Anda di halaman 1dari 7

MONITORING POPULASI MALEO (Macrocephalon maleo) DI SITE MONITORING SALUKI

SEKSI PTN WILAYAH I MATAUE TAMAN NASIONAL LORE LINDU

Oleh : Rina Fatkhiyah


Calon PEH Ahli Pertama BBTN Lore Lindu

ABSTRAK

Burung maleo (Macrochepalon maleo) termasuk satwa endemik Sulawesi yang dilindungi undang-undang
dan berstatus Endangered pada IUCN Redlist sehingga menjadi salah satu satwa prioritas di Taman
Nasional Lore Lindu. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan kegiatan monitoring populasi maleo secara terus
menerus dan berkala. Tujuan pelaksanaan monitoring populasi maleo adalah untuk mendapatkan data dan
informasi terkait jumlah populasi maleo dan kondisi habitatnya terkini. Selain itu juga sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan strategi pengelolaan yang tepat selanjutnya. Penelitian ini dilaksanakan
di Site Monitoring Saluki, Desa Tuva yang termasuk dalam wilayah Resort Simoro Seksi PTN Wilayah I
Mataue pada bulan Oktober hingga November 2019. Pendugaan populasi maleo menggunakan metode
penghitungan sarang dan metode kamera trap. Berdasarkan analisis data menggunakan metode
penghitungan sarang diperoleh hasil pendugaan jumlah populasi maleo di wilayah Site Monitoring Maleo
Saluki (± 30 ha) yaitu ada peningkatan dari tahun sebelumnya dari 822 ekor menjadi 834 ekor. Artinya ada
peningkatan sekitar 1.45% dari total jumlah populasi maleo dari baseline data tahun 2018. Hasil ini masih
kurang memuaskan mengingat peningkatan populasinya kurang signifikan. Berdasarkan pengamatan dari
kamera trap dapat diketahui bahwa burung maleo aktif mencari makan dan membuat sarang pada siang
hari. Dapat dilihat pula dalam kamera trap maleo selalu berpasangan satu jantan dan satu betina
(monogami). Selain foto maleo dari hasil perekaman kamera trap juga didapatkan predator telur maleo yaitu
biawak.

