Anda di halaman 1dari 23

Tugas Mata Kuliah Hukum Pemanfaatan Barang Milik Negara

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Tjip Ismail, S.H., M.C.L, M.B.A., M.M., FC.Arb/
Aloysius Yanis Daniarto, S.H., LL.M./Brigjen TNI (Purn) Dr. I Made Kantikha,
S.H., M.H.
Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM)
Tahun Akademik 2022
Kelompok 3

Muhammad Rudi (21100004)

Nurdin Damay (21100006)

Hadismar Anwar Lubis (21100022)

Verena Jessica Giovani ((21100023)

Mario Widiarto Sutantoputra (21100028)

Rony Yoshua Napitupulu (21100026)

Adi Yulistanto (21100025)

Arya Wicaksana Mulyadi (21100031)


Permasalahan Hukum Kerugian Yang Terjadi Dalam BUMN Persero Dan
Kewenangan Direksi Dalam Melakukan Pengurusan Suatu Persero

A. Latar Belakang.
Pasal 33 UUD 1945 ayat (4) menyebutkan bahwa perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Salah satu upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah membentuk kebijakan
dengan membangun usaha pada sektor publik seperti Badan Usaha Milik Negara
(‘BUMN’) (selanjutnya disebut BUMN). BUMN 1 adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Terdapat 2 (dua)
bentuk BUMN yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perusahan Umum
(Perum) sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara (‘UU Nomor 19/2003’). Perusahaan Perseroan
(‘Persero’)2 adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya
terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen)
sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar
keuntungan. Perusahaan Umum (‘Perum’)3 adalah BUMN yang seluruh modalnya
dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan
umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus
mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa peranan BUMN dalam perekonomian Indonesia sangatlah besar,

1
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.

2
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.

3
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.

2
bahkan BUMN menjadi pelaku utama dalam kegiatan ekonomi nasional 4. BUMN ikut
berperan dalam menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka
mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Peran BUMN dirasakan
semakin penting sebagai pelopor dan/atau perintis dalam sektor-sektor usaha yang
belum diminati usaha swasta. Di samping itu, BUMN juga mempunyai peran
strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan
swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi.
Pelaksanaan peran BUMN tersebut diwujudkan dalam kegiatan usaha pada hampir
seluruh sektor perekonomian, seperti sektor pertanian, perikanan, perkebunan,
kehutanan, manufaktur, pertambangan, keuangan, pos dan telekomunikasi,
transportasi, listrik, industri dan perdagangan, serta konstruksi.

Penyertaan Pemerintah Republik Indonesia dalam Persero merupakan


bentuk kekayaan negara yang dipisahkan. Dalam UU Nomor 19/2003, kekayaan
negara dipisahkan5 didefinisikan sebagai kekayaan negara yang berasal dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan
modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.
Penyertaan Modal Negara sebagai kekayaan negara dipisahkan ke dalam BUMN
dikategorikan sebagai investasi jangka panjang permanen oleh Pemerintah Republik
Indonesia6. Lebih lanjut dalam UU Nomor 19/2003 disebutkan bahwa terhadap
BUMN berlaku UU Nomor 19/2003 dan anggaran dasar serta peraturan perundang-
undangan lain7 yaitu undang-undang Perseroan terbatas berikut perubahannya dan

4
https://www.kompas.com/skola/read/2022/07/02/073000669/peranan-bumn-bagi-perekonomian-indonesia?
page=all#:~:text=Kehadiran%20Badan%20Usaha%20Milik%20Negara,unit%20usaha%20kecil%20dan
%20koperasi, diakses pada tanggal 12 Oktober 2022.

5
Vide Republik Indonesia, Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara.

6
Bahan Kuliah Hukum Pemanfaatan Barang Milik Negara, Pengelolaan Kekayaan Negara, disampaikan dalam
perkuliahan Program Magister Hukum Konsentrasi Hukum Militer, STHM, 2022, hal. 43.

7
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.

3
peraturan perundang-undangan sektoral yang mengatur bidang usaha BUMN dan
swasta yang dikeluarkan oleh departemen/lembaga non departemen.

Dalam tulisan ini akan dibahas Persero yang bergerak di bidang transportasi
udara yaitu PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) atas kasus yang terjadi di tahun
2006 terkait perjanjian sewa menyewa pesawat. Terkait dengan kedudukan
kekayaan negara dipisahkan pada BUMN Persero hingga saat ini masih menjadi
perdebatan di kalangan praktisi hukum demikian pula peraturan yang ada pun
tampak terdapat pertentangan. Di mana tindakan pengurusan yang dilakukan oleh
direksi dan menimbulkan kerugian namun dianggap kerugian negara dan dikenakan
pasal tindak pidana korupsi padahal seharusnya untuk tindakan pengurusan suatu
perseroan terbatas tentunya harus didasarkan pada Undang-Undang Perseroan
Terbatas dan anggaran dasar perseroan. Meskipun demikian Aparat Penegak
Hukum umumnya mempunyai pandangan bahwa kekayaan negara tersebut adalah
merupakan obyek atau lingkup dari keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (‘UU Nomor
17/2003’). Penulis memilih menggunakan kasus PT Merpati Nusantara Airlines
(Persero) mengingat kasus ini sangat menarik mengingat terdapat perbedaan
pendekatan terkait keuangan negara dari UU Nomor 17/2003 dan UU Nomor
19/2003 dan juga perbedaan pendapat dari aparat penegak hukum serta ahli hukum
terhadap tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada Hotasi Nababan selaku
Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) pada saat itu, di mana
terdapat ahli hukum yang berpendapat bahwa perkara tersebut bukanlah masuk
dalam lingkup tindak pidana korupsi. Juga perlu menjadi catatan bahwa putusan
bebas Hotasi Nababan pada tingkat pertama pada Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah putusan bebas terdakwa
korupsi yang pertama kalinya dikeluarkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan pemberitaan pada Koran
Kompas pada hari Rabu tanggal 20 Februari 2013 8.

