Anda di halaman 1dari 17

TUGAS ULASAN PENDIDIKAN IPA SD

“ disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah pendidikan ipa sd tentang minskonsepsi”

Dosen pengampu : Dr. Sudarto, M.Pd

OLEH :

NAMA : AMALIA RAMADHANI

NIM : 210407560013

KELAS : 31C

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2021/2022
TUGAS ULASAN PENDIDIKAN IPA SD

 Miskonsepsi dalam Pembelajaran Fisika

Miskonsepsi dalam bahasa inggris dikenal dengan misconception. Conception is


an understanding or a belief of what something is or what something should be
(Oxford Dictionary). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konsepsi
adalah pengertian; pendapat (paham). Mis sendiri dapat diartikan sebagai salah
atau tidak sesuai. Sehingga miskonsepsi dapat didefinisikan sebagai suatu
pemahaman yang salah atau tidak sesuai terhadap konsep tertentu. Atau dengan
kata lain dapat dinyatakan sebagai konsepsi yang tidak sesuai dengan pengertian
ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para ilmuwan.

Miskonsepsi sangatlah resisten dalam pembelajaran bila tidak diperhatikan


dengan seksama oleh guru. Di bawah ini diberikan beberapa contoh miskonsepsi
yang sering dijumpai pada peserta didik.

1. Gerak

Beberapa peserta didik salah mengerti akan konsep kecepatan sesaat dan
percepatan sesaat. Mereka memahami sesaat sebagai “suatu waktu interval”
meskipun merupakan interval yang sangat kecil. Pengertian kecepatan sesaat dan
percepatan sesaat memang sulit dimengerti, khususnya karena banyak buku
menjelaskannya dengan pengertian limit yang masih sulit bagi peserta didik SMA.

Banyak peserta didik juga punya salah pengertian tentang percepatan gravitasi.
Kebanyakan siswa secara spontan mengatakan bahwa sebuah benda yang lebih
berat akan jatuh lebih cepat daripada benda yang ringan pada peristiwa gerak
jatuh bebas. Beberapa peserta didik malah masih menganggap bahwa bola besi
dan bola plastik yang dijatuhkan bebas dari ketinggian yang sama akan sampai di
tanah dalam waktu yang berbeda karena bola besi akan jatuh lebih cepat dari bola
plastik. Padahal menurut prinsip Fisika, kedua benda itu akan jatuh dengan
percepatan yang sama dan waktu yang ditempuh sampai ke lantai juga sama (bila
tidak ada unsur lain yang mempengaruhi). Cukup banyak peserta didik juga
berpikir bahwa jika dua benda bergerak dalam waktu dan percepatan yang sama,
mereka akan punya jarak tempuh sama pula. Mereka lupa bahwa kecepatan awal
perlu diperhitungkan karena unsur itu yang membuat jaraknya berbeda. Dalam
rumus jarak St=V0.t + ½ a.t2 tampak bahwa kecepatan awal (V0) ikut
menentukan jarak yang ditempuh suatu benda. Dua benda yang bergerak
kecepatan awal berlainan, meskipun waktu (t) dan percepatan (a) sama, akan
menempuh jarak yang berbeda.

Menurut beberapa penelitian, salah pengertian terbanyak terjadi pada gerak


parabola. Peserta didik masih sulit menangkap mengapa kecepatan pada puncak
suatu proyektil adalah nol, meski percepatannya tidak nol. Mereka berpikir bahwa
jika kecepatan itu nol, percepatannnya juga harus nol (Suparno, 1998:13).

