1
konsep-konsep fisika yang akan dipelajarinya. Terjadinya miskonsepsi pada peserta didik,
juga akan berdampak pada hasil capaian fisika yang semakin rendah.
Data ujian nasional membuktikan bahwa capaian hasil belajar fisika masih rendah.
Hal ini dapat dilihat dari nilai fisika UN di MAS Darul Ihsan Aceh Besar setiap tahunnya
menurun. Hasil UN fisika pada tahun pelajaran 2015/2016 diperoleh nilai reratanya sebesar
50,3 (Puspendik, 2016). Hasil UN fisika pada tahun pelajaran 2016/2017 diperoleh
reratanya sebesar 38,89 (Puspendik, 2017). Hasil UN fisika pada tahun pelajaran
2017/2018 semakin menurun menjadi 35,31 (Puspendik, 2018). Rendahnya hasil belajar
peserta didik tidak hanya pada capaian UN, namun pada ujian akhir sekolah di MAS Darul
Ihsan Aceh Besar di kelas XA pada tahun ajaran 2017/2018 sebesar 60,59.
Penyebab rendahnya capaian pelajaran fisika di MAS Darul Ihsan Aceh Besar
adalah kurangnya fasilitas yang memadai sebagai media pembelajaran. Proses
pembelajaran hanya berdasarkan pada buku paket sekolah yang tersedia dan tidak
menggunakan media-media pembelajaran lainnya. Hasil observasi dan wawancara di
lapangan juga menunjukkan bahwa masih minimnya pemahaman konsep fisika, sehingga
minat belajar fisika di kalangan peserta didik menjadi rendah. Banyak peserta didik yang
mencoba menjawab persoalan fisika dengan tidak berdasarkan teori yang sebenarnya
konsep-konsep fisika tidak berlandaskan teori yang sebenarnya, akan tetapi salah konsep
dari miskonsepsi adalah indikasi dari adanya miskonsepsi di kalangan siswa. Salah satu
pembelajaran fisika yang terjadinya miskonsepsi pada materi hukum Newton.
Miskonsepsi pada materi hukum Newton dikarenakan peserta didik masih keliru
dalam memahami peristiwa hukum I Newton dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu,
peserta didik juga mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan konsep dalam
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hukum I Newton. Peserta didik juga
beranggapan bahwa pada benda yang sedang bergerak dengan kecepatan konstan tidak
bekerja gaya-gaya yang seimbang. Bahkan peserta didik masih beranggapan dua buah
benda yang saling berinteraksi mempunyai gaya aksi dan reaksi yang tidak sama besar.
Miskonsepsi yang terjadi di MAS Darul Ihsan Aceh Besar, khususnya pada materi
hukum Newton memerlukan sebuah media pembelajaran yang dapat meningkatkan
pemhaman konsep yang benar. Selain itu, penelitian-penelitian terdahulu juga
menunjukkan bahwa miskonsepsi banyak terdapat pada materi-materi fisika lainnya.
Beberapa peneliti mencoba membahas miskonsepsi pada topik-topik fisika.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati, dkk. (2015), mengatakan
bahwa miskonsepsi tejadi pada konsep elastisitas dan hukum Hooke. Peserta didik
2
beranggapan bahwa energi dapat muncul dan menghilang, energi elastis yang dimiliki
pegas saat dimampatkan lebih kecil dibandingkan dengan energi elastis pegas sebelum
dimampatkan dan benda elastis tidak memiliki batas elastis. Zahra (2014), mengatakan
bahwa miskonsepsi terdapat pada materi suhu dan kalor. Peserta didik menganggap jika
suhu air yang sedang mendidih tidak akan naik lagi meskipun terus dipanaskan maka kalor
tersebut dilepaskan ke udara sekitar secara konveksi, maka konveksi yang terjadi pada gas
dan zat cair. Pernyataan peserta didik tersebut benar namun tidak ada hubungannya dengan
perubahan wujud cair menjadi gas.
Miskonsepsi peserta didik pada materi fisika juga terdapat pada materi susunan
partikel penyusun zat, pergerakan partikel sebagai perantara panas dan perubahan susunan
partikel akibat pengaruh kalor (Pebriyanti, dkk., 2015). Selanjutnya miskonsepsi peserta
didik terjadi pada konsep-konsep dasar terkait konsep suhu dan kalor meliputi suhu, kalor,
pengaruh kalor terhadap benda (pemuaian, perubahan suhu, dan perubahan wujud), dan
perpindahan kalor merupakan konsep yang cukup sulit dipahami oleh peserta didik
(Silung, dkk., 2016). Kemudian miskonsepsi terdapat pada konsep mekanika, dikarenakan
mahasiwa beranggapan bahwa arah percepatan suatu benda selalu sama dengan arah
kecepatannya. Padahal arah kecepatan dan percepatan suatu benda yang bergerak tidak
harus sama. Hal ini dikarenakan terdapatnya perlambatan jika kecepatan dan percepatan
menunjuk ke arah yang berlawanan (Haris, 2013).
Permasalahan yang terjadi di MAS Darul Ihsan Aceh Besar dan sesuai penelitian-
penelitian terdahulu yang telah dilakukan pada bidang pembelajaran fisika, menunjukkan
bahwa miskonsepsi fisika dapat terjadi pada siapa saja di setiap jenjang pendidikan, baik
pada peserta didik sekolah dasar, sekolah menengah, mahasiswa, bahkan guru ataupun
dosen. Oleh karena itu, terjadinya miskonsepsi pada pelajaran fisika dapat diatasi dengan
menyediakan berbagai macam media pembelajaran.
Miskonsespsi dapat diatasi dan dikurangi dengan menerapkan modul pembelajaran
yang deskripsi konseptual fisika diuraikan secara terstruktur dan sistematis. Modul ini juga
dapat disusun dalam berbagai teknik seperti modul dalam bentuk langkah pembelajaran
berbasis masalah yang meliputi merumuskan masalah, merumuskan hipotesis,
mengumpulkan data, menguji hipotesis dan merumuskan rekomendasi pemecahan
masalah. Pembelajaran berbasis masalah dipilih karena dapat merangsang berpikir tingkat
tinggi (Yanti, 2015). Modul juga dapat diterapkan berdasarkan peta konsep (concept
mapping), karena untuk mempermudah peserta didik dalam memahami konsep-konsep
3
dalam sains (Hardanti, 2016). Salah satu modul pembelajaran yang dapat digunakan adalah
modul pembelajaran berbasis model problem based learning.
Model PBL merupakan model pembelajaran yang dapat meningkatkan
keterampilan proses sains siswa (Yusmanidar, dkk., 2017). PBL adalah salah satu model
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dengan cara menghadapkan para peserta
didik tersebut dengan berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupannya (Suriana, dkk.,
2016). Hal ini membuktikan bahwa model PBL sangat cocok diterapkan dalam
pembelajaran fisika mengingat bahwasanya materi fisika berupa konsep, hukum, prinsip,
dan teori yang berkaitan erat dengan lingkup permasalahan dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga perlu dipersiapkan bahan ajar yang tepat dalam kerangka model pembelajaran
PBL yang mempu mengatasi persoalan miskonsepsi
Implementasi modul pembelajaran yang terstruktur dan sistematis dapat dilakukan
untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik tentang rendahnya
pemahaman konsep ataupun terjadinya miskonsepsi. Sukiminiandari, dkk. (2015),
menyatakan bahwa penggunaan modul di dalam kegiatan belajar mengajar tidak hanya
memandang aktivitas guru semata, melainkan juga melibatkan peserta didik secara aktif
dalam belajar. Dengan menggunakan modul peserta didik dapat menciptakan proses
belajar yang mandiri.
Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang implementasi
modul dan minkonsepsi pada pembelajaran fisika, maka seharusnya guru harus mampu
menerapkan suatu modul pembelajaran yang dapat membuat proses belajar peserta didik
menjadi lebih paham dan tidak terjadinya miskonsepsi. Modul pembelajaran yang akan
diterapkan berupa modul pembelajaran berbasis PBL. Hal ini dikarenakan modul ini dapat
digunakan sebagai bahan ajar yang diterapkan untuk mengurangi miskonsepsi yang terjadi
selama ini pada peserta didik, khususnya di MAS Darul Ihsan Aceh Besar.
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik tentang
kesalahpahaman dalam memahami materi fisika, maka peneliti melakukan penelitian
dengan judul “Implementasi Modul Pembelajaran Berbasis Problem Based Learning untuk
Mengurangi Miskonsepsi pada Materi Hukum Newton di MAS Darul Ihsan Aceh Besar”.
4
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1) Apakah modul pembelajaran berbasis PBL dapat mengurangi miskonsepsi peserta
didik pada materi hukum Newton di MAS Darul Ihsan Aceh Besar?
2) Bagaimana peningkatan hasil belajar peserta didik dengan menerapkan modul
pembelajaran berbasis PBL pada materi hukum Newton di MAS Darul Ihsan Aceh
Besar?
5
1.5 Definisi Operasional
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penelitian ini digunakan beberapa istilah-
istilah. Untuk menghindari kesalahpahaman pada istilah-istilah ini, berikut diberikan
defenisi operasional untuk istilah-istilah tersebut.
1) Implementasi merupakan suatu proses penerapan ide, konsep, kebijakan atau inovasi
dalam suatu tindakan praktis sehingga akan memberikan suatu dampak, baik
perubahan pengetahuan, keterampilan nilai dan sikap (Idi, 2011:341). Implementasi
dalam penelitian ini adalah memberikan sebuah kontribusi ataupun ide dalam sebuah
media pembelajaran yang akan disusun secara lebih rinci.
2) Modul pembelajaran merupakan bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan
bahasa yang mudah dipahami oleh siswa, sesuai usia dan tingkat pengetahuan peserta
didik agar dapat belajar secara mandiri dengan bimbingan minimal dari pendidik
(Prastowo, 2012:106). Jadi modul pemebelajaran dalam penelitian ini adalah berupa
media yang dibentuk berdasarkan kelengkapan isi dan konsep yang tersusun dengan
lengkap.
3) Miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang diakui oleh
para ahli (Suparno, 2013:8). Miskonsepsi dalam penelitian ini merupakan sebuah
ketidaksesuaian konsep yang dijawab oleh peserta didik berdasarkan konsep yang
sebenarnya.
4) PBL merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan peserta didik
menggali pengalaman autentik sehingga mendorong mereka aktif belajar,
mengkonstruksi pengetahuan, dan mengintegrasikan konteks belajar di sekolah dan
kehidupan nyata secara ilmiah. Peserta didik tidak sekedar mendengarkan, mencatat,
dan menghafal materi yang disampaikan oleh guru, tetapi diharapkan mampu berfikir,
mencari, mengolah data, dan berkomunikasi dalam proses pembelajaran (Fauzan, dkk.,
2017). PBL dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang dikontribusikan
dengan media berupa modul, sehingga dapat dinyatakan modul pembelajaran berbasis
PBL.
5) Hukum Newton adalah tiga hukum fisika yang menjadi dasar mekanika klasik. Hukum
ini menggambarkan hubungan antara gaya yang bekerja pada suatu benda dan gerak
yang disebabkannya.
6) Hasil Belajar peserta didik proses terjadinya perubahan tingkah laku pada diri
seseorang yang dapat diamati dan diukur bentuk pengetahuan, sikap dan keterampilan.
6
Perubahan tersebut dapat diartikan sebagai terjadinya peningkatan dan pengembangan
yang lebih baik dari sebelumnya dan yang tidak tahu menjadi tahu (Hamalik,
2007:30). Namun, dalam penelitian ini hanya mengukur hasil belajar peserta didik
khususnya pada ranah pengetahuan atau kognitif.
7
BAB II LANDASAN TEORI
8
pembelajaran tersebut ada lima yaitu self- instructional, self-contained, stand-alone,
adaptive, dan user friendly.
Self-intructional mensyaratkan bahwa melalui modul, peserta belajar mampu
memahami sebagian besar dari materi tanpa tergantung pada pihak lain. Untuk memenuhi
karakter self instructional, maka dalam modul harus ada (1) tujuan yang dirumuskan
dengan jelas; (2) materi pembelajaran yang dikemas ke dalam unit-unit kecil/spesifik
sehingga memudahkan belajar secara tuntas; (3) contoh dan ilustrasi yang mendukung
kejelasan pemaparan materi pembelajaran; (4) soal-soal latihan, tugas dan sejenisnya yang
memungkinkan pengguna memberikan respon dan mengukur tingkat penguasaannya; (5)
konstekstual yaitu materi-materi yang disajikan terkait dengan suasana atau kenteks tugas
dan lingkungan penggunaannya; (6) menggunakan bahasa yang sederhana dan
komunikatif; (7) rangkuman materi pembelajaran; (8) instrumen penilaian/assessment,
yang memungkinkan penggunaan diklat melakukan self assessment; (9) instrumen yang
dapat digunakan penggunanya mengukur atau mengevaluasi tingkat penguasaan materi;
(10) umpan balik atas penilaian, sehingga penggunanya mengetahui tingkat penguasaan
materi dan; (11) informasi tentang rujukan/pengayaan/referensi yang mendukung materi
pembelajaran dimaksud.
Self-contained yaitu seluruh materi pembelajaran dari satu unit kompetensi atau sub
kompetensi yag dipelajari terdapat di dalam satu modul secara utuh. Tujuan dari konsep ini
adalah memberikan kesempatan pembelajar mempelajari materi pembelajaran yag tuntas,
karena materi dikemas ke dalam satu kesatuan yag utuh. Jika harus dilakukan pembagian
atau pemisahan materi dari satu unit kompetensi harus dilakukan dengan hati-hati dan
memperhatikan keluasaan kompetensi yang harus dikuasai.
Stand-alone (berdiri sendiri) yaitu modul yang dikembangkan tidak tergantung
pada media lain atau tidak harus digunakan bersama dengan media pembelajaran lain.
