Refleksi dan Kesimpulan Relevansi Pemikiran Ki Hajar Dewantara terhadap
Pendidikan Indonesia
Sebelum mempelajari pemikiran Ki Hajar Dewantara terhadap pendikan, saya memiliki
mindset bahwa peserta didik harus memahami apapun yang guru berikan dan ajarkan. Pembelajaran di kelas masih menganut teacher centered learning. Dalam hal ini saya berpikir bahwa peserta didik harus mencapai ketuntasan belajarnya tanpa berpikir kemerdekaan belajar mereka. Namun setelah membaca kisah dari Ki Hajar Dewantara dimana beliau bercerita tentang anak-anak yang bermain pasir di halaman sekolah untuk mempelajari peta Indonesia, saya mendapatkan sudut pandang baru. Pembelajaran yang diceritakan benar-benar memerdekakan peserta didik. Mereka mendapatkan ilmu sekaligus kebahagian dengan bermain karena bermain merupakan salah satu kodrat yang ada pada peserta didik. Pendidik harus memikirkan tentang bagaimana cara mengkolaborasikan pendidikan dengan permainan agar anak-anak merasa bahagia ketika sedang belajar. Hal selanjutnya yang mengubah mindset saya adalah bahwa guru bukanlah satu- satunya sumber belajar, apapun yang ada di lingkungan baik di dunia nyata maupun maya bisa digunakan sebagai sumber belajar peserta didik. Sebagai pendidik saya harus belajar lebih cermat melihat bakat peserta didik, ketika ada yang tidak menonjol pada satu sisi maka sebagai guru harus menggali potensi lain yang dimiliki. Hal ini bisa dilakukan dengan riset melakukan tanya jawab, tes diagnostic, dan lain sebagainya. Pembelajaran yang dilakukan di kelas haruslah berlandaskan sistem Among yaitu anak diperlakukan sebagai subyek bukan obyek (anak adalah pusat pendidikan). Di dalam pembelajaran tidak menghendaki paksaan-paksaan melainkan memberi tuntunan bagi hidup anak-anak agar dapat berkembang dengan selamat, baik lahir maupun batinnya. Pendidikan dalam konteks pemikiran Ki Hadjar tidak cukup hanya membuat anak menjadi pintar atau unggul dalam aspek kognitifnya. Pendidikan haruslah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Pendidikan juga harus mampu mengembangkan anak menjadi mandiri dan sekaligus memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain, bangsa, dan kemanusiaan. Salah satu langkah konkrit yang bisa dilakukan untuk memerdekakan peserta didik setelah mempelajari pemikiran Ki Hajar Dewantara yaitu ketika di awal pembelajaran di kelas guru membuat kesepakatan kelas bersama anak-anak sebagai wujud dari merdeka belajar. Anak-anak dilibatkan dalam pembuatan aturan tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan di kelas saat pembelajaran beserta konsekuensi ketika kesepakatan itu dilanggar. Selain melatih anak-anak untuk berani berpendapat, mereka juga menjadi belajar untuk memiliki rasa tanggungjawab dan berkomitmen dengan apa yang telah mereka sepakati sendiri. Konsep pemikiran filosofis Ki Hajar Dewantara ini selaras dengan penerapan pembelajaran abad 21 antara lain critical thinking, creativity, communication and collaboration. Pada zaman dulu memerdekakan belajar peserta didik, mereka jadi bisa berpikir kritis, dengan bermain mereka bisa berkolaborasi dan bekerja tim untuk mengenal yang namanya gotong royong, saling menghargai pendapat orang lain, melatih berinteraksi satu sama lain dan menghasilkan sebuah kreativitas.