Anda di halaman 1dari 49

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN


DISPOSISI MATEMATIS TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN
MASALAH FISIKA PESERTA DIDIK KELAS X SMA NEGERI 7 LUWU
UTARA

RISKHA LESTARI SADIAH


210008301012

PROGRAM PASCASARJANA
S2 PENDIDIKAN FISIKA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2022
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan pada hakekatnya adalah sebuah proses untuk menyiapkan

manusia agar dapat bertahan hidup dalam lingkungannya, untuk dapat bertahan

hidup setiap individu perlu dibekali pengetahuan agar memiliki kecakapan baik

berupa kemampuan kemampuan dalam menghadapi masalah yang terjadi dalam

masyarakat. Oleh karena itu, kemampuan ini dipelajari oleh siswa dalam setiap

mata pelajaran yang diberikan dalam pendidikan. Seperti tertuang dalam Undang-

Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan

nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia

Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan kemampuan, kesehatan

jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab

kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan pendidikan tersebut diimplementasikan

pada beberapa pelajaran dalam pendidikan formal seperti Agama, IPA, IPS,

Matematika, dan lain-lain.

Fisika merupakan salah satu cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang

erat kaitannya dengan perilaku dan struktur benda dan salah satu pelajaran dalam

rumpun IPA yang sangat dekat kaitannya dengan aktivitas manusia dalam

kehidupan sehari-hari. Fisika sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang

peristiwa dan fenomena alam termasuk salah satu pelajaran yang cukup menarik

karena erat kaitannya dengan kejadian nyata dan juga dapat diapliksikan dalam

1
2

kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pembelajaran fisika seharusnya lebih

menekankan pada proses kegiatan yang dialami peserta didik melalui interaksi

dengan lingkungan dalam menguasai konsep fisika. Terkait dengan hal tersebut,

proses pembelajaran fisika disekolah diharapkan dapat memberikan pengalaman

ilmiah kepada peserta didik, memberikan kesempatan bekerja sama,

mengembangkan kemampuan berpikir untuk menyelesaikan masalah sehingga

mampu unuk mencapai hasil yang baik.

Pembelajaran fisika disekolahan bertujuan agar peserta didik dapat

mempersiapkan diri pada keadaan dunia yang selalu berkembang. Ketika peserta

didik bicara bahwa belajar fisika itu tidak mudah, bukan hanya memahami konsep

fisikanya saja tetapi peserta didik juga harus mampu memecahkan masalah fisika

yang dianggapnya sulit. Selain itu, kemampuan afektif juga sangat diperlukan

dalam pembelajaran sebagai pendukung kemampuan lainnya salah satunya yaitu

disposisi matematis peserta didik hal ini sesuai dengan pernyataan Depdiknas

(2008) yang menyatakan bahwa ranah afektif menentukan keberhasilan belajar

seseorang. Siswa yang memiliki disposisi matematis tinggi cenderung akan

mengemukakan ide pemikiran atas solusi pemecahan masalah yang disajikan guru

dan berusaha mempertahankan ide pemikirannya dengan asumsi yang telah

dikonstruksikannya secara logis (Kurniawan, 2020).

Berdasarkan observasi yang dilakukan pada tanggal 18-22 Juli 2022 peneliti

mewawancarai salah satu guru bidang studi fisika kelas X di SMA Negeri 7 Luwu

Utara, Kec. Baebunta Selatan, Kab. Luwu Utara, guru tersebut mengatakan bahwa
3

kemampuan pemecahan masalah peserta didik belum optimal, beberapa kondisi di

lapangan pada saat proses pembelajaran berlangsung yakni, (1) peserta didik

mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran fisika, (2) peserta didik cenderung

pasif dalam proses pembelajaran dan hanya menerima penjelasan dari guru tanpa

adanya umpan balik, (3) peserta didik kurang tertarik dengan pelajaran fisika, (4)

peserta didik cenderung monoton dalam mengerjakan soal-soal latihan karena soal

yang diberikan oleh guru hampir sama dengan contoh yang diberikan.

Peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa peserta didik di SMA

Negeri 7 Luwu Utara dan mendapatkan beberapa kesimpulan yakni, (1) peserta

didik kurang tertarik dengan pelajaran fisika sehingga menyebabkan rasa ingin tahu

dan minat peserta didik terhadapat pelajaran fisika ikut berkurang, (2) pada proses

pembelajaran peserta didik terkadang kurang memperhatikan penjelasan yang

diberikan oleh guru karena merasa bosan dan sulit untuk dipahami, (3) peserta didik

dalam mengerjakan latihan soal yang diberikan cenderung bekerja sama, (4) peserta

didik kurang percaya diri dengan jawaban yang diberikan karena takut apabila

jawaban yang diberikan salah, namun tidak semua peserta didik menunjukkan sikap

tersebut. Terdapat beberapa peserta didik yang menunjukkan sikap rasa ingin tahu

yang besar terhadap pelajaran fisika, memiliki tekad dan percaya diri dalam

mengerjakan latihan soal yang diberikan, serta merasa senang dalam proses

pembelajaran. Karakteristik inilah yang kemudian peneliti menyimpulkan bahwa

terdapat perbedaan disposisi matematis yang dimiliki oleh peserta didik.

Disposisi matematis merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan


4

peserta didik saat belajar fisika, dimana disposisi matematis berguna untuk

menanamkan atau memperkuat sikap-sikap positif. Kurangnya sikap positif dalam

belajar dapat menyebabkan kemampuan pemecahan masalah menjadi kurang

optimal. Untuk itu dalam pembelajaran perlu dikembangkan sikap positif. Sikap-

sikap positif tersebut diantaranya percaya diri, gigih, ingin tahu dan fleksibel.

Dalam konteks fisika, disposisi matematis berkaitan dengan bagaimana peserta

didik menyelesaikan masalah yang diberikan , apakah percaya diri, tekun, berminat

dan berpikir fleksibel untuk mengeksplorasi berbagai alternatif dalam

menyelesaikan masalah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Kurniawan (2020), dimana pada hasil penelitiannya diperoleh besarnya nilai

koefisien korelasi sebesar 0,556 sedangkan nilai koefisien determinasi sebesar

0,309. Hal ini dapat diartikan bahwa pengaruh disposisi matematis terhadap

kemampuan pemecahan masalah sebesar 30,9 % dengan interpretasi bahwa

disposisi matematis berkontribusi secara sedang mempenagaruhi kemampuan

pemecahan masalah siswa yang artinya Sebagian besar kemampuan pemecahan

masalah dipengaruhi oleh disposisi matematis. Oleh karena itu, disposisi matematis

merupakan aspek yang berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah dalam

pembelajaran fisika.

Upaya untuk mengatasi kemampuan pemecahan masalah fisika peserta

didik dibutuhkan tuntutan untuk menerapkan suatu model pembelajaran yang

melibatkan peserta didik secara aktif. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan

dengan mengamati proses pembelajaran dalam kelas, proses pembelajaran dikelas


5

belum menggunakan model pembelajaran yang mengutamakan keaktifan peserta

didik dan pada saat mengajar fisika guru menggunakan langkah-langkah

pembelajaran, yaitu : (1) guru menyampaikan tujuan pembelajaran, (2) guru

mempersiapkan peserta didik untuk menerima materi yang akan diajarkan, (3) guru

memberikan penjelasan materi, (4) guru mengecek pemahaman dan umpan balik

peserta didik, (5) guru memberikan latihan soal-soal. Langkah-langkah

pembelajaran yang digunakan oleh guru mata pelajaran fisika cenderung dengan

model pembelajaran langsung dimana dalam penelitian ini model pembelajaran

langsung disebut sebagai model pembelajaran konvensional.

Model pembelajaran yang biasa diterapkan guru dalam proses pembelajaran

belum terlalu menekankan pada tahap mengikut suatu proses, mengamati suatu

objek, merencanakan solusi, menganalisis serta membuktikan dan menarik

kesimpulan. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah peserta didik dan sikap pasif dalam proses pembelajaran, pemilihan model

pembelajaran yang tepat sangat diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran.

Model pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang

menekankan penyajian masalah sebagai titik tolak sehingga merangsang rasa ingin

tahu peserta didik serta akan memotivasi untuk terlibat secara optimal. Menurut

Nurlaila (2013) pembelajaran berbasis masalah adalah kegiatan pembelajaran yang

melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan peserta didik untuk mencari dan

menyelidiki sesuatu secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat

merumuskan sendiri dengan penuh percaya diri. Hal ini tentu saja akan
6

menghilangkan sikap pasif peserta didik dalam belajar.

