Anda di halaman 1dari 4

Nama :Westin Chandra

Kelas :VII C

Siksaan Penuh Makna


Langkah anak-anak berpakaian biru dan kuning itu terus mendekat.
Seiring dengan suara azan yang mulai berkumandang. Jam di tanganku
pun seolah tak mau kalah dengan langit yang terus menunjukkan
pesonanya. Hanya sinar yang samar menerangi tenda kami. Suasana
malam itu sangat tegang, pentas seni akan dimulai. Sementara kami
belum tahu akan menampilkan apa. Suara dari ujung ke ujung membuat
nyali kami semakin melemah.

“Ayolah! Jangan sampai kita seperti ini. Kita tampilkan saja apa yang
kita bisa tampilkan,” Kalimat salah seorang anggota terus terngiang di
telingaku. Entah mengapa begitu, yang aku tahu kami akan tampilkan
yang terbaik. Tepat pukul 8 malam, peserta dari 16 sekolah dikumpulkan
di lapangan. Tak ada penerangan di sini, hanya ada sorak ramai dari
setiap penampilan mereka.

“Dag.. dig.. dug..” hatiku mulai berdebar. Entah apa yang akan terjadi
ketika nama sekolah kami dipanggil.
“Ayolah! rasanya aku mau pingsan aja! Malu loh cuma menampilkan ini
saja,”
“Jangan gitu lah sandii.. kita jauh-jauh bukan untuk kalah bukan?”

Setelah menunggu lama, nama sekolah kami pun dipanggil. Bermodalkan


yel-yel yang sebenarnya tak keren, tapi penampilan kami begitu
memukau. Puisi kami juga begitu menyentuh. Itu sebabnya, sorak ramai
dari bawah sana begitu nyaring yang sebenarnya dari pendukung sewaan.
Pujian juga terlontar dari bibir pembina kami. Ah senangnya. Pentas seni
berakhir pukul 11 malam. Udara yang begitu sejuk membuat rambut di
kulitku serasa tegak.

“Terima kasih untuk sorak ramai dari kalian, penampilan kami jadi begitu
terkesan,” Begitu kata salah seorang anggota PMR SMANSA Kabun.
“Biasa saja lah. Jika tidak ada kalian mungkin penampilan kami tak akan
ada yang melihat.” Jawab seniorku sambil tertawa.

Kaki ini mulai melangkah, lima jari kami pun bergantian menggenggam
tangan mereka untuk mengucapkan terima kasih. Lapangan mulai sepi.
Kembali ke tenda adalah tujuan kami. Mata mulai memerah arti kantuk
telah melanda. Tak kami hiraukan lagi nyanyian cantik dari perut kami.
Tidur dan tidur menjadi prioritas, untuk menghilangkan sedikit penat di
tubuh. Mungkin hanya 2 jam waktu kami untuk terlelap. Terdengar suara
KSR (Kop suka relawan) menggunakan toa dari ujung sana. Ya, selarut ini
semua peserta harus bangun dari tidur. Siap untuk mengikuti uji materi.

“Cepat dek! Lari lah lariii!” begitu suara lantang KSR kami.
Dengan langkah yang terburu-buru kami mendekat dan bergabung ke
barisan.
“Siapa yang suruh pakai jaket dek?” Kata Kak Luga senior di sini.
Tak ada yang berani menjawab pertanyaannya.
“Kita kan PMR, yang lain juga gak pakai jaket. Buka sekarang! Tunjukkan
nilai kebersamaan!”

Kami hanya menurut saja. Lanjut ke pos selanjutnya. Rintangan tak lupa
melengkapi perjalanan kami. Kira-kira seperti zaman jepang dulu.
Setelah rintangan yang amat menyiksa berakhir, kami dikumpulkan
kembali ke lapangan untuk renungan suci. Ada yang menangis, diam,
merenung, bahkan ada yang tidur sampai mendekur. Ya begitulah. Tapi
kami sadar setiap apa yang kami lewati, mereka lakukan untuk
menyiapkan kami menjadi relawan berkualitas kelak.
Tema

Siksaan untuk kebaikan

Tokoh dan karakter

Sandi : Mudah Menyerah,Pemalu

Kak Luga :Tegas dan disiplin

Latar

Latar Tempat :Sekolah

Latar Waktu :Malam hari

Latar Suasana :Menegangkan

Nilai moral yang baik dari tokoh

Kita sebaiknya tidak mudah untuk menyerah dan jangan jadi pemalu

Kita harus tegas dan disiplin dalam situasi apapun

Amanat atau pesan

Kita sebaiknya tetap melaksanakan apa yang harus dilaksanakan karena


itu semua untuk kebaikan kita kelak nantinya

Ringkasan

Langkah anak-anak berpakaian biru dan kuning itu terus mendekat.


Pentas seni akan dimulai sementara kami belum tahu untuk menampilkan
apa. “Ayolah! Jangan sampai kita seperti ini. Kita tampilkan saja apa
yang kita bisa tampilkan,” Kalimat salah seorang anggota. Hatiku mulai
berdebar “Ayolah! Rasanya aku mau pingsan aja! Malu loh cuman
menampilkan ini saja,” “Jangan gitulah sandi.. kita jauh-jauh bukan untuk
kalah bukan?” Setelah menunggu lama, nama sekolah kami pun dipanggil.
Bermodalkan yel-yel yang sebenarnya tak keren, tapi penampilan kami
begitu memukau. Itu sebabnya, sorak ramai dari bawah sana begitu
nyaring. Pentas seni berakhir pukul 11 malam.

“Terima kasih untuk sorak ramai dari kalian, penampilan kami jadi begitu
terkesan,” Begitu kata salah seorang PMR SMANSA Kabun. Kaki ini
mulai melangkah, lima jari kami pun bergantian menggenggam tangan
mereka untuk mengucapkan terima kasih. Kembali ke tenda adalah
tujuan kami. Mata mulai memerah arti kantuk telah melanda. Mungkin
hanya 2 jam waktu kami untuk terlelap. Terdengar suara KSR (Kop Suka
Relawan) menggunakan toa dari ujung sana. Ya, selarut ini semua
peserta harus bangun untuk mengikuti uji materi. “Cepat dek! Lari!”
begitu lantang suara KSR kami. “Siapa yang suruh pakai jaket dek?”
Kata Kak Luga senior di sini. Taka da yang berani menjawab
pertanyaannya. “Kita kan PMR, yang lain juga gak pakai jaket. Buka
sekarang! Tunjukkan nilai kebersamaan!”. Kami hanya menurut saja.
Rintangan tak lupa melengkapi perjalanan kami. Kira-kira seperti zaman
jepang dulu. Rintangan yang amat menyiksa berakhir, kami dikumpulkan
ke lapangan untuk renungan suci. Ada yang menangis, diam, merenung,
bahkan ada yang tidur sampai mendengkur. Tapi kami sadar setiap apa
yang kami lewati, mereka lakukan ini untuk menyiapkan kami menjadi
relawan berkualitas kelak.

Struktur Cerpen

Paragraf 1-3 :Orientasi

Paragraf 4-6 :Komplikasi

Paragraf 7-8 :Resolusi

Anda mungkin juga menyukai