8
Hotasi Nababan, Hukum Tanpa Takaran Penjara Korupsi Bagi Korban Penipuan, Q Communication, Jakarta,
2015, hal. 135.

4
B. Rumusan Masalah.
Bagaimanakah kemandirian Direksi dalam melakukan pengurusan suatu Persero dalam
hal terdapat kerugian sebagai akibat dari tindakan Direksi dalam menjalankan
pengurusan perusahaan berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan
Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara?

C. Keuangan Negara dan Badan Usaha Milik Negara.


Pengertian Keuangan Negara dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara 9 adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut. Sedangkan pada Pasal 2 ayat (g) berbunyi sebagai
berikut: “Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1,
meliputi : g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/perusahaan daerah.”
Selain itu terdapat beberapa pandangan ahli hukum mengenai pengertian keuangan
negara antara lain sebagai berikut:
Arifin P Soeria Atmadja10 mendefinisikan keuangan negara dalam arti luas sebagai
keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan keuangan yang berasal dari
unit usaha negara atau perusahaan-perusahaan milik negara. Sedangkan
pengertian keuangan negara dalam arti yang sempit adalah keuangan yang
berasal dari APBN saja. Sedangkan A. Hamid S. Attamimi mempunyai
pandangan bahwa yang dimaksud dengan keuangan Negara adalah keuangan
Negara dalam arti yang luas berdasarkan konstruksi penafsirannya terhadap
ketentuan seluruh ayat-ayat dalam Pasal 23 UUD 1945 dihubungkan dengan

9
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

10
Arifin P Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Praktik dan Kritik, Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 52.

5
pendapat Mohammad amin dalam bukunya yang berjudul Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 194511.
Ahli hukum lainnya Jusuf L Indradewa mengkritik pendapat dari Atamimi tersebut 12 dan
memberikan pengertian terhadap keuangan negara dalam arti yang sempit
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 yaitu
APBN. Hal ini dikaitkan dengan tanggung jawab pemerintah tentang pelaksanaan
anggaran. Oleh sebab itu keuangan negara tidak mungkin mencakup keuangan
daerah maupun keuangan perusahaan-perusahaan negara (kecuali
perjan=perusahaan jawatan). Hal ini disebabkan daerah sudah memiliki otonomi
yang dapat mengurus sendiri keuangannya yang ditetapkan dalam undang-
undang. Dalam hal ini daerah memiliki keuangan sendiri yakni keuangan daerah
yang terpisah dari keuangan negara. Selanjutnya terhadap perusahaan negara,
bahwa perusahaan negara (kecuali perjan) merupakan suatu badan hukum yang
memiliki kekayaan sendiri sehingga keuangan Badan Usaha Negara atau
Perusahaan Negara adalah bukan merupakan keuangan Negara.
Apabila kita telaah definisi BUMN 13, sebagaimana telah disebutkan di atas adalah badan
usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui
penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Sedangkan pengertian kekayaan negara yang dipisahkan14 adalah kekayaan
negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta
perseroan terbatas lainnya.
PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) adalah perusahaan perseroan.
Dalam Undang-Undang No. 19/2003 definisi Perusahaan Perseroan (‘Persero’)15
adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam
11
Arifin P Soeria Atmadja (Ketua Tim), Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Keuangan Negara
(Sumber-Sumber Keuangan Negara), Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2010, hal. 19.
12
Arifin P Soeria Atmadja (Ketua Tim), Op. Cit., hal. 19-20.
13
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.

14
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.

6
saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya
dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar
keuntungan. Mengingat hakekat Perseroan adalah mengejar keuntungan dan
berbentuk perseroan terbatas maka tentunya Perseroan tersebut tunduk pada
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam
penjelasan umum UU No. 19/2003 16 disebutkan bahwa pengurusan dan
pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola
perusahan yang baik (good corporate governance). Yang menarik dalam
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 19/2003 disebutkan bahwa “yang dimaksud
dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada
BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan
pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tetapi pembinaan dan
pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”.
Demikian pula dalam Pasal 11 UU No. 19/2003 ditegaskan bahwa terhadap
Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi
Perseroan Terbatas. Lebih lanjut definisi Perseroan Terbatas pada pasal 1 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah
badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-
Undang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya. Dengan status
sebagai badan hukum perseroan terbatas maka sejak didirikan hukum
memperlakukan pemilik atau pemegang saham dan pengurus atau Direksi
terpisah dari perseroan terbatas itu sendiri. Sulaiman 17 berpendapat bahwa modal
BUMN yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan tersebut sudah bukan
merupakan kekayaan negara lagi. Uang negara yang sudah disetorkan ke dalam

15
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.

