Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan bank Syari’ah saat ini bukanlah suatu hal yang asing lagi bagi masyarakat umum. Seiring
dengan makin banyaknya produk yang ditawarkan oleh bank Syari’ah, makin banyak pula masyarakat
yang mulai tertarik dengan produk – produk yang ditawarkan oleh bank Syari’ah. Adapun kegiatan yang
dilakukan oleh bank Syari’ah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana dan jual – beli.
Transaksi jual – beli dalam bank Syari’ah dibedakan dalam beberapa bentuk yaitu Murabahah, Salam,
Istishna’, dan Al - Sharf.

Pada makalah ini akan dibahas salah satu produk jual – beli dalam bank Syari’ah yaitu Al - Sharf. Hal ini
dikarenakan dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan
transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan
jenis.

Mengingat dalam tradisi perdagangan transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi
yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian dan syarat rukun Al - Sharf, dasar hukum dan
aplikasinya dalam bank Syari’ah, agar kegiatan transaksi tersebut dapat berjalan sesuai dengan ajaran
Islam.

B. Rumusan masalah

1. Apa pengertian dari Al - Sharf serta Syarat rukunnya?

2. Apa saja dasar hukum dari Al - Sharf ?

3. Bagaimana aplikasi Al - Sharf dalam bank Syari’ah ?

C. Tujuan

1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari Al - Sharf.

2. Mahasiswa dapat mengetahui apa saja dasar hukum yang dapat dijadikan landasan bolehnya
transaksi Al - Sharf.

3. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana aplikasi Al - Sharf dalam Perbankan Syari’ah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Syarat Rukun Al – Sharf

1. Pengertian
Sebelum dibahas lebih lanjut masalah Al - Sarf, perlulah kiranya terlebih dahulu diketahui pengertia dari
Al - Sharf. Kebanyakan orang menyebut Al - Sarf dengan valuta asing (Valas) yang dalam bahasa
inggrisnya disebut Money Changer. Dalam bahsa Arab Sharf atau Al – Sharf yang disebutkan dalam
kamus Al – Munjid fi al-Lughah berarti “menjual uang dengan uang lainnya”. Secara harfiah Al – Sharf
berarti “penambahan, penukaran atau transaksi jual - beli”.[1]

Pengertian lain dari Al - Sharf menurut beberapa Ulama’:

a. Muhammad Al – Adnani mendefisikan Al - Sharf sebagai tukar menukar uang.

b. Taqiyyudin An – Nabhani mendefinisikan Al - Sharf dengan pemerolehan harta dengan harta lain
atau emas dan perak yang sejenis dengan saling menyamakan antara emas yang satu dengan emas yang
lain, atau antara perak yang satu dengan perak yang lain. Atau berbeda jenisnya semisal; emas dengan
perak dengan menyamakan atau melebihkan antara jenis yang satu dengan jenis yang lain. Beliau juga
menyatakan bahwa jual – beli mata uang merupakan transaksi jual – beli dalam bentuk financial yang
menurutnya mencakup beberapa aspek, yaitu:

1. Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa, seperti penukaran uang dinar baru dengan
uang dinar lama.

2. Pertukaran mata uang dengan mata uang asing, seperti pertukaran Dolar dengan Pound Mesir.

3. Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut dengan mata uang
asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam suatu
kesepakatan.

4. Penjualan barang dengan mata uang, misalnya dolar Amerika dengan dolar Australia.

5. Penjulan promis (surat perjanjian untuk membeayar sejumlah uang) dengan mata uang tertentu.

6. Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu.[2]

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Al – Sharf ialah pertukaran antara uang satu
dengan uang lain yag sejenis atau mata uang satu dengan mata uang lain.

