Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ibadah Haji


2.1.1 Pengertian Haji
Haji menurut pengertian kamus Bahasa Indonesia adalah rukun islam yang
kelima kewajiban ibadah yang harus dilakukan oleh orang Islam yang mampu
dengan mengunjungi ka’bah di Masjidil Haram pada bulan haji dan mengamalkan
amalan-amalan haji seperti ihram, tawaf, sai, dan wukuf (Qodratilah, 2011: 152).
Haji menurut bahasa, ialah menuju kesuatu tempat berulang kali atau menuju
kepada sesuatu yang dibebaskan (Shiddieqy, 1983: 16). Sedangkan menurut istilah,
berarti beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik haji, yaitu perbuatan
tertentu yang dilakukan pada waktu dan tempat tertentu dengan cara yang tertentu
pula (Aqilla, 2010:5). Hal ini berbeda dengan umrah yang biasa dilakukan sewaktu-
waktu (Nurdin, 2004:1).
Haji dalam pengertian istilah para ulama, ialah menuju ke ka’bah untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, atau dengan perkataan lain bahwa haji
adalah mengunjungi suatu tempat tertentu pada waktu tertentu dengan melakukan
suatu pekerjaan tertentu. Yang dimaksud dengan “mengunjungi” itu ialah
mendatangi, yang dimaksud dengan tempat tertentu itu ialah Ka’bah dan Arafah.
Yang dimaksud dengan “waktu tertentu” itu ialah bulan-bulan haji, yaitu bulan
Syawal, Zulqaidah, dan Zulhijjah dan 10 pertama bulan Zulhijjah. Yang dimaksud
dengan “perbuatan tertentu” itu ialah berihram, wukuf di Arafah, mabit di
Muzdaliffah, mabit di Mina, melontar jamrah, mencukur, tawaf, dan sai.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa haji harus dilakukan di
tempat tertentu, pada waktu tertentu, dan dengan perbuatan-perbuatan tertentu
(Ahmad, 2003: 228). Ibadah haji tidak dilakukan di sembarang tempat, disembarang
waktu, dan dengan sembarang perbuatan. Apabila haji dilakukan dalam keadaan
demikian itu bukanlah haji.
2.1.2 Dasar Hukum Haji
Dalam agama Islam,setiap anjuran atau perintah selalu berdasarkan firman
Allah atau sabdah Rosul-Nya. Begitu pula dengan ibadah hajimerupakan rukun
islam yang kelima, tetapi dengan kebijakannya, Allah mewajibkan ibadah haji bagi
yang mampu saja (Mulyono,2013: 19). Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Ali
Imron 97:

Artinya : Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam


ibrahim, barangsiapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia,
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah.Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah maha kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam. (Q.S Ali Imron:97)
2.1.3 Syarat-syarat Haji
Hal yang dimaksud dengan syarat ibadah haji adalah sesuatu yang apabila
seseorang telah memenuhi atau memiliki sesuatu tersebut, maka wajiblah baginya
untuk melakukan haji satu kali dalam seumur hidupnya. Berikut persyaratan yang
menyebabkan seseorang wajib melaksanakan ibadah haji.
a. Beragama Islam
Syarat wajib yang pertama adalah Islam. Artinya, seseorang yang beragama
Islam dan telah memenuhi syarat wajib haji yang lainnya serta belum pernah
melaksanakan haji, maka ia terkena wajib haji, ia harus menunaikan ibadah haji.
Akan tetapi jika seseorang yang telah menunaikan syarat wajib haji tetapi ia
bukan orang Islam, maka ia tidaklah wajib untuk menunaikan ibadah haji.
b. Baligh (Dewasa)
Syarat wajib haji yang kedua adalah baligh. Akan tetapi, jika ada seseorang
muslim yang melakukan ibadah haji namun belom baligh, maka hajinya tidak
sah. Hanya saja, ketika ia dewasananti, maka haji masih tetap menjadi
kewajiban baginya jika syarat lainya terpenuhi. Artinya, ibadah haji yang
dilakukan semasa belum baligh tidak menggugurkan kewajibanya untuk
menunaikan ibadah haji saat ia dewasa nanti.
c. Berakal
Syarat yang ketiga adalah berakal. Artinya, meskipun seseorang telah mencapai
usia baligh dan mampu secara materi untuk melaksanakan haji, tetapi ia
mengalami masalah dengan batin dan akalnya, maka kewajiban ini sudah sirna
darinya. Karena, sudah pasti orang yang mengalami gangguan jiwa akan susah,
bahkan tidak bisa sama sekali, untuk melaksanakan rukun dan kewajiban haji.
d. Merdeka
Syarat keempat adalah merdeka. Artinya memiliki kuasa atas dirinya sendiri,
tidak berada kekuasaan seseorang (tuan), seperti budak dan hamba sahaya. Bagi
orang yang tidak merdeka tetapi ia memiliki kesempatan untuk menunaikan
ibadah haji maka hukum hajinya sama dengan anak yang belum baligh, tetapi
sah tapi harus mengulangi kembali ketika ia sudah merdeka dan mencukupi
syarat untuk melaksanakannya.
e. Mampu
Syarat kelima adalah mampu. Artinya jika empat syarat telah terpenuhi, tetapi ia
belum mampu, maka menunaikan ibadah haji tidak wajib baginya (Mulyono,
2013: 27-32).
2.1.4 Rukun Haji
Rukun haji menurut jumhur ulama (mayoritas ulama), ada enam untuk rukun ibadah
haji, diantaranya:
a. Ihram disertai dengan niat
b. Wukuf di Arafah
c. Thawaf di Baitullah
d. Sa'i antara Shafa dan Marwah
e. Bercukur untuk tahallul
f. Tertib
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa rukun-rukun tersebut harus
dikerjakan dan tidak boleh digantikan orang untuk mengerjakannya. Karena rukun
ini tidak bisa ditebus dengan membayar dam (Mulyono, 2013: 33-34).
2.1.5 Wajib Haji
Wajib secara syar'i adalah sesuatu hal atau perbuatan yang harus dikerjakan.
Seandainya tidak dikerjakan maka ibadahnya tidak sah. Akan tetapi, dalam haji jika
terpaksa tidak melakukan kewajiban haji, ibadahnya tetap sah, tetapi harus
membayar dam (denda) yang telah ditentukan. Haji memiliki lima kewajiban
diantaranya:
a. Berpakaian ihram dari miqat
Miqat dalam berihram terdapat 2 (macam), yaitu miqat zamani dan miqot
makani. Miqat zamani adalah batas waktu para jama’ah mengerjakan haji ( 1
syawawal sampai terbitnya fajar pada tanggal 10 Dzulhijjah). Jadi, bagi orang
yang berihram selain pada hari yang ditentukan, maka ihramnya tidak sah. Ini
dikhususkan bagi para jama’ah haji, karena waktu umrah tidak ditentukan atau
dapat dilaksanakan kapan saja sesuai waktu yang diinginkan. Oleh karena itu,
miqot zamani ini bukanlah merupakan bagian dari kewajiban haji, tetapi
merupakan syarat mutlak bagi para jama’ah haji. Jadi, tidak boleh tidak harus
dikerjakan karena hal ini tidak bisa dibayar dengan dam (denda).
Adapun miqot makani adalah suatu tempat dimana para jama’ah menggunakan
pakaian ihram berserta niatnya ketika hendak mengerjakan ibadah haji.
Tempatnya pun berbeda-beda, sesuai denganarah daerah masing-masing para
jama’ah.
b. Bermalam di Mudzalifah
Mudzalifah adalah antara Arafah dan Mina. Mabid di Mudzalifah adalah berada
di Mudzalifah mulai dari tenggah malam tanggal 10 Dzulhijjah hingga terbit
fajar. Yang dimaksud mabid disini adalah bermalam (menginap), atau
menginjakkan kaki di area Mudzalifah, atau cukup di atas mobil, seseorang
dapat saja memasuki mulai magrib. Dalam keadaan demikian ini ia melakukan
shlat fardhu dalam keadaan jama’ qosor. dan harus meninggalkan Mudzalifah
sebelum terbit matahari pada tanggal 10 Dhulhijjah.
c. Melontar jumroh Aqabah
Melempar jumrah aqobah ini hanya dilakukan pada tanggal 10 dzulhijjah dan
mulai tenggah malam dan sampai subuh saja.
d. Bermalam di Mina
Wilayah mina terletak di Mudzalifah dan mekkah al-mukkarromah. Waktu
mabit di mina yaitu antara malam tanggal 11, 12, dan 13 dzulhijjah.
e. Melontar jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah
Molantar jumrah merupakan wajib haji. Jama’ah yang tidak melontar selama
tiga hari wajib membayar dengan dam dan apabila meninggalkan sebagaian
lontaran, maka harus membayar fidiyah. Pelaksanaan lontar jumrah ini
dilaksanakan pada hari-hari tasriq yaitu pada tanggal 11, 12, dan 13 dzulhijjah.
f. Thowaf Wada
Thowaf wada bagi yang akan meninggalkan mekkah. Thowaf wada merupakan
pengormatan akhir kebaitullah.

