FISIKA
NEUTRON YOGYAKARTA TEMANGGUNG
BAB 1 BESARAN
Besaran adalah sesuatu yang memiliki nilai dan dapat B. BESARAN SKALAR DAN VEKTOR
diukur. Menurut penyusunnya besaran dibagi menjadi
- Besaran skalar: besaran yang hanya memiliki nilai
dua, yaitu besaran pokok dan turunan. Sedang menurut
tetapi tidak memiliki arah, contoh: massa dan
arahnya terbagi menjadi 2, yaitu besaran skalar dan
waktu.
vektor.
- Besaran vektor: besaran yang memiliki nilai dan
arah, contoh: kecepatan, perpindahan, momentum.
A. BESARAN POKOK DAN BESARAN TURUNAN n Dua Vektor Berpadu
- Besaran pokok: besaran yang satuannya telah
( F1 ) + ( F2 ) + 2F1F2 cosθ
2 2
Resultan: R = F1 + F2 =
ditentukan terlebih dahulu.
- Besaran turunan: besaran yang diturunkan dari
( F1 ) + ( F2 ) − 2F1F2 cosθ
2 2
besaran pokok. Selisih: F1 − F2 =
besar (|r|): r = ( x )2 + ( y )2
dr
n Kecepatan: v = atau v(t ) = ∫ a.dt + v0
dt
+ (vy )
2
(vx )
2
besar (|v|): v =
BAB 3 GAYA
Gaya adalah tarikan atau dorongan. w A − wB wA w − wB .sinθ
a= ; a= ; a= A
mA + mB mA + mB mA + mB
∑F = m . a
a = percepatan sistem (massa A dan massa B)
m = massa benda (kg) T = tegangan tali ; TA = TB = T
a = percepatan benda (m/s2) mB = massa B
Konsep: mA = massa A
Resultan gaya ⇒ gaya yang searah dijumlahkan, dan N = gaya normal
yang berlawanan arah dikurangkan.
4. Gaya pada Gerak Melingkar
1. Hukum Newton Gaya sentripetal:
Hukum Newton I v2
n Fs = m = mω 2 R
∑ F = 0 , a = 0, benda diam atau GLB R
Percepatan sentripetal:
n Hukum Newton II
v2
∑ F = m.a , a ≠ 0, benda ber-GLBB as = = ω 2 R
R
Arah F : ke pusat ingkaran.
n Hukum Newton III s
w = berat benda
T = tegangan tali
WA WA
WB WA
5. Pada Kasus Tikungan v = laju maksimum kendaraan
ms = koefisien gesekan statis antara roda dengan jalan
R = jari-jari putaran jalan
q = sudut kemiringan jalan terhadap horizontal
g = percepatan gravitasi
Ketika suatu kendaraan membelok di tikungan, bisa Laju minimum putaran motor:
didekati sebagai gerak melingkar agar tidak terjadi selip
maka: g.R
vmin =
v2 µs
n Tikungan Datar: = µs
R.g
v2 µ + tanθ
n Tikungan Miring: = s
R.g 1 − µ s tanθ
A. USAHA sehingga:
n Laju benda berubah:
Usaha adalah kerja atau aktivitas yang menyebabkan
suatu perubahan, dalam mekanika, kuantitas dari 1 1
W = Ekakhir − Ekawal = mv22 − mv12
suatu kerja atau usaha diberikan sebagai berikut. 2 2
n Posisi tinggi benda berubah:
F cosθ
W = Epakhir − Epawal = mg(∆h)
Jika sebuah benda ditarik dengan gaya sebesar F dan Hukum Kekekalan Energi Mekanik
benda berpindah sejauh S , maka usaha yang dilakukan
gaya terhadap benda adalah: Pada sistem yang konservatif (hanya gaya gravitasi
saja yang diperhitungkan) berlaku kekekalan energi
W = F . S . cos θ
mekanik, yaitu energi mekanik di setiap kedudukan
untuk q = 0o, maka adalah sama besar. Contoh-contohnya:
W =F.S
B. ENERGI
Energi adalah kemampuan untuk melakukan usaha EMA = EMB = EMC
atau kerja.
Dari hukum kekekalan energi mekanik pada kasus
n Energi Kinetik: Ek = 12 m.v 2
gambar-gambar di atas, untuk puncak dan dasar
n Energi Potensial Gravitasi: Ep = m.g.h berlaku:
v A2
n Energi Mekanik: EM = Ek + Ep v A = 2.ghB atau hB =
2.g
Dari penerapan hukum kekekalan energi mekanik, Energi potensial pegas: EP = 12 k.x 2
maka syarat agar bandul bergerak 1 lingkaran penuh Usaha: W = ∆EP = 12 k.x22 − 12 k.x12
adalah:
Laju di titik tertinggi (B): Jika simpangan di mulai dari titik setimbang, maka:
vB = g.R k = konstanta pegas (N/m),
W = EP = 12 k.x 2 x = simpangan pegas (m).
