Anda di halaman 1dari 26

MODUL INTERVENSI KELOMPOK

METODE TERAPI FEMINIS SEBAGAI BENTUK PELATIHAN

PENCEGAHAN DEPRESI PADA MAHASISWA YANG MENGALAMI

ABUSIVE RELATIONSHIP

Disusun oleh:

1. Resatyana Eldra Novera (1511417027)

2. Yunika Dwi Saputri (1511417031)

3. Alfa Angelia (1511417119)

4. Rizka Wibi Amalia (1511417131)

Rombel: 3

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-

Nya yang telah dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan

modul intervensi kelompok yang berjudul “Pelatihan Pencegahan Depresi” yang

merupakan salah satu tugas intervensi psikologi klinis dan non klinis pada

semester lima. Shalawat dan salam semoga selalu tersampaikan kepada Nabi

Agung Muhammad SAW, semoga kita tergolong umatnya dan mendapatkan

syafaatnya amin.

Dalam kesempatan ini tidak lupa kami menyampaikan ucapan terima kasih

kepada semua pihak yang telah membantu dalam membuat dan penyusunan

modul intervensi kelompok ini, diantaranya:

1. Dra. Tri Esti Budiningsih, S.Psi., M.A.

2. Fatma Kusuma Mahanani, S.Psi., M.Psi., Psikolog

3. Rekan-rekan kelompok yang telah membantu dalam pembuatan dan

penyusunan modul intervensi kelompok ini.

Dalam penyusunan modul intervensi kelompok ini kami menyadari bahwa

masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharap kritik dan

saran yang dapat membangun dari pembaca. Semoga modul intervensi kelompok

ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca khususnya.

Semarang, 4 November 2019

2
DAFTAR ISI

Halaman

COVER…………………………………………………………………………... 1

KATA PENGANTAR…………………………………………………………… 2

DAFTAR ISI……………………………………………………………………... 3

PENDAHULUAN……………………………………………………………….. 4

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………….. 5

1.2 Urgensi Intervensi……………………………………………………………. 6

1.3 Rumusan Masalah……………………………………………………………. 6

1.4 Tujuan Intervensi…………………………………………………………….. 6

1.5 Manfaat Intervensi………………………………………………………….... 7

1.6 Sasaran Intervensi…………………………………………………………..... 7

1.7 Waktu Pelaksanaan…………………………………………………………... 7

LANDASARN TEORI…………………………………………………………... 9

2.1 Depresi…………………………………………………..…………………… 9

2.1.1 Pengertian Depresi……………………………………………………….. 9

2.1.2 Aspek-Aspek Depresi……………………………………………...…..... 11

2.1.3 Bentuk-Bentuk Depresi………………………………………………..... 15

2.1.4 Jenis Depresi…………………………………………………………..... 17

2.2 Terapi Feminis……………………………………………………………… 19

2.2.1 Pengertian……………………………………………………………….... 19

2.2.2 Teknik-Teknik dalam Terapeutik………………………………………. 20

3
2.3 Masa Dewasa…………………………………………………………… .. 22

2.4 Kerangka Berpikir………………………………………………………… 23

BLUE PRINT MODUL………………………………………………………... 24

PENJABARAN SESI-SESI……………………………………………………..26

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...

LAMPIRAN…………………………………………………………………….

4
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa dewasa adalah salah satu tahap perkembangan yang akan dilalui oleh

setiap manusia. Menurut Erikson, masa dewasa terjadi pada rentang usia 19-40

tahun. Di dalam tahap ini individu akan melalui fase yang bernama intimacy vs

isolation. Dimana pada fase ini individu akan mulai menjalin sebuah hubungan

dengan orang lain, namun apabila ikatan tersebut gagal yang akan terjadi adalah

muncul rasa keterasingan dan jarak kepada orang lain.