2.2 Jamaah Haji


2.3. 1 Pengertian Jamaah Haji
Jamaah adalah kata dalam bahasa Arab yang artinya “kompak” atau
“bersama- sama”, ungkapan shalat berjamaah berarti shalat yang dikerjakan secara
bersama-sama dibawah pimpinan seorang imam. Jamaah juga berarti sekelompok
manusia yang terikat oleh sikap pendirian, keyakinan dan tugas serta tujuan yang
sama. Islam menganjurkan umat Islam menggalang kekompakan dan kebersamaan,
yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari pribadi- pribadi muslim, yang berpegang
pada norma- norma Islam, menegakkan prinsip “ta’awun” (tolong- menolong) dan
(kerja sama) untuk tegaknya kekuatan bersama demi tercapainya tujuan yang sama.
(Nasution, 1992)
Secara substansial haji merupakan bagian dari ritual keagamaan kaum
Muslim yang bersifat personal. Meskipun demikian, sepanjang sejarahnya
pelaksanaan ibadah haji selalu mendapatkan perhatian Negara. (Basyuni, 2008)
Dalam buku Fiqih Empat Mazhab bagian ibadat (puasa, zakat, haji kurban),
Abdurrahman al- Zaziri menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Haji” secara
bahasa menuju kemuliaan, sedangkan pengertian haji secara istilah adalah amalan-
amalan tertentu dan cara tertentu pula. Sebagai salah satu rukun Islam, ibadah
haji diwajibkan satu kali sepanjang hidup setiap muslim yang telah memenuhi
syarat- syarat utamanya yaitu memiliki kemampuan ekonomi maupun fisik. Faktor-
faktor lain yang berhubungan dengan syarat tersebut adalah keamanan,
transportasi, dan akomodasi selama pelaksanaan haji. Seorang muslim yang
melakukan ibadah haji akan melaksanakan rangkaian ritual mulai dari memakai
ihram, thawaf, wukuf dan sebagainya, berikut larangan- larangan yang berkaitan
dengan ibadah. (Halim, 2002)
Sedangkan pengertian jamaah haji yaitu Warga Negara Indonesia beragama
Islam yang telah mendaftrakan diri untuk menunaikan ibadah haji sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan dan telah melunasi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
(BPIH). (Kemenkes RI: 2010)
2.3. 2 Klasifikasi Jamaah Haji
Adapun ruang lingkup jamaah haji adalah sebagai berikut:
a. Jemaah haji mandiri adalah jamaah haji yang memiliki kemampuan mengikuti
perjalanan ibadah haji tanpa tergantung kepada bantuan alat/ obat dan orang
lain.
b. Jamaah haji observasi adalah jamaah haji yang memiliki kemampuan mengikuti
perjalanan ibadah haji dengan bantuan alat dan obat.
c. Jamaah haji pengawasan adalah jamaah haji yang memiliki kemampuan
mengikuti perjalanan ibadah haji dengan bantuan alat, obat dan orang lain.
d. Jamaah haji resiko tinggi adalah jamaah haji dengan kondisi kesehatan yang
secara epidemiologi beresiko sakit dan atau mati selama perjalanan ibadah haji,
meliputi:
1. Jamaah haji lanjut usia
2. Jamaah haji penderita penyakit menular tertentu yang tidak boleh terbawa
keluar dari Indonesia berdasarkan peraturan kesehatan yang berlaku.
3. Jamaah haji wanita hamil
4. Jamaah haji dengan ketidakmampuan tertentu terkait penyakit kronis dan
atau penyakit tertentu lainnya.
5. Jamaah haji tunda adalah jamaah haji yang kondisi kesehatannya tidak
memenuhi syarat untuk mengikuti perjalanan ibadah haji. (Ibid h. 9-10)
2.3. 3 Standar Kelaikan Kesehatan Jamaah Haji
Standar Kelaikan Kesehatan adalah rumusan kriteria jamaah haji untuk
memenuhi syarat kesehatan dalam mengikuti perjalanan ibadah haji secara mandiri,
tidak membahayakan keselamatan diri sendiri dan orang lain. Penetapan memenuhi
syarat kesehatan mempertimbangkan aspek- aspek sebagai berikut:
a. Status kesehatan. Status kesehatan dikategorikan menjadi 4 (empat) yaitu
mandiri, observasi, pengawasan dan tunda keberangkatan.
b. Peraturan Kesehatan Internasional dan Ketentuan Keselamatan Penerbangan.
1. Peraturan Kesehatan Internasional menyebutkan jenis- jenis penyakit
menular tertentu sebagai alasan pelarangan kepada seseorang untuk keluar-
masuk antar negara, yaitu:
a. Penyakit Karantina
1) Pes (plague)
2) Kolera (cholera)
3) Demam kuning (yellow fever)
4) Cacar (small pox)
5) Tifus bercak wabahi (typhus xanthomaticus infectiosal louse borne
typhus)
6) Demam balik- balik (louse borne relapsing fever)
7) Penyakit menular lain yang ditentukan kemudian
b. Penyakit menular, yang menjadi perhaian WHO
1) Tuberkulosis paru dengan BTA positip
2) Kusta tipe multi basiler
3) SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome)
4) Avian influenza (AI)
5) Influenza A baru (H1N1)
6) Penyakit menular lain yang ditentukan kemudian Imunisasi
meningitis meningkokus ACW135Y, dibuktikan dengan
kartu ICV (International Certificate of Vaccination) yang sah.
2. Ketentuan Keselamatan Penerbangan
a. Penyakit tertentu yang berisiko kematian dikarenakan ketinggian/
penerbangan
b. Usia kehamilan
3. Jamaah haji dinyatakan tidak memenuhi syarat apabila:
a. Status kesehatan termasuk kategori tunda
b. Mengidap salah satu atau lebih penyakit menular tertentu pada saat di
embarkasi
c. Tidak memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan. (Kemenkes RI,
2011)

2.3 Pelayanan Kesehatan Jamaah Haji


2.3. 1 Pengertian Pelayanan Kesehatan Haji
Menurut Levey dan Loomba (1973) Pelayanan Kesehatan Adalah upaya yang
diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit
serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.17
Sedangkan menurut Soekidjo Notoatmojo, Pelayanan kesehatan merupakan
konsep yang digunakan untuk menyediakan layanan kesehatan pada masyarakat, ini
merupakan sub sistem dari layanan kesehatan dimana tujuan utamanya adalah
pelayanan pencegahan atau preventif dan peningkatan kesehatan (promotif) dengan
sasaran masyarakat.18
Dengan kata lain pelayanan kesehatan merupakan upaya yang dilakukan baik
sendiri atau bersama-sama di dalam sebuah organisasi untuk memelihara kesehatan,
meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan masyarakat.
Kesehatan adalah modal dalam perjalanan ibadah haji. Tanpa kondisi
kesehatan yang memadai, niscaya pencapaian ritual peribadatan menjadi tidak
maksimal.
Pelayanan kesehatan Haji secara umum antara lain adalah pelayanan
kesehatan yang dilakukan secara berjenjang mulai dari tanah air sampai saat di
Arab Saudi, yang memungkinkan setiap jamaah dapat memanfaatkan pelayanan
kesehatan bagi dirinya termasuk pada saat gawat darurat sehingga jamaah haji dapat
beribadah dengan baik. (Kemenkes RI, 2009)
Penyelenggaraan kesehatan haji bertujuan untuk memberikan pembinaan,
pelayanan, dan perlindungan yang sebaik- baiknya bagi jamaah haji pada bidang
kesehatan, sehingga jamaah haji dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan
ketentuan ajaran agama Islam. Tujuan tersebut dicapai melalui upaya-upaya
peningkatan kondisi kesehatan sebelum keberangkatan, menjaga kondisi sehat
selama menunaikan ibadah sampai tiba kembali ke Indonesia, serta mencegah
transmisi penyakit menular yang mungkin terbawa keluar/ masuk oleh jamaah haji.
(Kemenkes RI, 2009)
2.3. 2 Jenis- jenis Pelayanan Kesehatan Haji
a. Pemeriksaan kesehatan pertama di Puskesmas
Pemeriksaan pertama dilakukan di puskesmas terdekat tempat jemaah tinggal.
Saat pemeriksaan pertama inilah jemaah haji didiagnosis penyakitnya, jika
diperoleh jemaah haji dengan risiko tinggi maka dilakukan peningkatan
kesehatan agar penyakitnya dapat diobati dan dapat di kontrol dengan baik.
Pembinaan kesehatan juga dilakukan saat pemeriksaan kesehatan pertama
berlangsung.
b. Pemeriksaan kesehatan kedua di Rumah Sakit
Pemeriksaan kedua ini merupakan pemeriksaan rujukan dari pemeriksaan
pertama pada mereka yang mengalami penyakit dengan risiko tinggi seperti
jantung, hipertensi DM, dan ginjal. Selain itu pada kesempatan ini dilakukan
pemberian vaksinasi Meningitis Meningkokus dan influenza.
c. Pelayanan kesehatan di Embarkasi
Penyelenggaraan kesehatan diembarkasi meliputi pemeriksaan dokumen
kesehatan jemaah, pelayanan rawat jalan dan pelayanan rawat inap (rujukan).
d. Pelayanan Kesehatan di Arab Saudi
Pelayanan kesehatan jemaah haji ketika di Arab Saudi terdiri dari pelayanan
rawat jalan (Kloter, BPHI Sektor dan BPHI Daker), rawat inap BPHI Sektor dan
BPHI Daker serta perawatan rujukan ke RSAS. Pelayanan kesehatan penunjang
yaitu pelayanan kesehatan gigi, pemeriksaan laboratorium sederhana dan
pelayanan dietasi/nutrisionis. Pelayanan kesehatan pencegahan dan
penanggulangan penyakit dengan melakukan pengawasan sanitasi catering,
sanitasi pondokan, penyuluhan pencegahan, pemantauan jemaah haji sakit di
RSAS, penyelesaian administrasi jemaah haji wafat, pemantauan, pencegahan
dan penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB). (Kemenkes, 2010)
2.3. 3 Standar Pelayanan Kesehatan Haji
Pelayanan kesehatan haji berpedoman pada keputusan menteri kesehatan
Republik Indonesia nomor 442/Menkes/SK/VI/2009 tentang pedoman
penyelenggaraan kesehatan haji Republik Indonesia. Dalam pedoman tersebut
pelayanan kesehatan haji meniliki indikator sebagai berikut :
a. Pengerahan Tenaga Kesehatan
Pengerahan tenaga kesehatan adalah kebijakan terkait kewajiban
pemerintah untuk melindungi warga negara selama menjalankan ibadah haji.
Tenaga kesehatan yang dikerahkan dibagi menjadi 2(dua) kelompok grup
pertama yaitu tenaga kesehatan kloter yang mendamping jemaah haji dalam
kelompok dari keberangkatan, penerbangan sampai dengan diarab saudi. Kedua
tenaga kesehatan non kloter atau Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH)
yang bertugas pada sektor, Balai Pengobatan, dan sarana kesehatan dibandara.
Dalam pedoman penyelenggaraan haji indikator pengerahan tenaga kesehatan di
syaratkan ketentuan sebagai berikut:
1) Minimal satu petugas kloter pernah menjadi petugas kesehatan haji 4 tahun
terakhir
2) Minimal sepertiga jumlah petugas kesehatan disetiap bidang PPIH, dua
tahun terakhir pernah bertugas pada bidang tugas yang sama
3) 100% petugas kesehatan mengikuti pelatihan kompetensi teknis kesehatan
dan kompetensi koordinasi tim dikloter dan PPIH
b. Bimbingan dan Penyuluhan
Bimbingan, penyuluhan dan pelayanan kesehatan jemaah haji merupakan
rangkaian kegiatan terstruktur dalam upaya meningkatkan status kesehatan dan
kemandirian jemaah haji. Kegiatan bimbingan, penyuluhan dan pelayanan
kesehatan dilaksanakan secara bertahap atau berkesinambungan.
Bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan setelah mengetahui hasil
pemeriksaan kesehatan yang dilakukan dipuskesmas, dengan bimbingan dan
penyuluhan yang optimal dapat mengurangi angka kematian jemaah haji diluar
sarana kesehatan. Atau yang disyaratkan dalam pedoman penyelenggaraan haji
yaitu angka kematian jemaah haji diluar sarana kesehatan < 40%.
c. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan rangkaian kegiatan bersifat kontinum dan
komprehensif dengan melaksanakan proses pemeriksaan kesehatan, pengobatan
dan pemeliharaan kesehatan terhadap jemaah haji sesuai standar agar jemaah
haji dapat melaksanakan ibadah haji yang sebaik-baiknya. Dasar pemberian
pelayanan kesehatan diperoleh dari catatan medis yang dapat diperoleh
informasinya dalam Buku Kesehatan Jemaah Haji (BKJH), oleh karena itu
kelengkapan dokumen BKJH lebih dari 70% merupakan suatu indikator dalam
pemberian pelayanan kesehatan.
Informasi status kesehatan dari BKJH jemaah haji dapat dikategorikan
dalam kelompok risiko tinggi (risti) dan non kelompok risiko tinggi (non risti).
Selain dari status kesehatan sebelum keberangkatan ibadah haji faktor usia
khususnya jemaah haji dengan usia 60 tahun keatas dikategorikan kedalam
kelompok risiko tinggi, hal ini disebabkan usia tersebut memiliki kerentanan
terhadap penyakit lebih tinggi.
Pengelompokan ini membantu dalam pemberian prioritas pelayanan
kesehatan terhadap jemaah haji.
d. Pengendalian Penyakit
Pengendalian penyakit merupakan upaya yang dilakukan untuk
mengurangi faktor risiko terjadi/ timbulnya penyakit, misalnya dengan
menerapkan lingkungan sehat dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Dalam pedoman penyelenggaraan kesehatan haji sarana gedung maupun
ruangan yang dipakai disyaratkan 80% memenuhi standar sanitasi yang terdiri
dari :
1) Penyediaan air minum (Water Supply)
2) Pengelolaan sampah padat, air kotor, dan kotoran manusia (Wastes Disposal
meliputi sewage, refuse, dan excreta)
3) Hygiene dan sanitasi makanan (Food Hygiene and Sanitation)
4) Perumahan dan kontruksi bangunan (Housing and Construction)
5) Pengawasan vektor (Vector Control)
6) Pengawasan pencemaran fisik (Physical Pollution)
7) Hygiene dan sanitasi industri (Industrial Hygiene and Sanitation)
Pedoman tersebut mensyaratkan 5 (lima) dari 7 (tujuh) kondisi yang ada
dapat dipenuhi dan berfungsi dengan baik. Hal ini bertujuan untuk mengurangi
jemaah haji terhindar dari kemungkinan bahaya penularan penyakit serta tidak
menyebabkan gangguan terhadap kesehatan jemaah dan petugas yang berada
dalam lokasi yang sama. Selain itu juga agar Jemaah haji menggunakan dan
memelihara fasilitas sanitasi yang tersedia, juga agar pengelola/penanggung
jawab sarana dengan upaya sendiri menciptakan sanitasi sarana.

Refrensi :

1. Basyuni, M, Muhammad. 20098. Reformasi Manajemen Haji. Jakarta: FDK Press.


2. Halim, Abdul. 2002. Ensiklopedi Haji dan Umroh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
3. Kementerian Kesehatan RI. 2009. Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji (Keputusan
Menkes RI Nomor 442/ MENKES/ SK/ VI/ 2009. Jakarta: Sekretariat Kementerian
Kesehatan RI
4. Kementerian Kesehatan RI. 2009. Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji,
(Kementerian Kesehatan RI: 2009. Jakarta: Sekretariat Kementerian Kesehatan RI
5. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Teknis Pemeriksaan Kesehatan Jamaah Haji,
(Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan RI: 2010. Jakarta: Sekretariat Kementerian
Kesehatan RI
6. Mulyono, Edi dan Harun Rofi’i. 2013. Panduan Praktis dan Terlengkap Ibadah Hajidan Umrah
(cet.ket-1). Jogjakarta: Safira.
7. Nasution, Harun,1992. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djembatan
8. Nidjam, Ahmad. 2004. Manajemen Haji (Studi kasus dan telaah implementasi knowledge workers).
Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Walisongo Semarang.
9. Qodratilah, meity takdir. 2011. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: KTD.
10. Suin, Nurdin. 2004. Manasik Haji jelas dan Ringkas. Padang: University Press.

Anda mungkin juga menyukai