Anda di halaman 1dari 12

MONITORING GUNUNG API DENGAN METODE MAGNETIK

1. Pendahuluan
Monitoring gunung api merupakan serangkaian kegiatan pengukuran, analisa, dan
interpretasi data Gunung Api dengan tujuan untuk dapat memprediksi terjadinya erupsi
gunung api. (USGS Hazard Program: www.usgs.gov). Secara umum, monitoring Gunung Api
dapat dilakukan dengan 3 cara yakni sebagai berikut.
1. Geologi; dengan mengamati kondisi Geologi di sekitar Gunung Api meliputi deformasi
serta endapan vulkanik pada periode sebelumnya untuk dijadikan acuan pada periode
saat ini.
2. Petrologi; dengan menganalisa batuan vulkanik secara mendetail melalui kenampakan
fisik maupun komposisi kimia seperti mineralogy dan potensi kandungan gas.
3. Geofisika; monitoring dengan metode Geofisika baik Gravitasi, Seismik, Magnetik,
Suhu, Self Potensial, dan EM. Adapun objek yang menjadi fokus utama dalam kegiatan
ini yakni Posisi kantong magma beserta pergerakan magma, aktifitas hidrothermal
yang berkaitan erat dengan tingkat eksplosifitas letusan, dan kestabilan bangunan
gunung api.
Pengertian Monitoring dalam geofisika adalah suatu proses yang dilakukan
dengan pengumpulan data dan pengukuran pada suatu objek yang dipantau secara rutin
(baik secara episodik atau kontinyu) untuk mengetahui apakah terdapat perubahan serta
akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut pada lingkungan sekitar objek yang kita
pantau. Penggunaan metode geofisika dalam monitoring gunungapi dapat dilihat pada
gambar 1.
Pada resume ini akan dijelaskan mengenai monitoring dengan objek berupa
gunungapi yang bertujuan untuk mempelajari struktur internal suatu gunungapi serta
mengerti tanda-tanda peningkatan aktivitas gunungapi guna mengetahui indikator suatu
gunungapi akan mengalami erupsi guna mempersiapkan langkah untuk mengantisipasi
dan meminimalisasi dampak dari erupsi tersebut. Monitoring gunungapi terdapat banyak
metode yang dapat kita gunakan namun pada bahasan kali ini kami akan menjelaskan
mengenai monitoring gunungapi dengan metode magnetik.

MONITORING MAGNETIK 1
Tujuan monitoring adalah prediksi erupsi artinya bagaimana mengetahui kapan
erupsi terjadi, berapa lama erupsi berlangsung, dimana pusat erupsi dan bagaimana
karakteristik erupsi. Sebelum erupsi biasanya terdapat "Prekursor erupsi" yaitu suatu
gejala awal berupa perubahan-perubahan parameter fisika dan kimia yang terlihat secara
visual maupun yang terukur secara intrumental sebagai tanda aktivitas vulkanik sebelum
erupsi. Untuk menyimpulkan bahwa suatu perubahan fisika atau kimia sebagai prekursor
erupsi terlebih dahulu harus diketahui basis data pada masa gunungapi tidak aktif.

Gambar 1. Penggunaan beberapa metode dalam monitoring gunungapi secara episodic dan kontinu.

2. Pemetaan Dengan Metode Magnetik


Metode geo-magnet adalah metode geofisika yang paling tua. Prinsip dasar dalam
metode ini adalah mempelari kondisi bawah permukaan bumi berdasar sifat kemagnetan
batuan. Batu magnet sudah lama digunakan oleh orang Cina sebagai petunjuk dalam
pelayaran namun gagasan bahwa bumi ini bersifat magnet timbul beberapa tahun
kemudian. William Gilbert (1540–1603), seorang doktor Ratu Elizabeth I telah menuliskan
sebuah buku yang berjudul “De Magnete” pada tahun 1600. Pada masa inilah timbul
pemikiran bahwa semua titik di atas permukaan bumi memiliki nilai dan arah medan
magnet yang berbeda-beda. Pada tahun 1830 sampai 1842, Karl Frederick Gauss
melakukan pengamatan secara detail terhadap medan magnet bumi. Dia menyimpulkan

