Nim : E2014401011 Prodi D3 keperawatan Matakul keperawatan jiwa Resume asuhan keperawatan jiwa pada kasus napza
Napza adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahanadiktif lainnya,
meliputi zat alami atau sintetis yang bila dikonsumsi menimbulkan perubahan fungsi fisik dan psikis, serta menimbulkan ketergantungan (BNN, 2004). NAPZA adalah zat yang memengaruhi struktur atau fungsibeberapa bagian tubuh orang yang mengonsumsinya. Manfaat maupun risiko penggunaan NAPZA bergantung pada seberapa banyak, seberapasering, cara menggunakannya, dan bersamaan dengan obat atau NAPZA lain yang di konsumsi (Kemenkes RI, 2010). Narkoba berasal dari bahasa Yunani, dari kata Narke, yang berartibeku, lumpuh, dan dungu. Menurut Farmakologi medis yaitu “Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasaldari Visceral dan dapat menibulkan efek stupor (bengong masih sadar namum masih harus digertak) serta adiksi (Derman Flavianus, 2006 : I). Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya NAPZA banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan, misalnya menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit. Tetapi karena efeknya“enak” bagi pemakai, maka NAPZA kemudian dipakai secara salah, yaitu bukan utnuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa nikmat. Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna merasaketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan fisik(Sumiati, 2009). Menurut Pasal 1 UU RI No.35 Tahun 2009 Ketergantungan adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotikasecara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. Penyalahgunaan narkoba dapat dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (crime without victim). Pengertian kejahatan tanpa korban berarti kejahatan ini tidak menimbulkan korban sama sekali, akan tetapi sipelaku sebagai korban. Kejahatan yang secara kriminologi diartikan sebagai crime without victim ini sangat sulit diketahui keberadaannya, karena mereka dapat melakukan aksinya dengan sangat tertutup dan hanya diketahui orang-orang tertentu, oleh karena itu sangat sulit memberantas kejahatan ini (Jimmy, 2015). Golongan Napza 1. Narkotika Narkotika dibedakan ke dalam golongan-golongan: a. Narkotika Golongan I Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan,dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan (contoh: heroin/putauw, kokain, ganja). b. Narkotika Golongan II Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatan ketergantungan (contoh: morfin, petidin). c. Narkotika Golongan III Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalamterapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyaipotensi ringan mengakibatkan ketergantungan (contoh: kodein). 2. Psikotropika Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut: a. Psikotropika Golongan IPsikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmupengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensiamat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan (contoh: ekstasi,shabu, LSD). b. Psikotropika Golongan IIPsikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalamterapi, dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuatmengakibatkan sindrom ketergantungan. (Contoh: Amfetamin,Metilfenidat atau Ritalin). c. Psikotropika Golongan IIIPsikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalamterapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensisedang mengakibatkan sidnrom ketergantungan (Contoh: Pentobarbital,Flunitrazepam). d. Psikotropika Golongan IVPsikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas sertamempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan(Contoh: Diazepam, Nitrazepam, Seperti Pil KB, Pil Koplo, Rohip,Dum, MG). 3. Zat Adiktif Zat adiktif adalah suatu bahan atau zat yang apabila digunakan dapat menimbulkan kecanduan atau ketergantungan. Contohnya : rokok, kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan, thinner dan zat-zat lain (lem kayu, penghapus cair, aseton, cat,bensin, yang bisa dihisap, dihirup, dan dicium, dapat memabukkan) 4. Zat Psikoaktif Golongan zat yang bekerja secara selektif, terutama pada otak sehingga dapat menimbulkan perubahan pada: perilaku, emosi, kognitif, persepsi. KEPERAWATAN PADA PASIEN PENYALAHGUNAAN/ KASUS NARKOBA a. Kasus Andra (bukan nama sebenarnya), salah satu remaja pengidap HIV. Dia tertular HIV melalui penggunaan IDU. Andra mengaku mulai menggunakan jarum suntik secara bergantian pada tahun 2002. “Waktu itu saya masih kelas 3 SMP. Saya suka