Laju di titik terendah (A):
vB = 5g.R Energi pada Gerak Harmonis
VA
n Energi potensial:
M.m
EP = −G
R
G = konstanta gravitasi
R = jarak 2 massa
M III
g=G
R2
Jika: 2. Gerak Harmonik pada Pegas
luasan I = luasan II = luasan III ⇒ tAB = tCD = n Simpangan
tEF
tAB = waktu dari A ke B
θ
y = A sinθ ϕ= q = wt + qo
c. Hukum Keppler III 2π
“Perbandingan kuadrat periode revolusi
planet (T2) terhadap jari-jari rata-rata planet y : simpangan getar (m)
pangkat tiga (R3) selalu tetap untuk setiap A : amplitudo (simpangan maksimum) (m)
planet.” q : sudut fase
Dirumuskan: w : frekuensi sudut (rad/s)
2 3 q0 : sudut fase awal
TA RA
= n Kecepatan getar
TB RB
v = ω.A cosθ = ω A2 − y 2
B. ELASTISITAS v: kecepatan getar
y: simpangan getar
1. Tegangan 3. Modulus Young
A: amplitudo (simpangan maksimum)
F τ F .L n Frekuensi sudut (rad/s)
τ= Y= =
A ε A.∆L
2π
F : gaya
ω= = 2π f
T
A : Luas penampang
f = frekuensi getaran (Hz)
T = periode getaran (s)
2. Regangan
n Percepatan getar
∆L
ε= a = −ω 2 .A sinθ = −ω 2 y
L
DL : perubahan panjang y : simpangan getar
L : panjang mula-mula A : amplitudo (simpangan maksimum)
n Frekuensi dan periode pada pegas dan
bandul sederhana
C. PEGAS
1 k 1
f= T=
1. Gaya Pada Pegas 2π m f
Jika pegas diberi gaya akan mengalami perubahan k = konstanta pegas
panjang yang dirumuskan:
Sedangkan untuk ayunan bandul sederhana
F = k.x frekuensi diberikan:
F : gaya yang menarik/ 1 g
mendorong pegas f=
2π l
k : konstanta pegas (N/m)
x : perubahan panjang (m) 1 gg : percepatan gravitasi
f=
2π l : panjang tali
BAB 6 IMPULS DAN MOMENTUM
A. IMPULS DAN MOMENTUM B. HUKUM KEKEKALAN MOMENTUM
3
Benda panjang, homogen, 1
diputar tepat di tengah I= ml2
12 n Energi Kinetik
4 Bola berongga 2 Untuk benda menggelinding (rotasi & translasi)
I= 3 mR2
1
5 Bola pejal 2
Ektranslasi = .m.v 2
I= 5 mR2 2
1 2 1 v 1
6 Silinder berongga tipis I = mR2 Ekrotasi = .I.ω = .(kmR 2 )( )2 = .km.v 2
2 2 R 2
7 Silinder pejal 1 1 2
I= 2 mR2 Ektotal = Ektranslasi + Ekrotasi = mv (1 + k)
2
8 Silinder berongga tidak tipis I= 1
2 m(R12 + R22)
n Kesetimbangan Rotasi
Setimbang rotasi jika di setiap titik tumpu: jumlah
momen gaya = 0 ⇒ ∑τ = 0
- Jika terdapat gaya w, F, dan T bekerja pada
Ektotal = 12 m.v 2 (1 + k ) ; m.gh = 12 m.v 2 (1 + k ) batang seperti gambar:
2g.h
vA = ;vA = laju di dasar
(1 + k )
n Momentum Sudut
L = I.ω
∑ Lsebelum = ∑ Lsesudah - Jika sistem tetap dalam keadaan setimbang
rotasi maka:
n Usaha dan Daya pada Gerak Rotasi
W
∑τ = 0
Usaha: W = τ .θ Daya: P= ⇔ (w) (RW ) . sin θW + (F ) (RF ) . sin θF - (T )(RT ) sin θT = 0
t
⇔ (w) (RW ) . sin θW + (F ) (RF ) . sin θF = (T ) (RT ) sin θT
B. KESETIMBANGAN BENDA TEGAR
n Titik Berat
Benda dikatakan setimbang jika benda tidak bergerak a. Titik berat benda pejal homogen
(percepatan = 0) baik secara translasi atau secara rotasi. No Bentuk Benda Titik Berat
n Secara Translasi 1 Silinder pejal yo = ½ t
- Gaya-gaya dalam arah mendatar haruslah = 0 2 Bola pejal yo = R
∑ Fx = 0 3 Limas pejal yo = ¼ t
- Gaya-gaya dalam arah vertikal haruslah = 0 4 Kerucut pejal yo = ¼ t
∑F =0
y
5 Setengah bola pejal yo = 3/8 R
Sehingga jika diberikan kasus setimbang di b. Titik berat benda homogen berbentuk garis
bawah: No Bentuk Benda Titik Berat
1. Garis lurus y0 =
1
2 l
θ
2. Busur lingkaran y0 = R =
AB
AB
Busur setengah
3. y0 = 2 πR
lingkaran
4. Segitiga siku-siku x0 = 1
x ; y0 = 1
y
∑ Fx = 0 ⇒ w2 – Tcosq = 0 ⇒ w2 = Tcosq
3 3
2. Kulit limas y0 =
1
3 t
F1 F F
= 2 = 3 3. Kulit setengah bola y0 =
1
R
sinθ1 sinθ2 sinθ3 2
4. Kulit silinder y0 = 1
2 t
yo =
∑w y
n n
=
w1 y1 + w2 y2 + w3 y3 + ... besaran di atas.
