Anda di halaman 1dari 9

MANAJEMEN STRES DAN KONFLIK

Dosen Pembimbing:

Mohammad Fakry Gaffar


Danny Meirawan
Nur Aedi

Disusun Oleh :
Alfian
2113220

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


2022
KATA PENGANTAR

Puji beserta syukur kehadirat Allah SWT Penulis haturkan atas rahmat dan
hidayahnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Analisis jurnal terkait Manajemen
Stres dan Konfik sebagai tugas pada Mata Kuliah Manajemen Stres dan Konflik. Penulis
mengucapkan ribuan terima kasih kepada Dosen pengampu mata kuliah Bapak
Mohammad Fakry Gaffar, Danny Meirawan dan Nur Aedi atas bimbingannya serta
seluruh rekan mahasiswa Kelas Kerjasama Universitas Almuslim atas bantuannya
sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Analisis ini masih banyak terdapat kekurangan, mohon saran, masukan yang
membangun dari Bapak/Ibu dosen serta rekan mahasiswa semua untuk penyempurnaan
tulisan ini.

Bireuen, Oktober 2022


Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................... i


Daftar Isi .................................................................................................. ii

A. Manajemen Konflik dalam Dunia pendidikan.................................... 1


B. Manajemen Stres dalam Dunia pendidikan ....................................... 4
C. Manajemen Konflik di Sekolah ......................................................... 5
D. Manajemen Stres di Sekolah……………………………………….. 6
E. Manajemen Stres di Tempat Kerja…………………………………..
F. Kesimpulan ......................................................................................... 7

Referensi................................................................................................. 9

MANAJEMEN STRES DAN KONFLIK

A. Manajemen Konflik Dalam Dunia Pendidikan

Konflik dalam dunia pendidikan dipandang sebagai salah satu titik lemah dalam
pengelolaan lembaga pendidikan. Perspektif ini muncul dikarenakan pengelola lembaga
pendidikan memandang konflik sebagai sesuatu yang negatif dan kontraproduktif. Konflik
yang terjadi dalam organisasi berbanding lurus dengan usia organisasi, termasuk salah
satunya adalah lembaga pendidikan. Awal mula konflik bisa lahir dari persoalan yang
mungkin saja dipandang remeh atau sederhana. (Fathorrahman, 2021). Namun, hal tersebut
tidak jarang menjadi penentu panjang pendeknya usia, atau masa bertahannya sebuah
organisasi untuk durasi waktu yang lebih lama lagi (Efferi 2013 dalam Fathorrahman,
2021). Terminologi Konflik berasal dari kata confligere atau conflictum artinya saling
benturan. Selanjutnya dapat didefinisikan sebagai semua bentuk benturan, tabrakan,
ketidaksesuaian, ketidakserasian, pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi
yang antagonistik-bertentangan. Kata konflik juga mengandung banyak pengertian. Ada
pengertian negatif, netral dan positif. Dalam pengertian negatif konflik dikaitkan dengan
sifat-sifat animalistik, kebuasan, kekerasan, barbarisme, destruksi, penghancuran,
irrasionalisme, tanpa kontrol emosional, huru-hara, pemogokan, perang dan sebagainya
(Efferi 2013 dalam Fathorrahman, 2021). Konflik pada dasarnya terjadi karena adanya
perbedaan individu, dan terbatasnya sumber daya yang ada. Perbedaan individu misalnya,
meliputi usia, jenis kelamin, bakat, kepercayaan, nilai pengalaman, dan lain sebagainya.
Sedangkan terbatasnya sumber daya berupa terbatasnya sumber finansial, sumber manusia,
dan sumber yang bersifat teknis.. Konflik dapat terjadi karena setiap pihak atau salah satu
pihak merasa dirugikan, baik secara material maupun non-material (Murni 2018 dalam
Fathorrahman, 2021). Untuk mencegahnya harus diketahui penyebabnya, antara lain : 1.
Perbedaan pendapat. 2. Salah paham. 3. Salah satu atau kedua belah pihak merasa
dirugikan. 4. Terlalu sensitif. Konflik juga dapat terjadi jika para anggota suatu kelompok
merasakan tujuan mereka bertentangan. Setiap anggota dalam kelompok perlu menghindari
orientasi individualistis, para anggota hendaknya berusaha mencapai beberapa tujuan
sekaligus. Hal ini mungkin tidak sukar, karena tujuan-tujuan itu sering saling melengkapi.
Misalnya, satu orang ingin belajar sebanyak-banyaknya, sedangkan orang lain ingin
membagi pengetahuannya dengan kelompok itu. Ini merupakan tujuan-tujuan yang saling
melengkapi yang kedua-duanya dapat dipenuhi. Beberapa orang juga bersedia untuk
menangguhkan tujuan mereka demi kebaikan kelompok (Efferi 2013 dalam Fathorrahman,
2021).