2. Rukun dan Syarat

Tentu dari penjalasan diatas tentang pengetian Al – Sharf, telah kita ketahui secara pasti apa yang
dimaksud dengan Al – Sharf. Untuk memperdalam pengetahuan kita tentang Al – Sharf, maka perlu kita
ketahui rukun dan syarat dari Al – Sharf tersebut.

a. Rukun Al – Sharf

- Penjual (Ba’i)

- Pembeli (Musyari)

- Mata uang yang diperjual belikan (Obyek)

- Nilai Tukar (Si’rus Sharf)

- Ijab Qobul (Sighat)


b. Syarat Al – Sharf

- Serah terima sebelum Iftirak (berpisah)

Maksudnya ialah transaksi tukar menukar dilakukan sebelum kedua belah pihak berpisah. Hal ini berlaku
pada penukaran mata uang yang berjenis sama maupun berbeda. Oleh karena itu, kedua belah pihak
hrus melakukan serah terima sebelum keduanya berpisah serta tidak boleh menunda pembayaran salah
satu antara keduanya. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi maka hukumnya tidak sah.

- Al – Tamaksul ( Sama rata)

Pertukaran uang yang nilainya tidak sama rata, maka hukumnya haram. Syariat ini berlaku pada
pertukarran uang yang satu atau yang sejenis. Sedangkan pertukaran yang jenisnya berbeda, maka
boleh tidak sama rata.

- Pembayaran dengan tunai

Tidak sah hukumnya apabila terdapat penundaaan pembayaran, baik penundaan itu dari satu pihak atau
dari pihak – pihak lain.

- Tidak mengandung akad khiyar syarat

Apabila terdapat khiyar syarat pada aqad Al – Sharf, baik syarat tersebut dari satu atau kedua belah
pihak, maka menurut jumhur ulama’ hukumnya tidak sah.[3]

B. Dasar Hukum Al – Sharf

1. Al – Qur’an dan Al - Hadits

Praktek al-sharf hanya terjadi dalam transaksi jual beli, di mana praktek ini diperbolehkan dalam Islam
berdasarkan firman Allah QS. al-Baqarah ayat 275, yang artinya :

” Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang
kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.”

Kemudian dalam Hadits Rasulullah juga disebutkan :

” Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali seimbang,dan jangan pula menjual perak
dengan perak kecuali seimbang. Juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka kalian.”
(HR. Bukhari).
”Nabi melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali seimbang. Dan Nabi
memerintahkan untuk menjual emas dengann perak sesuka kami, dan menjual perak dengan emas
sesuka kami”.

“Kami telah diperintahkan untuk membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan
perak sesuka kami. Abu Bakrah berkata: beliau (Rasulullah) ditanya oleh seorang laki-laki, lalu beliau
menjawab, Harus tunai (cash). Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah yang aku dengar.” (HR. Abu
Hurairah).[4]

Dari beberapa Hadis di atas dipahami bahwa hadis pertama dan kedua merupakan dalil tentang
diperbolehkannya al-sharf serta tidak boleh adanya penambahan antara suatu barang yang sejenis
(emas dengan emas atau perak dengan perak), karena kelebihan antara dua barang yang sejenis
tersebut merupakan riba fadl yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Sedangkan hadis ketiga, selain bisa
dijadikan dasar diperbolehkannya al-sharf, juga mengisyaratkan bahwa kegiatan jual beli tersebut harus
dalam bentuk tunai, yaitu untuk menghindari terjadinya riba nasi’ah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jual beli mata uang (valuta asing) dibatasi oleh beberapa
syarat, dan syarat-syarat itu telah disebutkan oleh para ulama dalam penukaran emas dan perak yang
mana berlaku juga dalam penukaran mata uang yang ada pada zaman setelahnya.