∑w n w1 + w2 + w3 + ...
w = berat benda
BAB 8 GELOMBANG
A. GELOMBANG MEKANIK
Gelombang adalah getaran yang merambat/energi Perut
yang menjalar.
Setiap gelombang memiliki cepat rambat:
l
v = l. f =
T
n Persamaan Gelombang
v = cepat rambat gelombang (m/s) 1. Gelombang berjalan
l = panjang gelombang (m) + awal gelombang merambat ke atas
f = frekuensi gelombang (Hz) = jumlah gelombang tiap
waktu
T = periode gelombang (s) = waktu untuk terjadi satu Y = ± A sin(wt + kx + qo )
gelombang
Jarak tempuh gelombang: s = v ´t dan t = waktu (s)
– awal gelombang merambat ke bawah
n Beberapa Bentuk Gelombang
Sudut fase: q = (wt ± kx + qo )
q q
Fase: j = =
2p 3600
2. Gelombang stasioner
– Ujung terikat
Ujung
Y = 2 A sin(kx)cos(wt - k)
– Ujung bebas
Ujung
Y = 2 A cos(kx)sin(wt - k)
A : amplitudo gelombang transversal
2p w
w : frekuensi sudut: w = 2p. f = Ûf=
T 2p
f : frekuensi dan T: periode
2p 2p
k : bilangan gelombang: k = Û l =
l k
l : panjang gelombang
x : posisi dan t : waktu
l : panjang tali
Cepat rambat gelombang dapat juga dirumuskan: n Frekuensi pada Dawai dan Pipa organa
w
– Frekuensi Getaran Dalam Dawai:
v = l.f = (n + 1)
k fn = ´v
2L
n Percobaan Melde – Frekuensi Pipa Organa Terbuka:
(n + 1)
fn = ´v
2L
– Frekuensi Pipa Organa Tertutup:
(2n + 1)
fn = ´v
4L
Didapat cepat rambat gelombang pada dawai:
n = 0, 1, 2, 3, ....
F n = 0 Þ nada dasar
v=
m n = 1 Þ nada atas I
F = gaya tegangan tali (N) n = 2 Þ nada atas II
m = massa dawai sepanjang L (kg)
n Efek Doppler
L = panjang dawai (m)
m = massa per satuan panjang dawai (kg m s–1), – Jika sumber bunyi dan pendengar relatif
m mendekat, maka frekuensi terdengar lebih
dengan m =
L tinggi ( fp > fs ) .
– Jika sumber bunyi dan pendengar relatif
B. GELOMBANG BUNYI menjauh, maka frekuensi terdengar lebih
n Jenis bunyi berdasarkan frekuensinya rendah ( fp < fs ) .
1. Infrasonik; frekuensi < 20 Hz, dapat didengar – Jika sumber bunyi dan pendengar relatif diam,
oleh jangkrik dan anjing.
maka freku-ensi terdengar sama ( fp = fs ) .
2. Audiosonik; frekuensi antara 20 Hz-20.000
Hz, dapat didengar oleh manusia. v ± vp
3. Ultrasonik; frekuensi > 20.000 Hz, dapat fp = ´ fs
didengar oleh lumba-lumba dan kelelawar. v ± vs
Bunyi dengan frekuensi teratur disebut nada, vp (+): pendengar mendekat sumber bunyi.
tinggi rendahnya nada ditentukan oleh frekuensi vs (+): sumber bunyi menjauh pendengar.
bunyi.
n Cepat Rambat Bunyi n Energi Bunyi dan Daya
– Cepat rambat bunyi dalam gas. Energi Gelombang:
RT
Berdasarkan Hukum Laplace: v = g 1
M E = mA2 w 2 = 2p2 m. f 2 .A2
R = konstanta gas umum = 8,31 x 10 3 J mol–1 K–1 2
T = suhu mutlak
M = berat molekul (kg mol–1) E
Daya: P=
g = konstanta Laplace, bergantung jenis gas t
B
– Cepat rambat bunyi dalam zat cair: v = n Intensitas Bunyi (Daya tiap satu-satuan luas)
r
B = modulus Bulk, (N m ) -2 P E
I= =
r = massa jenis zat cair, (kg m-3) A A.t
– Cepat rambat bunyi dalam zat padat:
E P
v= Untuk luasan bola: I=
ρ 4pr 2
E = modulus Young zat padat, (N m-2) Taraf intensitas bunyi adalah tingkat/derajat
r = masa jenis zat padat, (kg m-3) kebisingan bunyi. Batas kebisingan bagi telinga
manusia: 10-12 watt.m-2 sampai 1 watt.m-2.
