ABSTRACT
The population of Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae Pocock 1929), one of the
most critically endangered species on Sumatra, has been studied using camera traps in
Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP), Lampung. Cameras (Reconyx
&Bushnell, USA) were set up in a total of 45 cells of 2 x 2 km, covering a sampled area
of 390 km2 and an altitude ranged between 252-1199 asl. During an effective operation
that consisted of 4.140 trap-nights, tiger image that has been captured by the camera
indicated that the population was made up of at least seven adult males, eight adult
females, and one subadult individual with unknown sex. This finding suggests that
BBSNP demonstrated a very important Sumatran tiger reservation on the island, in
which a viable population might persist. In addition, tigers were captured in all
altitudes, but their presence seemed to gravitate in higher altitudes (>900-1050 asl.).
They appeared to be more active during daytime (0600 am-0500 pm).
ABSTRAK
Populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock 1929), salah satu spesies
yang paling terancam punah di Sumatera, telah dipelajari menggunakan kamera jebak di
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Lampung. Kamera (Reconyx &
Bushnell, USA) didirikan di total 45 sel dari 2 x 2 km, meliputi area sampel dari 390
km2, dengan berbagai ketinggian antara 252-1199 dpl dan beroperasi selama 4.140
kamera-hari efektif. Gambar Harimau yang telah tertangkap oleh kamera meng-
indikasikan bahwa populasi tersebut terdiri dari setidaknya tujuh laki-laki dewasa,
delapan perempuan dewasa, dan satu remaja dengan jenis kelamin yang tidak diketahui.
Temuan ini menunjukkan bahwa TNBBS merupakan kantong populasi harimau
Sumatera yang sangat penting di pulau ini, di mana populasi yang layak dapat bertahan.
Selain itu, harimau ditangkap di semua ketinggian, tapi kehadiran mereka tampaknya
tertarik pada ketinggian yang lebih tinggi (>900-1050 m dpl). Mereka tampaknya lebih
aktif pada siang hari (06.00-17.00).
1
Kata Kunci: Spesies terancam punah, populasi yang layak, cagar alam, Sumatera
21
ditetapkan dalam KepMenHut No. Barat, dan Provinsi Bengkulu, yaitu di
489/Kpts-II/1999. Taman Nasional ini Kabupaten Kaur. Pada penelitian ini
berada dalam wilayah Provinsi lokasi tempat pemasangan kamera
Lampung, khususnya di Kabupaten meliputi daerah Balai Kencana, Balik
Tanggamus dan Kabupaten Lampung Bukit, Biha, Suoh, dan Ngambur.
Gambar 1. Peta Pemasangan Stasiun Kamera Jebak di Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan (Sumber:WWF Indonesia Sumatera Bagian Selatan
31
melihat kondisi lingkungan yang ada dipasang untuk satwa badak yaitu
serta menentukan titik pemasangan ketinggian 120 cm. Pemantauan kamera
kamera. Penentuan titik pemasangan dilakukan berdasarkan kapasitas baterai
kamera tersebut dilakukan berdasarkan dan kartu memori yang terpasang dalam
pertimbangan potensi lokasi sebagai masing-masing kamera. Umumnya hal
tempat lintasan satwa sasaran. ini dilakukan setiap satu bulan (di WWF
Kamera jebak dipasang pada titik Indonesia). Selama pemantauan juga
yang telah ditentukan. Dalam hal ini dilakukan pengumpulan data dari hasil
ketinggian pemasangan kamera pemotretan kamera selama satu bulan
disesuaikan dengan ukuran tubuh satwa tersebut.
sasaran. Pada penelitian ini kamera
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2. Contoh pembuatan disain survei menggunakan kamera jebak: (a) Lokasi
survei yang ditentukan; (b) pembuatan grid pada peta lokasi; (c) pemilihan
grid; (d) survei kondisi grid dan penentuan titik pemasangan kamera di
lapangan.