2. Gaya, massa, dan berat

Banyak peserta didik bingung dengan konsep dari gaya, massa dan berat.
Dalam Fisika, berat (w) adalah suatu gaya (F) dan punya unit newton; sedangkan
massa (m) punya satuan kilogram, dan ini bukan gaya. Namun, banyak peserta
didik menuliskan bahwa berat adalah suatu massa dan punya satuan kilogram.
Beberapa peserta didik menghubungkan gaya dengan suatu aksi dan gerak. Maka
mereka menangkap bahwa jika tidak ada suatu gaya, tidak akan ada suatu gerakan.
Akibatnya, mereka berpikir bahwa bila tidak ada gerak sama sekali, juga tidak
ada gaya. Misalnya, jika seorang mendorong suatu kereta dan kereta itu
bergerak, peserta didik mengatakan ada suatu gaya bekerja pada kereta itu.
Namun, bila kereta itu tidak bergerak, mereka mengatakan bahwa tidak ada gaya
pada kereta tersebut, meski orang itu mendorong kereta dengan energi yang besar.
Dalam fisika, meski kereta tidak bergerak, tetap ada gaya yang bekerja padanya.

3. Hukum Newton
Banyak peserta didik berpikir, gaya aksi dan reaksi dalam Hukum Newton III
bekerja pada titik yang sama dari obyek yang sama. Mereka menganggap gaya ke
atas yang dilakukan meja pada benda A, dan gaya yang dilakukan benda A pada
meja, bekerja pada satu titik, yaitu titik antara meja dan benda A. Padahal menurut
Fisika, dua gaya itu bekerja pada obyek yang berbeda. Bila kedua gaya aksi reaksi
itu bekerja pada suatu titik yang sama, dengan besaran yang sama, maka sama
saja tidak ada gaya apapun, karena mereka bekerja pada suatu titik yang sama,
dengan besaran yang sama dan arah terbalik, sehingga saling melenyapkan.

Banyak peserta didik memahami gaya sebagai suatu sifat yang ada dalam suatu
benda, suatu sifat yang melekat pada benda itu. Oleh karena itu, peserta didik
dengan mudah percaya bahwa benda yang berat akan jatuh lebih cepat dari benda
yang ringan, jika terjadi gerak jatuh bebas karena benda yang berat mempunyai
gaya yang lebih besar daripada yang ringan. Padahal dalam konsep Newton, gaya
muncul dari interaksi antara benda-benda itu.

Beberapa peserta didik memahami bahwa benda yang diam diatas meja, tidak
mempunyai gaya yang bekerja pada benda tersebut. Alasannya karena benda itu
diam saja diatas meja. Padahal menurut Fisika, benda itu mempunyai gaya yang
bekerja pada meja. Benda itu tetap diam karena sebagai reaksinya, meja
melakukan gaya reaksi terhadap benda tersebut yang besarnya sama tetapi
berlawanan arah.

Banyak peserta didik sekolah menegah mempunyai pengertian bahwa besarnya


gaya gesekan yang dialami suatu benda yang berada disuatu permukaan, hanya
tergantung pada kekasaran permukaan itu. Tentu saja kekasaran permukaan itu
mempungaruhi gaya gesekan, tetapi ada beberapa unsur lain yang juga
mempungaruhi besarnya gaya gesekan, seperta massa benda itu sendiri dan gaya
yang bekerja pada benda itu.

4. Kerja, kekekalan energi dan momentum

Dalam Fisika, kerja (W) sama dengan gaya (F) kali jarak (s). Jika suatu gaya (F)
bekerja pada suatu objek dan objek itu tidak bergerak dalam suatu jarak tertentu
(s), maka tidak ada kerja (W). Di sini beberapa peserta didik berpikir bahwa di
situ ada kerja (W). Mereka sulit mengerti mengapa jika seseorang mendorong
suatu kereta dengan banyak energi, ia tidak membuat kerja. Mereka berpikir
bahwa jika seseorang membuat aktivitas dengan suatu energi ia membuat suatu
kerja, gagasan ini bertentangan dengan prinsip Fisika yang diterima.
Beberapa peserta didik mengalami kesulitan untuk memahami konsep kekekalan
energi. Mereka mengalami dalam hidup mereka bahwa jika mereka mengendarai
mobil atau sepeda motor cukup lama, bensinnya akan habis. Jika mereka bekerja
giat, mereka akan lelah kehabisan tenaga. “Bagaimana mungkin dapat dikatakan
bahwa energinya tetap/kekal?" demikian mereka menyangsikan. Beberapa peserta
didik mengatakan bahwa jika dua kereta dengan kecepatan yang sama tetapi
arahnya berlawanan bertumbukan, mereka akan berhenti karena kecepatan
totalnya menjadi nol. Mereka lupa bahwa kekekalan momentum membutuhkan
resultan momentum (mv) = 0. Maka jika massanya berbeda, mereka tidak akan
berhenti langsung (Suparno, 1998:18).