MONITORING MAGNETIK 2
bahawa sumber medan magnet bumi berasal dari dalam bumi. Dia juga menyatakan
bahwa medan magnet bumi juga memiliki hubungan erat dengan perputaran bumi karena
kutub magnet bumi dekat dengan sumbu putaran bumi (Telford, 1990). Tujuan dari
metode ini adalah untuk mengetahui kondisi bawah permukaan dan perlapisan batuan.
Akan tetapi sekarang metode ini sering digunakan untuk memantau aktivitas gunung api.
Sebelum melakukan proses monitoring, umumnya juga dilakukan pengamatan
persebaran nilai anomali medan magnet secara berkala atau pemetaan. Pemetaan ini
bertujuan untuk mengetahui posisi dapur magma beserta dengan kecenderungan
pergerakannya. Dalam monitoring gunung api, desain survey yang digunakan biasannya
radial, menyesuaikan dengan kontur dan semakin rapat saat mendekati kawah gunung.
Adapun langkah kerja dalam pengukuran Vulkanomagnetik dapat dilihat pada gambar 2.
Workflow tersebut sama dengan proses yang digunakan pada survey magnetic pada
umumnya. Pada koreksi data, dilakukan koreksi terhadap IGRF dan variasi harian.
Metode magnetik ini mengasumsikan bahwa setiap batuan yang ada di bawah
permukaan bumi memiliki sifat magnetik yang berbeda-beda. Jadi ketika medan magnet
bumi menginduksi batuan yang ada di bawah permukaan bumi maka akan timbul medan
magnet sekunder akibat induksi tadi. Nilai intensitas medan magnet sekunder ini akan
berbeda-beda pada setiap batuan dan sangat bergantung pada sifat kemagnetan batuan
(diamagnetik, paramagnetik, dan feromagnetik) serta remanen magnet yang sudah ada
sejak zaman dulu pada batuan tersebut.

Gambar 2. Urutan pengukuran dalam survei geomagnet.

MONITORING MAGNETIK 3
Pengukuran dengan metode magnetik dilakukan dengan peralatan PPM (Proton
PrecissionMagnetometer). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan dua buah PPM
yaitu sebagai satu sebagai base dan satu sebagai rover. PPM di base dioperasikan secara
otomatis merekam data medan magnet dengan selang waktu sesuai pengaturan. PPM
base dipasang untuk mendapatkan data variasi harian. Sedangkan PPM rover digunakan
untuk memetakan medan magnet total di lapangan dengan mengukur titik-titik yang telah
ditentukan. Pada setiap titik survei, dilakukan 5 kali pembacaan. Hal ini dilakukan untuk
memperoleh nilai modus atau nilai yang sering muncul pada titik tersebut. Dalam
pengukuran data magnetik diusahakan jauh dari noise seperti logam, jaringan listrik,
rumah, dll.

3. Monitoring Metode Magnetik.


Dalam memonitoring gunung api menggunakan metode magnetik biasanya bisa
dilakukan secara kontinyu ataupun secara periodik. Monitoring secara kontinu pada
dasarnya hampir sama dengan monitoring secara periodik, yang membedakanya hanyalah
waktu pengambilan datanya. Untuk monitoring secara kontinyu koordinat dari titik-titik
magnetik pada gunung api ditentukan secara real–time dan terus menerus dengan sistem
yang disusun secara otomatis. Agar metode ini dapat dilakukan maka diperlukan
komunikasi data antara titik-titik magnetik pada gunung api dan stasiun pengamat.
Dalam melakukan monitoring magnetik digunung api biasanya minimal kita harus
membutuhkan dua alata magnetometer untuk melakukan pengukuran. Salah satu alat
diletekan ditempat yang relative jauh dari aktivitas gunung api, sebagai basenya, dan alat
yang lainya diletakan disekitar gunung api untuk memonitoring aktivitas gunung api
tersebut. Dengan demikian kita akan memiliki minimal satu data hasil pengukuran
magnetik digunung api dan satu data yang yang tanpa pengaruh aktivitas gunung api,
sehingga dari kedua data tersebut kita bisa membandingkan antara keduanya. Sehingga
ketika terjadi perubahan nilai magnetik akan ketahuan.
Pengamatan magnetic juga dilakukan untuk mengamati nilai intensitas magnet di
atas gunung api, apabila magma mulai naik ke atas permukaan maka nilai intensitas
magnet di atas gunung api akan rendah karena pengaruh panas magma. Magma yang naik