B. Manajemen Stress Dalam Dunia Pendidikan


Stress adalah bentuk tidak baku dari stres yang diadaptasi dari bahasa inggris berarti
gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang disebabkan oleh faktor luar;
ketegangan (“Arti Kata Program - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online” n.d.).
Menurut WHO stress adalah reaksi atau respon tubuh terhadao stressor psikososial (tekanan
mental atau beban kehidupan) (Priyoto 2014 dalam Fathorrahman, 2021). Stres dalam dunia
akademik sendiri dapat diartikan sebagai gangguan mental atau emosional yang disebabkan
oleh tekanan-tekanan yang berkaitan dengan sistem atau dunia pendidikan. Stres berasal dari
kata streingere, yang memiliki arti suatu kondisi di mana sistem organ dan juga jaringan
yang ada di dalam tubuh berhenti sejenak. Hal ini sebagai respon dari tubuh terhadap semua
rangsangan yang berasal dari luar yang sifatnya dapat menekan jiwa atau psikologis
seseorang. Dampak yang dirasakan oleh orang bersangkutan nantinya adalah perasaan
tegang, merasa tertekan dan cemas. Stress ini dapat berdampak secara negatif dan bisa
mengganggu keseimbangan jiwa. Apabila stress ini berlangsung dalam kurun waktu yang
sangat lama, maka stress tersebut nantinya akan dapat berujung kepada sakit secara fisik
atau psikosomatis (Hidayati and Suryadi 2020). Ada beberapa gejala yang dialami oleh
seseorang yang menunjukkan stress. Adapun gejala tersebut antara lain (Hidayati and
Suryadi 2020): (1) fisiologis; (2) psikologis; dan (3) gejala perilaku. Stres di dunia
pendidikan dapat dialami oleh setiap orang yang berkecimpung dalam sistem pendidikan.
Baik pemimpin sistem, tenaga pendidik, staff kependidikan, siswa, maupun wali siswa.
Penyebab stres setiap orang berbeda-beda bergantung dari kondisi mental dan tekanan yang
didapatkannya dari lingkungan sekitar. Misalnya guru, dapat merasa tertekan akibat
permasalahan siswa yang belum selesai, kepala sekolah yang berbeda pendapat, konflik-
konflik yang terjadi di lingkungan sekolah, dan tugas-tugas yang masih harus diselesaikan.
Siswa sendiri memiliki tekanan yang berbeda dari sistem pendidikan, misalnya tugas yang
banyak, ujian yang akan datang, konflik dengan teman satu sekolah, dan lain sebagainya.
Seperti yang telah diungkapkan oleh Robbins penyebab stres terdiri dari: (1) faktor
lingkungan; (2) faktor institusional; dan (3) faktor pribadi. Lingkungan mempengaruhi
mental dan pola pikir manusia, tidak terkecuali guru (Hidayati 2020). Seorang guru dapat
menjad stress akibat dari ketidakpastian lingkungan, organisasi, dan masalah pribadi.
Lingkungan seperti faktor ekonomi, teknologi, dan konflik antar rekan instansi menjadi
faktor yang mempengaruhi tingkat stress guru.