16
Republik Indonesia, Penjelasan umum angka IV Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara.

17
Alfin Sulaiman, Op. Cit., hal. 5.

7
BUMN sudah menjadi uang BUMN yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip
perusahaan yang sehat.
Terlihat dari undang-undang yang ada yaitu UU Nomor 17/2003 dan UU
Nomor 19/2003 terdapat perbedaan pendekatan mengenai kedudukan keuangan
negara sebagai bagian dari kekayaan negara yang dipisahkan. Hal mana dapat
disimpulkan dari UU Nomor 17/2003 yang menyatakan bahwa keuangan negara
meliputi keuangan negara meliputi kekayaan negara yang dipisahkan pada
BUMN18. Demikian pula pengertian keuangan negara dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana
dalam penjelasan undang-undang tersebut di mana disebutkan bahwa pengertian
keuangan negara19 adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang
dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a) berada
dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga
Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b) berada dalam penguasaan,
pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha
Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal
negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan
perjanjian dengan Negara.
Namun demikian apabila kita melihat dalam UU Nomor 19/2003, undang-
undang tersebut memiliki pendekatan bahwa keuangan negara yang dipisahkan
atau disetorkan sebagai modal BUMN sudah bukan merupakan kekayaan negara
lagi melainkan sudah menjadi keuangan BUMN dan menjadi bagian daripada
kekayaan BUMN mengingat pengelolaannya didasarkan pada prinsip korporasi

18
Vide Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (g) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

19
Vide Republik Indonesia, Penjelasan umum angka I Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

8
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas 20. Mengingat
kekayaan negara yang dipisahkan tersebut sudah menjadi modal BUMN dan
menjadi saham dari BUMN Persero maka tentunya tanggung jawab dalam
melakukan BUMN Persero haruslah mendasarkan pada ketentuan dari Undang-
Undang Perseroan Terbatas di mana saat ini adalah Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007.
Direksi sebagai salah satu orang perseroan terbatas, dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas didefinisikan sebagai organ perseroan yang berwenang dan
bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan
perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili
perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar21. Sebagai Direksi tentunya Direksi harus melaksanakan dengan
baik kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh pemegang saham, prinsip
mana dikenal juga dengan istilah fiduciary duty. Dalam Black’s Law Dictionary22
didefinisikan sebagai “a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty
toward another person and in the best interest of the other person (such as duty
that one partner owes to another). Hubungan fiduciary timbul ketika satu pihak
berbuat sesuatu bagi kepentingan pihak lain dengan mengesampingkan
kepentingan pribadinya sendiri. Fiduciary Duty Direksi ini mengandung prinsip-
prinsip sebagai berikut: 1. Direksi dalam melakukan tugasnya tidak boleh
melakukannya untuk kepentingan pribadi ataupun kepentingan pihak ketiga tanpa
persetujuan dan atau sepengetahuan perseroan; 2. Direksi tidak boleh
memanfaatkan kedudukannya sebagai pengurus untuk memperoleh keuntungan,
baik untuk dirinya sendiri maupun pihak ketiga kecuali atas persetujuan
perseroan; 3. Direksi tidak boleh menggunakan atau menyalahgunakan aset
perseroan untuk kepentingannya sendiri dan atau pihak ketiga.

20
Vide Republik Indonesia, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara.

21
Republik Indonesia, Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

22
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, West Publishing, Co, ST. Paul, Minn, 2004, hal. 545.

9
Mengenai prinsip fiduciary duty tersebut dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas tercantum dalam Pasal 97 ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap
anggota Direksi wajib dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan 23. Fiduciary duty
Direksi terdiri dari duty of care dan duty of loyalty24. Duty of care adalah prinsip di
mana direksi diharuskan untuk bertindak dengan kehati-hatian dalam membuat
segala keputusan dan kebijakan perseroan. Dalam membuat setiap kebijakan,
direksi harus tetap mempertimbangkan segala informasi-informasi yang ada
secara patut dan wajar. Duty of Loyalty, adalah prinsip di mana direksi
bertanggung jawab untuk selalu berpihak kepada kepentingan perusahaan yang
dipimpinnya. Direksi yang diberikan kepercayaan oleh perseroan harus bertindak
untuk kepentingan pemegang saham, bertindak untuk kepentingan dan tujuan
perseroan, serta bertindak dengan mengutamakan kepentingan perseroan di atas
kepentingan pribadi. Selain prinsip tersebut terdapat lagi prinsip Business
Judgment Rule25, di mana prinsip Business Judgment Rule adalah suatu prinsip
hukum yang berasal dari common law sistem, di mana dasar pertimbangan
adanya prinsip Business Judgment Rule yaitu bahwa tidak setiap keputusan
direksi dapat memberikan keuntungan bagi perseroan, seperti lazimnya dalam
dunia usaha ada untung dan ada rugi. Sehingga apabila Direksi telah mengambil
keputusan untuk kepentingan perseroan (tidak ada kepentingan pribadi) dengan
kehati-hatian dan dengan iktikad baik serta telah berdasarkan keputusan bisnis
tentunya tidak dapat dipersalahkan atas keputusan yang telah diambilnya.
Terkait dengan perdebatan mengenai apakah kekayaan negara dipisahkan
masuk atau tidak dalam Keuangan Negara terdapat perbedaan pendekatan juga
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Terdapat Fatwa Hukum yang
23
Republik Indonesia, Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