MONITORING MAGNETIK 4
ke atas permukaan akan memiliki nilai susceptibilitas yang rendah dibandingkan dengan
batuan vulkanik pembentuk gunung api. Hasil akhir dari pengukuran Geomagnet juga
untuk memodelkan volume daripada dapur magma.
Meningkatnya aktivitas gunung api dicirikan dengan naiknya temperatur yang
berasal dari magma menuju permukaan. Batuan bawah permukaan gunung api akan
mengalami perubahan magnetisasinya ketika temperatur yang melewatinya mengalami
perubahan. Bahan magnetik akan berkurang magnetisasinya jika temperatur naik, dengan
demikian perubahan sifat magneti batuan di daerah gunung api aktif akan memberikan
informasi tentang aktivitas gunung api tersebut. Semakin meningkatnya aktivitas maka
temperaturnya akan semakin tinggi dan hal ini menyebabkan sifat magneti batuannya
akan cenderung kearah diamagnetik (Yamazaki et al, 1990, Koike et al.,2003).
Perubahan sifat magnetic batuan diukur melalui survey magnetic secara berkala.
Pengamatan magnetik dilakukan untuk mengamati nilai intensitas magnet di atas gunung
api, apabila magma mulai naik ke atas permukaan maka nilai intensitas magnet di atas
gunung api akan rendah karena pengaruh panas magma. Magma yang naik ke atas
permukaan akan memiliki nilai susceptibilitas yang rendah dibandingkan dengan batuan
vulkanik pembentuk gunungapi.
Dalam istilah vulkanologi, kemagnetan gunung api dapat disebut sebagai
vulkanomagnetik. Perubahan sifat kemagnetan ini disebabkan aktifitas Gunung Api
tersebut, antara lain:
1. Proses Thermomagnetik; merupakan serangkaian proses demagnetisasi dan
remagnetisasi akibat adanya kenaikan suhu hingga mencapai suhu Currie yakni >5800C.
Saat suatu benda bermagnet dipanasi hingga mencapai suhu Currie, benda tersebut
akan mengalami demagnetisasi atau kehilangan sifat magnetisnya. Namun, saat suhu
kembali turun benda tersebut akan termagnetisasi kembali atau mengalami
remagnetisasi.
Sifat magnetisasi ini dalam hubungannya dengan aktifitas Gunung Api adalah pada
proses naiknya magma. Pada saat tersebut bagian atas Gunung Api akan memanas
sehingga medan magnetnya akan menurun dan begitu pula sebaliknya. Proses tersebut
telah dibuktikan berdasakan pada percobaan laboratorium yakni melalui penngukuran

MONITORING MAGNETIK 5
suseptibilitas magnet batuan Andesitik dari Gunung Popocatepetl Stratovolcano di
Mexico dengan hasil sebagai berikut.

Gambar 3. Contoh kurva k-T temperature tinggi. Pemanasan dan pendinginan ditunjukkan dengan
panah.

2. Efek Piezomagnetik; merupakan sifat magnetisme yang disebabkan oleh adanya


tekanan yang dikenakan pada suatu batuan sehingga menimbulkan sifat magnet.
Piezomagnetik adalah perubahan sifat kemagnetan yang diakibatkan oleh tekanan
non- hidrostatis (deviatorik). Dalam pembahasan ini efek dari tekanan
hidrostatis yang kecil diabaikan
Efek ini ditemukan berdasarkan pada percobaan laboratorium dimana suatu
batuan saat diberi tekanan akan mengalami perubahan nilai Intensitas Magnet per
unit volume sebesar tekanan yang mengenainya. Bila I merupakan intensitas
magnet, σ merupakan besarnya tekanan yang dikenakan pada batuan, dan K
merupakan konstanta sensitifitas benda terhadap tekanan, maka besar perubahan
intensitas magnet dapat dinyatakan sebagai berikut.

Karena kenaikan Intensitas Magnet maka akan meningkatkan nilai induksi


magnetik sehingga meningkatkan nilai medan magnet sebagai berikut.