Taraf Intensitas Bunyi diberikan: n Kuat Medan Listrik dan Kuat Medan Magnetik
I Persamaan medan listrik dan magnetik masing-
TI = 10log (desi Bell atau dB)
I0 masing:
Perbedaan taraf intensitas bunyi terjadi karena E = Emaks cos(kx - wt )
perbedaan jarak. B = Bmaks cos(kx - wt )
Sumber bunyi Maka akan diperoleh hubungan:
I2
TI2 = TI1 + 10log
r1 I1 Emaks E w
=- = = c
TI1 r2 Bmaks B k
makin jauh TI TIn = TI1 + 10log n
Emaks = amplitudo medan listrik , (N/C)
TI2 semakin kecil
Bmaks = amplitudo medan magnetik, (Wb/m2)
C = laju gelombang elektromagnetik dalam vakum
Taraf intensitas bunyi n kali sumber Þ makin
banyak makin besar. n Intensitas (laju energi tiap luasan) Gelombang
TI1 : taraf intensitas 1 sumber bunyi Elektromagnetik
TIn : taraf intensitas n kali sumber bunyi Intensitas gelombang elektromagnetik (laju energi
per m2) disebut juga Poynting (lambang S), yang
C. GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK nilai rata-ratanya:
Kecepatan rambat gelombang elektromagnetik dalam P Em .Bm E 2 c.B 2
vakum memenuhi hubungan: S =I = = = m = m
A 2mo 2mo .c 2mo
1
C= n Rapat Energi Rata-rata
mo eo
mo = permeabilitas vakum (4p x 10-7 Wb/A.m) S
u=
eo = permitivitas vakum (8,85 x 10-12 C2/N.m2) c
A. HUKUM COULOMB ®
q = sudut antara E dan garis normal luasan
Besar gaya: å q = muatan total yang dilingkupi oleh permukaan
tertutup
q1 .q2
F = k. 2. Energi Potensial Listrik
r2
q.q '
EP = k
r
3. Potensial Listrik
EP
V= Û EP = q.V
Jika tidak dalam ruang hampa, maka: q
1 Potensial oleh muatan titik potensial:
k= q
4per .eo V =k
r
eo = permitivitas listrik dalam hampa V = potensial listrik pada jarak r dari muatan sumber (V)
er = permitivitas relatif bahan (di hampa er = 1 ) q = muatan sumber (C)
r = jarak titik terhadap muatan sumber (m)
B. MEDAN LISTRIK DAN KUAT MEDAN LISTRIK
Medan Listrik: daerah dimana gaya listrik masih
terjadi. r2
F
Kuat medan: E = atau Gaya listrik: F = q.E
q Potensial listrik di titik P yang ditimbulkan oleh 4
E : kuat medan listrik, merupakan besaran vektor. muatan sumber q1, q2, q3 dan q4 ditulis:
®
Medan listrik merupakan vektor, arah E menjauhi VP = V1 + V2 + V3 + V4
muatan sumber positif dan menuju muatan negatif. q q q q
= k 1 +k 2 -k 3 -k 4
r1 r2 r3 r4
E Vt otal = e = V1 = V2 = V3
j
a b (Itotal )(Rtotal ) = I1R1 = I2R2 = I3R3
i
Untuk penghantar kawat homogen dan berpenampang n Susunan Jembatan Wheatstone
L
lintang sama, besaran r disebut hambatan peng-
A
hantar. Jadi:
L
R=r
A
r = hambatan jenis bahan logam (W m), Cara menentukan hambatan ekivalen pada
L = panjang penghantar (m), susunan (rangkaian) jembatan Wheatstone.
A = luas penampang lintang penghantar (m2), Jika R1.R4 = R2.R3, maka R5 tidak berfungsi (dapat
R = hambatan penghantar (W). dihilangkan),
Nilai hambatan penghantar logam dapat berubah
dikarenakan perubahan suhu:
Rt = Ro (1 + a.DT )
Jika R1.R4 ¹ R2.R3, maka hambatan ekivalennya
dapat diselesaikan dengan transformasi D (delta)
menjadi Y (star) sebagai berikut.