24
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2013, hal. 108.

PENERAPAN PRINSIP BUSINESS JUDGMENT RULE TERHADAP DIREKSI YANG


MELAKUKAN KEBIJAKAN YANG MERUGIKAN PERUSAHAAN
25
Robin Panjaitan, Martono Anggusti, & Roida Nababan Rani Lestaria, Penerapan Prinsip Business Judgment
Rule Terhadap Direksi Yang Melakukan Kebijakan Yang Merugikan Perusahaan, Jurnal Ilmiah Hukum
Fakultas Hukum Universitas HKBP Nomensen, Volume 10, Nomor 01, April 2021, hal. 5.

10
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia atas surat dari Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor S-324/MK.01/2006 tanggal 26 Juli 2006,
adapun Fatwa Mahkamah Agung Nomor: WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16
Agustus 2006, Perihal: Permohonan Fatwa Hukum. Dalam suratnya Menteri
Keuangan meminta kepada Mahkamah Agung untuk mengeluarkan fatwa
mengenai pemisahan kekayaan BUMN dari kekayaan negara terkait adanya
pengurusan piutang perusahaan negara/daerah yang terdapat pada Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah. Dalam Fatwa yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung tersebut
disebutkan bahwa modal BUMN adalah berasal dari kekayaan negara yang telah
dipisahkan dari APBN dan pembinaan serta pengelolaannya tidak lagi didasarkan
pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang
sehat (good corpotare governance). Selanjutnya Mahkamah Agung menyatakan
bahwa piutang BUMN bukanlah piutang negara.Dari Fatwa Mahkamah Agung
tersebut terlihat dengan jelas bahwa Mahkamah Agung mengukuhkan kedudukan
kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN Perseroan adalah terpisah atau
tidak termasuk dalam lingkup keuangan negara. Hal mana sejalan dengan konsep
bahwa BUMN sebagai badan hukum adalah mandiri, mempunyai kekayaan yang
terpisah dari kekayaan pengurus maupun pendirinya.
Sedangkan terdapat pendapat berbeda yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi terkait hal yang sama dengan dua putusannya yaitu putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 62/PUU-XI/2013 tanggal 18 September 2014 26 yang pada pokoknya
mengukuhkan kedudukan kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN adalah
termasuk dalam lingkup keuangan negara. Dalam kedua putusannya tersebut
Mahkamah Konstitusi pada pokoknya menolak permohonan uji materil terhadap
Pasal 2 UU Nomor 17/2003 khususnya Pasal 2 huruf g dan i. Sehingga terdapat
pertentangan dalam pengukuhan kedudukan kekayaan negara yang dipisahkan
pada BUMN oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Di mana Fatwa
Mahkamah Agung tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-

26
Rani Lestari, Isis Ikhwansyah & Pupung Faisal, Konsistensi Pengukuhan Kedudukan Kekayaan Negara Yang
Dipisahkan Pada Badan Usaha Milik Negara Menurut Pelaku Kekuasaan Kehakiman Dalam Kaitannya Dengan
Doktrin Business Judgement Rule, Jurnal Acta Diurnal, Volume 1, Nomor 2, Juni 2018, hal. 243.

11
undangan dan tidak mempunyai daya mengikat secara umum (erga omnes).
Berbeda halnya dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang putusanya bersifat
final mengikat publik (erga omnes).
Hal mana menimbulkan problema bagi direksi BUMN Persero dalam hal
ketika yang bersangkutan telah menjalankan perusahaan dengan baik dan penuh
kehati-hatian serta berpegang teguh pada prinsip fiduciary duty dan dalam
mengambil keputusannya tersebut adalah murni berdasarkan pertimbangan bisnis
(business judgement rule) namun dalam keputusan yang diambilnya tersebut
mengakibatkan kerugian bagi Persero, maka Aparat Penegak Hukum tentunya
menganggap bahwa Direksi telah menimbulkan kerugian negara dan harus harus
bertanggungjawab atas tindakan pengambilan keputusan bisnisnya yang
merugikan BUMN Persero dan merugikan keuangan negara. Di mana direksi
BUMN Persero dapat diancam tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi
sebagai berikut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)". Juga Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
12
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Pasal mana
didakwakan kepada Hotasi Nababan dalam kapasitasnya selaku Direktur Utama
PT Merpati Nusantara Airlines (Persero).
Padahal seharusnya sebagai Persero yang tunduk pada Undang-Undang
Perseroan Terbatas dalam hal terdapat kerugian yang dilakukan oleh direksi dan
tindakan tersebut sudah berdasarkan pertimbangan prinsip fiduciary duty dan
berdasarkan pertimbangan bisnis (business judgement rule) maka tentunya yang
bersangkutan dilindungi oleh ketentuan Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi sebagai berikut:
“Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.”
Namun demikian apabila direksi tersebut melakukan kesalahan atau lalai dalam
menjalankan tugasnya dengan tanpa iktikad dan tanggung jawab yang
menimbukan kerugian bagi perseroan maka berdasarkan Pasal 97 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas maka direksi
yang bersangkutan bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan.

13
D. Kasus PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) (Putusan No.
36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. Jo. No. 417 K/Pid.Sus/2014 Jo. No.41
PK/Pid.Sus/2015)
Kasus ini telah menyebabkan Hotasi Nababan yang pada saat itu merupakan Direktur
Utama PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) telah dijatuhi hukuman pidana
terkait tindak pidana korupsi sebagai akibat dianggap telah terdapatnya kerugian
negara dalam PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) akibat pengurusan Direksi,
padahal hakekat Persero seharusnya tunduk pada undang-undang Perseroan
Terbatas dan undang-Undang BUMN, di mana direksi dalam menjalankan
tugasnya tentunya mempunyai pertimbangan dari segi bisnis atau prinsip mana
dikenal juga dengan nama business judgement rule. Sehingga sepanjang Direksi
dalam melakukan tindakannya sudah berdasarkan kewenangan yang diberikan
kepadanya berdasarkan anggaran dasar dan telah memenuhi prinsip fiduciary
duty maka tentunya tidak dapat dipersalahkan apabila keputusan bisnis yang
diambil olehnya menimbulkan kerugian bagi Persero. Menjadi permasalahan
kondisi saat ini bagi direksi BUMN Persero, ketika direksi BUMN Persero dalam
melakukan keputusan bisnisnya mengakibatkan kerugian bagi Persero, maka
Aparat Penegak Hukum mempunyai pemahaman bahwa kekayaan negara yang
dipisahkan tersebut termasuk lingkup keuangan negara maka dalam hal terdapat
kerugian maka direksi BUMN Persero tersebut dianggap merugikan keuangan
negara.
Adapun kasus posisi/kronologis singkat Perkara Hotasi Nababan sebagaimana Putusan
No. 36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. Jo. No. 417 K/Pid.Sus/2014 Jo. No.41
PK/Pid.Sus/2015, adalah sebagai berikut:
1. Hotasi Nababan selaku Direktur Utama bersama Dewan direksi PT. Merpati
Nusantara Airlines (Persero) (‘PT. MNA’) merencanakan untuk melakukan
penambahan dua unit pesawat Boeing 737 Classic Family agar dapat keluar
dari krisis operasional. Rencana tersebut diiklankan oleh Tony Sudjiarto (GM
Perencanaan) di website komunitas penyewaan pesawat internasional. Di
mana terdapat beberapa lessor yang menawarkan sewa pesawat namun
membatalkan proses negosiasi karena reputasi keuangan PT MNA yang
buruk.
Catatan:

14
Perlu juga diketahui bahwa sepanjang tahun 2006, PT MNA telah 13 kali gagal
memperoleh pesawat B737 Family yang ada di berbagi perusahaan leasing di
dunia, karena reputasi keuangan PT MNA yang sangat buruk. Lessor besar
seperti GECAS, IFLC dan Sumitomo telah menutup pintu bagi PT MNA karena
ketidakpastian pembayaran dan masa depan perusahaan 27.
2. Setelah melalui beberapa perubahan, pemegang saham PT MNA akhirnya
menerima dan menyetujui Rencana Kerja Anggaran (RKA) Tahun 2006 yang
merupakan formalisasi kegiatan sepanjang tahun 2006. Karena ketersediaan
tipe Classic Family tidak pasti, maka RKA Tahun 2006 hanya mencantumkan
tipe B737-200 yang telah dimiliki oleh PT MNA. Namun demikian Pemegang
Saham memberikan fleksibilitas kepada Direksi untuk mengubah jumlah dan
tipe pesawat sesuai dengan dinamika pasar sejauh menguntungkan.
3. Thirdstone Airline Leasing Group (‘TALG’) mengajukan proposal atas dua unit
pesawat boeing 737-400 dan Boeing 737-500 yang akan dibeli dari Lehman
Brothers dan akan disewakan kepada PT MNA. Nomor seri kedua pesawat
telah teridentifikasi dan diketahui spesifikasinya.
4. TALG mengusulkan security deposit disetor ke sebuah rekening khusus
namun PT MNA menolak dan mengajukan penggunaan Letter of Credit (L/C).
Namun demikian TALG menolak opsi L/C karena reputasi keuangan PT MNA
yang buruk. Kemudian TALG mengusulkan agar menggunakan escrow agent
pihak ketiga di kantor hukum Hume Associates.
5. TALG dan Hume Associates mengirim surat kepada PT MNA yang
menyatakan bahwa security deposit tersebut akan digunakan semata-mata
untuk mengamankan kedua pesawat B737 seri 500 dan B 737 seri 400 untuk
PT MNA.
6. PT MNA dan TALG melakukan penandatanganan LASOT (Lease Agreement
Summary of Terms) penyewaan 2 (dua) pesawat Boeing 737-500 dan 737-400
dengan klausul PT MNA harus menempatkan cash/tunai sebagai refundable
security deposit sebesar USD 500.000,- per setiap pesawat di rekening
escrow agent yaitu Hume Associates yang dapat ditarik kembali jika
penyerahan pesawat batal.

27
Hotasi Nababan, Jangan Pidanakan Perdata Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati, Q Communication,
Jakarta, 2012, hal. 7.

15
7. Setelah mendapat informasi mengenai keberadaan kedua pesawat tersebut,
TALG dan Hume, maka seluruh Direksi PT MNA menandatangani
persetujuan (board approval) pelaksanaan transfer pembayaran deposit kedua
pesawat sebesar USD 1.000.000 ke Hume Associates sebagai escrow agent.
8. Dalam perjalanannya TALG wanprestasi dan tidak dapat menyerahkan kedua
pesawat tersebut kepada PT MNA sesuai dengan kesepakatan dalam LASOT.
Selanjutnya PT MNA menggugat TALG di pengadilan District of Columbia,
Amerika Serikat. Menteri Negara BUMN selaku pemegang saham PT MNA
mengirim surat kepada Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia untuk
membantu pengembalian uang deposit tersebut kepada PT MNA.
9. Putusan Hakim Pengadilan District of Columbia, Amerika Serikat mengabulkan
gugatan PT MNA dan memerintahkan TALG mengembalikan USD 1.000.0000
ditambah dengan Bungan dan biaya lain.
10. Atas masukan dari Jaksa pada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata
Usaha Negara yang memberika masukan agar PT MNA juga menempuha
upaya pidana terkait tindak pidana penggelapan tersebut dan akhirnya
Pengadilan Washington DC menjatuhkan vonis pidana kepada Jon Cooper
dan Alan Messner.
11. Atas aduan masyarakat terkait masalah pengadaan pesawat PT MNA tersebut
Mabes Polri dengan Surat Nomor: R/21/IX/2007/Pidkor &WCC tanggal 27
September 2007, Perihal: Pemberitahuan Hasil Penyelidikan yang ditujukan
kepada Presiden Direktur PT MNA, yang pada intinya menyatakan terkait
dengan perjanjian sewa pesawat dan pembayaran security deposit kepada
TALG belum diketemukan fakta perbuatan tindak pidana korupsi yang
mengakibatkan kerugian keuangan negara.
12. Pada tahun 2009 atas aduan masyarakat terkait masalah pengadaan pesawat
PT MNA tersebut kepada KPK maka pada tanggal 27 Oktober 2009, KPT
telah mengeluarkan Surat Nomor :R-3898/40-43/10/2009, Hal: Tanggapan
Atas Pengaduan Masyarakat, yang pada intinya berisi bahwa permasalahan
sewa menyewa pesawat terbang oleh PTMNA tidak memenuhi kriteria tindak
pidana korupsi.
13. Demikian pula terdapat Surat dari Badan Pemeriksa Keuangan Nomor:
33/S/IX-XX.2/05/2010 tanggal 10 Mei 2010, Perihal: Tanggapan Atas
Permintaan Audit Investigatif pada PT MNA (Persero) yang ditujukan kepada
16
Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam kesimpulannya menyatakan bahwa
temuan pemeriksaan belum memenuhi unsur tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
14. Beberapa tahun kemudian Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus yaitu
pada tanggal 4 Juli 2011 membuka kembali masalah penyewaan pesawat
Boeing 737 yang terjadi di tahun 2006 tersebut dan pada tanggal 16 Agustus
2011, Hotasi Nababan ditetapkan sebagai tersangka dengan Surat Penyidikan
Direktur Penyidikan Nomor: 104/F.2./Fd.1/08/2011.

Adapun amar Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor 36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST tanggal 19 Februari 2003
adalah sebagai berikut:
Mengadili
1. Menyatakan Terdakwa HOTASI D.P. NABABAN tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama
sebagaimana Dakwaan Primair dan Subsidiair;
2. Membebaskan Terdakwa HOTASI D.P. NABABAN oleh karena itu dari segala
dakwaan;
3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya;
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya di atas Perlu menjadi catatan bahwa
dalam pemberitaan Kompas pada hari Rabu tanggal 20 Februari 2013 mencatat
bahwa putusan bebas Hotasi Nababan adalah putusan bebas terdakwa korupsi
yang pertama kalinya dikeluarkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat28.

Adapun amar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 417


K/Pid.Sus/2014 tanggal 7 Mei 2014 antara lain adalah sebagai berikut:

Mengadili
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : JAKSA/PENUNTUT
UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA PUSAT tersebut ;
28
Hotasi Nababan, Hukum Tanpa Takaran Penjara Korupsi Bagi Korban Penipuan, Q Communication, Jakarta,
2015, hal. 135.

17
Membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Jakarta Nomor : 36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. tanggal 19 Februari 2013 ;
MENGADILI SENDIRI :
1. Menyatakan Terdakwa HOTASI D.P. NABABAN terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”KORUPSI SECARA
BERSAMA”;
2. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4
(empat) tahun dan denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan
pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar Terdakwa ditahan;

Adapun amar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.41


PK/Pid.Sus/2015 tanggal 4 September 2015 adalah sebagai berikut:

Mengadili:
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali/
Terpidana : HOTASI D.P. NABABAN tersebut;
Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap
berlaku;
Membebankan Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana untuk membayar biaya
perkara pada pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp2.500,00 (dua ribu
lima ratus rupiah).
Perlu menjadi catatan bahwa dalam pemberitaan Kompas pada hari Rabu tanggal
20 Februari 2013 mencatat bahwa putusan bebas Hotasi Nababan adalah putusan
bebas terdakwa korupsi yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat29.
Menarik menyimak pendapat beberapa ahli yang dihadirkan oleh Pihak Hotasi
Nababan baik di Kejaksaan Agung dan juga dalam sidang di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi antara lain sebagai berikut:

29
Hotasi Nababan, Jangan Pidanakan Perdata Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati, Q Communication,
Jakarta, 2012, hal. 7.

18
1. Prof Dr. Sofyan Djalil, S.H., LL.M. yang mana memberikan keterangan sebagai
berikut:
a) apa yang terjadi di PT MNA adalah murni risiko bisnis;
b) Bahwa yang dimaksud dengan good corporate goverment (GCG) adalah
aturan-aturan atau konvensi dalam pengelolaan perusahaan supaya
perusahaan dikelola dengan baik. Sebuah putusan dinilai sudah memenuhi
prinsip GCG apabila putusan tersebut dibuat dengan memperhatikan:
1) Transparansi;
2) Itikad baik;
3) Akuntabilitas;
4) Responsibilitas;
5) Tidak ada konflik interest;
c) Bahwa dalam dunia bisnis dianut prinsip siapa yang memiliki posisi tawar
yang kuat dia yang diikuti. Kondisi keuangan PT MNA sangat tidak sehat,
sehingga tidak dipercaya oleh lessor. Untuk mendapatkan pesawat PT MNA
mau tidak mau harus mengikuti kemauan lessor, termasuk dalam
penempatan Security Deposit yang harus dibayar secara tunai. Menurut ahli
itu merupakan pilihan yang sulit bagi direksi, tetapi harus diputuskan dengan
pertimbangan yang terbaik;
d) Bahwa dalam setiap putusan bisnis selalu terkandung risiko. Kalau tidak
berani menanggung risiko jangan berbisnis, jangan membuat putusan.
Kalau demikian maka bisnis tidak berjalan. Menurut ahli yang penting bagi
manajemen BUMN adalah bagaimana memajukan perusahaan. Sepanjang
putusan dibuat dengan hati-hati dan semata-mata demi kepentingan
perusahaan, menurut ahli, kalau terjadi kerugian hal itu sudah risiko bisnis;
e) Bahwa Kementerian BUMN tidak pernah menegur direksi PT MNA atas
kasus sewa pesawat PT MNA, karena menurut ahli apa yang diputuskan
direksi PT MNA sudah benar dan sesuai dengan prinsip-prinsip GCG;

2. Dr. Ir. Muhammad Said Didu.


a) Direksi memiliki kewenangan untuk melakukan sewa operasi pesawat, karena
Anggaran Dasar PT MNA tidak memasukkan sewa operasi sebagai hal-hal
yang harus mendapat persetujuan komisaris atau pemegang saham;

19
b) Bahwa kegagalan TALG menyerahkan/mengirim pesawat ke PT MNA
menurut saksi adalah murni risiko bisnis, sepanjang direksi telah mengambil
keputusan sesuai ketentuan perusahaan, kelaziman praktik bisnis dan
dengan pertimbangan yang professional.
Selain itu menarik pula menyimak pendapat beberapa ahli yang memberikan
keterangan dalam Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan
perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2013, yang keduanya diputus
pada tanggal 18 September 2014, yang menyatakan sebaliknya dari putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut yang menyatakan sebaliknya bahwa BUMN tidak
termasuk ke dalam rezim keuangan negara yaitu sebagai berikut 30:
1) Erman Rajagukguk di mana yang beliau berpendapat bahwa keuangan BUMN
bukanlah keuangan negara melainkan keuangan BUMN itu sendir sebagai
suatu badan hukum. Hal mana didasarkan pada penafsiran Pasal 2 hurug g UU
Nomor 17/2003 di mana kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang
dipisahkan dan kekayaan negara yang dipisahkan tersebut adalah berupa
saham dan diklasifikasikan sebagai surat berharga.
2) Nindyo Pramono, mendasarkan pendapatnya dari pendapat Mohammad Hatta
yang merupakan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, yang
mengatakan bahwa dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ketentuan Pasal
33 ayat (2) dan (3)

E. Kesimpulan dan Saran.


Permasalahan mengenai perbedaan pendapat terkait kekayaan negara yang dipisahkan
dan dianggap sebagai keuangan negara merupakan akibat dari disharmoni dari
peraturan perundang-undangan di bidang Keuangan Negara yaitu Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan juga Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kasus Hotasi Nababan
dapat menjadi catatan buruk bagi para profesional yang mempunyai pengalaman

30
Hendry Julian Noor, Memahami Kerugian BUMN (Persero) Diskursus Kerugian Keuangan Negara dan
Tipikor, Genta Publishing, Yogyakarta, 2022, hal. 108-109.

20
bekerja internasional dan mempunyai keinginan untuk membangun BUMN
Indonesia menjadi lebih maju apabila keputusan bisnis yang diambilnya dapat
dikenakan tindak pidana korupsi. Dengan masih adanya disharmoni terkait
dengan pemahaman dari Aparat Penegak Hukum bahwa kekayaan negara yang
dipisahkan berupa setoran saham dalam BUMN Persero, menyebabkan Direksi
rentan menjadi target atas kemandirian yang dimilikinya dalam hal ketika
menjalankan pengurusannya selaku Direksi terdapat kerugian dan dianggap oleh
Aparat Penegak Hukum sebagai kerugian negara. Padahal ukuran untuk
menentukan salah atau tidaknya Direksi dalam melakukan pengurusan BUMN
Persero adalah harus mengacu pada Undang-Undang Perseroan Terbatas dan
juga Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara.
Diharapkan di masa yang datang terhadap sinkronisasi peraturan mengenai kedudukan
hukum kekayaan negara yang dipisahkan dan disetorkan ke dalam BUMN
Persero sehingga terdapat kesamaan pandangan dari Aparat Penegak Hukum
terkait bahwa uang negara yang telah disetorkan ke dalam Badan Usaha Milik
Negara sudah bukan merupakan rezim dari ‘keuangan negara’ namun sudah
menjadi kekayaan dari BUMN Persero.

21
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atmadja, Arifin P Soeria, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Praktik dan
Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Garner, Bryan A, Black’s Law Dictionary, West Publishing, Co, ST. Paul, Minn, 2004.
Khairandy, Ridwan, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, FH UII Press,
Yogyakarta, 2013.
Nababan, Hotasi, Jangan Pidanakan Perdata Menggugat Perkara Sewa Pesawat
Merpati, Q Communication, Jakarta, 2012.
Nababan, Hotasi, Hukum Tanpa Takaran Penjara Korupsi Bagi Korban Penipuan, Q
Communication, Jakarta, 2015.
Noor, Hendry Julian, Memahami Kerugian BUMN (Persero) Diskursus Kerugian
Keuangan Negara dan Tipikor, Genta Publishing, Yogyakarta, 2022.
Sulaiman, Alfin, Keuangan Negara Pada Badan Usaha Milik Negara Dalam
Perspektif Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2011.

Jurnal
Lestari, Rani, Isis Ikhwansyah & Pupung Faisal, Konsistensi Pengukuhan
Kedudukan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Pada Badan Usaha Milik Negara
Menurut Pelaku Kekuasaan Kehakiman Dalam Kaitannya Dengan Doktrin Business
Judgement Rule, Jurnal Acta Diurnal, Volume 1, Nomor 2, Juni 2018.
Panjaitan, Robin, Martono Anggusti, & Roida Nababan Rani Lestaria, Penerapan
Prinsip Business Judgment Rule Terhadap Direksi Yang Melakukan Kebijakan Yang
Merugikan Perusahaan, Jurnal Ilmiah Hukum Fakultas Hukum Universitas HKBP
Nomensen, Volume 10, Nomor 01, April 2021.

Hasil Penelitan

Atmadja, Arifin P Soeria (Ketua Tim), Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum
Keuangan Negara (Sumber-Sumber Keuangan Negara), Badan Pembinaan Hukum

22
Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta,
2010.

Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Bahan Pustaka Dari Internet


https://www.kompas.com/skola/read/2022/07/02/073000669/peranan-bumn-bagi-
perekonomian-indonesia?page=all#:~:text=Kehadiran%20Badan%20Usaha%20Milik
%20Negara,unit%20usaha%20kecil%20dan%20koperasi, diakses pada tanggal 12
Oktober 2022.

Bahan Kuliah
Bahan Kuliah Hukum Pemanfaatan Barang Milik Negara, Pengelolaan Kekayaan
Negara, disampaikan dalam perkuliahan Program Magister Hukum Konsentrasi
Hukum Militer, STHM, 2022.

Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST tanggal 19 Februari 2003.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 417 K/Pid.Sus/2014 tanggal 7
Mei 2014.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.41 PK/Pid.Sus/2015 tanggal 4
September 2015.

23

Anda mungkin juga menyukai