C. Manajemen konflik di Sekolah


Konflik tidak selamanya harus ditinggalkan atau dibuang jauh-jauh (Contu, 2019).
Konflik dalam sebuah organisasi merupakan gejala alamiah yang pasti dialami. Bagi
kelompok ini, konflik merupakan konsekuensi logis yang tak dapat terhindarkan dan
dihindarkan oleh siapa pun dan organisasi mana pun. Alasan karena konflik tak dapat
terhindarkan, maka mazhab ini menganjurkan untuk menerima keberadaan konflik. Konflik
tidak bisa dihapuskan, bahkan ada saat tertentu di mana konflik itu baik dan bahkan
menguntungkan bagi kelompok atau organisasi. Teori Human Relationsini mendominasi
teori konflik pada akhir tahun 1940-an sampai pertengahan tahun 1970-an (Ardianto, 2019;
Thapa, Cohen, Guffey, & Higgins-D’Alessandro, 2013). Sementara pandangan yang
terakhir adalah interaksionis (interactionist), yang mama menurut pandangan ini setiap
organisasi harus menerima keberadaan konflik sebagai sesuatu yang nyata. Mazhab
interaksionis mendorong munculnya konflik dengan dasar pemikiran bahwa sebuah
kelompok yang harmonis, adem ayem, tenang, damai, dan kooperatif biasanya menjadi
statis, apatis, serta tidak tanggap terhadap perlunya perubahan. Karena itulah sumbangan
terbesar kelompok ini adalah mendorong para pemimpin untuk mempertahankan terjadinya
konflik minimum, hal ini cukup untuk menjaga kelompok tetap bisa bekerja, kritis terhadap
diri sendiri, sekaligus kreatif (Contu, 2019; Robbins, Judge, & Shobirin, 2014) Mazhab
interaksionis tidak bermaksud mengatakan bahwa seluruh konflik baik, tetapi yang
dimaksud di sini, adakalanya konflik itu baik, adakalanya konflik itu tidak baik atau buruk.
Konflik yang baik itu disebut konflik fungsional (fungtional) dan konstruktif, yaitu konflik
yang bisa mendukung terhadap pencapaian tujuan kelompok dan dan memperbaiki kinerja.
Sedangkan konflik yang tidak baik atau buruk di sini disebut konflik disfungsional
(dysfungsional) dan destruktif (Mikkelsen & Clegg, 2019). Dengan mengacu pada
keterangan di atas, bahwa konflik yang bersifat fungsional dan disfungsional memiliki
potensi untuk memperbaiki atau merusak prestasi organisasi, hal itu kemudian tergantung
pada cara dan sikap pemimpin dalam mengelolanya (Mamahit, 2016). Banyaknya
pertentangan yang terjadi antara anggota organisasi harus dikelola dengan baik agar
berdampak positif bagi organisasi dan kemajuannya. Sekolah, sebagaimana organisasi yang
lain juga memiliki struktur organisasi yang jelas, sistem yang jelas, manajemen yang jelas,
dan kegiatankegiatan pengajaran dan pembelajaran (Heath, 2010; Reece, 2012). Sebagai
sebuah organisasi, di lingkungan sekolah tentu terjadi komunikasi dan interaksi telah
menjadi kebiasaan setiap harinya, yang sangat memungkinkan terjadinya konflik antarwarga
sekolah. Dengan mengacu pada pendekatan pandangan hubungan manusia dan
interaksionistik, kehadiran konflik merupakan gejala alamiah dan kehadirannya di lingkaran
dan sekeliling sekolah harus diterima. Konflik merupakan proses dinamis yang dapat dilihat,
diuraikan, dan dianalisis. Konflik dapat berkonotasi positif, dapat juga negatif, tergantung
cara bagaimana kita menyikapinya, bagaimana cara memilih dan memilahnya (Raines,
2019; Wang & Wu, 2020). Jika seorang pemimpin/kepala sekolah dapat melakukan cara
tersebut maka pengaruhnya terhadap efektivitas organisasi/sekolah, tujuan organisasi-pun
dapat tercapai. Pandangan interaksionis (interacsionict) memberikan sebuah pemahaman
bahwa konflik dapat fungsional dan berperan salah (dysfunctionalt). Hal ini berarti konflik
dapat berpengaruh positif atau membawa pada perkembangan organisasi/sekolah, atau
sebaliknya, dapat mencegah dan menunda kegiatan, Fathorrahman; Fathorrahman.
Manajemen Konflik dan Stres di Sekolah 189 kondusifitas, dan perkembangan
organisasi/sekolah. Ini sangat tergantung pemimpin/kepala sekolah dalam menyikapinya.
Dalam konteks sekolah, konflik yang bersifat fungsional ini dapat diambil contoh
sebagaimana yang berikut: pemimpin/kepala sekolah menemukan jalan untuk menggunakan
dana secara baik dan lebih efektif; 2) mereka para warga sekolah menemukan cara dalam
efisiensi ongkos-ongkos. Manajer sekolah (kepala sekolah) mungkin dapat menemukan cara
perbaikan prestasi organisasi; 2) dapat menemukan nilai dan tujuan baru yang dapat
mendongkrak kemajuan sekolah; 3) kinerja seluruh unit dapat ditingkatkan, sehingga
mendapatkan tambahan dana untuk semua; 4) penggantian manajer yang lebih cakap,
bersemangat, berwawasan baru, dan lebih profesional (Olu, Dupe, Adesubomi, & Abolade,
2008; Somech, 2008). Konflik terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) Interest (kepentingan), suatu
motivasi seseorang melakukan sesuatu atau tidak melakukannya. Motivasi ini tidak hanya
dari keinginan pribadi seseorang, tetapi juga dari peran dan statusnya, 2) Emotion (emosi).
Emosi ini seringkali diwujudkan dalam bentuk perasaan yang menyertai sebagian besar
kehidupan manusia, seperti misalnya marah, kebencian, takut, penolakan, dan 3) Values
(nilai), yang termasuk komponen konflik yang paling sulit diprediksi, karena tidak bisa
diraba. Namun, kita dapat memilah dari hal yang paling dalam dari perasaan, misalnya
tentang baik dan buruk, benar dan salah (De Dreu & Beersma, 2005; Wahyudi, 2017).
Konflik terjadi jika ada ketidaksepahaman, ketidakserasian, atau bahkan terjadi
pertentangan antar anggota organisasi/warga sekolah. Dalam hal ini, bisa jadi timbul
ketidaksepahaman, ketidakserasian, dan pertentangan antar guru, antar guru sekolah, antar
guru dan guru, atau bahkan dengan masyarakat.

