Anda di halaman 1dari 7

TUGAS 1 HUKUM TELEMATIKA

1. Salah satu konvensi internasional yang menjadi acuan dalam pengaturan cybercrime
adalah Budapest Convention on Cybercrime.

a. Sebutkan hal-hal yang menjadi pertimbangan terbentuknya convention tersebut?

Jawab:

Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

Pertama, bahwa tujuan dari Majelis Eropa adalah untuk mencapai kesatuan yang lebih erat
antara anggota-anggotanya.

Kedua, menyadari pentingnya peningkatan kerjasama dengan Negara-Negara lain yang menjadi
pihak dalam konvensi ini.

Ketiga, meyakini kebutuhan akan, sebagai suatu prioritas, kebijakan kriminal bersama yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap cybercrime, antara lain, dengan
memberlakukan perundang-undangan yang sesuai dan mendorong kerjasama internasional.

Keempat, menyadari perubahan-perubahan yang besar akibat digitalisasi, konvergensi, dan


globalisasi jaringan komputer yang terus-menerus.

Kelima, Prihatin dengan risiko bahwa jaringan komputer dan informasi elektronik juga dapat
digunakan untuk melakukan pelanggaran pidana dan bahwa bukti terkait dengan pelanggaran
tersebut dapat disimpan dan dialihkan melalui jaringan-jaringan tersebut.

Keenam, menyadari kebutuhan akan kerjasama antara Negara-Negara dan industri swasta dalam
memerangi cybercrime dan kebutuhan untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang sah
dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.

Ketujuh, mempercayai bahwa perang yang efektif terhadap cybercrime membutuhkan kerjasama
internasional yang meningkat, cepat, dan berfungsi dengan baik dalam masalah-masalah
kriminal.

Kedelapan, meyakini bahwa Konvensi yang sekarang ini diperlukan untuk mencegah tindakan
yang diarahkan terhadap kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan sistem komputer, jaringan, dan
data komputer, serta penyalahgunaan sistem-sistem, jaringan, dan data tersebut dengan mengatur
kriminalisasi dari tindakan-tindakan semacam itu, sebagaimana dijelaskan dalam Konvensi ini,
dan penggunaan kuasa yang cukup untuk memerangi secara efektif pelanggaran-pelanggaran
pidana semacam itu, dengan memfasilitasi pendeteksian, penyelidikan, dan penuntutannya baik
pada tingkat lokal maupun internasional, dan dengan mengatur kerjasama internasional yang
cepat dan dapat diandalkan.
Kesembilan, memperhatikan kebutuhan untuk memastikan keseimbangan yang seharusnya
antara kepentingan penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang
mendasar sebagaimana diabadikan dalam Konvensi Majelis Eropa tentang Perlindungan Hak
Asasi Manusia dan Kebebasan Mendasar tahun 1950, Perjanjian Internasional Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Sipil dan Politis tahun 1966, dan perjanjian-perjanjian HAM
internasional lain yang berlaku, yang menegaskan hak setiap orang untuk berpendapat tanpa
gangguan, serta hak atas kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan untuk mecari, menerima,
dan memberikan informasi serta ide-ide apa pun, tanpa memperhatikan batas-batas, dan hak-hak
yang terkait dengan penghormatan terhadap privasi.

Kesepuluh, memperhatikan hak atas perlindungan data pribadi, sebagaimana diberikan,


misalnya, oleh Konvensi Majelis Eropa untuk Perlindungan Individu terkait dengan Pemrosesan
Otomatis Data Pribadi.

Kesebelas, mempertimbangan Konvensi PBB tahun 1989 tentang Hak-Hak Anak dan Konvensi
Organisasi Buruh Internasional tahun 1999 tentang Bentuk-Bentuk Terburuk Tenaga Kerja
Anak. Keduabelas, memperhatikan konvensi-konvensi Majelis Eropa yang sudah ada dalam
bidang pidana, serta perjanjianperjanjian serupa antara Negara-Negara anggota Majelis Eropa
dan Negara-Negara lainnya, dan menekankan bahwa Konvensi ini dimaksudkan untuk
melengkapi konvensi-konvensi tersebut guna menjadikan penyelidikan kejahatan dan proses
pengadilan pelanggaran pidana terkait dengan sistem dan data komputer lebih efektif dan untuk
memungkinkan pengumpulan bukti pelanggaran pidana dalam bentuk elektronik.