2. Ijma’ Ulama

Semua Ulama sepakat boleh melakukan transaksi Al – Sharf, namun dari beberapa Ulama’ memiliki
ketentuan-ketentuan tersendiri. Ketentuan tersebut antara lain:

1. Dalam hal Taqabudh (serah terima ditempat)

Menurut pendapat mayoritas Ulama’ taqabudh adalah syarat syah dalam Al-Sharf. Namun dinukilkan
adanya ijma’. Namun Ibnu ‘Ulayyah berpendapat boleh berpisah tanpa taqabudh, sebagaimana dinukil
oleh Al-Imam An-Nawawi. Dalil jumhur ulama adalah:

1. Hadits Al-Bara` bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhum:

‫ب ِب ْال َو ِر ِق َد ْي ًنا‬ َّ ‫هللا صَلىَّ هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َعنْ َبيْع‬


ِ ‫الذ َه‬ ِ ‫َن َهى َرس ُْو ُل‬
ِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli emas dengan perak secara hutang.”
(Muttafaqun ‘alaih)

2. Hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

‫ْف شِ ْئ َنا َي ًدا ِب َي ٍد‬ َّ ِ‫ب ِب ْالف‬


َ ‫ض ِة َكي‬ َّ ‫ي‬
َ ‫الذ َه‬ َ ‫ْف شِ ْئ َنا َو َن ْش َت ِر‬
َ ‫ب َكي‬ َّ ‫ض َة ِب‬
ِ ‫الذ َه‬ َ ‫صلىَّ هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأنْ َن ْش َت ِر‬
َّ ِ‫ي ْالف‬ ِ ‫َأ َم َر َنا َرس ُْو ُل‬
َ ‫هللا‬
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk membeli perak dengan emas
sekehendak kami dan membeli emas dengan perak sekehendak kami, bila tangan dengan tangan
(taqabudh/serah terima di tempat).” (Muttafaqun ‘alaih)

Dengan dasar di atas, maka tidak boleh jual-beli emas dengan perak dengan sistem tempo bila alat
bayarnya adalah mata uang. Begitu pula tidak boleh jual-beli mata uang secara tempo bila alat bayarnya
adalah emas atau perak. Ini adalah fatwa para ulama kontemporer.

2. Dalam hal Apakah taqabudh harus segera ataukah boleh ada masa jeda?
Yang rajih dari pendapat para ulama adalah pendapat jumhur bahwa taqabudh itu boleh tarakhi (ada
masa jeda setelah akad), walaupun sehari, dua hari, atau tiga hari, ataupun berpindah tempat, selama
kedua pihak masih belum berpisah. Dalilnya adalah sebagai berikut:

1. Disebutkan dalam Ash-Shahihain bahwa Malik bin Aus bin Hadatsan radhiyallahu ‘anhu datang sambil
berkata: “Siapa yang mau menukar dirham?” Maka Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu berkata –
dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berada di sisinya–: “Tunjukkan kepadaku emasmu, kemudian nanti
engkau datang lagi setelah pembantuku datang, lalu aku berikan perak kepadamu.” ‘Umar radhiyallahu
‘anhu pun menimpali: “Tidak boleh. Demi Allah, engkau berikan perak kepadanya atau engkau
kembalikan emasnya.” Dalam lafadz Al-Bukhari disebutkan: Thalhah pun mengambil emas tersebut, lalu
dia bolak-balikkan di telapak tangannya dan berkata: “Nanti hingga pembantuku datang dari hutan.”
‘Umar lalu berkata: “Demi Allah, engkau tidak boleh berpisah dengannya sampai engkau mengambil
(perak dari pembantumu).”

2. Ucapan ‘Umar dengan sanad yang shahih: “Bila salah seorang dari kalian melakukan ash-sharf dengan
temannya, maka janganlah berpisah dengannya hingga dia mengambilnya. Bila dia meminta tunggu
hingga masuk rumahnya, jangan beri dia masa tunggu tadi. Sebab saya khawatir engkau terkena riba.”
Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam An-Nail. Yang dimaksud dengan majelis akad
adalah tempat jual beli, baik keduanya berjalan, berdiri, duduk atau dalam kendaraan. Sementara yang
dimaksud dengan berpisah di sini adalah pisah badan, dan hal itu kembali kepada kebiasaan masyarakat
setempat (‘urf). Bila pihak money changer tidak punya sisa uang dan harus pergi ke tempat lain, maka
pihak penukar/pembeli wajib mengiringinya ke mana dia pergi hingga terjadi taqabudh (serah terima) di
tempat yang dituju dan menyempurnakan sisa kekurangannya.

