Disusun oleh :
IAIN SALATIGA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Qana’ah dan Syukur" dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Akhlaq Tasawuf. Selain itu, makalah
ini bertujuan menambah wawasan tentang Qana’ah dan Syukur bagi para pembaca dan juga bagi
penulis. Kami mengucapkan terima kasih kepada Moh Munawar Said, M. Pd. I. selaku dosen
pengampu Mata Kuliah Akhlaq Tasawuf. Kami ucapkan terima kasih juga kepada semua pihak
yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI…………………...……………………………………………………….....ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………....1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………...……… .. 1
BAB II PEMBAHASAN
1. QANA’AH
A. Pengertian Qana’ah ……………………………………………………………….2
B. Dasar Hukum Qana’ah……………………………………………………………3
C. Sikap Qana’ah……………………………………………………………………..3
D. Hikmah qana’ah…………………………………………………………………...4
2. SYUKUR
A. Pengertian Syukur…………………………………………………………………5
B. Cara Bersyukur……………………………………………………………………7
C. Hikmah Syukur……………………………………………………………………9
D. Sebab Kurang Bersyukur…………………………………………………………11
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………. 13
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sering kali lupa atas nikmat yang Allah berikan, karena kebanyakan manusia
melupakan dan selalu merasa kurang atas apa yang ia miliki, sehingga ia selalu diliputi
perasaan iri dan dengki atas nikmat yang orang lain dapatkan, dan menjadikan kehidupannya
tidak tenang. Hal ini merupakan kecenderungan manusia yang selalu tidak akan merasa puas
dengan apa yang ia miliki. Padahal jika kita mau mensyukuri apa yang ada pada diri kita,
terlebih lagi memahami bahwa semua yang ada di dunia ini hanyalah titipan dan cobaan
Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus bersikap
terhadap harta, yaitu menyikapi harta dengan sikap qana’ah dan syukur (kepuasan dan
kerelaan). Sikap qana’ah ini harus dimiliki oleh orang yang kaya maupun orang yang miskin
adapun wujud qana’ah dan syukur yaitu merasa cukup dengan pemberian Allah, tidak tamak
terhadap apa yang dimiliki manusia, tidak iri melihat apa yang ada di tangan orang lain dan
tidak rakus mencari harta benda dengan menghalalkan segala cara.
Sebagai manusia kita memang mempunyai banyak kebutuhan, baik kebutuhan materiil
maupun imateril, namun kita perlu menyadari bahwa harta bukanlah segala-galanya dalam
kehidupan dunia yang sementara ini.
B. RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian Qona’ah dan Syukur ?
B. Apa Dasar Hukum Qona’ah ?
C. Bagaimana sikap qona’ah ?
D. Apa hikmah qona’ah dan syukur ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. QANA’AH
A. Pengertian Qona’ah
Qana’ah menurut bahasa adalah merasa cukup atau rela, sedangkan menurut istilah ialah
sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri
dari dari rasa tidak puas dan perasaan kurang.
Rasulullah mengajarkan kita untuk ridha dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT,
baik itu berupa nikmat kesehatan, keamanan, maupun kebutuhan harian.[1]
Qona’ah adalah gudang yang tidak akan habis. Sebab, Qona’ah adalah kekayaan jiwa.
Dan kekayaan jiwa lebih tinggi dan lebih mulia dari kekayaan harta. Kekayaan jiwa
melahirkan sikap menjaga kehormatan diri dan menjaga kemuliaan diri, sedangkan kekayaan
harta dan tamak pada harta melahirkan kehinaan diri.[2]
Di antara sebab yang membuat hidup tidak tentram adalah terperdayanya diri oleh
kecintaan kepada harta dan dunia. Orang yang diperdaya harta akan senantiasa merasa tidak
cukup dengan apa yang dimilikinya. Akibatnya,dalam apa yang dirinya lahir sikap-sikap
yang mencerminkan bahwa ia sangat jauh dari rasa syukur kepada Allah, Sang Maha
Pemberi Rezeki itu sendiri. Ia justru merasa kenikmatan yang dia peroleh adalah murni
semata hasil keringatnya, tak ada kesertaan Allah. Orang-orang yang terlalu mencintai
kenikmatan dunia akan selalu terdorong untuk memburu segala keinginannya meski harus
menggunakan segala cara seperti kelicikan, bohong, mengurangi timbangan dan sebaginya.