MONITORING MAGNETIK 6
3. Fenomena Elektrokinetik; magnetisme yang disebabkan oleh pergerakan
fluida magmatis. Saat bergerak, fluida magmatis akan melalui dua medium yakni
medium padat dan setengah padat, sehingga akan terjadi transfer ion yang
menyebabkan terbentuknya medan listrik yang juga akan menghasilkan medan
magnet.

4. Studi Kasus 1. Perubahan Medan Magnetik karena suhu.


Dari judul penelitian Magnetic and electric field monitoring of Taal volcano, Philippines
Part I: Magnetic measurements.
Dalam penelitian dilakukan monitoring pada gunung Taal di Philipina. Sifat magma dari
gunung api ini yaitu basaltik-andesit. Monitoring yang dilakukan dengan metode Self-
Potnsial dan Magnetik. Pengukuran pertama pada Januari 2005, kemudian dilakukan
kembali pada bulan Februari 2005, dan sudah terjadi perubahan puluhan nT. Sebelum
melakukan monitoring, dilakukan pemetaan medan magnetic untuk melihat pengaruh
suhu. Gambar 4 memperlihatkan lokasi pengambilan data medan magnetik.

Gambar 4. lokasi beserta titik pengukurannya.

Pengukuran medan magnet dilakukan dan diolah untuk melihat anomaly medan
magnetic, dengan cara melihat perbedaan antara titik pengukuran dengan titik referensi
dengan variabel diff TMF (difference Total Magnetic Field). Gambar 5 memperlihatkan

MONITORING MAGNETIK 7
hasil pengukuran yang dilakukan pada bulan januari 2005, dan keberadaan area
geothermal yang ditandai dengan fissure.

Gambar 5. Data pemetaan sepanjang 2,5 km panjang lintasan pada bulan Januari 2005.

Pada bagian yang lain dilakukan pengukuran yang sama, kemudian dimodelkan
dengan berdasarkan topografi lintasan, dan disimulasikan nilai magnetisasi batuannya.
Nilai magnetisasi tersebut ditentukan berdasarkan pengaruh suhu pada batuan. Gambar 6
memberikan gambaran data hasil simulasi dibandingkan dengan hasil pengukuran yang
dilakukan.

Gambar 6. Hasil simulasi dengan model topografi dibandingkan dengan data pengukuran.

MONITORING MAGNETIK 8
5. Studi Kasus 2. Monitoring Medan Magnetik.
Diambil dari penelitian Volcano-Electromagnetic Effects dan Review of Magnetic and
electric field effects near active faults and volcanoes in the U.S.A.
Gambar 7 menunjukkan perubahan medan magnetic di gunung St. Helens pada
salah satu stasiun monitoring bersama dengan data tilt. Data diambil dari tanggal 23
Oktober s/d 3 November 1981, yang kemudian dirata-rata tiap 20 menit. Dari data
tersebut terlihat bahwa medan magnetic naikdari tanggal 23 s/d 27 dan kemudian turun
cukup tajam pada tanggal 27 Oktober dan berkorelasi sangat baik dengan data tilt. Saat
terjadinya erupsi tanggal 29 Oktober justru tidak terlihat perubahan medan magnetic yang
signifikan.

Gambar 7. Grafik perubahan medan magnetic dan tilt hasil monitoring di gunung St. Helens dari tanggal 23
Oktober s/d 3 November 1981.

Gambar 8 memperlihatkan data monitoring pada gunung yang sama pada waktu
yang lain, tetapi dengan selang waktu yang lebih detail. Sudah diketahui bahwa gunung St.
Helens meletus hebat pada tanggal 18 Mei 1980, dengan letusan yang pertama pada jam
15.32 waktu setempat. Gambar 8 menunjukkan data monitoring medan magnetic, setelah
dikurangi terhadap stasiun referensi, pada tanggal tersebut dari jam 14.00 s/d 19.00.
Sebelumnya data dirata-rata tiap 10 menit. Saat sebelum terjadi erupsi tidak terjadi
perubahan medan magnetic, bahkan cenderung konstan. Perubahan mendadak terjadi
berbarengan dengan saat terjadinya erupsi pada jam 15.32. Setelah itu medan magnetic
cenderung fluktuatif.