Ketika individu mulai menjalin relasi dengan orang lain tentunya akan

memiliki dampak positif dan negatif. Namun, dalam pembahasan masalah ini

penulis akan berfokus pada dampak negatif yang dialami oleh mahasiswa dalam

relasi romantisnya. Dampak negatif yang sering dialami oleh mahasiswa di dalam

relasi romantisnya adalah pengalaman mendapatkan tindakan abuse atau

kekerasan yang dilakukan oleh pasangan mereka. Dilansir dalam CATAHU

KOMNAS Perempuan 2019, kasus abusive relationship yang dilaporkan langsung

kepada KOMNAS Perempuan naik menjadi 1.750 kasus dari 1.528 kasus. Masih

banyak kasus serupa yang belum terkuat ataupun tertangani oleh pihak

berwenang. Artinya kasus ini tidak berhenti sampai disini dan masih banyak

kasus-kasus yang lain yang harus digali.

Kurangnya kesadaran mengenai pentingnya kesetaraan gender membuat

banyak korban lebih memilih untuk diam daripada harus mendapat tekanan lebih.

Sehingga mereka cenderung akan menutup diri dari segala interaksi dengan orang

5
lain. Hal inilah yang membuat mereka kerap kali merasakan stres, depresi, trauma

hingga melakukan suicide.

Dalam modul ini, penulis akan menggunakan metode terapi feminis yang

berangkat dari pemahaman mengenai kesetaraan gender yang berguna untuk

membantu mencegah gangguan depresi yang dialami oleh korban abusive

relationship.

1.2 Urgensi Intervensi

Banyaknya kasus depresi yang dialami oleh mahasiswa khususnya yang

biasanya terjadi karena masalah percintaan yang membuat individu merasa tidak

bisa mengontrol emosinya dan melakukan tindakan yang dapat merugikan dirinya

sendiri yaitu melakukn aksi bunuh diri. Untuk itu metode terapi feminis sebagai

bentuk pelatihan pencegahan depresi sangat diperlukan untuk bisa mengurangi

tingkat depresi pada mahasiswa yang mengalami abusive relationship.

1.3 Rumusan Masalah

Apakah pelatihan pencegahan depresi dengan menggunakan metode terapi

feminis dapat menurunkan tingkat depresi pada mahasiswa unnes?

1.4 Tujuan Intervensiv

Tujuan intervensi kelompok ini adalah:

1. Untuk meningkatkan pengetahuan mengenai bahaya depresi dan bagaimana

pencegahannya.

2. Untuk meningkatkan kesadaran akan kesataran gender sebagai bentuk

penanggulangan depresi dalam suatu hubungan.

6
1.5 Manfaat Intervensi

Dengan diberikan metode terapi feminis ini diharapkan mampu mengurangi

tingkat depresi pada mahasiswa, dan diharapkan mahasiswa mampu untuk bisa

mengelola emosinya dengan baik dan menyelesaikan setiap permasalahan yang

ada dengan baik supaya tidak menjadi beban, tertekan dan mencegah terjadinya

depresi.

1.6 Sasaran Intervensi

Untuk sasaran intervensi ini adalah mahasiswa UNNES yang bertempat

tinggal di RUSUNAWA PUTRI UNNES di Kalisegoro Gn.Pati Semarang.

Karakteristik subjeknya adalah:

1. Perempuan

2. Mahasiswa UNNES

3. Bertempat tinggal di Rusunawa

4. Usia 19-25 tahun

1.7 Waktu

No Waktu Kegiatan Alat dan Bahan Fasilitator


1 08.00- Persiapan dan Sepeda montor 4
08.10 perjalanan menuju (Eldra, Yunika,
Asrama Putri UNNES Alfa, Wibi)
2 08.10- Menyiapkan untuk - Laptop 4
08.30 penyampaian materi - LCD (Eldra,
Yunika, Alfa,
Wibi)
3 08.30- SESI 1 : - 4
08.45 Tahap perkenalan dan (Eldra, Yunika,
menjelaskan maksud Alfa, Wibi)
dan tujuan, dan ice - Ice
breaking breaking :
Wibi
4 08.45- SESI 2 : - PPT Sesi 1: Yunika
09.30 Pemberian materi dan - Buku Sesi 2 : Alfa

