Anda di halaman 1dari 14

Talak Tiga Generasi Tua

Kutalak tiga generasi tua


Keningku kian retak dan membusuk jadi nestapa
Melihat dan menghirup gerak mereka, alangkah rendahnya!

Kini kuhimpun sepuluh samudera di dalam dada


Kulapangkan isi kepala hingga tujuh sabana
Ratusan matahari dan berjuta-juta debur ombak jadi tenaga

Lekaslah menuju petak-petak fana


Hilanglah lekas dari lembar sejarah dunia
Cucumu berjanji tak akan jatuh ke lubang yang sama
Tak akan berguru pada generasi sebelumnya!

Pamulang, 2019.

Doa Tuhan

Doa Tuhan menyamar di balik tetes hujan


Menghujam kepala yang dipenuhi riuh angan-angan
Betapa basah dan dingin kehilangan ucapan
Hanya bisa kita terima untuk lanjut berjalan

Teruslah merangkak
Meski sunyi bergelayut di pangkal pundak
Hidup mesti terus meledak
Bukan merintih dalam jatuh lantas tergeletak

Tiup kembali angin cakrawala


Yang berdesir dan terus meronta di dalam dada
Doa Tuhan menyamar dan siap mendera
Bersiap menghujam kepala, bersiap ditangkap jadi segumpal nyawa!

Pamulang, 2019.

21

Dua puluh satu kali mengitari matahari


Bertumpu pada nyawa
yang kian lunglai terkatung
Menggurat hampa pada udara
Bumi, masihkah engkau sanggupi?

Warna-warni bersahutan di langit


Turun ke tanah menjadi hujan
Namun setelah kering ia bangkit:
Padang berkalang kegelapan

Maka, sedialah kutiup tubuhmu


Nyala api, nyala nyawaku
Lantip paningalku, dua bola mata titipan-Mu
Berjagalah sepanjang waktu!

Pamulang, 2018.

Monolog

Bayang-bayang gesit berkilah


melangkahi siang dan malam
Matahari yang bisu beranak-pinak dalam
kejaran waktu
Menjulur dari rongkong dan rongga
Membakar ruang-ruang yang tersedia

Tuhan, naungi wajah mereka


Sembunyikan tangis walau gemanya berderap
Hati, tak perlu begitu murung sorot matamu
Engkaulah gua dingin, luas yang terbungkus gelap

Gulung saja risau serta pengap kerinduan


Membentanglah sepi dan terang rembulan
Biar kaki lumpuh terkulai
Dalam genggam tanganmu, riuh derita terurai

Pamulang, 2018.

Almamater Cahaya
Almamaterku cahaya
Pendar berkibar di pucuk kepala
Galaksi ilmu kutancap pada Satu Nama
Tak bisa diraba, tak bisa didera

Sunyi-sunyi bersama
Jadi keramaian tak terkira
Senyap derap langkah gembala
Di atas padang-padang tak kasat mata!

Pamulang, 2018.

Lagu Kosong

Dalam tidur aku nyanyikan


Lagu-lagu kosong
Kutulis sebait dua bait puisi
Meski tetap saja: kosong
Seperti nasib hari tua yang mlompong

Tapi matahari terus mengejar


dari timur khatulistiwa
Untuk sementara kutinggal
kekasihku dalam kepala
Aku harus melonjak dari bunga tidur
Saudara-saudaraku di sana tak kunjung sadar
mana temaram mana fajar

Aku mesti melesat memetik


matahari dan rembulan
Saudara-saudarku butuh makan
Segera dalam jumlah kontan!

Pamulang, 2018

Hati Tua

Usiaku tujuh dekade


Pikiranku dua dekade lebih tua
Dan hatiku lima kali lipat dari usia wadahnya
Mereka timbul tenggelam
Matahari, rembulan, gunung, bukit dan pohonan
Pasang-surut serupa lidah laut

Namun siapa kita, siapa aku


Akan tetap jadi rahasia
Dari mana asalku dan asal-Mu
Tak tergambar jua
Cahaya yang melesat menabrak mata
Membuat gelap seluruh isi dunia

Aku bertapa dalam kegelapan itu


Kutemui diri kadang hidup di masa depan, masa lalu
Di laju darahku, di dalam kobaran api-Mu
Di dasar telagaku, di dasar sukma-Mu
Di manakah aku? Di manakah Kamu?

