Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA Tn. P DENGAN DIAGNOSA MEDIS CKD ON HD


DENGAN SESAK NAFAS DI RUANG HEMODIALISIS
RUMAH SAKIT dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

DISUSUN OLEH :

Desri Handayani
2019.C.11a.1004

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI SARJANA
KEPERAWATAN TAHUN
AJARAN 2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini di susun oleh :

Nama : Desri Handayani


Nim : 2018.C.11a.1004
Program Studi : S-1 Keperawatan
Judul :“Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan pada Tn. P dengan Diagnosa
medis Ckd On Hd Dengan Sesak Nafas di ruang Hemodialisis di Rumah Sakit
dr. Doris Sylvanus PalangkaRaya”
Telah melakukan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan
Praktik Pra Klinik Keperawatan IV Program Studi S-1 Keperawatan Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangkaraya.

Laporan keperawatan ini telah disetujui oleh :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Isna Wiranti ,S.Kep.,Ners Evimira Sukanti, S.Kep., Ners


KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan Pendahuluan yang berjudul
“Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada Tn. P dengan diagnosa medis Ckd On Hd
Dengan Sesak Nafas di ruang Hemodelisis di Rumah Sakit dr. Doris Sylvanus PalangkaRaya
”.Laporan pendahuluan ini disusun guna melengkapi tugas (PPK4).
Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, saya
ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKes Eka Harap Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
3. Ibu Isna Wiranti , S.Kep., Ners selaku pembimbing akademik yang telah banyak
memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian asuhan keperawatan
ini
4. Ibu Evimira Sukanti, S.Kep., Ners selaku pembimbing lahan yang telah banyak arahan,
masukkan, dan bimbingan dalam menyelesaikan asuhan keperawatan ini
5. Ibu Ika Pakaria, S.kep.,Ners selaku koordinator praktik praklinik keperawatan IV Program
Studi Sarjana Keperawatan.
6. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan pengabdian kepada
masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan dan jauh dari
kata sempurna.Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan
sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palangka Raya, 25 September 2022


Penyusun

Desri Handayani
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................................iii

KATA PENGANTAR.............................................................................................................iii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iv

BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………........................1


1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan........................................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................4

2.1 Konsep Penyakit .............................................................................................................4


2.1.1 Definisi .................................................................................................................4
2.1.2 Anatomi Fisiologi.................................................................................................4
2.1.3 Etiologi .................................................................................................................9
2.1.4 Klasifikasi ..........................................................................................................10
2.1.5 Patofisiologi (Pathways).....................................................................................11
2.16 Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)...............................................................14
2.1.7 Komplikasi..........................................................................................................15
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang......................................................................................16
2.1.9 Penatalaksanaan Medis.......................................................................................17
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan...............................................................................24
2.2.1 Pengkajian Keperawatan.....................................................................................24
2.2.2 Diagnosa Keperawatan........................................................................................30
2.2.3 Intervensi Keperawatan.......................................................................................31
2.2.4 Implementasi Keperawatan.................................................................................33
2.2.5 Evaluasi Keperawatan.........................................................................................33
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Gagal Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) saat ini merupakan masalah
kesehatan yang penting mengingat selain insidens dan pravelensinya yang semakin meningkat,
pengobatan pengganti ginjal yang harus di jalani oleh penderita gagal ginjal merupakan
pengobatan yang sangat mahal. Dialisa adalah suatu tindakan terapi pada perawatan penderita
gagal ginjal terminal. Tindakan ini sering juga disebut sebagai terapi pengganti karena berfungsi
menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang sering di lakukan adalah
hemodialisis dan peritonealialisa. Diantara kedua jenis tersebut, yang menjadi pilihan utama dan
metode perawatan yang umum untuk penderita gagal ginjal adalah hemodialisis (Arliza dalam
Nita Permanasari, 2018).
Di Indonesia Prevalensi penyakit Gagal Ginjal Kronik berdasarkan diagnosis dokter pada
penduduk umur ≥15 tahun di tahun 2013 sebanyak 2.0‰ dan meningkat di tahun 2018 sebanyak
3.8 ‰ atau sekitar satu juta penduduk. Sedangkan pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisa di tahun 2015 sebanyak 51.604 pasien, kemudian meningkat ditahun 2017
menjadi 108.723 pasien.

