Kecurangan
pada PT
Asabri
Kelompok 4
Siti Nurazizah Trihapsari
Kelompok 4 1402204164
Pembahasan
OPINI
Kelompok 4
PROFIL PT ASABRI
PT ASABRI (Persero) adalah Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan oleh Pemerintah sebagai
pengelola program asuransi sosial bagi Prajurit TNI, anggota Polri dan Pegawai Aparatur Sipil Negara
(ASN), yang terdiri dari Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan Pegawai Negeri Sipil
(PNS) di lingkungan Kemhan dan Polri, sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2015
tentang Asuransi Sosial Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Pegawai Aparatur Sipil Negara di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, yang diundangkan pada tanggal 28 Desember 2015 dan berlaku surut
tanggal 1 Juli 2015 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1991. Adapun Program
yang dikelola terdiri atas Program Tabungan Hari Tua (THT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan
Kematian (JKm), dan Pensiun.
Keberadaan ASABRI bermula dari permasalahan perbedaan karakteristik militer atas kepesertaan
Prajurit TNI, Anggota Polri, danPNS Kemhan/ Polri (belum terdapat PPPK) yang pada awal mulanya
merupakan Peserta Taspen (Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri) yang dibentuk pada
tanggal 17 April 1963 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1963. Untuk mempermudah
pengelolaan asuransi bagi peserta militer, berdasarkan gagasan dari pihak Angkatan Perang Republik
Indonesia (APRI) dalam hal ini Angkatan Darat dan persetujuan Menteri Urusan Pendapatan,
Pembiayaan, dan Pengawasan serta Badan Pimpinan Umum PN Taspen, maka pada tanggal 1 Januari
1964 dibentuklah Cabang Khusus Urusan Militer dengan nama Taspenmil yang beroperasi di Kantor
Staf Keuangan Angkatan Darat di Jl. Merdeka Selatan No. 7 Jakarta Pusat. Taspenmil inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal PT ASABRI (Persero).
Kelompok 4
LATAR BELAKANG
Apa yang terjadi? Siapa yang terlibat?
Latar Belakang
Kasus ini bermula ketika Direktur Utama, Direktur Investasi, dan Direktur Keuangan serta Kadiv Investasi Asabri bersepakat
dengan pihak luar yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun manajer investasi untuk membeli atau menukar saham
dalam portofolio PT Asabri (Persero) pada rentang tahun 2012-2019. Mereka menukar saham dalam portofolio PT Asabri
(Persero) dengan saham-saham milik Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Lukman dengan harga yang telah dimanipulasi
menjadi tinggi. Manipulasi harga tersebut bertujuan agar kinerja portofolio PT Asabri (Persero) terlihat seolah-olah baik. Setelah
saham-saham tersebut menjadi milik PT Asabri (Persero) kemudian saham tersebut ditransaksikan atau dikendalikan oleh Heru,
Benny, dan Lukman berdasarkan kesepakatan bersama dengan direksi PT Asabri (Persero), sehingga saham tersebut seolah-
olah bernilai tinggi dan likuid. Padahal transaksi tersebut hanya transaksi semu untuk menguntungkan Heru, Benny, dan Lukman
serta merugikan investasi PT Asabri (Persero).
Hal tersebut dikarenakan PT Asabri (Persero) menjual saham-saham dalam portofolionya dengan harga di bawah harga
perolehan saham tersebut. Untuk menghindari kerugian, PT Asabri (Persero) menjual kembali saham tersebut dengan Nomine
Heru, Benny, dan Lukman, serta dibeli lagi oleh PT Asabri (Persero) oleh manajer investasi yang dikendalikan Heru dan Benny.
Atas perbuatannya para terdakwa diancam dengan pidana Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Siapa saja yang terlibat?