7
FGD - Bulpoin Sesi 3:
Cooedinator
FGD
5 09.30- SESI 3 : - Lembar - Coordinator
11.00 Peserta dibagi menjadi permasalahan roleplay:
tiga kelompok untuk Eldra
melakukan roleplay.
Dimana peserta akan
diposisikan dirinya
sebagai korban dan
juga orang yang
melihat perilaku abuse
terhadap pasangannya
6 11.00- SESI 4 : - - Alfa
11.30 diskusi dan evaluasi
7 11.30- SESI 5 : Kenang-kenangan 4
11.45 Pemberian motivasi (Eldra, Yunika,
dan penutup Alfa, Wibi)

8
LANDASAN TEORI

2.1Pengertian Depresi

2.1.1 Pengertian

Menurut KBBI mahasiswa adalah seseorang yang belajar diperguruan

tinggi, di dalam struktur pendidikan di Indonesia mahasiswa memegang status

pendidikan tertinggi diantara yang lain. Dalam hal ini mahasiswa dituntut untuk

bisa mengatasi segala problematika dalam perkuliahan. Tidak jarang mereka harus

menghadapi kejadian-kejadian yang menekan khususnya pada mahasiswa tingkat

pertama, ia harus berpisah dengan orang tua, sahabat, perpindahan tempat tinggal,

perubahan sistem pendidikan, dan pertentangan sistem nilai. Selain hal tersebut

banyak konflik yang menyertai seperti pertentangan dengan pasangan, rendahnya

prestasi akademik, konflik dengan teman, dan lain-lain.

Secara tidak langsung mahasiswa harus menyelesaikan konflik-konflik atau

segala permasalahannya secara mandiri. Kegagalan mahasiswa untuk mengatasi

permasalahan dan melakukan penyesuaian terhadap kejadian-kejadian yang

menekan tersebut akan memicu timbulnya depresi pada mahasiswa (Fisher, 1988;

Mazure, 1998; Rey, 1995). Menurut pandangan kognitif, reaksi emosi muncul

ketika individu menghadapi situasi tertentu. Reaksi emosi seseorang ditentukan

oleh bagaimana individu menginterpretasikan pengalaman-pengalamannya

terhadap situasi tersebut (Beck, 1985; Burns, 1988). Pemikiran individu terhadap

situasi menekan yang dihadapi akan menentukan kualitas dan intensitas reaksi

emosi (Lazaruz, 1991). Martin dan Dahlen (2005) dalam penelitiannya

9
menemukan bahwa pemikiran-pemikiran negative dapat memunculkan reaksi

emosi yang negative pada diri seseorang. Pemikiran-pemikiran tersebut adalah

menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain dan lingkungan, ruminasi, dan

katastrofi. Keempat pemikiran negative tersebut menurunkan penilaian positif dan

penerimaan akan situasi yang dihadapi. Selain itu, pemikiran-pemikiran negative

tersebut berhubungan dengan depresi.

Depresi diartikan sebagai suatu bentuk emosi yang bercirikan kesedihan

yang hebat, merasakan kegagalan, ketidakberhargaan dan penarikan diri dari

orang lain (Sue, dkk, 1986). Trisna (dalam Hadi, 2004) juga mengatakan bahwa

depresi adalah suatu perasaan sendu atau sedih yang biasanya disertai dengan

diperlambatnya gerak dan fungsi tubuh, mulai dari perasaam murung sampai

keadaan tak berdaya. American Psychological Association (2000) memberikan

definisi bahwa depresi merupakan perasaan sedih atau kosong yang disertai

dengan penurunan minat terhadap aktifitas yang menyenangkan, terjadi gangguan

tidur dan pola makan, penurunan kemampuan konsentrasi, perasaan bersalah yang

berlebihan. Menurut Holmes (1997), symptom utama gangguan depresi adalah

masalah yang berhubungan dengan mood.individu merasa tertekan, murung,

sedih, putus asa dan kecewa. Individu yang mengalami depresi juga sering merasa

diisolasi, ditolak dan tidak dicintai. Individu yang mengalami depresi kadang-

kadang menggambarkan diri mereka seolah-olah sendirian di dalam lubang yang

gelap dan tidak dapat keluar.