mengkonsumsi putauw. Suatu hari saya tidak punya uang lagi. Teman-teman yang sama diundang. pakai jarum suntik bergantian. Lebih murah, kata mereka.” ujarnya. Pesta narkoba juga dimulai dengan teman- temannya. Dia melakukan aktivitas menyimpang selama setahun. Bisa dibilang Andra termasuk pecandu narkoba berat, terutama jenis putauw. Bahkan, dia mengaku tidak punya cukup uang untuk mengonsumsi putauw. “Mau tidak mau, menggunakan jarum suntik menjadi alternatif bagi saya,” ujarnya. Baginya, ngedrug adalah media untuk melupakan masalah hidup. Andra terlahir dalam keluarga yang kurang harmonis. Ia lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-temannya di luar rumah. "Dengan teman-teman saya merasa bisa melakukan apa saja. Mereka tahu apa yang saya inginkan," katanya. Hidup sarat dengan hedonisme ia bertindak selama bertahun-tahun. Prestasi sekolah Andra yang menurun mendorongnya untuk terjun bebas ke narkoba. Apalagi orang tuanya hanya mengabaikan semua tindakan yang dilakukannya. "Saya merasa bebas untuk melakukan apa saja, pada dasarnya terkendali," katanya. Kehidupan Andra identik dengan kesenangan. Pada tahun 2004, ia diundang oleh teman-temannya untuk melakukan VCT (tes kunjungan konseling). “Waktu itu saya tidak tahu kenapa saya diundang ke VCT. Ternyata untuk memeriksa diri sendiri apakah saya terinfeksi HIV/AIDS atau tidak,” ujarnya. Ternyata teman-teman Andra adalah relawan LSM yang menangani HIV/AIDS. Mereka prihatin dengan kondisi Andra. Benar, dari lima orang yang melakukan tes sendiri, tiga orang positif HIV, termasuk Andra. “Rasanya mau mati saja,” kata Andra yang saat itu masih duduk di bangku kelas 1 SMA. Sejak divonis, Andra merasa hidupnya tidak berarti. Keputusasaan yang berat menyelimutinya. “Bahkan ada perasaan tidak enak dan dendam terhadap teman yang belum terinfeksi HIV untuk menyebarkannya,” ujarnya. Untungnya, Andra mampu mengendalikan dirinya. Ia pun berusaha bangkit untuk bertahan hidup. “Untungnya, teman- teman saya sangat memotivasi saya untuk berobat,” kata Andra, yang kini berusia 19 tahun. Selama setahun Andra menyembunyikan pernyataan tersebut dari orang tuanya saat dirinya positif HIV. " Sedikit demi sedikit rahasia itu terungkap. Ibu Andra menemukan hasil tes VCT-nya tersimpan di laci meja anaknya. "Saat itu, ibu saya sedang mencari obat di kamar saya," katanya."Saya tidak menyangka reaksi ibu saya saat mengetahui saya HIV positif. Dia menangis tersedu-sedu dan memeluk saya," katanya. Sejak saat itu, orang tua Andra mulai berubah. Mereka menerima Andra apa adanya. Mereka berani menerima kenyataan bahwa anak-anaknya terjangkit penyakit yang mendapat stigma buruk dari masyarakat. Namun, apapun kekhawatirannya, bagi Andra tidak bisa mendapatkan dirinya kembali seperti semula. Di dalam tubuhnya telah berkembang virus mematikan—yang jika tidak diwaspadai kesehatannya—dapat menyerang sistem kekebalannya lebih lanjut. Kini, Andra memiliki semangat hidup kembali. Hidup, katanya, harus terus berjalan, meski sempat pesimistis dengan masa depannya. "Siapa yang mau menerima laki-laki berpredikat HIV positif?" Dia bertanya. Beberapa kali Andra mencoba menjalin hubungan dengan pacarnya, tapi selalu gagal. “Begitu saya tahu saya terinfeksi HIV, ada yang langsung menjauh, ada yang mundur perlahan,” katanya. Menurut Andra, tidak mudah hidup di lingkungan masyarakat yang tidak terkena penyakit berbahaya tersebut. Selalu ada benang merah antara ODHA dan OHIDA (ODHA). Meski keluarga menerima Andra apa adanya, perasaan "berbeda" tetap ada di hatinya. Andra kemudian mencari komunitas yang bisa menampung nasibnya. “Akhirnya dengan teman sebaya yang aktif dalam memerangi HIV/AIDS, saya merasa disitulah saya berada. Dimana saya mengadu, berbagi, dan berbagi hidup,” dikutip dari www.smu_net.com 3.2 Penilaian Prinsip asesmen dapat menggunakan format asesmen di ruang psikiatri atau sesuai dengan pedoman di setiap ruang tergantung kebijakan rumah sakit dan format asesmen yang tersedia. Penilaian yang dilakukan meliputi: sebuah. Perilaku b. Faktor penyebab dan faktor pemicu c. Mekanisme koping yang digunakan oleh penyalahguna zat meliputi: · Penyangkalan masalah · Rasionalisasi · Tanggung jawab proyek atas perilaku mereka · Kurangi jumlah alkohol atau obat-obatan yang mereka gunakan · Mengatasi sumber daya (sistem pendukung) yang digunakan oleh klien
3.2 Diagnosa Keperawatan
Perlu diingat bahwa diagnosis keperawatan di ruang detoksifikasi dapat diulang di ruang rehabilitasi karena masalah yang sama muncul ketika dirawat di ruang rehabilitasi. Salah satu penyebab masalah serupa adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak menyalahgunakan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan dalam menimbulkan masalah bagi klien adalah kurangnya dukungan keluarga dalam membantu mengurangi penyalahgunaan dan penggunaan narkoba. Masalah keperawatan yang sering terjadi di ruang detoksifikasi selain masalah keperawatan yang berhubungan dengan fisik juga masalah keperawatan seperti : sebuah. Risiko perubahan proses keluarga berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga pengguna napza 3.3 Intervensi Keperawatan Intervensi untuk diagnosis 1: Risiko perubahan proses keluarga berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga khususnya anggota keluarga pengguna narkoba. · Tujuan khusus Keluarga dapat mengenal anggota keluarga pengguna narkoba dengan baik. Intervensi: 1. Diskusikan dengan keluarga tentang kriteria remaja pengguna narkoba. 2. Melatih keluarga untuk mengenali remaja pengguna narkoba. 3. Motivasi keluarga untuk selalu mengenal remaja pengguna narkoba. 4. Beri kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang tidak Anda mengerti. 5. Mengevaluasi kembali hal-hal yang telah dibahas. 6. Berikan pujian atas keberhasilan keluarga selama interaksi. · Keluarga mampu mengambil keputusan pada remaja pengguna narkoba. Intervensi: 1. Diskusikan dengan keluarga tentang akibat remaja pengguna narkoba 2. Latih keluarga untuk mengenali konsekuensi dari pengguna narkoba remaja. 3. Motivasi keluarga untuk selalu menyadari akibat dari remaja pengguna narkoba. 4. Beri kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang tidak Anda mengerti. 5. Mengevaluasi kembali hal-hal yang telah dibahas. 6. Berikan pujian atas keberhasilan keluarga selama interaksi. · Keluarga mampu merawat keluarga dengan remaja pengguna narkoba. Intervensi: 1. Diskusikan dengan keluarga cara mencegah dan mengobati remaja pengguna narkoba. 2. Melatih keluarga tentang cara mencegah dan mengobati remaja pengguna narkoba. 3. Motivasi keluarga untuk selalu mencegah dan mengobati remaja pengguna narkoba. 4. Beri kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang tidak Anda mengerti. 5. Mengevaluasi kembali hal-hal yang telah dibahas. 6. Berikan pujian atas keberhasilan keluarga selama interaksi. · Keluarga mampu memodifikasi remaja pengguna narkoba. Intervensi: 1. Diskusikan dengan keluarga tentang cara memodifikasi lingkungan rumah remaja pengguna narkoba. 2. Melatih keluarga cara memodifikasi dari remaja pengguna narkoba. 3. Motivasi keluarga untuk selalu memodifikasi remaja pengguna narkoba 4. Beri kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang tidak Anda mengerti. 5. Mengevaluasi kembali hal-hal yang telah dibahas. 6. Berikan pujian atas keberhasilan keluarga selama interaksi. · Keluarga mampu menggunakan sumber daya untuk pengobatan remaja pengguna narkoba. Intervensi: 1. Diskusikan dengan keluarga tentang penggunaan sumber daya sosial bagi remaja Pengguna narkoba. 2. Latih keluarga untuk menggunakan sumber daya bagi remaja pengguna narkoba. 3. Motivasi keluarga untuk selalu memanfaatkan sumber daya bagi remaja pengguna narkoba. 4. Beri kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang tidak Anda mengerti. 5. Mengevaluasi kembali hal-hal yang telah dibahas. 6. Berikan pujian atas keberhasilan keluarga selama interaksi. 3.4 Evaluasi Evaluasi penyalahgunaan dan ketergantungan zat tergantung pada pengobatan yang dilakukan perawat pada klien dengan mengacu pada tujuan khusus yang ingin dicapai. Disarankan agar perawat dan klien bersama-sama mengevaluasi keberhasilan yang telah dicapai dan tindak lanjut yang diharapkan terjadi selanjutnya. Jika penanganannya tidak berhasil maka perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap tujuan yang dicapai dan prioritas pemecahan masalah apakah sudah sesuai dengan kebutuhan klien. Klien yang kambuh tidak bisa disamakan dengan klien yang mengalami kegagalan pada sistem tubuhnya. Tujuan menangani klien yang kambuh adalah untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk hidup lebih lama bebas dari penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Perlunya evaluasi disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan, sebaiknya perawat bekerjasama dengan klien dalam menentukan tujuan menuju perencanaan pencegahan kekambuhan.
Donald Winnicott di milenium baru: Strategi, prinsip, dan model operasional yang mendasari pemikiran Donald Winnicott dan teori-teori perkembangan manusia