Hakikatnya dalam Ilmu Tasawuf, seseorang akan merasa cukup walau penghasilannya
berkurang atau justru tambah bersyukur jika penghasilan/rezekinya bertambah. Artinya saat
TPP (isentif) PNS naik sampai 300 persen (eselon III) dari Rp 3,5 juta menjadi rp 10 juta
maka dia akan bersyukur, namun saat isentif turun 50% tinggal Rp 5 juta dia tetap bersyukur
(memang berat yaa sifat Qanaah ini). Ia juga tidak pernah menyadari, sesungguhnya harta
hanyalah ujian sebagaimana firman Allah ;
Artinya ;"Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami
berikan kepadanya ni'mat dari Kami ia berkata:"Sesungguhnya aku diberi ni'mat itu
hanyalah karena kepintaranku". Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu
tidak mengetahui" (Q.S Azumar; 49)
B. Dasar Hukum Qona’ah
Ø Al Qur’an
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-
orang yang sabar. (Al Baqarah : 155 )[3]
Ø Hadis
ليس الغنى عن كثرة العرض ولكن الغنى غنى: عن ابى هرىرة رضى هللا عنه عن النبي صلى هللا عليه و سلم قال
)(متفق عليه.النفس
Dari Abu Hurairah R.A berkata, Nabi SAW bersabda: bukannya kekayaan itu karena
banyaknya harta dan benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan hati.
(Muttafaqun Alaih)
قد افلح من: قال. ان رسول هللا صلى هللا عليه و سلم: عن عبد هللا ابن عمرو رضى هللا عنهما
) (رواه مسلم.اسلم ورزق كفافا وقنعه هللا بما اتاه
Dari Abdillah bin Amr sesungguhnya Rasulullah saw bersabda; sungguh beruntung orang
yang masuk islam dan rizkinya cukup dan merasa cukup dengan apa-apa yang pemberian
Allah. (HR Muslim)
C. Sikap Qona’ah
Sudah dijelaskan bahwa qona’ah merupakan sikap rela menerima dan merasa cukup atas
hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas dan perasaan
kurang. Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap Qana'ah tidak berarti fatalis dan
menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang-orang hidup Qana'ah bisa saja memiliki
harta yang sangat banyak, namun bukan untuk menumpuk kekayaan. Kekayaan dan dunia
yang dimilikinya, dibatasi dengan rambu-rambu Allah SWT. Dengan demikian, apa pun yang
dimilikinya tak pernah melalaikannya dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki.
Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah sikap qana'ahnya dan
mempertebal rasa syukurnya.
Adapun contoh bersikap qana’ah dalam kehidupan, diantaranya :
o Giat bekerja dan berusaha untuk mencapai hasil terbaik.
o Jika hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan, tidak mudah kecewa dan
berputus asa.
o Selalu bersyukur atas apa yang menjadi hasil usahanya, dan tidak pernah merasa iri atas
keberhasilan yang diperoleh orang lain.
o Hidupnya sederhana dan menyesuaikan diri dengan keadaan, tidak rakus dan tidak tamak.
o Selalu yakin bahwa apa yang didapatnya dan yang ada pada dirinya merupakan anugerah
dari Allah SWT.[4]
Perbuatan Qana’ah yang dapat kita lakukan misalnya puas terhadap apa yang kita miliki saat
ini, Maka hendaklah dalam masalah keduniaan kita melihat orang yang di bawah kita, dan
dalam masalah kehidupan akhirat kita melihat orang yang di atas kita. Hal ini sebagaimana
telah ditegaskan Rasulullah dalam sebuah hadis:
وال تنظروا الى من هو, انظروا الى من اسفل منكم. قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم: عن ابى هريرة رضى هللا عنه
) (متفق عليه.فوقكم فهو اجدر ان ال تزدروا نعمة هللا عليكم
Artinya; “Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian,
karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian agar kalian tidak memandang hina nikmat
Allah yang dilimpahkan kepada kalian.” (Muttafaqun Alaih)
Ketika berusaha mencari dunia, orang-orang Qana'ah menyikapinya sebagai ibadah yang
mulia di hadapan Allah yang Maha kuasa, sehingga ia tidak berani berbuat licik, berbohong
dan mengurangi timbangan. Ia yakin tanpa menghalalkan segala cara apapun, ia tetap
mendapatkan rizki yang dijanjikan Allah. Ia menyadari akhir rizki yang dicarinya tidak akan
melebihi tiga hal; menjadi kotoran, barang usang atau bernilai pahala di hadapan Allah.[5]
Bila kita mampu merenungi dan mengamalkan makna dan pentingnya qona’ah maka kita
akan memperoleh ketenangan dan ketenteraman hidup. Dan hendaknya diketahui bahwa
harta itu akan ditinggalkan untuk ahli waris.[6]
D. Hikmah Qona’ah
Tidak diragukan lagi bahwa qona’ah dapat menenteramkan jiwa manusia dan merupakan
faktor kebahagiaan dalam kehidupan karena seorang hamba yang qona’ah dan menerima apa
yang dipilihkan Alah untuknya, dia tahu bahwa apa yang dipilihkan Allah untuknya adalah
yang terbaik baginya di segala macam keadaan.[7]
Sikap qona’ah membebaskan pelakunya dari kecemasan dan memberinya kenyamanan
psikologis ketika bergaul dengan manusia. Dzunnun al-Mashri mengatakan: “Barangsiapa
bersikap qona’ah maka ia bisa merasa nyaman di tengah manusia-manusia sesamanya.”