Beck (1985; Dowd, 2004; Greenberger & Padesky, 1995) mengemukakan

bahwa depresi ditandai dengan pandangan negative mengenai diri sendiri, dunia,

10
dan masa depan. Individu dapat mengalamai depresi karena ia memiliki skema

kognitif yang negative. Skema kognitif ini dikembangkan dari masa kanak-kanak

atau remaja dan bersifat disfungsional. Skema kognitif yang negative tersebut

dapat mengantarai munculnya depresi ketika individu mengalami kejadian-

kejadian yang menekan dengan cara menginterpretasikan dan memberikan

pandangan yang negative terhadap kejadian-kejadian yang menekan (Beck, 1985;

Dowd, 2004).

Dari pengertian depresi diatas dapat disimpulkan bahwa depresi adalah

perasaan tidak ada harapan lagi yang ditandai dengan kemurungan, sedih,

terpuruk, putus asa, mengasihani diri sendiri, rasa bersalah, yang mendalam dan

berkelanjutan sehingga kehilangan minat dari berbagai aktivitas serta menarik diri

hingga hilangnya kegairahan hidup untuk periode paling sedikit dua minggu.

2.1.2 Aspek-Aspek Depresi

Depresi terdiri dari beberapa aspek (Nevid, Rathus & Greene, 2005), yaitu:

a. Emosional, terdiri dari (1) Perubahan pada mood (periode terus-menerus dari

perasaan terpuruk, depresi, sedih atau muran). (2) Penuh airmata atau

mennagis. (3) Meningkatnya iritabilitas (mudah tersinggung), kegelisahan,

atau kehilangan kesabaran.

b. Motivasi, terdiri dari (1) Perasaan tidak termotivasi, atau memiliki kesulitan

untuk memulai (kegiatan) di pagi hari atau bahkan sulit bangun dari tempat

tidur. (2) Menurunnya tingkat partisipasi sosial atau minat pada aktivitas

sosial kehilangan kenikmatan atau minat dalam aktivitas menyenangkan. (3)

11
Menurunnya minat pada seks. (4) Gagal untuk berespons pada pujian atau

reward.

c. Perilaku motoric, terdiri dari (1) Bergerak atau berbicara dengan lebih

perlahan dari biasanya. (2) Perubahan dalam kebiasaan tidur (tidur terlalu

banyak atau terlalu sedikit, bangun lebih awal dari biasanya dan merasa

kesulitan untuk kembali tidur di pagi buta disebut mudah terbangun di pagi

buta). (3) Perubahan dalam selera makan (makan terlalu banyak atau terlalu

sedikit). (4) Perubahan dalam berat bedan (bertambah atau kehilangan berat

badan). (5) Berfungsi secara kurang efektif daripada biasanya di tempat kerja

atau di sekolah.

d. Kognitif, terdiri dari (1) Kesulitan berkonsentrasi atau berfikir jerniah. (2)

Berfikir negative mengenai diri sendiri dan masa depan. (3) Perasaan bersalah

atau menyesal mengenai kesalahan dimasa lalu. (4) Kurangnya self-estreem

atau merasa tidak adekuat. (5) Berfikir akan kematian atau bunuh diri

Terdapat enam aspek atau gejala depresi menurut Beck dan Alford (2009),

yaitu:

a. Aspek Emosi

Individu yang mengalami depresi akan mengalami perubahan perasaan atau

suasana hati. Selain itu, individu juga memiliki perilaku yang secara langsung

menunjukkan perasaannya tersebut. Beerapa perubahan emosi yang mungkin

dialami oleh individu yang mengalami gangguan depresi, yaitu perasaan sedih,

perasaan negative terhadap diri sendiri, perasaan tidak puas, hilangnya kelekatan

12
emosional dengan orang lain, meningkatnya intensitas menangis, serta hilangnya

rasa humor.

b. Aspek Kognitif

Individu yang memiliki gangguan depresi juga menunjukkan gejala adanya

distorsi kognitif atau kesalahan berfikir terhadap diri sendiri, pengalaman, serta

masa depan. Individu dengan gangguan depresi memilik harga diri yang rendah,

pesimisme, menyalahkan diri sendir, kesulitan dalam mengambil keputusan, serta

kesalahan dalam menilai penampilan fisiknya.

c. Aspek Motivasi

Individu dengan gangguan depresi memiliki tingkat motivasi yang rendah.

Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku yang dapat menunjukkan tingkat motivasi

individu. Individu yang mengalami gangguan depresi dapat ditandai dengan tidak

munculnya keinginan, keinginan untuk keluar dari rutinitas, keinginan untuk

bunuh diri, serta bergantung pada orang lain.

d. Aspek Fisik

Individu yang mengalami depresi akan menunjukkan gejala-gejala yang

berhubungan dengan fisik dan perilaku alamiah. Individu dengan gangguan

depresi dapat mengalami gangguan tidur, hilangnya nafsu makan, hilangnya

gairah seksual, dan mudah lelah. Delusi Individu yang mengalami gangguan

depresi juga dapat ditandai dengan munculnya delusi atau distorsi kognitif

mengenai dirinya sendiri maupun yang berhubungan dengan orang lain. Ada

beberapa kategori delusi, seperti delusi bahwa dirinya tidak berharga, penuh dosa,

kenihilan, somatik, serta kemiskinan.

13
F. Halusinasi

Halusinasi juga terkadang muncul sebagai salah satu gejala individu yang

mengalami gangguan depresi. Individu akan melihat, mendengar, ataupun

merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau tidak jerjadi. DSM V (2013)

juga merumuskan aspek-aspek depresi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut: a.

Afektif Aspek afektif menunjukkan penyimpangan emosi yang dialami oleh

penderita depresi. Individu yang memiliki gangguan depresi akan merasakan

kesedihan, kehampaan, serta perasaan yang sering berubah-ubah dan cenderung

lebih sensitif. B. Somatik Aspek somatik menunjukkan adanya perubahan fisik

sebagai salah satu gejala depresi. Penderita depresi akan merasakan berbagai

perubahan fisik, seperti kelelahan, perubahan pola makan, penurunan kualitas

tidur, hingga perubahan berat badan. C. Kognitif Aspek kognitif menunjukkan

adanya perubahan cara pandang atau kesalahan berpikir pada penderita depresi.

Individu yang memiliki gangguan depresi akan memiliki pikiran bahwa dirinya

tidak berguna, kesulitan untuk berkonsentrasi, hingga munculnya pikiran untuk

bunuh diri. 18 Berdasarkan aspek-aspek yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

penulis ingin menegaskan bahwa penelitian ini akan mengacu pada aspek aspek

depresi yang dikemukakan oleh Beck dan Alford (2009), yaitu aspek emosi,

kognitif, emosional, fisik, delusi, serta halusinasi.

DSM V (2013) juga merumuskan aspek-aspek depresi menjadi tiga, yaitu

sebagai berikut: 1) Afektif Aspek afektif menunjukkan penyimpangan emosi yang

dialami oleh penderita depresi. Individu yang memiliki gangguan depresi akan

merasakan kesedihan, kehampaan, serta perasaan yang sering berubah-ubah dan

14
cenderung lebih sensitif. 2) Somatik Aspek somatik menunjukkan adanya

perubahan fisik sebagai salah satu gejala depresi. Penderita depresi akan

merasakan berbagai perubahan fisik, seperti kelelahan, perubahan pola makan,

penurunan kualitas tidur, hingga perubahan berat badan. 3) Kognitif Aspek

kognitif menunjukkan adanya perubahan cara pandang atau kesalahan berpikir

pada penderita depresi. Individu yang memiliki gangguan depresi akan memiliki

pikiran bahwa dirinya tidak berguna, kesulitan untuk berkonsentrasi, hingga

munculnya pikiran untuk bunuh diri.