Ketigabelas, menyambut perkembangan-perkembangan terkini yang lebih memajukan


pemahaman dan kerjasama internasional dalam memerangi cybercrime, termasuk tindakan yang
diambil oleh PBB, OECD, Uni Eropa, dan G8.

Keempatbelas, mengingat Rekomendasi Komite Menteri-Menteri No. R (85) 10 tentang aplikasi


praktis Konvensi Eropa mengenai Bantuan TimbalBalik dalam Masalah-Masalah Kriminal
terkait dengan letters rogatory untuk penyadapan telekomunikasi, No. R (88) 2 tentang
pembajakan dalam bidang hak cipta dan hak-hak terkait, No. R (87) 15 yang mengatur
penggunaan data pribadi dalam bidang kepolisian, No. R (95) 4 tentang perlindungan data
pribadi dalam bidang jasa telekomunikasi, dengan acuan khusus ke jasa telepon, surat No. R (89)
9 tentang kejahatan yang terkait dengan komputer yang memberikan panduan untuk pembuat
undang-undang nasional mengenai definisi dari kejahatan komputer tertentu dan No. R (95) 13
mengenai permasalahan hukum acara pidana terkait dengan teknologi informasi.

Kelimabelas, memperhatikan Keputusan No.1 yang diambil oleh Menteri-Menteri Kehakiman


Eropa pada Konferensi ke-21 mereka (Prague, 10 dan 11 Juni 1997), yang merekomendasikan
agar Komite Menteri-menteri mendukung pekerjaan sehubungan dengan cybercrime yang
dilakukan oleh Komite Masalah-Masalah Kejahatan Eropa (CDPC) guna membawa ketentuan-
ketentuan hukum pudana domestik semakin dekat satu sama lain dan memungkinkan
penggunaan cara-cara investigasi yang efektif untuk pelanggaran-pelanggaran semacam itu, serta
Keputusan No.3 yang diambil pada Konferensi Menteri-Menteri Kehakiman Eropa ke 23
(London, 8 dan 9 Juni 2000), yang mendorong para pihak yang bernegoisasi untuk meneruskan
upaya mereka untuk menemukan solusi yang tepat untuk memungkinkan sebanyak-banyaknya
Negara menjadi pihak dalam Konvensi tersebut dan mengakui kebutuhan akan sistem kerjasama
internasional yang cepat dan efisien, yang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan khusus dalam
perang melawan cybercrime.

Keenambelas, mempertimbangkan Rencana Aksi yang dibuat oleh Kepala-Kepala Negara dan
Pemerintahan dari Majelis Eropa dalam Konferensi Tingkat Tinggi mereka yang kedua
(Strasbourg, 10 dan 11 Oktober 1997), untuk mengupayakan respon bersama terhadap
perkembangan teknologi informasi yang baru berdasarkan standar-standar dan nilai-nilai Majelis
Eropa.

Referensi:

Muhamad Amirulloh, Ida Padmanegara, & Tyas Dian Anggraeni. (2009). Kajian EU Convention
On Cybercrime Dikaitkan Dengan Upaya Regulasi Tindak Pidana Teknologi Informasi.
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi
Manusia RI.

b. Indonesia merupakan salah satu yang menggunakan convention on cybercrime sebagai


sumber dalam penyusunan UU ITE. Jelaskan ketentuan dalam UU ITE yang terkait
dengan convention tersebut?

Jawab: ada beberapa keterkaitan hukum indonesia dengan Budapest Convention on


Cybercrime seperti:

a. Pasal 2 tentang Illegal Acces: Menyatakan bahwa melakukan akses ke seluruh atau sebagian
sistem komputer tanpa hak dan dengan sengaja merupakan pelanggaran kriminal. Pasal ini
tertuang dalam pasal 30 ayat 1,2 dan 3 UU ITE No 11 Tahun 2008.