3. Dalam hal Bila sebagian uang telah diterima dan sisanya tertunda, apakah sah akad tukar-
menukarnya/ akad ash-sharfnya? Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan kalangan Azh-
Zhahiriyyah menyatakan: Bila sharf tidak dapat diserahterimakan seluruhnya, maka akadpun harus batal
seluruhnya.

Sementara Abu Hanifah dan dua muridnya, serta satu sisi pendapat yang dikuatkan dalam madzhab
Hanbali menyatakan: Yang sudah diterima akadnya sah, sementara yang belum diterima, akadnya tidak
sah.

Yang rajih insya Allah adalah pendapat kedua, dan ini yang dikuatkan An-Nawawi serta Ar-Ruyani dari
kalangan Syafi’iyyah. Sebab, hukum itu berjalan bersama dengan ‘illat (sebab-sebabnya). Bila terpenuhi
persyaratan sahnya maka akadnya pun sah, wallahu a’lam. Pendapat ini juga dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah.

3. Fatwa DSN / MUI

Selain dari Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ Ulama yang dapat dijadikan landasan hukumnya Al – Sharf
terdapat juga Fatwa DSN dan MUI. Adapun Fatwa DSN tersebut tertuang dalam Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional No: 28/DSN-MUI/II/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al – Sharf).

Adapun dalam fatwa tersebut diputuskan bahwa DSN menetapkan Fatwa tentang jual-beli (Al-Sharf)
adalah sebagai berikut:

Pertama : Ketentuan Umum


1. Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:

2. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).

3. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).

4. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai
(at-taqabudh).

5. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat
transaksi dan secara tunai.

Kedua : Jenis-jenis transaksi Valuta Asing

a) Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat
itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya
adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian
yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.

b) Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada
saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2×24 jam sampai dengan satu
tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan
(muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan
tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward
agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).

c) Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang
dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya
haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

d) Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk
menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau
tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unusru maisir (spekulasi).

Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.[5]

C. Al-Sharf dalam Lembaga Keuangan Syariah

Saat ini perbankan syariah di Indonesia mulai menggeliat, apalagi ditambah dengan dikeluarkannya
beberapa peraturan perundangan yang khusus mengatur mengenai ekonomi syariah ini. Yang terbaru
adalah mengenai sukuk atau surat berharga syariah. Seperti pada bank konvensional perbankan syariah
juga melakukan transaksi valuta asing (valas) dalam bentuk syariah. Layanan transaksi valas dalam
perbankan syariah bernama sharf. Kebutuhan transaksi valas semakin menguat karena volume transaksi
pembayaran internasional kian meningkat. Di bank syariah, transaksi valas pun harus memenuhi prinsip
pertukaran secara spot, berlangsung dengan tunai dan tidak mengandung unsure spekulasi.

Menurut aturan Bank Indonesia (BI), sharf merupakan jasa penukaran valas untuk membeli atau
menjual valuta asing yang sama (single currency) maupun berbeda (multiple currency), sesuai dengan
kebutuhan nasabah. Prinsip utama dalam melakukan perjanjian (akad) sharf adalah pertukaran mata
uang secara spot, tunai dan tidak untuk spekulasi. Sharf membenarkan transaksi yang dilakukan untuk
berjaga-jaga atau dalam bentuk simpanan. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan
transaksi sharf. Bila transaksi dilakukan untuk mata uang yang sejenis, maka nilai nominal harus sama
dan secara tunai (taqabudh). Untuk transaksi mata uang yang berbeda, maka harus dilakukan dengan
nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi berlaku. Jenis transaksi valuta asing dalam perbankan
ini terbagi dalam empat kelompok.

