dan menjadi jalan masuk bagi bakteri penginfeksi.
d) Cacar dan ruam saraf. Karena penyakit ini menimbulkan luka terbuka yang dapat
menjadi jalan masuk bakteri penginfeksi.
e) Pembangkakan kronis pada lengan dan tungkai (lymphedema). Pembengkakan
jaringan membuat kulit terbuka dan menjadi jalan masuk bagi bakteri penginfeksi.
f) Infeksi jamur kronis pada telapak atau jari kaki Infeksi jamur kaki juga dapat
membuka celah kulit sehingga menambah resiko bakteri penginfeksi masuk
g) Penggunaan steroid kronik. Contohnya penggunaan kortikosteroid.
h) Gigitan & sengatan serangga, hewan, atau gigitan manusia.
i) Penyalahgunaan obat dan alkohol. Mengurangi sistem immun sehingga
mempermudah bakteri penginfeksi berkembang.
j) Malnutrisi. Sedangkan lingkungan tropis, panas, banyak debu dan kotoran,
mempermudah timbulnya penyakit ini

E. Patofisiologi
Bakteri patogen yang menembus lapisan epidermis kulit menimbulkan infeksi pada
permukaan kulit atau menimbulkan peradangan. Selulitis biasanya disebabkan oleh infeksi
bakteri pada luka, luka bakar, atau infeksi kulit lainnya, terutama oleh Streptococcus grup A
dan Staphylococcus aureus, tetapi dapat pula timbul pada pejamu (host) dengan tanggap
imun yang lemah (immunodeficiency) atau menyertai erisipelas. Penyakit ini cenderung
menyebar ke rongga jaringan dan dataran cekung karena pelepasan sejumlah besar
hialuronidase yang memecahkan zat dasar polisakarida. Selain itu juga terjadi fibrinolitik
yang mencernakan barier fibrin dan lesitinase yang menghancurkan membran sel oleh
bakteri.
Penyakit infeksi sering berjangkit pada orang gemuk, rendah gizi, orang tua dan pada
orang dengan diabetes mellitus yang pengobatannya tidak adekuat. Selulitis yang tidak
berkomplikasi paling sering disebabkan oleh streptokokus grup A, streptokokus lain atau
Stafilokokus aureus
Meningkatnya Usia Immunodeficiency Diabetes Mellitus Cacar, ruam kulit Pembengkakan kronis

Sirkulasi darah Peningkatan kadar Luka Terbuka Lymphedema


Infeksi jamur kulit
menurun gula darah
Kulit terluka
Membuka celah kulit
Abrasi kulit Sirkulasi darah pada
ekstremitas menurun

Risiko terluka

POE bakteri patogen

Infeksi Streptococus grup A, Staphilococcus aureus

Defisiensi Kurangnya paparan Selulitis Interitas jaringan tidak Kerusakan Interitas


pengetahuan informasi utuh jaringan
Mekanisme radang

Kalor Dolor Rubor Tumor Fungsiolesa

Proses fagositosis Akselerasi/ Hipotermi Hiperplasia jaringan Intoleransi jaringan/


Deakselerasi saraf ikat organ distal
jaringan sekitar luka
Hipertermi Eritema lokal
Odem jaringan ikat Intoleransi aktivitas