Sebaliknya, ketiadaan qona’ah dalam hidup akan menyeret pelakunya pada penuhanan
materi sehingga kebebasannya terampas karena kerakusan dalam mencari harta duniawi yang
memaksanya berbuat apapun untuk mendapatkan harta.[8]
2. SYUKUR
A. Pengertian Syukur
Kata syukur diambil dari kata syakara, syukuran, wa syukuran,dan wa syukuran yang
berarti berterima kasih keapda-Nya .Bila disebut kata asy-syukru, maka artinya ucapan
terimakasih, syukranlaka artinya berterimakasih bagimu, asy-syukru artinya berterimakasih,
asy-syakir artinya yang banyak berterima kasih .
Menurut Kamus Arab – Indonesia, kata syukur diambil dari kata syakara, yaskuru,
syukran dan tasyakkara yang berarti mensyukuri-Nya, memuji-Nya . Syukur berasal dari kata
syukuran yang berarti mengingat akan segala nikmat-Nya .
Menurut bahasa adalah suatu sifat yang penuh kebaikan dan rasa menghormati serta
mengagungkan atas segala nikmat-Nya, baik diekspresikan dengan lisan, dimantapkan
dengan hati maupun dilaksanakan melalui perbuatan.
Dalam kamus besar Bahasa indonesia, memiliki 2 arti:
1. Rasa berterima kasih kepada allah.
2. Untunglah atau merasa lega senang dll.
Ada tiga ayat yang dikemukakan tentang pengertian syukur ini, yaitu sebagai berikut disertai
penafsirannya masing-masing.
1. Surah al-Furqan, ayat 62
ُ َار خِ ْلفَةً ِل َم ْن أَ َرادَ أَ ْن يَذَّ َّك َر أَ ْو أَ َراد
ً ُشك
ورا َ َوه َُو الَّذِي َجعَ َل اللَّ ْي َل َوالنَّ َه
artinya:
“Dan Dia(pula)yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin
mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur ”. (QS. Al-Furqan: 62).
Ayat ini ditafsirkan oleh al-Maragi sebagai berikut bahwa Allah telah menjadikan malam
dan siang silih berganti, agar hal itu dijadikan pelajaran bagi orang yang hendak
mengambil pelajaran dari pergantian keduanya, dan berpikir tentang ciptaan-Nya, serta
mensyukuri nikmat tuhannya untuk memperoleh buah dari keduanya. Sebab, jika dia
hanya memusatkan kehidupan akhirat maka dia akan kehilangan waktu untuk melakukan-
Nya. Jadi arti syukur menurut al-Maragi adalah mensyukuri nikmat Tuhan-Nya dan
berpikir tentang cipataan-Nya dengan mengingat limpahan karunia-Nya.
Hal senada dikemukakan Ibn Katsir bahwa syukur adalah bersyukur dengan mengingat-
Nya.
Penafsiran senada dikemukakan Jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy dan
Jalal al-Din Abd Rahman Abi Bakr al-Suyutiy dengan menambahkan bahwa syukur
adalah bersyukur atas segala nikmat Rabb yang telah dilimpahkan-Nya pada waktu itu.
Departemen Agama RI juga memaparkan demikian, bahwa syukur adalah bersyukur atas
segala nikmat Allah dengan jalan mengingat-Nya dan memikirkan tentang ciptaan-Nya.