Sewaktu mempelajari energi kinetik, beberapa peserta didik SMA masih


mempunyai gagasan yang keliru tentang besarnya energi kinetik suatu benda bila
kecepatannya ditambah. Mereka menjelaskan, energi kinetik suatu benda yang
kecepatannya ditambah tiga kali lipat, maka energi kinetiknya juga akan menjadi
tiga kali lipat. Mereka tidak melihat secara cermat rumusan energi kinetik. Dalam
rumusan itu, bila kecepatannya menjadi 3 kali lipat, maka energi kinetiknya akan
menjadi 9 kali lebih besar karena ada unsur kuadrat.

 Penyebab Miskonsepsi

Ada banyak cara mengatasi miskonsepsi dalam bidang Fisika. Banyak penelitian
telah dilakukan para ahli pendidikan Fisika yang mengungkapkan bermacam-
macam kiat yang di buat untuk membantu siswa memecahkan persoalan
miskonsepsi.

Secara garis besar langkah yang digunakan membantu mengatasi miskonsepsi


adalah:
1. Mencari atau mengungkapkan miskonsepsi yang dilakukan siswa

2. Mencoba menemukan penyebab miskonsepsi tersebut

3. Mencari perlakuan yang sesuai untuk mengatasi

Beberapa sarana untuk menyelesaikan miskonsepsi tidak berhasil karena pendidik


tidak tahu persis penyebab miskonsepsi, sehingga cara yang ditempuh tidak tepat.
Maka, mencari penyebab miskonsepsi menjadi unsur penting sebelum
menentukan cara mengatasinya. Banyak guru Fisika membantu peserta didik
mengatasi miskonsepsi dengan cara mengulangi penjelasan bahan beberapa kali.
Akibatnya, peserta didik yang sudah mengerti menjadi bosan, dan peserta didik
yang mempunyai miskonsepsi tetap tidak terbantu karena tidak tahu letak
kesalahannya. Hal ini terjadi karena guru tidak mencari penyebab miskonsepsi
peserta didik terlebih dahulu, sehingga metode yang digunakan tidak tepat.

Para peneliti miskonsepsi menemukan berbagai hal yang menjadi penyebab


miskonsepsi pada peserta didik. Secara garis besar, penyebab miskonsepsi dapat
diringkas dalam lima kelompok, yaitu : peserta didik, guru, buku siswa, konteks
dan metode mengajar. Penyebab yang berasal dari peserta didik dapat terdiri dari
berbagai hal, seperti prakonsepsi awal, kemampuan, tahap perkembangan, minat,
cara berpikir, dan teman lain. Penyebab kesalahan dari guru`dapat berupa
ketidakmampuan guru, kurangnya, penguasaan bahan, cara mengajar yang tidak
tepat atau sikap guru dalam berelasi dengan peserta didik yang kurang baik.
Penyebab miskonsepsi dari buku siswa biasanya terdapat dalam penjelasan atau
uraian yang salah dalam buku tersebut. Konteks, seperti budaya, agama, dan
bahasa sehari-hari juga mempengaruhi miskonsepsi peserta didik. Sedangkan
metode mengajar yang hanya menekankan kebenaran satu segi sering
memunculkan salah pengertian pada peserta didik, sering kali penyebab-penyebab
itu berdiri sendiri, tetapi kadang-kadang saling terkait satu sama lain, sehingga
salah pengertiannya menjadi semakin kompleks. Hal ini menyebabkan semakin
tidak mudah untuk membanu siswa untuk membantu mereka.
Penyebab miskonsepsi yang diuraikan di sini masih sangat terbatas. Dalam
kenyataan di lapangan, peserta didik dapat mengalami miskonsepsi dengan sebab-
sebab yang lebih bermacam-macam dan rumit. Penyebab sesungguhnya sering
kali juga sulit diketahui, karena peserta didik kadang-kadang tidak secara terbuka
mengungkapkan bagaimana hingga mereka mempunyai konsep yang tidak tepat
tersebut.