Dua di antara delapan terdakwa tersebut merupakan purnawirawan jenderal TNI yang pernah menjabat
sebagai direktur utama PT Asabri (Persero). Kedelapan terdakwa tersebut adalah:
1. Mayjen (Purn) Adam Rahmat Damiri (Direktur Utama PT Asabri (Persero) 2011-2016);
2. Letjen (Purn) Sonny Widjaja (Direktur Utama PT Asabri (Persero) 2016-2020);
3. Bachtiar Effendi (Direktur Keuangan PT Asabri (Persero) 2008-2014);
4. Hari Setianto (Direktur Keuangan PT Asabri (Persero) 2015-2019);
5. Lukman Purnomosidi (Direktur Utama PT Prima Jaringan);
6. Jimmy Sutopo (Direktur Utama PT Jakarta Emitmen Investor Relation);
7. Benny Tjokrosaputro (Direktur Utama PT Hanson International TBK); dan
8. Heru Hidayat (Komisaris PT Trada Alam Mineral).
Dakwaan terhadap para terdakwa tersebut dibuat secara terpisah. Selain para terdakwa yang telah
disebutkan di atas, terdapat satu orang lagi yaitu Ilham Wardhana Bilang Siregar selaku Kepala Divisi Investasi
periode 2012- 2016 yang dijadikan tersangka. Namun, yang bersangkutan telah meninggal dunia terlebih
dahulu sebelum disidangkan.
Dalam pembacaan dakwaan tersebut, Jaksa pada Kejaksaan Agung mengatakan bahwa para
terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Jaksa mengungkapkan aliran dana
yang diterima para terdakwa dari kasus dugaan korupsi PT Asabri (Persero) ini telah merugikan
negara sebesar Rp 22,7 Triliun. Dalam persidangan kasus ini dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim
IG Purwanto, dengan didampingi dua orang hakim karir tipikor selaku anggota yaitu Saefudin
Zuhri dan Rosmina, serta dua orang hakim ad hoc tipikor selaku anggota yaitu Ali Muhtarom dan
Mulyono Dwi Purwanto.
Kasus ini bermula ketika Direktur Utama, Direktur Investasi, dan Direktur Keuangan serta Kadiv
Investasi Asabri bersepakat dengan pihak luar yang bukan merupakan konsultan investasi
ataupun manajer investasi untuk membeli atau menukar saham dalam portofolio PT Asabri
(Persero) pada rentang tahun 2012-2019.
Mereka menukar saham dalam portofolio PT Asabri (Persero) dengan saham-saham
milik Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Lukman dengan harga yang telah
dimanipulasi menjadi tinggi. Manipulasi harga tersebut bertujuan agar kinerja
portofolio PT Asabri (Persero) terlihat seolah-olah baik. Setelah saham-saham
tersebut menjadi milik PT Asabri (Persero) kemudian saham tersebut ditransaksikan
atau dikendalikan oleh Heru, Benny, dan Lukman berdasarkan kesepakatan bersama
dengan direksi PT Asabri (Persero), sehingga saham tersebut seolah-olah bernilai
tinggi dan likuid. Padahal transaksi tersebut hanya transaksi semu untuk
menguntungkan Heru, Benny, dan Lukman serta merugikan investasi PT Asabri
(Persero).
Kelompok 4
ANALISIS TEORI
Creative Accounting, Triangle Fraud, dan Whistleblowing
Creative Accounting
Menurut Amat, Blake, dan Dowd (1999) Creative Creative Accounting digunakan oleh manjer
Accounting adalah sebuah proses dimana investasi yang bertujuan untuk membuat
beberapa pihak menggunakan kemampuan dan portfolio perusahan terlihat baik-baik saja.
pemahaman pengetahuan akuntansi, kemudian
Triangle
Feaud
Yang pertama, proses pengaduan pelanggaran diduga Kedua, proses pengaduan pelanggaran diduga
dilakukan oleh dewan komisaris, direksi, organ dilakukan oleh pegawai PT ASABRI (Persero).
pendukung dewan komisaris dan organ pendukung Pengaduan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh
direksi PT ASABRI (Persero). Pengaduan pelanggaran pegawai sebagaimana dimaksud dilakukan secara
yang diduga dilakukan oleh Direksi, Dewan Komisaris, tertulis melalui website perusahaan
organ pendukung Dewan Komisaris dan Direksi www.asabri.co.id, faksimili, dan Surat resmi yang
dilakukan secara tertulis melalui website perusahaan ditujukan kepada Direksi. Dengan alamat: Direksi PT
www.asabri.co.id, faksimili, dan Surat resmi yang ASABRI (Persero) u.p Tim Whistleblowing System
ditujukan kepada Dewan Komisaris, dengan alamat Jalan Mayjen Sutoyo Nomor 11 Jakarta Timur 13630
Dewan Komisaris PT ASABRI (Persero) u.p Tim
Pengelola Pengaduan Pelanggaran Jalan Mayjen Sutoyo
No. 11 Jakarta Timur 13630
Kelompok 4
OPINI
Tanggapan Kami Terkait Kasus PT Asabri
OPINI
Seperti yang kita ketahui, perkembangan perekonomian dunia
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik posisif maupun negatif,
yang tentu saja faktor positif dapat mendorong ke arah
peningkatan perekonomian, pun sebaliknya faktor negatif dapat
memperlemah perekonomian nasional.