2. Surah Saba, ayat :13
ي
َ مِن ِع َبا ِد ُ ت ا ْع َملُوا آَ َل د َُاوو َد
ْ ش ْك ًرا َوقَلِي ٌل ٍ ُور َراسِ َيا ِ َان ك َْال َج َوا
ٍ ب َوقُد ٍ يب َوتَ َماثِي َل َو ِجف
َ ار ْ َي ْع َملُونَ لَهُ َما َيشَا ُء
ِ مِن َم َح
ُ ُال َّشك
ور
artinya:
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung
yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan
periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah Hai keluarga Daud untuk bersyukur
(kepada Allah). dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS.
Saba: 13).
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyebut-nyebut apa yang pernah Dia anugrahkan
kepada Sulaiman as,. Yaitu mereka melaksanakan perintah Sulaiman as untuk membuat
istana-istana yang megah dan patung-patung yang beragam tembaga, kaca dan pualam.
Juga piring-piring besar yang cukup untuk sepuluh orang dan tetap pada tempatnya, tidak
berpindah tempat. Allah berkata kepada mereka “agar mensyukuri-Nya atas segala
nikmat yang telah Dia limpahkan kepada kalian”.
Kemudian Dia menyebutkan tentang sebab mereka diperintahkan bersyukur yaitu
dikarenakan sedikit dari hamba-hamba-Nya yang patuh sebagai rasa syukur atas nikmat
Allah swt dengan menggunakan nikmat tersebut sesuai kehendak-Nya.
Menurut al-Maragi arti kata asy-Syukurdi atas adalah orang yang berusaha untuk
bersyukur. Hati dan lidahnya serta seluruh anggota tubuhnya sibuk dengan rasa syukur
dalam bentuk pengakuan, keyakinan dan perbuatan. Dan ada pula yang menyatakan asy-
syukur adalah orang yang melihat kelemahan dirinya sendiri untuk bersyukur.
Sementara itu Ibn Katsir memberikan arti dari kata asy-syukur adalah berterima kasih
atas segala pemberian dari Tuhan yang maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Penafsiran yang senada dikemukakan oleh jalal al-Din Muhammad Ibn Ahmad al-
Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bkar al-Suyutiy dengan menambahkan
bahwa rasa syukurnya itu dilakukan dengan taat menjalankan perintah-Nya.
3. Surah al-Insan, ayat 9
ً ُشك
ورا ُ َّللا َال ن ُِريدُ مِ ْنكُ ْم َجزَ ا ًء َو َال ْ إِنَّ َما ن
ِ َّ ُط ِع ُمكُ ْم ل َِوجْ ِه
artinya:
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan
keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan)
terima kasih”. (QS. Al-Insaan: 9)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak meminta dan mengharapkan dari kalian balasan
dan lain-lainnya yang mengurangi pahala, kemudian Allah memperkuat dan menjelaskan
lagi bahwa Dia tidak mengharapkan balasan dari Hamba-Nya, dan tidak pula meminta
agar kalian berterimakasih kepada-Nya.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa syukur menurut istilah adalah
bersykur dan berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan menyebut nikmat yang
diberikan kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun
perbuatan.
B. Cara Bersyukur
Rasulullah shollallahu Alaihi Wa Sallam dikenal sebagai abdan syakuura (hamba Allah
yang banyak bersyukur). Setiap langkah dan tindakan beliau merupakan perwujudan rasa
syukurnya kepada Allah.Suatu ketika Nabi memegang tangan Muadz bin Jabal dengan mesra
seraya berkata : “Hai Muadz, demi Allah sesungguhnya aku amat menyayangimu”. Beliau
melanjutkan sabdanya, “Wahai Muadz, aku berpesan, janganlah kamu tinggalkan pada tiap-
tiap sehabis shalat berdo’a : Allahumma a’innii `alaa dzikrika wa syukrika wa husni
`ibaadatika (Ya Allah,tolonglah aku agar senantiasa ingat kepada-Mu, mensyukuri nikmat-
Mu, dan baik dalam beribadat kepada-Mu)”.
Mengapa kita perlu memohon pertolongan Allah dalam berdzikir dan bersyukur ? Tanpa
pertolongan dan bimbingan Allah amal perbuatan kita akan sia-sia. Sebab kita tidak akan
sanggup membalas kebaikan Allah kendati banyak menyebut asma Allah; Menyanjung,
memuja dan mengaungkan-Nya. Lagi pula, hakikat syukur bukanlah dalam mengucapkan
kalimat tersubut, kendati ucapan tersebut wajib dilakukan sebanyak-banyaknya.