Terapi penggantian ginjal yang tersedia untuk pasien dengan stadiun akhir adalah dialisis dan
transplantasi ginjal (Kallenbach, 2015). Hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang
paling banyak dipilih oleh pasien PGK. Meskipun demikian, tidak semua toksik dapat
dikeluarkan dari tubuh. Tujuan utama hemodialisis adalah menghilangkan gejala yaitu
mengendalikan uremia, kelebihan cairan, dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada
pasien PGK. Hemodialisis efektif mengeluarkan cairan elektrolit dan sisa metabolisme tubuh,
sehingga secara tidak langsung bertujuan untuk memperpanjang umur pasien (Kallenbach,
2015).
Terus meningkatnya angka GGK dengan hemodialisa membuat Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia menetapkan program untuk mengatasinya melalui upaya pencegahan dan
pengendalian penyakit ginjal kronik dengan meningkatkan upaya promotif dan preventif dengan
modifikasi gaya hidup, yaitu dengan melakukan aktivitas fisik teratur, makan makanan sehat
(rendah lemak, rendah garam, tinggi serat), kontrol tekanan darah dan gula darah, monitor berat
badan, minum air putih minimal 2 liter perhari, tidak mengkonsumsi obat-obatan yang tidak
dianjurkan, dan tidak merokok. Selain itu pemerintah juga mendorong implementasi program
Posbindu Pelayanan Penyakit Tidak Menular adar dapat dilakukan deteksi dini terhadap penyakit
gagal ginjal kronik. (KEMENKES, 2018).
Berdasarkan masih tingginya prevalensi angka kejadian CKD on Hd, khususnya di
Indonesia, dan juga melihat dari segi sebab akibat yang dapat di timbulkan, maka saya tertarik
untuk membahas lebih lanjut tentang CKD on Hd dengan sesak nafas dan asuhan keperawatan.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada Tn. M Ckd On Hd Dengan Sesak Nafas di ruang
Hemodialisis di Rumah Sakit dr. Doris Sylvanus PalangkaRaya
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penulisan ini adalah adalah untuk mendapatkan gambaran dan pengalaman
langsung tentang bagaimana menerapkan asuhan keperawatan pada Tn. M Ckd On Hd
Dengan Sesak Nafas di ruang Hemodialisis di Rumah Sakit dr. Doris Sylvanus
PalangkaRaya
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mahasiswa mampu melengkapi asuhan keperawatan pada Tn. M Ckd On Hd Dengan
Sesak Nafas di ruang Hemodelisis di Rumah Sakit dr. Doris Sylvanus PalangkaRaya
1.3.2.2 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian asuhan keperawatan pada Tn. M Ckd On Hd
Dengan Sesak Nafas di ruang Hemodialisis di Rumah Sakit dr. Doris Sylvanus
PalangkaRaya
1.3.2.3 Mahasiswa mampu menganalisa kasus dan merumuskan masalah keperawatan pada
asuhan keperawatan kepada Tn. M dengan diagnosa medis Ckd On Hd Dengan Sesak
Nafas di ruang Hemodialisis di Rumah Sakit dr. Doris Sylvanus PalangkaRaya
1.3.2.4 Mahasiswa mampu menyusun asuhan keperawatan yang mencakup intervensi asuhan
keperawatan kepada Tn. M dengan diagnosa medis Ckd On Hd Dengan Sesak Nafas di
ruang Hemodialisis di Rumah Sakit dr. Doris Sylvanus PalangkaRaya
1.3.2.5. Mahasiswa mampu melakukan implementasi atau pelaksanan tindaakan asuhan asuhan
keperawatan pada Tn. M dengan diagnosa medis Ckd On Hd Dengan Sesak Nafas di
ruang Hemodialisis di Rumah Sakit dr. Doris Sylvanus PalangkaRaya
1..3.2.6 Mahasiswa mampu mengevaluasi hasil dari asuhan keperawatan kepada Tn. M dengan
diagnosa medis Ckd On Hd Dengan Sesak Nafas di ruang Hemodialisis di Rumah Sakit
dr. Doris Sylvanus PalangkaRaya
1.3.2.7 Mahasiswa mampu mendokumentasikan hasil dari asuhan keperawatan kepada Tn. M
dengan diagnosa medis Ckd On Hd Dengan Sesak Nafas di ruang Hemodialisis di Rumah
Sakit dr. Doris Sylvanus PalangkaRaya
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa mampu menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dengan
menerapkan proses keperawatan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama
menempuh pendidikan di Program Studi S1 Keperawatan Stikes Eka Harap Palangka Raya.
1.4.2 Bagi Institusi
1.4.3.1 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan tentang Penyakit Ckd On Hd Dengan Sesak Nafas dan Asuhan
Keperawatannya.
1.4.3.2 Bagi Institusi Rumah Sakit
Memberikan gambaran pelaksanaan Asuhan Keperawatan dan Meningkatkan mutu
pelayanan perawatan di Rumah Sakit kepada pasien dengan diagnosa medis Penyakit Ckd On Hd
Dengan Sesak Nafas melalui Asuhan Keperawatan yang dilaksanakan secara komprehensif.
1.4.4 Bagi IPTEK
Sebagai sumber ilmu pengetahuan teknologi, apa saja alat-alat yang dapat membantu serta
menunjang pelayanan perawatan yang berguna bagi status kesembuhan klien.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Teori
2.1.1 Definisi CKD

Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi ginjal ireversibel di mana terjadi
kegagalan kemampuan tubuh untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan, dan
elektrolit. Dimana kerusakan ini ditandai dengan ketidaknormalan komposisi darah atau urin,
kerusakan ginjal yang berlangsung lebih dari tiga bulan, serta terjadi penurunan LFG kurang dari
60 ml/menit/ 1,73 m² selama tiga bulan (Nurbadriyah, 2021).
Gagal Ginjal Kronik merupakan suatu kondisi dimana organ ginjal sudah tidak mampu
mengangkut sampah sisa metabolik tubuh berupa bahan yang biasanya dieliminasi melalui urin
dan menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan
fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa (Abdul, 2017).
Gagal Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) saat ini merupakan masalah
kesehatan yang penting mengingat selain insidens dan pravelensinya yang semakin meningkat,
pengobatan pengganti ginjal yang harus di jalani oleh penderita gagal ginjal merupakan
pengobatan yang sangat mahal. Dialisa adalah suatu tindakan terapi pada perawatan penderita
gagal ginjal terminal. Tindakan ini sering juga di sebut sebagai terapi pengganti karena berfungsi
menggantikan sebagian fungsi ginjal. Terapi pengganti yang sering di lakukan adalah
hemodialisis dan peritonealialisa. Diantara kedua jenis tersebut, yang menjadi pilihan utama dan
metode perawatan yang umum untuk penderita gagal ginjal adalah hemodialisis (Arliza dalam
Nita Permanasari, 2018).
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel dan progresif dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit sehingga menyebabkan uremia (Black & Hawk dalam Dwy Retno Sulystianingsih,
2018).
Dari beberapa definisi di atas maka penulis menyimpulkan definisi CKD on Hd dengan
Hipotensi adalah Penyakit ginjal yang telah berlangsung lama sehingga menyebabkan gagal
ginjal. Ginjal menyaring kotoran dan kelebihan cairan dari darah. Apabila ginjal tidak berfungsi,
kotoran menumpuk.
2.1.2 Anatomi Fisiologi
Ginjal adalah dua buah organ berbentuk menyerupai kacang merah yang berada di kedua
sisi tubuh bagian belakang atas, tepatnya dibawah tulang rusuk manusia. Ginjal sering disebut
bawah pinggang. Bentuknya seperti kacang dan letaknya di sebelah belakang rongga perut,
kanan kiri dari tulang punggung. Ginjal kiri letaknya lebih tinggi dari ginjal kanan, berwarna
merah keunguan. Setiap ginjal panjangnya 12-13 cm dan tebalnya 1,5-2,5 cm. Pada orang
dewasa beratnya kira-kira 140 gram. Pembuluh-pembuluh ginjal semuanya masuk dan keluar
pada hilus (sisi dalam). Di atas setiap ginjal menjulang sebuah kelenjar suprarenalis (Irianto,
2013).

Struktur ginjal dilengkapi selaput membungkusnya dan membentuk pembungkus yang


halus. Di dalamnya terdapat struktur-struktur ginjal. Terdiri 7 atas bagian korteks dari sebelah
luar dan bagian medula di sebelah dalam. Bagian medula ini tersusun atas 15 sampai 16 massa
berbentuk piramida yang disebut piramis ginjał. Puncak-puncaknya langsung mengarah ke hilus
dan berakhir di kalises. Kalises ini menghubungkannya dengan pelvis ginjal (Irianto, 2013).
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrous tipis dan mengkilat yang disebut kapsula fibrosa (true
capsule) ginjal melekat pada parenkim ginjal.
Di luar kapsul fibrosa terdapat jaringan lemak yang bagian luarnya dibatasi oleh fasia
gerota. Diantara kapsula fibrosa ginjal dengan kapsul gerota terdapat rongga perirenal. Di
sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal atau disebut juga
kelenjar suprarenal yang berwarna kuning. Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh berbagai
otot punggung yang tebal serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan disebelah anterior
dilindungi oleh organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hati, kolon, dan duodenum,
sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh limpa, lambung, pankreas, jejenum, dan kolon (Basuki,
2011).

2.1.3 Etiologi CKD


Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan laju filtrasi glomerulus
atau yang disebut juga penurunan glomerulus filtration rate (GFR). Penyebab gagal ginjal kronik
menurut Andra & Yessie, 2013):
1. Gangguan pembuluh darah : berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabkan iskemik
ginjal dan kematian jaringan ginajl. Lesi yang paling sering adalah Aterosklerosis pada
arteri renalis yang besar, dengan konstriksi skleratik progresif pada pembuluh darah.
Hyperplasia fibromaskular pada satu atau lebih artieri besar yang juga menimbulkan
sumbatan pembuluh darah. Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh
hipertensi lama yang tidak di obati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya
elastistisitas system, perubahan darah ginjal mengakibatkan penurunan aliran darah dan
akhirnya gagal ginjal.
2. Gangguan imunologis : seperti glomerulonephritis
3. Infeksi : dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang berasal dari
kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini mencapai ginjal melalui aliran
darah atau yang lebih sering secara ascenden dari traktus urinarius bagiab bawah lewat
ureter ke ginjal sehingga dapat menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang disebut
pielonefritis.
4. Gangguan metabolik : seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak meningkat
sehingga terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan berlanjut dengan disfungsi
endotel sehingga terjadi nefropati amiloidosis 29 yang disebabkan oleh endapan zat-zat
proteinemia abnormal pada dinding pembuluh darah secara serius merusak membrane
glomerulus.
5. Gangguan tubulus primer : terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam berat.
6. Obstruksi traktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontstriksi uretra.
7. Kelainan kongenital dan herediter : penyakit polikistik sama dengan kondisi keturunan
yang dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantong berisi cairan didalam ginjal dan
organ lain, serta tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat konginetal (hypoplasia renalis)
serta adanya asidosis.