Kita juga perlu mengetahui bahwa miskonsepsi yang dialami setiap peserta didik
dalam satu kelas dapat berlainan dan penyebabnya juga berlainan. Maka dapat
terjadi, dalam satu kelas terdapat bermacam-macam miskonsesi dan penyebab
miskonsepsi. Dengan demikian, bagi para pendidik tidak mudah untuk sungguh-
sungguh mengerti penyebab miskonsepsi yang dialami setiap peserta didik.
Sebagai akibatnya, tidak mudah juga untuk dapat membantu setiap peserta didik
secara tepat dalam mengatasi miskonsepsi.

Suparno (2005:53) memberi ringkasan berkenaan dengan faktor penyebab


miskonsepsi fisika, ringkasan tersebut dimuat dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1 Penyebab Miskonsepsi

Sebab Utama Sebab Khusus

Peserta Didik Prakonsepsi, pemikiran asosiatif, pemikiran humanistik,


reasoning yang tidak lengkap, intuisi yang salah, tahap
perkembangan kognitif peserta didik, kemampuan peserta
didik, minat belajar peserta didik.

Guru Tidak menguasai bahan, bukan lulusan dari bidang ilmu fisika,
tidak membiarkan peserta didik mengungkapkan gagasan/ide,
relasi guru-peserta didik tidak baik.

Buku Siswa Penjelasan keliru, salah tulis terutama dalam rumus, tingkat
penulisan buku terlalu tinggi bagi siswa, tidak tahu membaca
buk teks, buku fiksi dan kartun sains sering salah konsep
karena alasan menariknya yang perlu.

Konteks Pengalaman peserta didik, bahasa sehari-hari berbeda, teman


diskusi yang salah, keyakinan dan agama, penjelasan orang
tua/orang lain yang keliru, konteks hidup peserta didik (tv,
radio, film yang keliru, perasaan senang tidak senang, bebas
atau tertekan.

Metode mengajar Hanya berisi ceramah dan menulis, langsung ke dalam bentuk
matematika, tidak mengungkapkan miskonsepsi, tidak
mengoreksi PR, model analogi yang diapakai kurang tepat,
model demonstrasi sempit,dll

Selain penyebab yang diuraikan pada tabel 2.1, Masril dan Nur Asma (2002)
masih menyebutkan satu penyebab lagi, yaitu kurangnya pengetahuan dari peserta
didik.

Miskonsepsi disebabkan oleh bermacam-macam hal. Secara umum dapat


disebabkan oleh peserta didik sendiri, guru yang mengajar, konteks pembelajaran,
cara mengajar dan buku teks. Penyebab dari peserta didik pun dapat bermaca-
macam, seperti prakonsesi peserta didik sebelum memperoleh pelajaran,
lingkungan masyarakat di mana peserta didik tinggal, teman, pengalaman hidup
terlebih pengalaman menangkap pengertian, dan juga minat peserta didik. Jelas
juga bahwa kemampuan peserta didik berpengaruh dalam miskonsepsi itu.
Kesalahan-kesalahan itu memeng dapat dimengerti, terlebih bila kita soroti dari
kacamata filsafat kontruktivisme, di mana pengetahuan itu adalah hasil kontruksi
peserta didik. Karena kebebasan mengonstruksi dan juga keterbatasan dalam
mengonstruksi itulah maka peserta didik, meskipun diajar oleh guru secara tepat
dan juga dengan buku yang baik, dapat tetap mengalami miskonsepsi.