Al Junaid seorang sufi, pernah ditanya tentang Makna (hakikat) syukur. Dia berkata,
“Jangan sampai engkau menggunakan nikmat karunia Allah untuk bermaksiat kepada-Nya”.
Kita taat dengan menggunakan karunia dan izin Allah. Bahkan ketaatan itu sendiri
merupakan karunia dan hidayah Allah. Sebaliknya, seseorang yang melakukan maksiat pun
sudah pasti dengan menyalahgunakan nikmat Allah dan akibat kesalahannya sendiri.
Ketika kita menerima pemberian Allah kita memuji-Nya, tetapi ini sama sekali belum
mewakili kesyukuran kita. Pujian yang indah dan syahdu saja belum cukup, dia baru
dikatakan bersyukur bila diwujudkan dalam bentuk amal shaleh yang diridhai Allah.
Abu Hazim Salamah bin Dinar berkata, “Perumpamaan orang yang memuji syukur
kepada Allah hanya dengan lidah, namun belum bersyukur dengan ketaatannya, sama halnya
dengan orang yang berpakaian hanya mampu menutup kepala dan kakinya, tetapi tidak
cukup menutupi seluruh tubuhnya. Apakah pakaian demikian dapat melindungi dari cuaca
panas atau dingin ?”
Syukur sejati terungkap dalam seluruh sikap dan perbuatan, dalam amal perbuatan dan kerja
Nyata. Para ulama mengemukakan tiga cara bersyukur kepada Allah.
1. bersyukur dengan hati nurani. Kata hati alias nurani selalu benar dan jujur. Untuk itu,
orang yang bersyukur dengan hati nuraninya sebenarnya tidak akan pernah mengingkari
banyaknya nikmat Allah. Dengan detak hati yang paling dalam, kita sebenarnya mampu
menyadari seluruh nikmat yang kita peroleh setiap detik hidup kita tidak lain berasal dari
Allah. Hanya Allahlah yang mampu menganugerahkan nikmat-Nya.
2. Bersyukur dengan ucapan. Lidahlah yang biasa melafalkan kata-kata. Ungkapan
yang paling baik untuk menyatakan syukur kita kepada Allah adalah hamdalah. Dalam
sebuah hadis, Rasulullah bersabda, ``Barangsiapa mengucapkan subhana Allah, maka
baginya 10 kebaikan. Barangsiapa membaca la ilaha illa Allah, maka baginya 20
kebaikan. Dan, barangsiapa membaca alhamdu li Allah, maka baginya 30 kebaikan.
3. Bersyukur dengan perbuatan, yang biasanya dilakukan anggota tubuh. Tubuh yang
diberikan Allah kepada manusia sebaiknya dipergunakan untuk hal-hal yang positif.
Menurut Imam al-Ghazali, ada tujuh anggota tubuh yang harus dimaksimalkan untuk
bersyukur. Antara lain, mata, telinga, lidah, tangan, perut, kemaluan, dan kaki. Seluruh
anggota ini diciptakan Allah sebagai nikmat-Nya untuk kita. Lidah, misalnya, hanya
untuk mengeluarkan kata-kata yang baik, berzikir, dan mengungkapkan nikmat yang kita
rasakan. Allah berfirman, ``Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu menyebut-
nyebutnya (dengan bersyukur).`` (QS Aldhuha [93]: 11).
i[1] Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Menyucikan JIwa, ( Jakarta: Gema Insani, 2005). Hlm. 242
[2] Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Menyucikan JIwa, ( Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 244
[3] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid I, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 231
[4] Fernanda Gilsa R, “Qona’ah”, http://fernandaicha.blogspot.com/2011/02/qanaah.html, Selasa, 28 Mei 2013
Pukul 10:52 WIB
[5]Heme Adawea, “Sifat Qona’ah”, http://al-adawea.blogspot.com/2011/04/makalah-sifat-qonaah.html, Selasa, 28
Mei 2013, Pukul 11:25 WIB
[6] Saayid Bakri al Makki, Merambah Jalan Sufi Menuju Surga Ilahi, ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1996), hlm.
27
[7] Said bin Musfir al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, (Jakarta:Darul Falah, 2006), hlm. 509
[8] Muhammad Fauzi Hajjaj, Tasawuf Islam dan akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 339