Kemampuan pemecahan masalah yang belum optimal perlu dikaji lebih

lanjut untuk mengetahui bagaimana kemampuan pemecahan masalah fisika peserta

didik dengan memperhatikan disposisi matematis peserta didik. Agar deskripsi

kemampuan pemecahan masalah fisika peserta didik dapat diketahui dengan lebih

baik, maka peserta didik diarahkan dengan menggunakan tahap pemecahan

masalah menurut Heller dan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah

peserta didik menggunakan metode tes, selain itu untuk mengetahui disposisi

matematis peserta didik menggunakan metode non tes dengan memperhatikan

indikator disposisi matematis.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dan diposisi

matematis terhadap kemampuan pemecahan masalah peserta didik dengan judul

“Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah dan Disposisi Matematis

Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Peserta Didik Kelas X SMA Negeri 7

Luwu Utara”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara keseluruhan, apakah ada perbedaan kemampuan pemecahan masalah

fisika antara peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran

berbasis masalah dengan peserta didik yang diajar dengan menggunakan model
7

pembelajaran konvensional

2. Ditinjau dari disposisi matematis tinggi, apakah ada perbedaan kemampuan

pemecahan masalah fisika antara peserta didik yang diajar menggunakan model

pembelajaran berbasis masalah dengan peserta didik yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran konvensional

3. Ditinjau dari disposisi matematis rendah, apakah ada perbedaan kemampuan

pemecahan masalah fisika antara peserta didik yang diajar menggunakan model

pembelajaran berbasis masalah dengan peserta didik yang diajar dengan

menggunakan model pembelajaran konvensional

4. Apakah pengaruh interaksi antara model pembelajaran berbasis masalah dan

disposisi matematis terhadap kemampuan pemecahan masalah fisika peserta

didik

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, penelitian ini memiliki tujuan

sebagai berikut :

1. Menganalisis secara keseluruhan perbedaan kemampuan pemecahan masalah

fisika antara peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran

berbasis masalah dengan peserta didik yang diajar dengan menggunakan model

pembelajaran konvensional

2. Menganalisis perbedaan kemampuan pemecahan masalah fisika dengan disposisi

matematis tinggi, apakah ada perbedaan kemampuan pemecahan masalah fisika

antara peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran berbasis


8

masalah dengan peserta didik yang diajar dengan menggunakan model

pembelajaran konvensional

3. Menganalisis perbedaan kemampuan pemecahan masalah fisika dengan disposisi

matematis rendah, apakah ada perbedaan kemampuan pemecahan masalah

fisika antara peserta didik yang diajar menggunakan model pembelajaran

berbasis masalah dengan peserta didik yang diajar dengan menggunakan model

pembelajaran konvensional

4. Menganalisis interaksi antara model pembelajaran berbasis masalah dan disposisi

matematis terhadap kemampuan pemecahan masalah fisika peserta didik

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :

1. Untuk peserta didik, dapat membantu dalam meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah peserta didik serta membuat suasana pembelajaran yang

aktif karena peserta didik terlibat langsung dalam proses pembelajaran melalu

model pembalajaran berbasis masalah.

2. Untuk pendidik, sebagai alternatif pembelajaran bagi guru, khususnta

pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah peserta didik, salah satu alternatifnya yaitu dengan menggunakan

model pembelajaran berbasis masalah.

3. Untuk peneliti, menambah pengalaman dan wawasan pengetahuan dalam

menggunakan model pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah peserta didik.


9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Kemampuan Pemecahan Masalah

Kemampuan merupakan kecakapan setiap individu dalam melakukan suatu

pekerjaan atau menguasai suatu hal yang yang ingin dikerjakan. Masalah

merupakan kesenjangan antara harapan dengan kenyataan, masalah tidak hanya

dihadapi oleh orang dewasa namun anak usia sekolah pun seringkali menghadapi

masalah dalam lingkungan belajarnya. Adanya permasalahan tersebut secara tidak

langsung membuat pemecahan sebagai kegiatan dasar manusia dalam kehidupan

sehari-harinya. Pemecahan masalah merupakan suatu tindakan yang dianggap

sebagai solusi dalam penyelesaian masalah.

Kemampuan pemecahan masalah merupakan aktivitas koginitif yang

didalamnya termasuk mendapatkan informasi dan dalam bidang fisika pemecahan

masalah berkenaan dengan konsep fisika. Heller (dalam Lestari, 2019) menyatakan

bahwa kemampuan pemecahan masalah pada hakekatnya merupakan kemampuan

berpikir (learning to think) atau belajar bernalar (learning to reason), yaitu berpikir

atau bernalar, mengaplikasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperoleh

sebelumnya untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang belum pernah

dijumpai. Wolfook (dalam Firmansyah, 2022) berpendapat bahwa Kemampuan

pemecahan masalah (problem solving) adalah kemampuan yang dikuasai seorang

siswa untuk memecahkan masalah dengan menggunakan proses berpikirnya


10

melalui mengumpulkan fakta, analisis informasi, menyusun berbagai alternatif

pemecahan, dan memilih pemecahan masalah yang paling efektif.

Pemecahan masalah memiliki 3 dimensi yaitu, (1) sebagai suatu tujuan

pembelajaran (goal), sebagai proses berpikir (process), dan sebagai kemampuan

dasar (basic skill). Sebagai dimensi proses, pemecahan masalah dibelajarkan

sebagai upaya unutk mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik dalam

memecahkan masalah. Menurut Heller dkk (2010) menyatakan bahwa strategi

pemecahan masalah dapat dilakukan dengan lima tahapan yaitu, (1) tahap mengenal

masalah (recognize the problem), (2) tahap menjelaskan masalah (describe the

problem in terms of the field), (3) tahap perencanaan masalah (plan a solution), (4)

tahap pelaksanaan perencanaan (execute the plan), (5) mengecek dan mengevaluasi

jawaban (evaluate the solution). Tahapan tersebut dapat diterapkan dalam

pemecahan masalah fisika. Pemecahan masalah fisika menuntut Langkah-langkah

yang sistematis untuk menentukan solusi dari permesalahan.

Secara garis besar Langkah-langkah pemecahan masalah yang

dikemukakan Heller dapat digambarkan sebagai berikut.

Recognize the Describe the problem in


problem physics description

Plan the solution Execute the solution Check and evaluate

Gambar 2.1 Tahapan pemecahan masalah menurut Heller


11

Berikut penjelasan dari kelima tahapan pemecahan masalah diatas :

1. Tahapan mengenal masalah (recognize the problem)

Pada tahapan ini, dilakukan visulisasi permasalahan dari kata-kata menjadi

representasi visual, membuat daftar variable yang diketahu dan ditanyakan.

2. Tahapan menjelaskan masalah (recognize the problem)

Pada tahapan ini, representasi visual diubah menjadi deskripsi fisika dengan

membuat diagram benda bebas dan memilih sistem koordinat.

3. Tahapan perencanaan pemecahan (plan the solution)

Pada tahap ini, perencanaan solusi dengan cara mengubah deskripsi fisika

menjadi representasi matematis.

4. Tahapan pelaksana perencanaan (execute the plan)

Pada tahap ini, mulai melaksanakan rencana dari solusi yang telah

ditetapkan dengan melakukan operasi matematis

5. Tahapan mengecek dan mengevaluasi (check and evaluate)

Pada tahap ini, dilakukan evaluasi solusi yang didapatkan dengan mengecek

kembali kelengkapan jawaban, tanda, satuan maupun nilai.

Ciri dari pertanyaan atau penugasan berbentuk pemecahan masalah adalah:

(1) ada tantangan dalam materi tugas atau soal, (2) masalah tidak dapat diselesaikan

dengan menggunakan prosedur rutin yang sudah diketahui penjawab. Dalam

pembelajaran fisika kemampuan pemecahan masalah sangat penting dan perlu

dikembangkan (Hidayat, 2017). Namun kenyataannya banyak siswa yang belum

menguasai kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah


12

yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah

menurut Heller yang terdiri atas lima tahapan. Berikut indikator pemecahan

masalah menurut Heller.

Tabel 2.1 Indikator pemecahan masalah menurut Heller


Tahap Indikator
1. Memvisualisasikan masalah kedalam
representasi visual
2. Mengidentifikasi masalah berdasarkan
Mengenal masalah konsep dasar
3. Membuat daftar besaran yang
diketahui
4. Menentukan besaran yang ditanyakan
1. Mengubah representasi visual kedalam
deskripsi fisika
Menjelaskan masalah
2. membuat diagram benda bebas/sketsa
yang menggambarkan permasalahan
1. mengubah deskripsi fisika menjadi
representasi matematis
Merencanakan solusi
2. Menentukan persamaan yang tepat
untuk pemecahan masalah
1. Mensubtitusi nilai besaran yang
Melaksanakan rencana pemecahan diketahui ke persamaan
masalah 2. melakukan perhitungan dengan
menggunakan persamaan yang dipilih
1. mengevaluasi hasil pemecahan
masalah
Mengevaluasi solusi 2. mengevaluasi kesesuaian dengan
konsep
3. mengevaluasi satuan
Sumber : Heller (2010)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan

pemecahan masalah merupakan suatu tindakan, proses ataupun prosedur untuk

menyelesaikan suatu masalah. Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah

satu kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik untuk mencapai kompetensi

pembelajaran dengan baik, dimana dalam belajar peserta didik akan terus
13

dihadapkan pada suatu masalah yang berkaitan dengan materi yang akan diberikan.