Guru salah mengajar, salah mengerti bahan, dapat mempunyai andil besar dalam
menambah miskonsepsi peserta didik. Miskonsepsi yang disebabkan salah
mengajar biasanya agak sulit dibenahi karena peserta didik merasa yakin bahwa
yang diajarkan peserta didik itu benar. Maka penting bahwa guru sungguh-
sungguh menguasai bahan secara benar. Demikan juga buku teks yang keliru
ataupun mengungkapkan konsep yang salah, akan membingungkan peserta didik
dan juga mengembangkan miskonsepsi peserta didik. Maka,penting buku teks
diteliti secara benar. Tidak ketinggalan beberapa metode mengajar, yang meski
baik, kadang-kadang juga memunculkan miskonsepsi karena hanya menekankan
salah satu segi dari kebenaran yang diajarkan. Maka perlu dihindari kefanatikan
hanya pada satu metode mengajar saja, karena itu membatasi cara memandang
kita akan suatu persoalan pengetahuan.

 Mengatasi Miskonsepsi Fisika

Sebelum kita dapat membantu menagani miskonsepsi yang dipunyai peserta didik,
kiranya perlu diketahui lebih dahulu miskonsepsi apa saja yang dimiliki siswa dan
darimana mereka mendapatkannya. Baru dengan demikian kita dapat memikirkan
bagaimana mengatasinya. Untuk itu diperlukan cara-cara mengidentifikasi atau
mendeteksi miskonsepsi tersebut. Disini disebutkan beberapa alat deteksi yang
sering digunakan para peneliti dan guru.

1) Peta Konsep (Concept Maps)

Peta konsep dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi peserta didik dalam
bidang fisika. Peta konsep yang mengungkapkan hubungan berarti antara konsep-
konsep dan menekankan gagasan-gagasan pokok, yang disusun hirarkis, dengan
jelas dapat mengungkapkan miskonsepsi peserta didik yang digambarkan dalam
peta konsep tersebut. Miskonsepsi peserta didik dapat diidentifikasi dengan
melihat apakah hubungan antara konsep-konsep itu benar atau salah. Biasanya
miskonsepsi dapat dilihat dalam proposisi yang salah dan tidak adanya hubungan
yang lengkap antar konsep. Untuk lebih melihat mengapa peserta didik
beranggapan seperti itu, ada baiknya peta konsep itu digabungkan dengan
wawancara klinis.
Dalam wawancara itu peserta didik diminta mengungkapkan gagasan-gagasannya,
dan mengapa ia punya gagasan tersebut. Menurut Feldsine, miskonsepsi dapat
diidentifikasi dengan mudah oleh guru dari peta konsep peserta didik dan dapat
dibantu dengan interviu peserta didik, mengapa ia mempunyai miskonsepsi itu.
Dalam interviu itu si peneliti dapat mengerti lebih baik mengapa peserta didik
mempunyai miskonsepsi dan membantu untuk mengatasinya.

Dalam peta konsep peserta didik mempunyai miskonsepsi tentang gaya dapat
menimbulkan: perubahan bentuk, panjang arah, dan percepatan. Padahal yang
benar, kecepatan bukan percepatan yang ditimbulkan oleh gaya tersebut.

2) Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka

Menggunakan tes pilihan ganda (multiple choice) dengan pertanyaan terbuka


dimana peserta didik harus menjawab dan menulis mengapa ia mempunyai
jawaban seperti itu. Jawaban-jawaban yang salah dalam pilihan ganda ini
selanjutnya dijadikan bahan tes berikutnya.