Namun, baik BPK maupun kejaksaan satu paket dan satu persepsi soal kerugian negara yang mencapai Rp 22,788 triliun. Meskipun sudah banyak pihak
yang menjelaskan bahwa kesimpulan demikian tidaklah benar.
Dari kasus ini dapat dikatakan bahwa Keuangan negara dan iuran ASABRI sepertinya disatukan. Dari hal ini sepertinya harus ada penegasan pemisahan
antara keduanya, apakah itu masuk dana keuangan negara seperti dijelaskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 atau tidak.
Dan harusnya, ada auditor lain yang relevan dan kompeten untuk mengatakan bahwa dana tersebut apakah termasuk kerugian negara atau tidak
sehingga BPK tidak menjadi pihak tunggal dalam perhitungan dugaan kerugian negara dalam kasus ini. Dan Sebaiknya BPKP dapat juga menilai dan juga
Majelis Kehormatan Kode Etik BPK seharusnya melakukan waskat.
Selanjutnya terkait Saham. Seharusnya ada pengawasan dan pengamanan terhadap harga saham agar tidak merugikan pihak ketiga.
Selanjutnya terkait pihak-pihak dan korban. Penangan kasus ASABRI, bila merujuk pada UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, maka
sanksi yang lebih dahulu dilakukan mestinya adalah sanksi administratif bukan hukum pidana.
Menurut aktifis HAM sekaligus praktisi hukum Hariz Azhar, “pemerintah tidak memertimbangkan dampak panjangnya yang terjadi kepada pihak ketiga
atau korban yang terimbas kasus ini”. Terlihat jelas pemerintah hanya sebatas ingin melakukan penegakan hukum saja tanpa keinginan untuk memberikan
kepastian hukum.
Ada banyak pihak ketiga yang kehilangan haknya dikarenakan pemerintah sekadar ingin menjalankan proses hukum, tetapi tidak ada perlindungan
terhadap pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum.
OPINI (Lanjutan)
Faktanya bahwa, BPK menghitung kerugian berdasarkan data uang yang keluar dari PT ASABRI tanpa memperhitungkan uang tersebut
berbentuk aset. Sampai saat ini kerugian yang dimaksud BPK masih masih berbentuk aset. Kemudian, aset tersebut masih bernilai,
bahkan berpotensi untung berkali-kali lipat namun, tetapi BPK tidak menjadikan itu sebagai pengurang kerugian yang dimaksud.
Olehnya itu, BPK gagal paham dalam menafsirkan penyelewengan uang negara dengan kerugian negara. Ternyata, kerugian negara
Rp 22,788 triliun yang disampaikan BPK, investasi ASABRI yang masih berbentuk saham reksadana yang berpotensi untung berkali-kali
lipat, namun BPK menvonis itu sebagai kerugian negara.
Terlebih lagi, BPK menyatakan bahwa ada keuntungan saham reksadana PT ASABRI dalam setiap jabatan.
Pakar Hukum Pidana Prof Mudzakir mengatakan, jika pimpinan korporasi diketahui bekerja sama dangan pembeli saham yang anjlok
tersebut maka pimpinan korporasi telah melakukan tindak pidana dalam bisnis sama yang merugikan korporasi yang dipimpinnya.
“Kerugian tersebut bukan tipikor tetapi tindak pidana umum karena masuk dalam tindak pidana umum,” ujarnya.
Kerugian tersebut kerugian korporasi, bukan kerugian keuangan negara, jika ada kerugian dalam pengelolaan korporasi itu.
Kerugian korporasi bukan kerugian keuangan negara dan oleh karnanya bukan tipikor tetapi jika ada tindak pidana berarti
tindak pidana lain bukan korupsi,
Muzakir Juga mengaggap bahwa praktek penegakan hukum yang dilakukan terhadap terdakwa tidak benar .
Kelompok 4
SEKIAN
TERIMAKASIH