2.1.3 Bentuk –Bentuk Depresi

Bentuk-bentuk gangguan depresi menurut DSM-V:

1. Gangguan Depresi Mayor (MDD)

Disebut juga depresi berat. Episode depresi mayor melibatkan perubahan

yang signifikan secara klinis dalam fungsionalitas seseorang yang melibatkan

serangkaian symptom depresif, termasuk mood depresi (merasa sedih, tidak punya

harapan, atau terpuruk) dan atau hilangnya minat atau kesenangan dalam semua

atau hampir semua aktivitas paling tidak selama dua minggu (APA, 2013).

Depresi mayor bukan hanya kondisi kesedihan atau murung. Orang dengan

gangguan depresi mayor (MDD) mungkin memiliki selera makan yang rendah,

turunnya atau meningkatnya berat badan secara signifikan, memiliki masalah tidur

atau tidur terlalu lama, dan secara fisik terganggu atau pada kondisi ekstrem

lainnya menunjukkan pelambatan pada aktivitas motoric (pergerakan) mereka.

Gangguan depresi mayor adalah jenis paling umum dari gangguan mood

yang terdiagnosis. Survey berskala nasional terkini menunjukkan prevalensi

15
gangguan ini di sepanjang hidup adalah sekitar 12% pada pria, 21% pada wanit,

dan 16,5% secara keseluruhan (Conway et al, 2006; Forgeard et al.,2011). Hampir

8 % dari orang dewasa AS saat ini menderita gangguan depresi mayor (National

Center for Health Statistics, 2012). Depresi mayor adalah masalah kesehatan

publik yang utama, tidak hanya mempengaruhi fungsi psikologis seseorang, tetapi

juga melumpuhkan kemampua seseorang untuk memenuhi tanggung jawab

sekolah, pekerjaan, keluarga dan sosial (Pratt & Brody, 2008).

2. Gangguan Depresi Persisten (Distimia)

Orang dengan gangguan depresi persisten dapat memiliki gangguan depresi

mayor yang kronis atau bentuk depresi kronis yang lebih ringan atau distimia

(dysthymia). Distimia umumya dimulai pada masa kecil atau remaja dan

cenderung menjadi kronis selama masa dewasa. Kata distimia berasal dari bahasa

Yunani, dys-, yang berarti “buruk” atau “keras”, dan thymos, yang berarti “jiwa”.

Distimia mempengaruhi sekitar 4% dari populasi umum pada periode

tertentu dalam hidup mereka (Conway et al., 2006). Seperti gangguan depresi

mayor, distimia lebih umum ditemukan pada wanita daripada laki-laki.

3. Gangguan Disforik Pramenstruasi (PMDD)

PMDD adalah bentuk yang lebih parah dari sindrom pramenstruasi

(premenstrual syndrome, PMS) yang merupakan sekelompok symptom fisik dan

yang berhungan dengan mood selama periode pramenstruasi wanita. Diagnosis

dari PMDD ditujukan pada wanita yang mengalami berbagai symptom psikologis

yang signifikan satu minggu sebelum menstruasi (dan peningkatan dimulai dalam

waktu beberapa hari setelah dimulainya menstruasi).

16
Beberapa symptom harus muncul untuk dapat mendiagnosis PMDD,

termasuk symptom seperti perubahan mood, rasa ingin menangis atau kesedihan

yang muncul tiba-tiba, mood tertekan atau merasa tidak memiliki harapan, mudah

tersinggung atau marah, merasa cemas, tegang, berdebar-debar, lebih sensitive

terhadap isyarat penolakan, dan pikiran negative tentag diri sendiri.

Penyebab dari PMS dan gangguan disforik pramenstruasi masih belum

jelas, peneliti mencurigai bahwa PMS melibatkan interaksi kompleks antara

hormon seksual wanita dan neurotransmitter (Backstrom et al., 2008; Kiesner,

2009). Faktor psikologis, seperti sikap wanita terhadap menstruasi, juga dapat

berperan. Penelitian terkini menunjukkan bahwa tingkat hormon seksual wanita

yang normal dapat memicu reaksi emosional negative pada wanita dengan

PMDD, tetapi tidak pada wanita yang sehat (Baller et al., 20013; Eppersonm

2013).

2.1.4 Jenis-Jenis Depresi

Maslim (2003) membagi tingkatan depresi menjadi tiga tingkatan depresi

beserta ciri-cirinya sebagai berikut:

A. Depresi Ringan dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. Sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala utama depresi.