Senyumku kejora muda ceria


Namun hatiku aduhai
Teramat tua
Gemar menangisi segala-galanya.

Pamulang, 2018.

Harga Keselamatan

Aku berdoa agar hidup senantiasa


dijaga oleh malaikat Allah
yang menjelma udara
Sebab angin tak mampu membaca
tangan yang mencengkeram geraknya

Satu malaikat bisa membangun


singgasana
di delapan titik mata angin
Bersedekap! Iblis mungkin
menamparmu dari arah
cinta biasa terbit
Wahai, dunia dirundung tangis
dalam kekalutan
Siapa bisa pastikan
tak tersesat
Ketika garis batas antara
cahaya dan gelap
tak mampu terlihat

Angkasa koyak, dari luka langit


yang menganga
jatuh bangkai-bangkai
kehidupan
Merintangi jalan berkabut
di depan langkah kaki sejarah

Oh Allah, harap tuliskan


Berapa rupiah harga keselamatan!

Pamulang, 2018

Pasca Indra

Mataku mendengar
Telingaku merasa
Hidungku melihat
Lidahku mengendus
Kulitku mengecap

Nyawaku mencium bau busuk dunia


Ruhku meraba setiap gejala
Pikiranku menangis oleh guncangan
Hatiku dungu memahami pengertian

Airku membakar
Apiku membasahi
Sunyiku berderap menggusar
Ramaiku bertapa seorang diri

Gelombang lautku kokoh menancapi bumi


Gunung-gunungku menggulung tarian di kaki cakrawala
Langitku tempat kaki terpaku
Bumiku rantai mengikat butir-butir nafsu

Gelapku mencahayai
Terangku menggelapi
Bagi yang bersetia kepada malam akan menangkup rahasia hening
Bagi yang terlalu bergairah menggenggam matahari akan terbakar dalam kering

Timurku akan kunjung di barat


Baratku membuntut kepada timur
Selatanku mengejar utara
Utaraku mengalir sampai selatan
Setiap dalam segala aku ujungnya
Dan ujung segala tiap, aku menggenggamnya.

Pamulang, 2018

Generation Ndheng (G-Ndheng)

Duduk di sela kaki malam


Ngobrol sama rembulan yang (masih) tak bisa ngomong
Oh, Doel Sumbang, banyak rindu dan cinta yang berlalu!

Di sini aku bertanya tapi sekaligus menyalahkan-Mu


Kenapa ada siang yang terik?
Pasti agar mata kami silau memandang
Kenapa manusia tak makan rumput?
Pasti supaya saling membunuh satu sama lain
Kenapa Engkau jauh di sana, tidak duduk saja di sini?
Begitu tega melihat manusia dibunuh rasa sepi

Memang makin kacau


Aku berjalan ke atas tempat tidur dengan hati meracau
Hendak menuduh barat, tapi tak kenal mata angin
Memilih langit untuk diludahi, justru jatuh ke atas kening sendiri
Lalu tertawa, hehehe
Kubasuh wajah dengan air comberan
Di dalam kamar bertemu cermin
Lalu tertawa lagi, hahaha
Lampu dimatikan, gelap, tanpa cahaya, tanpa eksistensi
Lalu tertawa lagi, hihihi

Sambil tidur terus tertawa


Malaikat-Mu mengintip, aku makin keras
tertawa
Hingga tak terasa fajar merangkai tiba
Dan aku bangun pagi tanpa busana
di tengah manusia yang memakai celana dalam di atas kepala

Pamulang, 2018

Qurban

Tuhan, telah kuqurbankan segala yang mungkin menikamku di masa depan


Seribu jabang bayi kegelapan telah kupenggal sebelum ia beranjak dewasa
Kini hanya hampa mengisi diri
Melayang-layang di antara kosong dan sepi
Kalau pun Engkau memintanya
Pastilah akan kuberi
Meskipun pada sayatan pertama
Engkau tak menyulapku jadi seekor sapi ataupun domba.