3) Tes Esai Tertulis

Guru dapat mempersiapkan suatu tes esai yang memuat beberapa konsep fisika
yang memang hendak diajarakan atau yang sudah diajarkan. Dari tes tersebut
dapat diketahui miskonsepsi yang dibawa peserta didik dan dalam bidang apa.
Setelah ditemukan miskonsepsinya, dapatlah beberapa peserta didik diwawancarai
untuk lebih mandalami, mengapa mereka mempunyai gagasan seperti itu. Dari
wawancara itulah akan kentara dari mana miskonsepsi itu dibawa.

4) Wawancara Diagnosis

Wawancara berdasarkan beberapa konsep Fisika tertentu dapat dilakukan juga


untuk melihat konsep alternatif atau miskonsepsi pada peserta didik. Guru
memilih beberapa konsep fisika yang diperkiran sulit dimengerti peserta didik,
atau beberapa konsep fisika yang pokok dari bahan yang hendak diajarkan.
Kemudian peserta didik diajak untuk mengekspresikan gagasan mereka mengenai
konsep-konsep di atas. Dari sisni dapat dimengerti konsep alternatif yang ada
sekaligus ditanyakan darimana mereka memperoleh konsep anternatif tersebut.

5) Diskusi dalam Kelas

Dalam kelas peserta didik diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang
konsep yang sudah diajarakn atau yang hendak diajarkan. Dari diskusi di kelas itu
dapat dideteksi juga apakah gagasan mereka itu tepat atau tidak. Dari diskusi itu,
guru dapat mengerti konsep-konsep alternatif yang dipunyai peserta didik. Cara
ini lebih cocok digunakan pada kelas yang besar, dan juga sebagai penjajakan
awal. Yang perlu diperhatikan oleh guru adalah membantu agar setiap peserta
didik berani bicara mengungkapkan pikiran mereka tentang persoalan yang
dibahas.

6) Praktikum dengan Tanya Jawab

Praktikum yang disertai dengan tanya jawab antara guru dengan peserta didik
yang melakukan praktikum juga dapat digunakan untuk mendeteksi apakah
peserta didik mempunyai miskonsepsi tentang konsep pada praktikum itu atau
tidak. Selama praktikum, guru selalu bertanya bagaimana konsep peserta didik
dan bagaimana peserta didik menjelaskan persoalan dalam praktikum tersebut.
Praktikum ini dapat diurutkan sebagai berikut:

1. Guru mengungkapkan persoalan yang ingin dilakukan dalam praktikum.


Misalnya, guru ingin mengerti apa yang mempengaruhi gaya gesekan suaru
benda.

2. Peserta didik diminta untuk membuat hipotesis atau dugaan lebih dulu dan
alasannya.

3. Peserta didik melakukan praktikum. Selama itu guru dapat mengajukan


pertanyaan sehingga semakin mengerti konsep peserta didik tentang gaya
gesek.
4. Peserta didik menyimpulkan hasilnya. Guru dapat menanyakan apakah
hasilnya sesuai dengan hipotesis yang dipikirkan sebelumnya. Bila tidak
sesuai, guru mempertanyakan mengapa hal itu terjadi?

5. Dari seluruh proses diatas, guru dapat mengerti apakah peserta didik
mempunyai miskonsepsi atau tidak, dan bagaimana miskonsepsi itu dapat
diperbaiki.

Dari beberapa metode yang digunakan di atas dapat dirumuskan unsur yang
penting dalam metode tersebut:

1) Peserta didik diberi kesempatan untuk mengungkapkan konsep atau


gagasannya;

2) Dari ungkapan itu dapat diketahui apakah ada konsep alternatif atau tidak;

3) Diwawancarai untuk dimengerti dari mana mereka mendapatkan salah


pengertian itu.