Dalam penelitian ini, kemampuan pemecahan masalah yang diukur melalui tahapan

kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah. Pada tahapan

mengenal masalah diukur melalui menuliskan variable yang diketahui dan variable

yang ditanyakan, tahapan menjelaskan masalah diukur melalui membuat sketsa

permasalahan, tahapan merencanakan solusi diukur melalui menentukan persamaan

yang tepat, melaksanakan rencana diukur melalui melakukan peritungan sesuai

dengan persamaan yang telah ditentukan, dan tahapan mengevaluasi solusi diukur

melalui memberikan kesimpulan dari hasil yang telah diperoleh.

2. Disposisi Matematis

Kemampuan yang harus dikembangkan dalam pembelajaran tidak hanya

mencakup kemampuan kognitif saja, tetapi juga afekif. Kemampuan afektif yang

harus dimiliki dan dikembangkan oleh setiap peserta didik dalam pembelajaran

adalah sikap menghargai kegunaan pembelajaran dalam kehidupan, sikap rasa ingin

tahu, perhatian, dan minat dalam proses pembelajaran, serta sikap ulet dan percaya

diri dalam pemecahan masalah. Aspek tersebut merupakan diposisi matematis.

Disposisi matematis berasal dari dua kata yaitu disposisi dan matematis. kata

disposisi secara terminologi sepadan dengan kata sikap. Sedangkan matematis

bersifat sangat pasti dan tepat. Disposisi matematis sangat menunjang keberhasilan

belajar peserta didik yang berdampak pada prestasi yang diperolehnya. Peserta

didik memerlukan disposisi matematis untuk bertahan dalam menghadapi masalah,

memecahkan masalah, mengambil tanggung jawab dalam belajar, dan


14

mengembangkan kebiasaan kerja yang baik dalam menyelesaikan suatu masalah.

Pembelajaran fisika selain untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan

kemampuan pemecahan masalah peserta didik, namun juga memperhatikan aspek

afektif peserta didik yakni disposisi matematis. Kilpatrick (dalam Husnidar, 2014),

menyatakan bahwa disposisi matematis peserta didik berkembang ketika mereka

mempelajari aspek kompetensi lainnya, salah satunya aspek yang berkaitan dengan

kemampuan pemecahan masalah fisika peserta didik. Penguasaan terhadap

pembelajaran fisika dapat dilihat dari mampunya peserta didik untuk memecahkan

setiap masalah yang diajukan dan kemampuannya dalam membangun strategi-

stretegi untuk menyelesaikan masalah, hal ini memberikan dampak lebih positif

terhadap sikap dan keyakinan mereka dalam pembelajaran fisika. Sebaliknya,

apabila peserta didik gagal dalam menyelesaikan masalah baru yang diberikan,

peserta didik mulai kehilangan rasa percaya diri.

Disposisi matematis menurut Katz (Sugilar, 2013) mendefinisikan disposisi

matematis sebagai kecenderungan untuk berperilaku secara sadar, teratur, dan

sukarela untuk mencapai tujuan tertentu. Perilaku-perilaku yang dimaksud adalah

percaya diri, gigih, ingin tahu, dan berpikir fleksibel. Dalam pembelajaran fisika

disposisi matematis berkaitan dengan bagaimana peserta didik dalam memecahkan

masalah apakah percaya diri, tekun, rasa ingin tahu yang besar dan berpikir fleksibel

untuk mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian masalah. Menurut NCTM

(2000), menyatakan bahwa sikap dan keyakinan peserta didik dalam menghadapi

masalah dapat mempengaruhi prestasi peserta didik, dengan demikian disposisi


15

matematis memegang peranan penting dalam menentukan kesuksesan

pembelajaran peserta didik. Disposisi matematis adalah suatu kebiasaan, keinginan

dan kecenderungan secara sadar dan positif terhadap pembelajaran sehingga ketika

belajar untuk menyelesaikan masalah siswa akan termotivasi dan sungguh-sungguh

(Mayratih, 2019).

Polking (dalam Mayratih, 2019), mengemukakan beberapa indikator

disposisi matematis yakni, sifat rasa percaya diri dan tekun dalam mengerjakan

penyelesaian masalah, memecahkan masalah, berkomunikasi dengan baik, sifat

fleksibel dalam menyelidiki, dan berusaha mencari alternatif dalam memecahkan

masalah. Adapun aspek disposisi matematis menurut Wardani (2008), yakni :

kepercayaan diri, keingintahuan, ketekunan, fleksibilitas, dan refleksitas. Dengan

demikian untuk mengajarkan pemecahan masalah pada peserta didik, guru harus

mampu menumbuhkan pengetahuan dan sikap peserta didik. Berikut penjelasan

dari aspek disposisi matematis :

a. Percaya diri

Percaya diri merupakan suatu sikap yakin terhadap kemampuan yang

dimiliki untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Sikap percaya diri sangat

diperlukan oleh peserta didik untuk dapat menyelesaikan setiap masalah yang

diperoleh dalam proses pembelajaran serta dilakukan dengan penuh tanggung

jawab. Menurut Lauster, karakteristik untuk menilai sikap percaya diri yaitu,

percaya pada kemampuan diri sendiri, berperilaku mandiri saat mengambil

keputusan, dan mempunyai konsep diri positif


16

b. Rasa ingin tahu

Sikap rasa ingin tahu merupakan suatu sikap yang selalu berupaya untuk

mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang telah dipelajari. Hopkins

(Raharja, 2018), menyatakan rasa ingin tahu adalah sesuatu yang dapat diraih oleh

peserta didik jika kita membuatnya menjadi nyata dan fokus. Rasa ingin tahu

dipresentasikan dengan kemampuan belajar dan semangat untuk melakukan

penyelidikan. Beberapa karakteristik sikap rasa ingin tahu yaitu, antusias dalam

mencari jawaban, perhatian pada objek yang dipelajari, antusias pada proses, dan

menanyakan setiap langkah-langkah kegiatan.

c. Ketekunan

Sikap ketekunan merupakan sikap tekad kuat dan kesungguhan hati dalam

setiap hal yang dijalaninya, dalam proses pembelajaran sikap ketekunan sangatlah

dibutuhkan peserta didik agar bisa mendapatkan hasil belajar yang baik. Beberapa

karakteristik yang mencerminkan ketekunan yaitu, tidak cepat putus asa bila

menemukan kesulitan dalam belajar, tidak cepat merasa jenuh atau bosan,

kehadiran disekolah, mengikuti ujian, dan belajar dirumah.

d. Fleksibilitas

Sikap fleksibilitas merupakan sikap penyesuaian diri yang mudah atau

penyelarasan dalam keadaan yang berubah. Sikap fleksibilitas dalam proses

pembelajaran sangat dibutuhkan terlebih pada pelajaran fisika yang bersifat

kontekstual. Beberapa karakteristik sikap fleksibilitas yaitu, memilih strategi yang

tepat dalam menyelesaikan masalah, mempresentasikan konsep dari perspektif dan


17

representasi sesuai ilustrasi soal, dan melakukan perhitungan dengan tepat.

4. Reflektif

Sikap reflektif merupakan sikap aktif terus menerus, gigih dan

mempertimbangkan dengan seksama tentang segala sesuatu yang dipercaya

kebenarannya. Sikap reflektif adalah serangkaian langkah-langkah rasional logis

berdasarkan metode ilmiah mendefinisikan, menganalisis dan memecahkan

masalah. Beberapa karakteristik sikap reflektif yaitu, menarik analogi dari dua

kasus serupa, menginterpretasi suatu kasus berdasarkan konsep yang terlibat dan

membedakan data relevan dan tidak relevan.

Tabel 2.2 Indikator Disposisi Matematis


Indikator Keterangan
a. Percaya diri terhadap kemampuan
Percaya diri
b. Berani mengerjakan sendiri
a. Sering mengajukan pertanyaan
Rasa ingin tahu b. Melakukan penyelidikan
c. Antusias dan semangat dalam belajar
a. Gigih
b. Pantang menyerah
Ketekunan
c. Memperhatikan
d. Bersunggu-sungguh
a. Bekerjasama dan berbagi
Fleksibilitas pengetahuan
b. Menghargai pendapat yang berbeda
a. Memiliki rasa senang terhadap
fisika
Reflektif
b. Mencoba berbagai solusi untuk
menyelesaikan masalah
Sumber: Simanjuntak (2021)

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa disposisi matematis

adalah keinginan dan dedikasi yang kuat dari dalam diri peserta didik untuk belajar.