F m0 .I1 .I2
=
L 2.p.a
Gerak melingkar muatan pada medan magnet 1 2.m.(DV )
n R=
homogen B q
Bila partikel bermuatan bergerak dalam medan n Gerak lurus muatan pada medan magnet dan
magnet homogen secara tegak lurus, maka yang listrik saling tegak lurus
terjadi partikel akan bergerak dengan lintasan
melingkar. Jari-jari lintasan diberikan:
m.v E
R= v=
q .B B
Jika muatan dipercepat dengan beda potensial
DV maka:
A = luas permukaan,
a = sudut antara vektor B dengan garis normal A. Bila kawat PQ digeser ke kanan, maka luasan
segiempat akan berubah (bertambah besar/
B. HUKUM FARADAY DAN HUKUM LENZ berkurang) ® Fluks juga berubah ® timbul
GGL:
Hukum Imbas Faraday
Gaya gerak listrik (GGL) dalam sebuah rangkaian e = -.B.v
sebanding dengan laju perubahan fluks yang melalui B = kuat medan magnet (T),
rangkaian tersebut. l = panjang kawat PQ,
dF v = laju gerak kawat PQ (m/s).
e = -N Untuk menentukan arah arus dapat diatur dengan
dt
kaidah tangan kanan II
DF
Untuk GGL rata-rata: e = -N
Dt
N: banyaknya lilitan
Tanda negatif (–) menujukkan fluks yang muncul
melawan perubahan. Seperti dijelaskan pada hukum
Lenz.
Hukum Lenz
“Arus imbas akan muncul di dalam arah yang
sedemikian rupa sehingga arah tersebut menentang n Kawat diputar sejajar bidang yang tegak lurus B
perubahan yang menghasilkannya.”
Bila kawat OP diputar maka luasan juring OPQ
akan berubah ® Fluks juga berubah ® timbul W = 12 L.I 2
GGL. Besarnya:
n Induktansi Bersama/Silang
B.p.2
e=
T
l = panjang kawat OP (jari-jari)
T = periode ( waktu 1 kali putar)
n Generator AC
Pembuatan generator AC didasari pada konsep
GGL yang timbul pada kumparan primer (e1)
perubahan fluks magnetik akibat perubahan
maupun sekunder (e2) akibat fluks pada kumparan
sudut.
primer/sekunder disebut induksi silang atau
e = NBA(w)sin(wt ) induksi timbal balik.
Besarnya GGL induksi adalah:
Besarnya GGL maksimum: e = NBAw – Di kumparan 1:
w = laju putaran sudut dF dI
n Transformator e1 = -N1 12 = -M12 2
dt dt
– Di kumparan 2:
VS NS dF21 dI
= e2 = -N2 = -M21 1
VP NP dt dt
– NP dan NS = jumlah lilitan pada kumparan primer N1 = jumlah lilitan di kumparan 1,
dan sekunder, N2 = jumlah lilitan di kumparan 2,
– VP dan VS = Tegangan primer dan sekunder. dF12 = perubahan fluks, timbul oleh kumparan 2 di
kumparan 1,
dF21 = perubahan fluks, timbul oleh kumparan 1 di
Efisiensi trafo diberikan:
kumparan 2,
P V .I dI1 = perubahan arus di kumparan 1 (A),
h= S = S S
PP VP .IP dI2 = perubahan arus di kumparan 2 (A),
M12 = induktansi bersama dari kumparan 1 terhadap
PP = daya kumparan primer (watt), kumparan 2,
PS = daya kumparan sekunder (watt). M21 = induktansi bersama dari kumparan 2 terhadap
kumparan 1.
n Induktansi Diri
dI DI Besar induktansi bersama:
eind = -L atau eind = -L
dt Dt N1 .F12 mo N1 .N2 . A1
M12 = =
L = induktansi diri (henry), I2 2
1 henry = 1 volt.detik/ampere.
N .F m N .N . A
Untuk solenoida atau toroida: M21 = 2 21 = o 1 2 2
I1 1
mr m0 N 2 A
L=
D. ARUS AC
N = jumlah lilitan solenoida atau toroida,
A = luas penampang solenoida atau toroida (m2),
n Sumber arus dan tegangan AC
l = panjang solenoida atau keliling toroida (m), e = NBAw sin(wt ) = emax .sin(wt ) atau lebih sering
mr = permeabilitas relatif bahan ; mr = 1 (untuk ditulis:
hampa). V = Vmax .sin(wt )
Energi yang tersimpan dalam solenoida atau I = Imax .sin(wt )
toroida adalah:
n Nilai rata-rata arus dan tegangan bolak-balik
– XC reaktansi kapasitif (nilai hambatan pada
2.I 2.V induktor)
Ir = maks dan Vr = maks
p p 1
XC =
n Nilai efektif arus dan tegangan bolak-balik w.C
I V – Z = Impedansi (nilai hambatan total)
Ieff = maks dan Veff = maks 2
2 2 Z = R 2 + ( XL - X C )
n Rangkaian seri R, L, dan C – Fasa antara arus dan tegangannya adalah:
R
cos q =
Z
Ketika XL = XC hal ini disebut keadaan
“RESONANSI”, yang terjadi ketika frekuensi (f)
tegangan AC adalah:
VR = VR-max sin(wt - q) 1 1
f=
2p LC
VL = VL-max sin(wt - q + 90o ) 2
V = VR2 + (VL - VC )
n Daya pada rangkaian arus bolak-balik
VC = VC -max sin(wt - q - 90o )
– Daya sesaat:
Karena pada rangkaian seri ® arus sama besar æ 1 ö
maka: P = Vmaks Imaks çççcos q sin2 wt + sin q sin2wt ÷÷÷
è 2 ø
2
I.Z = (I.R)2 + ((I. XL ) - (I. XC ))
– Daya Rata-rata:
1
– XL reaktansi induktif (nilai hambatan pada P = Vmaks Imaks cos q atau P = Veff .Ieff cos q
induktor) 2
4. Hukum Archimedes
2g cos q
“Sebuah benda yang tercelup ke dalam zat y=
cair (fluida) mengalami gaya apung yang rgr
besarnya sama dengan berat zat cair yang Keterangan:
dipindahkannya.” y = selisih tinggi permukaan zat cair (m),
g = tegangan permukaan (Nm –1),
Fa = r.g.V r = massa jenis zat cair (kg/m –3),
g = percepatan gravitasi (m s –2),
r = jari-jari pipa kapiler (m).