Berg (1991:5-7) menyimpulkan bahwa penelitian mengenai beberapa cara untuk


mengoreksi miskonsepsi belum menghasilkan cara ampuh untuk menghapusnya.
Menurutnya miskonsepsi awet dan sulit diubah. Kadang-kadang berhasil
mengoreksi miskonsepsi sehingga peserta didik dapat menyelesaikan soal jenis
tertentu, tetapi apabila peserta didik diberi soal yang sedikit menyimpang,
konsepsi yang salah muncul lagi. Atau peserta didik yang baik dapat menerapkan
konsep yang benar di sekolah, tetapi di luar sekolah mereka tetap pegang pada
konsepsi yang salah. Berg juga mengemukakan beberapa langkah yang dapat
digunakan dalam pembelajaran mengatasi miskonsepsi, tetapi menurutnya perlu
disadari bahwa sebenarnya belum ada cara yang efektif dan efisien.

a. Langkah pertama adalah mendeteksi pra-konsepsi peserta didik. Apa yang


sudah ada dalam kepala peserta didik sebelum kita mulai mengajar? Pra-
konsepsi apakah yang sudah terbentuk dalam kepala peserta didik oleh
pengalaman dengan peristiwa-peristiwa yang akan dipelajari? Apa
kekurangan prakonsepsi tersebut? Prakonsepsi dapat diketahui dari literatur
atau hasil-hasil penelitian sebelumnya, test diagnostik, pengamatan,
membaca jawaban-jawaban yang diberikan peserta didik langsung, dari peta
konsep dan dari pengalaman guru. Literatur dan test diagnostik sangat
membantu, demikian juga membaca hasil tes esai peserta didik dengan cara
yang kritis dan santai. Fokuskan perhatian kepada jawaban peserta didik yang
salah.

b. Langkah kedua adalah merancang pengalaman belajar yang bertolak dari


prakonsepsi tersebut dan kemudian menghaluskan bagian yang sudah baik
dan mengoreksi bagian konsep yang salah. Prinsip utama dalam koreksi
miskonsepsi adalah bahwa peserta didik diberi pengalaman belajar yang
menunjukkan pertentangan konsep mereka dengan peristiwa alam. Dengan
demikian diharapkan bahwa pertentangan pengalaman ini dengan konsep
yang lama akan menyebabkan koreksi konsepsi. Atau dengan memakai istilah
Piaget dapat dikatakan bahwa pertentangan pengalaman baru dengan konsep
yang salah akan menyebabkan akomodasi, yaitu penyesuaian struktur kognitif
(otak) yang menghasilkan konsep baru yang lebih tepat, akan tetapi, belum
tentu pengalaman yang tidak cocok dengan pra konsepsi akan berhasil.

c. Langkah ketiga adalah latihan pertanyaan dan soal untuk melatih konsep baru
dan menghaluskannya. Pertanyaan dan soal yang dipakai harus dipilih
sedemikian rupa sehingga perbedaan antara konsepsi yang benar dan konsepsi
yang salah akan muncul dengan Jelas. Cara mengajar yang tidak
membantu adalah kalau guru hanya membahas soal tanpa memperhatikan
konsep (drill), atau hanya menulis banyak rumus di papan tulis, atau hanya
berceramah tanpa interaksi dengan murid.

Dari beberapa pembahasan tentang penanganan miskonsepsi di atas, cara-cara


mengurangi miskonsepsi dapat dirangkum dalam tabel 2.2 berikut:

Tabel 2. Penyebab Miskonsepsi dan Cara Mengatasinya

Sebab Utama Sebab Khusus Cara Mengatasi


Peserta Didik Prakonsepsi, Dihadapkan pada kenyataan

Pemikiran asosiatif, Dihadapkan pada kenyataan


dan peristiwa anomali

Dihadapkan pada kenyataan


Pemikiran humanistik,
dan anomali

Dilengkapi; dihadapkan pada


Reasoning yang tidak lengkap, kenyataan

Dihadapkan pada kenyataan;


anomali dan rasionalitas
Intuisi yang salah,
Diajar sesuai level
perkembangan; mulai dengan
Tahap perkembangan kognitif siswa, yang konkret, baru kemudian
yang abstrak