Dengan menggunakan modul, pembelajar tidak tergantung dan harus menggunakan media
yang lain untuk mempelajari dan mengerjakan tugas pada modul tersebut. Jika masih
menggunakan dan bergantung pada media lain selain modul yang digunakan, maka media
tersebut tidak dikategorikan sebagai media yang berdiri sendiri.
Adaptive merupakan sebuah modul yang seharusnya memiliki daya adaptif yang
tinggi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Sebuah modul dikatakan adaptif jika
modul dapat menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
fleksibel untuk digunakan. Dengan memperhatikan percepatan perkembangan ilmu dan
9
teknologi pengembangan modul multimedia hendaknya tetap “up to date”. Modul yang
adaptif adalah jika isi materi pembelajaran dapat digunakan sampai dengan kurun waktu
tertentu.
User Friendly merupakan sebuah modul yang hendaknya bersahabat dengan
pemakainya. Setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan
bersahabat dengan pemakainya. Hal ini termasuk kemudahan pemakai dalam merespon,
mengakses sesuai dengan keinginan. Penggunaan bahasa yang sederhana, mudah
dimengerti serta menggunakan istilah yang umum digunakan merupakan salah satu bentuk
user friendly.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa modul pembelajaran merupakan salah satu
bahan ajar yang dibuat berdasarkan bahasa yang mudah dipahami oleh peserta didik,
sehingga pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman konsep belajar dengan benar.
Modul pembelajaran disusun dengan menggunakan tatacara maupun aturan yang sesuai
dengan karakteristik pembuatan modul.
Untuk mengembangkan modul pembelajaran adanya beberapa aspek yang
terkandung di dalamnya, sehingga modul pembelajaran dapat dibuat dengan benar.
Menurut Mulyati (2002:2), aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam pengembangan
modul yaitu: (1) kecermatan isi, seperti; valid, benar dari sudut disiplin ilmu, tidak
mengandung konsep yang salah, (2) kesesuaian materi dengan pengalaman belajar:
membelajarkan sesuai dengan kompetensi yang dituntut, (3) ketepatan cakupan
disesuaikan dengan sasaran pengguna modul dan kompetensi yang akan/hendak dicapai,
(4) kemutakhiran: substansi sesuai dengan perkembangan zaman, upto date, (5)
tetercernaan (ketepatan isi), mudah dipahami, cermati istilah-istilah teknis, istilah asing,
penumpukkan ide dalam sebuah kalimat, komunikatif, (6) ketertiban berbahasa
(keterbacaan), jelas, lugas, denotative, kalimat sederhana, paragraf yang kohensif-
koherensif, tidak menumpukkan ide dalam sebuah kompleks yang panjang, tertib ejaan dan
tanda baca, tertib struktur kebahasaan, tertib dalam sitem pengorganisasian tulisan, (7)
perwajahan: sistematika proposional, apik, menarik, (9) ilustrasi, gambar, foto, grafik,
tabel, bagan, sketsa, diagram, dan lain-lain.
2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Modul
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), kualitas modul sangat
dipengaruhi oleh beberapa beberapa komponen. Pertama, komponen kelayakan isi
mencakup kesesuaian isi dengan kompetensi dasar (KD). Kedua, komponen penyajian
10
mencakup, daftar isi, tujuan setiap bab, peta konsep atau ringkasan, kata kunci pertanyaan
maupun soal latihan setiap bab dan daftar pustaka. Ketiga, komponen grafis mencakup
kulit buku, isi buku, keterbacaan (kesesuaian dalam pemulihan huruf, ilustrasi dan format),
kualitas cetakan (kejelasan, kerataan, dan warna cetakan), kekuatan fisik buku (kertas isi,
bahan kulit, dan sistem penjilidan).
2.1.3 Tujuan Pembuatan Modul Pembelajaran
Penggunaan modul dalam kegiatan belajar-mengajar bertujuan agar tujuan
pendidikan bisa dicapai secara efektif dan efisien. Para siswa dapat mengikuti program
pengajaran sesuai dengan kecepatan dan kemampuan sendiri, lebih banyak belajar mandiri,
dapat mengetahui hasil belajar sendiri, menekankan penguasaan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pembuatan modul bertujuan agar siswa dapat belajar dengan
kesanggupan dan menurut lamanya waktu yang digunakan mereka masing-masing, belajar
sesuai dengan cara dan teknik mereka masing-masing, memberikan peluang yang luas
untuk memperbaiki kesalahan dan remedial dan banyaknya ulangan, dan belajar sesuai
dengan topik yang diminati. Berdasarkaan penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa
penggunaaan modul pembelajaran memiliki sebuah tujuan yang dapat memberikan arahan
dan panduan baru terhadap siswanya.
2.1.4 Manfaat Pembuatan Modul Pembelajaran
Proses penyusunan sebuah modul pembelajaran memiliki manfaatnya, tidak hanya
dijadikan sebagai bahan mandiri, modul juga dapat digunakan sebagai alat bantu guru atau
pengganti guru, sebagai alat evaluasi hasil belajar siswa terhadap penguasaan materi yang
tersedia dalam modul. Menurut Nasution (2013:206), dalam sebuah modul pembelajaran
terdapat manfaat yang sangat berguna bagi guru dan peserta didik. Hal ini dikarenakan
modul memberikan feedback yang banyak dan segera sehingga siswa dapat mengetahui
taraf hasil belajarnya. Kesalahan dapat segera diperbaiki dan tidak dibiarkan begitu saja.
Dengan penguasaan tuntas, sepenuhnya ia memperoleh dasar yang lebih mantap untuk
menghadapi pelajaran baru. Selain itu, modul disusun secara jelas, spesifik dan dapat
dicapai oleh siswa dengan tujuan yang jelas peserta didik dapat terarah untuk mencapai
dengan segera. Pembelajaran dalam modul dapat membimbing peserta didik untuk
mrncapai sukses melalui langkah-langkah yang teratur tentu akan menimbulkan motivasi
yang kuat untuk berusaha segiat-giatnya. Modul bersifat fleksibel, yang dapat disesuaikan
dengan perbedaan siswa antara lain mengenai kecepatan belajar, cara belajar, bahan
pengajaran, dan lain-lain.
11
2.1.5 Kelebihan dan Kelemahan Menggunakan Modul Pembelajaran
Belajar menggunakan modul sangat banyak manfaatnya, siswa dapat bertanggung
jawab terhadap kegiatan belajarnya sendiri serta siswa dapat belajar sesuai dengan tingkat
kemampuannya, maka pembelajaran semakin aktif dan efisien. Menurut Tjipto (1991:50),
dalam modul pembelajaran adanya kelebihan maupun keuntungan. Pertama, motivasi
peserta didik dipertinggi karena setiap kali peserta didik mengerjakan tugas pelajaran
dibatasi dengan jelas dan yang sesuai dengan kemampuannya. Kedua, sesudah pelajaran
selesai guru dan peserta didik mengetahui benar siswa yang berhasil dengan baik dan mana
yang kurang berhasil. Ketiga, mencapai hasil yang sesuai dengan kemampuannya.
Keempat beban belajar terbagi lebih merata sepanjang semester dan. Kelima, pendidikan
lebih berdaya guna.
Beberapa keuntungan/kelebihan yang diperoleh dari pembelajaran dengan
penerapan modul adalah sebagai berikut; Pertama, meningkatkan motivasi siswa, karena
setiap kali mengerjakan tugas pelajaran yang dibatasi dengan jelas dan sesuai dengan
kemampuan.Kedua, setelah dilakukan evaluasi, guru dan siswa mengetahui benar, pada
modul yang mana siswa telah berhasil dan pada bagian modul yang mana mereka belum
berhasil. Ketiga, bahan pelajaran terbagi lebih merata dalam satu semester. Keempat
pendidikan lebih berdaya guna, karena bahan pelajaran disusun menurut jenjang akademik.
Selain mempunyai kelebihan, modul pembelajaran juga mempunyai beberapa
kekurangan. Suparman (1997:24), menyebutkan beberapa kekurangan menggunakan
modul pembelajaran. Pertama, biaya pengembangan materi tinggi dan waktu yang
dibutuhkan lama. Kedua, Menentukan disiplin mencar ilmu yang tinggi yang mungkin
kurang dimiliki oleh siswa pada umumnya dan siswa yang belum matang pada khususnya.
Ketiga, membutuhkan ketekunan yang lebih tinggi dari fasilitator untuk terus menerus
mamantau proses mencar ilmu siswa, memberi motivasi dan konsultasi secara individu
setiap waktu siswa membutuhkan.
12
fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan. Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mendasari perkembangan
teknologi maju dan konsep hidup harmonis dengan alam. Karena Fisika merupakan bagian
dari sains, maka hakikat fisika dapat dilihat dari hakikat sains.
Melalui program pembelajaran yang telah dicanangkan oleh pemerintah, salah
satunya pembelajaran fisika di SMA yang terumuskan dalam Permendikbud No. 64 Tahun
2013 memberikan gambaran bahwa melalui pembelajaran fisika di SMA diharapkan guru
mampu mengantarkan peserta didik mencapai kompetensi yang seutuhnya yang meliputi
domain spiritual, afektif, kognitif dan psikomotorik. Hal tersebut didukung oleh karakter
materi dalam pembelajaran fisika SMA yang tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga lebih
banyak yang bersifat penerapan dan aplikatif. Dari materi-materi yang bersifat aplikatif
tersebut guru dapat mengarahkan siswanya melalui tugas-tugas untuk mampu memecahkan
masalah fisika yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Melalui aktivitas tersebut
juga diharapkan akan mengantarkan peserta didik mencapai kompetensi yang aplikatif
terhadap dinamika perubahan yang terjadi dalam realita kehidupannya serta siwa menjadi
lebih peka terhadap masalah yang ada di lingkungan sekitarnya (Aristianingsih &
Budiharti, 2015).
Pembelajaran fisika lebih mudah dipahami dengan menggunakan modul
pembelajaran, modul pembelajaran merupakan suatu bentuk media pembelajaran secara
klasikal. Sebagaimana diketahui bahwa pembelajaran klasikal merupakan pembelajaran
yang paling disukai oleh pendidik karena paling mudah dilaksanakan. Pada pembelajaran
klasikal umumnya komunikasi searah dari pendidik ke peserta didik, tetapi hampir tidak
sebaliknya. Untuk meminimalkan dominasi dari pendidik, maka perlu direncanakan media
untuk kelompok atau individual. Dengan demikian akan banyak membantu tugas pendidik
dalam kegiatan belajar mengajar.
Menurut Jalmur & Ambiyar (2016:3), media pembelajaran adalah segala sesuatu yang
menyangkut software dan hardware yang dapat digunakan untuk menyampaikan isi materi
ajar dari sumber pembelajaran ke peserta didik (individu atau kelompok), yang dapat
merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat pembelajar sedemikian rupa, sehingga
proses pembelajaran (di dalam/di luar kelas) menjadi lebih efektif. Arsyad (2013:3)
mengatakan bahwa media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada
penerima pesan. Hal ini membuktikan bahwa media pembelajaran adalah alat bantu proses
13
belajar mengajar, baik untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau
keterampilan pebelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar.
2.3 Miskonsepsi
2.3.1 Pengertian Miskonsepsi
Miskonsepsi merupakan pemahaman yang tidak akurat mengenai konsep maupun
pemaknaan dan penggunakan konsep yang salah. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2008:520), menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan sebagai pemahaman, pengertian
atau rancangan yang telah ada dalam pikiran. Konsepsi juga dapat diartikan sebagai ide
atau pengertian seseorang mengenai sesuatu benda atau barang. Konsepsi adalah tafsiran
perorangan dari suatu konsep ilmu. Dari kedua pengertian ini, konsepsi dapat disimpulkan
sebagai pemahaman atau tafsiran seseorang dari suatu konsep ilmu yang telah ada dalam
pikiran. Setiap orang memahami suatu konsep dan memangun konsepsi terhadap sesuatu
fakta ilmiah dengan cara yang berbeda-beda, sehingga fenomena yang sama dapat
dipahami oleh orang yang berbeda dengan konsepsi yang berbeda.
Miskonsepsi dapat berbentuk konsep awal, kesalahan hubungan yang tidak benar
antara konsep-konsep, gagasan intuitif atau pandangan yang salah. Secara rinci
miskonsepsi merupakan pengertian yang tidak akurat tentang konsep, penggunaan konsep
yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah tentang penerapan konsep, pemaknaan
konsep yang berbeda, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, hubungan hirarki konsep-
konsep yang tidak benar (Wafiyah, 2012).
Miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang diakui
oleh para ahli. Beberapa peneliti lebih suka menggunakan istilah itu menunjukan keaktifan
dan peran peserta didik dalam mengontruksi pengetahuannya. Selain itu, konsep yang
dianggap salah tersebut dalam banyak hal dapat membantu orang dalam memecahkan
persoalan hidup mereka (Suparno, 2013:8).
Miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik tidak terlepas oleh adanya penyebab
atau sumber dari ketidaksesuaian konsep. Penyebab terjadinya miskonsepsi dapat
disebabkan oleh beberapa sumber, yaitu dari diri siswa, guru, buku teks yang digunakan,
konteks, dan cara mengajar guru (Suparno, 2013:82). Miskonsepsi adalah pemahaman
yang salah terhadap suatu konsep dan tidak dapat diterima oleh para pakar dalam
bidangnya. Miskonsepsi dalam pendidikan memiliki dampak yang berbahaya karena dapat
menimbulkan pemahaman yang salah terhadap suatu konsep. Kesalahan tersebut akan
14
bersifat resisten dan jika tidak dihilangkan akan berdampak buruk pada pembelajaran
selanjutnya. Miskonsepsi dalam pendidikan memiliki dampak yang negatif dan berakibat
buruk bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan di masa mendatang (Safrida,
dkk., 2017).
Miskonsepsi yang sering dialami peserta didik secara umum bersifar resisten dalam
pembelajaran, sehingga diperlukan strategi pembelajaran untuk menggoyahkan stabilitas
miskonsepsi peserta didik (Tarmizi, dkk., 2017). Hal ini menunjukkan bahwa dalam sebuh
pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas, guru perlu menyediakan sebuah pembelajaran
yang dapat meningkatkan pemahaman peserta didik dengan baik, dikarenakan untuk
menghindari kesalahpahaman peserta didik dalam memahami konsep-konsep, khususnya
pada materi-materi fisika.