Pamulang, 2018.
Dikurung Gelap

Aku dikurung gelap, Tuhan


Sangkar yang tak teraba telapak tangan
Mengunci nafas dan gerak pandangan

Di garis asma' Wahhab dan Rozaq


Kugantung sisa nyawa yang mungkin.

Pamulang, 2018

Bukan Bangsa Burung


:untuk Sajak Rajawali dan Indonesia 2019

Rendra, sebenarnya kami tak tahu juga


Apakah kami ini Rajawali, atau Kutilang
atau Prenjak, atau Cipret?
Yang pasti ialah kami terkurung dalam sangkar
Dan kami enggan bertapa serta malas mengolah hidup

Janji kampanye kami memang Rajawali


yang terbang menggantung di angkasa
Tapi nyatanya Kutilang juga ia, hanya merdu sesekali
Ketika sampai singgasana, kembali jadi udara
Sementara kebudayaan kami tetaplah Prenjak
yang bermental Cipret

Jadi, siapa sesungguhnya kami?


Lelah bertanya pada akademisi sampai kiai
Tentang Rajawali, Kutilang, Prenjak dan Cipret
Oh maaf, Bapak Presiden tidak bertanya nama-nama burung
Ia bertanya nama-nama ikan dengan hadiah seonggok sepeda!

Pamulang, 2018.

Yatim Piatu

Kemerdekaan negariku hanyalah dongeng tentang patriotisme


Etalase yang memajang bercak darah, bambu runcing dan sikap heroik yang penuh koyakan
Dijajakan hingga berpuluh-puluh generasi
Tapi tak menjadi pohon yang buahnya ranum
Hingga sampai kepada eraku:
Generasi yatim piatu
Yang sejak kecil digendong dan diasuh oleh perasaan kerdil
Lagu tidur kami adalah susunan notasi yang meredupkan alam rohani
Isi kepala kami dimasukkan ke dalam selongsong peluru yang jatuh dari senapan para kumpeni
Mental kami adalah busa ludah para penjajah yang mengering dan jadi bunga menghias sekeliling rumah
Terlalu lama kami disuapi khayalan
Sarapan teks proklamasi dengan bumbu mitologi
Sepanjang usia tangan kami memberi hormat kepada bendera negeri
Dari puncak angkasa, bendera itu meludahi wajah kami.

Pamulang, 2018.

Ibrahim

Bakarlah dirimu sampai berserak jadi abu


Yang tak lenyap dan terbawa angin
Biarkan menua sebagai Ibrahim

Pamulang, 2018.

Gelembung dan Kapas

Tiba kita pada sore yang mendung


Pandangan mata diisi oleh sejuta jenis gelembung
Merasa besar dalam keremangan
Sejatinya kosong dalam kesementaraan
Gelembung-gelembung pecah sebelum menyentuh langit
Kesombongan terkulai sebelum benar-benar bangkit

Sementara Malaikat tiap malam menyulapku jadi kapas


Digendong angin hinggap pada rating, pada atap,
pada sunyi yang lindap
Benarkah rumahku jagat raya?

Padahal kapas melayang


Tanpa pernah sampai di ujung kekosongan

Pamulang, 2018.

Tatapan Sinis

Akan selalu ada tatapan sinis


yang membayang di punggung cakrawala
Suara-suara yang menampar kesadaran
Prasangka-prasangka yang mendikte kesabaran
Hanya diri sendiri kita temui
Sanggup menunggangi lekuk tubuh keadaan

Pamulang, 2018.

Tentang Segitiga

Puisiku untukmu
Puisimu untuk-Nya
Semoga tak pernah ada 'N' kecil
Di antara tiga sudut segitiga

Pamulang, 2018.

Anda mungkin juga menyukai