Dibantu pelan-pelan, proses

Motivasi, kegunaan fisika,


variasi pembelajaran
Kemampuan peserta didik,

Minat belajar peserta didik

Guru Tidak menguasai bahan, Belajar lagi

Bukan lulusan dari bidang ilmu fisika, Harusnya sesuai bidang


ilmunya

Member waktu peserta didik


Tidak membiarkan peserta didik
untuk mengungkapkan
mengungkapkan gagasan/ide,
gagasan secara lisan dan
tertulis
Relasi guru- peserta didik tidak baik Relasi yang enak, akrab,
humor

Buku Siswa Penjelasan keliru, Dikoreksi dan dibenarkan

Salah tulis terutama dalam rumus, Dikoreksi secara teliti

Tingkat penulisan buku terlalu tinggi Disesuaikan dengan level


bagi peserta didik, peserta didik

Tidak tahu membaca buku teks,

Dilatih oleh guru cara


menggunakan teks
Buku fiksi sains keliru konsep
Dibenarkan
Kartun sains sering salah konsep
Dikoreksi

Konteks Pengalaman peserta didik, Dihadapkan pada pengalaman


baru sesuai dengan konsep
fisika

Dijelaskan perbedaan dengan


Bahasa sehari-hari berbeda, contoh

Mengungkapkan hasil yang


dikritisi guru
Teman diskusi yang salah,
Dijelaskan perbedaannya

Keyakinan dan agama,

Cara Hanya berisi ceramah dan menulis, Variasi, diransang dengan


mengajar pertanyaan

Mulai dari gejala nyata baru


Langsung ke dalam bentuk
matematika, rumus

Guru memeberi kesempatan


peserta didik mengungkapkan
Tidak mengungkapkan miskonsepsi,
gagasan

Dikoreksi cepat dan


Tidak mengoreksi PR, ditunjukkan salahnya

Ditunjukkan kemungkinan
salah konsep
Model analogi yang dipakai kurang
tepat, Diungkapkan hasilnya dan
dikomentari
Model demonstrasi/Praktikum,
Diungkapkan hasilnya dan
dikomentari
Model diskusi
Multiple intelligences

Non multiple intelligences

Ada banyak cara membantu siswa mengatasi miskonsepsi. Tetapi tidak setiap cara
sesuai bagi peserta didik yang mengalami miskonsepsi, karena kesalahan peserta
didik dapat beraneka ragam. Maka penting bahwa guru pertama-tama mengerti
letak miskonsepsi peserta didik dan apa penyebabnya. Setelah itu barulah
mencoba beberapa cara yang sesuai dengan keadaan peserta didik.

Secara umum, banyak metode bantuan misonsepsi dengan menghadapkan


peserta didik pada suatu data anomali, yaitu data yang bertentangan dengan
gagasan awal peserta didik. Dengan menghadapi peristiwa anomali, dapat muncul
konflik dalam diri dan pemikiran peserta didik, yang selanjutnya diharapkan ada
perubahan konsep dalam diri mereka.
Sangat penting dalam pembelajaran, apabila guru selalu mempertanyakan
kepada peserta didik gagasan dan konsep yang mereka ketahui. Guru dalam
mengajar, entah dengan metode apapun, perlu memberikan peluang kepada setiap
peserta didik untuk mengungkapkan gagasan dan idenya tentang konsep fisika
yang dipelajari.dari ungkapan itulah guru akan mengerti miskonsepsi yang dibawa
atau dipunyai peserta didik. Langkah selanjutnya adalah mencari sebabnya dan
kiat mengatasinya. Minimal, guru selalu dapat bertanya, mengapa peserta didik
mempuyai gagasan seperti itu.

Anda mungkin juga menyukai