Gangguan rasa Nyeri akut Gangguan Citra Tubuh


nyaman Penekanan jaringan Gangguan rasa
nyaman
F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua bentuk
ditandai dengan kemerahan dengan batas jelas, nyeri tekan dan bengkak. Penyebaran
perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di sekitar luka atau ulkus disertai dengan
demam dan lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul bula. Dapat dijumpai
limfadenopati limfangitis. Tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi supurasi lokal
(flegmon, nekrosis atau gangren).
Selulitis biasanya didahului oleh gejala sistemik seperti demam, menggigil, dan
malaise. Daerah yang terkena terdapat 4 kardinal peradangan yaitu rubor (eritema), color
(hangat), dolor (nyeri) dan tumor (pembengkakan). Lesi tampak merah gelap, tidak berbatas
tegas pada tepi lesi tidak dapat diraba atau tidak meninggi. Pada infeksi yang berat dapat
ditemukan pula vesikel, bula, pustul, atau jaringan neurotik. Ditemukan pembesaran kelenjar
getah bening regional dan limfangitis ascenden. Pada pemeriksaan darah tepi biasanya
ditemukan leukositosis.
Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama. Gejala prodormal berupa:
malaise anoreksia; demam, menggigil dan berkembang dengan cepat, sebelum menimbulkan
gejala-gejala khasnya. Pasien imunokompromais rentan mengalami infeksi walau dengan
patogen yang patogenisitas rendah. Terdapat gejala berupa nyeri yang terlokalisasi dan nyeri
tekan. Jika tidak diobati, gejala akan menjalar ke sekitar lesi terutama ke proksimal. Kalau
sering residif di tempat yang sama dapat terjadi elefantiasis.
Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada orang dewasa
paling sering di ekstremitas karena berhubungan dengan riwayat seringnya trauma di
ekstremitas. Pada penggunaan salah obat, sering berlokasi di lengan atas. Komplikasi jarang
ditemukan, tetapi termasuk glomerulonefritis akut (jika disebabkan oleh strain nefritogenik
streptococcus, limfadenitis, endokarditis bakterial subakut). Kerusakan pembuluh limfe dapat
menyebabkan selulitis rekurens.

G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Laboratorium
a. CBC (Complete Blood Count), menunjukkan kenaikan jumlah leukosit dan rata-rata
sedimentasi eritrosit. Sehingga mengindikasikan adanya infeksi bakteri.
b. BUN level, Kreatinin level
c. Kultur darah, dilaksanakan bila infeksi tergeneralisasi telah diduga
d. Mengkultur dan membuat apusan Gram, dilakukan secara terbatas pada daerah
penampakan luka namun sangat membantu pada area abses atau terdapat bula.
e. Pemeriksaan laboratorium tidak dilaksanakan apabila penderita belum memenuhi
beberapa kriteria; seperti area kulit yang terkena kecil, tidak terasa sakit, tidak ada
tanda sistemik (demam, dingin, dehidrasi, takipnea, takikardia, hipotensi), dan tidak
ada faktor resiko.
Pemeriksaan Imaging
a. Plain-film Radiography, tidak diperlukan pada kasus yang tidak lengkap (seperti
kriteria yang telah disebutkan)
b. CT (Computed Tomography)
Baik Plain-film Radiography maupun CT keduanya dapat digunakan saat tata
klinis menyarankan subjucent osteomyelitis.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging), Sangat membantu pada diagnosis infeksi
selulitis akut yang parah, mengidentifikasi pyomyositis, necrotizing fascitiis, dan
infeksi selulitis dengan atau tanpa pembentukan abses pada subkutaneus.

H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding Selulitis adalah Erisipelas, Flegmon, Dermatitis Kontak, Mikosis
Profunda dan Pioderma Kronik.
1) Erisipelas
Merupakan suatu infeksi akut yang biasanya disebabkan oleh bakteri Streptokokkus.
Gejala utamanya adalah eritema berwarna merah cerah dan berbatas tegas, dan
disertai gejala konstitusi, namun lokalisasinya lebih superfisial dibandingkan selulitis.
2) Flegmon
Merupakan selulitis yang telah mengalami supurasi, dan diberikan terapi yang sama
dengan selulitis dan ditambahkan dengan insisi.
3) Dermatitis Kontak
Dermatitis Kontak merupakan peradangan pada kulit yang disebabkan oleh bahan /
substansi asing yang menempel pada kulit Dermatitis ini memberikan gambaran klinis
berupa lesi yang berbatas tidak tegas dan bersifat kronik yang ditandai dengan adanya
skuama dan likenifikasi.
4) Mikosis Profunda
Biasanya kronik dan tidak menimbulkan gejala konstitusi.
5) Pioderma Kronik
Infeksi bakteri bersifat kronik dan memberikan gambaran lesi yang berwarna
kehitaman.