Pertama, transaksi spot dimana penyelesaian paling lambat dua hari. Kedua, transaksi forward dengan
harga waktu mendatang lebih dari dua hari. Ketiga, transaksi swap dimana kontrak pembelian dan
penjualan dengan harga tertentu yang dikombinasikan. Jenis transaksi terakhir adalah option, dimana
merupakan kontrak untuk memeperoleh hak untuk membeli atau menjual yang tidak harus dilakukan
atas sejumlah unit pada harga dan jangka waktu tertentu. Dari keempat jenis transaksi tersebut, sharf
hanya memperbolehkan transaksi spot saja karena transaksi tunai. Sedangkan untuk ketiga transaksi
lainnya tidak dibenarkan dalam sharf.

Alasan ketiga transaksi ini tidak dapat dibenarkan karena menggunakan harga yang diperjanjikan
muwa’adah) dan penyerahan dilakukan di kemudian hari. Jadi harga belum tentu sama dengan nilai
yang sudah disepakati. Selain itu, ketiga jenis transaksi ini dianggap mengandung unsur maisir atau
spekulasi yang bisa menguntungkan atau merugikan semua pihak yang bertransaksi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Sharf yaitu pertukaran antara uang satu dengan uang lain yag sejenis atau mata uang satu dengan
mata uang lain. Adapun Rukun al-Sharf terdiri dari penjual, pembeli, mata uang yang diperjual belikan,
nilai tukar dan ijab qabul. Sementara itu syarat – syarat dari Al-Sharf antara lain serah terima sebelum
iftirak, Sama rata (Al-Tamaksul), pembayaran harus dengan tunai serta tidak mengandung khiyar syarat.

Landasan hukum yang dapat digunakan dalam melaksanakan transaksi Al-Sharf antara lain dari Al-
Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 275, Hadits nabi ; ” Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali
seimbang,dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali seimbang. Juallah emas dengan perak
atau perak dengan emas sesuka kalian.” (HR. Bukhari).
”Nabi melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali seimbang. Dan Nabi
memerintahkan untuk menjual emas dengann perak sesuka kami, dan menjual perak dengan emas
sesuka kami”.

“Kami telah diperintahkan untuk membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan
perak sesuka kami. Abu Bakrah berkata: beliau (Rasulullah) ditanya oleh seorang laki-laki, lalu beliau
menjawab, Harus tunai (cash). Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah yang aku dengar.” (HR. Abu
Hurairah). Dan Fatwa DSN/MUI NO: 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).

Menurut aturan Bank Indonesia (BI), sharf merupakan jasa penukaran valas untuk membeli atau
menjual valuta asing yang sama (single currency) maupun berbeda (multiple currency), sesuai dengan
kebutuhan nasabah. Prinsip utama dalam melakukan perjanjian (akad) sharf adalah pertukaran mata
uang secara spot, tunai dan tidak untuk spekulasi. Sharf membenarkan transaksi yang dilakukan untuk
berjaga-jaga atau dalam bentuk simpanan. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan
transaksi sharf. Bila transaksi dilakukan untuk mata uang yang sejenis, maka nilai nominal harus sama
dan secara tunai (taqabudh). Untuk transaksi mata uang yang berbeda, maka harus dilakukan dengan
nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, ahmad, 2008, Mata Uang Islami, Jakarta : PT. Gravindo Persada

Karim, Adiwarman.2006. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada

http://fitria.wordpress.com/2008/06/18/tugas-3-hal-sharf/ diakses 4 Mei 2011

http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2008/08/27/sharf/ diakses 30 April 2011

http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2008/08/27/sharf/ diakses 30 April 2011

[1] http://fitria.wordpress.com/2008/06/18/tugas-3-hal-sharf/ diakses 4 Mei 2011

[2] Hasan, ahmad, 2008, Mata Uang Islami, Jakarta : PT. Gravindo Persada

[3] Karim, Adiwarman.2006. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada

[4] http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2008/08/27/sharf/ diakses 30 April 2011

[5] http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2008/08/27/sharf/ diakses 30 April 2011

Anda mungkin juga menyukai