Disposisi matematis juga berkaitan dengan sikap peserta didik dalam belajar dan
18

menyelesaikan masalah, ditandai dengan indikator sikap percaya diri,

keingintahuan, ketekunan, fleksibilitas dan reflektif. Indikator disposisi matematis

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, percaya diri dalam menyelesaikan

masalah, fleksibel dalam menyelesaikan masalah, tekun dalam menyelesaikan

masalah matematis, dan rasa ingin tahu terhadap pelajaran fisika.

3. Model Pembelajaran

Guru senantiasa harus selalu menciptakan suasana belajar yang

menyenangkan dan beragam sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan

efektif. Dalam proses pembelajaran terdapat beberapa istilah yang tidak asing

diigunakan untuk menggambarkan situasi kegiatan belajar mengajar, salah satu

istilah tersebut adalah model pembelajaran. Model pembelajaran merupakan istilah

suatu yang menggambarkan proses pembelajaran dari awal hingga akhir. Joyce

(dalam al-tabani, 2014) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu

perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam

merencanakan pembelajaran di kelas. Setiap model pembelajaran mengarahkan

untuk mendesain pembelajaran untuk membantu proses pembelajaran agar

tercapainya tujuan pembelajaran.

Soekamto mengemukakan bahwa model pembelajaran merupakan suatu

kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam

mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar dan

berfungsi sebagai pedoman bagi para pengajar dalam melakukan aktivitas

pembelajaran. Adapun Arends (dalam Al-tabani, 2014), menyatakan bahwa “the


19

term teaching model refres to a particular approach to instruction that includes its

goals, syntax, environment, and management system.” Istilah dalam model

pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk

tujuannya, sintaks, lingkungan dan sistem pengelolaannya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

merupakan suatu rangkaian pembelajaran yang tersusun secara sistematis untuk

membantu proses pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran yang telah

ditentukan. Dalam penelitian ini akan digunakan model pembelajaran berbasis

masalah dan model pembelajaran konvensional (model pembelajaran langsung).

a. Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Model pembelajaran berbasis masalah dikenal sebagai suatu model

pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai titik utama dalam pembelajaran,

peserta didik dituntut untuk memecahkan masalah yang diberikan. Sanjaya (2006)

mengemukakan bahwa model pembelajaran berbasis masalah memberikan

kesempatan kepada peserta didik untuk bereksplorasi, mengumpulkan dan

menganalisis data secara lengkap untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Adapun Arends (dalam Ratumanan, 2015) menyatakan bahwa pembelajaran

berbasis masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana peserta didik

mengerjakan permasalahan autentik dengan maksud untuk Menyusun pengetahuan

mereka sendiri, mengembangkan inkuiri, mengembangkan kemandirian dan

percaya diri.

Ratumanan (2015) mengemukakan bahwa model pembelajaran berbasis


20

masalah didasarkan pada asumsi bahwa situasi teka-teki atau masalah yang tidak

terdefinisi secara ketat akan merangsang rasa ingin tahu peserta didik sehingga

mereka akan termotivasi untuk terlibat secara optimal pada aktivitas penyelidikan.

Menurut Sanjaya (dalam Al-tabany, 2014), menyatakan bahwa pembelajaran

berbasis masalah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang

menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara alamiah.

Arends (dalam Al-tabany, 2014), mengemukakan beberapa karakteristik

dari model pembelajaran berbasis masalah yaitu, pengajuan pertanyaan atau

masalah, berfokus pada keterkaitan antardisiplin, penyelidikan autentik,

menghasilkan produk dan memarkennya, dan kolaborasi. Adapun menurut Gijbelc

(dalam Ratumanan, 2015), pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa

karakteritik yakni, (1) pelajaran dimulai dengan mengangkat suatu permasalahan

atau suatu pertanyaan yang nantinya menjadi fokus untuk keperluan usaha

investigasi peserta didik, (2) siswa memiliki tanggung jawab utama dalam

menyelidiki masalah-masalah dan memburu pertanyaan-pertanyaan., (3) guru

dalam pembelajaran berbasis masalah berperan sebagai fasilitator.

Model pembelajaran berbasis masalah memiliki tujuan menurut Arends,

yaitu :

1. Membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan kemampuan

pemecahan masalah

2. Belajar peranan orang dewasa yang autentik

3. Menjadi pembelajar yang mandiri.


21

Woolfolk (Ratumanan, 2015) mengemukakan dua tujuan model pembelajaran

berbasis masalah, yakni sebagai berikut :

1. Untuk membantu peserta didik mengembangkan pengetahuan fleksibel yang

dapat diterapkan pada semua situasi yang berlawanan dengan informasi yang

diingat namun jarang diterapkan (inner knowledge).

2. Untuk meningkatkan motivasi intrinsik, kemampuan pemecahan masalah,

kolaborasi dan belajar seumur hidup

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran inovatif yang memberikan

kondisi belajar aktif kepada peserta didik serta melibatkan secara aktif peserta didik

untuk memecahkan sutau masalah. Tujuannya agar peserta didik dapat mempelajari

pengetahuan yang berkaitan dengan masalah dan sekaligus memiliki kemampuan

pemecahan masalah. Dalam proses pembelajaran berbasis masalah peserta didik

tidak diharapkan hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafalkan

materi pelajaran, akan tetapi melalui pembelajaran berbasis masalah peserta didik

aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya

menyimpulkan.

Dewey (dalam Sanjaya, 2020) mengemukakan 6 langkah dalam model

pembelajaran berbasis masalah yang dinamakan sebagai metode pemecahan

masalah, yaitu :

1. Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menentukan masalah yang akan

dipecahkan
22

2. Menganalisis masalah, yaitu langkah peserta didik meninjau masalah secara

kritis dari berbagai sudut pandang

3. Merumuskan hipotesis, yaitu langkah peserta didik merumuskan berbagai

kemungkinan pemecahan masalah sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya

4. Mengumpulkan data, yaitu langkah peserta didik mencari dan menggambarkan

informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah

5. Pengujian hipotesis, yaitu langkah peserta didik mengambil atau merumuskan

kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan

6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah peserta didik

menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai dengan rumusan hasil

pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.

Tabel 2.3. Fase Pembelajaran Berbasis Masalah


Fase Aktivitas Guru
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistis yang dibutuhkan,
Fase 1 menyajikan fenomena atau situasi
Orientasi peserta didik terhadap masalah untuk memunculkan masalah
masalah dan memotivsi peserta didik untuk
terlibat dalam kegiatan pemecahan
masalah yang dipilih.
Guru membantu peserta didik untuk
Fase 2
mendefinisikan dan mengorganisasikan
Mengorganisasikan peserta didik
tugas belajar yang berhubungan dengan
untuk belajar
masalah tersebut.
Guru mendorong peserta didik untuk
Fase 3 mengumpulkan informasi yang sesuai,
Membimbing penyelidikan individual melaksanakan eksperimen untuk
maupun kelompok mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalah.
Guru membantu peserta didik untuk
Fase 4
merencanakan dan menyiapkan karya
Mengembangkan dan menyajikan
yang sesuai seperti laporan serta
hasil karya
membantu peserta didik untuk berbagi
23

tugas dengan temannya


Guru membantu peserta didik untuk
Fase 5
melakukan refleksi atau evaluasi
Menganalisis dan mengevaluasi
terhadap penyelidikan dam proses-
proses pemecahan masalah
proses yang mereka gunakan.
Sumber: Arends (2008)

Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah mengajukan

masalah atau mengorientasikan peserta didik terhadap masalah,

memfasilitasi/membimbing penyelidikan, misalnya melakukan pengematan,

memfasilitasi dialog peserta didik dan mendukung belajar peserta didik. Dalam

model pembelajaran berbasis masalah peserta didik dihadapkan pada masalah yang

menuntut untuk berkolaborasi untuk menemukan solusi. Peserta didik dihadapkan

pada suatu permasalahan yang berupa fakta-fakta dan kemudian peserta didik akan

mencari pemecahan dari masalah tersebut.

b. Model Pembelajaran Langsung sebagai Model Pembelajaran Konvensional

Model pembelajaran langsung merupakan model pembelajaran yang

berhubungan dengan pengajaran yang dilakukan untuk mengembangkan

kemampuan dasar peserta didik setahap demi setahap. Menurut Arends (dalam Al-

tabany, 2014), model pembelajaran langsung dirancang khusus untuk menunjang

proses belajar mengajar peserta didik yang berkaitan dengan procedural dan

pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan baik. Yang dapat diajarkan dengan

pola kegiatan yang bertahap. Ciri-ciri model pembelajaran langsung, yaitu :

1. Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada peserta didik termasuk

prosedur penilaian belajar


24

2. Sintaks atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran

3. Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar kegiatan

pembelajaran dapat berlangsung dengan berhasil

Lebih lanjut ciri utama dalam model pembelajaran langsung dalam suatu

pelaksanaan pengajaran, yaitu :

1. Merumuskan tujuan

Tujuan yang baik perlu beriorientasi pada siswa dan spesifik, mengandung

uraian yang jelas tentang situasi penilaian dan mengandung tingkat ketercapaian

kinerja yang diharapkan (kriteria keberhasilan).