r = massa jenis air (kg/m3),
g = percepatan gravitasi bumi (m/s2),
B. FLUIDA
V = volume benda yang tercelup (m3),
Fa = gaya apung = gaya Archimedes (N).
1. Fluida Bergerak V = volume (m3)
Akibatnya berat benda di dalam zat cair lebih v = laju aliran (m/s)
V
kecil daripada beratnya di udara. Q= = A.v Q = debit (m3/s)
t t = waktu (sekon)
w f = w - Fa A = luas (m2)
w = berat benda di udara 2. Persamaan Kontinuitas
wf = berat benda di dalam zat cair
Fa = gaya apung Q1 = Q2
– Benda akan tenggelam, jika r benda > r zat cair A1 .v1 = A2 .v2
– Benda akan melayang, jika r benda = r zat cair
– Benda akan terapung, jika r benda < r zat cair
Pada kasus terapung berlaku: 3. Persamaan Bernoulli
rbenda .Vbenda = rcair .Vcelup
5. Tegangan Permukaan
F
g=
Berlaku: v1 = kecepatan zat cair yang melewati A1 (m/s),
v2 = kecepatan zat cair yang melewati A2 (m/s),
P + 12 r.v 2 + r.g.h = kons tan h = selisih tinggi zat cair di dalam pipa U (m),
P1 + 12 rv12 + rgh1 = P2 + 12 rv22 + rgh2 g = percepatan gravitasi (m/s2),
r = massa jenis zat cair di dalam tabung aliran
(kg/m3).
Penggunaan Persamaan Bernoulli Pada venturimeter dengan manometer
r = massa jenis zat cair di dalam pipa U,
1. Pipa mendatar (sering pakai Hg) (kg/m3). Untuk mencari v1
dapat digunakan rumus:
A1.v1 = A2.v2
4. Tabung Pitot
Karena v1 < v3 < v2 maka berlaku: P1 > P3 > P . Tabung Pitot adalah alat untuk mengukur laju
2
2. Bejana dengan Lubang Aliran aliran gas. Ditunjukkan gambar berikut ini.
(1)
(2)
v2 = 2g (h1 - h2 ) GA
h 1 = h2
v2 = 2.g.h h
x = 2 h(h2 )
2.g.h(r ¢)
3. Venturimeter v1 =
r
Digunalan untuk mengukur laju aliran fluida.
Ada 2 jenis venturimeter, yaitu: v1 = laju gas dalam pipa aliran (ms–1),
a. Venturimeter tanpa manometer r = massa jenis gas (kgm–3),
r’ = massa jenis air raksa (kgm–3),
g = percepatan gravitasi (ms–2),
Laju aliran fluida di
h = selisih tinggi permukaan air raksa (m).
bagian pipa besar:
5. Gaya Angkat Sayap Pesawat Terbang
2.g.h
v1 =
æé ù2 ö÷
çç ê A1 ú ÷
çç ê ú - 1÷÷
çè ë A2 û ø÷÷
DV = g.Vo.DT
Vo = volume mula-mula (m3),
DV = perubahan volume (m3),
DT = perubahan suhu (Co),
g = koefisien muai volume ( /Co), g = 3 a.
X - X0 Y -Y0 Setelah suhu naik DT, luasnya menjadi:
=
Xt - X 0 Yt -Y0 V = Vo + DV
– X : suhu yang ditunjukkan termometer X,
– Y : suhu yang ditunjukkan termometer Y. Hukum pada Pemuaian Gas
Hukum Boyle–Gay Lussac
Untuk skala Celcius, Fahrenheit, Reamur, dan Kelvin “Perbandingan antara hasil kali tekanan dan volume
hubungannya adalah sebagai berikut: gas dengan suhu mutlaknya (satuan Kelvin) adalah
konstan.”
P .V
= tetap
T
DL = a.Lo. DT Q = m . c . DT
hX = hY
AX .(TX - T ) AY .(T - TY )
kX = kY
LX LY
BAB 15 TEORI KINETIK GAS DAN TERMODINAMIKA
V2 P 1 Proses Adiabatik
W= ò P.dV P : tekanan gas (Pa)
V : volume gas (m3) P2
C Proses Isotermik
V1
T1
Sehingga jika diberikan perubahan tekanan 2
P1 T2
terhadap volume (grafik P – V), maka: V
P A V1 V2
a
B. CERMIN CEKUNG DAN CERMIN CEMBUNG
M
b
1. Pembentukan Bayangan pada Cermin Cekung dan
Cembung Sifat bayangan: maya, tegak, diperkecil.
q1 n1 nk
n2 > n1 r1 N
d
n2 i2
q2
r2
n2 sin q1 v1 l1 t
= = =
n1 sin q2 v2 l2 t = pergeseran sinar
sin(i1 − r1 ) d = tebal kaca planparalel
t =d
q1 = sudut datang; q2 = sudut bias cos(r1 ) i1 = sudut datang mula-mula
n1 = indeks bias mutlak medium I r1 = sudut bias di dalam kaca
n2 = indeks bias mutlak medium II
v1 = kecepatan cahaya dalam medium I 5. Pembiasan Cahaya pada Prisma
v2 = kecepatan cahaya dalam medium II
l1 = panjang gelombang cahaya dalam medium I
l1 = panjang gelombang cahaya dalam medium II
n2
= indeks bias relatif medium II terhadap medium I
n1
2. Pemantulan Sempurna
h ' n1 s ' a
Perbesaran: M = = ´
h n2 s
n1 = indeks bias medium tempat benda berada F1 O F2
n2 = indeks bias medium tempat pengamatan c
s = jarak benda b
s’ = jarak bayangan
R = jari-jari kelengkungan 3. Lensa Cembung (Konveks, Lensa Positif (+))
Perjanjian tanda untuk s, s’ dan R: Lensa cembung terdiri dari lensa cembung–
cembung (bikonveks (a)), lensa cembung datar
s (-) = (benda maya) jika letak benda di belakang (plankonveks (b)), lensa cekung cembung (konkaf
permukaan sferik. konveks (c))
s’ (-) = (bayangan maya) jika letak bayangan di
depan permukaan sferik.
R = (+) jika titik pusat kelengkungan di belakang
permukaan sferik, (-) jika titik pusat a b c
kelengkungan di depan permukaan sferik.
Depan permukaan sferik = tempat di mana sinar Sinar-sinar istimewa pada lensa cembung:
datang. a. Sinar datang sejajar sumbu utama dibiaskan
melalui titik fokus.
D. LENSA b. Sinar datang melalui titik pusat lensa tidak
dibelokkan.
1. Lensa Tipis c. Sinar datang melalui titik fokus dibiaskan
Jarak fokus pada lensa tipis: sejajar sumbu utama.
f = jarak fokus lensa tipis depan (+) belakang
1 æç nL öæ 1 1ö
= ç - 1÷÷÷çç + ÷÷÷ nL= indeks bias lensa
b
ç
f è nm ÷
øè R1 R2 ÷ø
ç nm= indeks bias medium tempat
lensa berada a
R1= jari-jari kelengkungan I c
R2= jari-jari kelengkungan II
F2 O F1
4. Metode Penomoran Ruang untuk Lensa b. Cacat mata miopi (rabun jauh)
Titik dekat: PP = ± 25 cm dan
depan belakang
Ruang (+) Titik jauh: PR << ~
benda 4 100
3 2 1
Ditolong pakai lensa negatif: p = -
PR
Ruang M1 F1 O F2 M2
bayangan I II III c. Hipermetropi (rabun dekat)
IV Titik dekat: PP > ± 25 cm dan
depan belakang Titik jauh: PR = ~
(-)
Ruang IV Di tolong dengan lensa positif:
bayangan 100 100
III II I p= -
Ruang M2 F2 O F1 M1 sn PP
benda 1 2 3
4 Biasanya sn = 25 cm.
Postulat pertama:
“Hukum-hukum fisika dapat dinyatakan dalam
persamaan yang berbentuk sama dalam semua
kerangka acuan inersial”
Postulat kedua:
Laju peluru C menurut pengamat A
“Kelajuan cahaya dalam ruang hampa adalah sama
adalah:
untuk semua pengamat, tidak bergantung pada gerak
relatif antara pengamat dan sumber cahaya” v + vBC
v AC = AB
v .v
1 + AB 2 BC
Akibat postulat kedua Einstein besaran-besaran fisika c
nilainya menjadi bersifat relatif bergantung pada
kerangka acuan satu dengan lainnya (pembuktian Catatan:
dengan perhitungan transformasi Lorentz). Jika arah berlawanan laju bertanda negatif (–).
B KECEPATAN RELATIVITAS
Kecepatan bersifat relatif yang berdasar teori relativitas
khusus dapat digambarkan dengan:
A Catatan:
v = 0,6c Þ 1 - v 2 / c2 = 0,8
VAC
v = 0,8c Þ 1 - v 2 / c2 = 0,6
m0 mo c2
m= Et = 2
= m.c2
1- v2 1 - v2
c2 c
q = muatan partikel,
DV = beda potensial.
BAB 19 ATOM HIDROGEN
X = lambang atom (unsur, partikel juga) Defek massa inilah yang digunakan sebagai energi
Z = nomor atom (jumlah proton) pengikat inti, disebut energi ikat inti.
A = nomor massa (jumlah proton + netron)
Eikat = Dm.c2 (kgm2 /s2 )
Jumlah neutron: N = A – Z
Eikat = Dm.(931 MeV )
Untuk Atom bukan ion Z selain menujukkan jumlah
proton, juga menujukkan jumlah elektron.
Untuk unsur yang sama ® memiliki Z yang sama
C. RADIOAKTIVITAS
meskipun A kadang berbeda (isotop). Contoh:
Tembaga: 61 63 65 n Kestabilan inti atom ditentukan oleh banyaknya
29 Cu , 29 Cu , 29 Cu , dan lainnya.
proton (Z) dan netron (N) dalam inti. Syarat nuklida
Karbon: 116C , 126C , 146C , dan lainnya. mantap:
Simbol nomor atom dan nomor massa juga dipakai – Untuk Z ≥ 20 , nilai NZ = 1
untuk partikel-partikel: N
– Untuk (20 < Z < 83), nilai Z ±1,5
Elektron = 0
Sinar g = 0 n Nuklida-nuklida yang tidak stabil akan berusaha
-1 e 0g = Gel. Elektro
= sinar b magnet untuk menjadi stabil dengan beberapa cara
seperti: ( nuklida sebutan ZA X )
– Meluruh, memancarkan partikel beta negatif
Positron = 10 e Detron = 12H (e = -1b0) hingga muncul unsur baru dengan Z
(inti dari atom detrium 12H ) tambah 1 dan N kurang 1 dari sebelumnya.
– Meluruhkan partikel beta positif (e+ = +1b0),
Proton = 11 p Triton = 3 hingga ada unsur baru dengan Z kurang 1 dan
1H
N tambah 1 dari sebelumnya.
– Meluruh dengan memancarkan partikel
Neutron = 01n Neutrino = 0
0n alfa (2He4), sehingga Z berkurang 2 dan N
Sinar a = inti He berkurang 2.
Antineutrino = 00n – Selain peluruhan dapat juga proses penang-
4
= 2 He
kapan e dan e+.
n Proses inti meluruh menuju stabil sering disebut n Ketetapan pada Reaksi Inti
radioaktivitas yang reaksinya dapat dituliskan: Misalkan diberikan reaksi inti seperti di bawah:
A A–q q
ZX Z–k
Y + k P eX
a
+ fP
b
® gY
c
+ h R d + Q(energi )
Zat Unsur Yang
tersisa baru Diluruhkan Pada Reaksi inti (termasuk peluruhan) selalu
Yang mana jumlah zat tersisa terhadap waktu dari berlaku:
hasil eksperimen dapat digambarkan: – Hukum kekekalan nomor atom
Jumlah nomor atom, sebelum reaksi =
sesudah reaksi
t
æ 1 öT e + f = g +h
N = No .ççç ÷÷÷ 12 – Hukum kekekalan nomor massa
è2ø
Jumlah nomor massa, sebelum reaksi =
sesudah reaksi
a + b = c +d
– Hukum kekekalan energi
N = jumlah zat sisa (menujuk kuantitas zat: massa, Jumlah energi, sebelum reaksi = sesudah
jumlah partikel, mol, %, bagian), reaksi
No = jumlah awal (menujuk kuantitas zat: massa,
Dengan 1 sma setara 931 MeV, maka:
jumlah partikel, mol, 100%, 1 bagian),
t = waktu berjalan, Q = {(mx + mp) – (my + mR)} × 931MeV
T 12 = waktu paruh (saat N = ½ No).
Q > 0 dibebaskan energi (eksotermik)
Untuk tiap-tiap zat radioaktif memiliki waktu Q < 0 diserap energi (endotermik)
paruh sendiri-sendiri yang sering juga dinyatakan – Hukum kekekalan momentum Linier
dengan konstanta peluruhan (l). Jumlah momentum linier, sebelum reaksi =
ln 2 0,693 sesudah reaksi
l= 1 = momentum (eXa) + momentum (fPb) =
T2 T 12
momentum (gYc) + momentum (hRd)
– Hukum kekekalan momentum Sudut
D. REAKSI INTI Jumlah momentum sudut, sebelum reaksi =
sesudah reaksi
Reaksi inti adalah proses perubahan susunan inti atom
akibat tumbukan dengan partikel-partikel atau inti lain
yang berenergi tinggi dan terbentuklah inti baru yang
berbeda dengan inti semula.
n Contoh-contoh:
a. Reaksi Fusi (terbentuk inti atom yang lebih
berat)
2
He4 + 7N14 → 8O17 + 1H1
2
He4 + 4Be9 → 6C12 + 0n1
b. Reaksi Fisi (terbentuk inti atom-atom lebih
ringan)
U235 + 0n1 →
92
Xe140 + 38Sr94 + 2(0n1) + Energi
54
Li7 + 1p1 →
3
He4 + 2He4
2