41
pemisahan foto-foto dan video-video Microsoft Excel dengan menyertakan
yang di dalamnya terdapat gambar data waktu perekaman, nama sel dan
harimau. Nama setiap foto atau video koordinat sel.
harimau diganti dengan kode nomor sel
dan tanggal perekaman. Pemilihan dan Individu Secara Spasial dan Waktu
pemisahan foto-foto dan video-video Aktif
harimau yang dapat dikategorikan
sebagai gambar-gambar independen, Sebaran spasial yang dimaksud
yaitu gambar-gambar spesies yang sama dalam hal ini adalah sebaran menurut
yang terekam di tempat yang sama ketinggian tempat (elevasi). Karena
dengan jarak perekaman minimal 30 elevasi setiap titik pemasangan kamera
menit (O’Brien et al. 2003; Rayan diketahui, maka keberadaan harimau
2012). Setiap gambar independen juga dapat dianalisis berdasarkan data
disimpan sebagai sisipan dalam ini. Sebaran spasial hewan ini
program Microsoft Excel dan dilakukan ditunjukan dengan melihat jumlah
identifikasi tiap individu. Dalam gambar independen pada setiap kelas
penelitian ini, yang peneliti lakukan elevasi. Sama halnya dengan sebaran
hanya sebatas mengidentifikasi individu spasial, dengan melihat jumlah gambar
dan analisa populasi, tidak termasuk independen beserta waktu kapan
pemasangan kamera dan pengelolaan gambar tersebut terpotret oleh kamera
data. jebak, maka kita juga mengetahui
sebaran temporal ataupun waktu aktif
Analisis Data individu tersebut.
51
HASIL DAN PEMBAHASAN atau sel dari 45 sel tempat pemasangan
kamera. Wilayah dimana kamera jebak
Hasil pemotretan secara umum dipasang dapat dibagi secara virtual
menjadi “sektor utara” dan “sektor
Penelitian ini secara keseluruhan selatan” serta “sektor barat“ dan “sektor
telah dilakukan dengan jumlah usaha timur”. Di sektor utara terdapat 20 sel
4.140 hari-kamera efektif. Usaha yang tempat dimana kamera jebak dipasang,
telah dilakukan menghasilkan 444 sedangkan di sektor selatan terdapat 25
gambar harimau, yang mana hanya 149 sel. Di sektor barat terdapat 19 sel
gambar yang dapat dikategorikan tempat pemasangan kamera, sedangkan
sebagai gambar independen. Semua di sektor timur terdapat 26 sel.
gambar ini diperoleh pada 29 lokasi
Sektor
Parameter Utara Selatan Barat Timur
Jumlah sel dengan kamera jebak 20 25 19 26
61
(relatif tinggi). Kondisi lingkungan jumlah total skor dari keempat
secara umum dicerminkan dalam bentuk parameter ini.
Tabel 2. Korelasi antara skor tingkat gangguan dan jumlah gambar independen
harimau/sel
a b c
a1
a2
b1
Gambar 5. Karakteristik individual harimau yang dapat dikenali: (a) individu jantan
dewasa; (b) individu betina dewasa; (c) individu remaja (tidak diketahui
jenis kelamin); (a1) penanda kelamin jantan; (a2) panjang surai; (b1)
c betina.
penanda kelamin
Dari 444 gambar harimau yang saja yang dapat diidentifikasi. Sisanya,
diperoleh ternyata hanya 361 gambar yaitu 83 gambar, tidak dapat
71
diidentifikasi dikarenakan beberapa hal, tertangkapnya masing-masing individu
seperti pencahayaan yang terlalu lemah harimau oleh kamera yang dipasang,
dan kuat, kekaburan, dan tertangkapnya juga dapat membantu proses
tubuh harimau secara parsial. Dari identifikasi. Pada prinsipnya tidak
gambar-gambar yang diidentifikasi mungkin individu yang sama terpotret
dapat diperoleh informasi tentang dalam waktu yang bersamaan dan
kategori umur harimau, yaitu dewasa ditemukan di sel-sel yang berbeda,
dan remaja beserta jenis kelamin apalagi apabila jarak antara sel-sel ini
berdasarkan penanda kelamin, panjang cukup berjauhan. Dalam hal ini,
surai dan ukuran tubuh. menurut tempat terpotretnya, dapat
Proses identifikasi tidak hanya diketahui bahwa jumlah tempat
dilakukan berdasarkan ciri-ciri kehadiran masing-masing individu
morfologis saja, waktu dan tempat tersebut cukup beragam yaitu, 1-10.
81
kelamin dan komposisi genetik (Odum, 1998; Subiarsyah 2014). Berdasarkan
1993). Berdasarkan hasil penelitian ini, hal tersebut dapat dikatakan bahwa
terlihat bahwa populasi harimau yang populasi harimau yang berada di lokasi
berhasil diidentifikasi terdiri dari tujuh penelitian terbilang cukup sehat.
individu jantan dewasa (44%), delapan Karanth dan Stith (1999) menyarankan
individu betina dewasa (50%) dan satu bahwa populasi harimau di alam
individu remaja tidak diketahui jenis memiliki 25% anak.
kelaminnya (6%). Dengan demikian,
proporsi harimau dewasa jauh lebih Pola Aktifitas
besar (94%) dibanding proporsi harimau
remaja dan proporsi harimau betina Sebaran menurut tempat
dewasa (50%) lebih besar dibanding
harimau jantan dewasa (44%). Persebaran satwa terestrial sangat
Rasio kelamin memiliki arti yang dipengaruhi oleh elevasi. Oleh
sangat penting dalam proses reproduksi karenanya pada penelitian ini kamera
hewan khususnya mamalia. Secara jebak telah dipasang dalam rentang
umum diketahui bahwa apabila jumlah ketinggian tempat mulai dari 252
individu berkelamin betina lebih hingga 1199 m dpl, antara lain sebagai
banyak, artinya rasio kelamin populasi upaya untuk mengetahui pengaruh
<1, hal ini dapat menjamin ketinggian tempat terhadap sebaran
keberlanjutan proses reproduksi harimau.
dibanding sebaliknya (Montenegro
20
Jumlah gambar/100 trap
15
10
night
5
0
91
tinggi, yaitu hingga lebih dari 2400 m menyusut secara cepat akibat alih fungsi
dpl. lahan untuk pemukiman, pertanian dan
Keberadaan mangsa adalah faktor lain-lain. Hasil ini juga didukung oleh
penting yang mempengaruhi penelitian Seidensticker et al (1999)
keberadaan harimau (Karanth et al. yang menyatakan bahwa disamping
2004). Menurut Griffth (1994) variasi jenis vegetasi, kepadatan satwa
keanekaragaman dan kepadatan hewan juga bergantung pada tingkat kerawanan
mangsa di hutan dengan ketinggian 100 kawasan hutan terhadap perburuan dan
hingga 600 m dpl lebih banyak gangguan dari aktivitas manusia
dibandingkan di hutan dengan9 lainnya. Bahkan tidak jarang hewan-
ketinggian 600 hingga 1700 m dpl. hewan ungulata tersebut akan
Semakin tinggi letak geografis habitat melakukan migrasi ke daerah dataran
hutan semakin kecil variasi vegetasinya tinggi (Ramono dan Santiapillai 1993).
yang memepengaruhi kepadatan
satwanya. Dinata (2008) menambahkan, Sebaran menurut waktu
hipotesis ini tidak berlaku untuk
kawasan habitat yang terganggu seperti Secara umum spesies mamalia
hasil yang ditunjukkan pada penelitian diketahui memiliki pola aktifitas harian
ini (Gambar 4.4), yang menunjukkan yang cukup beraturan (Hearn et al.
hal sebaliknya. Whitten et al (1984) 2013). Waktu aktivitas dibagi dalam 2
menambahkan keberadaan hutan periode yaitu siang mulai pukul 07:00
dataran rendah sangat penting karena sampai 17:59 dan malam mulai pukul
dapat mendukung biomassa hewan 18:00 sampai pukul 06:59 (Kawanishi
ungulata besar seperti babi hutan (Sus & Sunquist 2004). Bernard et al. (2013)
scrofa), rusa (Cervus unicolor), dan menambahkan adanya waktu aktif yang
kijang (Muntiacus muntjak) sebagai aritmik atau meliputi kedua belahan
hewan mangsa. Namun luasan dataran hari.
rendah di Sumatera yang tersisa
0,20 0,18
Jumlah gambar / 100 trap night
0,18
0,16 0,14
0,14 0,13 0,13
0,12 0,11 0,11
0,10 0,090,09
0,07 0,07
0,08
0,06 0,05
0,04 0,040,04 0,04 0,04
0,04
0,02 0,02 0,02 0,02 0,02
0 0 0 0
0,00
10:00
11:00
12:00
13:00
14:00
15:00
16:00
17:00
18:00
19:00
20:00
21:00
22:00
23:00
0:00
1:00
2:00
3:00
4:00
5:00
6:00
7:00
8:00
9:00
Kisaran waktu
1
10
Berdasarkan hasil penelitian ini (Linkie et al. 2006; Subagyo 2013;
ditemukan bahwa harimau lebih banyak Sunarto 2013), terdapat indikasi positif
tertangkap kamera dalam selang waktu bahwa TNBBS merupakan kantong
antara jam 05:00 sampai 17:00 (0,02 – populasi harimau Sumatera yang sangat
0,18 gambar independen/100 kamera- penting di pulau ini.
hari) dibandingkan antara jam 18:00 Menurut Franklin (1999), daerah10
sampai 04:00 (0,00 – 0,07 gambar jelajah harimau betina dewasa berkisar
independen/100 kamera-hari) (Gambar 40-70 km², sedangkan daerah jelajah
4.4). Pola aktifitas yang sama juga harimau jantan diperkirakan kurang
ditemukan dalam penelitian Linkie & lebih 180 km². Merujuk pendapat ini,
Ridout (2011) dan Hutajulu (2007). apabila diasumsikan bahwa densitas
Waktu aktif harimau pada siang hari harimau di TNBBS benar-benar
ditemukan disepanjang hari dan pada mencapai 4 individu/100km² maka
malam hari tidak ditemukan aktivitas dalam wilayah ini terdapat tumpang
pada pukul 20:00, 21:00, 23:00 dan tindih daerah jelajah dari satwa yang
00:00. Pola aktivitas harimau dapat sebenarnya sangat teritorial ini (Priatna
dikatakan mengikuti pola aktivitas et al. 2012). Hal ini bukan tidak
satwa mangsa yaitu krepuskular dan mungkin memiliki konsekuensi
diurnal (seperti kijang, beruk, babi, tersendiri yang kontra-produktif bagi
pelanduk dan rusa) (Hutajulu 2007). konservasi spesies yang terancam
kepunahan ini, terutama sekali apabila
Relevansi Pengelolaan populasi hewan-hewan mangsanya
seperti rusa sambar, kijang dan babi
Sebagaimana telah disebutkan hutan tidak cukup berlimpah (Linkie
dalam sub-bab sebelumnya, melalui 2011; Sunarto 2013). Konsekuensi lain
penelitian ini dapat dipastikan bahwa adalah tingginya densitas harimau suatu
setidaknya terdapat 16 individu harimau wilayah berpotensi menjadikan wilayah
dalam wilayah penelitian yang meliputi ini menjadi sasaran perburuan liar,
areal seluas 390 km². Hal ini apalagi apabila pihak yang berwenang
memberikan taksiran kasar bahwa di belum mampu melakukan perlindungan
wilayah ini terdapat kurang lebih empat secara efektif (Shepherd & Magnus
individu harimau dalam setiap 100 km². 2004).
Taksiran ini menunjukkan bahwa Ditinjau dari rasio kelamin
TNBBS memiliki populasi harimau populasi harimau di TNBBS, dimana
yang cukup besar. Penelitian serupa ditemukan 7 individu jantan dewasa dan
yang telah dilakukan di wilayah- 8 betina dewasa serta 1 individu remaja
wilayah lain di Sumatera (Linkie et al. yang tidak diketahui jenis kelaminnya,
2006; O’Brien et al. 2003; Sunarto terdapat peluang yang cukup besar bagi
2013; Wibisono 2006) umumnya populasi ini untuk terus bertahan.
menghasilkan taksiran densitas harimau Persoalannya adalah sejauh mana
<2 individu/100 km². Meskipun perburuan liar, baik secara langsung
kemungkinan temuan penelitian ini terhadap harimau maupun secara tidak
tetap perlu diverifikasi dengan langsung terhadap hewan-hewan
menggunakan metode perhitungan yang mangsanya, serta kerusakan habitat
setara, misalnya program DENSITY seperti yang diakibatkan oleh
1
11
penebangan liar maupun penjarahan DAFTAR PUSTAKA
lahan dapat dicegah semaksimal
mungkin. Menurut Sunarto (2013), Ancrenaz M, Hearn AJ, Ross R,
upaya perlindungan harimau Sumatera Sollmann R, and Wilting A .
beserta habitat aslinya memerlukan 2012. Handbook for wildlife
dukungan banyak pihak, mulai dari monitoring using camera‐traps .
tingkat lokal hingga internasional guna BBEC Publication, Malaysia.
menekan berbagai gangguan manusia
semacam ini. Azlan, M. J. 2009. The use of camera
trap in Malaysian rainforests.
KESIMPULAN Journal of Tropical Biology and
Conservation, 5:81-86
Kesimpulan
Balai Taman Nasional Bukit Barisan
Berdasarkan keseluruhan hasil Selatan (BTNBBS). 1999.
penelitian, terdapat indikasi positif Rencana pengelolaan Taman
bahwa TNBBS merupakan kantong Nasional Bukit Barisan Selatan
populasi harimau Sumatera yang sangat (RPTN) (Buku II). Lampung:
penting di pulau ini. Balai TNBBS. (Tidak
diterbitkan).
UCAPAN TERIMAKASIH
Bernard H., Ahmad AH., Brodie J.,
Penulis mengucapkan terimakasih Giardano AJ., Lakim M., Amat
kepada Balai Besar Taman Nasional R., Hue pei SK., Khee LS.,
Bukit barisan Selatan dan WWF Tuuga A., Malim PT., Hasegawa
Indonesia – Program Lampung yang DL., Wai YS., Sinun W. 2013.
telah memberikan dukungan kepada Camera trapping survey of
penulis sehingga penulis dapat mammals in and around imbak
menyelesaikan penelitian ini. Tanpa canyon conservation area in
mengurangi rasa hormat, penulis juga Sabah Malaysian Borneo. The
mengucapkan terimakasih kepada Raffles Bulletin of Zoology 61:
Bapak Drs. Ahmad Muhammad selaku 861-870.
pembimbing 1 dan Bapak Sunarto, Ph.D
selaku pembimbing 2 serta kepada Febri C.J. Krebs. 1985. Ecology. 3rd ed.
Anggriawan Widodo dari WWF Harper & Row, New York.
Indonesia-Program Sumatera bagian
Tengah, Beno Fariza Syahri dan Bapak Dinata, Y., dan Jito Sugardjito. 2008.
Yob Charles dari WWF Indonesia- Keberadaan Harimau Sumatera
Sumatera bagian Selatan, yang telah (Panthera tigris sumatrae
membantu penulis dalam penelitian dari Pocock, 1929) dan Hewan
mulai pengelolaan data hingga Mangsanya di Berbagai Tipe
memberikan informasi berupa teknis Habitat Hutan di Taman
maupun non-teknis. Nasional Kerinci Seblat,
Sumatera. Jurnal Biodiversitas.
7(3): 222-226.
12
Griffiths, M. 1994. Population density Tiger: Conservation in human
of Sumatran tigers in Gunung dominated landscapes.
Leuser National Park. In Tilson Cambridge University press,
R.L., Komar Soemarna, Widodo Cambridge, UK. p: 100–113.
Ramono, Sukianto Lusli,
Traylor-Holzer K., and Seal U.S. Karanth, K. U. and J. D. Nichols. 2002.
(eds). Sumatran Tiger Report: Monitoring Tiger and Their
Population and Habitat Viability Prey ; a Manual Research,
Analysis. Apple Valley, Managers and Conservation in
Minnesota, Indonesian Tropical Asia. Center for
Directorate of Forest Protection Wildlife Studies. India.
and Nature 104 Conservation
and IUCN/SSC Conservation Karanth K. U., Nichols J. D., Kumar N.
Breeding Specialist Group. p: S., Link W. A. & Hines J. E.
93-102. 2004. Tigers and their prey:
Predicting carnivore densities
Hearn AJ., Ross J., Pamin D., Bernard from prey abundance. PNAS
H., Hunter L., Macdonald DW. 101 (14): 4854-4858.
2013. Insights into the spatial
and temporal ecology of the Kawanishi, K. & M. Sunquist. 2004.
sunda clouded leopard Neofelis Conservation Status of tigers in
diardi. The Raffles Bulletin of a primary rainforest of
Zoology 61: 871-875. Peninsular Malaysia. Biological
Conservation 120: 329-344
Hutajulu, M.B. 2007. Studi karakteristik
ekologi harimau Sumatera Kinnaird MF, Sanderson EW, O’Brien
[Panthera tigrissumaterae TG, Wibisono HT,Woolmer G.
(Pockok 1929)] berdasarkan 2003. Deforestation trends in a
camera trap di landsekap Tesso tropical landscape and
Nilo-Bukit Tigapuluh, Riau. implications for endangered
Thesis. Program Pasca Sarjana large mammals. Conservation
FMIPA. Program Studi Biologi Biology 17, 245–57.
Konservasi. Universitas
Indonesia. Depok Lettink, M.; Armstrong, D.P. 2003: An
introduction to using mark-
IUCN . 2006. 2006 IUCN Red List of recapture analysis for
Critically Endangered Species. monitoring threatened species.
http://www.redlist.org (diakses Department of Conservation
pada 15 September 2015) Technical Series 28A: 5.32.
13
Linkie, M., D.J. Martys , J. Holden, A. Poole, R.W. 1974. An Introduction to
Yanuar, A.T. Hartana, J. quantitative ecology. McGraw-
Sugarditjo, and N.L. William. Hill, New York
2003. Habitat Destruction and
Poaching Threaten the Sumatran Ramono, W & Santiapillai, C. 1994.
Tiger in Kerinci Seblat National Conservation of Sumatran
Park, Sumatra. Oryx 37: 41-48. Tigers in Indonesia, In Tilson
R.L., Soemarna K., Ramono W.,
Mazak, V. 1981. Panthera tigris. Lusli S., Traylor-Holzer K., &
Mamalia Species. 152, 1-8. Seal U.S. (eds.). Sumatran Tiger
Population and Habitat Viability
Montenegro. O.L. 1998. The Behavior Analysis Report, Apple Valley,
Of Lowland Tapir (Tapirus Minnesota,
Terrestris) at A Natural Mineral
Lick Dl The Peruvian Amazon. Royle, J. A., and K. V. Young. 2008. A
Unpublished Thesis. University hierarchical model for spatial
of Florida. capture-recapture data. Ecology
89:2281-2289
Nemora, and Ng. Julia. 2007. Tiger
Trade Revisited in Sumatra, Seidensticker, J., S. Christie, and P.
Indonesia. TRAFFIC Southeast Jackson. 1999. Preface. In:
Asia, Petaling Jaya. Malaysia. Seidensticker, J., S. Christie, and
P. Jackson (eds.). Riding the
O’Brien, T.G., M.F. Kinnaird & H.T. Tiger: Tiger Conservation in
Wibisono. 2003. Crouching Human Dominated Landscape.
tigers, hidden prey: Sumantran Cambridge, UK.: Cambridge
tiger and prey population in a University Press.
tropical forest landscape. Animal
Conservation 6:131-139 Stoklosa, J. 2012. Modern Statistical
Methods for the Analysi of
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Capture-Recapture Data.
Ekologi. Tj. Samigan. Australia. Departement of
[Penerjemah]; Srigandono Matematics and Statistic,
[Editor]. Terjemahan dari: University of Melbourne.
Fundamental of Ecology. Gajah
Mada Press.Yogyakarta. Subiarsyah, M.I. 2014. Struktur
Populasi Monyet Ekor Panjang
Paul, L. 2015. Closed population di Kawasan Pura Batu Pageh
Capture-Recapture models. Ungasan Badung Bali. Indonesia
Chapter 14. University of Medicus Veterinus 3(3) : 183-
Montana, Cooch & White. 191.
14
of Polytechnic Institute and Indonesia. WWF Indonesia,
State, University of Virginia. Jakarta, Indonesia.
15