2.1.3 Klasifikasi CKD


Gagal ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan nilai GFR (Glomeruli Fitrate Rate).
Berikut tabel klasifikasi gagal ginjal kronik.
Tabel 2.1: Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik Derajat
No Deskripsi GFR (Ml/min/1,73m2 )

1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal ≥ 90


2 Kerusakan ginjal ringan dengan GFR ringan ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal ringan dengan GFR sedang 59
4 Kerusakan ginjal ringan dengan GFR berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 (atau menjalani
dialisis)

Sumber : National Kidney Foundation (2002)


a. Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :
1. Stadium I : Penurunan cadangan ginjal
a. Kreatinin serum dan kadar BUN normal
b. Asimptomatik
c. Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
2. Stadium II : Insufisiensi ginjal
a. Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam diet)
b. Kadar kreatinin serum meningkat
c. Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan) Ada 3 derajat insufisiensi ginjal :
1. Ringan : 40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2. Sedang : 15% - 40% fungsi ginjal normal
3. Kondisi berat :2 % - 20% fungsi ginjal normal
3. Stadium III : gagal ginjal stadium akhir atau uremia
a. Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
b. Ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan elektrolit
c. Air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010.
Etiologi : Pemeriksaan penunjang:
WOC CKD Penyakit ginjal kronik bisa disebabkan oleh penyakit ginjal hipertensi, 1. Pemeriksaan Laboratorium
nefropati diabetika, glomerulopati primer, nefropati obstruktif, pielonefritis 2. Biopsi ginjal
kronik, nefropati asam urat, ginjal polikistik dan nefropati lupus / SLE, tidak 3. Radiologi
4. USG
diketahui dan lain - lain. Faktor terbanyak penyebab penyakit ginjal kronik
5. EKG
adalah penyakit ginjal hipertensi dengan presentase 37% (PENEFRI, 2014).

Manifestasi klinis:
Gagal ginjal kronik bersifat persisten atau irreversible. Gagal Tanda  gejala yang sering terjadi pada gagal ginjal Kemungkinan
ginjal kronik juga berkaitan dengan ketidakmampuan renal Jaringan ginjal kurang O2 dan nutrisi akan mengalami Edema atau pembengkakan pada mata
berfungsi dengan adekuat untuk keperluan tubuh sehingga kaki, tungkai, atau tangan akibat penumpukan cairan,
memerlukan penanganan berupa dialisis maupun Nyeri dada, terutama jika ada penumpukan cairan pada
transplantasi (Aspiani, 2015). jaringan jantung.Sesak napas, jika ada penumpukan cairan
Chronic Kidney Disease (CKD)

B1 B2 B3 B4 B5 B6
Breathing Blood Brain Bladder Bowel Bone

Penurunan Ginjal tidak dapat Kerusakan sistem Peningkatan Penumpukan Penurunan


kemampuan ginjal membuang kalium saraf aktivitas system zat-zat toksin perfusi jaringan
mengekskresi H+ melalui urine RAA

Penurunan Gangguan
Tirah baring lama
PePh, HCO3, BE produksi urine Retensi air metabolism protein
dan Na dan Foetoruremik
Hiperkalemia
Kelemahan
Asidosis metabolik Iritasi saluran
Penurunan Anoreksia,
kencing nausea, vomitus
Gangguan produksi urine MK: Intoleransi
MK: Risiko
Pernafasan kusmaul konduksi jantung Aktivtas
Perfusi Perifer
Tidak Efektif Oliguri,
Respon Kurangnya asupan
hipotalamus, anuri, edema makanan
Kesulitan bernafas Aritmia
pelapasan mediator
kimiawi (sitokinin,
MK: Risiko MK: Defisit Nutrisi
MK: Pola Napas bradikinin.
Ketidakseimbang
Tidak Efektif
an Cairan
MK: Nyeri Akut
2.1.4 Manifestasi Klinis CKD
Menurut Smelzer dan Bare (2002), manifestasi gagal ginjal kronik terbagi menjadi berbagai
sistem yaitu:
Sistem Manifestasi Klinis
Kardiovaskuler Hipertensi, friction rub perikardial,
pembesaran vena leher

Integumen Edema periorbotal, pitting edema (kaki, tangan,


sacrum).Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit
kering bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan
rapuh, rambut tipis dan kasar,
Pulmoner Crackels , sputum kental dan kiat, nafas dangkal