MONITORING MAGNETIK 9
Gambar 8. Grafik perubahan medan magnetic setiap 10 menit di gunung St. Helens pada saat terjadinya
letusan besar tanggal 18 Mei 1980.

Dari kedua contoh grafik monitoring tersebut memperlihatkan:


1. Monitoring medan magnetic sulit digunakan untuk memprediksi terjadinya
letusan. Sebagai salah satu indicator, data tersebut dapat digunakan. Tetapi untuk
prediksi secara akurat belum dapat digunakan.
2. Penggunaan data monitoring medan magnetic harus dibersamai dengan data
metode yang lain untuk membuat analisisnya menjadi baik.
3. Perubahan medan magnetic akibat aktivitas gunungapi mempunyai nilai yang kecil.
Untuk itu diperlukan alat yang mempunyai akurasi tinggi dan analisis yang hati-hati
dan komprehensif.

MONITORING MAGNETIK 10
Beberapa Catatan:

Konsep mapping  meninjau aspek statis (aspek ruang) yang independen terhadap
waktu. Jumlah titik banyak tetapi waktu hanya sekali.
Konsep monitoring  Jika ingin melihat dinamika maka aspek ruang tsb harus
diminimalkan sehingga aspek waktu bisa dianalisis lebih tajam, bila ingin mengetahui
perilaku (dinamika) maka aspek ruang yang dikorbankan. Jumlah titik sedikit, tetapi
waktu banyak.
Monitoring continue  Jumlah titik sedikit sampling waktu intensif.
Monitoring periodik/episodik  Jumlah titik agak banyak waktu monitoring lebih
panjang dengan sampling waktu lebih lama.

 Bagaimana menjelaskan monitoring continue bisa mengetahui suatu gunung api bisa
menyebabkan metode magnetik tahu bahwa aktivitas gunungapi mulai naik.
1) Efek Thermomagnetic. Gunungapi tsb meningkat aktivitasnya maka magma tsb
akan naik/fluida nya akan naik maka akan mempengaruhi benda yang ada
disekitarnya contohnya saja pada sensor. Jika terlihat medan magnet di gunung
tsb turun hal ini disebabkan karena suhu naik.
2) Efek Pizzomagnetik. Efek perubahan sifat kemagnetan karena adanya perubahan
stress ketika P naik maka medan magnetnya juga naik.
3) Efek Elektrokinetik. Bisa termasuk dalam efek pizzomagnetik.

 Memasang sensor syarat agar bisa merekam.


Tempat masih dipengaruhi aktivitas tetapi harus juga mengingat perubahan medan
magnet tidak semuanya dipengaruhi oleh aktivitas gunungapi. Hal ini bisa juga karena
variasi harian namun perubahan medan magnet karena aktivitas gunungapi relatif kecil.
Bisa tahu kalau hal itu disebabkan akrena aktivitas variasi harian karena ada stasiun
lain yang digunakan sebagai pembanding. Stasiun ini diletakkan agak jauh dari tubuh
gunungapi namun juga harus cukup dekat agar bisa menjangkau. Beradius maksimal
50 km. Stasiun pembanding dijadikan sebagai stasiun pengurang.

 Pengaruh aktivitas, gunung yang meningkat aktivitasnya maka suhu naik dan tekanan
juga ikut meningkat namun medan magnet dapat saja turun. Suhu naik maka medan
magnet turun. Tekanan naik medan magnet naik. Kedua pengaruh tsb saling bertolak
belakang, tinggal mana yang lebih kuat pengaruhnya.

MONITORING MAGNETIK 11
 Bagaimana cara mendeteksi dini untuk melihat aktivitas berdasarkan medan
magnetiknya?
Kenaikan suhu maka medan magnetnya turun akan terlihat pola atau fasenya. Dengan
melakukan simulasi berdasarkan perubahan suhu dan tekanan dapat ditentukan pola
dan fase masing-masing efek tersebut. Untuk lebih meyakinkan monitoring medan
magnetik tsb harus didampingi dengan data monitoring metode lain karena kalau
metode magnetic kalau berjalan sendiri keakuratannya kurang.

MONITORING MAGNETIK 12

Anda mungkin juga menyukai