0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
12 tayangan2 halaman
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
(1) Kekayaan hakiki tidak semata-mata terletak pada banyaknya harta tetapi pada kekayaan jiwa dan kepuasan hati;
(2) Rasulullah SAW menjelaskan bahwa kekayaan sebenarnya adalah kekayaan hati sedangkan kemiskinan adalah kemiskinan hati;
(3) Untuk memiliki kekayaan jiwa seseorang harus puas dengan takdir Allah
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
(1) Kekayaan hakiki tidak semata-mata terletak pada banyaknya harta tetapi pada kekayaan jiwa dan kepuasan hati;
(2) Rasulullah SAW menjelaskan bahwa kekayaan sebenarnya adalah kekayaan hati sedangkan kemiskinan adalah kemiskinan hati;
(3) Untuk memiliki kekayaan jiwa seseorang harus puas dengan takdir Allah
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
(1) Kekayaan hakiki tidak semata-mata terletak pada banyaknya harta tetapi pada kekayaan jiwa dan kepuasan hati;
(2) Rasulullah SAW menjelaskan bahwa kekayaan sebenarnya adalah kekayaan hati sedangkan kemiskinan adalah kemiskinan hati;
(3) Untuk memiliki kekayaan jiwa seseorang harus puas dengan takdir Allah
Khubeib bin Adi ra berkata, “Kami sedang berada di suatu majelis,
tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan di kepalanya terdapat bekas air”. Sebagian dari kami berkata, “Kami melihat engkau berjiwa tenang.” Beliau menjawab, “Ya, Alhamdulillah” Kemudian orang- orang berdikusi panjang lebar tentang hakekat kekayaan, maka Rasulullah SAW bersabda, “Tidak mengapa kekayaan itu bagi orang bertaqwa dan kesehatan bagi orang bertaqwa lebih baik dari kekayaan, sedangkan kenyamanan dan kekayaan jiwa termasuk dalam kenikmatan.” (HR Ibnu Majah). Kekayaan hakiki tidak terletak pada banyaknya harta, deposito, saham dan property. Tidak sedikit pemilik harta yang gelisah dan sengsara. Dia berusaha siang malam menumpuk harta, tetapi kikir bersedekah karena takut miskin. Dia tidak rida dengan rezeki yang dibagi oleh Allah sehingga miskin hati. Kemiskinan hati inilah yang mendorong manusia mati-matian menumpuk harta dan enggan berjuang di jalan Allah. Rasulullah SAW pernah bertanya kepada Abu Dzar ra, “Wahai Abu Dzar, apakah banyaknya harta adalah kekayaan? “ Aku menjawab, “Ya, benar wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu menganggap sedikitnya harta adalah kemiskinan?” Aku menjawab,”Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah kekayaan hati dan kemiskinan adalah kemiskinan hati.” (HR An Nasai, Ibnu Hibban dan Tabrani). Makna hakiki kekayaan dalam pandangan Rasulullah SAW adalah kekayaan jiwa (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dll) Kemiskinan hati adalah penyakit berbahaya. Orang miskin hati bisa mengumpulkan harta tanpa memedulikan halal atau haram. Tidak jarang mereka berani menipu dalam bisnis seperti mengurangi timbangan, mencuri dan korupsi. Para sahabat ra adalah teladan orang-orang yang kaya jiwa. Mereka meletakkan harta di tangan bukan di hati. Mereka tidak ragu memberikan hartanya untuk fi sabilillah. Pada saat pengiriman jaysul ‘usrah Umar bin Khatab ra memberikan separuh hartanya, Abu Bakar menginfaqan semua hartanya, demikian juga sahabat-sahabat yang lain. Pemilik dunia adalah orang yang memiliki tiga criteria; hidup tenteram dan aman di tengah masyarakatnya, sehat jasmaninya dan memiliki makanan cukup untuk sehari itu (HR Tirmidzi) Imam Syafi’I menegaskan,”Bila anda memiliki hati yang serba puas maka anda sejajar dengan pemilik semua isi dunia.” Agar memiliki kekayaan hakiki kita harus : 1. Tidak melihat pada harta orang lain (QS Thaha 131)
131. Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang Telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.
2. Puas dengan pembagian rezeki dari Allah,
“Puaslah dengan apa yang diberikan Allah Kepadamu pasti kamu menjadi orang yang paling kaya.” (HR Ahmad, Tirmidzi dan Baihaqi). Bila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, dijadikanlah kekayaan jiwanya dan ketaqwaannya berada di hatinya dan bila Allah menghendaki keburukan pada seseorang, dijadikanlah kemiskinan itu berada di pelupuk matanya (HR Ibnu Asakir dan Baihaqi) 3. Melihat orang yang lebih rendah dalam hal harta karena hal demikian lebih layak dan tidak meremehkan nikmat Allah atas kamu (HR Al Hakim dan Baihaqi)