2.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Miskonsepsi
Konsep adalah suatu ide dan gagasan yang mendasari suatu objek yang dituangkan
dalam suatu istilah yang digunakan untuk memahami hal-hal lain dalam suatu fenomena,
sehingga ide dapat dimengerti oleh orang lain dengan jelas. Konsepsi merupakan cara
pandang seseorang dalam menangkap suatu konsep. Konsepsi terbagi menjadi yaitu
prakonsepsi dan miskonsepsi. Menurut Suparno (2013:30-52), penyebab miskonsepsi ada
enam kelompok yaitu (1) miskonsepsi dari sudut filsafat kontruktivisme, (2) peserta didik,
(3) guru, (4) buku teks, (5) konteks dan (6) metode mengajar.
1) Miskonsepsi dari sudut filsafat kontruktivisme
Pengertian miskonsepsi dari sudut kontruktivisme merupakan proses pembentukan
pengetahuan oleh seseorang yang sedang belajar. Dengan adanya miskonsepsi itu,
sebenarnya menunjukan bahwa pengetahuan merupakan bentukan dari peserta didik bukan
dari guru. Pengertian filsafat kontruktivisme sosial, konstruksi pengetahuan peserta didik
tidak hanya dilakukan sendiri tetapi juga dibantu oleh konteks dan lingkungannya,
termasuk teman-teman yang sering berdiskusi bersama.
2) Peserta Didik
Miskonsepsi dalam fisika paling banyak ditemukan dari diri peserta didik sendiri.
Pertama miskonsepsi terjadi dikarenakan peserta didik yang menyatakan bahwa sudah
mempunyai konsep awal mengenai suatu bahan sebelum peserta didik mengikuti pelajaran
di bawah bimbingan guru. Konsep awal ini sering mengandung miskonsepsi sehingga
berdampak untuk pelajaran berikutnya. Miskonsepsi akan lebih banyak jika yang
mempengaruhi pembentukan konsep pada peserta didik juga mempunyai banyak
15
miskonsepsi seperti orang tua, teman sekolah dan pengalaman di lingkungan peserta didik.
Contohnya peserta didik memperoleh miskonsepsi pengalaman hidup peserta didik tentang
matahari mengelilingi bumi dan matahari lebih kecil dari bumi. Miskonsepsi peserta didik
tersebut bahwa matahari lebih kecil daripada bumi sangat jelas dipengaruhi oleh
pengalamannya bahwa bumi terasa sangat besar dan luas sedangkan matahari hanya
kelihatan sebesar bola volly.
Miskonsepsi pada tahapan kedua disebabkan oleh pemikiran asosiatif. Pemikiran
ini merupakan jenis pemikiran peserta didik yang menganggap bahwa suatu konsep selalu
sama dengan konsep yang lain. Asosiasi peserta didik terhadap istilah-istilah sehari-hari
terkadang membuat miskonsepsi. Contohnya peserta didk mengasosikan gaya dengan aksi
atau gerakan, di dalam konsep fisika tidak selalu benar. Beberapa peserta didik menyakini
bahwa tidak terjadi gaya pada kereta yang didorong karena kereta itu tetap berhenti.
Konsep yang benar adalah kereta itu tetap memperoleh gaya, hanya saja gaya tersebut
tidak cukup kuat untuk menggerakkan kereta.
Miskonsepsi tahapan ketiga disebabkan oleh pemikiran humanistik. Tahapan ini
peserta didik sering memandang semua benda dari pandangan manusiawi. Benda-benda
dan situasi dipikirkan dalam term pengalaman orang dan secara manusiawi. Tingkah laku
benda dipahami seperti tingkah laku manusia yang hidup. Contohnya suatu benda terletak
di atas meja yang memberikan suatu gaya pada meja tersebut, padahal ia tidak bergerak
(Suparno, 2013:36).
Miskonsepsi tahapan keempat merupakan kesalahan yang disebabkan oleh
pemikiran secara logika, sehingga salah dalam mengambil kesimpulan atau
menggeneralisasi, sehingga terjadi miskonsepsi. Menurut Suparno (2013: 38), miskonsepsi
juga disebabkan oleh penalaran peserta didik yang tidak lengkap atau salah. Alasan yang
tidak lengkap dapat disebabkan karena informasi yang diperoleh tidak lengkap. Akibatnya,
peserta didik menarik kesimpulan secara salah dan ini menyebabkan timbulnya
miskonsepsi peserta didik.
Miskonsepsi tahapan kelima yaitu perasaan dalam diri seseorang yang secara
spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang sesuatu sebelum diteliti secara
objektif dan rasional. Contoh peserta didik mempunyai intuisi bahwa jika benda yang besar
akan jatuh bebas lebih cepat daripada benda yang kecil. Konsep yang benar adalah benda
yang dijatuhkan jatuhnya bersamaan.
16
Miskonsepsi tahapan keenam berupa perkembangan kognitif peserta didik yang
tidak sesuai dengan bahan yang dibahas dapat menyebabkan miskonsepsi peserta didik.
Hal ini dikarenakan peserta didik masih dalam tahap operasional konkret jika mempelajari
bahan yang abstrak akan sulit menerima dan sering salah mengerti tentang konsep bahan
tersebut. Agar konsep ketidakpastian itu dapat dikonstruksi secara tepat, maka konsep itu
perlu disajikan dalam contoh-contoh yang konkret. Dalam hal ini, bahan fisika perlu
disusun menurut tahap perkembangan kognitif peserta didik.
Bahkan ketujuh kemampuan peserta didik juga mempunyai pengaruh pada
miskonsepsi. Peserta didik yang kurang berbakat atau kurang mampu dalam memahami
fisika sering mengalami kesulitan menangkap konsep yang benar dalam proses belajar.
Peserta didik yang intelligence quotient rendah juga dengan mudah melakukan
miskonsepsi karena peserta didik, dalam mengontruksi pengetahuan fisika, tidak dapat
mengontruksi secara lengkap dan utuh. Peserta didik tidak menangkap konsep yang benar
dan merasa bahwa itulah konsep yang benar, maka terjadi miskonsepsi.
Miskonsepsi peserta didik yang kedelapan terjadi pada minat belajarnya, peserta
didik yang tidak tertarik dengan ilmu fisika biasanya kurang memperhatikan penjelasan
guru dan bahkan tidak mau mendengarkan gurunya menjelaskan fisika. Akibatnya akan
lebih mudah salah menangkap dan membentuk miskonsepsi. Peserta didik yang menyukai
fisika biasanya lebih menaruh perhatian kepada penjelasan guru dan senang mempelajari
bahan fisika dari buku-buku secara lebih teliti dan mendalam. Akibatnya mereka dapat
menangkap konsep fisika yang lebih lengkap dan mendalam.
3) Guru
Miskonsepsi peserta didik dapat terjadi karena miskonsepsi yang dibawa oleh guru.
Hal ini dikarenakan guru yang tidak menguasai bahan atau mengerti fisika secara benar
akan menyebabkan peserta didik mendapatkan miskonsepsi. Terlebih bagi guru SD yang
menjadi dasar awal pendidikan fisika, agar menjelaskan konsepnya secara benar kepada
peserta didik. Jadi, peserta didik tidak mendapatkan kesalahpahaman dalam memahami
suatu konsep.
4) Buku Teks
Beberapa miskonsepsi berasal dari buku yang digunakan peserta didik. Kesalahan
yang tertulis dalam buku teks akan mudah dicerna peserta didik dengan demikian peserta
didik memperoleh miskonsepsi. Suparno (2013:44), miskonsepsi yang terjadi pada tiga
macam buku (buku teks, buku fiksi sains (science fiction) dan kartun (cartoon).
17
Buku teks juga dapat menyebarkan miskonsepsi, dari bahasanya yang sulit atau
karena penjelasanya yang tidak benar. Banyak peserta didik mempunyai miskonsepsi
karena peserta didik tidak tahu bagaimana membaca dan belajar dari buku fisika.
Sedangkan buku fiksi sains (science fiction) terdapat pada banyak negara menerbitkan
buku fiksi sains untuk menarik anak-anak yang menyukai bidang sains termasuk fisika.
Tujuan adanya buku teks agar untuk menarik anak untuk belajar, maka seringkali
pengarang membuat gagasan fisika secara sederhana dan bahkan lebih rumit. Baik disatu
sisi buku ini baik, karena membuat anak senang membaca dan nantinya mempelajari fisika,
tetapi banyak hal juga yang dapat memunculkan miskonsepsi pada diri anak.
Kartun (cartoon) merupakan gambar-gambar kartun dalam majalah sains sering
kali dapat memunculkan dan menyebabkan miskonsepsi pada peserta didik bila tidak
sesuai hukum dan teori fisika yang berlaku. Kartun sangat menarik bagi anak-anak, namun
bila konsep fisikanya keliru atau tidak tepat, dapat membuat peserta didik mempunyai
miskonsepsi, maka penting bagi para pendidik yang menganjurkan bacaan kartun untuk
fisika, selalu memantau konsep yang dipunyai peserta didik, apakah tepat atau tidak,
dengan konsep para ahli fisika.
5) Konteks
Kesalahan peserta didik dapat berasal dari kekacauan bahasa yang digunakan,
karena bahasa sehari-hari lain dengan bahasa ilmiah. Peserta didik perlu dibantu dengan
penjelasan yang tepat dengan contoh-contoh yang tepat. Penyebab miskonsepsi lainnya
adalah konteks yang sudah diringkas oleh Suparno (2013: 47).
Konteks pertama pengalaman peserta didik, adapun pengalaman beberapa peserta
didik, gaya dianggap sebagai suatu sifat yang dipunyai suatu benda. Misalnya, melihat
bagaimana teman-temannya bergaya, mempunyai tenaga untuk mengangkat barang ini atau
barang itu. Gagasan yang diperoleh dari pengalaman bahwa gaya itu dipunyai oleh suatu
benda, sehingga pemahaman bahwa gaya adalah sifat dari suatu benda.
Kedua bahasa sehari-hari, bahasa sehari-hari dapat menimbulkan terjadinya
miskonsepsi. Bahasa yang digunakan sehari-hari dibawa ke dalam kelas dan akhirnya
menyebabkan miskonsepsi. Beberapa miskonsepsi datang dari bahasa sehari-hari yang
mempunyai arti lain dengan bahasa fisika. Misalnya dalam bahasa sehari-hari peserta didik
mengerti dan menggunakan istilah berat dengan unit kilogram. tetapi dalam fisika, berat
adalah suatu gaya, dan unitnya adalah Newton. Istilah bertahun-tahun itu dari luar sekolah,
maka sangat sulit untuk mengubah pengertian yang telah tertanam tersebut.
18
Ketiga, teman lain merupakan sebuah kegiatan dalam mengerjakan PR,
mengerjakan soal fisika, atau melakukan praktikum, banyak peserta didik melakukan
belajar bersama. Peserta didik dengan mudah terpikat pada apa yang diungkapkan,
dipikirkan, dan dibuat oleh teman-teman atau kelompoknya, terlebih yang vokal. Demikian
dalam belajar, bila teman-temannya mengungkapkan dengan yakin, suatu gagasan tentang
konsep fisika, meskipun salah, peserta didik dengan mudah percaya dan menyetujuinya.
Hal ini tampak pada peserta didik saat mengerjakan PR, karena satu teman dianggap
pandai, dan kebetulan membuat kesalahan konsep dan jawaban, semua teman menyalin
persis dan mengalami kesalahan yang sama.
Keempat, keyakinan atau agama peserta didik dapat juga menjadi penyebab
miskonsepsi dalam bidang fisika. Suparno (2013:49) mengatakan bahwa keyakinan atau
ajaran agama yang diyakini secara kurang tepat sering membuat peserta didik dapat
menerima penjelasan ilmu pengetahuan. Contoh penyebab dari keyakinan adalah di tanah
jawa ada mitos soal gerhana matahari. Fenomena tersebut terjadi saat raksasa Betara Kala
atau Rahu menelan matahari karena dendamnya pada Sang Surya atau Dewa Matahari.
Contoh di atas menjelaskan bahwa keyakinan dan ajaran agama dapat menyebabkan
terjadinya miskonsepsi.
6) Metode mengajar
Metode mengajar yang digunakan guru dapat memunculkan miskonsepsi peserta
didik. Guru perlu kritis dengan metode yang digunakan dan tidak membatasi diri dengan
satu metode saja. Berikut adalah beberapa contoh metode-metodenya antara lain; metode
mengajar yang diberikan guru hanya berisi ceramah dan menulis, model tidak
mengungkapkan miskonsepsi peserta didik, metode tidak mengoreksi PR yang salah,
model analogi, model praktikum dan model diskusi.
Berdasarkan penyebab miskonsepsi oleh ahli dapat disimpulkan bahwa penyebab
miskonsepsi disebabkan oleh peserta didik sendiri, guru yang mengajar, konteks
pembelajaran, cara mengajar dan buku teks. Penyebab pertama dari peserta didik seperti
prakonsepsi peserta didik sebelum memperoleh pelajaran, lingkungan masyarakat di mana
peserta didik tinggal, teman dekat, pengalaman hidup, pengalaman menangkap pengertian
dan minat peserta didik. Penyebab kedua dari guru, guru yang salah mengajar mempunyai
andil dalam menambah miskonsepsi peserta didik, maka guru harus bersungguh-sungguh
menguasai bahan secara benar. Penyebab ketiga buku teks, buku teks yang terjadi keliru
19
atau mengungkapkan konsep yang salah, akan berpengaruh dapat membingungkan peserta
didik dan dapat mengembangkan miskonsepsi pada peserta didik.
20
~ ..................................................................................................................2.1
21
Newton. Jadi, untuk mengatasi miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik di MAS Darul
Ihsan adalah dengan menerapkan sistem pembelajaran berdasarkan modul berbasis PBL.