I. Penatalaksanaan Medis
a. Pada pengobatan umum kasus selulitis, faktor hygiene perorangan dan lingkungan
harus diperhatikan.
b. Penisilin G prokain
Dosisnya 1,2 juta/ hari, I.M. Dosis anak 10000 unit/kgBB/hari. Penisilin merupakan
obat pilihan (drug of choice), walaupun di rumah sakit kota-kota besr perlu
dipertimbangkan kemungkinan adanya resistensi. Obat ini tidak dipakai lagi karena
tidak praktis, diberikan IM dengan dosis tinggi, dan semakin sering terjadi syok
anafilaktik.
c. Ampisilin
Dosisnya 4x500 mg, diberikan 1 jam sebelum makan. Dosis anak 50-100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
d. Amoksisilin
Dosisnya sama dengan ampsilin, dosis anak 25-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3
dosis. Kelebihannya lebih praktis karena dapat diberikan setelah makan. Juga cepat
absorbsi dibandingkan dengan ampisilin sehingga konsentrasi dalam plasma lebih
tinggi.
e. Golongan obat penisilin resisten-penisilinase
Yang termasuk golongan obat ini, contohnya: oksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin.
Dosis kloksasilin 3 x 250 mg/hari sebelum makan. Dosis flukloksasilin untuk anak-
anak adalah 6,25-11,25 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis.
f. Linkomisin dan Klindamisin
Dosis linkomisin 3 x 500 mg sehari. Klindamisin diabsorbsi lebih baik karena itu
dosisnya lebih kecil, yakni 4 x 300-450 mg sehari. Dosis linkomisin untuk anak yaitu
30-60 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis, sedangkan klindamisin 8-16
mg/kgBB/hari atau sapai 20 mg/kgBB/hari pada infeksi berat, dibagi dalam 3-4 dosis.
Obat ini efektif untuk pioderma disamping golongan obat penisilin resisten-
penisilinase. Efek samping yang disebut di kepustakaan berupa colitis
pseudomembranosa, belum pernah ditemukan. Linkomisin gar tidak dipakai lagi dan
diganti dengan klindamisin karena potensi antibakterialnya lebih besar, efek
sampingnya lebih sedikit, pada pemberian per oral tidak terlalu dihambat oleh adanya
makanan dalam lambung.
g. Eritromisis
Dosisnya 4x 500 mg sehari per os. Efektivitasnya kurang dibandingkan dengan
linkomisin/klindamisin dan obat golongan resisten-penisilinase. Sering memberi rasa
tak enak dilambung. Dosis linkomisin untuk anak yaitu 30-50 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3-4 dosis.
h. Sefalosporin
Pada selulitis yang berat atau yang tidak member respon dengan obat-obatan tersebut
diatas, dapat dipakai sefalosporin. Ada 4 generasi yang berkhasiat untuk kuman
positif-gram ialah generasi I, juga generasi IV. Contohya sefadroksil dari generasi I
dengan dosis untuk orang dewasa2 x 500 m sehari atau 2 x 1000 mg sehari (per oral),
sedangkan dosis untuk anak 25-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.

J. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Untuk mengurangi edema dan nyeri, direkomendasikan untuk elevasi / meninggikan
dan mengistirahatkan ekstremitas yang mengalami keluhan.
b. Perlu dipertimbangkan hospitalisasi untuk monitoring ketat dan pemberian antibiotik
intravena pada kasus yang berat, pada bayi, pasien usia lanjut, dan pasien dengan
imunokompromis.
c. Pada kondisi yang sangat parah dengan nekrosis luas disertai supurasi, perlu
dipertimbangkan dilakukan debridement insisi dan drainase secara bedah.
d. Memberikan edukasi kepada penderita yaitu diberikan informasi mengenai perawatan
kulit dan higiene kulit yang benar, misalnya mandi teratur, minimal 2 kali sehari, jika
terdapat luka hindari kontaminasi dengan kotoran.

K. Komplikasi
 Bakteremia
 Nanah atau local Abscess
 Superinfeksi oleh bakteri gram negative
 Lymphangitis
 Trombophlebitis
 Ellulitis pada muka atau Facial cellulites pada anak menyebabkan meningitis sebesar
8%.
 Dimana dapat menyebabkan kematian jaringan (Gangrene), dan dimana harus
melakukan amputasi yang mana mempunyai resiko kematian hingga 25%.