2. Ditambah sekurang-kurangnya dua dari gejala lainnya: 1-7.

3. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.

4. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang

dilakukannya. B. Depresi Sedang dengan ciri-ciri sebagai berikut:

17
1. Sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala utama depresi pada episode

depresi ringan.

2. Ditambah sekurang-kurangnya tiga (dan sebaiknya empat) dari gejala lainnya

3. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.

4. Menghadapi kesulitan nyata dalam untuk meneruskan kegiatan sosial,

pekerjaan dan urusan rumah tangga. 19

C. Depresi berat terbagi atas dua jenis, yaitu:

1. Depresi berat tanpa gejala psikotik, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

(a) Semua dengan tiga gejala utama depresi harus ada

(b) Ditambah sekurang-kurangnya empat dari gejala lainnya, dan beberapa

diantaranya harus berintensitas berat

(c) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang

mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan

banyak gejalanya yang secara rinci

(d) Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,

akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih

dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2

minggu, sangat tidak mungkin pasien akan mampu merumuskan kegiatan sosial,

pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali padaa taraf yang sangat terbatas. 2.

Depresi berat dengan gejala psikotik, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a)

Episode depresif berat yang memenuhi kriteria dari depresif berat tanpa gejala

psikotik, (b) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya

melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan

18
pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik

biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau 20

daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stuor.

2.2 Terapi Feminis

2.2.1 Pengertian

Kemunculan terapi feminis tidak pernah lepas dari gerakan feminisme.

Terdapat tiga kelompok gerakan feminisme yang berpengaruh pada kemunculan

teori feminis. Brown (2006:16); Corey (2005:344) menyebutkan bahwa kelompok

feminis sosialis berusaha untuk mendekonstruksi kualitas hubungan antara laki-

laki dan perempuan. Kelompok feminis ini beranggapan bahwa perempuan

memiliki karakteristik unik dan berhak untuk dimuliakan dan juga setara dengan

laki-laki. Corey (2005:344); Brown (2006:16) menyebutkan bahwa kelompok

feminis radikal berupaya merasionalkan bahwa laki-laki adalah masalah bagi

kaum perempuan. Sistem patriarki juga merupakan penyebab terjadinya

penindasan yang dialami oleh kaum perempuan. Sedangkan kelompok feminis

liberal merupakan kelompok yang paling moderat diantara kelompok feminis

lainnya. Feminis liberal membenarkan perempuan bekerja sama dengan laki-laki

dan diintegrasikan ke dalam semua peran. Dengan kata lain kelompok

mempercayai bahwa tidak ada kaum yang lebih dominan.

Secara mendasar terapi feminis merupakan representasi dari pandangan

konseptual untuk mengorganisasi asumsi tentang konseling dan psikoterapi. Salah

satu landasan yang paling penting dalam terapi ini adalah pemahaman mengenai

konsep feminisme. Barbara Brown (2006: 1-2) menjelaskan mengenai terapi

19
feminis yang memiliki dua hal pokok yakni pertama, memperkaya kajian secara

rasional pada bidang yang berkaitan dengan sex, gender, psikologi perempuan,

keragaman budaya dan empowerment. Kedua, mengeksplorasi keunggulan secara

psikologis terhadap hubungan yang egaliter antara konselor dengan konseli.

Pendekatan feminis berupaya untuk meminimalisir ketidakadilan dalam prosedur

penilaian secara psikologis agar menjadikan pihak perempuan menjadi lebih baik.

2.2.2 Teknik-Teknik dalam Terapeutik

Corey (2005: 358-362) menjelaskan mengenai teknik dan strategi yang

dikembangkan sebagai berikut:

a. Pemberdayaan.

Kekuatan terapi feminis adalah memberdayakan klien. Terapis membantu

klien agar dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mempunyai partisipasi yang

seimbang dalam masyarakat.

b. Keterbukaan

Hubungan antara terapis dengan klien dibangun melalui keterbukaan. Tidak

hanya melalui sharing information dan pengalaman tetapi ada hubungan timbal

balik antar terapis dan klien.

c. Menganalisis peran gender

Terapis mengeksplorasi harapan-harapan klien yang berkaitan dengan peran

gender dan dampaknya pada pengambilan keputusan untuk masa yang akan

datang.

d. Intervensi peran gender

20
Terapis memberikan pemahaman yang menekankan pada perbedaan peran

antara laki-laki dengan perempuan.

e. Bibliotherapy

Terapis memakai sumber-sumber seperti buku non fiksi, buku teks

bimbingan & konseling, autobiografi, video pendidikan & pengetahuan sebagai

bahan diskusi bersama klien.

f. Latihan untuk asertif

Terapis membantu klien untuk bersikap asertif sehingga klien mempunyai

kesadaran tentang hak-haknya. Membantu mengubah stereotype-negatif peran

gender, mengubah keyakinan yang negatif dan mengimplementasikan

perubahannya dalam kehidupan.

g. Reframing dan relabeling.

Terapis membantu klien untuk memahami akar permasalahan karena

problem yang dialami klien berhubungan dengan tekanan sosial (social pressure)

bukan semata-mata berasal dari dirinya.

h. Group work

Pada akhir sesi terapi individual, terapis memberikan kesempatan klien

untuk bergabung dalam kelompok. Langkah ini dimaksudkan agar klien merasa

tidak sendiri dan dapat mendiskusikan pengalaman hidupnya.

i. Social action

Terapis mendorong klien untuk terlibat dalam kegiatan pemberdayaan

perempuan, menuliskan pengalaman hidupnya atau aktif dalam komunitas

pendidikan yang berlatar isu gender.

21
2.3 Masa Dewasa

Menurut Erik Erikson, masa dewasa awal berada tahap usia 19-40 tahun.

Individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan relasi yang akrab dengan

orang lain. Erikson menggambarkan keakraban sebagai penemuan diri sendiri,

tetapi kehilangan diri sendiri pada diri orang lain.

Tahap keenam yang dialami pada masa-masa awal dewasa. Pada masa ini

individu dihadapi tugas perkembangan pembentukan relasi intim dengan orang

lain. Saat anak muda membentuk persahabatan yang sehat dan relasi akrab yang

intim dengan orang lain, keintiman akan dicapai, kalau tidak, isolasi akan terjadi.

Masa Dewasa Awal (Young adulthood) ditandai adanya kecenderungan

intimacy – isolation. Kalau pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang

kuat dengan kelompok sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah

mulai longgar. Mereka sudah mulai selektif, dia membina hubungan yang intim

hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul

dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu,

dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.

22
2.4 Kerangka Berpikir

23
BLUE PRINT MODUL PELATIHAN PENCEGAHAN DEPRESI

No Sesi Aspek Pokok Bahasan/Definisi Tujuan Indikator Waktu

Operasional Operasional

Pencapaian

1 Pengenalan Meningkatkan - Pengertian depresi Peserta - Peserta 45 menit

Depresi pengetahuan depresi - Aspek depresi mendapatkan mendapatkan

dan bahayanya - Bentuk depresi pengetahuan pengetahuan baru

- Jenis depresi tentang depresi tentang depresi,

- Bahaya depresi dan bahayanya aspek, bentuk,

(contoh kasus) jenis, dan

bahayanya.

- Adanya feedback

positif peserta

(senyuman,

24
antusias, dan

semangat)

2 Wonder Meningkatkan - Pengetian kesetaraan Peserta dapat - Peserta dapat 65 menit

Woman pengetahuan mengenai gender memahami memahami

kesetaraan gender - Teknik-teknik kesetaraan kesetaraan gender

beserta aplikasinya gender dalam - Dapat mengenali

dalam hubungan hubungan dan

interpersonal interpersonal mempraktekkan

dan dapat teknik-tekniknya

mengaplikasikan - Adanya feedback

teknik-tekniknya positif peserta

seperti senyuman,

semangat, dan

antusias

25
PENJABARAN SESI-SESI

26

Anda mungkin juga menyukai