Miskonsepsi yang paling sering terjadi pada pembelajaran fisika adalah konsep
mekanika, dikarenakan mekanikan merupakan salah satu konsep dasar dengan topik yang
sangat luas dan rumit. Cakupan materinya antara lain kinematika gerak lurus, gerak
melingkar, dinamika, hukum Newton I, II dan III (Safriana & Fatmi, 2018). Hal ini
menunjukkan bahwa perlunya suatu teknik pembelajaran yang dapat mengurangi
miskosepsi yang terjadi selama ini, khususnya materi mekanika.
2.5.1 Miskonsepsi pada Masalah Kesetimbangan Benda
Miskonsepsi sering terjadi pada materi-materi fisika, salah satunya pada masalah
kesetimbangan benda. Penelitian Sarkity, dkk. (2016) mengemukakan bahwa kesulitan
yang sering dialami peserta didik dalam menyelesaikan masalah kesetimbangan bersumber
dari konsep peserta didik yang kurang baik dalam materi kesetimbangan tersebut. Hal ini
dikarenakan ketidakmampuan siswa dalam menggambarkan vektor. Kesulitan peserta
didik dalam pemahaman konsep serta konsep dasar vektor ini menyebabkan peserta didik
tidak mampu menggambarkan diagram secara benar, sehingga menyulitkan peserta didik
dalam meyelesaikan berbagai masalah kestimbangan.
Menurut Fitrianingrum, dkk. (2016) salah satu konsep yang sulit dikuasai oleh
peserta didik adalah materi kesetimbangan benda tegar. Kesulitan peserta didik dalam
memahami konsep tentang kesetimbangan benda tegar, dikarenakan materi tersebut
membutuhkan operasi matematis secara vektor serta menggunakan gabungan gerak
translasi dan rotasi. Permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik dalam memahami
konsep kesetimbangan tersebut akan menyebabkan kesalahan konsep pada materi tersebut,
sehingga dinamakan dengan miskonsepsi.
2.5.2 Miskonsepsi pada Hukum I Newton
Kesalahpahaman memahami konsep pada materi Hukum I Newton juga sering
terjadi di kalangan peserta didik. Miskonsepsi pada hukum I Newton juga terjadi
dikarenakan peserta didik beranggapan bahwa jika air keluar dari wadah (selang), air
mengalir mengikuti bentuk wadahnya sehingga air akan memancar lurus. Peserta didik
berpendapat bahwa ada gaya yang diterapkan pada air sehingga laju air dapat berubah
(Pratiwi, dkk., 2018). Peserta didik beranggapan bahwa benda yang awalnya bergerak
dengan kecepatan konstan dan tiba-tiba berhenti, maka akan tetap bergerak tidak searah
laju awal gerak benda dalam mempertahankan keadaan seperti semula. Peserta didik juga
22
beranggapan bahwa benda yang awalnya diam dan diberikan gerak yang sangat cepat maka
benda akan cenderung bergerak dalam mempertahankan keadaan seperti semula (Wiyono,
dkk., 2016).
2.5.3 Miskonsepsi pada Hukum II Newton
Pemahaman yang tidak akurat mengenai materi hukum II Newton pada kalangan
peserta didik menengah atas juga sering terjadi, sehingga dinamakan dengan miskonsepsi.
Pratiwi, dkk. (2018) mengemukakan salah satu miskonsepsi hukum II Newton dikarenakan
peserta didik beranggapan bahwa gaya gesekan pada benda masih ada meskipun benda
tersebut pada kecepatan maksimum. Benda yang bergerak akan berhenti jika tidak ada
gaya. Menurut Nursefriani, dkk. (2016) miskonsepsi terjadi dikarenakan peserta didik
beranggapan bahwa benda yang memiliki massanya besar maka gaya yang dihasilkan
besar pula.
2.5.4 Miskonsepsi pada Hukum III Newton
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dapat dibuktikan bahwa
terdapat kesalahpahaman konsep atau dinamakan dengan miskonsepsi siswa pada materi
hukum III Newton. Menurut Kurniawan (2018), hasil temuan membuktikan peserta didik
sangat menyakini bahwa faktor massa dan kecepatan mempengaruhi gaya aksi dan reaksi
yang terjadi dalam suatu kasus tumbukan. Selain itu, sebagian peserta didik juga
beranggapan bahwa semakin besar massa benda maka gaya aksi reaksi yang ditimbulkan
semakin besar pula. Hasil argumentasi dan pemikiran peserta didik ini yang menjadi
peserta didik salah pemahaman konsep, sehingga terjadinya miskonsepsi. Setelah mengkaji
lebih lanjut, persoalan peserta didik yang miskonsepsi tersebut dikarenakan rendahnya
pengalaman sehari-hari yang diamati oleh siswa, misalnya tabrakan antara truk dengan
sepeda motor. Kejadian ini, peserta didik hanya melihat dampak akibat tumbukan
keduanya didasarkan oleh kerusakan yang lebih parah pada sepeda motor dibandingkan
kerusakan yang dialami truk.
Menurut Zulvita, dkk. (2017) peserta didik banyak beranggapan bahwa gaya yang
diberikan oleh benda dengan massa yang besar lebih besar dibandingkan benda dengan
massa lebih kecil. Wiyono, dkk. (2016) mengemukakan bahwa peserta didik beranggapan
gaya aksi reaksi terjadi pada benda yang sama dan arah gayanya berlawanan. Peserta didik
juga menganggap bahwa gaya aksi reaksi terjadi pada benda yang berbeda dan arah
gayanya berlawanan, tetapi bukan merupakan pasangan gaya aksi-reaksi. Shalihah, dkk.
23
(2016) mengatakan bahwa peserta didik juga beranggapan besar gaya aksi-reaksi dengan
gaya reaksi tidak sama jika salah satu benda berhenti.
2.5.5 Miskonsepsi pada Keadaan Benda Bergerak
Miskonsepsi pada pelajaran fisika juga sering terdapat pada keadaan benda
bergerak. Menurut Wiyono, dkk. (2016) peserta didik beranggapan bahwa suatu benda
dikatakan bergerak apabila kedudukannya berubah tanpa memperhatikan titik acuan.
Artiawati, dkk. (2016) mengemukakan bahwa peserta didik mengganggap apabila
kecepatan suatu benda yang bergerak konstan nilainya besar, maka percepatan benda
tersebut juga besar. Peserta didik juga berpendapat bahwa kecepatan bernilai negatif itu
tidak ada atau menunjukkan benda diam. Selain itu, peserta didik juga mengatakan bahwa
semua benda yang percepatannya nol hanya dalam keadaan diam.
Menurut Safriana & Fatmi (2018), siswa beranggapan bahwa tidak ada gaya
gravitasi yang mengarah ke bawah yang bekerja pada benda. Gaya yang searah gerak
benda untuk membuat benda bergerak adalah kuat sekali. Selain itu, peserta didik juga
mengatakan bahwa apabila tidak ada gerak maka tidak ada gaya.
24
sebagai penerapan bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan
pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari
mata pelajaran.
2.6.2 Ciri-ciri Pembelajaran PBL
Pembelajaran berbasis masalah menunjukan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Pengajaran Pertanyaan atau Masalah
PBL bukan hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau keterampilan akademik
tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran disekitar
pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi
bermakna untuk peserta didik. Situasi kehidupan nyata yang autentik, menghindari
jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.
2) Berfokus pada Keterkaitan Antar Disiplin
Meskipun pengajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran
tertentu, (IPA, Matematika, Ilmu-ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih
yang benar-benar nyata agar dalam pemecahannya peserta didik meninjau masalah itu
banyak dari banyak mata pelajaran.
3) Penyelidikan Sutentik
Pengajaran berbasis masalah mengharuskan peserta didik melakukan penyelidikan
autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Peserta didik harus
menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat
ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika
diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan kesimpulan.
4) Menghasilkan Produk atau Karya dan Memamerkannya
PBL membuat peserta didik untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk
karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk
penyelesaian masalah yang mereka temukan. Karya nyata dan peragaan seperti yang akan
dijelaskan kemudian, direncanakan oleh peserta didik untuk mendemontrasikan kepada
teman-temannya yang lain tentang apa yang telah dipelajari dan menyediakan suatu
alternatif segar terhadap laporan tradisonal makalah.
5) Kerjasama
PBL dicirikan oleh peserta didik yang bekerja sama satu dengan yang lainnya,
paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok. Bekerja sama memberikan
motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan
25
memperbanyak peluang untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan
waktu.
Pembelajaran berdasarkan masalah dituntut peserta didik bekerja sama, dengan kata
lain pendekatan kooperatif diterapkan didalamnya. Pada pembelajaran secara kooperatif,
peserta didik bekerja sama untuk memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan
bersama (Nurhadi, 2003:60). Pembelajaran kooperatif merupakan sistem belajar kelompok,
dimana peserta didik berperan aktif dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Menurut Nurhadi (2003:60), unsur-unsur dasar pengajaran secara kooperatif adalah
saling ketergantungan, interaksi tatap muka, akuntabilitas individual, dan keterampilan
untuk menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja
diajarkan. Sehingga keterkaitan hubungan antara guru dan peserta didik dapat berinteraksi
secara langsung. Hal ini didasarkan atas kerjasama dalam proses pembeajaran dapat
terjalin dengan mudah, kinerja peserta didik dapat dilihat secara langsung, dan kebanyakan
peserta didik akan peka terhadap materi yang dipelajarainya.
2.6.3 Tahap-tahap PBL
Pada pembelajaran diperlukan sebuah model, salah satunya adalah model
pembelajaran PBL. Pembelajaran ini menerapkan sistem permasalahan yang diutamakan,
peserta didik diharapkan mampu mnyelesaikan masalah yang ada pada materi yang
dipelajarinya. Pierce dan Jones yang dikutip dalam buku Hasanah (2013:92),
mengemukakan bahwa kejadian-kejadian yang harus muncul pada waktu pelaksanaan
pembelajaran berbasis masalah. Keterlibatan (engagement) meliputi mempersiapkan
peserta didik untuk berperan sebagai pemecah masalah yang bisa bekerja sama dengan
pihak lain, menghadapkan peserta didik pada situasi yang mendorong untuk mampu
menemukan masalah dan meneliti permasalahan sambil mengajukan dugaan dan rencana
penyelesaian. Inkuiri dan investigasi (inquiry dan investigation) yang mencakup kegiatan
mengeksplorasi dan mendistribusikan informasi. Performa (performance) yaitu menyajikan
temuan. Tanya jawab (debriefing) yaitu menguji keakuratan dari solusi melakukan refleksi
terhadap proses pemecahan masalah.
Penjelasan di atas mengemukakan bahwa, model PBL merupakan suatu model
yang dapat melibatkan siswa untuk memecahkan masalah dalam proses pembelajaran.
Peserta didik juga bisa menemukan suatu permasalahan pada materi yang akan dipelajari
dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Hal ini membuat peserta didik dapat bertanggung
jawab terhadap materi yang telah dipelajarinya. Pelaksanaan pembelajaran berdasarkan
masalah terdiri dari beberapa tahapan.
26
1) Tugas-tugas Perencanaan
Tugas-tugas perencanaan dapat ditentukan dengan beberapa tahapan. Hal ini
ditentukan dengan penetapan tujuan pertama kali kita mendeskripsikan bagaimana
pembelajaran berdasarkan masalah direncanakan untuk membantu mencapai tujuan-tujuan
seperti keterampilan, menyelidiki, memahami peran orang dewasa dan membantu peserta
didik menjadi pebelajar yang mandiri. Kemudian merancang situasi masalah situasi
masalah yang baik seharusnya autentik, mengandung teka-teki dan tidak terdefinisi secara
ketat memungkinkan bekerja sama, bermakna bagi peserta didik dan konsisten dengan
tujuan kurikulum. Bahkan organisasi sumber daya dan rencana logistik Dalam
pembelajaran berbasis masalah peserta didik dimungkinkan bekerja dengan beragam
material dan peralatan, dan pelaksanaannya bisa dilakukan di dalam kelas, diperpustakaan
atau laboratorium bahkan dapat juga dilakukan di luar sekolah.
2) Tugas Interaktif
Beberapa tugas interaktif yang dapat diterapkan agar dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran yang lebih baik adalah orientasi peserta didik pada masalah, peserta didik
perlu memahami bahwa tujuan pembelajaran berbasis masalah adalah tidak untuk
memperoleh informasi dalam jumlah besar, tetapi untuk melakukan penyelidikan terhadap
masalah-masalah penting untuk menjadi pembelajar yang mandiri. Dapat
mengorganisasikan peserta didik untuk belajar, pada model ini dibutuhkan pengembangan
keterampilan kerjasama diantara peserta didik dan saling membantu untuk menyelidiki
masalah secara bersama, bahkan dapat membantu penyelidikan mandiri dan kelompok.
Kegiatan dalam membantu sebuah penyelidikan mandiri dan kelompok, maka ada
beberapa hal yang daat diperhatikan yaitu guru membantu peserta didik dalam
pengumpulan informasi dari berbagai sumber, peserta didik diberi pertanyaan yang
membuatnya memikirkan masalah dan jenis informasi yang dibutuhkan untuk pemecahan
masalah. Peserta didik diajarkan menjadi penyelidik aktif dan dapat menggunakan model
yang sesuai untuk masalah yang dihadapi. Guru mendorong pertukaran ide secara bebas,
selama tahap penyelidikan guru memberi bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu
peserta didik. Puncak proyek-proyek pembelajaran berbasis masalah adalah penciptaan
peragaan seperti laporan, poster dan video tape. Analisis dan evaluasi proses pemecahan
masalah, tugas guru pada tahap ini adalah membantu peserta didik menganalisis proses
berpikir mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan yang mereka gunakan.