2. Memilih isi

Guru harus mempertimbangkan berapa banyak informasi yang akan

diberikan pada siswa dalam kurun waktu tertentu. Guru harus selektif dalam

memilih konsep yang diajarkan dengan model pembelajaran langsung.

3. Melakukan analisis tugas

Analisis tugas adalah alat yang digunakan oleh guru untuk mengidentifikasi

dengan presisi yang tinggi hakikat yang setepatnya dari suatu kemampuan atau butir

pengetahuan yang terstruktur dengan baik yang akan diajarkan oleh guru.

4. Merencanakan waktu dan ruang

Terdapat dua hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran

langsung, yaitu (1) memastikan bahwa waktu yang disediakan sepadan dengan

bakat dan kemampuan peserta didik, (2) memotivasi peserta didik agar mereka tetap

melakukan tugasnya dengan perhatian yang optimal.


25

Pembelajaran langsung akan terlaksana dengan baik jika dirancang dengan

baik pula, sesuai dengan materi yang akan disajikan terlebih dahulu rumuskan

tujuan pengajaran, memilih isi, melakukan analisis tugas kemudian direncanakan

waktu dan penilaian. Di dalam penerapan pembelajaran dengan menggunakan

model pembelajaran langsung terdapat fase-fase yang harus ditempuh sebagai

berikut:

Tabel 2.4 Fase Pembelajaran Langsung


Fase Aktivitas Guru
Guru menjelaskan tujuan
Fase 1 pembelajaran, informasi latar belakang
Menyampaikan tujuan dan pelajaran, pentingnya pelajaran dan
mempersiapkan peserta didik mempersiapkan peserta didik untuk
belajar.
Fase 2 Guru mendemonstrasikan kemampuan
Mendemonstrasikan pengetahuan atau dengan benar atau menyajikan
kemampuan informasi tahap demi tahap
Fase 3 Guru merencanakan dan memberikan
Membimbing Latihan bimbingan pelatihan awal
Fase 4 Guru mengecek apakah telah berhasil
Mengecek pemahaman dan melakukan tugas dengan baik dan
memberikan umpan balik memberi umpan balik
Fase 5 Guru mempersiapkan kesempatan
Memberikan kesempatan untuk melakukan pelatihan lanjutan, dengan
perhatian khusus pada penarapan
pelatihan lanjutan dan penerapan kepada situasi lebih kompleks dan
kehidupan sehari-hari.
Sumber: Arnika.

B. Kerangka Pikir

Pembelajaran fisika selain untuk membentuk kemampuan berpikir dan

pemecahan masalah, haruslah memperhatikan aspek afektif peserta didik yakni

disposisi matematis. Swafford (2001) menyatakan bahwa disposisi matematis

peserta didik berkembang ketika mereka mempelajari aspek kompetensi lainnya,


26

salah satunya aspek yang berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah dalam

pembelajaran fisika. Penguasaan terhadap pembelajaran fisika dapat dilihat dari

kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah dan kemampuannya

dalam membangun strategi dalam menyelesaikan masalah, hal ini dapat

memberikan dampak lebih positif terhadap sikap dan keyakinan dalam peserta

didik. Sebaliknya apabila peserta didik mengalami sikap dan keyakinan yang

kurang maka akan memberikan dampak pada kemampuan pemecahan masalah

dalam proses pembelajaran. Dengan demikian pendidik harus mampu untuk

menumbuhkan pengetahuan dan sikap peserta didik dalam proses pembelajaran.

Model pembelajaran yang dapat meningkat pengetahuan dan sikap peserta

didik adalah model pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah

merupakan suatu model pembelajaran inovatif yang memberikan kondisi belajar

aktif kepada peserta didik serta melibatkan secara aktif peserta didik untuk

memecahkan sutau masalah. Tujuannya agar peserta didik dapat mempelajari

pengetahuan yang berkaitan dengan masalah dan sekaligus memiliki kemampuan

pemecahan masalah. Dalam proses pembelajaran berbasis masalah peserta didik

tidak diharapkan hanya sekedar mendengarkan, mencatat, kemudian menghafalkan

materi pelajaran, akan tetapi melalui pembelajaran berbasis masalah peserta didik

aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data, dan akhirnya

menyimpulkan.
27

Kerangka penelitian akan dijelaskan sebagai berikut :

Pembelajaran Berbasis Masalah


Model
Pembelajaran a. Orientasi kepada masalah
b. Mengorganisasi peserta didik
c. Penyelidikan masalah
d. Mengembangkan dan menyajikan
hasil karya
e. Menganalisis dan evaluasi

Pembelajaran Langsung

a. Menyampaikan tujuan dan


mempersiapkan peserta didik
b. Mendemonstrasikan pengetahuan dan
keterampilan
c. Membimbing pelatihan
d. Mengecek pemahaman dan umpan
balik
Keadaan awal e. Memberikan latian
peserta didik

Kemampuan Pemecahan
Masalah

a. Mengenal masalah
b. Menjelaskan masalah
c. Merencanakan solusi
d. Melaksanakan rencana
e. Mengevaluasi

Disposisi Matematis Tinggi


Disposisi
Matematis
Disposisi Matematis Rendah

a. Kepercayaan diri
b. Fleksibel dan berpikiran terbuka
c. Bertekad kuat
d. Minat dan keingintahuan
e. Memonitor dan merefleksikan
28

C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan Pustaka dan kerangka pikir yang telah dikemukakan,

maka hipotesis penelitian ini adalah :

1. Secara keseluruhan, terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah fisika

peserta didik yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis

masalah dengan peserta didik yang diajar dengan menggunakan model

pembelajaran konvensional

2. Bagi peserta didik yang memiliki disposisi matematis yang tinggi, terdapat

perbedaan kemampuan berpikir pemecahan masalah fisika peserta didik yang

diajar dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan

peserta didik yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran

konvensional

3. Bagi peserta didik yang memiliki disposisi matematis yang rendah, terdapat

perbedaan kemampuan pemecahan masalah fisika peserta didik yang diajar

dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan peserta

didik yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional

4. Terdapat interaksi antara model pembelajaran berbasis masalah dan disposisi

matematis terhadap kemampuan pemecahan masalah fisika peserta didik


29

III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian pengembangan True Eksperimen

( eksperimen sesungguhnya) dengan menggunakan desain factorial 2x2.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februaru – Maret semester

Genap Tahun Ajaran 2022/2023

2. Tempat Penelitian

Lokasi Penelitian ini akan bertempat di SMA Negeri 7 Luwu Utara yang

beralamatkan di Jl. Pendidikan, Desa Lara, Kecamatan Baebunta Selatan,

Kabupaten Luwu Utara.

C. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah desain faktorial 2×2 sebab

menggunakan variabel bebas model pembelajaran (berbasis masalah dan

konvensional) serta variabel moderator. Variabel moderator dibagi menjadi 2 (dua)

kelompok yaitu peserta didik yang mempunyai disposisi matematis tinggi dan

disposisi matematis rendah. Rancangan penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1

sebagai berikut:
30

Tabel 3.1 Rancangan Penelitian


Model Pembelajaran (A)
Model Model
Pembelajaran Pembelajaran
Disposisi Berbasis Masalah Konvensional
Matematis (B) (A1) (A2)
Tinggi (B1) Y[A1B1] Y [A2B1]
Rendah (B2) Y [A1B2] Y [A2B2]
∑ Y[A1B1] + Y[A1B2] Y[A2B1] + Y[A2B2]

Keteragan:
Y : Kemampuan Pemecahan masalah fisika
A : Model Pembelajaran
A1 : Pembelajaran model berbasis masalah
A2 : Pembelajaran model konvensional
B : Disposisi matematis peserta didik
B1 : Kelompok Disposisi matematis tinggi
B2 : Kelompok Disposisi matematis rendah
A1B1 : Kelompok Disposisi matematis tinggi yang diajar dengan model
pembelajaran berbasis masalah.
A1B2 : Kelompok Disposisi matematis rendah yang diajar dengan model
pembelajaran berbasis masalah.
A2B1 : Kelompok Disposisi matematis tinggi yang diajar dengan model
pembelajaran konvensional.
A2B2 : Kelompok Disposisi matematis rendah yang diajar dengan model
pembelajaran konvensional.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas X SMA

Negeri 7 Luwu Utara yang terdiri dari 5 kelas dengan jumlah peserta didik tiap kelas

sebanyak 33 orang.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah dua kelas yang dipilih secara rambang

dari keseluruhan kelas dengan menggunakan teknik sampel rambang sedeharna


31

(simple random sampling) yang dilakukan dengan cara undian. Sedangkan untuk

penentuan ukuran sampel menggunakan distribusi kurva normal yaitu 30% dari

jumlah populasi kelompok (Suharsimi, 2015).

E. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terbagi tiga, yaitu variabel bebas, variabel

moderator, dan variabel terikat yaitu:

a. Variabel bebas (Independent Variable)

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran (A) yang

terdiri atas dua dimensi, yaitu pembelajaran menggunakan model pembelajaran

berbasis masalah (A1) dan pembelajaran menggunakan model pembelajaran

konvensional (A2).

b. Variabel moderator (Moderator Variable)

Variabel moderator dalam penelitian ini adalah disposisi matematis fisika

peserta didik (B) yang ditinjau dari dua kategori yaitu disposisi matematis tinggi

(B1) dan disposisi matematis rendah (B2).

c. Variabel terikat (Dependent Variable)

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah

fisika dalam ranah kognitif.

F. Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a. Model pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran yang

digunakan peneliti pada kelas eksperimen, pembelajaran yang menggunakan


32

masalah sebagai awal untuk proses pembelajaran. Masalah-masalah yang

disajikan merupakan masalah yang nyata yang ada di kehidupan sehari-hari

sehingga peserta didik dapat berpikir secara optimal dalam memecahkan

masalah-masalah tersebut. Pembelajaran berbasis masalah diawali dengan

orientasi terhadap masalah, mengorganisasikan peserta didik untuk belajar,

penyelidikan mandiri dan kelompok, pengembangan dan penyajian hasil karya,

serta menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

b. Model pembelajaran langsung adalah model pembelajaran yang digunakan oleh

peneliti pada kelompok kontrol, di mana pembelajaran ini mengikuti model

pembelajaran yang digunakan oleh pendidik mata pelajaran fisika selama

pembelajaran berlangsung.

c. Disposisi matematis adalah hal yang berkaitan dengan sikap peserta didik dalam

belajar dan menyelesaikan masalah. Disposisi matematis diperoleh dari skor

peserta didik setelah mengalami proses belajar melalui model pembelajaran

berbasis masalah dan model pembelajaran langsung, di mana peneliti meninjau

kedalam dua kelompok, yaitu peserta didik dengan disposisi matematis tinggi

dan peserta didik dengan disposisi matematis rendah. Indikator disposisi

matematis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, percaya diri dalam

menyelesaikan masalah, fleksibel dalam menyelesaikan masalah, tekun dalam

menyelesaikan masalah matematis, dan rasa ingin tahu terhadap pelajaran fisika.

d. Kemampuan pemecahan masalah adalah suatu Tindakan, proses ataupun

prosedur untuk menyelesaikan suatu masalah. Kemampuan pemecahan masalah


33

diperoleh dari skor peserta didik setelah mengalami proses belajar melalui model

pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran konvensional. Indikator

pemecahan masalah yang digunakan dalam penelitian yaitu, deskripsi masalah,

pendekatan fisika, aplikasi khusus konsep fisika, prosedur matematika, dan

kesimpulan logis.

G. Prosedur Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap. Kegiatan yang

dilaksanakan pada ketiga tahap tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Tahap Pertama

Tahapan ini merupakan tahap persiapan yang meliputi observasi terlebih

dahulu pada lokasi penelitian yaitu SMA Negeri 7 Luwu Utara. untuk mendapatkan

data awal dan sampel penelitian Beberapa persiapan yang dilakukan sebelum

mengadakan penelitian yakni sebagai berikut.

1) Membuat perangkat pembelajaran yang sesuai dengan topik pembelajaran.

a) RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)

Pembuatan RPP bertujuan untuk merencanakan dan mempersiapkan

pembelajaran di dalam kelas dengan mengimplementasikan model

pembelajaran

b) Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)

Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) merupakan acuan yang akan digunakan

peserta didik untuk menyelesaikan persoalan ketika proses pembelajaran

berlangsung. LKPD dibagikan apabila peserta diidik selesai dalam kegiatan


34

pendahuluan dan memasuki kegiatan inti dalam proses pembelajaran yang

berisi tentang soal-soal yang berkaitan dengan materi pembelajaran.

c) Buku ajar Peserta didik

Buku ajar yang digunakan peneliti selama penelitian ini sesuai dengan

kompetensi inti dan kompetensi dasar yang berlaku dalam sekolah tersebut.

Buku ajar dibuat sebanyak pertemuan selama proses pembelajaran

berlangsung.

2) Menyusun instrumen penelitian berupa kuesioner disposisi matematis

berdasarkan dua aspek (disposisi matematis tinggi dan disposisi matematis rendah)

yang terdiri dari beberapa indikator.

3) Menyusun instrumen kemampuan pemecahan masalah dalam bentuk uraian yang

terdiri dari 30 item pertanyaan berdasarkan beberapa indikator.

b. Tahap Kedua

Sebelum instrumen diterapkan dalam pembelajaran, maka terlebih dahulu

diadakan validasi pakar, uji validitas empiris, uji reliabilitas, uji daya beda dan uji

tingkat kesukaran pada instrumen yang akan digunakan.

c. Tahap Ketiga

Tahap ketiga kegiatan ini adalah berupa pemberian tes akhir (post-test),

kemudian dilakukan analisis dari data-data yang telah diperoleh.

H. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh model pembelajaran

berbasis masalah dan disposisi matematis terhadap kemampuan pemecahan


35

masalah fisika peserta didik. Untuk kemampuan pemecahan masalah fisika peserta

didik diberikan dalam bentuk tes dengan menggunakan indikator kemampuan

pemecahan masalah fisika. Selain itu untuk mengetahui disposisi matematis fisika

peserta didik diberikan lembar kuesioner dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang

disesuaikan dengan indikator disposisi matematis.

a. Kuesioner Disposisi Matematis

Kuesioner disposisi matematis berfungsi untuk mengetahui disposisi

matematis yang dimiliki oleh peserta didik dan akan diberikan sebelum

pembelajaran dengan pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran

konvensional berlangsung. Kuesioner ini disusun dalam bentuk draft pernyataan

tertulis yang pilihan jawabannya telah disediakan sehingga peserta didik

memberikan tanda centang (√) pada salah satu jawaban tersebut. Format pilihan

jawaban diadaptasi dari skala likert, yang terdiri atas 5 (lima) pilihan jawaban yang

memuat alternatif pilihan jawaban: SS: Sangat Setuju; S: Setuju; KS: Kurang

Setuju; TS: Tidak Setuju dan STS: Sangat Tidak Setuju. Pada pernyataan disposisi

matematis fisika tersebut terdiri dari pernyataan positif dan pernyataan negatif

diberi skor berturut-turut 5, 4, 3, 2, dan 1.

b. Tes Kemampuan Pemecahan Masalah

Tes kemampuan pemecahan masalah peserta didik disusun dalam tes tertulis

sebanyak 5 butir soal. Tes diberikan setelah perlakuan dilakukan, tujuannya untuk

melihat kemampuan pemecahan masalah peserta didik. Tes yang diberikan kepada

peserta didik berbentuk uraian, karena dengan tes bentuk uraian dapat diketahui
36

langkah-langkah yang digunakan peserta didik dalam menyelesaikan soal. Adapun

soal-soal yang digunakan dalam tes kemampuan pemecahan masalah peserta didik

adalah soal yang dirancang oleh peneliti dengan beracuan pada tujuan dan indikator

pembelajaran yang akan dicapai.

I. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu kuesioner

disposisi matematis fisika dan tes kemampuan pemecahan masalah fisika peserta

didik. Sebelum instrumen diterapkan dalam pembelajaran, maka terlebih dahulu

dilakukan uji daya beda dan uji tingkat kesukaran. Berikut akan dijelaskan secara

rinci mengenai pengujian instrumen tersebut.

1. Uji Validitas Instrumen Melalui Pakar

Analisis instrumen secara teoritis yang dilakukan dalam penelitian ini

menggunakan validitas pakar model Aiken. Hasil analisis diantara pakar dianalisis

dengan menggunakan rumus:

∑𝑠
V = n(C−1) (3.1)

Keterangan:

V : Indeks kesepakatan rater mengenai validitas butir


S : Skor yang ditetapkan setiap rater dikurangi skor terendah dalam kategori
yang dipakai
n : Banyaknya rater

Uji validitas instrumen diperoleh dari hasil penilaian berdasarkan tiga orang

pakar dengan skor rater tertinggi yaitu 4 (empat) dan terendah 1 (satu). Uji validitas
37

instrumen dihitung untuk setiap butir soal kemudian mencari secara keseluruhan

instrumen.