D. Manajemen Stres di Sekolah


Menurut Charles D. Spielberger, dalam Veithzal (2017: 286), stres adalah tuntutan-
tuntutan eksternal mengenai seseorang, misalnya objek-objek dalam lingkungan atau suatu
stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga dapat diartikan sebagai tekanan,
ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang
(Hambleton, Merenda, & Spielberger, 2004; Spielberger, 2013). Gibson mengemukakan
bahwa stres kerja dapat dikonseptualisasikan dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai
stimulus, stres sebagai respon, dan stres sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus
merupakan pendekatan yang menitikbaratkan pada lingkungan. Definisi stimulus ini
merupakan kekuatan yang menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap stresor.
Dengan demikian, stres jenis ini merupakan konsekwensi dari interaksi antara stimulus
lingkungan dengan dengan respon individu (Gibson, 2011). Dari beberapa definisi di atas
dapat disimpulkan, bahwa stres adalah sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara
manusia dan pekerjaan serta dikarakterisasikan oleh perubahan manusia yang memaksa
mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka. Stres adalah suatu wujud reaksi
psikologis yang normal terjadi saat adanya peningkatan beban kehidupan, salah satunya
adalah beban pekerjaan. Tujuan Manajemen Stres; Tujuan dari dilakukannya manajemen
stres adalah demi memperbaiki kualitas hidup yang lebih baik. Secara spesifik, tujuan
dilakukannya manajemen stres di dalam lingkungan organisasi adalah untuk: 1)
mengantisipasi adanya kemungkinan timbul penyebab stres, 2) mencegah terjadinya stres
pada guru dan perusahaan secara menyeluruh, 3) tidak menyebabkan efek yang lebih buruk,
4) memulihkan guru dan atau perusahaan dari stres (Matteson & Ivancevich, 1987; Sahni &
Kumar, 2012).