27
2.6.4 Tahap Utama dan Tingkah Laku Guru dalam PBL
Model pembelajaran PBL terdiri daeri beberapa tahapan yang harus diperhatikan
untuk melangsungkan pembelajaran di dalam kelas. Menurut Hasanah (2013:93) model
PBL memiliki beberapa tahapan dan tingkah laku guru dalam proses pembelajaran.
Tahapan dan tingkah laku yang terdapat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sintaks pembelajaran PBL
No Tahapan Tingkah Laku Guru
(1) (2) (3)
1 Tahap 1: Guru menjelaskan tujuan
Orientasi peserta didik kepada masalah pembelajaran, menjelaskan
logistik yang dibutuhkan,
memotivasi peserta didik agar
terlibat pada aktivitas pemecahan
masalah yang dipilihnya.
2 Tahap 2: Guru membantu peserta didik
Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar
yang berhubungan dengan
masalah tersebut.
3 Tahap 3: Guru mendorong peserta didik
Membimbing penyelidikan individual dan untuk mengumpulkan informasi
kelompok yang sesuai, melaksanakan
eksperimen, untuk mendapatkan
penjelasan dan pemecahan
masalah
4 Tahap 4: Guru membantu peserta didik
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti
laporan, video, dan model serta
membantu mereka berbagi tugas
dengan temannya.
5 Tahap 5: Guru membantu peserta didik
Menganalisis dan mengevaluasi proses melakukan refleksi atau evaluasi
pemecahan masalah. terhadap penyelidikannya dan
proses-proses yang mereka
gunakan.
(Sumber: Husanah, 2013)
2.6.5 Kelebihan dan Kekurangan PBL
Model pembelajaran PBL juga memiliki kekurangan dan kelebihan. Menurut Putra
(2013:82), kelebihan dalam penerapan model PBL terdapat beberapa hal. Pertama peserta
didik lebih memahami konsep yang diajarkan lantaran ia menemukan konsep tersebut.
Kedua melibatkan peserta didik secara aktif dalam memecahkan masalah dan menuntut
keterampilan berpikir peserta didik yang lebih tinggi. Ketiga, pengetahuan tertanam
berdasarkan skemata yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga pembelajaran lebih
bermakna. Keempat, peserta didik dapat merasakan manfaat pembelajaran, karena
masalah-masalah yang diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata. Kelima,
28
menjadikan peserta didik lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi aspirasi dan
menerima pendapat orang lain, serta menanamkan sikap sosial yang positif dengan peserta
didik lainnya. Pengondisian peserta didik dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi
terhadap pembelajar dan temannya, sehingga pencapaian ketuntasan belajar peserta didik
dapat diharapkan. Keenam, PBL diyakini pula dapat menumbuh kembangkan kemampuan
kreativitas peserta didik, baik secara individual maupun kelompok, karena hampir di setiap
langkah menuntut adanya keaktifan peserta didik.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dinyatakan bahwa, model PBL dapat
meningkatkan keaktifan belajar peserta didik. Hal ini dikarenakan peserta didik lebih
dominan memecahkan suatu materi secara langsung, sehingga peserta didik lebih mandiri
dan dapat mengingat materi-materi yang telah dipelajari.
Model pembelajaran PBL memiliki kekurangan dalam tahapan pembelajarannya.
Pertama, bagi peserta didik yang malas, tujuan dari model tersebut tidak dapat tercapai.
Kedua, kekurangan model PBL membutuhkan banyak waktu dan dana. Ketiga, tidak
semua mata pelajaran bisa diterapkan dengan model PBL.
Model pembelajaran PBL memiliki titik kelemahan. Hal ini dapat dilihat dari
tahapan-tahapan ataupun langkah-langkah dari model PBL tersebut. Model ini
membutuhkan jangka waktu yang lebih lama dan tidak semua mata pelajarn bisa
diterapkan dengan model tersebut. Pada model ini peserta didik dituntut aktif, akan tetapi
tidak semua peserta didik bisa menjadi aktif. Jadi, model ini sebelum diterapkan kepada
peserta didik, guru harus memiliki persiapan dulu untuk memudahkan jalannya suatu
proses belajar mengajar.
2.6.6 Hakikat Pembelajaran Fisika dengan PBL
Pembelajaran fisika menekankan pada pembetukan pengalaman secara langsung.
Peserta didik perlu dibantu untuk mengembangkan sejumlah keterampilan proses untuk
memahami perilaku maupun gejala alam. Pembelajaran fisika dengan PBL bertujuan untuk
meningkatkan hasil belajar dan motivasi peserta didik, karena melalui PBL, peserta didik
belajar bagaimana menggunakan sebuah proses untuk menilai apa yang diketahuinya,
mengidentifikasikan apa yang ingin diketahuinya, mengumpulkan informasi-informasi dan
mengevaluasikan hipotesisnya berdasarkan data yang dikumpulkan. PBL menggunakan
masalah secara nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara
berfikir dan terampil dalam memecahkan masalah serta memperoleh pengetahuan dan
konsep yang esensial dari materi pelajaran tersebut (Nurhadi, 2003:56). Model
pembelajaran PBL ini dapat menginteraksi peserta didik untuk bekerjasama dalam
29
kelompoknya. Jadi, peserta didik dapat memecahkan tentang permasalahan materi yang
dipelajarinya secara keseluruhan.
30
Tabel 2.2 Indikator hasil belajar
No Ranah Indikator
(1) (2) (3)
1 Ranah kognitif Mengidentifikasi, mendefenisikan, mendaftar,
a. Pengetahuan mencocokkan, menetapkan, menyebutkan,
(knowledge) melabel, menggambarkan, memilih.
Menerjemahkan, merubah, menyamarkan,
b. Pemahaman menguraikan dengan kata-kata sendiri, menulis
(comprehension) kembali, merangkum, membedakan, menduga,
mengambil, kesimpulan, menjelaskan
c. Penerapan Menggunakan, mengoperasikan,
(Application) menciptakan/membuat prubahan, menyelesaikan,
memperhitungkan, menyiapkan, menentukan
d. Analisis Membedakan, memilih, membedakan,
(analysis) memisahkan, membagi, mengidentifikasi, merinci,
menganalisis, membandingkan.
e. Menciptakan, Membuat pola, merencanakan, menyusun,
membangun mengubah, mengatur, menyimpulkan,
(synthesis) membangun dan merencanakan.
f. Evaluasi Menilai, memilih, membedakan, membenarkan,
(Evaluation) mengkritik, menjelaskan, menafsirkan,
merangkum, mengevaluasi.
2 Ranah Afektif Mengikuti, memilih, mempercayai, memutuskan,
a. Penerimaan bertanya, memegang, memberi, menemukan,
(Receiving) mengikuti.
b. Menjawab/menanggapi Membaca, mencocokkan, membantu, menjawab,
(Responding) mempraktekkan, memberi, melaporkan,
menyambut, menceritakan, melakukan,
membantu.
c. Penilaian Meminta, mengundang, membagikan, bergabung,
(valuing) mengikuti, mengemukakan, membaca, belajar,
bekerja, menerima, melakukan, mendebat
d. Organisasi Mempertahankan, mengubah, menggabungkan,
(organization) mempersatukan, mendengarkan, mempengaruhi,
mengikuti, memodifikasi, menghubungkan,
menyatukan
e. Menentukan ciri-ciri Mengikuti, menghubungkan, memutuskan,
nilai (characterizat ion menyajikan, menggunakan, menguji, menanyai,
by a value or value menegaskan, mengemukakan, memecahkan,
complex) mempengaruhi, menunjukkan.
3 Ranah Psikomotor Membawa, mendengar, memberi reaksi,
a. Gerakan pokok memindahkan, mengerti, berjalan, memanjat,
(Fundamental melompat, memegang, berdiri, berlari.
Movement)
b. Gerakan umum Melatih, membangun, membongkar, merubah,
(Generic Movement) melompat, merapikan, memainkan, mengikuti,
menggunakan, menggerakkan.
31
No Ranah Indikator
(1) (2) (3)
c. Gerakan ordinat Bermain, menghubungkan, mengaitkan,
(Ordinat Movement) menerima, menguraikan, mempertimbangkan,
membungkus, menggerakkan, berenang,
memperbaiki, menulis.
Menciptakan, menemukan, membangun,
d. Gerakan Kreatif menggunakan, memainkan, menunjukkan,
(Creative Movement) melakukan, membuat, menyusun
(Sumber: Burhan Nurgiantoro, 1998)
32
BAB III METODE PENELITIAN
Keterangan:
R = Pemilihan sampel secara random kelas
O1 = Pretest pada kelas eksperimen
O2 = Posttest pada kelas eksperimen
O3 = Pretest pada kelas kontrol
O4 = Posttest pada kelas kontrol
X = Pembelajaran dengan modul untuk mengurangi miskonsepsi
33
3.3 Proses Pengembangan Instrumen
3.3.1 Deskripsi Instrumen yang Dibuat
Penelitian ini dilaksanakan dikalangan siswa sekolah menengah atas, dengan
melakukan implementasi modul pembelajaran berbasis PBL. Implementasi modul
pembelajaran di sekolah tesebut memerlukan beberapa instrumen yang harus disiapkan
terlebih dahuhu sebelum proses pembelajaran berlangsung. Beberapa instrumen yang harus
disiapkan terdiri dari Silabus, RPP, Modul, soal dan lembar validasi. Tujuan menyiapkan
instrumen-instrumen dalam penelitian ini agar hasil yang diperoleh dapat diukur dengan
benar dan sesuai dengan prosedur yang berlaku dalam sebuah penelitian.
3.3.2 Pengembangan Perangkat Modul Pembelajaran
Modul pembelajaran merupakan bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan
bahasa yang mudah dipahami oleh peserta didik, sehingga peserta didik dapat belajar
secara mandiri dan mampu mengaitkan dengan fenomena kehiduan sehari-hari. Hal ini
dikarenakan modul pembelajaran ini berupa modul pembelajaran berbasis PBL. Rancangan
modul pembelajaran ini bertujuan untuk mengurangi miskonsepsi pada materi hukum
Newton di MAS Darul Ihsan Aceh Besar.
Modul ini sudah divalidasi pada ahli materi yang bertujuan untuk mengetahui
kelayakan dari modul tersebut. Modul pembelajaran berbasis PBL ini akan divalidasi pada
dua orang validator. Adapun validatornya terdiri dari Bapak Dr. A. Halim, M.Si dan Ibu
Dr. Andi Ulfa Tenri Pada, M.Pd.
3.3.3 Pengembangan Soal-soal Tes Diagnostik untuk Mengurangi Miskonsepsi
Soal miskonsepsi yang terdapat dalam penelitian ini berupa soal tes diagnostik. Hal
ini dikarenakan soal tes diagnostik merupakan sebuah soal yang beralasan. Soal tes
diagnostik ini bertujuan untuk mengurangi miskonsepsi pada peserta didik. Adapun
tingkatan kesukaran soalnya terdiri dari C1 sampai C6. Selain itu, kelengkapan dari soal ini
terdiri dari soal pilihan ganda, kemudian adanya CRI dan adanya jawaban yang beralasan.
Soal miskonsepsi ini telah ditentukan dengan menggunakan analisis pada soal ujicoba,
sehingga dari soal ujicoba tersebut akan ditentukan tingkat kevalidan, reabilitas, tingkat
kesukaran dan daya pembeda soal.
Soal miskonsepsi ini digunakan sebanyak 30 soal, kemudian dari 30 soal tersebut
akan divalidasi pada validator untuk dilihat soal tersebut valid, cukup valid, kurang valid
ataupun tidak valid. Setelah divalidasi soal tersebut maka akan dilakukan ujicoba soal di
34
sekolah. Hal ini bertujuan untuk mengetahui soal yang dapat digunakan sebagai soal untuk
melihat miskonsepsi pada peserta didik.
3.3.4 Analisis Validitas Butir Soal
Validitas butir dari suatu tes adalah ketepatan mengukur butir soal dengan
mengukur apa yang seharusnya diukur dalam butir soal tersbeut. Validitas butir soal
memperlihatkan seberapa jauh hasil ukur butir tersebut konsisten dengan hasil ukur alat
ukur secara keseluruhan. Sebutir soal dapat dikatakan telah memiliki validitas yang tinggi
atau dapat dikatakn valid, jika skor-skor pada butir soal yang bersangkutan memiliki
kesesuaian atau kesejajaran arah dengan skor totalnya (Yusrizal, 2016:200).
Untuk menguji validitas setiap butir soal, skor-skor yang ada pada butir soal yang
dimaaksud akan dikorelasikan dengan skor total. Oleh karena itu, sebuah soal akan
dikatakan memiliki validitas yang tinggi jika butir soal tersebut juga akan memiliki
dukungan yang besar terhadap skor total. Dengan demikian, dukungan setiap butir soal
dinyatakan dalam bentuk korelasi. Menurut Arikunto (2010:317-319) persamaan yang
digunakan untuk menghitung koefisien korelasi sebagai berikut:
∑ (∑ )(∑ )
rxy = ............................................. (3.1)
( ∑ (∑ )( ∑ (∑ )
Keterangan:
rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan Y jika variabel yang dikorelasikan
N = Jumlah Peserta didik/Responden
X = Skor Butir Soal
Y = Skor Total
35
instrumen dan untuk menunjukan bahwa suatu instrumen dapat dipercaya. Adapun rumus
K-R 20, menurut Arikunto (2010:230-231), sebagai berikut:
∑
= ( )
…………………………………………………….(3.2)
Keterangan:
r = reliabilitas instrumen
k = banyaknya butir pertanyaan
st = varians total
p = proporsi subjek yang menjawab betul pada sesuatu butir (proporsi subjek yang
mendapat skor 1)
p =
q =
Keterangan:
P = indeks tingkat Kesukaran
B =subjek yang menjawab betul
J = banyaknya subjek yang ikut mengerjakan tes
36
D= - .......................................................................................(3.4)
Keterangan:
D = daya pembeda butir
BA = banyaknya kelompok atas yang menjawab betul
JA = banyaknya subjek kelompok atas
BB = banyaknya subjek kelompok bawah yang menjawab betul
JB = banyaknya subjek kelompok bawah
37
materi mengenai hukum Newton dengan memberikan demonstrasi dan mengaitkan
dengan fenomena kehidupan sehari-hari.