L. Diagnosa
a. Nyeri berhubungan dengan iritasi kulit, gangguan integritas kulit, iskemik jaringan.
b. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan adanya gangren pada ekstrimitas.
c. Defisiensi Pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit
d. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu anggota
tubuh.
e. Hipertermi

M. Rencana Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi jaringan.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :pasien menampakkan ketenangan, ekspresi muka rileks
ketidaknyamanan dalam batas yang dapat ditoleransi.
Intervensi:
a. Kaji intensitas nyeri menggunakan skala / peringkat nyeri
b. Pertahankan ekstrimitas yang dipengaruhidalam posisi yang ditemukan
c. Jelaskan kebutuhan akan imobilisasi 49 – 72 jam
d. Berikan anal gesik jika diperlukan, kaji keefektifan
e. Ubah posisi sesering mungkin, pertahankan garis tubuh untuk menccegah
penekanan dan kelelahan.
f. Bantuan dan ajarkan penanganan terhadap nyeri, penggunaan imajinasi,
relaksasi dan lainnya.
g. Tingkatkan aktivitas distraksi.

2) Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan gangguan sirkulasi


Tujuan : menunjukkan regenerasi jaringan.
Kriteria hasil : Lesi mulai pulih dan area bebas dari infeksi lanjut, kulit bersih,
kering dan area sekitar bebas dari edema, suhu normal.
Intervensi:
a. Kaji kerusakan, ukuran, kedalaman warna cairan
b. Pertahankan istirahat di tempat tidur dengan peningkatan ekstremitas dan
mobilitasasi.
c. Pertahankan teknik aseptic
d. Gunakan kompres dan balutan
e. Pantau suhu laporan, laoran dokter jika ada peningkatan.

3) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi


Tujuan : pasien mengerti tentang perawatan dirumah
Kriteria hasil : melaksanakan perawatan luka dengan benar menggunakan tindakan
kewaspadaan aseptic yang tepat. Mengekspresikan pemahaman perkembangan
yang diharapkan tanpa infeksi dan jadwal obat.
Intervensi:
a. Demonstasikan perawatan luka dan balutan, ubah prosedur, tekankan pentingnya
teknik aseptic.
b. Diskusikan tentang mempertahankan peninggian dan imobilisasi ekstrimitas
yang ditentukan
c. Dorong melakukan aktivitas untuk mentoleransi penggunaan alat penyokong.
d. Jelaskan tanda-tanda dan gejala untuk dilaporkan ke dokter
e. Diskusikan jadwal pengobatan
f. Tekankan pentingnya diet nutrisi.
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.2008. Edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Doenges.2000. Rencana asuhan keperawatan; pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC
Eron LJ. 2008. Cellulitis and Soft-Tissue Infections. American College of Physicians.
Fitzpatrick, Thomas B.2008. Dermatology in General Medicine, seventh edition. New York:
McGrawHill
Herchline TE. 2011. Cellulitis. Wright State University, Ohio, United State of America.
Kertowigno S. 2011. 10 Besar Kelompok Penyakit Kulit. Unsri press, Palembang, Indonesia,
hal: 146-149
McNamara DR, Tleyjeh IM, Berbari EF, et al. 2007. Incidence of lower extremity cellulitis:
a population based stud   in Olmsted county, Minnesota. 82(7):817-21
Morris, AD. 2008. Cellulitis and erysipelas. University Hospital of Wales, Cardiff, UK. 1708
Muttaqin Ariff. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan.Jakarta: Salemba Medika. Muttaqin Ariff. 2008. Asuhan Keperawatan
Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta: Salemba Medika.
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
EGC : Jakarta 
Swartz MN. 2004. Cellulitis. New England Journal of Medicine. 350:904-12
Wolff K, Johnson RA, Fitspatricks. 2008. color atlas and synopsis of clinically dermatology.
New York: McGrawHill.

Anda mungkin juga menyukai