E. Manajemen Stres di Tempat Kerja


Strategi Menangani Stres Kerja Stres kerja adalah perasaan yang menekan atau
merasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaannya. Stres kerja
karyawan berdampak pada produktifitas dan semangat kerja mereka, oleh karenanya peran
serta organisasi dalam hal ini manajemen dalam penanganannya perlu mendapatka perhatian
serius.Strategi organisasi dalam mengelola stres kerja perlu dirancang oleh manajemen
untuk menghilangkan atau mengontrol stres serta untuk mencegah atau mengurangi stres
yang dirasakan karyawan. Menurut Jeremy Stranks (2005) pembuatan strategi organisasi
akan mampu membantu dalam penanggulangan stres di tempat kerja. Strategi organisasi
yang dapat diterapka dapat berupa: a. Penetapan prosedur kesehatan dan kesejahteraan
karyawan. Ini termasuk berbagai bentuk pengawasan kesehatan, kegiatan promosi
kesehatan, konseling tentang isu-isu yang berhubungan dengan kesehatan dan penyediaan
fasilitas kesejahteraan yang memadai dll. Standar-standar ini mendorong para manajer,
karyawan, karyawan dan perwakilan mereka untuk bekerja sama mengidentifikasi potensi
penyebab stres di tempat kerja dan kemudian mengambil tindakan untuk memperbaiki
situasi. b. Gaya manajemen: disini menyangkut peduli lingkungan sangat penting,
penerapan sistem komunikasi yang baik dan keterbukaan pada semua masalah yang di
hadapi karyawan. c. Manajemen perubahan. Manajemen harus menyadari bahwa perubahan
yang akan datang, dalam bentuk apa pun, adalah salah satu penyebab stres yang paling
signifikan di tempat kerja. Hal ini umumnya terkait dengan ketidakpastian pekerjaan,
ketidakamanan, ancaman pemutusan hubungan kerja, hilangnya prospek promosi dan
sebagainya. Untuk menghilangkan efek perubahan yang berpotensi menimbulkan stres,
tingkat komunikasi yang tinggi dalam hal apa yang terjadi harus dijaga dan setiap perubahan
tersebut harus dikelola dengan baik pada tahap demi tahap. d. Kegiatan pelatihan: Kegiatan
pelatihan karyawan harus mempertimbangkan potensi stres dalam aktivitas kerja tertentu.
Orang harus dilatih untuk mengenali unsur-unsur stres dalam pekerjaan mereka dan strategi
yang tersedia untuk mengatasi stres ini. Selain itu, desain pekerjaan dan organisasi kerja
harus didasarkan pada prinsip-prinsip kopetensi dan keahlian mereka. Strategi menghadapi
stres juga dapat dilakukan dari sisi individu itu sendiri seperti misalnya melalui menjauhkan
dari penyebab stres, mengolah pemikiran dengan mengganti persepsi tentang stres,
menghilangkan penyebab stres, mengontrol peningkatan stres dan meminta dukungan sosial
dari orangorang sekitar. Disamping itu juga dapat dilakukan melalui disiplin diri dengan
membuat rencana kerja yang teratur, target kerja atau program-program kerja yang dapat
dijangkau. Mada Sutapa (2007) menyebutkan stres dalam organisasi tidak selamanya
membahayakan kehidupan organisasi, sepanjang stres yang muncul hanya akan berada pada
tingkat yang rendah atau moderat. Alasannya adalah karena stres pada tingkat tertentu
memang diperlukan karena dapat bersifat fungsional yang berperan sebagai pendorong
peningkatan kinerja anggota organisasi.

F. Kesimpulan
Banyak hal yang perlu dikelola dalam sistem pendidikan dan Organisasi kerja
lainnya, tiga diantaranya adalah manajemen konflik, manajemen stress, dan manajemen
waktu. Konflik dalam dunia pendidikan dipandang sebagai salah satu titik lemah dalam
pengelolaan lembaga pendidikan. Perspektif ini muncul dikarenakan pengelola lembaga
pendidikan memandang konflik sebagai sesuatu yang negatif dan kontraproduktif.
Manajemen stress adalah hal yang juga perlu dikuasai oleh individu yang berkecimpung di
dunia pendidikan. Penyebab stres terdiri dari: (1) faktor lingkungan; (2) faktor institusional;
dan (3) faktor pribadi. Faktor tersebut dapat dispesifikasi sesuai dengan masing-masing
kondisi individu. Stress juga dapat dirasakan tidak hanya oleh beberapa orang atau
golongan, tapi dapat menimpa semua orang termasuk siswa dan guru. Dalam pengelolaan
lembaga pendidikan, hal yang perlu dikelola dengan baik ialah waktu. Pengelolaan waktu
umumnya dilakukan dengan cara individu menetapkan terlebih dahulu kebutuhan dan
keinginan kemudian menyusunya berdasarkan segi urutan kepentingan. Dalam konteks
manajemen pendidikan, rencana-rencana untuk mengisi waktu dengan aktifitas-akitifitas
organisasi harus tergambar dalam rencana strategi (Strategic planning) dan rencana
oprasional (operational planning). Manajemen waktu menjadi kemampuan yang seyogyanya
dimiliki oleh siswa, tenaga pendidik, dan staff kependidikan untuk mendukung kurikulum
dan rencana strategis yang dibuat dengan mempertimbangkan efektifitas waktu. Tujuannya
tentu jelas untuk mencapai tujuan sistem yang lebih besar yaitu sistem pendidikan.

REFERENSI
Aziwantoro, Juni (2021). Analisis Implementasi Manajemen Konflik, Manajemen Stres
dan Manajemen Waktu Dalam Pendidikan di Indonesia. Jurnal Bening Volume 8 No
(2) 1-13
Fathorrahman (2021). Manajemen Konflik dan Stres di Sekolah. ITQAN: Jurnal Ilmu Ilmu
Kependidikan Vol. 12 No.02 (2021) pp. 183-200 pISSN: 2086-7018 | eISSN: 2614-
4654. https://doi.org/10.47766/itqan.v12i2.122
Suryani, Ni Kadek,. Yoga, Gede Agus Dian Maha ( 2018) Konflik Dan Stres Kerja Dalam
Organisasi. Jurnal Widya Manajemen Vol. 1, No. 1, 1-15

Anda mungkin juga menyukai