2. Uji Validitas Kriteria

Validitas kriteria dilakukan uji coba instrumen pada peserta didik yang tidak

termasuk dalam sampel penelitian. Validitas kriteria instrumen dilakukan dengan

menghitung validitas item dan reliabilitas instrumen secara kuantitatif.

a. Validitas Item

Setelah dilakukan uji coba, kemudian dianalisis menggunakan persamaan

korelasi product moment berikut ini:

𝑁 ∑ 𝑋𝑌−(∑ 𝑋)(∑ 𝑌)
𝑟𝑥𝑦 = (3.2)
√{𝑁 ∑ 𝑋 2 −(∑ 𝑋 2 )}{𝑁 ∑ 𝑌 2 −(∑ 𝑌)2 }

Keterangan:
𝑟𝑥𝑦 : Angka indeks korelasi “r” product moment
N : Ukuran sampel
∑XY : Jumlah hasil perkalian antara skor item (X) dan skor total (Y)
∑X : Skor item
∑Y : Skor total

Kriteria pengujian: (1) jika 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≥ 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka butir item dikatakan valid, (2)

jika 𝑟ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka butir item dikatakan tidak valid, dengan taraf

signifikansi 5% 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 ditentukan berdasarkan banyaknya jumlah responden.

b. Reliabilitas Instrumen

Setelah dilakukan uji validitas, maka item instrumen yang dinyatakan tidak

valid dikeluarkan dari instrumen. Uji reliabilitas dilakukan hanya untuk item-item

yang valid. Koefisien reliabilitas instrumen dihitung menggunakan Teknik alpha

cronbach, yaitu:
38

𝑘 ∑ 𝜎𝑏2
𝑟𝑖𝑖 = (𝑘−1) (1 − ) (3.3)
𝜎𝑡2

Keterangan:
𝑟𝑖𝑖 : Koefisien reliabilitas instrumen.
k : Jumlah butir pernyataan.
2
∑ 𝜎𝑏 : Jumlah varians butir.
𝜎𝑡2 : Varians total.

c. Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Pemecahan masalah fisika

Tingkat kesukaran suatu butir soal dinyatakan indeks kesukaran. Bilangan

tersebut adalah bilangan real pada interval 0 - 1. Semakin besar indeks kesukaran,

berarti semakin mudah soal itu. Suatu soal dengan indeks kesukaran p = 1,00 artinya

semua peserta didik menjawab benar pada butir soal tersebut, sebaliknya jika indeks

kesukaran p = 0,00 berarti tidak ada peserta didik yang menjawab benar butir soal

itu. Indeks kesukaran p ditentukan dengan rumus :

𝐴 + 𝐵 − (2𝑁𝑆𝑚𝑖𝑛 )
𝑝=
2𝑁(𝑆𝑚𝑎𝑘𝑠 − 𝑆𝑚𝑖𝑛 )
(3.4)
Keterangan:
A = jumlah skor kelompok atas
B = jumlah skor kelompok bawah
N = jumlah peserta didik
Smaks = skor tertinggi tiap soal uraian
Smin = skor terendah tiap soal uraian

Tabel 3.2 Kriteria Indeks Kesukaran


Indeks Kesukaran Kategori
0,00 ≤ I ≤ 0,30 Sukar
0,31 ≤ I ≤ 0,70 Sedang
0,71 ≤ I ≤ 1,00 Mudah
Sumber: (Ali dan Khaeruddin, 2012)

d. Daya Pembeda Tes Kemampuan Pemecahan masalah fisika


39

Daya pembeda suatu butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir

tersebut mampu membedakan kelompok peserta didik yang pandai dengan

kelompok peserta didik yang lemah dihitung dengan rumus:

D = (Nh – NL)/NT (3.5)


Keterangan:
D = daya pembeda
Nh = jumlah skor yang dicapai kelompok atas
NL = jumlah skor yang dicapai kelompok bawah
NT = jumlah skor maksimum yang disediakan untuk kelompok atas/kelompok
bawah

Tabel 3.3 Indeks Daya Pembeda


Indeks daya
Klasifikasi
Pembeda
0,40 ≤D Sangat baik/soal diterima baik
0,30 ≤ D ≤ 0,39 Baik/soal diterima tetapi perlu diperbaiki
0,20<D ≤ 0,29 Cukup /soal diperbaiki
D ≤ 0,20 Jelek/soal dibuang
Sumber: (Ali dan Khaeruddin, 2012)

J. Teknik Analisis Data

1. Analisis Deskriptif

Analisis yang digunakan untuk analisis data dengan cara mendeskripsikan atau

menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud

membuat kesimpulan yang berlaku umum atau generalisasi. Inti dari kumpulan data

yang ada antara lain nilai rata-rata, standar deviasi, dan nilai varians data. Analisis

ini juga dimaksudkan untuk mendeskripsikan karakteristik distribusi skor disposisi

matematis dan kemampuan pemecahan masalah fisika peserta didik.

Data disposisi matematis peserta didik digunakan untuk mengetahui tinggi


40

rendahnya disposisi matematis peserta didik selama pembelajaran. Skor yang

diperoleh dari disposisi matematis merupakan skor total disposisi matematis peserta

didik berdasarkan indikator disposisi matematis yang telah ditentukan. Data

kemampuan pemecahan masalah fisika diperoleh dari skor total peserta didik.

2. Analisis Inferensial

a. Uji Prasyarat Analisis

Uji prasyarat analisis terdiri atas dua tahapan yakni uji normalitias dan uji

homogenitas yang secara rinci dijelaskan sebagai berikut:

1) Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diteliti berasal

dari populasi yang terdistribusi normal. Pengujian normalitas (Sudjana, 2005)

dilakukan dengan menggunakan metode chi kuadrat (  h2 ), dengan rumus seperti

berikut:

(𝑂𝑖 −𝐸𝑖 )2
2
𝑥ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = ∑𝑘𝑖=1 (3.6)
𝐸𝑖

Keterangan:
2
𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 : nilai chi-kuadrat hitung
𝑂𝑖 : frekuensi observasi
𝐸𝑖 : frekuensi harapan
2 2
Dengan kaidah pengujian, jika 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝜒𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , maka data dinyatakan

berdistribusi normal pada taraf signifikan tertentu. Dalam penelitian ini digunakan

taraf signifikan α = 0.05.

Pengujian normalitas dihitung pada taraf signifikansi α = 0,05, dengan kriteria

pengujian sebagai berikut:


41

a) Nilai sig. ≥ 0,05; H0 diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel

berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

b) Nilai sig. ≤ 0,05; H0 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel berasal

dari populasi yang tidak berdistribusi normal.

2) Uji Homogenitas Varians

Pengujian homogenitas varians dilakukan untuk mengetahui bahwa kedua

sampel yang dibandingkan merupakan kelompok-kelompok yang mempunyai

varians yang sama atau homogen. Pengujian homogenitas dilakukan menggunakan

uji-Fmax dengan rumus sebagai berikut:

𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟
𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = (3.7)
𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙

Kriteria pengujiannya adalah apabila Fhitung ≤ FTabel, maka data bersifat

homogen. sebaliknya, jika Fhitung ≥ FTabel data tidak homogen, dengan derajat

kebebasan pembilang dk = (n-1) dan derajat kebebasan penyebut dk = (n-1) pada

taraf signifikansi α = 0,05.

b. Pengujian Hipotesis

Setelah uji prasyarat, maka dilanjutkan dengan pengujian hipotesis.

Pengujian hipotesis dimaksudkan untuk mengetahui apakah hipotesis yang

diajukan telah diterima atau ditolak. Pengujian hipotesis menggunakan analisis

parametrik yaitu variansi (anava) dua jalan sesuai dengan desain dan rancangan

faktorial 2×2 dengan asumsi:

➢ Populasi berdistribusi normal dengan variasi sama.

➢ Populasi homogen.
42

1) Uji analisis variansi (ANAVA) dua jalur

Analisis varian (Anava) dua jalur digunakan jika suatu penelitian eksperimen

terdiri atas satu variabel terikat dan dua variable bebas. Adapun langkah-langkah

ANAVA dua jalur adalah sebagai berikut:

d) Mengelompokkan skor variabel kriteria terikat berdasarkan kategori faktorial

e) Membuat tabel statistik deskriptif untuk setiap kelompok data. Tabel statistik

deskriftif ini berisi harga-harga untuk setiap unsur yang diperlukan dalam

ANAVA.

f) Membuat format tabel rangkuman ANAVA dua jalur.