2) Kegiatan Inti
Pada kegiatan inti peserta didik diberikan sebuah modul pembelajaran berbasis PBL.
Selanjutnya peserta didik menyelesaikan permasalahan yang ada dalam modul
tersebut.
3) Kegiatan Penutup
Pada Kegiatan penutup guru memberikan penguatan materi, kemudian peserta didik
diminta untuk menarik kesimpulan berdasarkan kegiatan pembelajaran yang telah
dilaksanakan melalui modul pembelajaran berbasis PBL.
3.4.3 Pelaksanaan Posttest
Posttest yaitu tes yang diberikan kepada peserta didik setelah berlangsung proses
pembelajaran. Setelah melakukan pembelajaran pada kedua kelas yaitu kelas eksperimen
dengan memberikan pembelajaran menggunakan modul untuk mengurangi miskonsepsi
dan kelas kontrol dengan menggunakan pembelajaran langsung. Jadi selanjutnya diberikan
posttest berupa soal tes diagnostik untuk membandingkan antara kelas eksperimen dan
kontrol. Hal ini pada kelas eksperimen untuk melihat kurangnya miskonsepsi yang terjadi
setelah menggunakan pembelajaran dengan modul dibandingkan dengan kelas kontrol
yang dilakukan pembelajaran langsung.
3.4.4 Bagan Alir Pengumpulan Data
Untuk memudahkan dalam melakukan sebuah penelitian, maka dapat dilihat pada
diagram alir ini mengenai alur penelitian yang akan dilakukan,maka secara lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 3.1.
38
Instrumen Penelitian
Instrumen Revisi
Valid
Sampel
Pre test
Perlakuan
Posttest
Penyusun Laporan
- Melakukan Uji miskonsepsi dengan matrik CRI Three Tier
- Melalakukan uji N-gain, Uji normalitas, Homogenitas dan Uji t
40
Salah Benar > 2,5 Miskonsepsi (Mis)
Salah Benar < 2,5 Tidak tahu konsep (LK)
Salah Salah > 2,5 Miskonsepsi (Mis)
Salah Salah < 2,5 Tidak tahu konsep (LK)
(Sumber: Hakim dkk., 2015)
Sedangkan untuk melihat kriteria dari matrik CRI Three Tier maka dapat dilihat
sebagai berikut:
41
Sedangkan untuk mengetahui peningkatan yang terjadi sebelum dan sesudah
pembelajaran menggunakan rumus:
–
N-gain = ........................................................(3.7)
42
Uji t digunakaan untuk mengetahui perbedaan mean (rata-rata) antara dua
kelompok. Dua kelompok yang dimaksud adalah dua kelompok yang tidak berpasangan,
artinya sumber data berasal dari subjek yanga berbeda. Menurut Sudjana (2001:239),
persamaan yang digunakan dalam analisis uji hipotesis yaitu:
x1 x2
t ........................................................................... (3.8)
1 1
s
n1 n2
43
Zulhaini (2015), tentang modul fisika kontekstual pada Hukum Newton. Modul
pembelajaran berbasis PBL ini memerlukan beberapa tahapan dalam proses
perancangannya. Adapun tahapan yang diperlukan berupa validasi oleh pakar/ahli agar
modul ini dapat diujicoba terhadap siswa. Jadi, hasil koreksi dari pakar/ahli akan dijadikan
sebagai dasar untuk melakukan revisi terhadap modul, sehingga modul pembelajaran
berbasis PBL layak digunakan. Perancangan modul pembelajaran berbasis PBL ini
membutuhkan jangka waktu selama 3 bulan, dimana 2 bulan merancang modul dan 1 bulan
proses validasi.
44
No Revisi Desain Modul Hasil
menarik dan mudah dipahami
9 Kurangnya keterkaitan materi yang diajarkan Materi yang dibahas dalam
sesuai dengan permasalahan yang akan modul harus sinkron dengan
diselesaikan peserta didik permasalahannya.
10 Masalah yang diselidiki dalam PBL benar- Permasalahan dalam materi
benar nyata masih kurang lengkap belum mampu dikaitkan dengan
PBL, sehingga diperlukan
keterkaitan keduanya.
11 Kurangya dalam mengharuskan peserta didik Peserta didik harus mampu
untuk melakukan penyelidikan autentik mendemonstrasikan
terhadap masalah yang nyata. kemampuannya untuk
menyelesaikan tugas-tugas
dengan permasalahan yang
nyata.
12 Kurangnya kemampuan mendorong peserta Materi yang disusun harus
didik untuk menghasilkan produk tertentu mampu mendorong peserta didik
dalam bentuk karya nyata. untuk menghasilkan produk
dengan karya yang nyata.
13 Kurangnya orientasi peserta didik pada Permasalahan dalam modul
masalah harus mampu memperkenalkan
peserta didik secara langsung.
14 Kurang dalam mengorganisasi peserta didik Dapat mengatur dan mendorong
untuk belajar peserta didik untuk termotivasi
dalam belajar dengan
menyediakan modul
pembelajaran yang menarik dan
lengkap.
15 Kurang membimbing pengalaman Diperlukannya pembimbingan
individual/kelompok secara individual maupun
kelompok.
16 Kurang mengembangkan dan menyajikan hasil Harus mendorong peserta didik
karya. untuk menyajikan hasil
karyanya.
17 Kurang dalam menganalisis dan mengevaluasi Modul pembelajarannya harus
proses pemecahan masalah mampu mengevaluasi secara
kesleuruhan untuk
menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi peserta didik
45
dan ahli media. Penilaian soal yang divalidasi dapat digunakan seluruhnya, apabila adanya
perbaikan terlebih dahulu sebelum melakukan ujicoba soal di MAS Darul Ihsan Aceh
Besar. Ujicoba soal tes dilaksanakan pada tanggal 09 Januari 2019 pada peserta didik
kelas XII IPAC yang berjumlah 32 orang.
Setelah proses ujicoba soal dilakukan pada peserta didik kelas XII IPAC MAS
Darul Ihsan Aceh Besar, maka selanjutnya diltentukan analisis ujicoba soal untuk melihat
tingkat validitas, reabilitas, tingkat kesukaran dan daya beda soal. Hasil analisis soal
ujicoba menunjukkan bahwa terdapat 20 soal yang diterima dan layak digunakan dari 30
soal yang ada. Setelah proses ujicoba soal, maka selanjutnya melakukan proses penelitian
di MAS Darul Ihsan Aceh Besar pada dua kelas yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen.
Analisis data soal ujicoba dilakukan untuk mengetahui soal yang dapat diterima
soal revisi maupun soal buang dengan melakukan proses uji validasi, uji reliabilitas, uji
tingkat kesukaran dan uji daya beda soal. Adapun soal yang digunakan untuk melakukan
proses ujicoba dilakukan dengan memberikan 30 soal.
1) Hasil Uji Validitas Soal untuk Mengurangi Miskonsepsi Peserta Didik
Uji validitas dilaksanakan untuk mengetahui valid atau tidaknya soal yang di
ujicoba pada peserta didik. Uji validitas terhadap soal tes bertujuan untuk menentukan soal
yang dapat digunakan sebagai soal tes dalam sebuah penelitian. Uji validitas menunjukkan
bahwa dari 30 soal yang diberikan kepada peserta didik, terdapat 18 soal yang dinyatakan
valid. Soal yang dianggap valid memiliki rhitung > rtabel. Hasil ujicoba diperoleh bahwa rtabel
untuk taraf signifikan 0.05 dengan dk= 32 sebesar 0.35.
2) Hasil Uji Reliabilitas Soal untuk Mengurangi Miskonsepsi Peserta Didik
Uji reliabilitas tes dilakukan dengan tujuan agar tes dapat memberikan hasil yang
relatif tetap terhadap sesuatu yang akan diukur dan jawaban peserta didik terhadap butir-
butir tes secara relatif tetap. Hasil uji reliabilitas terhadap instrumen soal tes untuk
mengurangi miskonsepsi peserta didik menunjukkan bahwa soal yang digunakan dalam
penelitian ini adalah handal (reliabel). Hal ini dikarenakan hasil analisis data ujicoba soal
diperoleh koefisien r1 sebesar 0.77. Menurut Ulum (2017:28), nilai batas yang digunakan
untuk menilai sebuah tingkat reliabilitas yang dapat diterima adalah 0.60, walaupun angka
itu bukanlah sebuah ukuran yang mati. Jadi, dari hasil analisis data tersebut menunjukkan
bahwa uji reliabilitas pada penelitian ini terdapat 0.77 maka dinyatakan layak.
3) Hasil Uji Tingkat Kesukaran Soal untuk Mengurangi Miskonsepsi Peserta Didik
46
Hasil uji tingkat kesukaran soal bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaran soal
yang akan diujicoba pada peserta didik. Tingkat kesukaran soal terdiri dari soal sukar,
sedang dan mudah. Hasil uji tingkat kesukaran dalam penelitian ini memiliki tingkat
kesukaran yang bervariasi. Adapun hasil yang diperolehnya menunjukkan bahwa dari 30
soal yang diujicobakan terdapat 11 soal yang termasuk dalam kategori sukar. Kesebelas
soal tersebut akan dilihat validitasnya sebelum dipilih sebagai soal pretest dan posttest.
4) Hasil Uji Daya Beda Soal untuk Mengurangi Miskonsepsi Peserta Didik
Hasil uji daya beda bertujuan untuk menentukan dapat tidaknya suatu soal
membedakan kelompok dalam aspek yang diukur sesuai dengan perbedaan yang ada di
kelompok tersebut. Uji daya beda instrumen soal menunjukkan bahwa terdapat 8 soal
dengan kategori baik, 12 soal dengan kategori cukup dan 10 soal dengan kategori jelek.
Soal yang kategori jelek akan disesuaikan kembali berdasarkan validitas dan tingkat
kesukarannya
Setelah melalui pengujian instrumen berupa uji validitas, reliabilitas, tingkat
kesukaran dan daya pembeda soal, maka dapat ditentukan secara keseluruhan dari hasil
ujicoba intrumen dengan rekapitulasi analisis butir soal tes. Rekapitulasi tersebut
dilaksanakan untuk mengetahui soal yang dapat dipakai dan dibuang. Berdasarkan hasil
analisis ujocoba soal yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat dilihat secara
keseluruhan dan terperinci pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Tingkat kesulitan soal
Nomor Validitas Butir Indek Kesukaran Daya Pembeda
Keterangan
Soal (r) Kategori Angka Kategori Angka Kategori
1 0.28 Tidak Valid 0.63 Sedang 0.25 Cukup Soal Pakai
2 0.37 Tidak Valid 0.88 Mudah 0.21 Cukup Soal Pakai
3 0.3 Tidak Valid 0.19 Sukar 0.24 Cukup Soal Pakai
4 -0.32 Tidak Valid 0.28 Sukar -0.17 Jelek Soal Buang
5 -0.32 Tidak Valid 0.31 Sedang -0.24 Jelek Soal Buang
6 0.05 Tidak Valid 0.25 Sukar -0.04 Jelek Soal Buang
7 0.74 Valid 0.41 Sedang 0.68 Baik Soal Pakai
8 0.16 Tidak Valid 0.28 Sukar 0.23 Cukup Soal Pakai
9 0.73 Valid 0.44 Sedang 0.61 Baik Soal Pakai
10 0.46 Valid 0.63 Sedang 0.31 Cukup Soal Pakai
11 0.73 Valid 0.44 Sedang 0.61 Baik Soal Pakai
12 0.49 Valid 0.28 Sukar 0.37 Cukup Soal Pakai
13 0.44 Valid 0.75 Mudah 0.23 Cukup Soal Pakai
14 0.52 Valid 0.25 Sukar 0 Jelek Soal Buang
15 0.52 Valid 0.5 Sedang 0.2 Jelek Soal Buang
47
Nomor Validitas Butir Indek Kesukaran Daya Pembeda
Keterangan
Soal (r) Kategori Angka Kategori Angka Kategori
16 0.49 Valid 0.44 Sedang 0.28 Cukup Soal Pakai
17 0.49 Valid 0.56 Sedang 0.46 Baik Soal Pakai
18 0.14 Tidak Valid 0.22 Sukar 0.11 Jelek Soal Buang
19 0.74 Valid 0.41 Sedang 0.68 Baik Soal Pakai
20 0.14 Tidak Valid 0.19 Sukar 0.18 Jelek Soal Buang
21 0.32 Tidak Valid 0.75 Mudah 0.23 Cukup Soal Pakai
22 0.36 Valid 0.25 Sukar 0.37 Cukup Soal Pakai
23 0.45 Valid 0.41 Sedang 0.3 Cukup Soal Pakai
24 0.07 Tidak Valid 0.28 Sukar 0 Jelek Soal Buang
25 0.52 Valid 0.31 Sedang 0.36 Cukup Soal Pakai
26 0.06 Tidak Valid 0.31 Sedang 0.03 Jelek Soal Buang
27 0.41 Valid 0.22 Sukar 0.44 Baik Soal Pakai
28 0.69 Valid 0.41 Sedang 0.68 Baik Soal Pakai
29 0.43 Valid 0.53 Sedang 0.13 Jelek Soal Buang
30 0.55 Valid 0.31 Sedang 0.36 Cukup Soal Pakai
Uji Reabilitas TES = Reliabel ( r-Speman = 0.77)
Jumlah Soal yang Dipakai = 20
Jumlah Soal yang Dibuang = 10
4.3 Hasil Analisis Data Miskonsepsi Peserta Didik pada Materi Hukum Newton
Adapun instrumen yang digunakan untuk mengukur miskonsepsi yang terjadi pada
peserta didik kelas X melalui soal. Pengujian instrumen dalam penelitian ini menggunakan
soal tes diagnostik yang berjumlah 20 soal pilihan ganda. Soal tes diagnostik ini
menggunakan jawaban yang beralasan, sehingga untuk mengukur miskonsepsi
menggunakan analisis Three Tier.