Kata kunci : maleo, monitoring, populasi

PENDAHULUAN langka yang dilindungi di Indonesia berdasarkan


Latar Belakang UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi
Salah satu program Kementerian Lingkungan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,
Hidup dan Kehutanan 2015 - 2019 yang sangat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
terkait dengan tugas pokok Ditjen KSDAE adalah Kehutanan Republik Indonesia Nomor
terjaminnya efektivitas upaya konservasi spesies P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang jenis
dan genetik, dengan Indikator Kinerja Kegiatan tumbuhan dan satwa yang dilindungi.
berupa persentase peningkatan populasi 25 satwa Habitat tempat bertelur maleo termasuk dalam
terancam punah prioritas sesuai The IUCN Red List komponen penting karena maleo tidak mengerami
of Threatened Species sebesar 10% sesuai sendiri telurnya melainkan menguburnya di dalam
baseline data tahun 2013. Atas dasar status tanah pada kedalaman tertentu. Keberadaan
konservasi, penyusunan strategi dan rencana aksi sarang maleo yang semakin berkurang diduga
konservasi spesies, ketersediaan data dan dipengaruhi oleh rusaknya kondisi dan hilangnya
informasi, serta komitmen dan dukungan para habitat tempat bertelur yang sesuai untuk proses
pihak terkait, maka Ditjen KSDAE telah regenerasi. Keadaan vegetasi pada habitat bertelur
menetapkan sebanyak 25 (dua puluh lima) satwa burung maleo yang paling disukai adalah sudah
prioritas terancam punah yang akan menjadi target tentu keadaan vegetasi yang dapat memberikan
peningkataan populasinya melalui SK Dirjen rasa aman saat bertelur. (Laban, 2007).
KSDAE No. 180 Tahun 2015. Pada Taman Upaya pelestarian burung maleo terkendala
Nasional Lore Lindu, pencapaian indikator kinerja masalah kerusakan habitat yang menyebabkan
peningkatan populasi satwa prioritas terancam penurunan populasi. Pada beberapa habitat yang
punah ditujukan salah satunya pada populasi satwa berada di kawasan konservasi terdesak keluar
maleo. Burung maleo tergolong jenis satwa liar membentuk habitat baru yang belum teridentifikasi
dan tidak dilindungi sehingga keberlangsungan a. Personal use : baju dan celana lapang, jas
hidupnya sangat terancam oleh manusia dan hujan, sleeping bag, topi, tenda, alat masak,
predator (Hafsah, dkk.,2013). P3K
Alikodra (1990) dalam Srimulyaningsih (2012) b. Peralatan : Alat tulis menulis, teropong
menyatakan bahwa laju kematian atau penurunan binokuler, GPS, kompas, penggaris, parang,
populasi satwa liar dapat dipengaruhi oleh banyak tali rafia, meteran dan kamera digital serta
faktor, namun secara umum dapat digolongkan kamera jebakan.
menjadi 2 golongan besar, yaitu decimating factors c. Bahan : peta kerja, tally sheet
dan welfare factors. Decimating factors atau faktor-
faktor yang secara langsung dapat menyebabkan Metode Pengambilan Data
kematian, hal ini berupa pemangsaan (predasi) Metode Penghitungan Sarang
oleh predator, parasit, kecelakaan atau perburuan. Sarang adalah sesuatu yang dengan sengaja atau
Sedangkan welfare factors atau kualitas tidak, dibangun untuk dipergunakan sebagai
lingkungan seperti makanan, vegetasi penutup tempat berkembang biak dan atau sebagai tempat
tanah dan air. Selain faktor-faktor diatas, juga istirahat (tidur). Pada kegiatan ini ditekankan pada
disebutkan faktor lain yang dapat menyebabkan sarang berupa lubang bertelurnya burung maleo
kematian, yaitu karena umur tua. Pada saat ini di habitat alami.
yang menjadi faktor kematian satwa liar adalah a) Tahapan Kegiatan
kegiatan perburuan dan pembukaan hutan yang 1. Pengamat melakukan sensus sarang pada
dilakukan manusia dan pada akhirnya berdampak areal/lokasi yang telah ditetapkan sebagai
pada degradasi dan fragmentasi habitat satwa. site monitoring populasi maleo berdasarkan
Langkah konkrit yang dapat diupayakan dalam SK Kepala Balai Besar TN Lore Lindu.
peningkatan populasi satwa maleo melalui 2. Mencatat jumlah sarang yang ditemukan
berbagai kegiatan, antara lain melaksanakan pada site monitoring maleo.
monitoring populasi secara terus menerus dan 3. Mencatat keterangan lain yang diperlukan
berkala. seperti keadaan vegetasi disekitar sarang,
bentuk sarang dan lain sebagainya.
Rumusan Masalah 4. Ambil titik koordinat GPS setiap kali
Tersedianya data dan informasi tentang kondisi menemukan sarang atau maleo kemudian
habitat dan populasi maleo sangat penting guna dokumentasikan
menentukan strategi pengelolaan yang tepat. b) Analisis Data
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah Pendugaan populasi maleo secara tidak langsung
bagaimana kondisi habitat terkini dan populasi berdasarkan metode penghitungan jumlah sarang
maleo di Site Monitoring Saluki yang berada di pada site monitoring yang telah ditentukan
wilayah Seksi PTN Wilayah I Mataue apakah digunakan rumus Butchart, S.H.M. et al (1998) :
mengalami peningkatan, penurunan, atau tetap.
Keterangan :
EP : Estimasi Populasi/besarnya populasi
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data EP = 5% x Jumlah Sarang (Lubang) x 90
dan informasi terkait jumlah populasi maleo di Site Produksi Telur Tahunan
Monitoring Saluki Seksi PTN Wilayah I Mataue dan
5% : Berdasarkan perilaku secara umum, maleo cenderung
kondisi habitatnya terkini sebagai bahan akan membuat lubang baru dan tidak menggunakan lubang
pertimbangan dalam pengambilan kebijakan yang sama.
pengelolaan dalam rangka menjaga kelestarian 90 : Angka hari bertelur selama 1 tahun
Produksi Telur Tahunan : 8 butir sampai 12 butir
populasi satwa endemik di TN Lore Lindu.
8 : Menjadi batas bawah produksi telur tahunan maleo
12 : Menjadi batas atas produksi telur tahunan maleo
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang perlu disiapkan antara lain :
Metode Kamera Jebakan 3. Setiap lokasi untuk masing-masing kamera
Penggunaan kamera dalam monitoring satwa maleo jebakan harus dipilih sesuai kondisi di
dilaksanakan guna mendapatkan data tanpa lapangan, kamera jebakan dipasang pada
kehadiran pengamat. Kamera jebakan bekerja pohon sekitar 1-2 m dari jalur pergerakan satwa
menggunakan sistem infra merah yang dapat dan 30 -70 cm di atas tanah. Hal ini untuk
mendeteksi keberadaan satwa dengan sensor panas menentukan ketinggian yang optimal letak
tubuh satwa tersebut. Setiap satwa yang melintas kamera agar bisa mendapatkan gambar yang
akan terekam gambarnya oleh kamera melalui cukup baik (kepala dan badan bisa terekam).
fotosensor yang disambungkan ke kamera. Gambar- 4. Kamera jebakan dipasang menghadap ke
gambar tersebut dilengkapi dengan data tentang depan yang diprediksi merupakan jalur
waktu pengambilan, bulan, tanggal dan nomor gambar pergerakan satwa. Vegetasi yang ada disekitar
yang tersimpan dalam data logger dan lokasi pemasangan kamera jebakan harus
ditransformasikan ke dalam perangkat lunak dibersihkan untuk mencegah kamera dari
komputer. Keberadaan set kamera tidak pengambilan gambar/foto yang bukan dari
mempengaruhi aktivitas satwa yang melintas di depan satwa maleo yang dimaksud (perlu
kamera sehingga tidak mengganggu kegiatan diperhatikan pengamanan kamera otomatis
hariannya. dari pencurian). Untuk setiap penyetelan
a) Peralatan kamera jebakan, terlebih dahulu untuk disetel
Berikut ini peralatan khusus yang dibutuhkan dalam lokasi gps, no identitas, waktu dan tanggal.
monitoring satwa menggunakan kamera jebakan, 5. Kamera jebakan ditempatkan secara
yaitu: berpasangan pada masing-masing sisi yang
1. Kamera jebakan/camera trap diduga jalur pergerakan satwa agar setiap sisi
2. Panduan lapangan pengenalan satwa dari objek satwa maleo terfoto sehingga
3. GPS memudahkan dalam mengidentifikasinya.
4. Kartu memori 6. Kamera jebakan harus diperiksa paling lama
5. Kotak pengaman dan kuncinya sekali dalam jangka 1 bulan (tergantung pula
6. Gel Silica (melindungi kartu memori) dari kemampuan baterai dan kapasitas kartu
b) Tahapan Kegiatan memorinya). Sangat berguna apabila setiap set
Langkah-langkah dalam pengambilan data monitoring kamera jebakan mempunyai 2 buah kartu
satwa maleo menggunakan metode kamera jebakan memori sehingga bisa diganti untuk
adalah sebagai berikut : memudahkan transfer data secara periodik ke
1. Kamera diperiksa terlebih dahulu untuk komputer. Setiap gambar yang terfoto
memastikan dalam kondisi baik (sensor, setting diusahakan merekam waktu dan tanggal
data dan waktu). Juga perlu dipertimbangkan pengambilan gambar, spesies yang terlihat,
jenis baterai yang baik untuk dipasang dalam dan jumlah individunya.
kamera jebakan untuk pengamatan jangka b) Data Yang Dihasilkan dan Metode Analisis
panjang (bisa sebulan penuh). Setiap kamera Saat ini Balai Besar TN Lore Lindu masih
jebakan harus diberikan ciri khas kode memiliki kamera jebakan dalam jumlah yang
tersendiri untuk memudahkan identifikasi lokasi masih terbatas sehingga untuk melakukan
dimana gambar diambil selama analisis. Kartu monitoring dengan luasan menyeluruh dari site
memori setiap kamera jebakan harus diberi monitoring habitatnya belum maksimal untuk
tanda pengenal dengan no identitas (ID dilakukan. Oleh karenanya data yang dapat
number). dihasilkan masih terbatas pada data-data
2. Penempatan kamera jebakan pada lokasi di sebagai berikut:
wilayah perwakilan yang menjadi site  Penggunaan habitat dan penyebarannya;
monitoring habitatnya. Untuk mengurangi bila pada kamera jebakan terdapat lokasi
bias/kesalahan maka kamera jebakan dapat GPS yang menangkap gambar/foto satwa
ditempatkan pada grid 100 m x 100 m untuk maleo itu direkam, hal itu bisa memberikan
memastikan lokasi survei terjangkau.
informasi terkait penyebaran jenis maleo No. Nama Jenis Pohon
pada wilayah sampel yang diambil. 10 Celtis sp. (Palaku)
 Keberadaan terkini satwa maleo dihasilkan 11 Nephrollepis sp.
dari gambar/foto yang direkam pada 12 Neuburgia sp.
kemera jebakan (identifikasi satwa maleo 13 Pterospermum subpeltatum (Ntorade)
tergantung dari kemampuan subjektif dari 14 Canangium odoratum (Ndolia)
15 Artocarpus elasticus (Tea here)
pelaksana kegiatan dalam mengidentifikasi
16 Artocarpus teijmannii (Tea uru)
populasi maleo dari hasil kamera jebakan).
17 Durio zibethinus (durian)
 Tingkat perjumpaan (jumlah foto/100 hari) 18 Pterospermum hirsuta (Wara dilameo)
didapat dari perhitungan total jumlah foto
19 Dinochloa scandens (bambu pemanjat)
dibagi total hari kamera aktif dikali seratus.
Faktor pembagi 100 hari untuk 20 Elastostema sp.
menyamakan waktu satuan usaha yang 21 Costus sp.
digunakan (O’Brien et al.2003). 22 Cyrtandra sp.
23 Alsophylla sp. (Paku pohon)
ER = 𝛴 𝑓 / 𝛴 𝑑 x 100 24 Pinanga sp. (Palem)
Keterangan :
ER : Tingkat perjumpaan (encounter rate)
Maleo menyukai tempat yang vegetasinya rapat
Σ f : Jumlah total foto yang diperoleh
karena dapat melindungi diri dari serangan
Σ d : Jumlah total hari operasi kamera
predator. Maleo menggunakan vegetasi sebagai
tempat mengintai, berlindung, beristirahat dan
HASIL DAN PEMBAHASAN melakukan pergerakan, mengingat burung maleo
A. Kondisi Habitat Maleo Saluki tidak memiliki kemampuan terbang yang baik.
Kawasan Saluki yang merupakan salah satu Disamping itu, burung maleo datang ke lokasi
peneluran terutama untuk bertelur, bukan untuk
habitat alami burung maleo pada Taman Nasional
mencari makan atau minum, walaupun tidak
Lore Lindu telah ditetapkan sebagai salah satu site menutup kemungkinan apabila di sekitar tempat
monitoring spesies prioritas (maleo) pada tahun bertelur dijumpai makanan dan air, maleo akan
2015 berdasarkan Keputusan Kepala Balai Besar makan dan minum sebelum atau sesudah bertelur.
TN Lore Lindu No. 132/Kpts/IV-T.13/2015 tentang (Laban, 2007).
Revisi SK Kepala Balai Besar No. 95/Kpts/IV- Burung maleo termasuk omnivora atau pemakan
T.13/2014 tentang Site Monitoring Spesies segala, makanannya meliputi buah-buahan, biji-
Prioritas Anoa, Babirusa dan Maleo di Taman bijian, serangga, invertebrata lantai hutan, siput
Nasional Lore Lindu yang memiliki luasan sekitar dan kepiting. Burung maleo mencari makan di
± 30 ha dengan ketinggian lokasi sekitar 348 mdpl. lantai hutan dengan cara mencakar-cakar atau
Pada kawasan ini terdapat sumber air panas yang mengais serasah. Burung maleo juga mencari
makan di tepi-tepi sungai, rawa dan danau. Burung-
merupakan faktor pendukung dari keberadaan
burung yang memiliki jenis makanan yang sama
burung maleo berkembang biak dan di dominasi (buah, biji dan invertebrata) dan mencari makan di
oleh jenis-jenis vegetasi sebagai berikut : lantai hutan menjadi pesaing burung maleo dalam
Tabel 1. Jenis pohon yang ditemukan pada site monitoring makanan. Interaksi dalam bentuk komensalisme
No. Nama Jenis Pohon terjadi dengan satwa liar yang memiliki makanan
1 Mussaendopsis beccariana (Pawa) yang sama tetapi melakukan aktivitas makan di
2 Dysoxylum sp. (Tahiti) atas pohon dan karena aktivitasnya membuat
3 Ficus sp. (Nunu) makanan jatuh ke lantai hutan, seperti burung
4 Myristica spp. (Ngkera/Lawedaru) rangkong (Rhyticeros plicatus), Pombo hutan
5 Caryota spp. (Mpora/Mpire) (Ducula consina/Ducula bicolor) dan satwa-satwa
6 Arenga Pinnata (Aren/Saguer) pemakan buah/biji lainnya seperti kuskus
7 Arenga sp. (Take) (Phalanger spp) (Arista dkk, 2015).
8 Elmerilia ovalis (Uru ranto) B. Estimasi Populasi Maleo
9 Strychnos axillaris (Luluna) Pendugaan populasi maleo dalam kegiatan
monitoring ini dilakukan dengan menggunakan
metode perjumpaan langsung dan tidak langsung
(jumlah lubang sarang). Dalam monitoring ini, tim EP = 5% x 1820 x 90
terlebih dahulu menentukan jumlah plot 8
pengamatan berupa plot empat persegi panjang = 1023.75 dibulatkan menjadi 1023
(rectangular plot) dengan ukuran panjang 100 m Koreksi 5% = 0,05 x 1023 = 51.15 dibulatkan
dan lebar 50 m sehingga diketahui jumlah plot menjadi 51
pengamatan sebagai berikut : Sehingga batas atas estimasi populasi maleo =
Luas site monitoring saluki (N) : 30 ha 1023– 51 = 972 ekor
Intensitas sampling(IS) : 5% Nilai tengah dari estimasi populasi berdasarkan
Jumlah unit contoh (n) : (ISxN)/100% = (5% x 30 lubang sarang = (648 + 972)/2 = 810 ekor.
ha)/100% = 1,5 ha Namun diketahui bahwa di kawasan Saluki
Jumlah plot pengamatan : 1,5 ha/0,5 ha = 3 plot terdapat kandang reproduksi semi alami yang
berisikan 4 ekor maleo (1 dewasa, 3 anak maleo)
Untuk pendugaan populasi secara langsung, dan kegiatan pelepasan anakan maleo sampai
selama melaksanakan monitoring tim tidak Desember 2019 yang berjumlah sekitar 20 ekor
menemukan secara perjumpaan langsung maleo (asumsinya anakan maleo tersebut semuanya
pada spot-spot pengamatan yang telah dilakukan hidup). Sehingga populasi maleo di site monitoring
setahun sebelumnya. Hal ini dimungkinkan Saluki pada 2018 diperkirakan yaitu: Estimasi
adanya pergerakan dari satwa maleo yang Populasi maleo = 810 + 4 + 20 = 834 ekor.
semakin tersebar dan gangguan akibat masih Berdasarkan hasil penghitungan tersebut maka
adanya masyarakat yang masuk ke kawasan perkiraan populasi maleo mengalami peningkatan
habitat maleo ini. sesuai perbandingan hasil monitoring yang
Sedangkan pendugaan populasi secara tidak dilakukan tahun-tahun sebelumnya, yaitu sebagai
langsung berdasarkan metode penghitungan berikut :
jumlah sarang pada plot yang telah ditentukan Tabel 3. Data populasi maleo di Site Monitoring Saluki

sebelumnya hasilnya sebagai berikut:


Tabel 2. Data hasil perhitungan sarang

Sumber : Laporan Hasil Kegiatan Monitoring Maleo Site Saluki


2019

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa


perkembangan populasi maleo pada Site
Monitoring Saluki relatif stagnan sejak tahun 2015
walaupun mengalami penurunan pada 2017. Dari
kondisi habitat yang ada, diduga kondisi populasi
EP = 5% x 1820 x 90 maleo di Saluki tidak akan jauh berubah pada
12 tahun tahun berikutnya. Kondisi ini terjadi
= 682.5 dibulatkan menjadi 682 dikarenakan 3 hal, yaitu :
Koreksi 5% = 0,05 x 682 = 34.1 dibulatkan menjadi
1. Keberadaan habitat maleo yang telah
34
terisolasi oleh aktifitas yang tinggi dari manusia.
Sehingga batas bawah estimasi populasi maleo =
682 -34 = 648 ekor
2. Faktor pembatas dari Maleo di Site Monitoring ∑ 𝑅 = 118 / 50 x 100 = 236
Saluki yaitu keberadaan sumber air panas Keterangan :
(geothermal) hanya ada di lokasi tersebut. ER : Tingkat perjumpaan (encounter rate)
Σ f : Jumlah total foto yang diperoleh
3. Kapasitas Nesting Ground Saluki telah Σ d : Jumlah total hari operasi kamera
mendekati maksimum. Indikator yang paling
mudah dinilai adalah tidak adanya perluasan
lokasi peneluran maleo di Saluki. Hanya ada
peningkatan kepadatan sarang karena
penambahan jumlah lubang peneluran.

Kondisi ini memunculkan dugaan kuat bahwa


anakan Maleo yang berasal dari Nesting Ground
Saluki tidak kembali ke sekitar lokasi Saluki untuk
melakukan perkembangbiakan, tetapi memilih
lokasi lainnya yang memiliki gangguan lebih kecil
dan memiliki sumber geothermal untuk melakukan
Gambar 1. Sepasang burung maleo yang terekam kamera trap
perkembangbiakan. Sumber air panas yang ada di
lokasi ini juga dalam kondisi baik. Gangguan yang Berdasarkan pengamatan dari kamera trap dapat
terjadi di lokasi peneluran ini adalah berupa diketahui bahwa burung maleo aktif mencari
pengambilan telur oleh para perotan dan makan dan membuat sarang pada siang hari.
pemancing, namun jumlahnya sangat kecil. Dapat dilihat pula dalam kamera trap maleo selalu
berpasangan satu jantan dan satu betina
Penyebab utama menurunnya populasi burung
(monogami). Selain foto maleo dari hasil
maleo adalah perambahan kawasan hutan dan
perekaman kamera trap juga didapatkan predator
pengambilan telur maleo oleh manusia. Maleo
telur maleo yaitu biawak.
sangat sensitif terhadap segala bentuk aktivitas di
sekitar habitatnya. Jika ada aktivitas manusia di
sekitar lokasi bertelurnya, maleo akan berusaha
mencari lokasi baru untuk bertelur. Aktivitas
seperti perambahan hutan adalah aktivitas
manusia yang paling mengancam kelangsungan
hidup maleo (Arista, 2015).

Hasil Metode Kamera Trap

Tingkat perjumpaan (jumlah foto/100 hari) didapat


dari perhitungan total jumlah foto dibagi total hari
kamera aktif dikali seratus. Faktor pembagi 100 Gambar 2. Predator telur maleo

hari untuk menyamakan waktu satuan usaha yang Menurut Barnard (2003) dalam Panggur (2008),
digunakan (O’Brien et al.2003). Kamera trap perilaku satwa adalah segala proses yang dapat
dipasang dari tanggal 26 September 2019 sampai diamati yang merupakan respon satwa terhadap
tanggal 14 November 2019 atau 50 hari dan perubahan-perubahan yang dirasakannya.
didapatkan 118 foto maleo. Berikut perhitungan Perubahan tersebut berasal dari dalam dirinya dan
tingkat perjumpaan : dari lingkungan sekitarnya. Penurunan populasi
∑ 𝑅 = 𝛴 𝑓 / 𝛴 𝑑 x 100 dapat terjadi akibat ancaman predator seperti
biawak, anjing dan kucing. Predator yang sering Butchart, S.H.M. dkk. 1998. Status Burung Maleo
ditemukan pada malam hari adalah ular, biawak, (Macrocephalon maleo) di Sulawesi Tengah
Bagian Barat dan Sulawesi Selatan Bagian Utara.
kucing, anjing, babi, dan tikus, sedangkan pada Kerjasama FKTNLL dan NRM2 dan Cambridge
siang hari yaitu; burung elang, dan manusia yang University.
mengambil telur. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati.
2014. Panduan Inventarisasi Satwaliar.
KESIMPULAN DAN SARAN
Jakarta.
Kesimpulan Hafsah, Tanari. M, Labiro E. 2013. Upaya
Berdasarkan analisis data menggunakan metode Pelestarian Burung Maleo (Macrocephalon
penghitungan lubang sarang diperoleh hasil maleo) Melalui Pembinaan Habitat. Penelitian
Unggulan Perguruan Tinggi. Universitas
pendugaan jumlah populasi maleo di wilayah Site Tadulako. Palu.
Monitoring Saluki (± 30 ha) mengalami
Laban, L. M. 2007. Pendugaan Populasi,
peningkatan hingga pada periode sekarang. Pada Preferensi Habitat Peneluran dan Pola
2019 ada peningkatan sekitar 1.45% dari total Sebaran Maleo (Macrocephalon maleo Sal
jumlah populasi maleo dari baseline data tahun Muller 1846) Berdasarkan keberadaan
Sarang Di Kawasan Taman Nasional Lore
2018. Hasil ini masih kurang memuaskan Lindu Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi
mengingat peningkatan populasinya kurang Tengah. Skripsi. Departemen Konservasi
signifikan. Berdasarkan analisis Berdasarkan Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
pengamatan dari kamera trap dapat diketahui
bahwa burung maleo aktif mencari makan dan Janna, N. M. 2012. Petunjuk Teknis Inventarisasi
Maleo (Macrocephalon maleo) di Taman
membuat sarang pada siang hari. Selain foto Nasional Lore Lindu. Balai Besar Taman
maleo dari hasil perekaman kamera trap juga Nasional Lindu. Palu
didapatkan predator telur maleo yaitu biawak. Panggur, M. R. 2008. Karakteristik Gundukan
Bertelur dan Perilaku Bertelur Burung Gosong
Saran
Kaki Merah (Megapodius reinwardt Dumont
Perlunya pengawasan yang lebih terhadap jerat 1823) Di Pulau Rincau, Taman Nasional
maleo dan pemberian sanksi yang tegas apabila Komodo. Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor.
didapatkan kasus perburuan maleo. Diperlukan
pula pemasangan perangkap-perangkap bagi Srimulyaningsih, Reni. 2012. Faktor-faktor
Penyebab Kepunahan Banteng (Bos
predator maleo (biawak, ular) di sekitar habitat
javanicus) di Cagar Alam Leuweung Sancang
maleo. Hal itu diindikasikan didapatnya cangkang- Jawa Barat. Tesis. Sekolah Pascasarjana
cangkang telur maleo yang terkelupas pada Institut Pertanian Bogor.
sarang-sarang maleo bertelur. Selain itu tetap
harus selalu dilakukan pembinaan habitat dengan
menanam tumbuh-tumbuhan yang dapat menjadi
pakan maupun tempat perlindungan bagi satwa
maleo.

DAFTAR PUSTAKA

Arista, Kiky, Abdul Wahid, Moh. Ihsan. 2015. Faktor


Penyebab Penurunan Populasi Maleo Senkawor
di Desa Sausu Piore Kabupaten Parigi Moutong
Sulawesi Tengah. WARTA RIMBA Volume 3,
Nomor 2 Hal: 1-8 Desember 2015.

Anda mungkin juga menyukai