Gastrointestinal Nafas berbau amonia ulserasi dan perdarahan


lewat mulut, anoreksia, mual dan muntah,
konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran GI
Neuro Kelemahan dan keletihan, konfusi disorientasi,
kejang, kelemahan pada tungkai Kram otot dan
kekuatan otot hilang, fraktur tulang, edema pada
ekstremitas
Muskoloskeletal Kram otot dan kekuatan otot hilang, fraktur
tulang, edema pada ekstremitas Reproduksi
Reproduksi Perkemihan
2.1.5 Komplikasi CKD
1) Hiperkalemia akibat penurunana ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme dan
masukan diet berlebih.
2) Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialysis yang tidak adekuat
3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-
angiotensin aldosteron
4) Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi toksin dna kehilangan drah selama
hemodialisa
5) Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah dan metabolisme vitamin D abnormal.
6) Asidosis metabolic
7) Osteodistropi ginjal
8) Sepsis
9) Neuropati perifer
10) Hiperuremia
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang CKD
Menurut Syamsiah (2011), ada beberapa pemeriksaan diagnostik untuk gagal ginjal
kronik antara lain:
a. Pemeriksaan laboratorium Penilaian GGK dengan gangguan yang serius dapat dilakukan
dengan pemeriksaan laboratorium, seperti kadar serum sodium/natrium dan potassium
atau kalium, pH, kadar serum fosfor, kadar Hb, hematokrit, kadar urea nitrogen dalam
arah (BUN) serum dan konsentrasi kreatinin urin urinalisis. Pada stadium yang cepat
pada insufiensi ginjal, anlisa urine dapat menunjang dan sebagai indikator untuk melihat
kelainan fungsi ginjal, batas kreatinin, urin rata-rata dari urine tampung selama 24 jam.
Analisa urine dapat dilakukan pada stadium gagal ginjal yang mana dijumpai produksi
urine yang tidak normal. Dengan urine analisa juga juga dapat menunjukkan kadar
protein, glukosa, RBC/eritrosit dan WBC/leukosit serta penurunan osmolaritas urin. Pada
gagal ginjal yang progesif dapat terjadi output urin yang kurang dan frekuensi urine
menurun, monitor kadar BUN dan kadar kreatinin sangat penting bagi pasien gagal
ginjal. Urea nitrogen adalah produk akhir dari metabolisme protein serta urea yang harus
dikeluarkan oleh ginjal. Normal kadar BUN dan kreatinin 20:1. Bila ada peningkatan
BUN selalu diindikasikan adanya dehidrasi dan kelebihan intake protein.
b. Pemeriksaan radiologi
Beberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunakan untuk mengetahui gangguan
fungsi ginjal antara lain:
1) Flat-flat radiografi keadaan ginjal, ureter dan vesika urinaria untuk
mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi dan klasifikasi dari gijal. Pada gambaran
ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang mungkin disebabkan adanya proses
infeksi.
2) Computer Tomography Scan yang digunakan untuk melihat secara jelas anatomi
ginjal yang penggunaannya dengan memakai kontras atau tanpa kontras.
3) Intervenous Pyelography (IVP) dugunakan untuk mengevaluasi keadaan fungsi
ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa dugunakan pada kasus gangguan ginjal
yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali kongenital, kelainan prostat,
caculi ginjal, abses ginjal, serta obstruksi saluran kencing.
4) Arteriorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena dan
kapiler ginjal dengan menggunakan kontras.
5) Magnetig Rosonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus yang
disebabkan oleh obstruksi uropathy, ARF, proses infeksi ginjal serta post
transplantasi ginjal.
c. Biopsi ginjal
Untuk mendiagnosa kelainan ginjal dengan mengambil jaringan ginjal lalu dianalisa.
Biasanya biopsi dilakukan pada kasus glomerulonefritis, sindrom nefrotik, penyakit
ginjal bawaan dan perencanaan transplantasi ginjal.

1.1.6 Penatalaksanaan CKD


Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan mencegah
komplikasi, yaitu sebagai berikut (Muttaqin, 2011) :
1) Dialisis Dialisis dapat dilakukan dengan mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hyperkalemia, pericarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein dan natrium dapat dikonsumsi
secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu
penyembuhan luka. Dialisis atau dikenal dengan nama cuci darah adalah suatu
metode terpi yang bertujuan untuk menggantikan fungsi/kerja ginjal yaitu
membuang zat-zat sisa dan kelebihan cairan dari tubuh. Terapi ini dilakukan apabila
fungsi kerja ginjal sudah sangat menurun (lebih dari 90%) sehingga tidak lagi
mampu untuk menjaga kelangsungan hidup individu, maka perlu dilakukan terapi.
Selama ini dikenal ada 2 jenis dialisis :
1. Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser) Hemodialisis atau HD
adalah jenis dialisis dengan menggunakan mesin dialiser yang berfungsi
sebagai ginjal buatan. Pada proses ini, darah dipompa keluar dari tubuh,
masuk kedalam mesin dialiser. Didalam mesin dialiser, darah dibersihkan
dari zat-zat racun melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu
cairan khusus untuk dialisis), lalu setelah darah selesai di bersihkan,
darahdialirkan kembali kedalam tubuh. Proses ini dilakukan 1-3 kali
seminggu di rumah salit dan setiap kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-4
jam.
2. Dialisis peritoneal (cuci darah melalui perut) Terapi kedua adalah dialisis
peritoneal untuk metode cuci darah dengan bantuan membrane peritoneum
(selaput rongga perut). Jadi, darah tidak perlu dikeluarkan dari tubuh untuk
dibersihkan dan disaring oleh mesin dialisis.
2) Koreksi hiperkalemi Mengendalikan kalium darah sangat penting karena
hiperkalemi dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal pertama yang harus
diingat adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan
darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi
hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium,
pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
3) Koreksi anemia Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi factor defisiensi,
kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi.
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Tranfusi
darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya ada infusiensi
coroner.
4) Koreksi asidosis Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari.
Natrium Bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100
mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika diperlukan dapat
diulang. Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
5) Pengendalian hipertensi Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa dan
vasodilatator dilakukan. Mengurangi intake garam dalam mengendalikan hipertensi
harus hati-hati karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
6) g Transplantasi ginjal Dengan pencakokkan ginjal yang sehat ke pasien gagal ginjal
kronik, maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.

1.2 Konsep Teori Sesak Nafas


2.2.1 Definisi
Dipsnea atau sesak napas adalah gejala yang umum terlihat sebagai perasaan nyeri karena
kesulitan bernapas, napas menjadi pendek (sesak napas) dan pasien merasa tercekik pada saat
bernapas. Adanya penggunaan otot-otot pernapasan tambahan seperti otot sterno-
kleidomastoideus, scalenus, trapezius dan pectoralis mayor. Selain itu kadang-kadang juga
disertai pernapasan cuping hidung, akipnea dan hiperventilasi. Akipnea adalah meningkatnya
frekuensi pernapasan melebihi frekuensi pernapasan normal yaitu sampai 20 kali per menit, dan
takipnea ini dapat muncul dengan a tau tampa dipsnea. Hiper ventilasi adalah meningkatnya
pentilasi untuk mempertahankan pengeluaran karbon dioksida normal. (Bararah,2013).
Beberapa teknik olah napas ini tidak hanya khusus dirancang untuk pasien, karena
sebagian dari teknik pernapasan ini dapat bermanfaat untuk berbagai penyakit lainnya. Namun
demikian, ada juga beberapa teknik pernapasan yang memang khusus untuk pasien dengan gejala
sesak yaitu teknik pernapasan Buteyko (Thomas, 2004 dalam Fadhil, 2015).

2.2.2 Etiologi

Sebagian besar kasus sesak nafas terjadi karena kondisi jantung ataupun paru-paru.
Jantung dan paru-paru memiliki peran untuk mengangkut oksigen ke jaringan dan
menghilangkan karbondioksida. Jika salah satu dari proses ini mempengaruhi pernafasan maka
dapat menyebabkan sesak nafas.
Sesak nafas biasanya datang secara tiba-tiba memiliki sejumlah penyebab, seperti :

1. Asma
2. Keracunan karbonmonoksida
3. Gagal jantung
4. Tekanan darah rendah
5. Pneumonia
6. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
7. Obesitas

1.2.3 Manifestasi Klinis


Paru tidak sensitif terhadap nyeri, dan sebagian besar penyakit paru tidak menyebabkan
nyeri. Pleura parietalis bersifat sensitif, dan penyakit peradangan pada pleura parietalis
menimbulkan nyeri dada. Batuk adalah gejala umum penyakit pernapasan, hal ini disebabkan
oleh Stimulasi refleks batuk oleh benda asing yang masuk ke dalam larink, Akumulasi sekret
pada saluran pernapasan bawah. Bronkitis kronik, asma, tuberkulosis, dan pneumonia merupakan
penyakit dengan gejala batuk yang mencolok (Chandrasoma, 2006).
Pemeriksaan sputum/ dahak sangat berguna untuk mengevaluasi penyakit paru. Sediaan apusan
gram dan biakan sputum berguna untuk menilai adanya infeksi. Pemeriksaan sitologi untuk sel-
sel ganas. Selain itu, dari warna, volum, konsistensi, dan sumber sputum dapat diidentifikasi
jenis penyakitnya.
Hemoptisis adalah batuk darah atau sputum dengan sedikit darah. Hemoptisis berulang
biasanya terdapat pada bronkitis akut atau kronik, pneumonia, karsinoma bronkogenik,
tuberkulosis, bronkiektasis, dan emboli paru.
Jari tabuh adalah perubahan bentuk normal falanx distal dan kuku tangan dan kaki,
ditandai dengan kehilangan sudut kuku, rasa halus berongga pada dasar kuku, dan ujung jari
menjadi besar. Tanda ini ditemukan pada tuberkulosis, abses paru, kanker paru, penyakit
kardiovaskuler, penyakit hati kronik, atau saluran pencernaan. Sianosis adalah berubahnya warna
kulit menjadi kebiruan akibat meningkatnya jumlah Hb terreduksi dalam kapiler (Price dan
Wilson, 2006).
Ronki basah berupa suara napas diskontinu/ intermiten, nonmusikal, dan pendek, yang
merupakan petunjuk adanya peningkatan sekresi di saluran napas besar. Terdapat pada
pneumonia, fibrosis, gagal jantung, bronkitis, bronkiektasis. Wheezing/ mengik berupa suara
kontinu, musikal, nada tinggi, durasi panjang. Wheezing dapat terjadi bila aliran udara secara
cepat melewati saluran napas yang mendatar/ menyempit. Ditemukan pada asma, bronkitis
kronik, CPOD, penyakit jantung. Stridor adalah wheezing yang terdengar saat inspirasi dan
menyeluruh. Terdengar lebih keras di leher dibanding di dinding dada. Ini menandakan obstruksi
parsial pada larink atau trakea. Pleural rub adalah suara akibat pleura yang inflamasi. Suara mirip
ronki basah kasar dan banyak (Reviono, dkk, 2008).

2.4 Manajemen Asuhan Keperawatan


2.4.1 Pengkajian
Mendapatkan data identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, alamat, nomor registrasi, dan diagnosa medis.

2.4.2 Riwayat kesehatan


a. Keluhan utama: klien mengeluh sesak nafas, nyeri dada.
b. Riwayat penyakit sekarang: asma, CHF, AMI, ISPA.
c. Riwayat penyakit dahulu: Tidak pernah menderita asma, CHF, AMI, ISPA, batuk.
d. Riwayat penyakit keluarga: Mendapatkan data riwayat kesehatan keluarga pasien
e. Tanda vital : peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, napas cepat dan dalam
(kussmaul), dyspnea

2.4.3 Pola kesehatan fungsional


Hal-hal yang dapat dikaji pada gangguan oksigenasi adalah :
a. Pola manajemen kesehatan-persepsi kesehatan
Bagaimana perilaku individu tersebut mengatasi masalah kesehatan , adanya faktor
risiko sehubungan dengan kesehatan yang berkaitan dengan oksigen.
b. Pola metabolik-nutrisi
Kebiasaan diit buruk seperti obesitas akan mempengaruhi oksigenasi karena ekspansi
paru menjadi pendek. Klien yang kurang gizi, mengalami kelemahan otot pernafasan.
c. Pola eliminasi
Perubahan pola defekasi (darah pada feses, nyeri saat devekasi), perubahan berkemih
(perubahan warna, jumlah, ferkuensi)
d. Aktivitas-latihan
Adanya kelemahan atau keletihan, aktivitas yang mempengaruhi kebutuhan
oksigenasi  seseorang. Aktivitas berlebih dibutuhkan oksigen yang banyak. Orang
yang biasa olahraga, memiliki peningkatan aktivitas metabolisme tubuh dan
kebutuhan oksigen.
e. Pola istirahat-tidur
Adanya gangguan oksigenasi menyebabkan perubahan pola istirahat.
f. Pola persepsi-kognitif
Rasa kecap lidah berfungsi atau tidak, gambaran indera pasien terganggu atau tidak,
penggunaaan alat bantu dalam penginderaan pasien.
g. Pola konsep diri-persepsi diri
Keadaan social yang mempengaruhi oksigenasi seseorang (pekerjaan, situasi
keluarga, kelompok sosial), penilaian terhadap diri sendiri (gemuk/ kurus).
h. Pola hubungan dan peran
Kebiasaan berkumpul dengan orang-orang terdekat yang memiliki kebiasaan
merokok sehingga mengganggu oksigenasi seseorang.
i. Pola reproduksi-seksual
Perilaku seksual setelah terjadi gangguan oksigenasi dikaji
j. Pola toleransi koping-stress
Adanya stress yang memengaruhi status oksigenasi pasien.
k. Keyakinan dan nilai
Status ekonomi dan budaya yang mempengaruhi oksigenasi, adanya pantangan atau
larangan minuman tertentu dalam agama pasien.

2.2.4 Pemeriksaan fisik


a. Kesadaran: kesadaran menurun
b. TTV: peningkatan frekuensi pernafasan, suhu normal
c. Head to toe
1) Mata: Konjungtiva pucat (karena anemia), konjungtiva sianosis (karena hipoksemia),
konjungtiva terdapat petechie ( karena emboli atau endokarditis)
2) Mulut dan bibir: Membran mukosa sianosis, bernafas dengan mengerutkan mulut
3) Hidung : Pernafasan dengan cuping hidung
4) Dada: Retraksi otot bantu nafas, pergerakan tidak simetris antara dada kanan dan kiri,
suara nafas tidak normal.
5) Pola pernafasan: pernafasan normal (apneu), pernafasan cepat (tacypnea), pernafasan
lambat (bradypnea)
2.2.5 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi perfusi


(D.0003 hal. 22)

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak cukupan energi untuk melakukan


aktivitas sehari-hari (D. 0056 Hal 128)

3. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak mampuan pemompaan


jantung yang tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (D. 0011 Hal
41).
2.2.3 Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi


Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan intervensi pasien Observasi:
berhubungan dengan diharapkan :  Monitor pola nafas, monitor saturasi oksigen
ketidakseimbangan ventilasi - Dispneu (5)  Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
perfusi (D.0003 hal. 22) - Penggunaan otot bantu nafas napas
(5)  Monitor adanya sumbatan jalan nafas
- Bunyi napas tambahan (5) Terapeutik
- Gelisah (5)  Atur Interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
- Pola Nafas (5) pasien
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Terapi Oksigen
Observasi:
 Monitor kecepatan aliran oksigen
 Monitor posisi alat terapi oksigen
 Monitor tanda-tanda hipoventilasi
 Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen
Terapeutik:
 Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan trakea, jika
perlu
 Pertahankan kepatenan jalan napas
 Berikan oksigen jika perlu
Edukasi
 Ajarkan keluarga cara menggunakan O2 di rumah
Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan dosis oksigen
Diagnosa Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi

Resiko penurunan curah jantung Setelah dilakukan tindakan Observasi


berhubungan dengan ketidak keperawatan pasien diharapkan :  Periksa sirkulasi perifer (mis: nadi perifer, edema,
mampuan pemompaan jantung pengisian kapiler, warna, suhu, ankle-brachial index)
yang tidak adekuat untuk  Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi (mis:
memenuhi kebutuhan metabolisme diabetes, perokok, orang tua, hipertensi, dan kadar
tubuh (D. 0011 Hal 41). kolesterol tinggi)
 Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada
ekstremitas
Terapeutik
 Hindari pemasangan infus, atau pengambilan darah di
area keterbatasan perfusi
 Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas
dengan keterbatasan perfusi
 Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada area
yang cidera
 Lakukan pencegahan infeksi
 Lakukan perawatan kaki dan kuku
 Lakukan hidrasi
Edukasi
 Anjurkan berhenti merokok
 Anjurkan berolahraga rutin
 Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit
terbakar
 Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah,
antikoagulan, dan penurun kolesterol, jika perlu
 Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara
teratur
 Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta
 Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat (mis:
melembabkan kulit kering pada kaki)
 Anjurkan program rehabilitasi vaskular
 Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi (mis:
rendah lemak jenuh, minyak ikan omega 3)
 Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus
dilaporkan (mis: rasa sakit yang tidak hilang saat
istirahat, luka tidak sembuh, hilangnya rasa).

Diagnosa Tujuan (kriteria Hasil) Intervensi

Intoleransi aktivitas berhubungan


Setelah dilakukan tindakan Observasi
dengan ketidak cukupan energi keperawatan diharapkan :  Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang
mengakibatkan kelelahan
untuk melakukan aktivitas sehari-  Monitor kelelahan fisik dan emosional
hari (D. 0056 Hal 128)  Monitor pola dan jam tidur
 Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas
Terapeutik
 Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
(mis. cahaya, suara, kunjungan)
 Lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif
 Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
 Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
berpindah atau berjalan
Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
 Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
 Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
2.2.4 Implementasi

Implementasi keperawatan adalah tahap keempat yang merupakan tahap pelaksanaan dari
berbagai tindakan keperawatan yang telah direncanakan. Dalam tahap implementasi
keperawatan, petugas kesehatan harus sudah memahami mengenai tindakan yang akan dilakukan
terhadap pasien. Suatu koordinasi dan kerja sama sangatlah penting untuk dijaga dalam tahap
implementasi keperawatan sehingga ketika terjadi hal yang tidak terduga, maka petugas
kesehatan akan berkoordinasi dengan petugas kesehatan yang lainnya untuk saling bekerjasama
dalam pemecahan masalah. Tahap implementasi keperawatan dilakukan untuk melaksanakan
tindakan yang telah direncanakan guna membantu mengatasi masalah yang dialami pasien
(Prabowo, 2018).

2.2.5 Evaluasi

Tahap evaluasi keperawatan ini dapat menilai sejauh mana keberhasilan yang dicapai dan
seberapa besar kegagalan yang terjadi. Dari hasil evaluasi, tenaga kesehatan dapat menilai
pencapaian dari tujuan serta dari hasil evaluasi ini, tenaga kesehatan akan menjadikan hasil
evaluasi ini sebagai bahan koreksi dan catatan untuk perbaikan tindakan yang harus dilakukan
(Prabowo, 2018).

Evaluasi keperawatan disusun dengan menggunakan SOAP yang operasional, seperti :

a. S (Subjektif) adalah ungkapan perasaan maupun keluhan yang disampaikan pasien

b. O (Objektif) adalah pengamatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan melalui sikap ibu
ketika dan setelah dilakukan tindakan keperawatan

c. A (Assesment) adalah analisa tenaga kesehatan setelah mengetahui respon subjektif dan
objektif yang dibandingkan dengan tujuan dan kriteria hasil yang ada pada rencana
keperawatan

d. P (Planning) adalah perencanaan untuk tindakan selanjutnya yang akan dilakukan oleh
tenaga kesehatan setelah melakukan analisa atau assesmen

Anda mungkin juga menyukai