b. Pasal 3 tentang Illegal interception: Menyatakan bahwa Perbuatan penyadapan tanpa hak dan
dengan sengaja, yang dilakukan secara teknis atau melalui transmisi-transmisi data komputer ke,
dari, atau dalam suatu sistem komputer, termasuk emisi elektromagnetik dari sistem komputer
yang membawa data komputer tersebut merupakan suatu pelanggaran. Pasal ini tertuang dalam
Pasal 31 Ayat 1, 2, 3 dan 4 UU ITE

c. Pasal 4 tentang Data interference: Menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja terkait penghancuran, penghapusan, perusakan, perubahan, atau penyembunyian data
komputer tanpa hak merupakan sebuah pelanggaran kriminal. Pasal ini tertuang dalam Pasal 32
Ayat 1, 2, dan 3 UU ITE No 11 Tahun 2008.
d. Pasal 5 tentang System interference: Menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja yang mengakibatkan terganggu nya sistem komputer orang lain dengan melakukan input,
transmisi, penghancuran, penghapusan, perusakan, perubahan, atau penyembunyian data
merupakan sebuah pelanggaran kriminal. Pasal ini tertuang dalam Pasal 33 UU ITE No 11
Tahun 2008.

“ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun
yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik
menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.”

e. Pasal 6 tentang Misuse of devices: Bahwa pencurian, penyediaan, penjualan, dan distribusi dari
data komputer yang diperoleh dari sebuah alat merupakan pelanggaran kriminal. Yang dimaksud
alat disini adalah hardware maupun software yang telah di modifikasi untuk mendapatkan akses
dari komputer ataupun jaringan komputer. Pasal ini tertuang dalam Pasal 34 UU ITE No 11
Tahun 2008.

f. Pasal 7 tentang Computer-related forgery: Menyatakan ditetapkan sebagai tindak pidana


berdasarkan hukum nasional, bila dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak, masukan, perubahan,
penghapusan, atau penindasan data komputer, yang menghasilkan data yang tidak autentik
dengan maksud bahwa hal itu dianggap atau ditindaklanjuti untuk tujuan hukum seolah-olah
bersifat autentik, terlepas dari apakah data tersebut dapat dibaca dan dimengerti secara langsung.
Suatu Pihak mungkin memerlukan niat untuk menipu, atau maksud tidak jujur lainnya, sebelum
pertanggungjawaban pidana melekat. Pasal ini tertuang dalam Pasal 35 UU ITE No 11 Tahun
2008.

“ Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi,
penciptaan, perubahan, menghilangkan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut
dianggap seolah-olah data yang autentik. ”

g. Pasal 8 tentang Computer-related fraud: Menyebutkan bahwa ditetapkan sebagai tindak


pidana berdasarkan hukum nasional, bila dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak, menyebabkan
hilangnya harta benda kepada orang lain dengan:

1) setiap masukan, perubahan, penghapusan atau penindasan data komputer,

2) Setiap gangguan dengan berfungsinya sistem komputer, dengan niat curang atau tidak jujur
untuk pengadaan, tanpa hak, keuntungan ekonomi untuk diri sendiri atau orang lain.

Pasal ini juga tertuang dalam Pasal 35 UU ITE No 11 Tahun 2008.

h. Pasal 9 tentang Offences related to child pornograph: Menyebutkan bahwa melakukan


tindakan eksploitasi terhadap pornografi anak seperti mendistribusikan pornografi anak melalui
sistem komputer, menawarkan atau menyediakan pornografi anak melalui sistem komputer, dan
lain sebagainya yang bersinggungan dengan pornografi anak merupakan tindakan kriminal.
Istilah anak disini yaitu untuk seseorang yang masih berada dibawah umur. Dibawah umur
beberapa Negara mengisyaratkan dibawah 18 tahun, namun ada juga yang mengisyaratkan
dibawah itu, namun tidak lebih muda dari 16 tahun. Pasal ini tertuang dalam Pasal 27 Ayat 1 UU
ITE No 11 Tahun 2008.

i. Pasal 10 tentang Offences related to infringements of copyright and related rights: Menyatakan
bahwa pelanggaran hak cipta yang bersifat komersil yang dilakukan melalui sistem komputer
merupakan tindakan kriminal. Pasal ini tertuang dalam Pasal 23-26 UU ITE Nomor 11 Tahun
2008

j. Pasal 11 tentang Attempt and aiding or a betting: Bahwa siapapun yang membantu atau
bersekongkol dengan pihak yang melakukan pelanggaran seperti pasal 2 sampai 10 konvensi ini
juga akan termasuk dalam melakukan tindakan kriminal. Pasal ini tidak di jelaskan dalam UU
ITE namun dalam pasal 34 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 juga menyatakan “pihak Mencoba
dan membantu atau bersekongkol dalam melakukan kejahatan” dan dirasa relevan dengan pasal
yang dimaksudkan.