Adapun hipotesis statistik yang diuji sebagai berikut :

a. Hipotesis Pertama

H0: Jika Fhitung < Ftabel

H1: Jika Fhitung ≥ Ftabel

Dengan kriteria pengambilan keputusan sebagai berikut:

Jika Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima

Jika Fhitung ≥ Ftabel, maka H0 ditolak

H0: Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan

pemecahan masalah fisika antara peserta didik yang diajar menggunakan model

pembelajaran berbasis masalah dengan peserta didik yang diajar menggunakan

model pembelajaran konvensional

H1: Secara keseluruhan terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan pemecahan

masalah fisika antara peserta didik yang diajar menggunakan model


43

pembelajaran berbasis masalah dengan peserta didik yang diajar menggunakan

model pembelajaran konvensinal

b. Hipotesis Kedua

H0: Jika Fhitung <, Ftabel

H1: Jika Fhitung ≥ Ftabel

Dengan kriteria pengambilan keputusan sebagai berikut:

Jika Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima

Jika Fhitung ≥ Ftabel, maka H0 ditolak

H0: Untuk peserta didik yang memiliki disposisi matematis tinggi, tidak terdapat

perbedaan kemampuan pemecahan masalah fisika antara yang diajar

menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dengan yang diajar

menggunakan model pembelajaran konvensional

H1: Untuk peserta didik yang memiliki disposisi matematis tinggi, terdapat

perbedaan kemampuan pemecahan masalah fisika antara yang diajar model

pembelajaran berbasis masalah dengan yang diajar menggunakan model

pembelajaran konvnsional.

c. Hipotesis Ketiga

H0: Jika Fhitung < Ftabel

H1: Jika F hitung ≥ Ftabel

Dengan kriteria pengambilan keputusan sebagai berikut:

Jika Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima

Jika Fhitung ≥ Ftabel, maka H0 ditolak


44

H0: Untuk peserta didik yang memiliki disposisi matematis rendah, tidak terdapat

perbedaan kemampuan pemecahan masalah fisika antara yang diajar

menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan yang diajar

menggunakan model pembelajaran konvensional.

H1: Untuk peserta didik yang memiliki disposisi matematis rendah, terdapat

perbedaan kemampuan pemecahan masalah fisika antara yang diajar

menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan yang diajar

menggunakan model pembelajaran konvensional.

d. Hipotesis Keempat

H0: Jika Fhitung < Ftabel

H1: Jika Fhitung ≥ Ftabel

Dengan kriteria pengambilan keputusan sebagai berikut:

Jika Fhitung < Ftabel, maka H0 diterima

Jika Fhitung ≥ Ftabel, maka H0 ditolak

H0: Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran berbasis masalah dan

disposisi matematis terhadap kemampuan pemecahan masalah fisika.

H1: Terdapat interaksi antara model pembelajaran berbasis masalah dan disposisi

matematis terhadap kemampuan pemecahan masalah fisika.

2) Uji Lanjut

Setelah dilakukan anava dua jalan dan hasil hipotesis yang diperoleh yaitu

H0 ditolak atau H1 diterima, maka dilakukan uji lanjut anava sebagai tindak lanjut

dari analisis variansi. Uji lanjut anava ini bertujuan untuk melakukan pengecekan
45

terhadap rerata setiap pasangan kolom, pasangan baris, dan pasangan sel. Sehingga

diketahui bagian mana sajakah terdapat rerata yang signifikan maupun tidak

signifikan. Apabila sampel setiap kelompok berjumlah sama (sel sama) maka dapat

digunakan uji Tukey.

Sebelum melakukan uji Tukey, terlebih dahulu kita melakukan uji t. Uji t

dilakukan untuk melihat adanya perbedaan skor kelompok eksperimen dan kelas

kontrol. Rumus untuk uji t, (Purwanto, 2011) digunakan persamaan berikut:


𝑥̅ 1 −𝑥̅ 2
𝑡= (3.8)
𝑆2 𝑆2
√ 1+ 2
𝑛1 𝑛2

Setelah dilakukan analisis variansi (anava) dua jalan dan hasil hipotesis

yang diperoleh yaitu hipotesis nol ditolak (H0 ditolak) atau hipotesis satu diterima

(H1 diterima), maka dilakukan uji lanjut anava sebagai tindak lanjut dari analisis

variansi. Uji lanjut anava ini bertujuan untuk melakukan pengecekan terhadap

rerata (dx) setiap pasangan kolom, pasangan baris, dan pasangan sel. Sehingga

diketahui pada bagian mana sajakah terdapat rerata (mean) yang berbeda secara

signifikan maupun tidak signifikan.

Apabila sampel setiap kelompok berjumlah sama (sel sama) maka dapat

digunakan uji Tukey. Pengujian dilakukan dengan membandingkan antara Qhitung

dengan Qtabel dengan beda kritik. Q hitung dilakukan dengan menggunakan rumus:

rumus untuk uji lanjut Tukey, (Supardi, 2013) digunakan persamaan berikut:
̅ −𝑥𝑗
𝑥𝑖 ̅̅̅
𝑄= 𝑅𝐽𝐾𝐷
(3.9)

𝑛
Keterangan:
Q = Angka Tukey
46

N = Banyak data tiap kelompok


𝑥𝑖
̅ = Rata-rata data kelompok ke i
𝑥𝑗
̅ = Rata-rata data kelompok ke j
DAFTAR PUSTAKA

Ali, S. M, dan Khaeruddin. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Makassar: Badan


Penerbit UNM.

Al-Tabany, T. I. B. 2014. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan


Konstekstual. Jakarta: Kencana.

Arikunto, S. 2013. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Firmansyah, D. & Hasanah, F. J. 2022. Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah


Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa. Jurnal Educatio, 8(1),ISSN: 2459-9522.

Heller & Heler. 2010. Problem Solving Labs, in Cooperative Group Problem
Solving in Physics. Research Report, University Minnesota.

Heller,P., Keith, R., & Anderson, S. (1992). Teaching Problem Solving Through
Cooperative Grouping. American Association of Physics Teachers, 60 (7) :
627-636.

Hidayat, S. R.,dkk. (2017). Pengembangan Instrumen Tes Keterampilan


Pemecahan Masalah pada Materi Getaran, Gelombang dan Bunyi. Jurnal
Penelitian & Pengembangan Pendidikan Fisika, ISSN: 2461-0933.

Husnidar, IkhsanM., & Rizal, S. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis


Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Disposisi
Matematis Siswa. Jurnal Didaktik Matematika, ISSN: 2355-4185.

Kurniawan,A., & Kadarisma, G. Pengaruh Disposisi Matematis Terhadap


Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa SMP. Jurnal Pembelajaran
Matematika Inovatif, ISSN: 2614-221X.

Lestari, W., Kusmayadi, T. A., & Nurhasanah, F. 2021. Kemampuan Pemecahan


Masalah Matematika Ditinjau dari Perbedaan Gender. Jurnal Program Studi
Pendidikan Matematika, 10(2), ISSN: 2089-8703.

Mayratih, G. E., Leton, S. I., & Uskono, I. V. 2019. Pengaruh Disposisi Matematis
terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa. Jurnal
Kependidikan Matematika, Vol. 1 No. 1.

Nurlaila, N., Suparmi, & Sunarno, W. 2013. Pembelajaran Fisika dengan PBL
Menggunakan Problem Solving dan Problem Posing Ditinjau dari Kreativita
dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa. Jurnal Inkuiri, 2(2), ISSN: 2252-
7893.

Puspadewi, M. M., Sadia, I. W., & Yasa, P. 2017. Penerapan Model Pembelajaran
Berbasis Masalah untuk Meningkatkan hasil Belajar dan Keterampilan

47
48

Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Fisika Siswa Kelas X MIA 2 SMA Negeri
3 Denpasar. Jurnal Pendidikan Fisika Undiksha, p-ISSN2599-2554.

Raharja, S., Wibhawa, M. R., & Lukas, S. 2018. Mengukur Rasa Ingin Tahu Siswa (
Measuring Students’ Curiosity. A Journal of Language, Literature, Culture, and
Education POLYGLOT, Vol. 14, No. 2.

Ratumanan, T. G. 2015. Inovasi Pembelajaran. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.


Jakarta: Kencana

Simamora, P., & Pardede, V. R. E. 2016. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis


Masalah pada Materi Suhu dan Kalor. Jurnal Pendidikan Fisika, p-ISSN2252-
732X.

Simanjuntak, T. D. L., Lubis, A., & Mulyono. 2018. Analisis Matematis dalam
Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw. Paradikma Jurnal
Pendidikan Matematis, p-ISSN1978-8002.

Sugilar, H. 2013. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Disposisi Matematis


Siswa Madrasah Tsanawiyah melalui Pembelajaran Generatif. Infinity Jurnal Ilmiah
Program Studi Matematika STKIP Siliwangin Bandung, 2(2): 156-168.

Sujarwanto, E., Hidayat, A., & Wartono. 2014. Kemampuan Pemecahan Masalah
Fisika pada Modeling Instruction pada Siswa Kelas XI. Jurnal Pendidikan IPA
Indonesia, 3(1), 65-78.

Syaban, M. 2008. Menumbuhkan Daya dan Disposisi Siswa SMA Melalui


Pembelajaran Investigasi. Disertasi : Universitas Pendidikan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai