Anda di halaman 1dari 2

daiedy_official

FIQIH MUSAFIR 1
NO FIQIH MUSAFIR PENJELASAN
1. Safar itu punya keunikan dari sisi hukum, yaitu Menyoal musafir hari ini yang dipermudah dengan
menjadi salah satu ‘illat (sebab) yang meringankan kendaraan serba cepat, maka tetap mendapatkan
beberapa taklif seperti dalam masalah thaharah, keringanan, meski perjalanan yang kita lakukan
shalat, puasa dan lainnya. sangat ringan dan nyaris tanpa resiko.
2. Keringanan Musafir dalam Thaharah Dalam kondisi safar dan udara yang sangat dingin
Di antara keringanan dalam bersuci adalah dibolehkannya padahal ada kewajiban untuk berwudhu dengan
orang yang sedang dalam keadaan safar untuk mengusap air dan hal itu menyulitkan sebagian orang untuk
khuffnya saat berwudhu selama masa waktu tiga hari. membuka khuffnya, maka dibolehkan dalam
Pensyariatan mengusap khuff didasari oleh beberapa dalil kondisi tertentu untuk berwudhu tanpa membuka
antara lain hadis : khuff atau mencuci kaki. Cukup dengan
Rasulullah menetapkan tiga hari untuk musafir mengusapkan tangan yang basah dengan air ke
dan sehari semalam untuk orang muqim (untuk bagian atas khuff dan mengusapnya dari depan ke
boleh mengusap khuff) belakang pada bagian atas khuff.
(HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi & Ibnu Majah)
3. Keringanan Musafir dalam shalat. c. Shalat sunnah di atas kendaraan.
a. Rukhsah untuk mengqashar dan menjama’ shalat Seorang yang sedang dalam perjalanan,
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah dibolehkan atasnya untuk melakukan
mengapa kamu men-qashar shlat(mu), jika kamu takut shalat sunnah di atas kendaraannya. Dia
diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang boleh shalat tanpa : berdiri, ruku', sujud
kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu atau tidak menghadap kiblat.
(An Nisaa’: 101) Dari Jabir bin Abdillah RA bahwa
Satu-satunya penyebab dibolehkannya kita mengqashar Rasulullah SAW shalat di atas
shalat hanya karena sebab perjalanan sebagai musafir. kendaraannya, berkiblat kemana pun
Sedangkan keringanan menjama' shalat bukan terbatas kendaraannya itu menghadap. Namun
hanya karena sebagai musafir saja, tetapi juga sebab lain di bila menunaikan shalat fardhu, beliau
antaranya karena sakit, hujan, sedang menunaikan haji, atau turun dan shalat menghadap kiblat.
mengalami kejadian luar biasa yang tidak terkendali. (HR. Bukhari)
b. Gugurnya kewajiban shalat Jum’at. Nabi SAW ketika shalat di atas punggung
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka unta, tidak menghadap ke arah kiblat,
wajiblah atas mereka shalat Jumat, kecuali orang sakit, tetapi menghadap kemana saja arah
musafir, wanita, anak-anak dan hamba sahaya. unta itu berjalan. Dan yang paling
(HR. Ad-Daruquthni) penting, hadits ini juga menegaskan
Dalam hal ini seorang musafir boleh memilih salah satu dari bahwa beliau SAW tidak melakukan
dua pilihan. Pertama, mengerjakan shalat Dzhuhur saja dan shalat fardhu yang lima waktu di atas
tidak mengerjakan shalat Jumat. Kedua, mengerjakan shalat punggung unta, kecuali beliau turun dari
Jumat saja dan tidak perlu lagi mengerjakan shalat Dzuhur. kendaraannya.
َ> E ٌ ‫َ َ ﱠ‬ Eَ E W َ E
4. Keringanan musafir dalam hal puasa ‫ ٍﺎم أﺧ َﺮ‬D‫ﺮ ﻓ ِﻌﺪة ﱢﻣ ْﻦ أ ﱠ‬P ‫ َﺳﻔ‬Tٰ ‫ﻀﺎ أ ْو ﻋ‬Y[Z ‫َو َﻣﻦ ]ﺎن َﻣ‬
Keringanan lainnya bagi musafir adalah dibolehkannya untuk Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau
tidak mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, namun ada dalam perjalanan maka wajib
kewajiban untuk menggantinya di hari yang lain. Dasarnya menggantinya di hari lain.
adalah firman Allah SWT dalam Al Baqarah ayat 185

1
Ahmad Sarwat, Fiqih Safar, Jakarta : RFP, 2020
NO FIQIH MUSAFIR PENJELASAN
5. Kriteria seseorang disebut musafir Tatkala seseorang sama sekali tidak berniat untuk
Dalam istilah fiqih yang dimaksud dengan safar bukan melakukan perjalanan sejauh jarak tertentu
sekedar seseorang pergi dari satu titik ke titik yang lain. meskipun sudah keluar dari negerinya, maka itu
Namun makna safar dalam istilah para fuqaha adalah : tidak tergolong safar.
Seseorang keluar dari (wathan) negerinya dengan niat Tatkala seseorang masuk tol dalam kota Jakarta,
menuju ke satu tempat tertentu, yang perjalanan itu lalu memutari Jakarta dua putaran, maka dia
menempuh jarak tertentu dalam pandangan fiqih sudah menempuh jarak kurang lebih 90 Km.
Namun, untuk disebut musafir, bukan berarti kita harus Namun orang ini tidak disebut sebagai musafir.
mengadakan perjalanan ke luar negeri dulu. Karena begitu Alasannya karena apa yang dilakukannya itu tidak
keluar dari perumahan dan pemukiman, sebenarnya kita punya tujuan yang pasti.
sudah keluar dari wathan, yang hari ini bisa kita Demikian juga dengan pembalap di sirkuit. Meski
terjemahkan dengan wilayah pemukiman, seperti jarak yang ditempuhnya ratusan kilometer,
komplek perumahan wilayah RT/RT atau setidaknya namun, jika lokasinya hanya berputar-putar di
kelurahan. Sebagaimana di masa Nabi SAW, begitu rumah- sirkuit itu saja, maka juga bukan termasuk
rumah penduduk Madinah sudah terlewati, maka yang musafir. Alasannya, karena tidak ada tujuannya
terbentang di depan mata hanya padang pasir. kecuali hanya berputar-putar belaka.
6. Kriteria mulai berlakunya kebolehan shalat Jama’ dan Qashar a. Masih berlangsungnya safar hingga
a. Melewati batas wathan (tempat tinggal). takbiratul ihram shalat yang kedua.
Mengqashar shalat dalam safar itu sudah boleh dilakukan Misalnya kita menjama’ taqdim shalat
meski belum mencapai jarak yang telah ditetapkan. Asalkan Maghrib dengan Isya' di waktu
sejak awal niatnya memang akan menempuh jarak sejauh itu. Maghrib, maka pada saat Isya' kita
Shalat qashar sudah bisa dimulai ketika musafir itu sudah harus masih dalam keadaan safar atau
keluar dari kota atau wilayah tempat tinggal. tetapi belum perjalanan. Paling tidak pada saat
boleh dilakukan ketika masih di rumahnya. takbiratul ihram shalat Isya'.
7. Kapan berakhirnya status musafir ? c. Ketika di tempat tujuan,
Ada beberapa hal yang menyebabkan status kemusafiran seseorang mempunyai niat untuk menetap
berakhir. Di antaranya adalah hal-hal berikut ini : lebih dari 4 hari (tanpa
a. Pulang dan sampai di rumah menghitung hari
Ketika seseorang mengadakan perjalanan jauh, selama itu pula dia keberangkatan dan hari
disebut sebagai musafir. Tetapi ketika sang musafir pulang dan kepulangan).
secara fisik dirinya sudah tiba di wathan atau wilayah tempat Bila seseorang dalam safarnya
tinggalnya bahkan sudah masuk ke rumahnya sendiri, maka saat itu sejak awal sudah berniat akan
statusnya sebagai musafir pun berakhir. Sehingga segala hal yang menetap lebih dari 4 hari di
terkait dengan hukum-hukum musafir dengan sendirinya sudah tidak tempat tersebut, maka begitu
berlaku lagi. tiba di tempat itu otomatis
edison_bangedyustadz
b. Punya rumah di tempat tujuan status kemusafirannya telah
Para ulama umumnya menyebutkan bahwa bila seseorang memiliki berakhir.
dua rumah di dua kota yang berbeda, tatkala dia berada di salah satu Sedangkan bila niatnya
rumah itu, maka statusnya bukan lagi musafir. Namun syarat ini menetap kurang dari 4 hari,
berlaku jika di dalam rumah itu ada keluarganya, yaitu istri dan anak- maka selama dia menetap itu
anaknya. Dalam artian, seseorang memiliki lebih dari 1 isteri. dia masih berstatus musafir.
Sedangkan bila hanya sekedar status kepemilikan rumah, sementara Maka semua keringanan dalam
dia tidak menghuninya, maka ketika berada di rumahnya sendiri itu, musafir masih berlaku
tanpa berniat untuk tinggal atau menetap, statusnya tetap musafir. untuknya.

Anda mungkin juga menyukai