k. Pasal 13 tentang anctions and measures: Setiap pihak wajib mengambil tindakan legislatif dan
lainnya yang diperlukan. Selain itu, juga menjelaskan tentang sanksi pidana atau non-pidana
yang efektif proporsional. Pasal ini juga tertuang dalam Pasal 45-52 UU ITE No 11 Tahun 2008.

l. Pasal 14 tentang Scope of procedural provisions: Menetapkan kekuatan dan prosedur yang
diatur dalam bagian ini dimaksudkan untuk investigasi kriminal tertentu atau proses. Pasal ini
tertuang dalam Pasal 17, 43 ayat 5 huruf H UU ITE No 11 Tahun 2008.

m. Pasal 15 tentang Conditions and safeguards: Pasal ini berisi tentang kondisi dan
perlindungan. Pasal ini tertuang dalam Pasal 12 Ayat 1, 2 dan 3 UU ITE No 11 Tahun 2008.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum di indonesia memiliki keterkaitan dengan
budapest convention on cybercrime dilihat dari beberapa aspek kebijakan hukum yang
dikeluarkan seperti UU ITE No 11 Tahun 2008.

Referensi:

Muhamad Amirulloh, Ida Padmanegara, & Tyas Dian Anggraeni. (2009). Kajian EU Convention
On Cybercrime Dikaitkan Dengan Upaya Regulasi Tindak Pidana Teknologi Informasi.
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan Hak Asasi
Manusia RI.
2. Apabila seseorang melakukan pencemaran nama baik melalui sosial media, apakah
orang yang merasa nama baiknya dicemarkan dapat melakukan upaya hukum? Jelaskan
jawaban saudara dengan membuktikan unsur-unsur pencemaran nama baik di media
sosial berdasarkan regulasi yang berlaku di Indonesia.

Jawab:

Orang yang merasa nama baiknya dicemarkan dapat melakukan upaya hukum. Sebelum adanya
media sosial pengaturan tentang pencemaran nama baik diatur dalam ketentuan-ketentuan pasal-
pasal KUHP sebagai berikut :

a) Pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi : (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan
atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan
dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
4.500,-“. (2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena
menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.

b) Pasal 315 KUHP, yang berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak
bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di
muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan
atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam
karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Setelah adanya internet maka diatur dalam ketentuan Undang-undang ITE, yaitu : Pasal 27 ayat
(3) UU ITE, yang berbunyi : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, Pasal 45 UU
ITE, yang berbunyi : (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Bahwa pencemaran nama baik, yang secara langsung maupun melalui media sosial / internet
adalah sama merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat diproses oleh pihak kepolisian
jika ada pengaduan dari korban. Tanpa adanya pengaduan, maka kepolisian tidak bisa melakukan
penyidikan atas kasus tersebut.

Sedangkan untuk delik aduan sendiri berdasarkan ketentuan pasal 74 KUHP, hanya bisa
diadukan kepada penyidik dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut terjadi.
Artinya setelah lewat jangka waktu 6 (enam) bulan, kasus pencemaran nama baik secara
langsung maupun melalui media sosial / internet tidak lagi bisa dilakukan penyidikan. Oleh
karenanya bagia nda yang merasa dicemarkan nama baiknya baik secara langsung maupun
melalui media sosial internet harus mengadukannya dalam jangka waktu tersebut.

Selain itu suatu kalimat atau kata-kata yang bernada menghina atau memcemarkan nama baik,
supaya bisa dijerat pidana harus memenuhi unsur dimuka umum, artinya jika dilakukan secara
langsung harus dihadapan dua orang atau lebih, dan jika melalui media sosial harus dilakukan
ditempat yang bisa dilihat banyaka orang semisal wall facebook, posting group, dan lain
sebagainya. Kalimat hinaan yang dikirim langsung ke inbox atau chat langsung tidak bisa masuk
kategori penghinaan atau pencemaran nama baik, karena unsur diketahui umum tidak terpenuhi.

Referensi:

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt520aa5d4cedab/pencemaran-nama-baik-di-
media-sosial--delik-biasa-atau-aduan/

artikel.kantorhukum-lhs.com/pencemaran-nama-baik-lewat-media-sosial-internet/

Anda mungkin juga menyukai