4.3.1 Analisis Miskonsepsi Materi Hukum Newton pada Kelas Kontrol
Pengurangan miskonsepsi pada materi hukum Newton pada kelas kontrol dapat
dianalisis dengan menggunakan persamaan Three Tier. Kurniawan (2018), mengatakan
bahwa tes bertingkat tiga (Three Tier Tests) yang akan membahas tentang lembar konsepsi.
Hasil analisis dapat dilihat dari pretest sebelum adanya perlakuan, kemudian dilakukan
48
proses pembelajaran secara konvensional dan selanjutnya dengan memberikan soal
posttest. Berikut ini adalah hasil yang diperoleh dari analisis miskonsepsi materi hukum
Newton pada kelas kontrol.
Tabel 4.3 Nilai miskonsepsi peserta didik materi Hukum Newton pada kelas kontrol
Miskonsepsi
Nomor Soal ∆M
Pretest Posttest
1 29 14 15
2 38 24 14
3 29 10 19
4 43 38 5
5 19 24 -5
6 33 33 0
7 10 0 10
8 43 19 24
9 52 14 38
10 48 33 15
11 38 33 5
12 38 24 14
13 38 14 24
14 24 24 0
15 33 19 14
16 24 14 10
17 24 10 14
18 10 10 0
19 24 14 10
20 33 10 23
Rata-rata 31.5 19.1 12.5
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat diperoleh hasil analisis miskonsepsi materi hukum
Newton menggunakan analisis Three Tier. Adapun hasil analisis data yang didapatkan
pada kelas kontrol terdiri dari pretest dengan nilai rata-rata 31.5%, posttest nilai rata-
ratanya 19.1% dan selanjutnya hasil pengurangan miskonsepsi dengan rata-rata 12.5%.
Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa setelah menerapkan pembelajaran direct
49
instruction peserta didik masih mengalami miskonsepsi. Arianti (2016), mengatakan
bahwa melalui model direct instruction guru akan memberikan materi yang disampaikan
secara langsung kepada peserta didik secara bertahap. Namun, peserta didik tidak diberi
kebebasan atau kemandirian dalam menyelesaikan permasalahan pada materi tersebut.
Selain itu, setelah menganalisis jawaban dan nilai CRI peserta didik pada soal
pretest dan posttest, maka dapat dilihat persentase peserta didik dalam tabel yang terdiri
dari Lucky Guess/tebakan beruntung (LG), Lack Knowledge/kurang pemahaman (LK),
Knowledge of Correct Concept/konsep benar (KCC), Misconseption/salah konsep (MIS)
dan No Confident/tidak yakin. Analisis tersebut dapat dilihat secara keseluruhan dari
jumlah peserta didik yang ada di kelas kontrol. Hasil analisis data pada kelas kontrol terdiri
dari 24 peserta didik. Untuk membuktikan hasil analisis CRI peserta didik pada kelas kelas
kontrol disajikan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Analisis CRI peserta didik pada soal pretest
No Kode Nama LG LK KCC MIS NC
(%) (%) (%) (%) (%)
1 XI 0.0 0.0 20.0 30.0 16.7
2 X2 3.3 3.3 43.3 6.7 10.0
3 X3 6.7 3.3 26.7 13.3 13.3
4 X4 6.7 3.3 6.7 23.3 26.7
5 X5 3.3 3.3 6.7 26.7 23.3
6 X6 6.7 3.3 16.7 23.3 13.3
7 X7 0.0 3.3 23.3 26.7 10.0
8 X8 0.0 6.7 40.0 6.7 13.3
9 X9 6.7 0.0 43.3 3.3 13.3
10 X10 0.0 3.3 30.0 20.0 13.3
11 X11 0.0 10.0 26.7 10.0 20.0
12 X12 3.3 10.0 20.0 20.0 10.0
13 X13 6.7 10.0 16.7 20.0 13.3
14 X14 0.0 3.3 26.7 6.7 30.0
15 X15 6.7 3.3 16.7 16.7 23.3
16 X16 0.0 6.7 30.0 13.3 16.7
17 X17 6.7 0.0 26.7 23.3 10.0
18 X18 0.0 3.3 30.0 13.3 20.0
19 X19 0.0 3.3 36.7 16.7 10.0
20 X20 0.0 3.3 20.0 26.7 16.7
21 X21 0.0 3.3 26.7 16.7 16.7
22 X22 0.0 6.7 3.3 30.0 23.3
23 X23 0.0 6.7 30.0 6.7 23.3
24 X24 3.3 3.3 20.0 16.7 23.3
Jumlah 60.1 103.0 586.9 416.8 409.8
50
Rata-rata 2.5 4.3 24.5 17.4 17.1
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa nilai persentase pretest pada kelas kontrol. Hal ini
membuktikan bahwa hasil analisis jawaban dan CRI peserta didik sebelum menerapkan
modul pembelajaran berbasis PBL terjadinya miskonsepsi yang lebih tinggi dibandingkan
analisis CRI lainnya. Untuk membuktikan hasil analisis CRI peserta didik pada soal
posttest disajikan pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai persentase posttest pada kelas kontrol. Hasil
analisis membuktikan bahwa setelah menerapkan model pembelajaran secara konvensional
51
melalui penerapan model pembelajaran direct instruction, maka hasil yang diperoleh dari
jawaban dan CRI menunjukkan bahwa miskonsepsi peserta didik masih tinggi, sehingga
perlunya modifikasi pembelajaran yang dapat mengurangi miskonsepsi peserta didik.
4.3.2 Analisis Miskonsepsi Materi Hukum Newton pada Kelas Eksperimen
Analisis data miskonsepsi pada materi Hukum Newton kelas eksperimen dapat
ditentukan mengunakan analisis Three Tier. Hasil analisis terdiri dari pretest, kemudian
setelah menyelesaikan soal pretest, maka dilanjutkan dengan treatment menggunakan
pembelajaran modul berbasis PBL untuk mengurangi miskonsespi peserta didik.
Tabel 4.6 Nilai miskonsepsi peserta didik materi Hukum Newton pada kelas eksperimen
Miskonsepsi
Nomor soal ∆M
Pretest Posttest
1 48 10 38
2 29 5 24
3 38 10 28
4 52 10 42
5 43 0 43
6 76 29 47
7 52 14 38
8 43 24 19
9 48 14 34
10 33 29 4
11 57 5 52
12 43 5 38
13 43 5 38
14 57 24 33
15 48 24 24
16 48 33 15
17 57 19 38
18 29 5 24
19 29 10 19
20 33 10 23
Jumlah 906 285 621
Rata-rata 45.3 14.3 31.1
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa hasil analisis data kelas eksperimen untuk
mengurangi miskonsepsi pada materi Hukum Newton dapat menggunakan analisis Three
Tier. Hasil analisis data diperoleh bahwa pada kelas eksperimen sebelum adanya treatment
dengan menggunakan pembelajaran modul berbasis PBL, maka dapat diberikan soal
pretest, sehingga hasil pretest diperoleh rata-ratanya sebesar 45.3%, kemudian setelah
52
adanya perlakuan diperoleh rata-rata sebesar 14.3% dan hasil pengurangan miskonsepsi
diperoleh sebesar 31.1%. Hal ini membuktikan bahwa sebelum menerapkan modul
pembelajaran berbasis PBL pada kelas eksperimen, rata-rata peserta didik masih terdapat
miskonsepsi yang tinggi, kemudian setelah menerapkan modul pembelajaran berbasis PBL
terdaapat pengurangan miskonsepsi pada peserta didik tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Imaningtyas, dkk. (2016) mengatakan bahwa seluruh tahapan PBL berperan
dalam mengurangi miskonsepsi yang terjadi, dan penurunan miskonsepsi dapat mecapai
target yang telah ditetapkan.
Setelah pembelajaran berlangsung dengan menerapkan modul pembelajaran
berbasis PBL, maka dapat dilihat hasil analisis data CRI dari soal pretest kelas kontrol.
Analisis CRI dilakukan untuk melihat kriteria dari matrik CRI Three Tier dari jawaban
yang dijawab oleh peserta didik. Hasil analisis data dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Analisis CRI peserta didik pada soal pretest
No Kode Nama LG LK KCC MIS NC
(%) (%) (%) (%) (%)
1 XI 0.0 0.0 13.3 46.7 6.7
2 X2 3.3 10.0 20.0 23.3 10.0
3 X3 13.3 6.7 16.7 23.3 6.7
4 X4 0.0 3.3 16.7 23.3 20.0
5 X5 6.7 6.7 10.0 23.3 10.0
6 X6 3.3 6.7 10.0 36.7 3.3
7 X7 3.3 6.7 13.3 33.3 6.7
8 X8 3.3 6.7 13.3 26.7 13.3
9 X9 0.0 10.0 6.7 26.7 16.7
10 X10 10.0 10.0 10.0 30.0 3.3
11 X11 0.0 13.3 6.7 26.7 13.3
12 X12 0.0 3.3 10.0 30.0 16.7
13 X13 0.0 3.3 16.7 30.0 10.0
14 X14 6.7 3.3 16.7 16.7 23.3
15 X15 0.0 0.0 23.3 13.3 20.0
16 X16 0.0 0.0 53.3 3.3 6.7
17 X17 0.0 0.0 56.7 3.3 6.7
18 X18 0.0 3.3 3.3 53.3 6.7
19 X19 0.0 6.7 3.3 23.3 20.0
20 X20 0.0 10.0 10.0 33.3 10.0
21 X21 0.0 0.0 46.7 6.7 6.7
22 X22 0.0 0.0 56.7 3.3 6.7
23 X23 0.0 3.3 13.3 23.3 16.7
24 X24 6.7 0.0 23.3 13.3 23.3
25 X25 0.0 3.3 6.7 40.0 13.3
26 X26 6.7 3.3 16.7 16.7 23.3
53
No Kode Nama LG LK KCC MIS NC
(%) (%) (%) (%) (%)
27 X27 0.0 0.0 20.0 16.7 20.0
28 X28 0.0 0.0 50.0 6.7 6.7
Jumlah 63.3 119.9 563.4 653.2 346.8
Rata-rata 2.3 4.3 20.1 23.3 12.4
Berdasarkan Tabel 4.7 menunjukkan bahwa hasil analisis data menggunakan matrik
CRI Three Tier pada soal pretest kelas eksperimen. Hasil analisis membuktikan bahwa
hasil jawaban CRI pada soal pretest kelas eksperimen sebelum menerapkan pembelajaran
berbasis PBL, maka terdapat tingkat miskonsepsi yang tinggi dibandingkan CRI lainnya.
Selain itu, analisis data posttest dapat ditentukan juga dengan menggunakan matrik
CRI Three Tier. Analisis data soal posttest tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Analisis CRI peserta didik pada soal posttest
No Kode Nama LG LK KCC MIS NC
(%) (%) (%) (%) (%)
1 XI 0.0 0.0 53.3 13.3 0.0
2 X2 0.0 0.0 40.0 20.0 6.7
3 X3 0.0 0.0 43.3 13.3 10.0
4 X4 3.3 3.3 26.7 10.0 16.7
5 X5 0.0 3.3 26.7 13.3 20.0
6 X6 0.0 3.3 30.0 10.0 16.7
7 X7 0.0 10.0 30.0 6.7 13.3
8 X8 3.3 0.0 13.3 13.3 33.3
9 X9 0.0 6.7 46.7 3.3 6.7
10 X10 0.0 0.0 60.0 0.0 6.7
11 X11 0.0 0.0 56.7 3.3 6.7
12 X12 0.0 0.0 53.3 3.3 10.0
13 X13 0.0 0.0 56.7 6.7 3.3
14 X14 0.0 16.7 30.0 10.0 10.0
15 X15 0.0 0.0 50.0 6.7 10.0
16 X16 0.0 3.3 43.3 10.0 10.0
17 X17 0.0 3.3 30.0 6.7 23.3
18 X18 3.3 0.0 43.3 13.3 6.7
19 X19 10.0 3.3 40.0 6.7 6.7
20 X20 0.0 13.3 36.7 3.3 13.3
21 X21 0.0 0.0 56.7 3.3 6.7
22 X22 0.0 0.0 53.3 3.3 6.7
23 X23 0.0 0.0 56.7 3.3 6.7
24 X24 0.0 3.3 53.3 3.3 6.7
25 X25 0.0 3.3 50.0 3.3 10.0
54
No Kode Nama LG LK KCC MIS NC
(%) (%) (%) (%) (%)
26 X26 0.0 0.0 60.0 0.0 3.3
27 X27 0.0 0.0 60.0 0.0 6.7
28 X28 0.0 0.0 60.0 0.0 6.7
Jumlah 19.9 73.1 1260 189.7 283.6
Rata-rata 0.7 2.6 45.0 6.8 10.1
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa hasil analisis data soal posttest kelas eksperimen
menggunakan persamaan matrik CRI Three Tier. Hasil yang diperoleh setelah menerapkan
modul pembelajaran berbasis PBL pada kelas eksperimen membuktikan bahwa
miskonsepsi peserta didik mengalami pengurangan.
Tabel 4.9 Rekapitulasi uji normalitas data pretest dan posttest untuk kelas eksperimen dan
kelas kontrol
Nilai Pretest Nilai Posttest
Kelas 2 2 2 2 Keterangan
x hitung x tabel x hitung x tabel
Eksperimen 18,88 40,1 11,69 40,1 Berdistribusi Normal
Kontrol 3,63 33,2 13,13 33,2 Berdistribusi Normal
Berdasarkan Tabel 4.9 menunjukkan bahwa pada taraf signifikan α = 0,05 dengan
derajat kebebasan dk = n–1, maka dari tabel distribusi Chi-kuadrat pretest kelas
55
2 2 2
eksperimen x (0,95) (27) = 40,1, sehingga x hit < x tab = 18,88 < 40,1 dan posttest kelas
2
eksperimen x hit< x2tab = 11,69 < 40,1. Selanjutnya pretest kelas kontrol x2(0,95) (24) = 33,2,
2 2 2
sehingga x hit <x tab = 3,63 < 33,2 dan posttest kelas kontrol x hit< x2tab = 13,13 < 33,2.
Berdasarkan hasil analisis uji normalitas yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa
pada kedua kelas tersebut terdistribusi secara normal atau persebaran skor pretest dan
posttest dari sampel penelitian tersebar merata.
4.4.2 Uji Homogenitas
Fungsi uji Homogenitas Varians adalah untuk mengetahui apakah sampel ini
berhasil dari populasi dengan varians yang sama (homogen) atau tidak sama (heterogen),
sehingga hasil dari penelitian ini berlaku bagi populasi. Nelli, dkk. (2016) mengatakan
bahwa uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah data N-gain antara kelas
kontrol dan eksperimen mempunyai varians yang homogen atau tidak. Data yang homogen
merupakan salah satu syarat dalam uji t atau independent sample t test. Uji homogenitas
dilakukan pada variansi data posttest eksperimen dan posttest kontrol berdistribusi normal .
Adapun hasil analisis datanya dapat dilihat pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10 Rekapitulasi uji homogenitas data pretest dan posttest untuk kelas eksperimen
dan kelas kontrol
Varians Fhitung Ftabel Keterangan
Pretest 0,36 1.97 Homogen
Posttest 1,05 1.97 Homogen
Berdasarkan Tabel 4.10 didapatkan bahwa pada varian pretest kelas eksperimen
dan kelas kontrol, Fhitung < Ftabel atau 0,36 < 1,97 dan varian posttest kelas eksperimen dan
kelas kontrol, Fhitung < Ftabel atau 1,05 < 1,97 maka dapat disimpulkan bahwa kedua varian
homogen untuk data nilai pretest dan data nilai posttest. Hasil analisis membuktikan
bahwa, dengan homogennya suatu data tersebut, maka syarat untuk melakukan uji t atau
independen sample t test telah terpenuhi.
4.4.3 Uji t (Independen Sample t Test)
Uji t digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata dua sampel
yang tidak berpasangan. Persyaratan pokok dalam uji t atau independen sample t test
adalah data berdistribusi normal dan homogen. Adapun hasil analisis datanya dapat dilihat
pada Tabel 4.11 dan Tabel 4.12.
Tabel 4.11 Rekapitulasi uji t pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol
Kelompok Rata-Rata thitung ttabel Interpretasi Kesimpulan
Eksperimen 48,39 0,48 1,68 thitung < ttabel Tidak Berbeda Nyata
56
Kontrol 46,67
Tabel 4.11 menunjukkan bahwa nilai pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol
diperoleh nilai t sebesar 0,48. Menurut Sudjana (2001:244), apabila nilai thitung lebih kecil
daripada ttabel, maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelas tersebut.
Pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum diberi perlakukan, kondisi kedua
kelas tersebut sama. Artinya tidak ada perbedaan hasil belajar peserta didik pada kedua
kelas tersebut.
Tabel 4.12 Rekapitulasi uji t posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol
Kelompok Rata-Rata thitung ttabel Interpretasi Kesimpulan
Eksperimen 78,93 7,64 1,68 thitung > ttabel Berbeda Nyata
Kontrol 55,63
Berdasarkan Tabel 4.12 didapatkan bahwa nilai thitung > ttabel yaitu 7,64 >1,68,
maka dapat disimpulkan ada perbedaan rata-rata hasil belajar peserta didik antara
pembelajaran dengan menerapkan modul pembelajaran berbasis PBL dengan model
pembelajaran direct instruction. Hal ini membuktikan bahwa penerapan atau implementasi
modul pembelajaran berbasis PBL pada kelas eksperimen lebih efektif daripada
pembelajaran dengan model direct instruction pada kelas kontrol.
57
Modul yang diterapkan dalam penelitian ini beriupa modul pembelajaran berbasis
PBL. Modul ini merupakan salah satu modul yang mengaitkan materi pembelajaran
dengan fenomena kesehariannya, sehingga peserta didik akan menemukan permasalahan
dalam modul tersebut dengan mudah. Anjarwati, dkk. (2018), mengatakan bahwa modul
yang dikembangkan efektif dalam meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa
dibandingkan ke bahan pengajaran biasa yang digunakan di sekolah, dikarenakan aktivitas
belajar menggunakan modul yang berisi sintaks pembelajaran berbasis masalah, yang
memicu siswa melatih keterampilan mereka untuk meningkat berpikir kreatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peran modul pembelajaran
berbasis PBL dalam proses pembelajaran di kelas dapat membuat peserta didik lebih
mandiri. Peserta didik dapat memahami materi pembelajaran secara spesifik dalam modul
dan menyelesaikan permasalahan dalam modul secara bertahapan. Modul pembelajaran ini
dilengkapi dengan rincian penjelasan, eksperimen dan soal-soal yang berkaitan dengan
materi, sehingga dapat melatih peserta didik untuk menyelesaikan soal-soal latihan
dikarenakan peserta didik sebelumnya telah melakukan eksperimen secara langsung
terhadap materi yang dibahas berupa Hukum Newton. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Furqan, dkk. (2015) e-module berbasis PBL dirancang dengan menghadirkan masalah yang
berkaitan dengan kehidupan nyata diawal pembelajaran. Hal tersebut memungkinkan siswa
untuk mengkontruksi sendiri pengetahuannya melalui masalah yang diberikan.
Peserta didik memahami konsep Hukum Newton dalam bentuk penjelasan dan
eksperimen di dalam kelas. Adapun eksperimen yang dilakukan oleh peserta didik telah
adanya petunjuk yang dijelaskan dalam modul secara terperinci. Konsep Hukum Newton
akan diperjelas secara detail dalam modul, sehingga hanya sebagian peserta didik yang
belum memahami konsep tersebut. Pemahaman konsep pada materi Hukum Newton ini
bertujuan agar peserta didik tidak mengalami kesalahpahaman memahami konsep atau
miskonsepsi terhadap materi Hukum Newton.
4.5.2 Hasil Analisis Miskonsepsi Perbutir Soal
Analsis miskonsepsi dilaksanakan untuk mengetahui tingkat pemahaman konsep
dari peserta didik di MAS Darul Ihsan Aceh Besar. Miskonsepsi dilihat berdasarkan
jawaban dar butir soal yang terdiri dari 20 soal pilihan ganda. Analisis miskonsepsi dilihat
pada dua kelas berupa kelas kontrol dan kelas eksperimen. Bedasarkan penelitian yang
telah dilakukan maka capaian miskonsepsi pada kedua kelas tersebut dapat dilihat pada
topik Hukum I Newton, Hukum II Newton dan Hukum III Newton. Hasil miskonsepsi
58
peserta didik dianalisis menggunakan CRI Three Tier. Adapun hasil analisis miskonsepsi
pada kelas kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.2.
60 52
48
Persentase Miskonsepsi
50 43 43
38 38 38 38 38
40 33
33 33 33 33 33
29 29
30 24 24 24 24
24 24 24 24
Siswa
19 19 19 Pretest
20 14 14 14 14 14
10 10 10 10
10 10
10 Posttest
0
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nomor Soal
59
untuk mengetahui seberapa besar miskonsepsi peserta didik dapat dilihat pada Gambar
4.3.
80 76
Persentase Miskonsepsi Siswa
70
57 57 57
60 52 52
48 48 48 48
50 43 43 43 43
38
40 33 33 33
29 29 29 29 29 Pretest
30 24 24 24
19
20 14 14 Posttest
10 10 10 10 10
10 5 5 5 5 5
0
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Nomor Soal
60
hukum 3 Newton 9 14 48 0,54 54
dalam kehidupan 13 5 43 0,88 88
sehari-hari.
Rata-rata 67,8
Berdasarkan Tabel 4.13 dan 4.14 dapat dinyatakan bahwa penurunan miskonsepsi
perbutir soal melalui modul pembelajaran berbasis PBL lebih baik daripada model direct
instruction. Hasil analisis data sebelumnya menggambarkan bahwa penurunan miskonsepsi
melalui implementasi modul pembelajaran berbasis PBL sebesar 67,8% lebih tinggi
dibandingkan dengan implementasi model pembelajaran direct instruction hanya sebesar
40,5%. Namun, meskipun secara rata-rata terjadi penurunan miskonsepsi melalui modul
pembelajaran berbasis PBL, ada bebarapa butir soal yang dapat diatasi melalui model
direct instruction dibandingkan dengan modul pembelajaran berbasis PBL. Hasil temuan
perbutir soal menunjukkan bahwa penurunan miskonsepsi siswa pada soal nomor 7, 8, 9
dan 10 lebih tinggi melalui model direct instruction dibandingkan modul pembelajaran
berbasis PBL. Adapun temuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.15.
Tabel 4.15 Temuan rendahnya penurunan miskonsepsi melalui modul pembelajaran
berbasis PBL dibandingkan model direct instruction
No Indikator No Bentuk miskonsepsi
soal
1 Mengidentifikasi 8 Siswa beranggapan bahwa pengibaran bendera
penerapan prinsip menggunakan katrol lebih cepat dengan
hukum 2 Newton menggunakan tali yang tegang daripada kendor.
dalam kehidupan Hal ini sesuai dengan hukum II Newton bahwa
sehari-hari percepatan bendera tersebut berbanding lurus
dengan resultan gaya dan berbanding terbalik
dengan massanya. Bahkan sesuai dengan hukum
III Newton adanya aksi dan reaksi.
10 Siswa beranggapan bahwa pasangan aksi dan
reaksi terdapat pada T2 dan T3, dikarenakan sistem
dalam keadaan seimbang maka T2 akan
memberikan aksi terhadap T3 sebagai reaksinya
2 Mengidentifikasi 7 Siswa beranggapan bahwa hukum III Newton
penerapan prinsip menyatakan bahwa gaya yang bekerja pada benda
hukum 3 Newton berbanding lurus dengan massa dan
dalam kehidupan percepatannya.
sehari-hari. 9 Siswa beranggapan bahwa saat tangan kita
memukul tembok dengan gaya F, tangan kita
merasa kesakitan, karena gaya yang diberikan saat
tangan memukul tembok memberikan gaya aksi
yang sama arahnya dan besarnya sama.
Miskonsepsi juga dapat ditemukan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dari
hasil analisis menggunakan CRI dengan tujuan mengetahui tingkat miskonsepsi pada soal
pretest dan posttest. Nursefriani (2019), dalam penelitiannya ada kekeliruan konsep
61
(miskonspsi) yang terjadi pada diri siswa yang teridentifikasi antara lain; (a) Gaya normal
pada suatu benda selalu sama dengan berat benda tersebut. (b) Gaya aksi-reaki bekerja
pada benda yang sama, (c) Massa benda sama dengan berat benda, (d) Benda yang
memiliki massanya besar maka gaya yang dihasilkan besar pula. Hal ini membuktikan
bahwa pada materi fisika, masih ada peserta didik yang mengalami miskonsepsi atau salah
konsep. Hasil analisis CRI ini dapat dilihat pada Gambar 4.4.
50 45
40
Persentase CRI
LG
30 26,2
24,5 23,3 23,3 LK
20,1
20 17,4 17,1
12,4 KCC
10,8 10,1
10 6,8 MIS
2,54,3 2,41,9 2,34,3 0,72,6 NC
0
Pretest Kontrol Posttest Kontrol Pretest Posttest
Eksperimen Eksperimen
Berdasarkan Gambar 4.4 menunjukkan bahwa penelitian ini dilaksanakan pada dua
kelas yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pada kelas kontrol pembelajaran
dilaksanakan dengan menerapkan model pembelajaran direct instruction dan kelas
eksperimen dengan menerapkan modul pembelajaran berbasis PBL. Hasil analisis data
secara keseluruhan menunjukkan bahwa setelah menerapkan pembelajaran dengan
menggunakan modul berbasis PBL dapat mengurangi miskonsepsi peserta didik pada
materi Hukum Newton.
4.5.3 Analisis Peningkatan Hasil belajar Peserta Didik
Analisis peningkatan hasil belajar peserta didik menunjukkan bahwa nilai sig (2-
tailed) sebesar 0.000 < 0.05, maka dapat disimpulkan adanya perbedaan hasil belajar
peserta didik pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Selain itu, untuk melihat
peningkatan hasil belajar peserta didik dapat dilihat pada Gambar 4.5.
62
90
78,9
80
Persentase Hasil Belajar
70
60 55,6
48,4 46,7
50
Kelas Eksperimen
40
Kelas Kontrol
30
20
10
0,5 0,2
0
Pretest Posttest N-gain
63
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang implementasi modul
pembelajaran berbasis PBL di MAS Darul Ihsan Aceh Besar, maka disimpulkan bahwa:
1) Implementasi modul pembelajaran berbasis PBL pada materi Hukum Newton di kelas
eksperimen dapat mengurangi tingkat miskonsepsi peserta didik sebesar 67,8%,
sementara implementasi model pembelajaran direct instruction pada kelas kontrol
hanya mengurangi tingkat miskonsepsi sebesar 40,5%. Hal ini menunjukkan bahwa
modul pembelajaran berbasis PBL untuk materi Hukum Newton dapat mengurangi
tingkat miskonsepsi di kalangan peserta didik MAS Darul Ihsan Aceh Besar.
2) Pengurangan tingkat miskonsepsi pada materi Hukum Newton mampu meningkatkan
hasil belajar peserta didik di MAS Darul Ihsan Kabupaten Aceh Besar.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, maka yang menjadi
saran dalam penelitian ini adalah:
1) Modul pembelajaran berbasis PBL yang telah diujicoba di MAS Darul Ihsan dapat
diujicoba di tempat lain untuk mendapatkan perbandingan pengurangan tingkat
miskonsepsi di lingkungan sekolah yang berbeda.
2) Dapat dilakukan pengembangan yang mencakup notasi yang lebih luas di topik
Hukum Newton atau topik lain di bidang fisika.
64
3) Penelitian tentang miskonsepsi dapat ditingkatkan penelitian dengan subjek
mahasiswa S1.
65